• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUBJEK PAJAK. Orang Pribadi Warisan yang Belum Terbagi Badan Bentuk Usaha Tetap

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUBJEK PAJAK. Orang Pribadi Warisan yang Belum Terbagi Badan Bentuk Usaha Tetap"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PAJAK

(2)

SUBJEK PAJAK

■ Orang Pribadi

■ Warisan yang Belum Terbagi

■ Badan

(3)

SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI

■ Tanpa batasan tempat tinggal atau tempat kedudukan

■ Pengusaha  Perusahaan Perorangan

■ Karyawan

■ Profesional / Tenaga Ahli  Pekerjaan Bebas (dokter, akuntan,

pengacara, konsultan, arsitek, notaris, penilai, aktuaris)

(4)

WARISAN YANG BELUM DIBAGI

■ Merupakan satu kesatuan, menggantikan yang

berhak (ahli waris)

■ Tetap harus membayar pajak meskipun warisan

belum dibagi kepada yang berhak.

(5)

SUBJEK PAJAK BADAN

■ Sekumpulan orang dan atau kumpulan modal

sebagai satu kesatuan, baik melakukan usaha atau

tidak melakukan usaha

■ PT, CV, firma, koperasi, dana pensiun, perkumpulan,

yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,

lembaga

(6)

BENTUK USAHA TETAP

■ Bentuk usaha yang digunakan oleh subyek pajak luar negeri yang

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia

■ Berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor

perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk

promosi/penjualan, pertambangan, pengeboran, pertanian, proyek

konstruksi, pemberian jasa, orang atau badan yang bertindak selaku

agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai asuransi,

komputer untuk e-commerce

(7)

JENIS SUBJEK PAJAK

■ SPDN : Subjek Pajak Dalam Negeri

■ SPLN : Subjek Pajak Luar Negeri

(8)

Subjek Pajak Dalam Negeri

■ Orang Pribadi (OP) yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia

lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau OP yang berada

di Indonesia dan berniat tinggal di Indonesia;

■ Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;

■ Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang

berhak.

(9)

KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF DALAM NEGERI

MULAI

Pada waktu OP dilahirkan, berada, atau berniat

untuk bertempat tinggal di Indonesia

Pada waktu Badan didirikan atau bertempat

kedudukan Indonesia

(10)

KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF DALAM NEGERI

BERAKHIR

Pada saat OP meninggal dunia atau meninggalkan

Indonesia untuk selama-lamanya

Pada saat Badan dibubarkan atau tidak lagi bertempat

kedudukan di Indonesia

(11)

Subjek Pajak Luar Negeri

Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal/ berada di Indonesia tidak lebih

dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan Badan yang tidak

didirikan/berkedudukan di Indonesia

 yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha

tetap (BUT) di Indonesia.

 yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia

bukan

dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha

tetap (BUT) di Indonesia.

(12)

BUKAN SUBJEK PAJAK

■ BADAN PERWAKILAN NEGARA ASING

■ PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK, KONSULAT, ATAU PEJABAT-PEJABAT ASING, DAN ORANG-ORANG YANG DIPERBANTUKAN DENGAN SYARAT BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA DAN TIDAK MENJALANKAN KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH

PENGHASILAN DI INDONESIA

■ ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN OLEH MENTERI KEUANGAN DENGAN SYARAT:

■ PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN DENGAN SYARAT BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA DAN TIDAK MENJALANKAN KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH PENGHASILAN DI

(13)

WAJIB PAJAK

■ Mempunyai kewajiban pajak subjektif dan

objektif

■ Termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak

(withholding agents)

(14)

OBJEK PAJAK PENGHASILN ADALAH

PENGHASILAN

Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan

ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,

baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar

Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau

untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang

bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa

pun

(15)

PENGELOMPOKAN PENGHASILAN

1.

PENGHASILAN DALAM HUBUNGAN KERJA DAN PEKERJAAN BEBAS

2.

PENGHASILAN DARI USAHA DAN KEGIATAN

3.

