PAJAK
SUBJEK PAJAK
■ Orang Pribadi
■ Warisan yang Belum Terbagi
■ Badan
SUBJEK PAJAK ORANG PRIBADI
■ Tanpa batasan tempat tinggal atau tempat kedudukan
■ Pengusaha Perusahaan Perorangan
■ Karyawan
■ Profesional / Tenaga Ahli Pekerjaan Bebas (dokter, akuntan,
pengacara, konsultan, arsitek, notaris, penilai, aktuaris)
WARISAN YANG BELUM DIBAGI
■ Merupakan satu kesatuan, menggantikan yang
berhak (ahli waris)
■ Tetap harus membayar pajak meskipun warisan
belum dibagi kepada yang berhak.
SUBJEK PAJAK BADAN
■ Sekumpulan orang dan atau kumpulan modal
sebagai satu kesatuan, baik melakukan usaha atau
tidak melakukan usaha
■ PT, CV, firma, koperasi, dana pensiun, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik,
lembaga
BENTUK USAHA TETAP
■ Bentuk usaha yang digunakan oleh subyek pajak luar negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
■ Berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor
perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk
promosi/penjualan, pertambangan, pengeboran, pertanian, proyek
konstruksi, pemberian jasa, orang atau badan yang bertindak selaku
agen yang kedudukannya tidak bebas, agen atau pegawai asuransi,
komputer untuk e-commerce
JENIS SUBJEK PAJAK
■ SPDN : Subjek Pajak Dalam Negeri
■ SPLN : Subjek Pajak Luar Negeri
Subjek Pajak Dalam Negeri
■ Orang Pribadi (OP) yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau OP yang berada
di Indonesia dan berniat tinggal di Indonesia;
■ Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
■ Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak.
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF DALAM NEGERI
MULAI
•
Pada waktu OP dilahirkan, berada, atau berniat
untuk bertempat tinggal di Indonesia
•
Pada waktu Badan didirikan atau bertempat
kedudukan Indonesia
KEWAJIBAN PAJAK SUBJEKTIF DALAM NEGERI
BERAKHIR
Pada saat OP meninggal dunia atau meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya
Pada saat Badan dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal/ berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan Badan yang tidak
didirikan/berkedudukan di Indonesia
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap (BUT) di Indonesia.
yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
bukan
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap (BUT) di Indonesia.
BUKAN SUBJEK PAJAK
■ BADAN PERWAKILAN NEGARA ASING
■ PEJABAT PERWAKILAN DIPLOMATIK, KONSULAT, ATAU PEJABAT-PEJABAT ASING, DAN ORANG-ORANG YANG DIPERBANTUKAN DENGAN SYARAT BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA DAN TIDAK MENJALANKAN KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH
PENGHASILAN DI INDONESIA
■ ORGANISASI-ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN OLEH MENTERI KEUANGAN DENGAN SYARAT:
■ PEJABAT-PEJABAT PERWAKILAN ORGANISASI INTERNASIONAL YANG DITETAPKAN DENGAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN DENGAN SYARAT BUKAN WARGA NEGARA INDONESIA DAN TIDAK MENJALANKAN KEGIATAN LAIN UNTUK MEMPEROLEH PENGHASILAN DI
WAJIB PAJAK
■ Mempunyai kewajiban pajak subjektif dan
objektif
■ Termasuk pemungut pajak dan pemotong pajak
(withholding agents)
OBJEK PAJAK PENGHASILN ADALAH
PENGHASILAN
Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun
PENGELOMPOKAN PENGHASILAN
1.
PENGHASILAN DALAM HUBUNGAN KERJA DAN PEKERJAAN BEBAS
2.
PENGHASILAN DARI USAHA DAN KEGIATAN
3.
PENGHASILAN DARI MODAL
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (1)
Pasal 4 Ayat 1
1.
penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini
2.
hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan
3.
laba usaha
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (2)
5.
penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
6.
bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
7.
dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (3)
9.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
11. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (4)
12. keuntungan selisih kurs mata uang asing;
13. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
14. premi asuransi;
15. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang
OBJEK PAJAK PENGHASILAN (5)
16. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan
yang belum dikenakan pajak;
17. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
18. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan
tata cara perpajakan; dan
PENGURANG PENGHASILAN BRUTO
■ Objek PPh : Laba Usaha (Penghasilan Netto) menurut
ketentuan fiskal LABA FISKAL
■ Penghasilan Netto = Penghasilan Bruto yang Merupakan
Objek Pajak – Beban yang Boleh Dikurangkan dari
PENENTUAN PENGURANG PADA PENGHASILAN BRUTO
EXPENSES
(BIAYA)
DEDUCTIBLE
EXPENSES
PASAL 6 AYAT 1
NON DEDUCTIBLE
EXPENSES
PASAL 9 AYAT 1
DEDUCTIBLE EXPENSES
1. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
a. biaya pembelian bahan;
b. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang
c. bunga, sewa, dan royalti; d. biaya perjalanan;
e. biaya pengolahan limbah; f. premi asuransi;
g. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
DEDUCTIBLE EXPENSES
2. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A
3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
4. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
5. kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; 7. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
DEDUCTIBLE EXPENSES
8. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:
a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
c. atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu;
d. syarat sebagaimana dimaksud pada HURUF C tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil
DEDUCTIBLE EXPENSES
9. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
10. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
12. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan
DEDUCTIBLE EXPENSES
:HANDPHONE dan KENDARAAN PERUSAHAAN
(KEP. DJP No. KEP-220/PJ./2002, tanggal 18 April 2002)
1. Handphone
a. Cost diakui 50%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok I
b. Abonemen, Pulsa (voucher isi ulang), dan Perbaikan dibebankan 50% pada tahun pengeluaran
2. Bus/Minibus untuk Antar Jemput Karyawan
a. Cost (termasuk perbaikan besar) diakui 100%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok II
b. Pemeliharaan rutin dibebankan seluruhnya pada tahun pengeluaran
3. Sedan/Sejenisnya untuk Pegawai dengan Jabatan/Pekerjaan Tertentu
a. Cost (termasuk perbaikan besar) diakui 50%, disusutkan sebagai aktiva Kelompok II
DEDUCTIBLE EXPENSES : PENYUSUTAN
■ Infomasi penting untuk menghitung penyusutan berdasarkan pajak
adalah:
– Penyusutan dalam peraturan perpajakan ditentukan berdasarkan tarif sesuai
dengan metode penyusutan yang di pilih
– Tarif penyusutan berdasarkan pengelompokkan barang yang diatur dalam
peraturan perpajakan.
– Penyusutan dengan menggunakan saldo menurun, nilai sisa pada akhir masa
masa manfaat harus disusutkan sekaligus.
Contoh Menghitung Biaya Penyusutan
Harga Perolehan
100,000,000
Tahun
Tarif
Penyusutan
Akumulasi
Penyusutan
Penyusutan
Per Tahun
Penyusutan
2009
25%
12,500,000
12,500,000
2010
25%
25,000,000
37,500,000
2011
25%
25,000,000
62,500,000
2012
25%
25,000,000
87,500,000
2013
25%
12,500,000
100,000,000
Total
100,000,000
KOMPENSASI KERUGIAN
Kerugian Fiskal muncul apabila Beban Fiskal lebih
besar daripada Penghasilan Fiskal
Kerugian Fiskal dapat dikompensasikan mulai tahun
pajak berikutnya berturut-turut sampai 5 tahun
Tidak boleh digabung dengan kerugian fiskal tahun
KOMPENSASI KERUGIAN
■ PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.
1.200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 tahun
berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut:
– 2010 : laba fiskal Rp. 200.000.000
– 2011 : rugi fiskal Rp.(300.000.000)
– 2012 : laba fiskal Rp. Nihil
– 2013 : laba fiskal Rp. 100.000.000
Besaran atau nominal
Rp 54.000.000 bagi diri WP
Rp 4,500.000 tambahan bagi WP yang kawin
Rp 58,500,000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami
Rp 4,500,000 tambahan untuk setiap anggota
keluarga yang menjadi tanggungan, maksimum 3
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
TANGGUNGAN
■ setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya (tidak memiliki penghasilan) Paling banyak 3 (tiga) orang
untuk setiap keluarga.
HUBUNGAN KELUARGA
WAJIB PAJAK SEDARAH LURUS: ORANGTUA ANAK KANDUNG KE SAMPING: SAUDARA (KAKAK & ADIK) SEMENDA LURUS: MERTUA, ANAK TIRI KE SAMPING: IPARISTILAH DALAM PTKP
■ TK/0 : tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan ■ TK/1 : tidak kawin dan mempunyai satu tanggungan ■ TK/2 : tidak kawin dan mempunyai dua tanggungan ■ K/1 : kawin dan mempunyai satu tanggungan
■ K/2 : kawin dan mempunyai dua tanggungan ■ K/3 : kawin dan mempunyai tiga tanggungan
■ K/I/1: kawin, isteri mempunyai penghasilan yang digabung dengan penghasilan suami dan mempunyai 1 tanggungan
■ PH : wajib pajak kawin dan pisah harta dan penghasilan
■ HB : wajib pajak kawin yang telah hidup berpisah ditambah banyak tanggungan yang mendapatkan pengurangan PTKP
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
1. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
4. premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
5. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
7. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan huruf i sampai
dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; 8. Pajak Penghasilan;
9. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
10. gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
11. sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di bidang
perpajakan.
12. Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
NON DEDUCTIBLE EXPENSES
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak
2. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final
3. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
4. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan
5. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam
usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Penggabungan Penghasilan Untuk Keluarga – Pasal 8
■ berdasarkan Undang-Undang PPh menempatkan keluarga sebagai satu
kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota
keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan
Pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara
terpisah
■ Penghasilan isteri diperoleh semata-mata dari satu pemberi kerja
dan
■ Penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga lainnya.
Penghitungan pajaknya dilakukan secara proposional
■
suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
■
dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan
perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau
■
dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak
dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Penghasilan Anak Yang Belum Dewasa
■ penghasilan anak yang belum dewasa dari mana pun sumber
penghasilannya dan apa pun sifat pekerjaannya digabung dengan
penghasilan orang tuanya dalam tahun pajak yang sama.
■ Yang dimaksud dengan “anak yang belum dewasa” adalah anak yang
belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Definisi Penghasilan Kena Pajak
■ Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk
menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang
■ Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan
dengan cara biasa dan penghitungan dengan menggunakan Norma
Penghitungan.
PPH TERUTANG
■ PPH TERUTANG = TARIF PPH x PENGHASILAN KENA PAJAK
■ UNTUK WP ORANG PRIBADI
– PENGHASILAN KENA PAJAK = PENGHASILAN NETTO – PTKP
■ UNTUK WP BADAN
PENGHASILAN NETTO
■ PENGHASILAN NETTO WP OP – PEMBUKUAN
– NORMA PERHITUNGAN
■ PENGHASILAN NETTO WP BADAN: – PEMBUKUAN
NORMA PERHITUNGAN
■ Hanya untuk WP Orang Pribadi
■ Peredaran bruto dalam satu tahun < Rp 4,8 milyar
■ Memberitahukan kepada DJP dalam 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan
CONTOH : PENGGUNAAN NORMA
Seorang dokter, status kawin, istri tidak bekerja/tidak memiliki penghasilan, mempunyai 3 (tiga) orang anak, bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon.
Norma perhitungan penghasilan netto industri rotan (kode 33100) adalah 12,5% dan untuk dokter (kode 93213) sebesar 45%
Penghasilan selama tahun 2009:
- Peredaran usaha dari Industri Rotan : Rp. 200.000.000 - Penerimaan bruto sebagai dokter : Rp. 72.000.000
Penghasilan neto dihitung sebagai berikut :
- Industri rotan : 12,5% X Rp. 200.000.000 : Rp.25.000.000 - Dokter : 45% X Rp. 72.000.000 : Rp.32.400.000 Jumlah Penghasilan Neto Rp.57.400.000 Penghasilan Kena Pajak untuk WP Orang Pribadi
= Penghasilan Neto dikurangi PTKP = Rp. 57.400.000 - Rp. 54.000.000 = Rp. 3.400.000
Pajak penghasilan yang terutang : 5% X Rp. 3,400,000 = Rp. 170.000
TARIF PPH
Pasal 17 UU No. 36/2008 tentang PPh
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif PPh (dalam Rupiah) sampai dengan 50.000.000 5% 50.000.000 - 250.000.000 15% 250.000.000 - 500.000.000 25% di atas 500.000.000 30%
WP Orang Pribadi
Contoh PPH pasal 17
■ Jika Tuan Ahmad memiliki penghasilan dalam 1 (satu) tahun sebesar 500.000.000 setelah dipotong PTKP.
■ Maka pembayaran tarif pph pasal 17 adalah 5% x 50.000.000 = 2.500.000 15% x 200.000.000 = 30.000.000 25% x 250.000.000 = 62.500.000 Total 95.000.000
TARIF PPH
Pasal 31E tentang PPh
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif PPh (dalam Rupiah)
Untuk semua penghasilan kena pajak
25%
WP Badan
1. Tarif ini ditetapkan sebesar 28% dan berubah menjadi 25% sejak tahun pajak 2010
2. Bagi WP yang telah go public dengan minimal 40% saham dimiliki masyarakat diberikan pengurangan 5%
Fasilitas Pengurangan Tarif Pajak – Pasal 31E
■ Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp. 4,5 Milyar dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp. 500 juta.
■ Karena peredaran bruto kurang dari Rp. 4,8 Milyar, sehingga tarif pajak yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak tersebut adalah 50% dari tarif Pajak Penghasilan yang berlaku.
■ Perhitungan PPh terhutang adalah: