CLIMATE CHANGE UPDATE
Volume 03/2016
Muhammad Yusuf
REDD+, Ancaman atau Peluang: Refleksi Implementasi
Sertifikasi Plan Vivo di Wilayah Sistem Hutan Kerakyatan
Ratna Nataliani
COP 21: Menangkap Kesempatan Menuju Indonesia
yang Berkelanjutan
Epistema Climate Change Updatemerupakan publikasi berkala dwi-bahasa Indonesia dan Inggris yang diterbitkan oleh Epistema Institute. Publikasi ini menyajkan secara ringkas dan bernas perkembangan terkini kebijakan dan wacana perubahan iklim di Indonesia.
Dewan redaksi: Yance Arizona, Luluk Uliyah, Muki T. Wicaksono, Desi Martika V, Yustina Murdiningrum
Tata letak: Andi Sandhi
Foto: Berbagai sumber
Jalan Jati Padang Raya No. 25, Jakarta Selatan, 12540. Telepon: +62 21 7883 2167 Fax: +62 21 7883 0500
Pendahuluan
Sejauh ini, proyek pengaturan sumberdaya alam dan perbaikan lingkungan (ekologi) oleh pelbagai institusi global di Indonesia menyiratkan bahwa seluruh proyek-proyek perbaikan lingkungan dan ekologis tersebut bukan suatu hal netral, tetapi meniscayakan pengaturan-pengaturan sosial politik dan ekonomi di tingkat komunitas. Di antara mega proyek tersebut adalah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim berbasis lahan dan hutan (REDD+). Pemilihan kata “mega” bukanlah hal yang berlebihan atau tanpa alasan bila melihat pengerahan dana publik berikut kebijakan pendukung di tingkat global, nasional hingga lokal dalam mendukung proyek REDD+. Laporan tim studi yang diprakarsai oleh Climate Policy Initiative bekerjasama dengan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2014) menyebutkan, pada tahun 2011, setidaknya sebesar Rp 8,4 triliun (USD 951 juta) dana untuk perubahan iklim berasal dari sumber-sumber pendanaan publik, baik dari dalam negeri (Rp 5,5 triliun) maupun pendanaan yang bersumber dari dana publik internasional (Rp 2,9 triliun). Bahkan direncanakan, Pemerintah Kerajaan Norwegia bersama Global Green Growth Institute (GGGI) akan memberi hibah kepada Indonesia sebesar 19 juta dollar AS (setara dengan Rp 250 miliar) untuk mendukung investasi hijau di sektor energi terbarukan Indonesia, zona ek onomi k hus us, keh utan an da n s ektor-s ektor pemanfaatan lahan lainnya (kompas.com, 27 November 2015).
Layaknya sebuah gelombang besar yang sulit dihindari muncul pertanyaan mendasar, bagaimana komunitas sekitar hutan (selanjutnya disebut komunitas Sistem Hutan Kerakyatan/SHK) yang memiliki keterikatan kuat terhadap sumberdaya hutan dan para pendukung SHK merespon proyek-proyek perbaikan lingkungan dan REDD+ tersebut? Sejauh mana proyek-proyek tersebut dimaknai dan ditempatkan dalam aktivitas komunitas dan pendukung SHK? Akhirnya, sejauhmana kendala dan peluang (jika ada) kebijakan dan praktek perbaikan tata kelola hutan di tingkat tapak?
Menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini mencoba merefleksikan pengalaman keterlibatan penulis dalam mengembangkan model imbal jasa lingkungan (Payment Environmental Services/PES) karbon komunitas melalui
sertifikasi Plan Vivo yang diinisiasi oleh Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) bersama lembaga mitra di regional.
Melampaui debat dan diskursus narasi-narasi besar terhadap proyek global REDD+, memandang kehidupan rakyat di sekitar hutan sebagai komunitas yang terisolir dari lingkungan luar (global) adalah cara pandang romantis yang menuntut cara pandang kritis terhadapnya, terlepas ada tidaknya REDD+. Di beberapa lokasi proyek dan wilayah kelola sistem hutan kerakyatan (SHK), selain kayu, pemanfaatan hutan oleh komunitas adalah budidaya perkebunan melalui sistem agroforestri yang pasarnya tidak hanya lokal namun merupakan komoditas ekspor seperti kopi, kakao, kayu manis dan sebagainya. Aktivitas perdagangan komoditi global ini telah terbangun sejak era kolonial yang pada gilirannya menentukan pola-pola hubungan lokal dan global. Mengikuti pandangan Chayanov (1966: 258), “melalui kaitan-kaitan ini (hubungan perdagangan, penulis), setiap petani kecil menjadi bagian organik dari ekonomi dunia, mengalami dampaknya kehidupan ekonomi dunia, menjadi dikendalikan dalam pengelolaannya oleh tuntutan-tuntutan ekonomi kapitalistis global, dan pada gilirannya, bersama jutaan s es a ma p eta n i, m em pe n ga ru h i s e lu ru h si st em perekonomian global.”
REDD+, Ancaman atau Peluang: Refleksi Implementasi Sertifikasi Plan Vivo
di Wilayah Sistem Hutan Kerakyatan
Muhammad Yusuf1
1
Manajer Pengelolaan Pengetahuan Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK). Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected] / [email protected]
Seorang Petani Hutan K me asyarakatan Bukit Regis Lampung sedang mengukur diameter pohon di dalam plot ukur stok karbon di wilayah usulan sertifikasi Plan Vivo (dok. Watala Lampung)
Kenapa Plan Vivo?
Di kalangan pemerintah, pemerhati dan praktisi lingkungan, REDD+ merupakan wacana yang mengundang debat yang tak kunjung usai. Astuti (2013) mengutarakan, terbukanya ruang partisipasi oleh pemerintah dalam proyek REDD+ telah mendorong aktivis mengadopsi “subjektivitas baru” yang menempatkan mereka sebagai konsultan atau birokrat, tanpa terburu-buru melihatnya sebagai depolitisasi gerakan lingkungan. Perdebatan lainnya adalah bagaimana prinsip ekuitas atau kesetaraan harus didefinisikan, kepada siapa seharusnya manfaat ini dibagikan dan bagaimana mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing). Namun, perubahan iklim global dan makin merosotnya fungsi layanan ekosistem hutan adalah kenyataan saat ini yang kerap kali justru diabaikan dalam substansi perdebatan yang bertolak dari petani hutan sebagai pelaku sekaligus korban dari praktik pembangunan kehutanan selama ini. Pertanyaannya, siapa yang akan bertanggung jawab atas persoalan ini? Adakah mekanisme y a n g m e n j a m i n p e l i b a t a n k o m u n i t a s d a l a m mengkomunikasikan dan mengkampanyekan praktik-praktik pengelolaan hutan pada proyek-proyek global perbaikan hutan dan lingkungan?
Komitmen pemerintah Indonesia terhadap adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di sektor lahan dan hutan terbilang responsif bila dilihat dari sisi produk kebijakan. Tanpa terkecuali Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) bersama lembaga mitra sejak 2013 telah menginisiasi praktik imbal jasa lingkungan karbon komunitas melalui sertifikasi Plan Vivo sebagai bentuk keterlibatan aktif merespon REDD+. Seperti diketahui,2
imbal jasa lingkungan karbon atau keberadaan pasar karbon saat ini umumnya berupa pasar sukarela (voluntary market) yang membutuhkan sebuah standar Plan Vivo satu, diantaranya yang diakui di Indonesia. Menurut Lampiran II Permenhut No. P.36/Menhut – II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung, terdapat Standar CCB, Standar Carbon Fix, Standar Plan Vivo dan Voluntary Standard(lihat Tabel 1). Di antara standar (protokol) tersebut, Plan Vivo merupakan standar yang difokuskan bagi komunitas pengelola hutan di pedesaan. Plan Vivo sendiri adalah sebuah yayasan yang didirikan pada tahun 2008 berkedudukan di Edinburgh, Inggris. Pendirian lembaga ini berawal dari kegiatan riset-aksi yang dilakukan di pedesaan Meksiko pada tahun 1994, dan bertujuan mengembangkan skema pendanaan alternati bagi masyarakat pedesaan yang bergantung darif pengelolaan sumberdaya hutan.
Keterpilihan skema Plan Vivo bukan tanpa melewati diskusi kritis di jejaring advokasi gerakan SHK. Disadari
skema tersebut masih mengandung "polemik", penuh kendala, dan mengundang debat seputar keadilan ekologis dan keberlanjutan sumber penghidupan rakyat di sekitar hutan. Satu dari perdebatan klasik itu adalah posisi gerakan SHK dalam menuntut komitmen negara-negara Utara (industri) dan korporasi global mengurangi emisi karbon dan perbaikan lingkungan akibat praktik industri ekploitasi sumberdaya alam baik di wilayah-wilayah tujuan investasi mereka termasuk Indonesia.
Dari semua pro-kontra, skema Plan Vivo secara prinsip dipandang masih sejalan dengan sembilan prinsip SHK yakni, pelaku utama adalah rakyat; lembaga pengelola hutan dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol oleh rakyat; memiliki wilayah kelola (hutan) dan sistem hukum yang berlaku di komunitas; interaksi antara komunitas dan wilayah kelola (hutan) bersifat langsung dan erat; pengetahuan dan teknologi lokal/kerakyatan melandasi pengelolaan dan pemanfaatan hutan; skala produksi sumberdaya hutan dibatasi prinsip kelestarian dan keberlanjutan; keanekaragaman hayati menjadi dasar dalam pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya; dan mengedepankan kesetaraan sosial (gender) dalam pengelolaan wilayah SHK. Tepatnya pada Mei 2014,4
beberapa l embaga dan pe man gku kepentin gan berkomitmen mendirikan konsorsium PES Indonesia. Beber pa lembaga tersebut antara lain:a LSM pendamping( masyarakat) yakni LATIN,SSS, WARSI, ICS, LTA, WATALA, KAIL, KBCF, Teropong, Transform, SCF, Wallacea; dan
lembaga donor: KEMITRAAN, Samdhana Institute, Ford Foundation, ICCO, dan Organisasi pendukung untuk aspek teknis KpSHK FFI: , , CFI, WRI, Yayasan Perspektif Baru
Wilayah Uji Coba
Terhitung sejak tahun 2013 hingga Nopember 2015, beberapa wilayah yang menjadi proyek percontohan program PES Carbon Komunitas KpSHK - ICCO Cooperation tersebar di wilayah Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara. Dari seluruh lokasi proyek percontohan yang sedang berjalan, beberapa lokasi telah masuk ke tahap review Project Idea Note (PIN) Plan Vivo yakni: empat hutan adat di Kabupaten Kerinci, Jambi; dua Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu; dua Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat, Lampung; satu Hutan Kemitraan Jember, Jatim; empat LPHD (Lembaga Pengelola Hutan Desa) di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng; satu Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat; dan satu LPHD di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Sementara di wilayah lain masih dalam tahap penulisan PIN (Tabel ).2
Pengelolaan SHK dan Tantangan PES di Tingkat
Tapak
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, memandang komunitas dan tata kelola SHK sebagai sesuatu yang terisolir dari intervensi luar adalah pandangan romantis yang menuntut cara pandang objektif melihat pengelolaan hutan di unit-unit SHK. Pembatasan akses dan pengingkaran penguasaan faktual dan historis komunitas di pinggir hutan, proyek intervensi perbaikan lingkungan baik dari pemerintah, badan pembangunan internasional maupun LSM lingkungan, dinamika demografis (migrasi penduduk antar wilayah) hingga ekspansi bisnis ekstraktif skala besar berbasis lahan secara langsung menuntut komunitas berinteraksi dengan beragam agenda pembangunan tersebut.
Beberapa komunitas lokal turut memanfaatkan peluang kebijakan yang menyediakan saluran penguasaan dan pengelolaan hutan melalui skema perhutanan sosial (HKm dan HD/Hutan Desa) maupun skema kemitraan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Perhutani dan Taman Nasional (khas Jawa). Dalam hal ini, seluruh model penguasaan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat di kawasan hutan negara secara praktis mengenalkan tata kelola lahan (land governance) yang baru kepada komunitas
setempat yang diklaim mengadopsi pengelolaan hutan secara ilmiah (forestry science).6 Padahal beberapa masyarakat adat/komunitas lokal masih memiliki pengetahuan tersendiri terhadap konsep ruang/wilayah mereka termasuk antara lain, pengelolaan hutan oleh komunitas adat Kerinci yang masih mempraktikkan konsep lokalAjun Arahdalam menata ruang, dan pengelolaan HKm oleh komunitas Rejang Kapahiang Bengkulu yang masih mengenal kearifan lokal dalam budidayaKabau.
Tidak dipungkiri, dalam hal ini pengetahuan asli komunitas telah berinteraksi dengan intervensi pengelolaan hutan dari luar yang turut mengenalkan prosedur, pengetahuan teknik-teknik pengelolaan hutan dan kelembagaan baru. Pada konteks ini, interaksi pengetahuan asli komunitas dengan beragam pengetahuan yang didesakkan dari luar menyisakan pertanyaan uji bersama, apakah interaksi pengetahuan tersebut berdampak kepada arah perubahan yang lebih baik? Dan yang terpenting, perlu dikoreksi bersama anggapan bahwa pengetahuan asli komunitas
dalam mengelola hutan telah lama sirna sejak pemberlakuan UU Kehutanan dan perluasan bisnis kehutanan berbasis kayu skala besar.
Imbal jasa l in gkung an sendiri bukan hal baru di b e b e r a p a l o k a s i S H K . Kelompok HKm di Register 45B Lampung Barat misal, telah membangun mekanisme imbal j a s a l i n g k u n g a n a n t a r a kelompok HKm yang berada di hulu dengan komunitas desa yang berada di hilir. Sejak p e r e n c a n a a n a w a l pe mben tuka n H Km y an g didampingi oleh LSM Watala L a m p u n g , k e s e p a k a t a n
tentang pentingnya keberadaan hutan di wilayah hulu (lokasi HKm) terhadap kehidupan masyarakat di daerah hilir telah dibangun tidak hanya di tingkat kelompok, namun antar desa.
Imbal jasa lingkungan karbon komunitas sendiri adalah istilah yang relatif baru. Tidak mengherankan jika dalam sosialisasi hingga pelaksanaan sertifikasi Plan Vivo di level komunitas memunculkan berbagai tantangan. Bagaimana menjelaskan transaksi karbon, pembagian manfaat, hingga pengukuran stok karbon di wilayah proyek adalah sederetan tantangan yang dihadapi lembaga mitra pendamping.
Sejauh ini, pembahasan penurunan emisi karbon masih berkisar pada seberapa besar karbon dapat mendatangkan manfaat ekonomi, tetapi luput mempertimbangkan bagaimana karbon dapat dijual dengan skema yang tersedia sehingga manfaat ekonomi karbon tersebut dapat terwujud. Tidak mengherankan, pembayaran jasa ekosistem karbon dari pengguna kepada penyedia umumnya belum terjadi khususnya di Indonesia yakni pasar karbon (carbon credit) komunitas di tingkat nasional yang belum terbangun. Terkecuali beberapa uji coba melalui pendekatan proyek. Sementara permintaan pasar karbon global saat ini di dorong oleh komitmen negara- negara maju terhadap Protokol Kyoto. Target negara maju inilah yang menciptakan permintaan pada pasar karbon. Dalam skema Protokol Kyoto, sesama negara maju bisa saling memperdagangkan emisinya atau bisa dengan mekanisme carbon offsetmelalui CDM (Clean Development Mechanism), yaitu hak emisinya berasal dari negara-negara berkembang.7
Kondisi pasar karbon saat ini cukup lesu. Menurunnya p e r e k o n o m i a n d u n i a meng akibatka n aktivitas negara-negara maju juga menurun yang kemudian berdampak pada turunnya e m i s i m e r e k a . H a l i n i menyebabkan permintaan (demand) untuk karbon juga menurun.
K e r u m i t a n l a i n y a n g dihadapi pada pelaksanaan sertifikasi Plan Vivo yakni pengukuran karbon stok atau baseline di wilayah usulan proyek. Telah diutarakan sebelumnya, salah satu prinsip penerapan sertifikasi Plan Vivo adalah kualitas vegetasi, kea nekaragaman hayati, tutupan lahan dan perbaikan tata kelola hutan harus dapat diukur dan dipantau secara kuantitatif. Karbon stok merupakan ukuran pokok yang diakui di pasar karbon; karbon stok ekuivalen jumlah tutupan lahan (pohon) ekuivalen nominal uang. Perhitungan stok karbon mensyaratkan penerapan sains kehutanan yang ketat ,antara lain syarat adanya verifikasi (pengakuan) oleh para validator yang "asing" bagi komunitas bahkan bagi lembaga pendamping sendiri. Dalam menghitung stok karbon, pemilihan metode sangat penting dalam menentukan stok karbon atau baseline project serta jenis kegiatan yang akan dilakukan oleh komunitas. Terdapat dua jenis metode utama yang saat ini dikenal dalam pelaksanaan sertifikasi Plan Vivo, yakni (1)
4
Alat untuk plot ukur stok karbon di wilayah usulan sertifikasi Plan Vivo (dok. Watala Lampung)
avoid deforestation; dan (2)ecosystem rehabilitation. Pada avoid deforestation, yang dimunculkan adalah skenario pengendalian tingkat deforestasi atau setara dengan berapa banyak pohon dan luasan lahan yang dapat dijaga untuk tidak ditebang dalam 10 tahun. Sementaraecosystem rehabilitationlebih fokus pada seberapa banyak pohon dan luasan yang dapat ditumbuhkan dalam 10 tahun mendatang. Masing-masing metode tersebut berdiri sendiri karena sangat berimplikasi pada kegiatan pemantauan (monitoring) tahunan. Pada kenyataannya, inventoryatau pendokumentasian jenis vegetasi saat ini merupakan kekayaan pengetahuan yang masih hidup di komunitas. Hal lainnya, introduksi skema perhutanan sosial negara (HKm dan HD) mensyaratkan pemantauan reguler per lima tahun sebagai dasar perpanjangan ijin kelola, sehingga bagi pendamping dan komunitas yang wilayah proyeknya merupakan HKm dan HD, kegiatan sertifikasi Plan Vivo bisa digunakan dalam mempersiapkan laporan pemantauan rutin HKm dan HD yang dilakukan oleh instansi terkait yakni Dinas Kehutanan.
Agenda Perbaikan
Penjagaan hutan bukanlah hal yang baru bagi komunitas di pinggir dan dalam kawasan hutan. Bahkan komunitas di pinggir dan dalam kawasan hutan merupakan arena diperkenalkan dan diujicobakannya beragam rezim tata kelola oleh negara, LSM lingkungan dan agensi pembangunan internasional. Tanpa terkecuali proyek-proyek REDD+ yang sedang marak saat ini termasuk ujicoba imbal jasa lingkungan karbon komunitas. Apakah proyek imbal jasa lingkungan karbon komunitas ini justru membawa ke arah penguatan dan pengakuan tata kelola hutan oleh komunitas, masih perlu dicari jawabannya secara empiris melampaui perdebatan kajian wacana-wacana besar yang juga saat ini mengemuka di lingkungan aktivis pro-demokratisasi dan perbaikan lingkungan. Namun, memilih ikut campur secara praktis bersama komunitas memunculkan pemaknaan tersendiri yang hanya bisa didapatkan dalam keseharian rutinitas proyek.
Memandang kekayaan hutan komunitas yang diukur melalui karbon stok sebagai dasar imbal jasa lingkungan atau sebagai peluang "bisnis hijau" baru justru mengaburkan proses keseharian rakyat dalam menjaga hutan. Seperti diketahui, seluruh luasan ujicoba karbon komunitas baik yang diinisiasi oleh KpSHK maupun lembaga lainnya baru mencapai kurang lebih 20.000 Ha. Luasan tersebut masih relatif kecil dibandingkan satu konsesi korporasi restorasi ekosistem yang mencapai ratusan ribu hektar, dan bahkan dibandingkan unit-unit rehabilitasi ekosistem dalam korporasi ektraktif seperti HTI (Hutan Tanaman Industri). Dari pengalaman bergelut dalam ujicoba sertifikasi Plan Vivo, beberapa isu krusial yang perlu menjadi
agenda perbaikan bersama sebagai penutup tulisan ringkas ini, yakni:
 Kepastian hak rakyat atas hutan. Selama ini rakyat pinggiran dan di dalam kawasan hutan selalu menjadi korban opini atau bahkan kriminalitas atas perusakan hutan. Padahal di beberapa lokasi, rakyat justru terlibat aktif dalam penjagaan hutan, baik dalam skema proyek maupun karena pengetahuan asli yang masih hidup di tengah-tengah komunitas. Pengakuan negara terhadap wilayah kelola rakyat dalam kawasan hutan merupakan prasyarat bagaimana rakyat dapat merencanakan pengelolaan hutan dan kehidupan mereka sendiri, termasuk hak imbal jasa lingkungan.
 Pasar domestik bukan sekadar pasar. Menyerahkan kekayaan karbon stok yang tersimpan dalam hutan komunitas pada mekanisme pasar karbon atau skema imbal jasa lingkungan secara voluntary/sukarela justru menjadikannya tidak ekonomis (kompetitif). Padahal di balik nilai potensi stok karbon dan luasan yang relatif sangat kecil dibandingkan konsesi korporasi-korporasi restorasi ekosistem, terdapat praktik kehidupan rakyat yang sangat bergantung dari layanan ekosistem hutan seperti air, sumber bahan pangan dan sebagainya. Oleh karenanya, kebijakan negara yang mewajibkan korporasi nasional mengurangi emisi, responsif terhadap perbaikan lingkungan serta kewajiban kompensasi (bukan CSR) terhadap rakyat yang hidup di sekitar hutan adalah keniscayaan dalam perbaikan tata kelola hutan.
 Prosedur yang fleksibel. Salah satu tantangan sertifikasi imbal jasa lingkungan karbon komunitas adalah kerumitan perhitungan potensi stok karbon dalam wilayah proyek. Asumsi terukur dan dapat diverifikasi secara sains kehutanan seringkali justru mengaburkan proses-proses interaksi komunitas dengan hutan berdasarkan pengetahuan asli mereka. Oleh karenanya, mengakui ukuran-ukuran subjektif dan teknik-teknik berbasis komunitas perlu diakui oleh para pihak. Dengan kata lain, pengakuan terhadap wilayah kelola rakyat secara
5
Proses penentuan plot ukur stok karbon di wilayah usulan sertifikasi Plan Vivo (dok. Watala Lampung)
langsung juga merupakan pengakuan terhadap pengetahuan mereka dalam mengelola wilayah mereka sendiri.
Daftar Bacaan
Buku
Ampri, Irfa, et al. 2014. The Landscape of Public Climate Finance in Indonesia. An Indonesian Ministry of Finance and CPI Report, Indonesia.
Arwida, Shintia D. 2014. Mekanisme Pembagian Manfaat REDD+ dalam Konteks Hutan Kemasyarakatan. Seri Kajian SHK Volume I/Tahun I/2014, November 2014. KpSHK
Astuti, Rini. 2013. REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia: Sebuah Perspektif Foucauldian. Wacana, Jurnal Transformasi Sosial, No. 30, Tahun XV, 2013. Yogjakarta: Insist
Bryant, Raymond L. and Sinead Bailey. 1997. Third World Political Ecology. Routledge, London.
Chayanov, A. 1966.The Theory of Peasant Economy. In Daniel Thorner, Basile Kerblay, and R.E.F. Smith (eds). The
American Economic Association, Illinois.
Hernowo, Basah. 2015. Kontribusi Ekonomi Jasa Lingkungan/Ekosistem Kehutanan: Status dan Arah Kebijakan. Prosiding Workshop Mekanisme Pendanaan Perubahan Iklim: Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutan dan Lahan. Jakarta: Ditjen PPI KLHK - KpSHK (akan segera diterbitkan)
Samyanugraha, Andi. 2015. Pasar Karbon dan Pendanaan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. Prosiding Workshop Mekanisme Pendanaan Perubahan Iklim: Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutan dan Lahan. Jakarta: Ditjen PPI KLHK - KpSHK (akan segera diterbitkan)
Yusuf, Muhammad. 2014. Prawacana: REDD+ dan Perebutan Kawasan Hutan. Seri Kajian SHK Volume I/Tahun I/2014, November 2014. KpSHK
Website
“Dorong Ekonomi Hijau Norwegia Hibahkan Rp 250 Miliar ke RI”. Diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/ read/2015/11/27/144837426/Dorong.Ekonomi.Hijau.Norw egia.Hibahkan.Rp.250.Miliar.ke.RI
2
Istilah jasa lingkungan di Indonesia sendiri belum memiliki pengertian yang tetap dan diatur dalam undang-undang. UNEP (United Nations Environment Programs) mempergunakan istilah'ecosystem services'sebagai ganti dari'environmental services'. Beberapa institusi lain mendefinisikanecosystem services sebagai the benefits provided by ecosystems that contribute to making human life both possible and worth living. Di Indonesia, produk layanan/jasa ekosistem hutan terdiri dari empat produk utama yaitu jasa pemanfaatan air dan energi air, jasa penyimpanan dan penyerapan karbon, jasa wisata alam-keindahan alam, dan jasa keanekaragaman hayati (Hernowo 2015).
3
Paul Butar-Butar 2015, South Pole Carbon. Bahan presentasi pada acara Serial Workshop Program Penurunan Emisi Berbasis Masyarakat yang dilaksanakan oleh Konsorsium PES Indonesia pada Maret 2015 di Jakarta
4
Bandingkan dengan prinsip (praktis) skema Plan Vivo yakni, (1)projectwajib melibatkan dan memberikan manfaat secara langsung kepada komunitas pengelola hutan; (2)projectdapat memberikan manfaat terhadap layanan ekosistem dan menjaga/meningkatkan keanekaragaman hayati; (3)projectdikelola secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, melibat para pihak serta memenuhi aturan hukum yang berlaku; (4) d sain dan implementasi rencanae pengelolaan lahan melibatkan dan dimiliki sepenuhnya oleh komunitas berdasarkan prioritas kebutuhan setempat; (5)projectdapat meningkatkan manfaat layanan ekosistem dan dapat dimonitoring secara kuantitatif; (6) pengelolaan risiko termuat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek; (7)projectdapat memberikan manfaat terhadap penghidupan sosial ekonomi komunitas; dan (8) pembagian manfaat dan transaksi imbal jasa lingkungan melalui kerjasama PES berdasarkan performance-based incentives. (The Plan Vivo Standard for Community Payments for Ecosystem Services Programmes 2013, http://www.planvivo.org/our-approach/)
5
Mengisi PIN atauProject Idea Note(Kertas usulan proyek) adalah salah satu persyaratan awal dalam proses sertifikasi Plan Vivo. PIN berisikan pokok yakni informasi mengenai lokasi usulan yang akan diregistrasi penerima manfaat, jenis intervensi yang akan dilakukan apakah penjagaan hutan (menjaga stock karbon) atau rehabilitasi (menambah stok karbon). ementara PDD berisikan informasi yang lebih detail khususnya perhitungan stok karbon hasil pengukuranS dan tambahannya.
6
Putusan MK No. 35 Tahun 2012 yang menganulir sebagian dari UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan terobosan di mana negara mengakui keberadaan hutan Hak/Adat yang bukan kawasan hutan negara. Meski pada praktiknya, pengakuan dan pengukuhan hutan adat masih menemui kendala prosedur yang lebih bersifat politis.
7
Carbon offsetadalah alat/sarana untuk mengkompensasi emisi yang dikeluarkan oleh perusahaan ataupun pribadi. Dengan membayar orang lain (ditempat lain) untuk melakukan usaha penyerapan karbon atau menghindari emisi karbon, pembelioffsetkarbon bermaksud mengganti emisi karbon yang telah mereka lakukan.
Baru-baru ini, sebuah konferensi tingkat tinggi baru saja dilaksanakan di salah satu kota paling atraktif di dunia. Konferensi itu disebut-sebut sebagai Konferensi Abad ini, dengan memperhatikan isu yang diangkat dalam pertemuan tersebut, utusan delegasi menghabiskan waktu dua minggu penuh untuk menyetujui capaian bersama di masa depan yang kemudian disebut Perjanjian Paris (Paris Agreement).
Indonesia sebagai peserta di dalam pertemuan juga membawa misi ke meja perundingan yang keberlanjutan misinya diharapkan bersesuaian dengan turunan topik penting dalam perjanjian bersama. Tulisan ini disusun untuk memberikan pemahaman bagi pembaca mengenai posisi Indonesia dan dampak dari partisipasi Negara Indonesia di dalam COP21. Bagian akhir tulisan akan berfokus pada aksi-aksi yang perlu dilaksanakan sebagai tindak lanjut strategis untuk menangkap kesempatan dari COP21 menuju Indonesia yang berkelanjutan berdasarkan pandangan ahli perubahan iklim.
Misi Bersama
COP (Conference of the Parties) atau Konferensi Para Pihak sekali lagi diselenggarakan untuk menyatukan pemimpin dunia dalam rangka menempatkan perhatian mereka pada isu perubahan iklim Di bawah UNFCCC (. UN Framework Convention on Climate Change) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 195 negara delegasi hadir pada pertemuan di Paris untuk misi kemanusiaan yang sama untuk melawan perubahan iklim dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kaca yang mengacu pada hasil konferensi sebelumnya.
Protokol Kyoto pada COP3 di tahun 1997 mengatur target pengurangan emisi untuk negara maju, tetapi Amerika Serikat mencabut dukungan dan hal ini menggagalkan sisa capaian yang ingin diperoleh dalam perjanjian tersebut. Begitu juga kegagalan pada COP15 di Kopenhagen pada tahun 2009 yang berakhir dengan sebuah draf perjanjian yang disusun pada menit-menit terakhir oleh Amerika Serikat dan negara-negara BASIC (Brazil, Afrika Selatan, India, dan Cina) di balik layar pertemuan karena terjadi kebuntuan. Pun mengingat kembali hasil COP13 dua tahun lalu dalam Roadmap Bali yang komitmennya tak berbuah hasil.
Bermulai dari tanggal 30 November sampai dengan 11 Desember 2015, sekitar 40.000 diplomat, pakar ahli, ilmuwan, aktivis, begitu juga para pemimpin pemerintahan negara-negara di dunia terlibat di dalam Konferensi Perubahan Iklim, COP21 di Le Bourget, Paris Utara.
COP21 dilaksanakan untuk melibatkan sejumlah peserta yang merupakan delegasi negara-negara, ditambah sebuah blok ekonomi (Uni-Eropa) untuk bersepakat dan menyetujui mengenai rencana masa depan yang berkelanjutan dengan meluncurkan tindakan dan investasi ke arah kehidupan yang lebih rendah karbon. Rencana tindakan ini akan menghasilkan sebuah perjanjian bernama Perjanjian Paris untuk Perubahan Iklim.
Sudut Pandang Indonesia
Delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo menghadiri pertemuan yang disebut konferensi perubahan iklim abad ini. Pada kesempatan tersebut, Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia
COP 21: Menangkap Kesempatan
Menuju Indonesia yang Berkelanjutan
Ratna Nataliani1
1
Konsultan bidang energi dan lingkungan yang bekerja pada proyek bangunan dan perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia.Penulisjuga bersertifikat Greenship Professional dari Green Building Council Indonesia, dan memiliki perhatian pada isu energi secara umum. ([email protected])
berkomitmen untuk mendukung pengurangan emisi karbon sebanyak 29% dengan target pada tahun 2020 untuk mengontrol kenaikan suhu global di bawah 2 C.0
Sebagaimana yang dijelaskan dalam dokumen kontribusi nasional atau yang disingkat INDC (Intended Nationally Determined Contribution) Indonesia, bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi baru, namun belum stabil, dan negara terpadat keempat di dunia. Meskipun pertumbuhan ekonomi multi-dekade terjadi terus menerus, kurang lebih 11% dari populasi Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, pemerintah Indonesia mempromosikan pembangunan ekonomi yang diproyeksikan rata-rata minimal 5% per tahun dalam rangka mengurangi angka kemiskinan hingga di bawah 4% hingga tahun 2025.
Sasaran pembangunan strategis Indonesia yang dikenal sebagi Nawacita (atau Sembilan Agenda Prioritas), memetakan jalur transisi ke arah realisasi perubahan jangka panjang, yang menyejajarkan visi Indonesia secara kedaulatan politik, kemandirian ekonomi bangsa dengan identitas budaya yang mengakar. Prioritas ini konsisten dengan komitmen nasional terhadap ketahanan perubahan iklim, di mana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terpadu dalam prioritas Perencanaan Pembangunan Nasional Jangka Menengah.
Intended Nationally Determined Contributions (INDC) Indonesia menggarisbawahi bahwa transisi negara ke arah masa depan yang rendah karbon digambarkan dengan peningkatan aksi dan lingkungan yang kondusif selama periode 2015-2019 yang akan meletakkan dasar untuk tujuan yang lebih ambisius setelah tahun 2020, berkontribusi terhadap usaha bersama mencegah peningkatan suhu global 2 C. Untuk tahun 2020 dan setelahnya, visi Indonesia akan0 merealisasikan ketahanan iklim nusantara sebagai hasil dari program-program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif, serta strategi pengurangan risiko bencana.
Berdasarkan dokumen Country Brief yang disediakan oleh sekretariat UNFCCC untuk COP21 dapat dilihat sebagaimana grafik di bawah ini bahwa emisi CO meningkat2
baik menurut bahan bakar (grafik 1) maupun sektor (grafik 2) seiring waktu di Indonesia.
Grafik 1. Emisi CO2 Berdasarkan Jenis Bahan Bakar di Indonesia
Grafik 2.EmisiCO2Berdasarkan Sektor Penting diIndonesia
Grafik di atas menggambarkan kenaikan secara stabil yang dapat menjadi ancaman jika langkah perubahan mendasar tidak segera dilakukan. Apabila pengurangan emisi karbon di setiap negara menunjukkan suatu stagnasi, suhu global pada tahun 2030 diprediksi meningkat sebesar 3 C. Seperti yang dijelaskan oleh komisi dalam pertemuan0
COP21, “Hal itu dapat berarti kenaikan (suhu) antara 2.7 C0
dan 3.5 C di akhir abad (ini)”.0
Dalam rangka mencegah peningkatan suhu global, Indonesia akan memasukkan sejumlah strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara-negara lainnya. Tindakan realisasi pengurangan karbon tentu saja tidak murah, mengingat juga tantangan terbesar Indonesia adalah pada sektor hutan, energi, industri, dan pertanahan.
Kepala Proyek Perkotaan Kampus Valley, Kota Bordeaux, Prancis, Julien Birgi yang juga menaruh perhatian pada pembangunan kota berkelanjutan di Jawa Tengah, memiliki opini atas isu perubahan iklim tersebut. Ia mengatakan, “Memerhatikan kondisi kepulauan Indonesia sebanyak lebih dari 17.000 pulau kecil, ini (Indonesia) mungkin cenderung menjadi korban perubahan iklim, terutama melalui peningkatan permukaan air laut. Di samping itu, Indonesia mungkin dapat dilihat sebagai salah satu 'siswa nakal di kelas' dengan berhutang pada kasus kebakaran hutan, dan pemanfaatan energi berbasis batu bara yang berkembang sangat cepat. Sehingga sebagai negara berkembang, pertaruhan sangat tinggi bagi delegasi Indonesia yang menegosiasikan transfer teknologi, dan pendanaan untuk mengembangkan cara (pembangunan) yang lebih bersih bagi lingkungan dengan mendorong skema pendanaan untuk realisasi teknis program.” (komunikasi pribadi, 5 Desember 2015)
Sayangnya, pertanyaan sulit dihadapi oleh Indonesia saat COP21 mengenai salah satu isu utama perubahan iklim, yakni kebakaran hutan. Foto di bawah menggambarkan kondisi lahan yang terbakar di Nyaru Menteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang memicu keluhan dari sejumlah negara tetangga, terutama Malaysia dan Singapura. Isu lainnya mengenai rencana membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara. Isu-isu ini jelas bertentangan dengan target nasional untuk mengurangi
secara mandiri emisi karbon sebanyak 26% pada 2030, atau 41% dengan dukungan internasional
Namun, pemerintah Indonesia masih dapat menunjukan bahwa secara bertahap melawan perubahan iklim, sebagai contoh dengan komitmennya pada pengurangan emisi gas rumah kaca, dan sejumlah aksi-aksi yang akan dijalankan. Jokowi mengatakan “Masalah sebenarnya akan disampaikan; semua hal yang telah kami mulai termasuk soal restorasi gambut, mengkaji ulang izin-izin lama, dan moratorium pada periode tertentu.”
L'Accord de Paris (Perjanjian Paris)
Kurang lebih selama dua minggu delegasi yang hadir menghabiskan waktu untuk diskusi dan negosiasi panjang, dan akhirnya setelah tambahan waktu satu hari dari jadwal awal, pemimpin-pemimpin pada pertemuan PBB untuk keberlanjutan masa depan dunia di Paris mengadopsi hasil pakta perubahan iklim dalam pertemuan tersebut.
“Saya sekarang mengundang (peserta) COP untuk mengadopsi keputusan yang berjudul Perjanjian Paris yang dirangkum ke dalam dokumen,” tutur Presiden sektor Iklim PBB di COP, Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius. Dia melanjutkan, “Melihat keluar ruangan, saya melihat reaksi positif, dan saya tidak melihat bantahan atas diadopsinya Perjanjian Paris. Perjanjian Paris dapat diterapkan.” Fabius berpendapat bahwa naskah final dari Perjanjian Paris dikeluarkan untuk menyeimbangkan kesempatan yang adil bagi setiap pihak yang ambisius, dan realistis.
Di bawah ini adalah beberapa butir penting dari Perjanjian Paris (L'Accord de Paris).
1. Mitigasi Membatasi kenaikan suhu global pada angka: 1 5 C, 0
Perjanjian Paris menyatakan komitmen untuk tetap menjaga kenaikan suhu global hingga 1,50 di atas level
pra-C
industri. Hal ini melebihi yang diantisipasi oleh para peserta dengan membandingkan level suhu 2 C yang disetujui oleh0
hampir 200 negara di pertemuan Kopenhagen enam tahun
yang lalu. Hasil tersebut adalah sebuah loncatan bagi kebanyakan negara kepulauan kecil seperti Filipina dan Tuvalu yang secara penuh mendukung ide tersebut. Sementara negara-negara seperti Cina, India, dan Uni Emirat Arab masih meyakinkan bahwa kenaikan suhu 3 C akan0
tetap layak.
John Schellnhuber, ilmuwan dan penas hat untuki
Jerman dan Vatikan, menyatakan bahwa bahaya serius ditandai dengan 1,5 C sebagai titik balik iklim dunia. Perlu0
diingat bahwa hari ini kenaikan suhu dunia telah mencapai 0,85 C sejak masa pra-industri, dan data terakhir belum0
menunjukan kemungkinan turunnya emisi global yang dapat mengakibatkan pemanasan global. Ilmuwan lain juga mempertimbangkan bahwa ketika peningkatan menyentuh angka 2 C, hal itu dapat berarti bahwa bencana perubahan0
iklim akan segera terjadi.
Pada kondisi setelah tahun 2050, seperti disebutkan dalam perjanjian, bahwa emisi yang dihasilkan oleh manusia harus dikurangi ke tingkat yang dapat diserap oleh hutan dan laut. Bagaimanapun, adanya instrumen penting untuk menghasilkan sistem kontrol yang terpercaya adalah sebuah pengukuran yang memadai untuk mencapai target, sebagaimana telah dicatat oleh aktivis lingkungan di Paris.
2. Transparansi Peninjauan perkembangan setiap lima: tahun
Terdapat 188 negara yang telah memasukan rencananya untuk melanjutkan komitmen yang telah dibuat dalam mengurangi dan membatasi emisi pasca tahun 2020, dan hingga tahun 2030. Rencana ini tentu tidak cukup untuk menjamin bahwa dampak bencana dari peningkatan pesuhu global tidak akan terjadi.
Hal tersebut kemudian menjadi alasan dibuatnya suatu mekanisme peninjauan ulang per lima tahun terhadap perjanjian-perjanjian, dalam rangka mencapai ambisi yang disepakati. Tinjauan pertama akan diselenggarkan pada tahun 2018, namun berdasarkan perjanjian, peninjauan global pertama akan dilakukan di tahun 2023 sebagaimana dinyatakan dalam Ayat 14 di bawah ini.
9
Metode tebang dan bakar dalam membuka lahan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah
(Sumber: Jakarta Post)
Pasal 2
1. Perjanjian ini, dalam rangka meningkatkan implementasi Konvensi, termasuk tujuannya, ingin memperkuat respon global terhadap ancaman perubahan iklim, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan usaha untuk mengentaskan kemiskinan, termasuk dengan:
(a) Menahan angka peningkatan rata-rata suhu dunia di bawah 20C di atas level pra-industri dan mengejar usaha untuk membatasi peningkatan suhu pada angka 1,50C di atas level pra-industri, mengakui bahwa hal ini secara signifikan akan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim;
3. Adapta :si Memperkuat Kemampuan Negara-Negara Target mitigasi membutuhkan upaya adaptasidari negara-negaradalam mengambil tindakanuntuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pemberitaan pada isu adaptasi yang diajukan oleh semua negara akan memperinci prioritas-prioritas adaptasi, dukungan kebutuhan, dan perencanaan. Berdasarkan hal tersebut, dukungan untuk aksi adaptasi diharapkanuntukmeningkatkandukungan untuk negara-negara berkembang akan dinilai dalam memastikan bahwa hal itu telah memadai.
Komitmen ini didasarkan pada pandangan bahwa adaptasi adalah tahapan utamadalam berkolaborasidan berkontribusi untuk respons global jangka panjang terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, beberapa upaya teknis telah dimasukan termasuk transfer teknologi dan pengembangan kapasitas.
10
2. Konferensi para pihak yang terlibat di dalam Perjanjian Paris akan melakukan peninjauan di tahun 2023, dan setiap lima tahun sesudahnya, kecuali dinyatakan oleh Konferensi para pihak yang berfungsi sebagai pertemuan para pihak untuk Perjanjian Paris.
3. Hasil dari peninjauan global akan diinformasikan kepada para pihak dalam memperbarui dan meningkatkan pada cara yang ditentukan secara nasional, aksi dan dukungan mereka sesuai dengan ketentuan yang relevan dalam Perjanjian Paris, serta dalam meningkatkan kerjasama internasional untuk aksi iklim.
Dari kiri ke kanan, Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Sekretaris Jenderal PBB – Ban Ki-moon, Menteri Luar Negeri Prancis –Laurent Fabius, Presiden COP21 dan Presiden Prancis – Francois Hollande merespons selama sesi sidang pleno final pada Konfrensi Perubahan Iklim Dunia 2015 (COP21) di Le Bourget, dekat Paris. Photo: Reuters/Stephane Mahe
Pasal 5
1. Para pihak yang terlibat harus mengambil tindakan untuk melestarikan dan meningkatkan upaya, mengurangi dan menampung Gas Rumah Kaca sebagaimana yang tercantum pada Pasal 4, Paragraf 1(d) dari Konvensi, termasuk hutan.
2. Para pihak didorong untuk mengambil tindakan implementasi dan dukungan termasuk melalui pembayaran berbasis hasil, kerangka kerja yang berlaku sebagaimana terkait dalam petunjuk dan keputusan yang telah disepakati di bawah Konvensi untuk: pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk aktivitas yang berhubungan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dan peran konservasi, pengelolaan hutan berkelanjutan, serta peningkatan karbon hutan.
4.Kerugian dan Kerusakan Me: ngatasiKorban
Negara-negara kepulauan adalah pihak yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Pada bagian baru untuk mengakui “Kerugian dan Kerusakan” (Loss and Damage) telah dibawa dalam meja diskusiyang terdiri darisejumlah mekanisme untuk mengidentifikasi kerugian finansial dan kerentanan negara-negara sebagai akibat dari cuaca ekstrim.
Amerika Serikat mengkhawatirkan bahwa mekanisme “Kerugian dan Kerusakan” akan membawa pada klaim kompensasi kerusakan yang sering dialami oleh negara-negara rentan bencana. Namun, berita baiknya adalah mekanisme tersebut akhirnya memasukkan klausul tambahan yang menenangkan Amerika Serikat dengan menyatakan bahwa tidak ada kewajiban atau kompensasi yang terjadi dalam mekanisme.
5. Dukungan Skema Pendanaan untuk Pembangunan:
Sebagai bagian dari upaya dunia, negara maju menyetujui untuk melanjutkan dukungan kepada negara-negara yang lebih miskin untuk membantu mereka dalam membangun masa depan yang lebih tangguh dan memelihara ekonomi hijau (green economy) dengan memerhatikan prioritas dan kebutuhan negara penerima dalam perhitungan. Sebagai catatan, skema finansial ini telah dipindah ke dalam teks keputusan tanpa ikatan hukum.
Beberapa kontribusi kesukarelaan juga disertakan dalam perjanjian. Hal ini mendorong negara berkembang dengan kemunculan ekonomi baru, seperti Cina, untuk mengambil bagian dalam investasi perubahan iklim di negara lainnya, meskipunsifatnyatidak diwajibkan.
Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OEC D/Or ga ni za ti o n fo r Ec o nom i c C o - op era ti o n Development) melaporkan bahwa perkembangan skema keuangan iklim menunjukan negara-negara maju telah sukses menggalang dana sebesar $62 miliar di tahun 2014, sebagai komitmen untuk mencapai target yang telah dibangun di Kopenhagen untuk meningkatkan bantuan hingga $100 miliar per tahun pada periode 2020. Target mobilisasi kolektif initelahdiperpanjang hingga tahun 2025 melalui Perjanjian Paris.
Dampak
pada
Orientasi
Peraturan
Perubahan
Iklim Indonesia
Penting untuk mengingat lima butir penting dalam Perjanjian Paris yang telah diulas sebelumnya, yakni: Mitigasi, Transparansi, Adaptasi, Kerugian dan Kerusakan, serta Bantuan Dukungan, yang saling berkaitan. Komitmen Indonesia di dalam dokumen INDC dan Perjanjian Paris dapat secara kuat mengabsahkan orientasi peraturan perubahan iklim di Indonesia.
Keunggulan dari Perjanjian Paris adalah membuat semua negara sepakatpada pembatasanpeningkatan suhu dunia pada angka 1.5 C.0 yang awalnya memunculkanpenolakan dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina, atau India yang memiliki level emisi karbon tinggi. Namun, setelah tambahan waktu satu hari untuk mendiskusikan target tersebut, dengan penghitungan ulang, dan pendekatan
11
Pasal 71. Para pihak membangun sasaran global pada adaptasi dan peningkatan kapasitas adaptif, memperkuat risiliensi dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim, dengan pandangan untuk kontribusi pembangunan berkelanjutan dan memastikan respons adaptasi yang memadai dalam konteks target suhu yang disebutkan dalam Pasal 2.
2. Para pihak mengakui bahwa adaptasi adalah tantangan global yang dihadapi oleh semua pihak dalam level lokal, sub-nasional, nasional, regional, dan dimensi internasional, dan hal itu menjadi komponen kunci, dan membuat kontribusi respons global jangka panjang terhadap perubahan iklim untuk melindungi penduduk, mata pencaharian, ekosistem, mengambil perhitungan penting dan kebutuhan mendesak pada Para Pihak dari negara berkembang yang rentan terhadap kerugian dampak dari perubahan iklim. 3. Para Pihak dari negara berkembang yang rentan terhadap kerugian
dampak dari perubahan iklim.Upaya adaptasi Para Pihak dari negara berkembang harus diakui sesuai dengan modalitas yang diterapkan oleh para pihak Konferensi dalam Perjanjian Paris pada sesi pertama.
4. Para pihak mengakui kebutuhan sekarang untuk adaptasi adalah hal yang signifikan, dan level yang lebih besar pada mitigasi dapat mengurangi kebutuhan untuk upaya adaptasi tambahan,dan kebutuhan adaptasi yang lebih besar dapat melibatkan besarnya biaya adaptasi. hutan berkelanjutan, serta peningkatan karbon hutan.
Pasal 8
1. Pihak-pihak mengakui pentingnya pencegahan, meminimalisir dan menangani kerugian dan kerusakan yang terkait dengan dampak perubahan iklim, termasuk peristiwa cuaca ekstrim, dan peristiwa bencana yang berlangsung-langsung menjadi semakin tinggi (dampaknya), dan peran pembangunan berkelanjutan dalam mengurangi risiko kerugian dan kerusakan.
54. Keputusan lebih lanjut tersebut berdasarkan Pasal 9, paragraf 3 dalam perjanjian, bahwa negara-negara maju bermaksud untuk melanjutkan target mobilisasi kolektif hingga 2025 dalam konteks aksi mitigasi dan transparansi pada tahap implementasi; sebelum 2025 para pihak yang terlibat dalam Konferensi Perjanjian Paris akan menetapkan target kolektif baru dari dasar 100 miliar USD per tahun dengan perhitungan kebutuhan dan prioritas negara berkembang.
antarpihak, akhirnya semua pihak menyepakati hasil tersebut.
Sebenarnya pembatasan 1.5 C adalah angka yang0
mendukung Indonesia sebagai negara kepulauan yang, potensi peningkatan permukaan laut dapat saja menenggelamkan kepulauan yang ada. Berdasarkan penjelasan Direktur Pusat Penelitian Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCCUI/Research Centre of Climate Change University of Indonesia), Jatna Supriatna, Ph.D, bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan mengurangi emisi karbon hingga angka 30-40% pada tahun 2020 (komunikasi pribadi, 11 Januari 2016). Namun, konversi lahan tetap menjadi masalah kritis di Indonesia.
Diperkirakan 60% dari total emisi karbon Indonesia disebabkan oleh konversi lahan.Konversi lahan tersebut termasuk konversi kawasan hutan, pembalakan liar, kebakaran hutan, pengeringan kawasan gambut yang meningkatkan dengan cepat level emisi Indonesia. Isu tersebut sangat berkaitan dengan otoritas tata kelola lahan. Hal ini menunjukkan pentingnyabagipemerintah pusatdan pemerintah daerah untuk memiliki kesamaan visi sebagai sebagai pemangku kepentingan utama dalam pengelolaan lahan.
Satu faktor penting dalam konversi lahan adalah pertumbuhan nasional melalui pembangunan secara fisik. Pembangunan telah dipercepat di Indonesia selama beberapa dekadeiniyang membuat peningkatan konsumsi energi dan secara bertahap meningkatkan emisi karbon. Berdasarkan Global Footprint Network, jejak karbon Indonesia menyentu angka 1,4 di tahun 2010 yang berartih aktivitaskonsumsi nasional setara dengan1,4 bagian bumi. Oleh karena itu, percepatan pembangunan dari Presiden Jokowi yang bersemangat mendukung pembangunan infrastruktur juga perlu diperhitungkan.
Grafik di bawah ini menggambarkan Indonesia telah hampir dua kali menghasilkan emisi karbon dari periode 1990 hingga 2020, Emisi karbon dioksida (CO )2 Indonesia
bahkan lebih buruk di tahun 2005 yang secara dramatis meningkat hampirtiga kalibesarnya dalam15 tahun.
Semua emisi perludikurangi dan semua elemen yang menyerap emisi tersebut harus dipulihkan. Hal itu diprediksi pada periode 2020—2025, emisi karbon dari bahan bakar fosilakan melebihi dari emisi yang dihasilkan darikonversi lahan sebagaimana yang diilustrasikanpada grafik di bawah ini (J. Supriatna, komunikasi pribadi, 11 Januari 2016). Dalam mengantisipasi hal tersebut, sejumlah tindakan harus didesak dan dipercepatsesegera mungkin, sebagai contoh, melalui implementasi energi terbarukan dan semua pembangunan berkelanjutan secara umum. Mengenai permasalahan tersebut, sejumlah sumberdaya penting dibutuhkan, seperti manusia, teknologi, dan pendanaan. Indonesia seharusnya lebih mendorong untuk lebih memperoleh dukungan ataufasilitasimelalui COP21.
Masalah mendesak saat ini adalah tidak ada skema yang jelas tentang penggalangan dana. Hal ini penting untuk menindaklanjuti dana perwalian yang akan mendanai kebutuhan untuk mendukung pada negara-negara kecil dan berkembang dalam pengembangan kapasitas, transfer teknologi, dan dukungan finasial baik secara langsung maupun tidak langsung.
Selama COP21, negara-negara kecil dan berkembang memperdebatkan bahwa mereka tidak mampu mengatasi sendiri dengan bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Oleh karena itu, sejumlah sumber dana harus dipersiapkan untuk membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini adalah saat inisiatif pengumpulan dana $100 miliar hingga tahun 2025 dimulai.
Direktur RCCCUI meyakini bahwa diskusi lebih lanjut pada skema keuangan harus dilakukan saat pertemuan teknis selanjutnya untuk mempersiapkan pertemuan COP mendatang. Namun, ia tetap optimis bahwa negara berkembang akan memiliki setidaknya $100 miliar dalam periode 10 tahun sebagaimana yang dijanjikan, berdasarkan pengalaman mereka dalam menggalang dana dan memerhatikan peningkatan kepedulian dunia pada isu lingkungan. Selain itu, sumber keuangan dari militer dan persenjataan yang sangat besar, dengan demikian tidak EmisiCO , CH , N O, HFCs, PFCs,2 4 2 danSF6Indonesia
(Sumber: UNFCCC)
Ilustrasi Sumber Emisi Karbon di Indonesia
menjadi alasan bahwa dana perwalian tidak dapat diangkat untuk memenangkan ‘perang’ melawan perubahan iklim untuk kemanusiaan dan perdamaian dunia.
Bagaimana
menangkap kesempatan
dan
keuntungan: Rencana Strategi di Masa Depan
Indonesia harus mampu mengambil kesempatan untuk mengembangkan Negara dalam hal berkelanjutan dan komitmennya, sertakomitmen dari negara-negara lainnya. Untuk menjawab kesempatan yang ditawarkan dari Perjanjian Paris, begitu juga tantangan dari konversi lahan, dan percepatan pembangunan di Indonesia, setidaknya terdapat tiga tindakan aksi strategis yang perlu diambil, berdasarkan pendapat Direktur RCCCUI, Jatna Supriatna, Ph.D.1. PenguatanKomisi
Sebuah komisi bernama Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) berjalan saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang fokus terhadap isu perubahan iklim. Sayangnya, DNPI tidak berfungsi seperti yang diharapkan karena koordinasi tidak efektif, yang berakar pada egoisme sektoral.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Apabila Indonesia ingin mendorong regulasi dan memulai aksi terhadap perubahan iklim, harus ada suatu lembaga superbody untuk mengelola isu perubahan iklim di I n d o n e s i a y a n g b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u k mengimplementasikan sejumlah aksi strategis. DNPI dipersiapkan untuk menjadi lembaga pemikir (think tank), serta komisi penegakan yang bekerja pada pelaksanaan operasional. Komisi penegakan ini harus juga memiliki otoritas untuk memerintahkan dan bukan hanya mengkoordinasikan sebagaimana yang telah DNPI lakukan.
Berbagai program perlu dilakukan, seperti investasi lingkungan dan pajak lingkungan untuk meningkatkan pembiayaan dalam percepatan pembangunan berkelanjutan. Program tersebut dapat dijalankan dan dikembangkan melalui komisi ini, yang dapat juga diimple menta sika n dal am k erjasa ma den gan Kementerian Keuangan. Ide yang ditawarkan adalah untuk memiliki lembaga khusus yang bekerja dan menjadi fokus pada resolusi perubahan iklim sebanyak yang dibutuhkan oleh negara, tanpa halangan birokrasi pemerintahan yang kaku.
2. Lembaga Pengawasan (Watchdog)
Di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) memiliki tanggungjawab untuk penataan perencanaan terhadap target dan strategi perubahan iklim. Pada sektor audit keuangan, terdapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Auditor-auditor tersebut tidak bertanggungjawab untuk meninjau perkembangan pengurangan emisi gas rumah kaca, yang seharusnya diambilalih oleh gugus tugas khusus atau Organisasi Non-Pemerintah/Lembaga Swadaya Masyarakat yang ditugaskan sebagai lembaga pengawas untuk tetap memantau upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Karena tanpa otoritas tersebut, dikhawatirkan komisi yang ada akan terjebak.
Dengan adanya lembaga pengawas tersebut berarti sejumlah isu pengawasan dapat bekerja di Indonesia. Dalam pengawasan alokasi dana, terdapat lembaga FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) dan dalam pengawasan lingkungan terdapat WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Idenya adalah untuk mendorong kinerja pemerintah guna memenuhi kebutuhan nasional dan prioritas dari perspektif masyarakat Indonesia, dan bukan karena desakan eksternal.
3. Peraturan yang Efektif dan Penegakan Hukum
Dua masalah utama adalah: konversi lahan dan pembangunan berkelanjutan. Kedua masalah tersebut adalah kelemahan Indonesia selama COP21, dalam hal kebakaran hutan dan pengadaan pembangkit listrik tenaga batubara. Peraturan yang kuat pada isu tersebut akan menyebabkan perubahan yang signifikan pada dampak perubahan iklim di Indonesia. Konversi lahan telah meningkat sebagai pengalihan lahan yang didelegasikan ke tingkat provinsi. Hal ini juga berarti pemantauan lebih mudah dilakukan, bahkan oleh LSM dan universitas. Namun, masih ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk meningkatkan pengelolaan pemerintah pusat guna pengawasan yang lebih efektif dan penegakan hukum di alih fungsi lahan. Kebakaran hutan merupakan masalah yang sempurna sekarang ini.
Penegakan hukum perlu untuk ditegak an baik padak pelaku dan pada mereka yang tidak menegakkan hukum. Sebuah contoh yang tepat dari lemahnya penegakan hukum adalah keputusan pengadilan yang tidak adil pada kasus kebakaran hutan yang baru-baru ini terjadi di Palembang. Masalah penting lainnya adalah termasuk dampak insidentil dari lemahnya penegakan yang juga harus diperhitungkan. Mengatasi dampak kesehatan dari masalah kebakaran hutan membutuhkan tim ahli, teknologi, dan pendanaan.
B e b e r a p a p e r a t u r a n t e l a h m e n d u k u n g pembangunan berkelanjutan di Indonesia, namun hal itu tampaknya tidak cukup. Diversifikasi energi ke energi terbarukan dan konservasi energi melalui pendekatan lingkungan (green approaches) merupakan cara untuk mendorong pembangunan berkelanjutan. Pada kenyataannya hal itu masih sangat lambat dilakukan. Memang, kondisi ini akan memakan waktu, tetapi pasar untuk pembangunan berkelanjutan berada dalam posisi yang rentan karena tidak tegas diatur oleh pemerintah.
Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan perlu lebih pasti dan rinci. Sementara itu, peraturan yang ada sering terlalu umum dan tidak cocok dengan kondisi pasar. Selain itu, permasalahan sosial menyebabkan pada lambatnya perkembangan pembangunan berkelanjutan. Salah satu contoh adalah di Bali, terdapat gunung yang akan dimanfaatkan untuk eksplorasi energi panas bumi namun dianggap pula sebagai gunung sakral oleh masyarakat setempat; oleh karena itu tidak diperbolehkan melakukan eksplorasi tersebut.
Pasar merupakan elemen yang penting dalam mengembangkan pembangunan berkelanjutan. Peraturan yang jelas dan tegas dapat mendorong pasar u n tu k m e n y e s u a i k a n de n g a n s t a n d a r y a n g berkelanjutan. Skema yang efektif perlu dilaksanakan untuk mengawasi pelaksanaan teknis pada semua sektor pembangunan berkelanjutan. Idenya adalah untuk menghasilkan keseimbangan antara konsumsi energi nasional dan produksi energi (berkualitas) dan efisiensi.
Kesimpulan
Perjanjian Paris adalah pemicu strategis bagi Indonesia untuk membuat loncatan guna menjadi bangsa yang berkelanjutan. Terdapat peluang yang perlu dimanfaatkan sebanyak yang dibutuhkan untuk memudahkan aksi nyata dalam menghadapi kebutuhan masyarakat. Indonesia harus bekerja melawan masalah konversi lahan, kekurangan energi bersih, buruknya kondisi kesehatan, dampak peningkatan permukaan laut di pulau-pulau kecil, dan isu-isu terkait iklim lainnya yang merupakan prioritas di mata masyarakat. Indonesia harus mulai mengembangkan dari titik kebutuhan internal, dan bukan desakan dari negara-negara lain.
Pemerintah juga harus secara signifikan lebih efektif dalam menyusun peraturan dan koordinasi sebagai aksi yang paling penting dan strategis dari segala solusi yang ada. Hal ini adalah kunci. Selanjutnya, pemerintah harus memiliki performa kompetitif, bahkan jika dibandingkan dengan sektor swasta. Tujuannya adalah memiliki kualitas produk yang lebih baik dalam bentuk apapun bagi masyarakat, bukan hanya pada level perencanaan,
melainkan juga dalam level pelaksanaan teknis.
Referensi
Boettcher, Daniel: “COP21 climate change summit reaches deal in Paris”: [http://www.bbc.com/news/science-environment-35084374], December 13, 2015
Briggs, Helen: “Global climate deal: In Summary”: [http: //www.bbc.com/news/science-environment-35073297], December 12, 2015
EBF : “Indonesia faces tough questions on fires, dirty energy at COP21”: [http://www.thejakartapost.com/news/2015/ 12/01/indonesia-faces-tough-questions-fires-dirty-energy-cop21.html], December 1, 2015
Gosden, Emily: “Paris climate change agreement 'a major leap for mankind'”: [http://www.telegraph.co.uk/news/ earth/parisclimatechangeconference/12047909/Parisc l i m a t e earth/parisclimatechangeconference/12047909/Parisc h a n g e a g r e e m e n t a m a j o r l e a p f o r -mankind.html], December 13, 2015
Le Hir, Pierre: “COP21 : les points clés de l'accord universel sur le climat”: [http://www.lemonde.fr/cop21/article/ 2015/12/12/cop21-les-points-cles-du-premier-accord-universel-sur-le-climat_4830606_4527432.html#], December 13, 2015
Lubis, Uni Z.: “LIVE BLOG Konferensi Perubahan Iklim COP21”: [http://www.rappler.com/indonesia/114469-blog-konferensi-perubahan-iklim-cop-21], December 13, 2015
Republic of Indonesia. 2015. Intended Nationally Determined Contribution (INDC)
Ritter, Karl: “Key points of the landmark Paris climate agreement”: [http://www.thejakartapost.com/news/ 2 01 5 /1 2 /1 3 /k e y po in ts l a n dm a rk p a ris cl i ma te -agreement.html], December 13, 2015
UNFCCC News Room: “Finale COP21”: [http://newsroom. unfccc.int/unfccc-newsroom/finale-cop21/], December 27, 2015
United Nations Cimate Change Secretariat. September 2015. UNFCCCCountry Brief2014: Indonesia.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). December 2015. Adoption of The Paris Agreement, COP21.
Vaughan, Adam: “Paris climate deal: key points at a glance”: [http://www.theguardian.com/environment/2015/dec/1 2/paris-climate-deal-key-points], December 12, 2015.
Watters, Haydn: “5 key points in Paris Agreement on climate change”: [http://www.cbc.ca/new s/world/paris-agreement-key-climate-points-1.3362500], December 12, 2015.
CLIMATE CHANGE UPDATE
Volume 03/2016
Muhammad Yusuf
REDD+, Threat or Opportunity: Reflecting on the
Implementation of the Plan Vivo Certification in Community
Forestry System Management Areas
Ratna Nataliani
COP21: Seizing Opportunities toward a Sustainable Indonesia
s
Epistema Climate Change Updateis a periodical bilingual publication published by Epistema Institute. This publication provides a brief explanation on recent policy developments and discourses on climate change in Indonesia.
Editorial boards: Yance Arizona, Luluk Uliyah, Muki T. Wicaksono, Desi Martika V, Yustina Murdiningrum.
Translator: Bridget Keenan
layout: Andi Sandhi
Photos: Various Sources
Jalan Jati Padang Raya No. 25, Jakarta Selatan, 12540. Phone: +62 21 7883 2167 Fax: +62 21 7883 0500
Introduction
The projects initiated to date by various global institutions in In dones ia on mana ging natural resources a nd environmental improvement (ecology) signify that these ecological and environmental improvement projects are no neutral matter, but rather necessitate social political and economic regulations at the community level. Land and forest based mitigation and adaptation to climate change (REDD+) are integral to these mega projects. The choice of the word "mega" is not an overstatement or without reason in looking at the deployment of public funds subsequent to supporting policies at the global, national and local levels in support of REDD+ projects. The study team's report initiated by the Climate Policy Initiative in collaboration with the Fiscal Policy Agency at the Indonesian Ministry of Finance (2014) states that in 2011, at least Rp. 8.4 trillion (USD 951 million) of climate change funds was derived from public funding sources both domestically (Rp. 5.5 trillion) and internationally (Rp. 2.9 trillion). It is even planned that the Government of Norway together with the Global Green Growth Institute (GGGI) will provide USD 19 million (equivalent to approximately Rp. 250 billion) of grants to Indonesia to support green investments in the Indonesian renewable energy sector, in special economic zones, forestry and other land use sectors (kompas.com,
November 27, 2015).2
Like a massive wave that is difficult to avoid, fundamental questions have emerged on how do forest communities (hereinafter referred to as community based forest system management/SHK communities) that have a strong connection to forest resources and SHK supporters respond to these environmental improvement projects and REDD+? To what extent are these projects understood and integrated into the activities of SHK communities and supporters? Finally, to what extent are the constraints and opportunities (if any) of forest governance improvement policies and practices at the project site level?
In answering these questions above, this article tries to reflect on the experience of the author's involvement in developing the community carbon Payment for Environmental Services/PES model through the Plan Vivo
certification, which was initiated by the Konsorsium
pendukung Sistem Hutan Kerakyatan- KpSHK (Consortium for Supporting Community Based Forest System Management) together with regional partner institutes.
Beyond the debate and narrative discourse on global REDD+ projects, seeing the lives of people in and around forests as communities that are isolated from the outside environment (global) consists of a romantic worldview that must be viewed critically, regardless of REDD+. In some project locations and SHK areas, other than timber, communities utilize forests by cultivating crops through agro forestry systems that do not only supply local markets but export commodities such as coffee, cocoa, cinnamon and so on. Global commodity trading activities have been developed since the colonial era, which in turn has determined the patterns of local and global relations. Following the view of Chayanov (1966: 258), "through these relations (trade relations, writers) every small hold farmer becomes an organic part of the world economy, encountering the impacts of the world economy and being controlled by the management of it through global capitalistic economic demands, which in turn, along with millions of fellow farmers, affects the entire global economic system. “
REDD+, Threat or Opportunity: Reflecting on the Implementation of the Plan
Vivo Certification in Community Forestry System Management Areas
Muhammad Yusuf1
1
Knowledge ManagementMana erg atKonsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK)(Consortium for Supporting Community Based Forest System Management) The author can be contacted by. emailat:[email protected] / [email protected]
ABukit Regis LampungCommunity Forestry farmer is measuring
thediameterof a tree in the carbon stock measuring plot in a Plan Vivo certification proposed area(documentation:Watala Lampung)
Why Plan Vivo?
In government as well as environmental observer and practitioner circles, REDD+ discourse has incited a never ending debate. Astuti (2013) explained that governments opening up space for participation in REDD+ projects has encouraged activists to adopt a "new subjectivity" that has positioned them as consultants or bureaucrats who in no rush saw this as the depoliticization of the environmental movement. Another debate is how should the principle of equity be defined, who should the benefits be shared with and what are the benefit sharing mechanisms? However, global climate change and the growing decline in the function of forest ecosystem services is now a reality that is often ignored in current debate, which leaves forest farmers as perpetrators and victims of forestry development
practices over the years. The question iswho is going to be
responsible for these problems? Are there mechanisms to ensure the involvement of communities in communicating and campaigning forest management practices in global projects on improving forests and the environment?
The commitment of the Indonesian government to climate change adaptation and mitigation in the land and forest sector is fairly responsive when viewed in terms of policy products. Since 2013, KpSHK together with partner organizations has initiated community carbon payment for environmental service practices through Plan Vivo certification as a form of active involvement in response to
REDD+ .A 2 As it is known, carbon payments for
environmental services or the presence of carbon markets today are generally in the form of voluntary markets that require a standard; Plan Vivo is one such standard that is recognized in Indonesia. According to Annex II of the Ministry of Forestry Regulation No. P.36 / Menhut - II / 2009 on Licensing Procedures for Carbon Sequestration and/or Storage in Production Forests and Protected Forests, there are CCB Standards, Carbon Fix Standards, Plan Vivo Standards and Voluntary Standards (see Table 1). Plan Vivo is one of these standards (protocol) that is focused on communities managing forests in rural areas. Plan Vivo itself is a foundation that was established in 2008 based in Edinburgh in England and was established out of a research-action activity conducted in rural Mexico in 1994 that aimed to develop alternative funding schemes for rural communities that depend on forest resource management.
The preference for the Plan Vivo scheme did not transpire without critical discussions within SHK movement advocacy networks. It was realized that this scheme still consists of "polemics", is full of obstacles, and incites debate on ecological justice and sustainability of the livelihoods of the people in the forests. One of the classic
debates is the position of the SHK movement in demanding commitment from Northern countries (industries) and global corporations to reduce carbon emissions and support environmental improvements as a result of good practices in industrial exploitation of natural resources in their targeted investment areas, including Indonesia.
In looking at all the pros and cons, in principle, the Plan Vivo scheme is still deemed to be in line with the nine principles of SHK, that is, the main actors are the people; forest management institutions are established, implemented and controlled by the people; there are managed areas (forests) and a legal system is in force in the communities; interaction between communities and the managed areas (forest) is direct and close; forest management and utilization is founded on local knowledge and technology; the scale of forest resource production is limited by principles of sustainability; biodiversity is the basis of cultivation patterns and resource use; and social equity is
prioritized (gender) in managing SHK regions. In May 2014,4
a number of agencies and stakeholders were committed to establishing an Indonesian PES consortium, which included: NGOs (community facilitators) namely LATIN, SSS, WARSI, ICS, LTA, WATALA, KAIL, KBCF, Teropong, Transform, SCF, Wallacea; donor agencies: KEMITRAAN, Samdhana Institute, the Ford Foundation, ICCO and other supporting organizations for technical aspects: KpSHK, FFI, CFI, WRI, Yayasan Perspektif Baru (New Perspectives Foundation).
Trial Regions
KpSHK – ICCO Cooperation Community Carbon PES pilot projects were initiated in 2013 up until November 2015 in several regions in Jambi, Bengkulu, Lampung, East Java, Central Kalimantan, South Kalimantan, West Kalimantan, East Kalimantan and Southeast Sulawesi. Of all of the pilot projects that are running, some of them have entered into the Plan Vivo Project Idea Note (PIN) review stage namely: four customary forests in Kerinci district in Jambi; two community forestry areas (HKm) in Kepahiang district in Bengkulu; two community forestry areas in West Lampung in Lampung; one partnership forest in Jember, East Java; four LPHD (village forest management institutes) in Pulang Pisau district in Central Kalimantan; one community forest in Sekadau district in West Kalimantan; and one LPHD in Hulu Sungai Tengah district in South Kalimantan. The other regions are still at the stage of writing the PIN (Table 2).
SHK Management and PES Challenges at the Site
Level
As previously noted, seeing communities and SHK governance as something that is isolated from outside intervention is a romantic view that demands an objective perspective in looking at forest management in the SHK units. Access restrictions and denial of factual tenure of
historical communities on the periphery of forests; environmental improvement project interventions from governments, international development agencies and environmental groups; demographic dynamics (migration between regions) through to expansion of land-based large-scale extractive businesses unequivocally demands communities to interact with a variety of development agendas.
Some local communities take part in utilizing policy opportunities that provide channels for forest management and tenure through social forestry schemes (HKM and village forests/HD) and Perhutani and national park community based forest management (CBFM) partnership schemes (typically Javanese). In regard to this, all community forest management and tenure models in the state forest areas are practically introducing new land governance to local communities that claim to adopt
forestry science despite the fact that some indigenous/local6
communities still have their own knowledge pertaining to their concept of space/territories, which includes among others, forest management by the Kerinci indigenous
communities that still practice the local concept Ajun Arah
in managing space and community forestry management in Rejang Kapahiang Bengkulu communities that still adheres to local knowledge in cultivatingKabau.
The knowledge of indigenous communities has certainly intermingled with external forest management intervention, which has helped introduce procedures, technical knowledge on forest management and new institutions. In this context, the interaction of indigenous community knowledge and various knowledge imposed from the outside, opens up questions on the shared trials as to whether such interaction of knowledge affects the direction of change for the better? Most importantly, the notion that indigenous community knowledge in managing forests long vanished since the enactment of the Forestry Law and the expansion of large-scale timber-based forestry businesses needs to be rectified together.
The payment for environmental services itself is not a new thing in some SHK locations. The community forestry groups in Register 45B in West Lampung, for example, have developed a PES mechanism for the community forestry groups located in upstream areas with the village c o m m u n i t i e s l o c a t e d
downstream. Since the initial planning stage to establish community forestry, which was facilitated by the NGO Watala L a m p u n g , a g r e e m e n t developed not only at the group level, but between villages on the importance of the forests in the upstream re g io n s (t h e c om mu n i ty forestry locations) on the lives of downstream communities.
The community carbon payment for environmental services is a relatively new term. It is not surprising then that an array of challenges have emerged in the socializations through to the implementation
of the Plan Vivo certification at the community level. Partner institutes face a series of challenges like how to explain carbon transactions, benefit sharing through to measuring carbon stock in the project regions.
Thus far, discussions on carbon emission reduction still tend to revolve around how much economic benefit can be generated by carbon but fail to consider how the carbon will be sold in the schemes so that these carbon economic benefits can be achieved. Not surprisingly, payments for carbon ecosystem services from users to providers generally have not taken off yet, especially in Indonesia, in other words carbon credit communities at the national level have not been developed with the exception of a few trials through projects. Meanwhile, the global carbon credit demand is currently driven by the commitment of
developed countries to the Kyoto Protocol. It is these target developed countries that create the demand for carbon credit. In the Kyoto Protocol scheme, fellow developed countries can mutually trade in emissions or carbon offset mechanisms through the CDM (Clean Development Mechanism), namely the right to emissions derived from
developing countries. Current carbon credit conditions are7
quite sluggish. The downturn in the global economy has resulted in a decline in the activities of developed countries, which has subsequently led to the decline in their emissions. In turn, this has created decreased demand for carbon.
Another issue encountered in the implementation of the Plan Vivo certification was the carbon stock measurements or baselines in the proposed project areas. As mentioned earlier, one of the principles in implementing the Plan Vivo certification is that the quality of vegetation, biodiversity, land cover and forest governance improvements must be measured and monitored quantitatively. Carbon stock is the main measurement that is recognized in carbon credit; carbon stock equivalent to the amount of land cover (trees) is equivalent to the nominal value of money. Calculation of carbon stocks requires a strict a p p l i c a t i o n o f f o re s t r y science, including the required verification (recognition) of validators who are "foreign" to the communities and even th e f a c il i t a ti n g p a rt n e r institutes themselves. In calculating carbon stocks, selection of the method is very important in determining the carbon stock or project baseline as well as the types of activities that will be carried out by the communities. There are two main types of methods currently known in the implementation of the Plan Vivo certification, namely (1) avoid deforestation; and (2) ecosystem rehabilitation. What emerges in the avoid deforestation method is a scenario controlling the rate of deforestation or the equivalent through how many trees and how much land area that can be maintained and not cut down in 10 years. Meanwhile, the ecosystem rehabilitation method is more focused on how many trees and how much land area can be grown in the next 10 years. Each of these methods stands alone as the implications are very strong in the annual monitoring. I n fact, in ventories or documentation on the vege