PENGHASILAN DARI MODAL

(16)

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (1)

Pasal 4 Ayat 1

1.

penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang

diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,

komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk

lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini

2.

hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan

3.

laba usaha

(17)

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (2)

5.

penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai

biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

6.

bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan

pengembalian utang;

7.

dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil

usaha koperasi;

(18)

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (3)

9.

sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah

tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

(19)

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (4)

12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;

13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

14. premi asuransi;

15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari

anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang

(20)

OBJEK PAJAK PENGHASILAN (5)

16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan

yang belum dikenakan pajak;

17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan

tata cara perpajakan; dan

(21)

PENGURANG PENGHASILAN BRUTO

■ Objek PPh : Laba Usaha (Penghasilan Netto) menurut

ketentuan fiskal  LABA FISKAL

■ Penghasilan Netto = Penghasilan Bruto yang Merupakan

Objek Pajak – Beban yang Boleh Dikurangkan dari

(22)

PENENTUAN PENGURANG PADA PENGHASILAN BRUTO

EXPENSES

(BIAYA)

DEDUCTIBLE

EXPENSES

PASAL 6 AYAT 1

NON DEDUCTIBLE

EXPENSES

PASAL 9 AYAT 1

(23)

DEDUCTIBLE EXPENSES

1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:

a. biaya pembelian bahan;

b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang

c. bunga, sewa, dan royalti; d. biaya perjalanan;

e. biaya pengolahan limbah; f. premi asuransi;

g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

(24)

DEDUCTIBLE EXPENSES

2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A

3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;

4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan;

5. kerugian selisih kurs mata uang asing;

6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; 7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

(25)

DEDUCTIBLE EXPENSES

8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;

c. atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara

kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;

d. syarat sebagaimana dimaksud pada HURUF C tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil

(26)

DEDUCTIBLE EXPENSES

9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah

10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan

(27)

DEDUCTIBLE EXPENSES

:

HANDPHONE dan KENDARAAN PERUSAHAAN

(KEP. DJP No. KEP-220/PJ./2002, tanggal 18 April 2002)

1. Handphone

a. Cost diakui 50%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok I

b. Abonemen, Pulsa (voucher isi ulang), dan Perbaikan dibebankan 50% pada tahun pengeluaran

2. Bus/Minibus untuk Antar Jemput Karyawan

a. Cost (termasuk perbaikan besar) diakui 100%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok II

b. Pemeliharaan rutin dibebankan seluruhnya pada tahun pengeluaran

3. Sedan/Sejenisnya untuk Pegawai dengan Jabatan/Pekerjaan Tertentu

a. Cost (termasuk perbaikan besar) diakui 50%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok II

(28)

DEDUCTIBLE EXPENSES : PENYUSUTAN

■ Infomasi penting untuk menghitung penyusutan berdasarkan pajak

adalah:

– Penyusutan dalam peraturan perpajakan ditentukan berdasarkan tarif sesuai

dengan metode penyusutan yang di pilih

– Tarif penyusutan berdasarkan pengelompokkan barang yang diatur dalam

peraturan perpajakan.

– Penyusutan dengan menggunakan saldo menurun, nilai sisa pada akhir masa

masa manfaat harus disusutkan sekaligus.

(29)
(30)

Contoh Menghitung Biaya Penyusutan

Harga Perolehan

100,000,000

Tahun

Tarif

Penyusutan

Akumulasi

Penyusutan

Penyusutan

Per Tahun

Penyusutan

2009

25%

12,500,000

12,500,000

2010

25%

25,000,000

37,500,000

2011

25%

25,000,000

62,500,000

2012

25%

25,000,000

87,500,000

2013

25%

12,500,000

100,000,000

Total

100,000,000

(31)

KOMPENSASI KERUGIAN

Kerugian Fiskal muncul apabila Beban Fiskal lebih

besar daripada Penghasilan Fiskal

Kerugian Fiskal dapat dikompensasikan mulai tahun

pajak berikutnya berturut-turut sampai 5 tahun

Tidak boleh digabung dengan kerugian fiskal tahun

(32)

KOMPENSASI KERUGIAN

■ PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.

1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 tahun

berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut:

– 2010 : laba fiskal Rp. 200.000.000

– 2011 : rugi fiskal Rp.(300.000.000)

– 2012 : laba fiskal Rp. Nihil

– 2013 : laba fiskal Rp. 100.000.000

(33)
(34)

 Besaran atau nominal

Rp 54.000.000 bagi diri WP

Rp 4,500.000 tambahan bagi WP yang kawin

Rp 58,500,000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan

penghasilan suami

Rp 4,500,000 tambahan untuk setiap anggota

keluarga yang menjadi tanggungan, maksimum 3

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

(35)

TANGGUNGAN

■ setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis

keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan

sepenuhnya (tidak memiliki penghasilan) Paling banyak 3 (tiga) orang

untuk setiap keluarga.

(36)

HUBUNGAN KELUARGA

WAJIB PAJAK SEDARAH LURUS: ORANGTUA ANAK KANDUNG KE SAMPING: SAUDARA (KAKAK & ADIK) SEMENDA LURUS: MERTUA, ANAK TIRI KE SAMPING: IPAR

(37)

ISTILAH DALAM PTKP

■ TK/0 : tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan ■ TK/1 : tidak kawin dan mempunyai satu tanggungan ■ TK/2 : tidak kawin dan mempunyai dua tanggungan ■ K/1 : kawin dan mempunyai satu tanggungan

■ K/2 : kawin dan mempunyai dua tanggungan ■ K/3 : kawin dan mempunyai tiga tanggungan

■ K/I/1: kawin, isteri mempunyai penghasilan yang digabung dengan penghasilan suami dan mempunyai 1 tanggungan

■ PH : wajib pajak kawin dan pisah harta dan penghasilan

■ HB : wajib pajak kawin yang telah hidup berpisah ditambah banyak tanggungan yang mendapatkan pengurangan PTKP

(38)

NON DEDUCTIBLE EXPENSES

1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti

dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi

kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi

pemegang saham, sekutu, atau anggota;

(39)

NON DEDUCTIBLE EXPENSES

4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

(40)

NON DEDUCTIBLE EXPENSES

7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan huruf i sampai

dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang

ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; 8. Pajak Penghasilan;

9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

(41)

NON DEDUCTIBLE EXPENSES

10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang

perpajakan.

12. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk

(42)

NON DEDUCTIBLE EXPENSES

1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak

2. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final

3. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

4. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan

5. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam

usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.

(43)

Penggabungan Penghasilan Untuk Keluarga – Pasal 8

■ berdasarkan Undang-Undang PPh menempatkan keluarga sebagai satu

kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota

keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan

(44)

Pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara

terpisah

■ Penghasilan isteri diperoleh semata-mata dari satu pemberi kerja

dan

■ Penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada

hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau

anggota keluarga lainnya.

(45)

Penghitungan pajaknya dilakukan secara proposional

suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;

dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan

perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau

dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak

dan kewajiban perpajakannya sendiri.

(46)

Penghasilan Anak Yang Belum Dewasa

■ penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber

penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan

penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.

■ Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang

belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

(47)

Definisi Penghasilan Kena Pajak

■ Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk

menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang

■ Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk

menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan

dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma

Penghitungan.

(48)

PPH TERUTANG

■ PPH TERUTANG = TARIF PPH x PENGHASILAN KENA PAJAK

■ UNTUK WP ORANG PRIBADI

– PENGHASILAN KENA PAJAK = PENGHASILAN NETTO – PTKP

■ UNTUK WP BADAN

(49)

PENGHASILAN NETTO

■ PENGHASILAN NETTO WP OP – PEMBUKUAN

– NORMA PERHITUNGAN

■ PENGHASILAN NETTO WP BADAN: – PEMBUKUAN

(50)

NORMA PERHITUNGAN

■ Hanya untuk WP Orang Pribadi

■ Peredaran bruto dalam satu tahun < Rp 4,8 milyar

■ Memberitahukan kepada DJP dalam 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan

(51)

CONTOH : PENGGUNAAN NORMA

Seorang dokter, status kawin, istri tidak bekerja/tidak memiliki penghasilan, mempunyai 3 (tiga) orang anak, bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon.

Norma perhitungan penghasilan netto industri rotan (kode 33100) adalah 12,5% dan untuk dokter (kode 93213) sebesar 45%

Penghasilan selama tahun 2009:

- Peredaran usaha dari Industri Rotan : Rp. 200.000.000 - Penerimaan bruto sebagai dokter : Rp. 72.000.000

(52)

Penghasilan neto dihitung sebagai berikut :

- Industri rotan : 12,5% X Rp. 200.000.000 : Rp.25.000.000 - Dokter : 45% X Rp. 72.000.000 : Rp.32.400.000 Jumlah Penghasilan Neto Rp.57.400.000 Penghasilan Kena Pajak untuk WP Orang Pribadi

= Penghasilan Neto dikurangi PTKP = Rp. 57.400.000 - Rp. 54.000.000 = Rp. 3.400.000

Pajak penghasilan yang terutang : 5% X Rp. 3,400,000 = Rp. 170.000

(53)

TARIF PPH

Pasal 17 UU No. 36/2008 tentang PPh

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif PPh (dalam Rupiah) sampai dengan 50.000.000 5% 50.000.000 - 250.000.000 15% 250.000.000 - 500.000.000 25% di atas 500.000.000 30%

WP Orang Pribadi

(54)

Contoh PPH pasal 17

■ Jika Tuan Ahmad memiliki penghasilan dalam 1 (satu) tahun sebesar 500.000.000 setelah dipotong PTKP.

■ Maka pembayaran tarif pph pasal 17 adalah 5% x 50.000.000 = 2.500.000 15% x 200.000.000 = 30.000.000 25% x 250.000.000 = 62.500.000 Total 95.000.000

(55)

TARIF PPH

Pasal 31E tentang PPh

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif PPh (dalam Rupiah)

Untuk semua penghasilan kena pajak

25%

WP Badan

1. Tarif ini ditetapkan sebesar 28% dan berubah menjadi 25% sejak tahun pajak 2010

2. Bagi WP yang telah go public dengan minimal 40% saham dimiliki masyarakat diberikan pengurangan 5%

(56)

Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak – Pasal 31E

■ Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp. 4,5 Milyar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 500 juta.

■ Karena peredaran bruto kurang dari Rp. 4,8 Milyar, sehingga tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak tersebut adalah 50% dari tarif Pajak Penghasilan yang berlaku.

■ Perhitungan PPh terhutang adalah:

Penghasilan Kena Pajak

Rp

500,000,000

Tarif PPh yang berlaku

25% x 50%

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini dikatakan bahwa pada ibu primigravida maupun multigravida sebagian besar ditunggui suaminya yang tidak ditunggu mengalami mekanisme koping non

Memang kendala dari para siswa tentang proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis ICT atau multimedia tidak begitu serius. Hal ini karena memang kebanyakan

• Pengambilan contoh bertujuan ( purposive sampling ) adalah pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan syarat atau kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh peneliti

memengaruhi persepsi publik terhadap reputasi perusahaan yang sering diminta menjadi narasumber atau sering diminta pendapatnya mengenai suatu kasus atau isu oleh media

Zakat fitrah wajib bagi orang islam yang mempunyai kelebihan keperluan makan bagi dirinya dan orang tanggungannya pada siang  juga malam hari raya(Idul

Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya dapat disingkat SKRDLB atau dokumen lain yang dipersamakan adalah surat keputusan yang menentukan

Kehandalan model serta estimator yang digunakan pada kenyataan belum cukup untuk menghasilkan model pengenalan terbaik, akan tetapi ada faktor lain yang

Karena pendekatan collaborative filtering melakukan prediksi berdasarkan rating yang diberikan user pada item, maka menjadi suatu masalah ketika suatu item baru masuk ke dalam