• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Jasa

(Service)

Kotler and Keller (2006) mengemukakan jasa adalah setiap tindakan atau kinerja yang ditawarkan oleh satu pihak ke pihak lain yang secara prinsip tidak berwujud dan tidak menyebabkan perpindahan kepemilikan. Produksi jasa dapat terikat atau tidak terikat pada suatu produk fisik. Zeithaml and Bitner (2003) mengemukakan bahwa jasa pada dasarnya adalah seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dalam pengertian fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip tidak berwujud bagi pembeli pertamanya.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa jasa pada dasarnya adalah sesuatu yang mempunyai ciri-ciri seperti: suatu yang tidak berwujud, tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen; proses produksi jasa dapat menggunakan atau tidak menggunakan bantuan suatu produk fisik; jasa tidak mengakibatkan peralihan hak atau kepemilikan; dan, terdapat interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa.

Menurut Zeithaml and Bitner (2003), jasa memiliki empat ciri utama yang sangat mempengaruhi rancangan program pemasaran, yaitu pertama tidak berwujud (intangibility), hal ini menyebabkan konsumen tidak dapat melihat, mencium,

(2)

meraba, mendengar dan merasakan hasilnya sebelum mereka membelinya. Untuk mengurangi ketidakpastian, konsumen akan mencari informasi tentang jasa tersebut, seperti lokasi perusahaan, para penyedia dan penyalur jasa, peralatan dan alat komunikasi yang digunakan serta harga produk jasa tersebut. Beberapa hal yang dapat dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepercayaan calon konsumen, yaitu sebagai berikut: a. Meningkatkan visualisasi jasa yang tidak berwujud, b. Menekankan pada manfaat yang diperoleh, c. Menciptakan suatu nama merek (brand name) bagi jasa, atau d. Memakai nama orang terkenal untuk meningkatkan kepercayaan konsumen.

Kedua, tidak terpisahkan (inseparability), jasa tidak dapat dipisahkan dari sumbernya, yaitu perusahaan jasa yang menghasilkannya. Jasa diproduksi dan dikonsumsi pada saat bersamaan. Jika konsumen membeli suatu jasa maka ia akan berhadapan langsung dengan sumber atau penyedia jasa tersebut, sehingga penjualan jasa lebih diutamakan untuk penjualan langsung dengan skala operasi terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, perusahaan dapat menggunakan strategi-strategi, seperti bekerja dalam kelompok yang lebih besar, bekerja lebih cepat, serta melatih pemberi jasa supaya mereka mampu membina kepercayaan konsumen.

Ketiga, bervariasi (variability), jasa yang diberikan sering kali berubah-ubah tergantung siapa yang menyajikannya, kapan dan dimana penyajian jasa tersebut dilakukan. Ini mengakibatkan sulitnya menjaga kualitas jasa berdasarkan suatu standar. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan dapat menggunakan tiga pendekatan dalam pengendalian kualitasnya, yaitu sebagai berikut: a. Melakukan investasi dalam seleksi dan pelatihan personil yang baik. b. Melakukan standarisasi

(3)

proses produksi jasa. c. Memantau kepuasan pelanggan melalui sistem saran dan keluhan, survei pelanggan, dan comparison shopping, sehingga pelayanan yang kurang baik dapat diketahui dan diperbaiki (Zeithaml and Bitner, 2003).

Empat, mudah musnah (perishability), jasa tidak dapat disimpan sehingga tidak dapat dijual pada masa yang akan datang. Keadaan mudah musnah ini bukanlah suatu masalah jika permintaannya stabil, karena mudah untuk melakukan persiapan pelayanan sebelumnya. Jika permintaan berfluktuasi, maka perusahaan akan menghadapi masalah yang sulit dalam melakukan persiapan pelayanannya. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan produk, penetapan harga, serta program promosi yang tepat untuk mengantisipasi ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran jasa.

Pernyataan ini didukung oleh Kotler (2000) dalam Kotler and Keller (2006), yang mengemukakan bahwa terdapat empat karakteristik yang terdapat dalam jasa, yaitu: 1) Tidak berwujud (intangibility), jasa tidak dapat dilihat, dicium, atau diraba. Untuk mengurangi ketidakpastian, para pembeli akan mencari tanda atau bukti dari mutu jasa tersebu melalui tempat, orang, peralatan, simbol, dan harga yang mereka lihat. Oleh karena itu, tugas penyedia jasa adalah mengelola bukti tersebut, sehingga mewujudkan yang tidak berwujud; 2) Konsumen selalu terlibat didalam proses jasa (inseparability), jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedia jasa (provider), baik berbentuk manusia atau mesin. Jika seseorang memberikan pelayanan, maka penyedianya merupakan bagian dari jasa tersebut. Interaksi penyedia jasa dan konsumen merupakan ciri khusus dalam proses penyampaian jasa; 3) Bervariasi (variability), banyaknya variasi kualitas jasa tergantung pada siapa, kapan, dimana, dan bagaimana jasa tersebut dihasilkan; 4) Mudah lenyap (perishability), jasa berbeda

(4)

dengan barang dimana tidak dapat disimpan untuk kemudian dijual dan digunakan oleh konsumen sebagai akibat keberadaan nilai jasa hanya pada titik tertentu dan akan lenyap, seperti kursi pesawat yang kosong, kamar hotel yang tidak dihuni atau jam tertentu tanpa pasien di tempat praktek dokter gigi akan hilang atau berlalu begitu saja karena jasa itu tidak dapat disimpan.

2.2 Persepsi Harga (Price Perception)

Pada saat konsumen melakukan evaluasi dan penilaian terhadap harga dari suatu produk sangat dipengaruhi oleh perilaku dari konsumen itu sendiri. Sementara perilaku konsumen menurut Philip Kotler (2000) dalam Kotler and Keller (2006), dipengaruhi 4 aspek utama yaitu budaya, sosial, personal (umur, pekerjaan, kondisi ekonomi) serta psikologi (motivasi, persepsi, percaya). Sedangkan menurut Schiffman & Kanuk (2000) persepsi adalah suatu proses dari seorang individu dalam menyeleksi, mengorganisasikan, dan menterjemahkan stimulus-stimulus atau informasi yang datang menjadi suatu gambaran yang menyeluruh. Dengan demikian penilaian terhadap harga suatu produk dikatakan mahal, murah atau biasa saja dari setiap individu tidaklah harus sama, karena tergantung dari persepsi individu yang dilatar-belakangi oleh lingkungan kehidupan dan kondisi individu. Dalam kenyataannya konsumen dalam menilai harga suatu produk, sangat tergantung bukan hanya dari nilai nominal secara absolut tetapi melalui persepsi mereka pada harga (Nagle & Holden, 1995) dalam Isman Pepadri (2002). Secara umum persepsi

(5)

konsumen terhadap harga tergantung dari perception of price differences (persepi mengenai perbedaan harga) dan reference prices (referensi harga).

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi persepsi terhadap kewajaran suatu harga. Pertama, perception of price differences, menurut hukum Weber-Fechner, dalam buku The Strategic dan Tactics of Pricing: A Guide to Growing More Profitably (Nagle & Hogan, 2006), pembeli cenderung untuk selalu melakukan evaluasi terhadap perbedaan harga antara harga yang ditawarkan terhadap harga dasar yang diketahui. Sebagai contoh, PT. Excelcomindo Pratama Tbk menawarkan produk-produk berkualitas dengan nilai harga yang tinggi dianggap sebagai satu hal yang relevan dan rasional, sehingga konsumen dapat menerima tawaran harga pada tiap-tiap produk yang ditawarkan oleh PT. Excelcomindo Pratama Tbk. Dari hukum Weber-Fechner dapat disimpulkan bahwa persepsi konsumen terhadap perubahan harga tergantung pada prosentase dari perubahan harga tersebut, bukan terhadap perbedaan absolutnya dan besaran harga baru tersebut tetap berada pada “acceptable price”(Isman Pepadri, 2002).

Faktor lain yang mempengaruhi persepsi terhadap kewajaran suatu harga adalah price references yang dimiliki oleh pelanggan yang didapat dari pengalaman sendiri (internal price) dan informasi luar yaitu iklan dan pengalaman orang lain (external references price). Informasi dari luar tersebut sangat dipengaruhi : (1) Harga kelompok produk (product line) yang dipasarkan oleh perusahaan yang sama, (2) Perbandingan dengan harga produk saingan, (3) Urutan produk yang ditawarkan (Top Down Selling), (4) Harga produk yang pernah ditawarkan konsumen (Recalled Price) (Schiffman & Kanuk, 2000).

(6)

Sedangkan Persepsi terhadap kewajaran harga dapat pula dijelaskan dengan teori acquisition transaction utility. Konsumen akan melakukan pembelian (acquisition utility) apabila harga tersebut dikaitkan dengan keuntungan atau kerugian dalam perspektif fungsi produk. Sedangkan transaction utility, konsumen mempersepsikan harga dengan kenikmatan atau ketidaknyamanan dalam aspek keuangan yang didapat dari perbedaan antara internal reference prices dengan harga pembelian (Isman Pepadri, 2002).

Dalam penelitian Andreas Hermann (2007) dikemukakan bahwa konsumen menganggap penting untuk memperhatikan harga didalam membuat keputusan untuk memberli suatu produk. Secara spesifik, setiap konsumen menyadari hubungan yang relatif antara harga dan tingkat harapan mereka tentang produk yang akan dibeli (Voss, et.al., 1998). Selanjutnya, kuota dari suatu harga yang ditawarkan dapat dikomparasi dengan pengalaman dan harapan konsumen, sehingga harga yang ditawarkan dapat diterima atau setidaknya sesuai dengan kualitas produk yang ditawarkan.

2.3 Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction)

Menurut Farida Jasfar (2002), kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa adalah perbandingan antara persepsi pelanggan terhadap jasa yang diterima dengan harapannya sebelum menggunakan jasa tersebut. Pernyataan ini didukung oleh Kotler and Keller (2006) yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan adalah perasaan

(7)

senang atau kecewa yang muncul setelah membandingkan antara persepsi pelanggan terhadap hasil dari suatu produk dengan harapannya. Lebih spesifik, secara analogika kepuasan pelanggan berarti sejauh mana anggapan terhadap kualitas produk dalam memenuhi harapan pelanggan. Jika kualitas produk lebih rendah dibandingkan dengan harapan, maka pelanggan tersebut tidak puas atau kecewa. Sebaliknya, jika kualitasnya sesuai atau bahkan melebihi harapan, pelanggan tersebut akan merasa puas (Kotler dan Amstrong, 2004). Ketiga pernyataan diatas memiliki kesamaan bahwa kepuasan pelanggan dapat muncul, jika kualitas produk sebanding atau melebihi harapan pelanggan sebelum membelinya. Dengan demikian, kepuasan pelanggan akan datang dengan sendirinya bila jasa yang dijual perusahaan sesuai atau bahkan melampaui apa yang diinginkan pelanggan. Sebaliknya, bila kekecewaan pelanggan yang timbul, perusahaan telah melakukan kesalahan yang merusak citranya. Hal ini akan menimbulkan akibat buruk bagi perusahaan sebab mereka akan meninggalkan perusahaan dan menjadi pelanggan dari perusahaan pesaing.

Adapun definisi lain, Zeithaml dan Bitner (2003) menyatakan bahwa kepuasan pelanggan merupakan penilaian mengenai keistimewaan produk atau jasa itu sendiri yang menyediakan tingkat kesenangan pelanggan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi pelanggan. Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pelanggan adalah penilaian positif pelanggan terhadap kualitas produk yang telah dijanjikan oleh perusahaan dalam memenuhi kebutuhannya. Pelanggan sangat peka terhadap kualitas pelayanan yang telah diterima. Kepuasan pelanggan atas kualitas jasa tersebut dapat terlihat dari terpenuhi tidaknya kebutuhan pelanggan yang tampak dari sikapnya terhadap produk tersebut.

(8)

Pelanggan memasuki situasi jual-beli dengan harapan-harapan tertentu. Pelanggan mempunyai angan-angan tentang perasaan yang ingin mereka rasakan ketika mereka menyelesaikan suatu transaksi atau ketika mereka menggunakan barang yang mereka beli maupun ketika menikmati pelayanan yang telah mereka bayar. Mencapai tingkat kepuasan pelanggan tertinggi adalah tujuan utama pemasaran. Pada kenyataannya, akhir-akhir ini banyak perhatian tercurah pada konsep kepuasan “total,” yang implikasinya adalah mencapai kepuasan sebagian saja tidaklah cukup untuk membuat pelanggan setia dan kembali lagi. Ketika pelanggan merasa puas akan pelayanan yang didapatkan pada saat proses transaksi dan juga puas akan barang atau jasa yang mereka dapatkan, besar kemungkinan mereka akan kembali lagi dan melakukan pembelian-pembelian yang lain dan juga akan merekomendasikan pada teman-teman dan keluarganya tentang perusahaan tersebut dan produk-produknya. Juga kecil kemungkinannya mereka berpaling ke pesaing-pesaing perusahaan. Mempertahankan kepuasan pelanggan dari waktu ke waktu akan membina hubungan yang baik dengan pelanggan. Hal ini dapat meningkatkan keuntungan perusahaan dalam jangka panjang.

Menurut Zeithaml dan Bitner (2003), terdapat bermacam-macam faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan, antara lain: 1) Aspek barang dan jasa, kepuasan pelanggan terhadap barang atau jasa dipengaruhi secara signifikan oleh penilaian pelanggan terhadap fitur barang dan jasa; 2) Aspek emosi pelanggan, emosi atau perasaan dari pelanggan dapat mempengaruhi persepsinya mengenai tingkat kepuasan terhadap barang dan jasa. Emosi ini berkaitan dengan suasana hati. Pada saat seorang pelanggan sedang mengalami suasana hati yang gembira akan

(9)

mempengaruhi persepsi yang positif terhadap kualitas suatu jasa yang sedang dikonsumsi. Sebaliknya, jika seorang pelanggan sedang mengalami suasana hati yang buruk, maka emosi tersebut akan membawa tanggapan yang buruk terhadap suatu jasa yang sedang dikonsumsi, walaupun penyampaian jasa tersebut tidak ada kesalahan sedikitpun; 3) Aspek pengaruh kesuksesan atau kegagalan jasa, pelanggan terkadang dikagetkan oleh sebuah hasil suatu jasa dimana bisa lebih baik atau lebih buruk dari yang diharapkan, dan biasanya pelanggan cenderung untuk mencari penyebabnya. Kegiatan pelanggan dalam mencari penyebab suatu kesuksesan atau kegagalan jasa inilah yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasannya terhadap barang dan jasa; 4) Aspek persepsi atas persamaan atau keadilan, pelanggan akan bertanya-tanya pada diri mereka sendiri: “Apakah saya sudah dilayani secara adil dibandingkan pelanggan lain? Apakah pelanggan lain mendapatkan perlakuan yg lebih baik, harga yang lebih murah, atau kualitas jasa yang lebih baik? Apakah saya membayar harga yang layak untuk jasa yang saya dapatkan? Apakah saya diperlakukan secara baik sebanding dengan biaya dan usaha yang saya keluarkan? ” Pemikiran mengenai persamaan dan keadilan ini dapat mengubah persepsi pelanggan pada tingkat kepuasannya terhadap barang dan jasa tersebut; 5) Pelanggan lain, keluarga, dan rekan kerja. Kepuasan pelanggan juga dipengaruhi oleh orang lain. Misalnya, kepuasan terhadap perjalanan liburan keluarga adalah fenomena yang dinamis, dipengaruhi oleh reaksi dan ekspresi oleh anggota keluarga selama liburan. Kemudian, apakah ekspresi kepuasan atau ketidakpuasan anggota keluarga terhadap perjalanan dipengaruhi oleh cerita yang diceritakan kembali diantara keluarga dan memori mengenai suatu peristiwa.

