• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang

Fenomena persaingan yang ada dalam era globalisasi akan semakin mengarahkan sistem perekonomian Indonesia ke mekanisme pasar yang memposisikan pemasar untuk selalu mengembangkan dan merebut market share (pangsa pasar) dengan mengandalkan harga. Dengan harga juga tidak menguntungkan perusahaan dalam jangka panjang oleh karena itu perusahaan harus mengembangkan keunggulan kompetitif yang berdasarkan pada persaingan non harga. Maka dari itu dizaman modern sekarang ini banyak perusahaan bersaing untuk memperoleh konsumen, salah satunya adalah perusahaan kosmetik yang dimana kosmetik sejak dulu sudah menjadi teman setia para remaja perempuan yang membantunya tampil lebih menarik.

Menurut Kartono (2007) pada masa remaja anak muda mulai menemukan nilai-nilai hidup dirinya, sehingga makin jelas pemahaman tentang keadaan dirinya. Ia mulai bersikap kritis terhadap obyek-obyek diluar dirinya dan dia mampu mengambil sintese antara tanggapan tentang dunia luar dengan dunia intern (kehidupan psikis sendiri).

Menurut Hurlock (1980) masa remaja disebut juga masa mencari identitas diri seperti telah ditunjukkan dalam hal pakaian, berbicara dan perilaku anak yang lebih besar ingin lebih cepat seperti teman-teman sebayanya. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin. Minat pada penampilan diri tidak hanya mencakup pakaian tetapi juga mencakup perhiasan pribadi, kerapihan, daya tarik dan bentuk tubuh. Masa remaja yang digunakan dalam penelitian ini adalah masa remaja akhir yang berumur dari usia 17 sampai 24 tahun.

(2)

Kaitan dengan penggunaan dan pengenalan kosmetik yang dilakukan oleh para remaja perempuan adalah adanya penyesuaian diri yang baru yang dimana pada masa itu mereka ingin menampilkan sesuatu yang berbeda untuk mengikat lawan jenis mereka atau proses dimana adanya penerimaan diri dikelompok teman sebayanya.

Penggunaan kosmetik yang cocok dapat membantu menutupi kekurangan wajah dan menonjolkan kelebihan dari wajah, sehingga pemakainya kelihatan lebih cantik. Kosmetik digunakan pada tubuh untuk mempercantik, menjaga, atau merubah penampilan atau untuk membersihkan, mewarnai, memelihara, atau melindungi kulit, rambut, kuku, bibir, mata, atau gigi. Kosmetik merupakan produk yang unik karena selain produk ini memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mendasar para remaja perempuan akan kecantikan sekaligus seringkali menjadi sarana bagi konsumen untuk memperjelas identitas dirinya secara sosial dimata masyarakat (Salma, 2009).

Banyak produk-produk kosmetik yang beredar di Indonesia yang masing-masing dari produk tersebut menawarkan berbagai macam kegunaan seperti produk pemutih, hal tersebut disebabkan kulit yang putih bersih dan bernuansa cerah saat ini merupakan bagian dari konsep cantik para remaja perempuan Indonesia. Perempuan dan kecantikan adalah dua hal yang hampir selalu berjalan bersama-sama, mereka dibujuk untuk cantik dengan memiliki kulit putih sempurna. Perempuan Indonesia diperkirakan 85 persennya berkulit cenderung gelap, tetapi 55 persennya ingin memiliki kulit lebih putih (Survey L’oreal di Surabaya, Jakarta, Bandung dan Semarang). Perempuan identik dengan cantik bila berkulit putih cerah tanpa noda sebagaimana standar kecantikan di Indonesia.

Data International Cosmetics Club menyebutkan bahwa impor produk kosmetik mencapai Rp 4 miliar sampai Rp 10 miliar per bulan. Bahkan, pada tahun 2006 impor selama setahun mencapai Rp 1 triliun. Sementara itu untuk pasaran lokal, menurut Persatuan Kosmetik Indonesia (PETOSMI) omzet penjualan kosmetik bisa mencapai Rp 40 miliar untuk satu perusahaan besar dalam satu bulan. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian kosmetik di Indonesia sangat besar. Seiring perkembangan zaman, kosmetik seolah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian kaum perempuan. Hal ini memberikan peluang bagi industri

(3)

kosmetik di Indonesia, sehingga banyak bermunculan produk baru dipasaran yang dapat menimbulkan persaingan cukup ketat. Disisi lain konsumen memiliki penilaian dan harapan sendiri terhadap kosmetik yang mereka gunakan. Untuk mampu bersaing dan memuaskan konsumen tentunya suatu produk harus mempunyai keunggulan kompetitif dibandingkan dengan produk pesaing serta dapat memenuhi kebutuhan konsumen (Darmadji, 2008).

Menurut Radji (2008) meskipun pemasar sudah memiliki segmen konsumen yang dianggap loyal, namun tekanan-tekanan persaingan yang gencar yang sengaja diarahkan untuk mengubah loyalitas konsumen, tidak diabaikan karena akan berlanjut dengan perpindahan merek. Melalui pencitraan yang baik diharapkan akan terwujud kepuasan konsumen yang akan berujung pada loyalitas konsumen sebagai akhir dari kegiatan pemasaran.

Untuk memenuhi semua kebutuhan konsumen itu tidaklah mudah karena perusahaan seringkali tertipu oleh perilaku konsumen yang kelihatannya loyal, tetapi jauh dilubuk hatinya tidak loyal. Penyebabnya adalah loyalitas sebenarnya merupakan suatu fenomena psikologis yang berhubungan dengan sikap dan perilaku. Kondisi di mana konsumen mempunyai sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang serta bersedia merekomendasikan merek tersebut kepada orang lain untuk membeli dan menggunakannya baik secara langsung atau dari mulut kemulut (word of mouth) dan tidak lagi berpaling untuk mencoba produk yang ditawarkan oleh pesaing.

Chaudhuri mengatakan bahwa selain itu konsumen yang loyal akan bersedia untuk membayar lebih karena adanya persepsi mengenai keunikan nilai yang ada pada produk dari merek tersebut. Adanya loyalitas merek akan mengarahkan pada pangsa pasar yang lebih besar karena merek yang sama akan dibeli secara berulang oleh konsumen loyal (dalam Prawitowati, 2008).

Menurut Ambler et. Al (dalam Ferrinadewi, 2008) berpendapat bahwa aktivitas pemasaran harus mampu mempengaruhi alam pikir konsumen terhadap merek. Alam pikir manusia meliputi semua yang eksis dalam pikiran konsumen terhadap merek seperti perasaan, pengalaman, citra, persepsi, keyakinan, sikap. Ketika konsumen menggunakan merek tertentu mereka akan terhubung dengan

(4)

merek tersebut artinya konsumen akan membawa serta citra dari pengguna atau karakteristik merek itu sendiri. Lebih dalam lagi saat ini konsumen menduduki peran penting dalam kelangsungan hidup perusahaan. Konsep-konsep yang berkembang seperti konsep kepuasan dan loyalitas merupakan konsep-konsep yang menitikberatkan fokus pembahasannya pada pola perilaku konsumen yang dapat mempengaruhi profitabilitas perusahaan.

Pada perusahaan kosmetik terdapat beberapa lini produk yang ditawarkan kepada konsumen diantaranya adalah pelembab dan pemutih wajah yang dimana untuk memikat hati konsumen untuk membeli dan percaya akan produk mereka maka kebanyakan perusahaan kosmetik menawarkan produknya dengan mengiklankan produk tersebut, penjualan pribadi dan komunikasi.

Dari sekian banyak produk kosmetik yang ditawarkan salah satunya adalah kosmetik Pond’s lah yang banyak digunakan oleh perempuan Indonesia. Pond’s meyakini dan menghargai keinginan perempuan Indonesia untuk mempercantik warna dan kualitas kulitnya namun tidak sebatas itu saja, Pond’s juga membantu dalam menciptakan perasaan cantik, bahagia, nyaman pada diri setiap perempuan untuk mencintai dan dicintai. Wajah adalah jendela hati, artinya wajah mencerminkan hati kita. Kulit wajah yang terawat dan cerah bercahaya akan membantu memberi rasa percaya diri dan kenyamanan sehingga inner beauty pun terpancar (Encounter True Romance With Ponds Flawless White, Februari, 2008).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pond’s Institute, perempuan Asia cenderung mengalami perubahan pigmentasi seperti melasma dan perubahan paska inflamatori (peradangan). Karena itu, penggunaan sunblock dan produk pemutih kulit menjadi elemen penting bagi perawatan kulit perempuan Asia. Inilah yang mendorong perempuan Asia pada umumnya menginginkan kulit putih yang cerah dan sehat. Pond’s melakukan pemetaan kulit dengan detail mengenai tingkat kegelapan, jenis, tekstur kulit di seluruh negara Asia, termasuk Indonesia, sebagai pertimbangan dalam pengembangan skin sensorials dan active systems (Ira Noviarti, Marketing Manager Skin Care, PT Unilever Indonesia Tbk).

PT Unilever selaku pemilik merek Pond’s menyiapkan serangkaian strategi seperti terus mencermati keinginan dan kebutuhan target konsumennya dan tidak berhenti berinovasi menciptakan produk dengan formulasi baru yang

(5)

sesuai dengan kebutuhan konsumen. Pond’s memiliki target pasar konsumen perempuan, mulai dari remaja hingga dewasa. Berdasarkan survey yang dilakukan pada PT. Uniliver khususnya untuk susu pembersih wajah dan pelembab wajah bahwa Pond’s menduduki peringkat pertama, ini dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

Tabel 1

Survei Susu Pembersih Wajah Susu Pembersih Wajah

2010 Merek TBI Ponds 45,8% TOP Viva 17,9% TOP Ovale 13,1% TOP Citra 8,0% Sariayu 6,6% Mustika Ratu 3,7% Tabel 2

Survei Pelembab Wajah Pelembab Wajah 2010 Merek TBI Ponds 45,1% TOP Viva 13,5% TOP Sariayu 11,9% TOP Olay 7,6% Nivea 4,1% Mustika Ratu 3,2% Hazeline 2,5%

Para konsumen dalam membeli sesuatu, bukan hanya sekedar membutuhkan barang itu, akan tetapi ada sesuatu yang lain yang diharapkannya. Sesuatu yang lain itu sesuai dengan citra yang terbentuk dalam dirinya. Oleh sebab itu penting sekali organisasi memberi informasi kepada konsumen agar dapat membentuk citra yang baik (Alma, 2009). Sebagai salah satu faktor yang berpegaruh terhadap loyalitas yaitu adanya citra merek yang tentu juga harus diperhatikan dalam strategi perluasan merek. Citra merek dapat menimbulkan hal yang positif atau yang negatif terhadap produk. Citra merek yang positif dapat membantu konsumen untuk menolak aktifitas yang dilakukan oleh pesaing dan sebaliknya menyukai aktifitas yang dilakukan oleh merek yang disukainya serta selalu mencari informasi yang berkaitan dengan merek tersebut.

Menurut Gobe (dalam Febriani, 2008) kaitan antara citra merek dengan loyalitas yaitu diawali dengan adanya kebutuhan, kemudian adanya persepsi tentang suatu merek (citra merek) dengan asosiasi yang positif, lalu konsumen tersebut mempercayai persepsi dalam benaknya yang membuat konsumen juga mempercayai merek, produk, bahkan perusahaan dan kemudian terjadilah loyalitas konsumen. Menurut Schiffman (2004) yang menyebutkan bahwa citra merek yang positif berasosiasi dengan loyalitas konsumen, kepercayaan konsumen dengan nilai positif terhadap merek, dan keinginan untuk mencari merek tersebut.

(6)

Citra merek juga berkaitan dengan asosiasi merek, kesan merek yang muncul dalam ingatan konsumen meningkat seiring dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam menggunakan dan mengkonsumsi merek tersebut. Selanjutnya, ketika asosiasi-asosiasi dari merek tersebut saling berhubungan semakin kuat maka citra merek yang terbentuk juga akan semakin kuat. Hal inilah yang mendasari konsumen untuk melakukan pembelian kembali dan menjadi loyal pada merek tersebut. Konsumen yang terbiasa menggunakan merek tertentu cenderung memiliki konsistensi terhadap citra dari merek tersebut.

Menurut Ferrinadewi (2008) bahwa konsumen dapat membuat asosiasi merek berdasarkan atribut produk, manfaat produk dan evaluasi keseluruhan sikap. Konsumen dapat membuat asosiasi berdasarkan dari hal-hal yang tidak berhubungan dengan produk misalnya harga, kemasan, desain produk, dan selebritis. Sedangkan asosiasi yang berdasarkan hal-hal yang berhubungan dengan produk misalnya warna, ukuran, desain dan fitur-fitur lainnya. Asosiasi juga dapat diciptakan berdasarkan manfaat produk misalkan manfaat fungsional, manfaat simbolik dan manfaat experiential atau pengalaman. Asosiasi yang terbentuk dari evaluasi keseluruhan sikap dimaksudkan adanya penilaian evaluatif dari kepercayaan konsumen terhadap baik buruknya suatu produk.

Hasil penelitian dari Devi (2009) yang berjudul hubungan brand image mobil dengan intensi membeli dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara brand image mobil dengan intensi membeli (dengan nilai r = 0,656 ; p = 0,001). Hal ini menunjukkan bahwa apabila brand image mobil positif maka semakin tinggi pula intensi membeli dan apabila brand image mobil negatif maka intensi membelinya rendah. Kemudian determinasi r2 diperoleh 0,430 atau sebesar 43% yang akan menendakan bahwa brand image mobil memberikan sumbangan efektif pada intensi membeli dan sisanya 57% dipengaruhi oleh faktor lain.

Dalam penelitian Maria (2008) yang meneliti analisis pengaruh citra merek sabun lux terhadap loyalitas konsumen didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan positif yang sangat kuat serta pengaruh yang positif antara citra merek sabun LUX dengan loyalitas konsumen sabun LUX. Kontribusi citra merek sabun LUX terhadap loyalitas konsumen sabun LUX sebesar 65%. Dan uji hipotesis disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara citra merek sabun LUX dengan loyalitas konsumen sabun LUX.

(7)

Penelitian yang dilakukan oleh Verawati (2007) yang berjudul hubungan antara citra merek terhadap proses keputusan pembelian pengguna kosmetik avon diperoleh bahwa koefisien korelasi rank spearman sebesar 0,452 sedangkan koefisien determinasi sebesar 20,43%. Hal ini berarti bahwa pengaruh citra merek terhadap proses keputusan pembelian konsumen yaitu sebesar 20,43% sedangkan sisanya sebesar 79,57% dipengaruhi faktor lain.

Lebih lanjut citra merek (brand image) mampu berperan menghadirkan sebuah merek dalam alam pikiran konsumen sesuai dengan harapan dan kekhasan abadi yang melekat pada merek tersebut serta membedakan dari merek pesaingnya. Hal ini diperkuat oleh pendapat Shimp (2003) mengatakan bahwa citra merek adalah asosiasi yang muncul dibenak konsumen ketika mengingat sebuah merek tertentu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa banyaknya merek kosmetik yang beredar dipasaran yang berebut pangsa pasar dan banyaknya pilihan membuat konsumen bingung merek kosmetik apa yang akan mereka gunakan. Akan tetapi ketika satu merek yang sudah memiliki citra yang positif dimasyarakat maka konsumen akan mencoba membelinya. Menurut Aaker (dalam Chasanah, 2003) ukuran yang paling kuat dari suatu merek adalah loyalitas terhadap produk, baik dalam bentuk pembelian ulang maupun munculnya cerita dari mulut kemulut (word of mouth), kedua cerminan loyalitas tersebut sering ditunjukkan oleh konsumen. Pada saat konsumen mencapai tahapan loyal pada merek tertentu, maka mereka tidak akan mudah berpindah pada merek lain, walaupun terjadi perubahan seperti kenaikan harga. Konsumen loyal umumnya bersedia membayar lebih untuk merek yang mereka anggap lebih baik dibandingkan merek lainnya, sehingga mereka akan terus menerus menggunakan merek tersebut dan bahkan bersedia merekomendasikannya ke orang lain.

Jadi dapat dikatakan citra yang baik dari suatu merek dapat mengarahkan pada loyalitas konsumen terhadap suatu merek. Penting bagi perusahaan untuk membangun citra dari merek yang dihasilkan dari produknya, agar citra merek yang dibangun dapat dipersepsikan dengan baik oleh konsumen. Bagaimanapun juga citra merek yang baik ikut membantu terwujudnya loyalitas, sehingga merek tersebut dapat berkembang menjadi merek yang kuat di pasaran. Karena itu, keberhasilan produk hasil perluasan merek ini tidak lepas dari reputasi yang dibangun atas kualitas yang diberikan oleh merek tersebut.

(8)

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka penulis tertarik meneliti lebih lanjut dengan melakukan penelitian berjudul ”Hubungan Antara Citra Merek Dengan Loyalitas Konsumen”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan dapat dirumuskan yaitu apakah ada hubungan antara citra merek dengan loyalitas konsumen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara citra merek dengan loyalitas konsumen.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan yang bermanfaat untuk penelitian-penelitian selanjutnya dan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan Ilmu Psikologi Industri Organisasi dan khususnya Psikologi Konsumen.

2. Secara Praktisa

Informasi dari penelitian ini dapat digunakan oleh pihak produsen untuk pengembangan strategi manajemen merek bagi industri atau pun perusahaan, khususnya dalam hal pembangunan citra merek. Sehingga dapat meningkatkan penjualan terhadap merek yang dipasarkan, serta informasi bagi para konsumen dalam rangka untuk mengetahui hubungan citra merek dengan loyalitas konsumen.

Referensi

Dokumen terkait

mungkin seorang perempuan hamil tanpa adanya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalu hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lainberdasarkan perkembangan

Peniltian ini bertujuan merancang aplikasi sistem pakar untuk menentukan status gizi buruk pada anak dengan menggunakan metode dempster-shafer , dimana ada beberapa

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang penggunaan injeksi metamizole yang meliputi dosis, rute pemberian, frekuensi, dan lama penggunaan pada

BAB I : Merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, batasan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional atau

Kegiatan yang dapat dilakukan oleh bendahara antara lain : bendahara dapat login, dapat menginputkan data anggota, dapat menginputkan data simpanan anggota, bendahara

Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui apakah pernyataan yang telah diterapkan dalam kuesioner dapat mengukur variabel yang telah ada. Pengujian validitas

Variabel ini memiliki nilai yang negatif dikarenakan macam warna dinding yang digunakan di pasar ini tampil sangat beragam dengan konsep yang tidak jelas sehingga menimbulkan

Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat Jalan kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui