• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /ProdukHukum/kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /ProdukHukum/kehutanan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

ARAH DAN SKENARIO PENGEMBANGAN

PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN

DARI REDAKSI

ISSN: 1858-3261

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kawasan hutan secara fungsional mengandung arti sebagai suatu kesatuan lahan atau wilayah yang karena keadaan bio-fisiknya dan/atau fungsi ekonomisnya dan/atau fungsi sosialnya harus berwujud sebagai hutan. Karena sifatnya yang demikian itu, peruntukan lahan tersebut harus ditetapkan dan dipertahankan sebagai hutan untuk selamanya. Itulah sebabnya mengapa kawasan hutan secara yuridis diartikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah (pusat) untuk dipertahankan keberadaannya sebagi hutan tetap (Pasal 1 Butir 3 UU No. 41 Tahun 1999). Secara fungsional, kelestarian kawasan hutan (Dimensi 1 ekosistem hutan) ini merupakan prasyarat untuk dapat dicapainya kelestarian dua dimensi ekosistem hutan lainnya (Dimensi 2 dan Dimensi 3), oleh karena bagaimana mungkin kita mewujudkan kelestarian kualitas dan produktivitas ekosistem hutan apabila lahan yang diperuntukkan sebagai hutan tidak ada? Selanjutnya, jika kualitas dan produktivitas hutan tidak ada, maka tentu saja fungsi ekonomis, ekologis dan sosial ekosistem hutan pun tidak akan ada! Jadi sangatlah mudah untuk dipahami bagaimana hubungan ketergantungan antara Dimensi 1, Dimensi 2, dan Dimensi 3 dari ekosistem hutan, yaitu: Dimensi 1 Dimensi 2 Dimensi 3 (baca: Dimensi 1 merupakan prasyarat bagi Dimensi 2, Dimensi 2 merupakan prasyarat bagi Dimensi 3, sehingga Dimensi 1 merupakan prasyarat bagi Dimensi 2 dan/atau Dimensi 3).

Makna operasional untuk kepentingan pengelolaan hutan dengan berlandaskan pada prinsip PHL dari ketiga macam syarat keharusan di muka adalah sebagai berikut:

Dimensi 1 : Keberadaan lahan yang diperuntukkan untuk hutan dengan luasan yang cukup dan dengan tempat yang tepat (sebaran spasial proporsional) harus selalu terjamin secara berkelanjutan.

Dimensi 2 : Keberadaan wujud bio-fisik hutan yang tumbuh di atas lahan yang diperuntukkan sebagai hutan dengan luasan yang cukup serta kualitas dan produktivitas yang tinggi (di atas ambang batas kualitas dan produktivitas yang ditetapkan) harus selalu terjamin secara berkelanjutan.

Dimensi 3 : Pengelolaan, termasuk di dalamnya pemanfaatan, ekosistem hutan untuk mendapatkan fungsi-fungsi ekonomis, ekologis, dan sosial-budaya secara optimal dan lestari harus senantiasa berjalan secara berkelanjutan

Secara legalitas ketiga dimensi menjadi pembatas pengertian kawasan yang mantap dalam arti :

a. Luas kawasan hutan dalam setiap kesatuan bentang alam setidak-tidaknya memenuhi syarat kecukupan minimal dan dengan sebaran lokasi (spasial) yang proporsional sesuai dengan keadaan sifat-sifat biofisik bentang alam serta kepentingan ekonomi dan sosial-budaya masyarakatnya.

(Diringkas dari Makalah “Pemantapan Kawasan Hutan” , yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, MS dalam Diskusi Arah Pembangunan Sektor Kehutanan, tanggal 17 Pebruari 2005)

Salam planolog, para pembaca yang budiman mudah-mudahan kita sepakat, bahwa kejelasan arah dan tujuan merupakan wujud kehakikian siapa kita dan mau kemana kita sekarang dan di masa depan. Oleh karena itu makin fokus dan konvergennya

arah dan tujuan makin jelas pula jati diri kita.

Pembaca yang arif, adalah kodrat setiap manusia untuk menjadi perencana atau planolog, kodrat tersebut dimulai ketika berkembangnya pemahaman, bahwa problem yang dihadapi tidak terlepas dari dinamika perubahan dalam setiap detik kehidupan, sehingga mewajibkan kita untuk melatih ketrampilan dalam memilah, memilih dan menetapkan ( c

), ketrampilan mewujudkan hasil pilihan mulai dari perencanaan sampai dengan implementasinya ( ) serta ketrampilan untuk menyampaikan dan menjaga komitmen (

).

Berangkat dari kesamaan kodrati kita, kami selalu terbuka dan mengharapkan saran penyempurnaan maupun partisipasi ide dan pemikirannya, bukankah hasil dari ”banyak kepala” akan memperkecil kelemahan individu alias ”satu kepala”.

Mudah-mudahan sajian kedepan semakin bermanfaat bagi kita semua.

scan, hoice and decision making

skill Planning and

Implementation skill Dissemination and maintain of commitment

skill

G

(2)

Halaman

b. Luas kawasan hutan (dengan luasan cukup dan sebaran proporsional) yang terdapat dalam setiap kesatuan bentang alam dapat dipertahankan (tetap) secara berkelanjutan. Untuk ini diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :

b.1. Seluruh kawasan hutan yang terdapat dalam setiap kesatuan bentang alam memiliki batas fisik di lapangan dan tertera pada peta (Peta Kawasan Hutan).

b.2. Batas kawasan hutan secara fisik (di lapangan) dan pada peta memiliki kekuatan, baik secara (ada hasil penataan batas kawasan hutan yang disahkan oleh Menteri (Kehutanan), maupun (diketahui dan diakui oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat).

b.3. Pal-pal batas kawasan hutan di lapangan terpelihara dan terjaga, baik posisi letaknya (titik koordinat pal batas) maupun kualitasnya.

c. Kelembagaan dalam Perencanaan Kehutanan yang berkenaan dengan pengelolaan batas-batas kawasan hutan (penataan batas, pemeliharaan, dan pengamanan) untuk seluruh kawasan hutan (hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi) terdefinisikan dengan jelas dan tegas, memiliki kekuatan hukum, dan berfungsi dengan efektif.

Keberhasilan pengelolaan hutan berlandaskan prinsip PHL sangat ditentukan oleh persepsi dan tindakan para pihak terhadap ke

Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran obyektif mengenai situasi dan kondisi serta permasalahan dalam pelaksanaan pemantapan kawasan hutan serta memberikan masukan tentang pengembangan pemantapan kawasan hutan dalam jangka panjang.

Dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem, ada tiga prinsip dasar yang perlu dipegang dengan sangat kuat, yaitu:

Prinsip ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pengelolaan hutan harus mempertimbangkan dan sesuai dengan keadaan dan potensi seluruh komponen pembentuk hutan (hayati dan non hayati); kawasan lingkungannya (biofisik, ekonomi, politik, dan sosial-budaya masyarakat), serta memperhatikan dan dapat memenuhi kepentingan keseluruhan pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan serta mampu mendukung kehidupan mahluk hidup (selain manusia) dan keberlanjutan keberadaan alam semesta.

Prinsip ini mengandung arti bahwa penyelenggaraan pengelolaan hutan harus berlandaskan kepada pertimbangan keseluruhan hubungan ketergantungan dan keterkaitan antara komponen-komponen pembentuk ekosistem hutan serta pihak-pihak yang tergantung dan berkepentingan terhadap hutan dalam keseluruhan aspek kehidupannya, mencakup : aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial-budaya.

Prinsip ini mengandung arti bahwa fungsi dan manfaat ekosistem hutan dalam segala bentuknya harus dapat dinikmati oleh umat manusia dan seluruh kehidupan di muka bumi ini dari generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara bekelanjutan dengan potensi dan kualitas yang sekurang-kurangnya sama (tidak menurun). Jadi tidak boleh terjadi pengorbanan (pengurangan) fungsi dan manfaat ekosistem hutan yang harus dipikul suatu generasi tertentu akibat keserakahan generasi sebelumnya. Prinsip ini mengandung konsekuensi terhadap luasan hutan, produktivitas dan kualitas (kesehatan) hutan yang setidaknya tetap (tidak berkurang) dalam setiap generasinya. Oleh karena luas hutan yang tersedia pada kenyataannya terus berkurang, sementara total kebutuhan terhadap barang dan jasa hutan setiap saat terus meningkat, maka produktivitas dan kualitas hutan harus dapat ditingkatkan. Untuk ini diperlukan IPTEKS yang ramah lingkungan, yaitu IPTEKS yang dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas ekosistem hutan, tetapi memberikan dampak negatif yang minimal, serta dapat diterima dan cocok dengan nilai budaya masyarakat. IPTEKS seperti ini hanya akan dapat diperoleh apabila pengembangannya mengakar pada keadaan biofisik dan sosial-budaya masyarakat pada tempat hutan berada.

de jure de facto

mantapan kawasan hutan sebagai syarat keharusan, sehingga mengacu pada hal tersebut upaya pengembangan pemantapan kawasan hutan menjadi ”harus dan perlu”.

Keadaan hutan dan permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan di Indonesia pada saat ini, antara lain, disebabkan pula oleh kurang mantapnya kawasan hutan, dicirikan oleh :

a. Kepastian luas kawasan hutan dalam setiap DAS kurang terjamin, kecukupan luas kawasan hutan belum seluruhnya diketahui.

b. Kepastian status kawasan hutan dalam setiap DAS kuranog terjamin akibat rendahnya laju penyelesaian kegiatan pengukuhan hutan, terutama untuk tahapan tata batas kawasan hutan.

c. Rendahnya tingkat pengakuan para pihak yang berkepentingan, terutama masyarakat di sekitar hutan atau kelompok masyarakat hukum adat, terhadap status hukum kawasan hutan yang telah selesai dikukuhkan.

Atas dasar itu, maka permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan hutan di Indonesia dapat dipandang sebagai permasalahan yang berhubungan dengan kegiatan pengembangan pemantapan kawasan hutan di masa yang akan datang.

B. Tujuan

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN HUTAN DALAM SISTEM PENGURUSAN HUTAN DI INDONESIA

a. Prinsip Keutuhan ( )

b. Prinsip Keterpaduan ( )

c. Prinsip Keberlanjutan/Kelestarian ( ) holistic

Integrated

Sustainability

G

P

L

A

N

L

O

(3)

Untuk mewujudkan prinsip-prinsip dalam pengelolaan hutan berbasis ekosistem di muka, diperlukan tiga komponen kegiatan dan/atau sikap utama, yaitu :

Kesatuan bentang alam yang dipergunakan harus merupakan kesatuan ekologis, bukan kesatuan politik atau administrasi pemerintahan. Untuk keperluan ini dapat dipergunakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai kesatuan ekosistem. Selanjutnya setiap kesatuan lahan dalam ekosistem DAS tersebut ditetapkan fungsi penggunaannya sesuai

sun dan dilaksanakan secara bersama dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak dan kewajiban yang proporsional dan berkeadilan (sesuai undang-undang), keterbukaan, demokratis, dan bertanggunggugat. Untuk ini, maka pengembangan sistem pengelolaan kolaboratif ( ) dalam pengelolaan hutan merupakan sebuah kewajiban.

Mengingat sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat dalam setiap ekosistem DAS bersifat spesifik (berbeda satu sama lain), maka tujuan pengelolaan, rumusan macam-macam bentuk dan intensitas kegiatan pengelolaan harus ditetapkan untuk setiap kesatuan pengelolaannya dan sesuai dengan sifat-sifat biofisik, keadaan ekonomi dan

sosial-budaya masyarakatnya ( ).

Demikianlah prinsip-prinsip pengelolaan hutan di Indonesia yang sesuai dengan aturan (tersurat dan tersirat) dalam undang-undang di Indonesia. Oleh karenanya maka jika dalam pengelolaan hutan terdapat prinsip atau praktek yang bertentangan dengan prinsip sebagaimana diutarakan di muka, maka pengelolaan hutan tersebut bertentangan dengan undang-undang.

Berdasarkan proyeksi keadaan dan permasalahan dalam pemantapan kawasan hutan di masa yang akan datang , laju kegiatan pemantapan akan tetap terkendala oleh ; keterbatasan dana, SDM, kemampuan institusi dan kelemahan koordinasi pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Namun disamping kelemahan tersebut ada faktor pendorong berupa peluang komitmen yang kuat untuk terselenggaranya PHL dari para pihak baik di dalam maupun global.

Berangkat dari proyeksi di atas dan setelah melalui analisis pengambilan keputusan dengan kriteria syarat-syarat keharusan dalam pemantapan kawasan hutan didapatkan alternatif strategi terbaik untuk setiap komponen kegiatan dalam pengembangan pemantapan kawasan hutan, sebagaimana yang tertera tabel di bawah ini.

Tabel 1. Alternatif strategi terbaik untuk setiap komponen kegiatan dalam Pengem bangan Pemantapan Kawasan Hutan Jangka Panjang

a. Penataan ruang yang bersifat rasional dalam setiap kesatuan bentang alam ( )

SKENARIO ARAH PENGEMBANGAN PEMANTAPAN HUTAN DALAM JANGKA PANJANG landscape scenario

dengan watak fisik lahannya, sedangkan pemanfaatan setiap kesatuan lahan ini tidak boleh melebihi daya dukung lahan tersebut. Proses ini hendaknya dilakukan dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dengan prinsip kebersamaan. Sesuai dengan karakteristik sebagian besar lahan dalam DAS serta tingkat aksesibilitasnya terhadap pusat pertumbuhan ekonomi wilayahnya, maka akan dapat ditentukan tujuan utama (skenario) pengelolaan sumberdaya alam dalam wilayah DAS. Setelah skenario pengelolaan DAS ditetapkan, maka pengelolaan setiap kesatuan ekosistem dalam DAS harus mendukung pencapaian tujuan utamanya.

Seluruh pihak yang berada dan terkait dengan penggunaan ruang dalam setiap kesatuan ekosistem (DAS) harus memiliki komitmen yang sama dan kuat untuk mempertahankan tata ruang yang sudah disepakati bersama secara konsisten.

Kebijakan dan program yang akan dilakukan dalam rangka pengelolaan hutan dalam setiap ekosistem DAS hendaknya disu

b. Komitmen yang kuat terhadap tata ruang yang telah disepakati ( )

c. Kebersamaan dalam perumusan kebijakan dan penyelenggaraan program pengelolaan ( )

strong commitment

colaborative management

colabarative management

adaptive management

G

L

A

N

L

O

BULETIN

Nomor Komponen

Kegiatan

Nama Komponen Kegiatan Deskripsi Alternatif Strategi Terbaik

(1) (2) (3)

1. Penetapan luas kawasan hutan dalam DAS

(atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di atas

tingkat kecukupan minimal ( > 30%) dengan

sebaran spasial tepat.

Luas kawasan hutan ditetapkan secara optimal (HL dan HK sesuai dengan karakteristik biofisik wilayah, HP sesuai

Keperluan bahan baku hasil hutan), bila ada sisa kawasan hutan dapat dipergunakan untuk keperluan selain hutan.

2. Penetapan luas kawasan hutan dalam DAS

(atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di atas

tingkat kecukupan minimal ( > 30%) tetapi

sebaran spasial belum tepat.

Luas dan distribusi kawasan hutan dibuat optimal, bila ada sisa kawasan hutan dapat dipergunakan untuk selain hutan.

3. Penetapan luas kawasan hutan dalam DAS

(atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di bawah tingkat kecukupan minimal (< 30%).

Luas kawasan hutan ditambah dengan menunjuk kawasan hutan baru pada tanah milik sampai memenuhi luas kecukupan minimal (30%) da n dengan sebaran spasial yang optimal serta diikuti dengan mengem -bangkan sistem insentif yang secara ekonomis menguntungkan pemilik lahan.

4. Penataan batas kawasan hutan (batas luar

kawasan)

(4)

Halaman

REKOMENDASI

A. Arah Pengembangan Pemantapan Kawasan Hutan dalam Jangka Panjang 1. Penetapan luas kawasan hutan dalam setiap DAS (atau Pulau), untuk :

2. Pengukuhan Kawasan Hutan

3. Penataan batas kawasan hutan untuk setiap fungsi penggunaan hutan (HP, HL, HK) :

4. Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan (KPHP, KPHL, KPHK) :

5. Penetapan urutan prioritas pelaksanaan kegiatan dalam Pemantapan Kawasan Hutan dalam Setiap DAS (atau Pulau) :

a. DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di atas tingkat kecukupan minimal ( 30% dari luas DAS dan atau Pulau), dengan sebaran spasial tepat (

Luas kawasan hutan ditetapkan secara optimal, yaitu :

1) Seluruh areal dalam DAS (atau Pulau) yang menurut keadaan biofisiknya, termasuk kekhasan dan kelangkaannya, harus menjadi HK, berstatus sebagai HK.

2) Seluruh areal dalam DAS (atau Pulau) yang menurut keadaan fisiknya (tinggi tempat dpl, kemiringan lapangan, tingkat kepekaan erosi tanah, intensitas hujan) harus menjadi HL, berstatus sebagai HL.

3) Luas HP produksi memenuhi tingkat kecukupan untuk memproduksi hasil hutan, baik untuk pemenuhan bahan baku industri kehutanan dalam wilayah pengembangan industri kehutanan yang memiliki jarak terjangkau secara ekonomis (di dalam atau di luar DAS dan atau Pulau) maupun untuk konsumsi masyarakat lokal.

Bila setelah luas kawasan hutan pada butir 1), 2) dan 3) di muka terpenuhi masih ada tersisa kawasan hutan dalam DAS (atau Pulau), maka areal sisanya ini dapat diperuntukan untuk selain kawasan hutan.

b. DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di atas tingkat kecukupan minimal ( 30% dari luas DAS dan atau Pulau) tetapi sebaran spasial belum tepat (proporsional) :

Luas dan distribusi kawasan hutan dibuat optimal (lihat butir a di muka), bilamana ada sisa kawasan hutan dalam DAS (atau Pulau), maka areal sisanya ini dapat dipergunakan untuk penggunaan di luar kawasan hutan.

c. DAS (atau Pulau) dengan luas kawasan hutan di bawah tingkat kecukupan minimal (< 30% dari luas DAS dan atau Pulau) :

Luas kawasan hutan ditambah dengan menunjuk kawasan baru pada tanah milik sampai memenuhi luas kecukupan minimal (30% dari luas DAS dan atau Pulau) dan dengan sebaran spasial yang tepat ( ) serta diikuti dengan mengembangkan sistem insentif yang secara ekonomis menguntungkan bagi pemilik lahan hutan.

a. Penataan batas kawasan hutan (batas luar kawasan) :

Dilakukan penataan batas kawasan hutan dengan melibatkan dan meng-akomodasikan kepentingan para pihak yang berkepentingan (partisipatif) dan dengan tetap sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

b. Penataan batas hutan adat untuk wilayah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya :

Dilakukan penataan batas hutan adat dengan melibatkan masyarakat hukum adat. c. Penataan batas Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) :

Dilakukan penataan batas KHDTK dengan melibatkan para pihak terkait.

Dilakukan penataan batas fungsi penggunaan kawasan hutan (HP, HL, HK) dengan melibatkan dan mengakomodasikan kepentingan para pihak terkait.

Dibentuk Unit Pengelolaan Hutan secara permanen dengan melibatkan dan mengakomodasikan kepentingan para pihak terkait.

Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dilakukan bersama-sama sampai selesai, setelah itu dapat dilakukan Penataan Batas Hutan Adat, Penataan Batas KHDTK dan Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan secara pararel, sesuai keperluan.

>

> proporsional).

proporsional

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

5. Penataan batas hutan adat (untuk kawasan

hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat yang diakui keberadaannya).

Dilakukan penataan batas hutan adat dengan melibatkan masyarakat hukum adat.

6. Penataan batas Kawasan Hutan Dengan Tujuan

Khusus (KHDTK).

Dilakukan penataan batas KHDTK dengan melibatkan para pihak terkait.

7. Penataan batas kawasan hutan untuk setiap

fungsi penggunaan hutan (HP, HL, HK)

Dilakukan penataa n batas fungsi penggu -naan kawasan hutan (HP, HL, HK) dengan melibatkan dan mengakomodasikan kepen-tingan para pihak terkait.

8. Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan (KPHP,

KPHL, KPHK).

Dibentuk Unit Pengelolaan Hutan secara permanen dengan melibatkan dan m eng-akomodasikan kepentingan para pihak terkait

9. Penetapan urutan prioritas pelak -sanaan

kegiatan dalam Peman -tapan Kawasan Hutan dalam setiap DAS (atau Pulau).

Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dilakukan bersama-sama sampai se -lesai, setelah it u dapat dilakukan Penataan Batas Hutan Adat, Penataan Batas KHDTK dan Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan secara pararel, sesuai keperluan.

(5)

G

L

A

N

L

O

BULETIN

B. Rekomendasi Khusus Dalam Rangka Pemantapan Kawasan Hutan

DAFTAR PUSTAKA

1.a. Penambahan Pasal 38A dan Pasal 38B dalam amandemen UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (berdasarkan PERPPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan) sangat potensial untuk mengurangi luas penutupan lahan pada kawasan hutan lindung (HL) dalam setiap DAS dan atau Pulau. Keadaan ini pada akhirnya akan mendorong terjadinya pengurangan luas kawasan hutan lindung di dalam DAS dan atau Pulau, akibat terjadinya fragmentasi lahan hutan yang kemudian diikuti dengan pengkonversian ke dalam peruntukan selain hutan. Berdasarkan pertimbangan ini, maka Pasal 83A dan Pasal 83B dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan direkomendasikan untuk dihilangkan kembali melalui proses amandemen yang baru.

b. Ijin penambangan dengan pola pertambangan terbuka pada areal kontrak kerja yang berstatus sebagai kawasan hutan lindung dan ditandatangani sebelum berlakunya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hanya diberikan apabila berdasarkan hasil evaluasi dan penilaian ulang status kawasan hutan (survei mikro) oleh Tim Independen dan dengan kriteria serta prosedur yang sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dapat dibuktikan bahwa sesuai keadaan sifat-sifat fisik lahannya areal kontrak kerja tersebut tidak termasuk dalam kategori kawasan hutan lindung, sehingga tidak harus berstatus sebagai kawasan hutan lindung.

2. Mekanisme kegiatan penataan batas kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan seyogyanya dilakukan secara partisipatif dalam pengertian substansial, yaitu dengan cara : melibatkan, mempertimbangkan, dan mengakomodasikan secara optimal (dalam batas-batas peraturan perundangan yang berlaku) persepsi, harapan dan kepentingan para pihak terkait, terutama masyarakat di sekitar hutan dan pihak-pihak yang memiliki tanah yang berbatasan dengan kawasan hutan yang akan dikukuhkan. Untuk ini maka keterlibatan para pihak tersebut dalam penataan batas kawasan hutan seyogyanya bersifat utuh sejak penetapan rute trayek pal batas di atas peta dan pemancangan patok batas sementara di lapangan.

3. Penetapan program penyelenggaraan pengurusan hutan, termasuk di dalamnya pemantapan kawasan hutan, hendaknya dilakukan dengan menggunakan sistem perencanaan program berdasarkan pendekatan sistem alokasi sumberdaya dan penetapan prioritas kegiatan yang bersifat obyektif dan rasional. Untuk ini dapat dipergunakan teknik alokasi sumberdaya dan teknik pengambilan keputusan dalam teknik operasi ( ) yang sesuai, seperti

: serta teknik pengambilan keputusan untuk kelompok kepu-tusan yang

mengandung resiko ( ) dan yang bersifat tidak pasti ( ).Apabila informasi

yang diperlukan untuk menyusun model yang lengkap tidak cukup tersedia kita dapat menggunakan sistem pakar dengan mengembangkan teknik pengambilan keputusan dengan kriteria ganda ( ), misalnya teknik AHP ( ). Baik dalam keadaan informasi yang cukup atau tidak cukup, pembentukan model yang akan dipergunakan sebagai alat dalam pengambilan keputusan hendaknya dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh komponen dalam Departemen Kehutanan dan para pihak yang berkepentingan terhadap lahan hutan, manfaat ekosistem hutan dan kegiatan pengelolaan hutan di luar Departemen Kehutanan (PEMDA Propinsi, Kabupaten/Kota, Pelaku Usaha, Masyarakat).

operation research linear programming, goal programming

decision under risk decision under uncertainty

multiple criteria Analytic Hierarchy Process

Buongiorno, J. and J.K. Gilles. 2003. Decision Methods for Forest Resources Management. Academic Press, New York. Davis, K. 1964. Forest Management : regulation and valuation. Second Edition. McGraw-Hill Book Co., New York. Davis, L.S. and K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-Hill Book Co., New York. Departemen Kehutanan. 2004. Data Strategis Kehutanan (Eksekutif). Departemen Kehutanan, Jakarta.

___________________. 2004. Data Perkembangan Penataan Batas Kawasan Konservasi : s/d Agustus 2004. Departemen Kehutanan, Jakarta.

ISTF (International Society of Tropical Foresters). 2004. ISTF News : Vol. 25 No. 2, June 2004. ISTF, Bethesda.

Meffe, G.K., L.A. Nielsen, R.L. Knight, and D.A. Schenborn. 2002. Ecosystem Management : adaptive, community-based, conservation. Island Press, Washington.

Osmaston, F.G. 1968. The Management of Forest. George Allen and Unwin Ltd., London.

Sampson, N. and L. DeCoster. 2000. Forest fragmentation : implication for sustainable private forests. Journal of Forestry Vol. 98(3) March 2000 : 4-8.

(6)

PERSEPSI MASYARAKAT DAN ALTERNATIF BENTUK

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MENUJU KELESTARIAN HUTAN

Oleh : Syaiful Ramadhan

Dari Simbyosa Menuju Persepsi

Dari Persepsi Menuju Property

Keragaman sosial budaya, budidaya dan perilaku dominan dari komunitas masyarakat Pegunungan, Pantai daerah yang beriklim basah dan yang beriklim kering merupakan bukti, adalah suatu keniscayaan bahwa lingkungan alam dan hutan adalah modal sosial budaya sangatlah berpengaruh pada pembentukan karakteristik komunitas masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitarnya. Secara empiris hubungan timbal balik jangka panjang antara komunitas hutan dan komunitas masyarakat mengintrodusir persepsi komunitas masyarakat tersebut terhadap hutan yang sering dikenal dalam implementasinya sebagai ”kearifan lokal ( )”. Persepsi dalam bentuk kearifan lokal ini sebenarnya ideal sebagai ukuran kondisi hubungan yang seimbang ( ) antara hutan dan masyarakat dalam konteks ”model” hubungan yang saling menguntungkan ( ) atau dalam bahasa ekonomi lingkungan terjadi ”keselarasan antara

dan ” .

Dari berbagai kajian terhadap pustaka-pustaka yang terkait dengan model-model hubungan manusia-hutan dalam konteks sebagaimana tersebut di atas, terbukti tidak ada hubungan yang mempermasalahkan aspek kepemilikan hutan paling tidak dalam pengelolaannya secara komunal tersebut, semua diselenggarakan secara konkuren, dari dan untuk bersama, setiap pengingkaran terhadap kebersamaan identik dengan proses pengucilan diri yang bersangkutan dari komunitasnya. Secara lebih rinci persepsi masyarakat terhadap hutan sangat dipengaruhi oleh :

1. Pengalaman “hubungan manfaat” dan atau “hubungan bencana” yang pernah dialami secara murni tanpa intervensi pengaturan.yang melahirkan masyarakat dalam bentuk,

.

2. Tingkat pengetahuan tentang segala sesuatu tentang hutan baik secara formal maupun informal yang melahirkan dalam bentuk

3. Segala sesuatu peraturan yang secara formal mengatur tentang hubungan manusia dengan hutan baik di atas kertas maupun di lapangan yang mencerminkan keberfihakan tingkat kebolehan dan ketidak bolehan hubungan manusia dan hutan.

4. Kejelasan jaminan hukum atas hak, peran alokasi dan distribusi serta konsekuensi dan tanggung jawab dalam pengelolaan hutan.serta manfaatnya.

5. Keserasian aspek luas, besar dan mutu dari populasi penduduk dan tekanan kebutuhan akan lahan dlsb. dengan daya dukung optimal hutan yang tersedia yang dicerminkan dari kompetisi dalam tata ruang.

belaka

Cara pandang atau pemahaman hukum “apa itu” hutan dan manfaat serta hasil hutan, perlu semakin dipertegas dan fokus, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam konsepsi kebijakan, hingga implementasinya bagi semua fihak terkait di lapangan. Saat ini cara pandang per UU an terhadap “kawasan hutan” adalah :

), sehingga menimbulkan

. Pengelolaan hak penguasaan yang kemudian memberi wewenang pengaturan tersebut yang

dengan fungsi sebagai salah satu ciri tata laksana pemerintah

yang baik ( ).

Sementara kondisi di lapangan menunjukkan, bahwa ketidak jelasan Pengelola kawasan hutan berimplikasi pada tidak adanya kegiatan pengelolaan dan berujung pada kondisi kawasan rezim atau alias

yang mengundang kompetisi pemanfaatannya.(rambah/eksploitasi dahulu ijin diatur belakangan).

Kenyataan di atas mencerminkan, bahwa persepsi pengelolaan hutan harus dapat memfasilitasi kebutuhan berbagai rezim property sesuai sifat dan karakteristik hutan dan manfaat hutan, sehingga kebijakan pengelolaan yang ada akan

sebagai

secara dan (bentuk hakiki pemberdayaan masyarakat yang

bermartabat).

local wisdom equilibrium

Symbiose Mutualistis transfer

benefit transfer cost

Rezim of State's property right

harusnya tidak lepas dari konteks atau dijelmakan secara tidak berparadoks

good governance

de facto

non property open access public

goods

common pool goods

persepsi kearifan-kearifan

lokal

persepsi apresiasi terhadap kedudukan dan fungsi hutan secara berkesetaraan dalam sistem kehidupan.

Dominasi ketidak bolehan yang inkonsisten akan melahirkan persepsi apatis di satu sisi dan implementasi ilegal di sisi lain

Semakin tidak jelas maka kondisi hutan akan makin mencuat persepsi bahwa hutan berstatus “ ” dan berimplikasi pada makin kurang terjamin kelestariannya.

Persepsi yang dominan terhadap hutan adalah sebagai komoditi ekonomi yang mempunyai nilai pasar , sehingga layak/dapat di porto poliokan dengan bisnis komoditi lain.

Hak Penguasaan oleh Negara (

hak pengaturan pengelolaan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum yang timbul terkait dengan pemanfaatan hutan dan kawasan hutan oleh Pemerintah

“pelayanan prima”

akomodatif terhadap terwujudnya manfaat sosial, ekonomi dan ekologi/lingkungan hutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat lestari berkeadilan

open access

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

(7)

Dari Mix Rezim Property Menuju Alternatif Pemberdayaan Masyarakat

Jadi secara filosofis paling tidak ada dua hal yang saling terkait dan mutlak harus berdamai dan selaras untuk mewujudkan suatu kondisi pengelolaan hutan dalam konteks yang memberdayakan masyarakat, yaitu dan

terhadap manfaat sosial, ekonomi dan ekologi hutan yang akhirnya melahirkan ” ) .dalam upaya keberadilan akses pengelolaan hutan.

Runtut fikir di atas tersebut, kemudian menjadi dasar pengembangan alternatif pemberdayaan masyarakat berbasis mix rezim property yang unik, yaitu :

Tabel 1. Alternatif Pemberdayaan berbasis Rezim Property derivasi Persepsi

persepsi masyarakat

persepsi pemerintah mix rezim property

(“State Common pool/Public Private Goods

*)Yang dimaksud adalah Proporsi antara Produk Barang dan Jasa Hasil Hutan serta produk barang MPTS

G

L

A

N

L

O

BULETIN

Alternatif Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan HutanYang

mendukung Aspek Sosial, Ekonomi dan Lingk. No. Persepsi terhadap Hutan

dan Pengelolaan Hutan

(Pengelola Kawasan)

Arahan Lokasi

Kesatuan Penge

lolaan (KP)

Pola Budidaya &

pengusahaan

hutan

Pola Permodalan

1 Rezim ”State” (BUMN/D) H. Lindung H. Konservasi

Barang terbatas Jasa Lingk. besar

Invest. Pem. Saham Masy.

2 Rezim “Open Access”/ Public(”Pemilik”Non Kawasan Hutan Negara)

H. Desa H.Adat

H.Rakyat Komunal

Proporsi Bebas*), Menguntungkan & Berkelanjutan

Invest. Masy. Saham Swasta

3

Rezim"Private“Dalam dan Luar Kawasan Hutan

(HPH/Ht Rakyat) H. Produksi

Proporsi Bebas*), Menguntungkan & Berkelanjutan

(8)

Halaman

I. PENDAHULUAN

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), merupakan negara kepulauan ( ) terbesar di dunia dan diapit oleh dua benua (Asia dan Australia), memiliki posisi yang sangat strategis secara politik, sosial-ekonomi, kebudayaan dan pertahanan serta keamanan. NKRI memiliki batas wilayah intersional dengan 10 negara tetangga. Perbatasan didarat terdiri dari 3 (tiga) negara yaitu Malaysia, PNG dan Timor Leste. Sedangkan sebagai negara kepulauan Indonesia mempunyai batas maritim berupa batas laut wilayah (teritorial), batas landas kontinen dan batas Zone ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan 10 negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Timor Leste dan Australia.

Kawasan perbatasan baik sebagai bagian dari wilayah provinsi, kabupaten atau kota yang langsung bersinggungan dengan negara tetangga, secara nasional memiliki arti yang strategis namun sampai saat ini penataan dan pembangunan wilayah perbatasan belum dilakukan secara maksimal. Perkembangan daerah di wilayah perbatasan dirasakan lambat (masih tertinggal) dan memprihatinkan, tingkat kesejahteraan masyarakatnya rata-rata tergolong miskin. Pemerintah selama ini memandang wilayah perbatasan sebagai“halaman belakang”bukan“halaman depan”negara.

Menurut data dari Kementrian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menyebutkan 3 dari 5 kabupaten perbatasan negara di Kalimantan Barat (Kalbar), 3 kabupaten di Kalimantan Timur (Kaltim) dan 3 Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah tertinggal. Untuk itu perlu perhatian untuk menangani kawasan tersebut, namun tetap mempertimbangkan aspek keamanan, kesejahteraan dan lingkungan hidup. Berbagai kebijakan yang selama ini telah dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pembangunan wilayah perbatasan dan kesejahteraan masyarakat perbatasan diantaranya melalui pembentukan Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan (BP3WPK) yang dibentuk melalui Keppres No. 44 tahun 1994, namun hasilnya belum nyata terasa oleh masyarakat. Keadaan sosial ekonomi yang masih jauh tertinggal terasa sangat mencolok apabila dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat dari negara tetangga khususnya di sepanjang wilayah perbatasan Indonesia Malaysia di P. Kalimantan. Kebijakan selama ini masih bersifat kebijakan parsial sektoral belum terintegrasi lintas sektoral, kebijakan penanganan dan pengelolaan wilayah yang ada masih tumpang tindih dan belum terkoordinasi secara baik.

Kondisi seperti tersebut di atas apabila dibiarkan terus-menerus dapat menimbulkan kerawan dan gejolak sosial ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan (illegal logging, illegal trading dan pergeseran batas) bahkan kemungkinan terjadi penurunan rasa nasionalisme dan kebangsaan masyarakat di wilayah perbatasan yang pada akhirnya berujung pada diintegrasi. Wilayah perbatasan memiliki potensi yang cukup besar untuk ditata dan dikelola dengan baik, pembangunan wilayah dan kesejahteraan masyarakatnya dapat ditingkatkan melalui kebijakan pemerintah yang merubah pandangan halaman belakang menjadi halaman depan. Diharapkan dengan semakin meningkatnya kesejahteraannya masyarakat akan tercipta pertahanan dan keamanan dan sekaligus stabilitasi kawasan dapat tercapai.

Pemerintah saat ini sedang melakukan berbagai kajian untuk menetapkan berbagai kebijakan pembangunan wilayah perbatasan salah satunya melalui upaya sinkronisasi berbagai kebijakan dan program lintas sektor. Departemen Kehutanan saat ini telah menyusun dan menyelesaikan Rencana Strategik Pengelolaan Kawasan Wilayah Perbatasan Indonesia Malaysia di Kalimanatan yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 55/Menhut-VII/2004 tanggal 18 Pebruari 2004 dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Timor Leste di Pulau Timor yang dietapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor ; P.15/Menhut-II/2005 tanggal 28 Juni 2005.

Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Timor Leste di Pulau Timor merupakan salah satu acuan Departemen Kehutanan dan atau beberapa pihak terkait di Pusat dan Daerah dalam mengelola kawasan hutan wilayah perbatasan. Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan berlaku tahun 2004 s/d 2009, sedangkan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste berlaku tahun 2005 s/d 2009.

Substansi yang tertuang dalam Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan Republik Indonesia Timor Leste di Pulau Timor dapat dilihat pada uraian singkat sebagai berikut :

Archipelagic State

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Disarikan Oleh : Tedi Setiadi

RENCANA STRATEJIK (RENSTRA) PENGELOLAAN KAWASAN HUTAN

WILAYAH PERBATASAN RI - MALAYSIA DI KALIMANTAN

DAN

(9)

Wilayah perbatasan daratan Indonesia di Pulau Kalimantan yang berbatasan langsung dengan negara Bagian Sabah dan negara Bagian Sarawak (Malaysia Timur), membentang sepanjang ± 1.840 Km (mencakup wilayah Provinsi Kaltim sepanjang ± 1.035 Km dan Kalbar sepanjang ± 805 Km). Letak geografis wilayah perbatasan antara 109 10'-114 05' BT dan 0 30'-2 10' LU. Luas wilayah kawasan yang berada di Provinsi Kalimantan Barat seluas ± 7,2 juta ha, termasuk kedalam 5 Kabupaten yaitu Sambas, Bengkayang,Sanggau,Sintang dan Kapuas Hulu).

Wilayah perbatasan Indonesia-Timor Leste di P. Timor (Provinsi NTT) sepanjang 230 Km (batas daratan) terdiri dua bagian yaitu :

a. Wilayah perbatasan di Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan Distrik Ambenu Timor Leste sepanjang 115 Km ( Kab.Kupang sepanjang 10,5 Km dan Kab. TTU sepanjang 104,5 Km)

b. Wilayah perbatasan di Kabupaten Belu dengan Distrik Bobonaro dan Suai sepanjang 115 Km.

Letak geografis wilayah perbatasan Kabupaten Kupang, Kabupaten TTU Distrik Ambenu (Timor Leste) adalah 124 02'12”-124 28'28”BT dan 9 12'27”LS, Kabupaten Belu Distrik Bobonaro dan Suai (Timor Leste) 124 55'06”-125 10'39”BT dan 8 59'59”-9 28'13”LS. Luas wilayah perbatasan di Kabupaten Kupang (Kecamatan Amfoang Utara seluas 48.421 Ha), yang berbatasan langsung hanya 1 desa (seluas 10.465 Ha). Di wilayah Kabupaten TTU terdapat 3 kecamatan (Kecamatan Miomaffo Timur seluas 44.733 Ha, Miomaffo Barat seluas 44.730 Ha dan Insana Utara seluas 10.672 Ha). Desa-desa yang berbatasan langsung sebanyak 25 desa yaitu seluas 40.405 Ha. Sedangkan di Kabupaten Belu terdapat 5 kecamatan yaitu Kecamatan Tsifeto Timur seluas 27.585 Ha, Reihat seluas 8.721 Ha, Lamaknen seluas 21.431 Ha, Tasifero Barat seluas 28.443 ha dan Kobalima seluas 21.706 Ha. Desa-desa yang berbatasan langsung terdapat 31 desa seluas 86.426 Ha.

Sistematika Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan di Kalimantan terdiri dari beberapa bab yaitu : ; memuat latar belakang dan kondisi umum permasalahan kawasan hutan di wilayah perbatasan, maksud dan tujuan penyusunan renstra , sistematika penyajian serta ruang lingkup.

; memuat gambaran umum wilayah perbatasan antara lain : keadaan sosialbudaya masyarakat, permasalahan kependudukan, keadaan sarana dan prasarana wilayah termasuk aksesibilitasnya, kondisi kawasan hutan, perkembangan pengelolaan kawasan hutan.

; memuat permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan hutan wilayah perbatasan, serta analisa SWOT terhadap faktor internal dan eksternal yang dihadapi dalam pengelolaan hutan wilayah perbatasan.

; memuat landasan dan falsafah dalam pengelolaan hutan yang terdiri dari prinsip universal, kebijakan Departemen Kehutanan, strategi, tuntutan peran SDH dan fungsi khusus kawasan hutan di wilayah perbatasan serta rumusan visi da misi dalam pengelolaan kawasan hutan wilayah perbatasan.

; memuat isu-isu yang ada, penetapan kebijakan, penetapan tujuan dan sasaran serta penentuan program-programnya.

Sistematika penyajian Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste di Pulau Timor hampir sama dengan sistematika Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan di Kalimantan yang telah diuraikan di atas, namun ada beberapa perbedaan yaitu pada Bab III istilah “Permasalahan”menjadi“Isu-isu Strategis”, Bab V“Kebijakan, Tujuan, Sasaran dan Program”menjadi“Strategi, Kebijakan dan Program”ditambah dengan Bab VI “Penutup”.

Adapun Maksud penyusunan Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan Indonesia - Timor Leste di Pulau Timor adalah untuk melakukan reorientasi dan restrukturisasi kebijaksanaan dan strategi pembangunan kawasan hutan di wilayah perbatasan dalam meningkatkan kesejateraan masyarakat, pelibatan pemerintah daerah dan mewujudkan pengeloalan hutan lestari

( /SFM).

II. LETAK DAN LUAS WILAYAH

1. Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan

2. Wilayah Perbatasan Indonesia-Timor Leste di P. Timor

III. SISTEMATIKA PENYAJIAN

1. Pendahuluan

2. Deskripsi Umum Wilayah Perbatasan

3. Permasalahan

4. Visi dan Misi

5. Kebijakan, Tujuan, Sasaran dan Program

IV. MAKSUD DAN TUJUAN

V. VISI DAN MISI

o o

o o

o o o o o

o o

sustainable forest management

Adapun Visi dan Misi yang ditetapkan dalam Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan dan Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste di P. Timor adalah sebagai berikut :

G

L

A

N

L

O

(10)

Halaman

A. Visi :

B. Misi :

VI. ISU-ISU STRATEGI DAN PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Terwujudnya kelestarian hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mampu mendukung sistem pertahanan dan keamanan NKRI di wilayah perbatasan Kalimantan dan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1. Menjamin keberadaan hutan wilayah perbatasan; 2. Mengoptimalkan manfaat hutan wilayah perbatasan;

3. Pembenahan kelembagaan pengurusan hutan wilayah perbatasan.

1. Batas kawasan hutan secara dan baik dalam wilayah RI maupun di sepanjang garis perbatasan dengan Malaysia tidak jelas dan tidak mantap.

2. Pola pemanfaatan kawasan hutan di wilayah perbatasan belum optimal akibat kekurangan telitian informasi (peta topografi, peta tanah, peta iklim, peta vegetasi) yang dipergunakan sebagai dasar dalam penetapan f u n g s i penggunaan hutan di masa lalu.

3. Keadaan hutan sebagian rusak, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk berfungsi secara optimal

4. kegiatan pencurian kayu dan perdagangan yang melanggar hukum ( dan ) dari kawasan hutan di wilayah perbatasan telah lama terjadi dan semakin merebak.

5. Sistem pengelolaan hutan pada kawasan hutan perbatasan belum kondusif bagi keterlibatan dan partisipasi masyarakat disekitarnya.

6. Peraturan perundangan dalam bidang kehutanan antara peraturan pada tingkat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten belum harmonis.

7. Sistem kelembagaan pengurusan kawasan hutan di wilayah perbatasan belum jelas dan sangat lemah. :

1. Peta dasar tidak sama, terutama kawasan konservasi belum menjadi perhatian. 2. Aksesibilitas rendah termasuk kurangnya fasilitas pengamanan.

3. Batas negara berimpit dengan batas kawasan hutan, serta penataan batas belum partisipatif. 4. Adanya perbedaan persepsi hukum terhadap batas kawasan hutan.

5. Kebijakan pemerintah belum dan kurang memperhatikan kepentingan dan partisipasi masyarakat serta belum ada harmonisasi.

6. Pemanfatan SDH terlampau berpihak pada pemodal kuat.

7. Kurangnya pengembangan peluang pemanfatan hutan bagi masyarakat. 8. Adanya desakan ekonomi dan perubahan nilai kultural.

9. Pemanfatan kawasan hutan tidak sesuai dengan ijin yang diberikan serta bermotif jangka pendek. 10. Masyarakat sering dianggap bodoh, malas dan jarang diberi kesempatan dalam mengelola hutan. 11. Belum memperhatikan kearifan tradisional.

12. Pasar Indonesia tidak mengakomodasikan kayu padahal negara tetangga tidak, serta permasalahan kayu l mengarah kepada penadahan.

13. Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari.

14. Perbedaan antar peraturan perundangan, serta masih tingginya ego-sektoral termasuk interest kepentingan pusat dan daerah.

15. Proses penyusunan peraturan perundangan cenderung dianggap belum partisipatif serta mengabaikan hak-hak adat.

16. Penanggung jawab kawasan perbatasan belum jelas.

17. Sosialisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang ada belum berjalan optimal.

18. Sistem pengawasan kurang terpadu dan efektif serta kurang adanya dari pemerintah.

19. Belum adanya harmonisasi kerjasama dan koordinasi antara pemerintah pusat-daerah serta NGO dan masyarakat lokal.

20. Tata usaha kayu yang belum terkoordinasi antara RI dan Malaysia. 21. Perlu keselarasan antara hukum negara dan hukum masyarakat. 22. Belum ada kesepahaman antara RI-Malaysia mengenai . 23. Belum terpenuhinya kesejahteraan aparat penegak hukum.

24. Belum adanya alternatif bagi masyarakat untuk bekerja di sektor lain selain kayu.

25. Belum jelasnya mekanisme kewenangan masing-masing pihak terkait (pusat-provinsi-kab-pihak terkait lainnya).

A. Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Isu-isu strategis :

de jure de fakto

illegal logging illegal trading

Beberapa kendala yang menyebabkan timbul isu strategis

illegal illega

political will

illegal logging

G

P

L

A

N

L

O

(11)

B.

VII. KEBIJAKAN STRATEGI, TUJUAN, SASARAN DAN PROGRAM A. Kebijakan

B. Strategi

Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste di P. Timor

:

1. Batas kawasan hutan secara , baik dalam wilayah negara RI maupun di sepanjang garis perbatasan dengan Timor Leste, belum jelas dan belum mantap.

2. Keadaan hutan sebagaian besar dalam kondisi tidak berhutan, sehingga tidak memungkinkan hutan berfungsi optimal.

3. Kegiatan perambahan, pencurian kayu dan keamanan lahan dari kawasan hutan di wilayah perbatasan intensitas cukup tinggi ditambah banyak pengungsi eks Timor Timur masuk wilayah Indonesia.

4. Pembangunan hutan dan kawasan hutan perbatasan belum banyak menumbuhkan partisipasi masyarakat di sekitarnya.

5. Tindakan penegakan hukum ( ) terhadap kerusakan hutan masih lemah.

6. Sistem kelembagaan pengurusan kawasan hutan di wilayah perbatasan belum terbentuk dengan baik.

Berkaitan dengan pembenahan sistem pengurusan hutan yaitu : 1. Pembenahan status, kondisi dan pola pemanfatan kawasan hutan. 2. Pembenahan sistem perlindungan hutan.

3. Pembenahan sistem kelembagaan pengurusan hutan

4. Menciptakan lapangan pekerjaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan.

Strategi penanganan permasalahan pembangunan kehutanan wilayah perbatasan dilakukan melalui penetapan tujuan dan sasaran untuk mencapai misi yang telah ditetapkan.

Isu-isu strategis yang menjadi perhatian dalam pengelolaan kawasan hutan de jure dan de facto

law enforcement

Kendala permasalahan:

1. Aksesibiltas di NTT khusus dalam perbatasan sangat rendah termasuk kurangnya fasilitas pengamanan. 2. Batas negara berimpit dengan batas kawasan hutan, serta penataan batas belum pernah dilakukan. 3. Kurangnya pengembangan peluang pemanfaatan hutan bagi masyarakat.

4. Adanya desakan ekonomi dan perubahan nilai kultural.

5. Masih terbatasnya pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari.

6. Proses penyusunan peraturan perundangan cenderung dianggap belum partispatif serta mengabaikan hak-hak adat. 7. Sosialisasi peraturan perundangan dan kebijakan yang ada belum berjalan optimal.

8. Perlu keselarasan antara hukum negara dan hukum masyarakat. 9. Belum terpenuhinya kesejahteraan aparat penegak hukum.

C. Tujuan, Sasaran Dan Program Serta Kegiatan Pokok

G

L

A

N

L

O

BULETIN

Misi 1 : menjamin keberadan hutan wilayah perbatasan Renstra pengelolaan hutan wilayah perbatasan

RI-Malaysia

Rancangan Pengelolaan Hutan Wilayah Perbatasan RI-Timor Leste

a Tujuan :

Mendapatkan kepastian status lahan kawasan hutan secara de jure dan de facto.

mendapatkan kepastian status lahan kawasan hutan secara de jure dan de facto.

Sasaran :

Batas kawasan hutan dalam garis batas negara (RI dgn Malaysia) dan di dalam wilayah RI bersifat mantap dan bebas konflik

Batas kawasan hutan dalam garis batas negara (RI dgn Timor Leste) dan di dalam wilayah RI bersifat mantap dan bebas konflik

Kebijakan : - Pembenahan status, kondisi dan pola pemanfaatan kawasan hutan

Program : Pemantapan kawasan hutan Pemantapan kawasan hutan dan peningkatan jumlah sarana dan prasarana pendukung

Rancangan Kegiatan Pokok

:

q Sinkronisasi penataan ruang wilayah perbatasan q Penataan batas kawasan hutan partisipatif q Analisis/kajian pengembangan kawasan

konservasi di wilayah perbatasan q Pembentukan KPHP,KPHL, KPHK

q Sinkronisasi penataan ruang wilayah perbatasan

q Penataan batas kawasan hutan partisipatif q Pembentukan KPHL

b. Tujuan : tertib dan tata hukum dalam bidang kehutanan di wilayah perbatasan.

tertib dan tata hukum dalam bidang kehutanan di wilayah perbatasan.

Sasaran : Dapat diatasinya pelanggaran hukum dalam bidang kehutanan di seluruh wilayah di daerah perbatasan.

Dapat diatasinya pelanggaran hukum dalam bidang kehutanan di seluruh wilayah di daerah perbatasan.

Kebijakan : - Pembenahan sistem perlindungan hutan

Program : Intensifikasi penegakan hukum dibidang kehutanan Intensifikasi penegakan hukum dibidang kehutanan

Rancangan Kegiatan Pokok

:

q Intesifikasi pengawasan, pengendalian peredaran hasil hutan

q Pengendalian kebakaran hutan

q Pengembangan sistem pengawasan partisipatif q Koordinasi penegakan hukum

q Intesifikasi pengawasan, pengendalian peredaran hasil hutan

q Pengendalian kebakaran hutan

q Pengembangan sistem pengawasan partisipatif

q Koordinasi penegakan hukum termasuk meningkatkan kemitraan dengan masyarakat lokal dalam pengamanan hutan

(12)

Halaman

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

M isi 2 : M engoptim alkan m anfaat hutan w ilayah perbatasan

a Tujuan : M eningkatkan penutupan hutan pada kawasan hutan

dengan tegakan hutan yang berkualitas tinggi.

M eningkatkan penutupan hutan pada kawasan hutan dengan tegakan hutan yang berkualitas tinggi.

Sasaran : Areal hutan yang terbuka dan bekas tebangan dapat

dihutankan kem bali

Areal hutan yang terbuka dan lahan kritis dapat dihutankan kem bali

Kebijakan : - Pem benahan status, kondisi dan pola

pem anfaatan kawasan hutan

Program : Peningkatan kualitas sum berdaya hutan wilayah

perbatasan

Peningkatan Kualitas sum berdaya hutan wilayah perbatasan

Rancangan Kegiatan Pokok

:

q Pengem bangan social forestry pada HP yang

bebas oleh pem anfaatan lain

q Rehabilitasi Hutan Lindung dan Hutan Produksi

seluas ± 700 ribu Ha di Kalbar dan Kaltim

q Pem bangunan dan pem anfaatan hutan tanam an

q Pengem bangan social forestry untuk

peningkatan kesejahteraan m asyarakat

q Rehabilitasi hutan di Kabupaten Kupang,

TTU dan Belu dengan m elibatkan/partisipasi m asyarakat.

b Tujuan :

M endapatkan pola pem anfaatan kawasan hutan yang bersifat optim al berdasarkan karakteristik biofisik hutan

M endapatkan pola pem anfaatan kawasan hutan yang bersifat optim al berdasarkan karakteristik biofisik hutan

Kabijakan : - Pem benahan status, kondisi dari kawasan hutan

Sasaran : M antapnya pengelolaan kawasan hutan di kawasan

konservasi m aupun luar kawasan konservasi

M antapnya pengelolaan kawasan hutan di hutan lindung m aupun hutan produksi

Kebijakan : - Pem benahan status, kondisi dari kawasan hutan

Rancangan Kegiatan Pokok

:

q Pem anfaatan kayu pada hutan alam

q Pem anfaatan kayu pada hutan tanam an

q Pem anfaatan hasil hutan bukan kayu

q Pengem bangan wisata alam dan jasa lingkungan

pada kawasan hutan perbatasan

q Pem antapan pengelolaan kawasan konservasi

q Peningkatan kerjasam a kem itraaan RI-M alaysia

q Penelitian dan pengem bangan beberapa jenis

tanam an obat

q Pengem bangan alternatif-alternatif terbukanya

m anfaat sosial hutan

q Upaya pem berdayaan m asyarakat sekitar hutan

q Penyiapan dan peningkatan SDM Kehutanan

q Peningkatan pem anfaatan hasil hutan bukan

kayu

q Pengem bangan wisata alam dan jasa

lingkungan pada kawasan hutan perbatasan

q Peningkatan kerjasam a kem itraaan RI-Tim or

Leste

q Penelitian dan pengem bangan beberapa

jenis tanam an langka dan tanam an obat

q Pengem bangan alternatif-alternatif

terbukanya m anfaat sosial hutan

q Upaya pem berdayaan m asyarakat sekitar

hutan

q Penyiapan dan peningkatan SDM Kehutanan

Misi 3 : Pembenahan kelembagaan pengurusan hutan wilayah perbatasan

a Tujuan :

Diperolehnya perangkat peraturan perundangan yang lengkap dan harmonis antara peraturan pada tingkat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dalam bidang pengelolaan hutan di wilayah perbatasan

Diperolehnya perangkat peraturan perundangan yang lengkap dan harmonis antara peraturan pada tingkat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dalam bidang pengelolaan hutan di wilayah perbatasan

Sasaran :

Harmonisasi peraturan perundangan seluruh bidang dalam ruang lingkup pengurusan hutan di wilayah perbatasan

Harmonisasi peraturan perundangan seluruh bidang dalam ruang lingkup pengurusan hutan di wilayah perbatasan

Kebijakan : - Pembenahan sistem kelembagaan pengurusan hutan

Program :

Harmonisasi dan penyempurnaan peraturan perundangan dalam bidang pengelolaan hutan wilayah perbatasan

Harmonisasi dan penyempurnaan peraturan perundangan dalam bidang pengelolaan hutan wilayah perbatasan

Rancangan Kegiatan Pokok

:

q Identifikasi/kajian/analisis peraturan–peraturan pewrundangan yang ada

q Sinkronisasi/koordinasi/sinegi pusat-prov-kabupaten dalam penyusunan peraturan perundangan

q Identifikasi/kajian/analisis peraturan– peraturan perundangan yang ada

q Sinkronisasi/koordinasi/sinegi pusat-prov-kabupaten dalam penyusunan peraturan perundangan

b Tujuan :

Penerpaan praktek peneyenggraan pengurusan hutan melalui pola desentralisasi kehutanan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

Penerapan praktek penyelenggaraan pengurusan hutan melalui pola desentralisasi kehutanan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

Sasaran : Penerapan desentralisasi penyelenggaraan

kehutanan di wilayah perbatasan berjalan dengan baik

Penerapan desentralisasi penyelenggaraan kehutanan di wilayah perbatasan berjalan dengan baik

Kebijakan : - Pembenahan sistem kelembagaan pengurusanhutan

Program : Implementasi desentralisasi dalam bidang kehutanandi wilayah perbatasan Implementasikehutanan di wilayah perbatasandesentralisasi dalam bidang

Rancangan Kegiatan Pokok

: qq Identifikasi kewenangan pengurusan hutan Penyusunan tata hubungan kerja

q Identifikasi kewenangan pengurusan hutan q Penyusunan tata hubungan kerja

c Tujuan :

Diperolehnya kesepakatan mengenai bentuk organisasi dan mekanisme kerja dalam pengelolaan hutan wilayah perbatasan

Diperolehnya kesepakatan mengenai bentuk organisasi dan mekanisme kerja dalam pengelolaan hutan wilayah perbatasan

Sasaran :

Hubungan antara pemerintah pusat (Departemen Kehutanan dan instansi terkait), pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten dalam wilayah perbatasan terdefinisikan dan berjalan dengan harmonis

Hubungan antara pemerintah pusat (Departemen Kehutanan dan instansi terkait), pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten dalam wilayah perbatasan terdefinisikan dan berjalan dengan harmonis

Kebijakan : - Pembenahan sistem kelembagaan pengurusan hutan

Program : Penyempurnaan sistem organisasi pelaksana pengelolaan hutan daerah perbatasan

Penyempurnaan sistem organisasi pelaksana pengelolaan hutan daerah perbatasan

Rancangan Kegiatan Pokok

:

q Sinkronisasi pengembangan organisasi q Upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan

prasarana

q Sinkronisasi pengembangan organisasi q Upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan

(13)

G

L

A

N

L

O

BULETIN

Secara kodrat alami alur air selalu sejalan dengan alur hutan, ketika komunitas hutan menghilang, maka alur airpun mengering, maka sangatlah wajar ketika Daerah Aliran Sungai dari hulu sampai dengan hilir, disebut juga daerah tangkapan air dengan struktur geografis yang cekung dan komunitas hutan sebagai “penangkap air”nya.

Keberadaan hutan menjadi strategis, karena selain perannya menjadi penangkap air dalam siklus air yang mempengaruhi iklim lokal, regional dan global, hutan berperan pula sebagai”pabrik”yang langsung memprodusir barang dan jasa hasil hutan yang dapat dikonsumsi langsung dan berperan sebagai pendukung asupan bahan baku bagi pabrik pengolahan hasil hutan kayu maupun bukan kayu serta keberadaannya sebagai input pendukung lintas sektor.

Bencana kekeringan yang mengakibatkan kelangkaan air bagi kegiatan vital kehidupan manusia dan bencana kelebihan air yang mengakibatkan banjir, longsor dan erosi yang melanda banyak tempat di Indonesia menimbulkan kerusakan dan kerugian yang sudah dikategorikan , sehingga masuk bencana nasional. Bencana-bencana tersebut yang terjadi secara sistemik setiap tahun, tidak terlepas dari perilaku manajemen sumberdaya hutan dalam struktur DAS sebagai ekosistem yang berkorelasi langsung dengan konservasi air. Untuk itu tidak layak lagi proses kebijakan mulai dasar pemikiran, perumusan dan implementasi manajemen sumberdaya hutan berlangsung seperti biasa (

).

Begitu serius dan strategisnya krisis ekologi SDH ini, telah memicu krisis sosial berupa ketegangan dan konflik sosial berkepanjangan antara swasta masyarakat, pemerintah/BUMN masyarakat, antar masyarakat di pelbagai wilayah. Bentuk disharmoni kehidupan sosial tersebut. Bentuk disharmoni kehidupan social tersebut, tidak saja pada konflik horizontal (ekonomi, ekologi dan sosial) saja, tetapi juga konflik vertical (politik, pertahanan dan keamanan) di atara pengguna dalam suatu Negara maupun antar Negara.

Dapat diyakini, bahwa salah satu solusi untuk meminimalisasikan masalah SDH adalah dengan memperbaiki sistem manajemen SDH. Pemahaman, bahwa manajemen SDH merupakan usaha yang padat modal, sehingga mencuatkan usulan privatisasi SDH. Isu ini menimbulkan“pro dan kontra”, bagi yang pro berargumen , bahwa efisiensi manajemen SDH hanya dapat dicapai dalam skala lestari yang realtif besar dan padat modal, sedangkan manfaat ekonomi dapat didistribusikan dalam bentuk pemberian lapangan dan kesempatan kerja . Kelompok yang“kontra” menganggap privatisasi tidak sesuai dengan hak kodrati SDH itu sebagai sumber dan pendukung sumber kehidupan, sedangkan privatisasi akan menonjolkan SDH sebagai komoditas ekonomi yang komersial semata, sehingga“kemanfaatan SDH”hanya akan dimonopolii oleh golongan kaya dan sangat mungkin jauh dari dampak negatif dari pengelolaan SDH saja.

Tidak cukup jaminan konstitusi dan tekanan global terhadap keharusan keberadaan hutan, namun ternyata juga dibutuhkan bencana demi bencana sebagai media peringatan, bahwa keberadaan hutan dan fungsinya merupakan kebutuhan dasar umat manusia. Sebagai salah satu kebutuhan dasar, maka potensi daya dukung, akses, alokasi, distribusinya perlu diatur, agar tidak terjadi penguasaan bagi kepentingan yang terbatas, namun harus diarahkan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat (mahluk).

Amanat penguasaan dalam rangka pengurusan sumberdaya hutan disatu sisi dan disisi lain terdapat persepsi umum, bahwa hutan adalah“ ”atau paling tidak“ ”, mengakibatkan setiap kawasan hutan Negara yang belum jelas pengelola atau belum ada kegiatan pengelolaan secara fisik menjadi wilayah , sehingga yang terjadi dalam perumusan dan implementasi kebijakan berkutat pada masalah-masalah hak, kewenangan dan tenurial . Kondisi ini mencuat sebagai iklim upaya pemanfaatan hutan secara “kompetitif” dibandingkan “konkurensi”, dimana pembuktian keberhasilan pemanfaatan yang paling bersifat instant adalah perolehan materi atau boleh dikatakan paradigma yang digunakan adalah yang berorientasi pada pemuasan kebutuhan manusia dengan menafikan, bahwa keberadaan hutan dan fungsinya .merupakan kebutuhan dasar kehidupan dan tingkat kelangkaan hanya menjadi indikator tinggi rendahnya“harga”sebagai produk dinamika demand dan supply dalam pasar.

Terlepas dari amanat konstitusi dan derivasinya, cara pandang mana yang dianut dalam manajemen sumberdaya hutan akan tercerminkan dari bagaimana para fihak yang berkepentingan memperlakukan sumberdaya hutan (SDH), apakah sebagai komoditi ekonomi dan asset pembangunan yang bersifat sementara saja atau sebagai sumberdaya yang perlu dipertahankan keberlanjutan keberadaan dan fungsinya dalam wujudnya yang terpadu baik wilayah, antar sektor maupun lintas generasi.

Selain kerangka filosofis di atas, keputusan manajemen sumberdaya hutan juga dipengaruhi oleh proporsi dominasi antar ruang/ranah ( ) masyarakat ( ), Ruang Publik ( ) dan ruang pasar (

).

Ruang Swasta, sesuai dengan perilaku”ekonomi”nya cenderung akan memonopoli”sebesar-besar”manfaat SDH bagi sebesar-besar laba untuk kelompok Pemilik Modal dan menafikan distribusi manfaat dan akibat dampak eksploitasi SDH pada keberadaan dan multi manfaat SDH dalam jangka panjang Ruang sosial masyarakat sesuai dengan”nature”nya tidak akan berdaya untuk mengeksploitasi manfaat SDH secara luas dan optimal dan terbukti ketika pendekatannyapun hanya berdasarkan aspek ekonomi saja, ternyata juga berdampak negatif pula bagi keberadaan dan multi manfaat SDH dalam jangka panjang . Sehingga pada dasarnya baik itu domein swasta maupun domein masyarakat, ketika yang menjadi asas adalah kerangka filosofis , maka sumberdaya hutan (SDH) sebagai /

cenderung dieksploitasi dan dimanfaatkan secara tidak efisien untuk kepentingan jangka pendek, tanpa dilandasi kepentingan keberlanjutan kelestarian keberadaan dan dampak manfaatnya sebagai subsistem penunjang kehidupan antar /lintas generasi. Sebaliknya jika kerangka filosofis yang dijadikan landasan cara pandang, maka efisiensi

luar biasa

business as usual

public goods common pool goods

open acces

hedonis paradigm

domein social sector domain Public sector domain private

sector domain

antropocentrisme public goods coomon pool goods

ecocentrisme Hutan Sebagai Kebutuhan Dasar Kehidupan

Oleh : Syaiful Ramadhan

(14)

Halaman

Tabel 1. Perbedaan Cara Pandang Filosofis 2 Mazhab Ekonomi terhadap SDH

Berdasarkan kenyataan di atas tersebut, domein Pemerintah sangat diharapkan berperan menjadi pengarah pengelolaan SDH, agar SDH sebagai kebutuhan dasar maupun pendukung tersedianya kebutuhan dasar manusia dan kehidupan dapat teralokasi secara efisien, baik lintas wilayah, lintas sektor dan lintas generasi. Dikarenakan amanat UU adalah untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat dan berkelanjutan, maka kebijakan pengelolaan SDH yang diberlakukan haruslah menjamin akses pengelolaan dan distribusi manfaat yang berkeadilan bagi masyarakat. Hal tersebut harus pula tercermin mulai dari pelembagaan perencanaan pengurusan pengelolaan SDH, sampai dengan implementasinya.

Gambar 1. Tiga domain para fihak yang berkepentingan dengan sumberdaya hutan dengan masing-masing kepentingan yang berbeda

Apa penyebab atau mengapa suatu paradigma, kebijakan dan strategi yang umumnya menjadi aspek-aspek yang diyakini kemapanannya bisa menjadi dinamis atau berubah ? Telah menjadi suatu keniscayaan, bahwa yang abadi itu adalah perubahan yang saling berkait sesamanya itu sendiri. Perubahan lingkungan strategis internal maupun eksternal mau tidak mau telah memaksa diperlukannya perubahan kebijakan dan strategi dalam pengembangan sumberdaya hutan, bahkan lebih daripada itu nampaknya diperlukan adanya perubahan pradigma ( ). Hal ini mengingat perubahan-perubahan yang diperlukan menyangkut hal-hal yang bersifat filosofis mendasar terutama yang berkaitan dengan perilaku manusia terhadap sumberdaya hutan.

Faktor-faktor penyebab diperlukannya perubahan atau penyesuaian kebijakan dan strategi dalam pengembangan sumberdaya hutan tersebut antara lain meliputi :

Dinamika Paradigma, Kebijakan dan Strategi

paradigm change

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

No. Karakteristik Ekonomi Liberal Ekonomi Ekologi

1 2 3 4

1. Basic Cara Pandang Antropocentrisme (manusia adalah pemilik semua yang ada di bumi, olehkarenanya, setiap keputusan ekonomi harus mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan elemen alam lainnya.

Ekosentrisme (setiap ele men ekosistem ; manusia, hewan – tumbuhan memiliki kedudukan/hak sederajat dalam memperjuangkan /mendapatkan

kepentingannya)

2. Sistem Nilai Ekonomi Nilai ekonomi diturun kan dari

kelangkaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia semata.

Setiap benda di alam ini mempunyai intrinsic value

yang tak dapat dinilai secara konvensio nal oleh piranti ekonomi.

3. Perilaku terhadap alam Exploitatif(destruktif) Ramah Lingkungan

1 2 3 4

4. Faktor utama pendo rong pemanfaatan

Kesejahteraan hidup manusia terpenuhi melaluipemenuhan kebutuhan konsumsi

Kesejahteraan manusia ditentukan oleh tingkat kemampuannya untuk bersymbiose mutualistis dengan alam lingkungan nya. 5. Status manusia dlam

ekosistem

Manusia adalah produ cers

danconsumer

Manusia hádala warga ekosistem yang berstatus sama dengan mahluk lain dalam kegiatan konsumsi dan produksi.

6. Keputusan dalam pe manfaatan SDH

Pasar sebagai satu-satunya lembaga pe ngatur alokasi sumber daya

Kelembagaan politik (konstituen)juga penting selain kelembagaan ma syarakat dan pasar

Ruang Masyarakat

Ruang Publik/Pemerintah Pasar/Privat/SwastaRuang Filosofi

(15)

G

L

A

N

L

O

BULETIN

1. Perubahan lingkungan strategi internal reformasi, demokratisasi menunju masyarakat madani ( ), otonomi daerah, tata laksana pemerintahan yang baik ( ), hak asasi manusia dlsb.

2. Perubahan lingkungan strategis eksternal globalisasi, perdagangan bebas, revolusi teknologi informasi, permaslahan lingkungan global dll.

3. Keterbatasan kemampuan Negara / pemerintah dalam manajemen pengembangan sumberdaya hutan, khususnya menyangkut pendanaan reboisasi, rehabilitasi kawasan hutan.

4. Berkurangnya ketersediaan hasil hutan kayu, karena deegradasi hutan alam dan lambannya pengembangan hutan tanaman di satu sisi, dan meningkatnya kebutuhan hasil hutan sebagai dampak kenaikan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan ekonomi terkait lainnya.

5. Kerugian materiel maupun immaterial dari kerusakan sumberdaya hutan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan yang berdampak pada dampak kerugian ekonomi ganda dari kerugian akibat kekeringan dan dari bencana banjir, longsor dan erosi.

6. Effisiensi industri hulu maupun hilir kehutanan masih rendah dan berimplikasi pada kebutuhan alokasi bahan baku yang sangat besar untuk mencapai kapasitas terpasang.

7. Perumusan dan implementasi kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam manajemen sumberdaya hutan masih belum menyentuh akar permasalahan, padahal permasalahan yang dihadapi terjadi berulang secara sistemis, berdampak negatif yang luas terhadap kesejahteraan ( ), keamanan dan kestabilan nasional (

)

Dari faktor-faktor penyebab di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana perubahan paradigma dari para pihak yang berkepentingan yang diperlukan bagi revitalisasi dan restrukturisasi manajemen sumberdaya hutan dengan mengkorelasikan revitalisasi secara intergratif dengan dampak ganda ekonomi, ekologi dan sosial baik yang bersifat positip ataupun negatif dalam manajemen pengembangan sumberdaya hutan...

2. Upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan dalam menyeimbangkan daya dukung sumberdaya hutan dengan permintaan pemanfaatannya dalam konteks keseimbangan terpadu diantara 3 (tiga) domein ekonomi, ekologi dan sosial yang menjadi ciri pembangunan yang berkelanjutan di satu fihak dan keseimbangan akses manajemen sumberdaya hutan di atara 3 (tiga) domein Masyarakat (Sosial), Pemerintah dan Swasta ( ). Dalam pemanfaatan sumberdaya hutan. 3. Bagaimana pengalokasian sumberdaya hutan antar wilayah, antar sektor dan anatar waktu ( ) secara adil

dan merata bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4. Bagaimana meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan dan langkah-langkah privatisasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat (miskin) di dalam dan di sekitar hutan dalam konteks otonomi/desentralisasi.

5. Bentuk dan mekanisme kelembagaan yang bagaimana yang diperlukan dalam rangka manajemen pengembangan sumberdaya hutan dalam konteks tata laksana pemerintahan yang baik ( ).

6. Gerakan-gerakan Nasional apa saja yang diperlukan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat bagi pembinaan dan pengembangan sumberdaya air.

Mengingat keberadaan dan fungsi sumberdaya hutan secara filosofis sangatlah strategis, karena terkait erat dengan ”pabrik” barang jasa yang bermanfaat bagi kehidupan (air, O , amenities, knowledge development resources dll) dan sebagai ”penyerap sekaligus pelarut polutant (CO )” serta sebagai barrier pelindung wilayah budidaya dari berbagai potensi malapetaka alami, yang secara kumulatif berkonsekuensi pada kompleksitas permasalahannya, maka keterlibatan Pemerintah dalam manajemen pengembangan sumberdaya hutan (alokasi, distribusi sumberdaya) merupakan suatu keniscayaan.

`Keterlibatan atau intervensi Pemerintah tersebut diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berfungsi mendasar bagi tujuan tercapainya penggunaan sumberdaya hutan (Kawasan hutan dan segala kandungan isi di dalamnya) untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat. Perubahan paradigma dan retrukturisasi kebijakan yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

1. Perubahan paradigma meliputi ;cara pandang ekonomi liberal (hedonis) menuju ekonomi dan ( ) ekologi (lihat tabel 1.) dan dari domein(ruang) kepentingan sosial ekonomi sebagai domein tunggal/parsial mengarah kepada domein kepentingan tripartite yang sinergis (lihat gambar 1.)

2. Perubahan pada butir 1. menjadi acuan diadakannya perubahan total dari pola fikir para fihak terutama dalam persepsi pembuat kebijakan, perubahan perilaku serta perubahan dalam praktek implementasi kebijakan.

3. Perubahan dalam kebijakan dan strategi menyangkut Konsepsi, Korelasi, Komitmen dan Konsistensi dalam arti mencakup kepentingan lintas wilayah, lintas sektor dan lintas generasi secara sinerjis.

4. Pada prinsipnya ”privatisasi pengelolaan SDH dalam koridor menanggulangi ”tragedi ekstra laju degradasi SDH ( ) melalui tanggung jawab swasta dan pemerintah dalam peningkatan efisiensi pemanfaatan SDH tanpa mengurangi akses dan distribusi manfaat SDH bagi golongan miskin. Privatisasi hanya dalam batas manajemen SDH tetapi tidak dalam konteks pemilikan.SDH serta kebijakan juga mengatur batas maksimal kepemilikan saham bagi swasta, agar posisi tawar pemerintah dalam pengarahan kebijakan yang ” ” tetap kondusif.

5. Partisipasi masyarakat secara luas dalam pengurusan dan pengelolaan SDH harus dikondisikan secara sistematis dalam bentuk Gerakan Nasional yang mengarah pada perubahan cara pandang dan perilaku masyarakat terhadap SDH bagi kepentingan luas mereka sendiri dalam jangka panjang.

civil society good governance

human wellbeing National security and

stability

Private

annual generation

good governance

cum

tragedy of the common

pro poor Permasalahan

Perubahan Paradigma dan Restrukturisasi Kebijakan dan Strategi

2

(16)

Halaman

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Dalam rangka menerapkan prinsip konservasi, yaitu pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari, maka salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan ekowisata, khususnya di Taman Nasional. Sebagai upaya memberikan pemahaman lingkungan kepada pengunjung dan untuk menerapkan prinsip utama ekowisata sebagai aktivitas wisata yang ramah lingkungan dan tidak melupakan unsur pendidikan lingkungan, maka diperlukan cara pembelajaran yang efektif kepada pengunjung terutama sebelum mereka memulai aktivitas wisatanya, cara yang dapat ditempuh yaitu melalui pengembangan interpretasi pengunjung. Kegiatan interpretasi merupakan pengembangan jalur atau jembatan komunikasi antara alam dengan pengunjung, salah satunya melalui pengembangan fasilitas visitor center.

Menurut Sharpe (1982), visitor center, pada umumnya adalah pusat dari kegiatan interpretasi dari suatu kawasan, sehingga visitor center ini merupakan memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Pengambilan keputusan untuk membangun fasilitas visitor center harus dipertimbangkan secara matang. Visitor center diyakini memiliki fungsi utama sebagai titik utama bagi pengunjung untuk memulai kegiatan wisatanya, sehingga sebuah visitor center diharapkan dapat menyediakan gambaran umum mengenai kawasan wisata yang disampaikan kepada pengunjung melalui berbagai media komunikasi. Kemudian yang perlu diperhatikan bagi pengelola, visitor center juga harus mampu memberikan informasi kepada pengunjung khususnya mengenai bagaimana langkah dan cara beraktivitas pada saat kondisi cuaca yang kurang mendukung, sehingga langkah ini dapat menekan tingkat kecelakaan pengunjung dalam berwisata. Dengan demikian, pada intinya sebuah fasilitas visitor center berfungsi untuk menyediakan kesempatan bagi pengunjung untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam benak mereka.

Berikut adalah beberapa contoh pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dari pengunjung: Dimana lokasi toilet?

Dimana lokasi bumi perkemahan?

Dimana kami bisa membeli makanan dan minuman? Dimana lokasi terbaik untuk dapat melihat satwa liar? Kapan program paket wisata ini diberangkatkan? Apakah di daerah ini sering terjadi angin kencang? Dimana lokasi terbaik untuk melihat matahari terbit? Objek wisata apa saja yang dapat dilihat di sini?

Apakah kami boleh memetik buah/tanaman di dalam kawasan? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai objek wisata? Mengapa kawasan ini disebut Taman Nasional?

Paket wisata apa saja yang ditawarkan? Dsb.

Gambar

Tabel 1. Alternatif strategi terbaik untuk setiap komponen kegiatan dalam Pengem bangan Pemantapan Kawasan HutanJangka Panjang
Gambar 1. Tiga domain para fihak yang berkepentingan dengan sumberdaya hutan dengan masing-masingkepentingan yang berbeda

Referensi

Dokumen terkait

Bekasi, Telusurnews.com – Perusahaan pembuang limbah PT Millenium Laundry yang berlokasi di Pangkalan 3, Narogong Kecamatan Rawalumbu di segel Pemerintah Kota

Hasil analisis uji T memperlihatkan terjadinya penurunan kadar kolesterol total dan kadar LDL serum pada tikus secara bermakna antara kelompok sebelum dan

VISI MISI TUJUAN STRATEGIS SASARAN KEGIATAN INDIKATOR KINERJA SASARAN KEGIATAN (IKSK) Birokrasi LAPAN Yang Transparan Dan Akuntabel 1. Melaksanakan Penguatan

inderanya ,Anak mulaimeniru perilaku keagamaan secara sederhana danmulai mengekspre-sikan rasa sayang dan cinta kasih,Anak mampu meniru secara terbatas perilaku

Sebagai contoh adalah adanya sajian khusus Toraja (kopi Toraja) dikemas dalam interior yang memiliki ragam hias Toraja dengan pengaplikasian yang baik, tetapi ada beberapa

)umla* emili* Ter Terdafar dalam Dafar dafar dalam Dafar Pemili* Tamba*an +DPTb.. Pemili*

dan RAM pada Raspberry Pi dalam melakukan fungsi sistem monitoring rumah dapat berjalan dengan baik, walaupun dengan pemrosesan yang tinggi hingga mencapai 100%

Pada tingkatan awal, apabila aborsi dilakukan ketika nutfah (paduan antara air sperma dan sel telur) telah menetap di dalam rahim dan telah bercampur dengan air (sel telur)