(10)

Dalam mengukur kepuasan pelanggan diperlukan empat perangkat (Kotler, 2000), yaitu: 1) Sistem keluhan dan saran (complain and suggestion system), sebuah perusahaan yang berorientasi pada pelanggan, biasanya menyediakan formulir/ kotak saran/ hot-lines dengan nomor gratis sehingga mempermudah pelanggannya untuk memberikan saran dan keluhan. Perusahaan juga mempekerjakan staf khusus untuk segera menangani keluhan pelanggannya sehingga masalah dapat terselesaikan dengan cepat; 2) Survei kepuasan pelanggan (customer satisfaction survey), perusahaan melaksanakan survei secara berkala kepada pelanggan di berbagai tempat untuk mengetahui apakah mereka puas dengan apa yang ditawarkan oleh perusahaan, melalui pembagian kuesioner, interview langsung, telepon, atau e-mail. Hal ini dilakukan untuk memperoleh umpan balik secara langsung dari pelanggan. Pelanggan akan lebih respek terhadap perusahaan karena merasa diperhatikan oleh perusahaan tersebut; 3) Menyamar berbelanja (ghost shopping), perusahaan menempatkan karyawannya bertindak sebagai pembeli potensial dengan tujuan untuk mengetahui apakah produk atau jasa yang diberikan sesuai dengan standar perusahaan dan melaporkan hasil temuan tentang kekuatan dan kelemahan ketika membeli produk atau jasa perusahaan bahkan dimiliki oleh pesaingnya; 4) Analisis pelanggan yang hilang (customer loss rate analysis), perusahaan melakukan analisa penyebab dari para pelanggan yang berhenti membeli atau berganti kepada perusahaan lainnya. Perusahaan menghubungi secara langsung pelanggannnya untuk mengetahui penyebab hal tersebut sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan perbaikan di masa sekarang dan akan datang, dan diharapkan pelanggannya selalu loyal terhadap perusahaan.

(11)

2.4 Kepercayaan Pelanggan (Customer Trust)

Kepercayaan pelanggan dapat didefinisikan sebagai bentuk keyakinan pelanggan terhadap sebuah janji perusahaan yang bersifat reliable (tepat dan dapat dipercaya) dan juga merupakan alasan dasar untuk menjalin hubungan dengan perusahaan (Schurr dan Ozanne, 1985 dalam Donio' et al., 2006). Dari definisi mengenai kepercayaan pelanggan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kepercayaan pelanggan adalah suatu keadaan yang meliputi keyakinan dan harapan pelanggan yang positif terhadap janji dari pihak perusahaan yang dapat diandalkan dan dipercaya, sehingga mengokohkan hubungan kerjasama yang saling menguntungkan.

Menurut Shankar Ganesan, 1994 dalam buku Manajemen Jasa Hj. Farida Jasfar (2002) menjelaskan bahwa kepercayaan itu merupakan refleksi dari dua komponen, yaitu: 1) Credibility yang didasarkan kepada besarnya kepercayaan kemitraan dengan organisasi lain dan membutuhkan keahlian untuk menghasilkan efektifitas dan kehandalan pekerjaan; 2) Benevolence yang didasarkan pada besarnya kepercayaan kemitraan yang memiliki tujuan dan motivasi yang menjadi kelebihan untuk organisasi lain pada saat kondisi yang baru muncul yaitu kondisi dimana komitmen tidak terbentuk.

Pada buku Manajemen Jasa (Berry, 1999 dalam Hj. Farida Jasfar, 2002) mengajukan suatu model yang menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menjadi

(12)

pondasi terbentuknya hubungan jangka panjang yang berdasarkan kepercayaan. Model hubungan berdasarkan kepercayaan terdapat dua landasan utama untuk terciptanya kepercayaan terhadap perusahaan, yaitu:

1) Penilaian terhadap kompetensi atau kehandalan perusahaan (perceived competence), dalam studi yang dilakukan Berry, Parasuraman dan Zeithaml disimpulkan bahwa konsumen selalu mengukur kompetensi atau kehandalan pelayanan sebagai suatu hal yang paling penting dalam penilaian kualitas pelayanan. Studi tersebut mencakup berbagai jenis usaha jasa antara lain perbankan, asuransi kendaraan dan jasa perbaikan komputer. Dari penelitian ini Berry dan kawan-kawan mempelajari bahwa kompetensi dari suatu perusahaan jasa merupakan alat yang sangat penting dalam mendapatkan kepercayaan konsumen;

2) Penilaian terhadap keadilan atau kejujuran (perceived fairness), kompetensi dan kejujuran memberi kontribusi pada kepercayaan yang mengarah kepada kesetiaan. Kepercayaan menjadi dasar dalam setiap hubungan yang signifikan untuk keseimbangan resiko dan keuntungan. Kejujuran adalah persepsi seseorang pada tingkat keadilan didalam perilaku perusahaan. Selama ini, kejujuran kurang berkembang sebagai masalah konsumen, tenaga kerja atau rekan bisnis. Dua kondisi yang secara umum dapat memancing timbulnya persepsi yang positif maupun negatif terhadap kejujuran (individu) atau perilaku perusahaan mempengaruhi persepsi mereka terhadap arti kejujuran atau ketidakjujuran. Satu tindakan yang memperlihatkan ketidakjujuran akan merusak hubungan selamanya. Sebaliknya, satu tindakan yang sangat khusus dan mudah diingat akan

(13)

mengokohkan hubungan yang berdasarkan atas kepercayaan selama bertahun-tahun.

2.5 Komitmen Pelanggan (Customer Commitment)

Komitmen pelanggan dapat diartikan sebagai sebuah keinginan pelanggan yang berkelanjutan untuk menjaga hubungan yang berharga dengan perusahaan (Moorman et al., 1992 dalam Donio' et al., 2006). Menurut Moorman et al. (1992), pelanggan berkomitmen pada suatu perusahaan, sebenarnya pelanggan tersebut memiliki sebuah investasi dalam bentuk sebuah hubungan dengan perusahaan. Konsep dari komitmen memiliki kesamaan dengan konsep dari orientasi jangka panjang yang terdiri dari keinginan dan usaha dari pelanggan untuk mempertahankan hubungannya dengan produsen (Anderson dan Weitz, 1989 dalam Kenhove et al., 2003). Ketiga pernyataan diatas didukung oleh Morgan Hunt (1994) yang menyatakan bahwa komitmen pelanggan memiliki peranan penting karena dapat mendorong pelanggan untuk menjaga hubungan kerjasama, dan mengurangi kemungkinan pelanggan untuk pindah ke alternatif lain yang menawarkan keuntungan jangka pendek. Dari ketiga pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen pelanggan merupakan keinginan pelanggan untuk menjaga hubungan kerjasama dengan perusahaan dalam jangka panjang.

Morgan and Hunt (1994) mendefinisikan komitmen sebagai “an exchange partner believing that on going relationship with another is so important as to

(14)

warrant maximum efforts at maintaining it; that is, the committed party believes the relationship is worth working on to ensure that it endures indefinitly.” Definisi ini hampir sama dengan yang disampaikan oleh Moorman et al. (1992) yang menyatakan bahwa komitmen sebagai keinginan yang terus – menerus untuk memelihara hubungan yang bernilai. Relationship yang bernilai berhubungan dengan keyakinan bahwa komitmen relasional hanya ada ketika relationship dipertimbangkan sebagai hal yang penting. Selain itu, keinginan yang terus menerus untuk mempertahankan hubungan berhubungan dengan pandangan bahwa mitra yang komit menginginkan relationship dapat berjalan terus-menerus dan akan berusaha untuk mempertahankannya.

Dalam area pemasaran jasa, Berry and Parasuraman (1991) menyatakan bahwa relationships dibangun di atas fondasi mutual komitmen. Selain itu komitmen juga merupakan proses pelanggan untuk memiliki keinginan menjalin hubungan dengan perusahaan tertentu. Tema yang sering muncul dari berbagai literatur relationship adalah berbagai pihak mengidentifikasi komitmen di antara mitra pertukaran sebagai kunci untuk memperoleh hasil yang bernilai bagi mereka, dan mereka berusaha keras untuk mengembangkan dan memelihara atribut bernilai ini dalam relationship mereka. Oleh karena itu, komitmen adalah sentral bagi semua pertukaran relasional antara perusahaan dan berbagai mitranya.

Secara umum ada dua tipe komitmen yang berbeda. Calculative dan affective (Peppers and Rogers, 2004). Calculative commitment berhubungan dengan tipe instrumen dari komitmen, dan sebagai perluasan dari kebutuhan untuk mempertahankan relationship yang disebabkan oleh adanya manfaat ekonomi dan

(15)

switching cost. Calculative commitment dihasilkan dari analisis ekonomi dari biaya dan manfaat dengan membuat komitmen.. Sementara affective commitment timbul karena seseorang memiliki ikatan emosional, bukan karena alasan ekonomi.

Calculative commitment berhubungan negatif dengan kepercayaan dan didasarkan pada perhitungan biaya dan benefit. Jadi tidak kondusif bagi perkembangan relationship jangka panjang. Sebaliknya, affective commitment didasarkan pada relationship yang berkesinambungan, bukan karena benefit ekonomi jangka pendek, tetapi karena setiap pihak merasakan kedekatan emosional atau psikologikal satu sama lain. Affective commitment secara positif berhubungan dengan kepercayaan dan mendukung benefit relationship dalam waktu yang lebih lama, menurunkan opportunism, dan keinginan untuk memecahkan konflik dengan cara damai. Oleh karena komitmen bersifat rentan, relationship dijalin dengan pihak yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, kepercayaan adalah kontributor yang kuat bagi komitmen. Sepanjang garis yang sama, komunikasi dan pertukaran informasi yang terbuka dapat digunakan untuk menciptakan sikap positif anggota relationship dan dapat digunakan untuk menguatkan benefit relationship. Anggota relationship yang menunjukkan kemampuan untuk menyampaikan manfaat superior akan dinilai tinggi oleh pihak yang secara senang melibatkan diri dalam relationship.

2.6 Loyalitas Pelanggan (Customer Loyalty)

Oliver, 1997 dalam Donio' et al., (2006) mendefinisikan bahwa loyalitas pelanggan adalah suatu komitmen yang sangat mendalam dari pelanggan untuk

(16)

membeli kembali suatu produk yang disukai secara konsisten di masa mendatang. Menurut Bendall-lyon dan Power (2003), loyalitas pelanggan meliputi keinginan pelanggan untuk kembali pada suatu penyedia jasa, dan juga keinginan untuk merekomendasikan penyedia jasa tersebut kepada orang lain. Kedua pernyataan ini didukung oleh Lovelock and Wright (2002) mengemukakan bahwa loyalitas pelanggan merupakan kesediaan pelanggan untuk terus bcrlangganan pada suatu perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli dan menggunakan barang atau jasanya secara berulang-ulang, serta dengan sukarela merekomendasikan barang atau jasa perusahaan tersebut kepada teman dan kerabat. Dari ketiga pernyataan ini memiliki kesamaan bahwa loyalitas pelanggan merupakan kesediaan pelanggan untuk kembali bahkan berulang-ulang membeli barang atau jasa yang disukai dalam jangka panjang dan juga bersedia merekomendasikan kepada orang lain.

Hasil penilaian konsumen atas kualitas pelayanan akan membentuk pola loyalitas konsumen tertentu (consumer loyalty pattern), yaitu dari sangat loyal sampai dengan sangat tidak loyal (Kotler, 1994). Konsumen dikatakan sangat loyal bila ia mempunyai pola konsumsi terhadap satu pelayanan pada setiap waktu dan tidak pernah berganti dari satu pelayanan ke pelayanan yang lain, tingkatan ini menunjukkan loyalitas yang sangat tinggi. Pada sisi lain konsumen disebut sangat tidak loyal bila konsumen sama sekali tidak memiliki loyalitas pada pelayanan tertentu. Konsumen semacam ini setiap waktu memiliki pola konsumsi yang berubah-ubah dari satu pelayanan ke pelayanan yang lainnya. Pada kenyatannya menciptakan konsumen yang loyal bukan hal yang mudah, terutama dengan banyaknya dimensi kualitas pelayanan yang dapat digunakan oleh konsumen dalam memberikan

(17)

penilaian.

Pelanggan berbeda dengan konsumen (Consumer), seseorang dapat dikatakan sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli jasa yang ditawarkan oleh badan usaha. Kebiasaan tersebut dapat dibangun melalui pembelian secara berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelanggan tetapi seorang pembeli atau konsumen.

Hal ini seperti yang dikatakan oleh Griffin (1995) mengenai perbedaan antara konsumen dan pelanggan yaitu, pelanggan merupakan seseorang yang membeli suatu produk dari kita. Para pelanggan ini menetapkan kegiatan pembelian dan interaksi pada kesempatan waktu yang berulang-kali. Tanpa adanya pengalaman mengenai kegiatan pembelian seseorang belum bisa dibilang pelanggan melainkan pembeli.

Definisi customer loyalty adalah kegiatan dan perilaku dalam intensitas pembelian yang dilakukan secara berulang-kali (Peter Olson, 1993). Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa loyalitas pelanggan merupakan dorongan dan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang dan untuk membangun kesetiaan pelanggan terhadap sesuatu jasa yang dihasilkan oleh badan usaha membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian berulang-ulang tersebut. Konsep loyalitas lebih berkaitan dengan perilaku pelanggan.

Penjelasan dari loyalitas tersebut adalah jumlah rata-rata seorang pelanggan melakukan pembelian ulang selama periode waktu tertentu. Pelanggan yang setia pada suatu perusahaan akan membeli product atau jasa baru yang diluncurkan oleh perusahaan tersebut. Hal tersebut telah mendorong pelanggan yang lain untuk

(18)

membeli product atau jasa dari suatu perusahaan dan menunjukkan bahwa seorang pelanggan mempunyai suatu ketahanan terhadap daya tarik yang dimiliki para pesaing dari suatu perusahaan.

Menurut Kotler dan Armstrong (2004) bahwa loyalitas berasal dari pemenuhan harapan konsumen, sedangkan ekspektasi berasal dari pengalaman pembelian terdahulu oleh konsumen, opini dari teman dan kerabat dan janji atau informasi dari pemasar atau pesaing. Ada alasan untuk pengembangan hubungan jangka panjang dengan konsumen seperti biaya perolehan pelanggan baru tinggi, pelanggan yang setia cenderung untuk menghabiskan lebih banyak, pelanggan yang puas merekombinasikan produk-produk dan jasa perusahaan, dan pelanggan yang setia akan menekan pesaing dari pembagian pasar.

Dengan mengkombinasikan komponen sikap dan perilaku pembelian ulang, maka didapat 4 situasi kemungkinan loyalitas (Dick & Basu, 1994) yaitu: a. No Loyalty, bila sikap dan perilaku pembelian ulang pelanggan sama-sama lemah, maka loyalitas tidak terbentuk. Ada dua kemungkinan penyebabnya. Pertama, sikap yang lemah (mendekati netral) bisa terjadi bila suatu produk atau jasa baru diperkenalkan atau pemasarannya tidak mampu mengkomunikasikan keunggulan produknya. Kedua, berkaitan dengan dinamika pasar, dimana merek-merek yang berkompetisi dipersepsikan serupa atau sama. Konsekuensinya, pemasar mungkin sangat sukar membentuk sikap yang positif atau kuat terhadap produk/ jasa atau perusahannya, namun ia bisa mencoba menciptakan spurious loyalty melalui pemilihan lokasi yang strategis, promosi yang agresif, meningkatkan shelf space untuk merk produk atau jasa; b. Spurious Loyalty, bila sikap yang relatif lemah disertai dengan pola

(19)

pembelian ulang yang kuat, maka yang terjadi adalah spurious loyalty atau captive loyalty. Situasi semacam ini ditandai dengan pengaruh factor non sikap terhadap perilaku, misalnya norma subyektif dan factor situasional; c. Latent Loyalty, situasi latent loyalty tercermin bila sikap yang kuat disertai dengan pola pembelian ulang yang lemah. Situasi yang menjadi perhatian besar para pemasar ini disebabkan pengaruh factor-faktor nonsikap yang sama kuat atau bahkan cenderung lebih kuat dari pada factor sikap dalam menentukan pembelian ulang; dan, d. Loyalty, situasi ini merupakan situasi ideal yang paling diharapkan para pemasar, dimana konsumen bersikap positif terhadap jasa atau penyedia jasa bersangkutan dan disertai pola pembelian ulang yang konsisten. Klasifikasi loyalitas berdasarkan sikap dan perilaku ini juga memberikan gambaran mengenai beberapa kemungkinan reaksi pesaing terhadap perusahaan yang memiliki tingkat loyalitas pelanggan tinggi.

2.7 Keterkaitan Antar Konsep

2.7.1 Keterkaitan Price Perceptions terhadap Customer Satisfaction

Menurut Szymanski and Henard dalam Andreas Hermann (2007) bahwa kesetaraan memiliki pengaruh dalam menilai suatu kepuasaan pelanggan, dimana hal ini menunjukan pengaruh yang ada pada pengaruh price perceptions terhadap kepuasan pelanggan. Dimana, pelanggan melihat harga yang dibayar sesuai dengan produk yang ditawarkan.

(20)

2.7.2 Keterkaitan Customer Satisfaction terhadap Customer Trust

Menurut (Schurr dan Ozanne, 1985 dalam Donio' et al., 2006), kepercayaan pelanggan (Customer Trust) dapat dipertimbangkan sebagai sebuah hasil dari kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction). Keterkaitan Customer Satisfaction dengan Customer Trust terletak pada kepercayaan pelanggan yang muncul sebagai akibat pelanggan tersebut telah terpenuhi kebutuhan dan keinginannya oleh karyawan perusahaan jasa. Kepercayaan pelanggan berperan sebagai kunci kesuksesan untuk melanjutkan usaha, terutama di bidang jasa. Apabila perusahaan tidak mampu membina dan mempertahankan kepercayaan pelanggan, maka sangat sulit bagi perusahaan untuk mengembalikan kepercayaan ini. Perusahaan tersebut diharuskan selalu membina komunikasi dengan pelanggan, dan berusaha untuk memuaskannya dengan menangani keluhan secara bijaksana.

2.7.3 Keterkaitan Customer Trust terhadap Customer Commitment

Kepercayaan pelanggan dapat didefinisikan sebagai bentuk keyakinan pelanggan terhadap sebuah janji perusahaan yang bersifat reliable (tepat dan dapat dipercaya) dan juga merupakan alasan dasar untuk menjalin hubungan dengan perusahaan (Schurr dan Ozanne, 1985 dalam Donio' et al., 2006). Komitmen dan kepercayaan merupakan dua komponen yang paling penting dari hubungan jangka panjang antara perusahaan dengan partner pertukaran mereka. Morgan and Hunt (1994) dalam Donio' et al., (2006) menyatakan bahwa, “relationship commitment dan relationship trust adalah kunci bagi kesuksesan pemasaran relasional. Komitmen dan

(21)

kepercayaan secara langsung membawa perilaku kerjasama yang mendorong kesuksesan pemasaran relasional.

Komitmen dan kepercayaan merupakan kunci bagi keberhasilan relationship karena mendorong pemasar untuk (1) bekerja sama dengan mitra pertukaran dalam menjaga relationship, (2) menolak benefit jangka pendek untuk mendapatkan benefit jangka panjang, (3) memandang tindakan yang berpotensi memiliki risiko tinggi secara bijaksana dengan keyakinan bahwa mitra mereka tidak akan bertindak secara oportunis. Mereka menyatakan bahwa ketika ada komitmen dan kepercayaan, hasilnya adalah efisiensi, produktivitas, dan efektifitas.

Kepercayaan pelanggan dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi komitmen dan loyalitas pelanggan. Kepercayaan pelanggan menunjukkan keberadaannya sebagai sebuah kunci penting yang menentukan komitmen pelanggan (Morgan dan Hunt, 1994 dalam Donio' et al., 2006). Komitmen pelanggan (Customer Commitment) tumbuh dalam benak pelanggan disebabkan adanya kepercayaan terhadap kinerja karyawan perusahaan yang telah memenuhi harapannya.

2.7.4 Keterkaitan Customer Commitment terhadap Customer Loyalty

Komitmen pelanggan (Customer Commitment) memiliki peranan penting dalam mendorong pelanggan untuk menjaga hubungan kerjasama, dan mengurangi kemungkinan pelanggan untuk pindah ke alternatif lain yang menawarkan keuntungan jangka pendek (Morgan Hunt, 1994). Dengan adanya sebuah sikap komitmen yang kuat dari pelanggan terhadap suatu merek dapat membentuk loyalitas

(22)

pelanggan pada merek tersebut (Day, 1969 dalam Donio' et al., 2006). Keterkaitan Customer Commitment dengan Customer Loyalty terletak pada terbentuknya sebuah loyalitas pelanggan yang disebabkan oleh keinginan pelanggan tersebut untuk menjaga hubungan kerjasama dengan cara menggunakan jasa perusahaan secara berulang-ulang. Pernyataan ini didukung oleh Lovelock and Wright (2002) mengungkapkan bahwa loyalitas pelanggan (Customer Loyalty) merupakan kesediaan pelanggan untuk terus bcrlangganan pada suatu perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli dan menggunakan barang atau jasanya secara berulang-ulang, serta dengan sukarela merekomendasikan barang atau jasa perusahaan tersebut kepada kerabat. Pelanggan yang loyal melakukan pembelian lebih sering dibandingkan pelanggan lainnya yang kurang loyal.

2.7.5 Keterkaitan Customer Satisfaction terhadap Customer Loyalty

Kepuasan pelanggan sebagai sebuah indikator yang dapat mempengaruhi loyalitas pelanggan (Costabile, 2001 dalam Donio' et al., 2006). Keterkaitan kepuasan pelanggan dengan loyalitas pelanggan terletak pada proses pembentukan loyalitas yang disebabkan pelanggan tersebut telah terpenuhi kebutuhan dan keinginannya oleh karyawan perusahaan.

a) Pengaruh positif antara Customer Satisfaction dengan Customer Loyalty Menurut Anderson et al. (1994) didalam penelitiannya, mengungkapkan bahwa kepuasan pelanggan yang tinggi akan mengakibatkan loyalitas pelanggan meningkat kepada perusahaan, dan para pelanggan cenderung kurang berminat dengan tawaran perusahaan lain. Pelanggan yang merasa puas setelah terpenuhi

(23)

kebutuhannya akan kembali lagi kepada perusahaan jasa tersebut di masa mendatang. Dengan adanya kepuasan tersebut akan mendatangkan pelanggan yang loyal. Pelanggan yang loyal merupakan aset yang menguntungkan bagi perusahaan dalam jangka panjang disebabkan pelanggan yang loyal tersebut akan menghabiskan uang lebih banyak dan menyebarkan hal-hal yang positif kepada calon pelanggan lainnya, sehingga menambah calon pelanggan baru yang ingin mencoba produk yang ditawarkan.

b) Pengaruh negatif antara Customer Satisfaction dengan Customer Loyalty Menurut Jones dan Sasser, 1995 dalam Donio' et al. (2006) yang menyatakan bahwa tingginya tingkat Customer Satisfaction tidak dapat menunjukkan tingginya loyalitas pelanggan karena masih banyak terdapat variabel intervening dalam proses pembentukan Customer Loyalty. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pelanggan yang telah merasa puas dengan kinerja perusahaan belum tentu akan selalu loyal terhadap perusahaan tersebut, melainkan pelanggan harus terlebih dahulu percaya dan komitmen pada perusahaan.

Referensi

Dokumen terkait

SKPD Satuan Polisi Pamong Praja Kota Pariaman merupakan sebuah lembaga Pemerintah Daerah yang bertugas Memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban

Data kemudian dianalisis dengan model Miles & Huberman dan diuji keabsahannya sesuai dengan uji keabsahan data penelitian kualitatif.Adapun hasil dari penelitian

Berdasarkan uraian serta pengalaman praktikan selama mengikuti dan melaksanakan PPL I dan II di SD Negeri Petompon 1 Semarang, maka praktikan dapat memberikan

Frazier Moore (dalam Danasaputra), penelitian citra menentukan sosok institusional dan citra perusahaan dalam pikiran publik dengan mengetahui secara pasti

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dalam penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: motivasi belajar dalam menulis huruf dan angka anak usia

Fokus masalah dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisa perkembangan Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) serta bagaimana

Semua formula sediaan salep minyak atsiri kemangi memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dengan zona hambat yang lebih besar dari basis dan

Selain BRI unit Ambarawa yang mengambil lokasi kantornya di kelurahan Lodoyong, banyak pula lembaga perbankan lain seperti BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang