HUBUNGAN ANTARA HOTSPOT (TITIK PANAS)
DENGAN TIMBULNYA PENYAKIT INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN
DAN LAHAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU RIAU
TAHUN 2007
NISA NOVITA
E 14204009
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
HUBUNGAN ANTARA HOTSPOT (TITIK PANAS)
DENGAN TIMBULNYA PENYAKIT INFEKSI SALURAN
PERNAFASAN AKUT (ISPA) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN
DAN LAHAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU RIAU
TAHUN 2007
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Nisa Novita
E14204009
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RINGKASAN
Nisa Novita. E14204009. Hubungan Antara Hotspot (Titik Panas) dengan
Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau Tahun 2007. Dibimbing oleh
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr
Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu wilayah di Riau yang daerahnya rawan terhadap kejadian kebakaran hutan. Dampak kebakaran hutan yang dibahas pada penelitian ini adalah dampak terhadap kesehatan khususnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam kaitan dengan kebakaran hutan ini, ISPA terjadi karena pertahanan saluran pernafasan yakni sel-sel epitel mukosa menjadi lemah atau bahkan rusak akibat menghirup udara yang tercemar yang sarat dengan partikel debu, sehingga kuman mudah masuk dan berkembang biak.
Dari hasil analisis statistik antara jumlah hotspot dengan jumlah pasien ISPA mempunyai korelasi positif yang sangat kuat (r = 0.81). Jumlah pasien ISPA dipengaruhi 65.2% oleh jumlah hotspot dengan persamaan garis Y = 220 + 26 X. Hubungan antara jumlah hotspot dan jumlah pasien ISPA per jumlah penduduk mempunyai korelasi positif yang kuat (r = 0.74) karena jumlah pasien ISPA per jumlah penduduk dipengaruhi 54% oleh jumlah hotspot sebagai indikasi
Kebakaran Hutan dan Lahan. Dari hasil uji R square persamaan garis Y = 0.0184 + 0.000483 X relevan digunakan dalam menentukan hubungan antara
peningkatan hotspot dengan peningkatan pasien ISPA per jumlah penduduk. Dari kedua analisis diatas terlihat pengaruh antara hotspot dengan pasien ISPA dapat dikatakan erat, baik dengan atau tanpa memperhatikan jumlah penduduk masing-masing kecamatan.
Secara deskriptif, kelas umur terbanyak pada pasien ISPA di Indragiri Hulu adalah kelas umur 1-5 tahun (Balita), dan dari jenis kelamin perbedaan pasien laki-laki dengan pasien perempuan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.
ABSTRACT
Novita, N. E14204009. Correlation Between Hotspot and Acute
Respiratory Infection Because of Forest and Land Fire in Indragiri Hulu Regency, Riau. Leaded by Prof. Dr. Ir. Bambang Hero
Saharjo, M.Agr.
Indragiri Hulu is a regency in Riau that is often happen forest and land fire. The impact of forest fire that is discuss in this research is the impact of healthiness especially Acute Respiratory Infections (ARI). From the result of statistic analysis between hotspot and ARI’s patient has a strong positive correlation (r = 0,81). ARI’s patient that 65,2% is influence by hotspot with linear equation Y = 220 + 26 X. Correlation between hotspot and ARI’s patient/total citizen have a strong positive correlation (r = 0,74) because ARI’s patient/total citizen 54% is influence by forest and land fire. From the result of R square test the linear equation Y = 0,0184 + 0,000483 X is relevan to use to estimate the correlation between hotspot and ARI’s patient/total citizen. From this two analysis show that the influence between hotspot and ARI’s patient is strong with or without calculate the total patient in sub district. Descriptively, the most age class ARI’s patient in Indragiri Hulu is 1-5 years and from the age differences, the man or woman patient do not show the significant differences.
Keyword : Forest and Land Fire, Acute Respiratory Infections, Impact.
Judul Penelitian :HUBUNGAN ANTARA HOTSPOT (TITIK PANAS) DENGAN TIMBULNYA PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU RIAU TAHUN 2007
Nama : NISA NOVITA
NRP : E14204009
Menyetujui: Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr. NIP. 131878497
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto.M.Agr NIP. 131578788
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Antara Hotspot (Titik Panas) dengan Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau Tahun 2007 adalah benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Mei 2008
Nisa Novita
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayangNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul Timbulnya Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau Tahun 2007. Melihat keteratan yang
kuat antara dampak yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan terhadap kesehatan manusia diharapkan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang disengaja dapat dikurangi atau dihentikan sama sekali.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan lebih lanjut. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
.
Bogor, Mei 2008
UCAPAN TERIMAKASIH
1. Kedua orang tua tercinta , Ama Enimar dan Apa Syaiful yang telah mengartikan nafas kehidupan diantara doa-doa dan cinta yang selalu diberikan
2. Albert Syaiful, Deasy Fitria tersayang. Terimakasih telah menjadikan bait-bait kosong menjadi lirik keceriaan penuh tawa selama fase 21 ini.
3. Dede Hendry atas kesempurnaan rasa yang membuat satu mimpi di masa nanti
4. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan, masukan, dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik
5. Arinana, S. Hut, M.Si dan Ir. Siswoyo, M.Si bagi selaku dosen penguji atas masukannya bagi perbaikan skripsi ini
6. Kantor Kementrian Lingkungan Hidup Jakarta, khususnya Bu Ela.
7. Staf Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan, Bapak Wardana yang telah memberikan bantuan dan dorongan pada penulis
8. Pak Ismail dan staf KPAP Silvikultur yang sangat baik dan telah memberikan kemudahan dalam administrasi sebelum sidang.
9. Staf dan teman-teman di Laboratorium Sistem Informasi Geografis Manajemen Hutan khususnya Kak Aan, Kak Iis, Kak Heru
10. Bebek dan Tuti, teman paling setia yang membuat penulis sulit meninggalkan Bogor
11. Bu Gatot, Pak Gatot, Defna, Dandi yang telah menjadi keluarga baru penulis di Rengat
12. Ryan Mato, atas kesediaannya menjadi guide Pekanbaru-Rengat dan teman petualang dalam mencari data di Pematang Reba
13. Muhammad Hansari,Uncu atas powerpoint dan semangat yang diberikan 14. Lienda Omes, Rissa, Iyha, Eka, Piye, Rizal, Dwi, Uny atas bantuan,
semangat dan kebersamaannya selama ini. 15. Alaska crew dan keluarga Budidaya Hutan 41
16. Ibu Era yang setia di Laboratorium Ekologi Hutan atas doa dan dukungannya
17. Dino kecil dahulu, besar sekarang
18. Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Taram Payakumbuh Sumatera Barat pada tanggal 23 November 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Syaiful dan Enimar.
Pada tahun 2004 penulis lulus dari SMUN I Tilkam Bukittinggi dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dengan memilih Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan menekuni bidang Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen Informasi dan Komunikasi Forest
Management Student Club (FMSC) pada tahun 2005-2006, staf Departemen
Informasi dan Komunikasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-E) pada tahun yang sama. Selain itu penulis melakukan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) jalur Sancang-Kamojang dan KPH Sumedang, serta melaksankan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Dinas Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Hubungan Antara Hotspot (Titik Panas) dengan
Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau Tahun 2007
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... ii
DAFTAR GAMBAR ... iii
DAFTAR LAMPIRAN ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Tujuan Penelitian ... 2
1.3. Manfaat Penelitian ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1. Kebakaran Hutan ……….. 2.2. Hotspot ... 3 9 2.3. Pencemaran Udara dan Kabut Asap... 13
2.4. Infeksi Saluran Pernafasan Akut ... 15
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 17
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 17
3.2. Bahan dan Alat ... 17
3.3. Rancangan Penelitian ... 18
3.4. Analisis data ... 19
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 21
4.1. Geografi ... 21
4.2. Penduduk dan Tenaga Kerja ... 22
4.3. Kesehatan ... 23
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 5.1. Hasil ... 24
5.2. Pembahasan... 30
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 39
6.1. Kesimpulan ... 40
6.2. Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Luas dan ketinggian wilayah Kab.Indragiri Hulu... 21 2. Jumlah penduduk Kab. Indragiri Hulu 2006 ... 22 3. Sebaran Hotspot Bulanan di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007…... 25 4. Data jumlah hotspot perbulan dan jumlah pasien ISPA ... 26 5. Rekapitulasi jumlah hotspot dan jumlah pasien ISPA Kab. Indragiri
Hulu ... 26 6. Hubungan hotspot dengan jumlah pasien ISPA dan jumlah penduduk.... 27 7. Data Pasien ISPA berdasarkan jenis kelamin ... 27 8. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Rengat Barat ... 28 9. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Peranap ... 28 10.
11. 12.
Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Kelayang………... Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Lubuk batu Jaya … Rekapitulasi Pasien ISPA berdasarkan kelas umur………… …………
29 29 30
DAFTAR GAMBAR
No .
Halaman
1. Segitiga api ... 3 2. Peta sebaran hotspot di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007... 24 3. Konsep hubungan antara Kebakaran Hutan dan Lahan dengan
Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut ... 32 4. Perbandingan pasien laki-laki dengan pasien perempuan pada penyakit
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Sebaran hotspot di kecamatan Rengat Barat Tahun 2007 ... 44
2. Sebaran hotspot di kecamatan Peranap Tahun 2007 ... 45
3. Sebaran hotspot di kecamatan Kelayang Tahun 2007 ... 46
4. Unsur iklim bulanan kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007 ... 47
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar BelakangKebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan permasalahan yang cenderung berkembang setiap tahunnya sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang irasional. Hal ini menjadi faktor penting timbulnya tekanan terhadap lingkungan yang menyebabkan peningkatan luas areal lahan kritis. Manusia dapat disebut sebagai subjek pengendali status lingkungan karena kerusakan atau perbaikan lingkungan pada umumnya bergantung ditangan manusia.
Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan kerugian dalam bidang ekonomi, ekologi dan sosial baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara langsung Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan penurunan kualitas udara sebagai dampak pencemaran udara yang berasal dari asap. Asap sebagai produk dari kebakaran hutan dan lahan mengandung bahan-bahan kimia antara lain aldehid, sulfur, CO, hidrogen sulfida, nitrogen oksida, fenol, kresol, toluen, partikel debu dan beberapa jenis senyawa hidrokarbon yang mudah menguap dan dilepaskan melalui oksidasi ke atmosfir yang menjadi sumber pencemar. Bahan-bahan kimia ini menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit pernafasan yang diakibatkan oleh pencemaran udara karena pertahanan saluran pernafasan terhadap bakteri/virus menjadi lemah.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dapat dipantau oleh citra satelit NOAA dan ASMC Singapura berupa titik panas (hotspot). Berdasarkan hasil pemantauan satelit NOAA bahwa jumlah hotspot yang terdeteksi mulai bulan Januari sampai Desember 2007 untuk Kabupaten Indragiri Hulu mencapai 171 titik dan yang terbanyak di bulan Agustus sebanyak 63 buah. Tingginya jumlah hotspot di Kabupaten Indragiri Hulu dipicu oleh kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan karet. Data BPS tahun 2006 mencatat 132.255,70 Ha luas areal perkebunan yang dikelola dengan swadaya murni, swadaya partial pola PIR/KKPA/Kemitraan maupun swasta dan BUMN.
1.2.
TujuanMemberikan informasi tentang hubungan antara jumlah hotspot dengan timbulnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau selama bulan Februari sampai dengan Agustus tahun 2007.
1.3.
Manfaat PenelitianUntuk memperoleh persamaan hubungan antara jumlah hotspot sebagai penunjuk adanya kebakaran hutan dengan timbulnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang dapat digunakan sebagai estimasi dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap kesehatan manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kebakaran Hutan 2.1.1. Pengertian
Kebakaran hutan dan kebun adalah kondisi terbakarnya biomassa yang terdapat di dalam kawasan hutan dan areal perkebunan, baik terbakar sebagian maupun terbakar habis (Soedarmo 2003, diacu dalam Suratmo 2003).
Saharjo (2003) diacu dalam Suratmo (2003) menyatakan kebakaran hutan adalah pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, snags/pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon.
Menurut Brown dan Davis (1973) kebakaran hutan adalah pembakaran yang menyebar secara bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting-ranting kayu mati, kayu, tiang, gulma, semak, dedaunan serta pohon-pohon segar.
2.1.2. Proses Terjadinya Kebakaran Hutan
Proses kebakaran pada dasarnya sama dengan formasi atau terjadinya kebakaran yaitu bahan bakar, oksigen, dan sumber panas dimana kombinasi dari ketiga elemen tersebut merupakan unsur-unsur yang saling terkait terjadinya api atau yang sering disebut dengan segitiga api (fire triangle) menurut Clar dan Chatten (1954) diacu dalam Asdini (2006) yang digambarkan sebagai berikut :
Bahan bakar Panas
API
Oksigen
Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa proses pembakaran merupakan kebalikan dari proses fotosintesis yang dapat dijelaskan dalam rumus kimia sebagai berikut:
Proses pembakaran :
C6H12O6 + O2 + Panas Æ CO2 + H2O + Panas Proses fotosintesis :
CO2 + H2O + Energi matahari Æ C6H12O6 + O2
Selama proses kebakaran, dapat diperlihatkan lima fase pembakaran (De Bano et al. 1998), yaitu :
a. Fase pre Ignition
Bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai mengalami pirolisis, yaitu terjadinya pelepasan uap air, CO2 dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk
methane, methanol dan hidrogen. Bahan bakar di bagian depan menyala
terpanaskan melalui radiasi dan konveksi sehingga suhu meningkat lebih dari 100°C. Transfer panas di bagian dalam terjadi melalui konduksi. Ketika panas
pyrolysate keluar dari bahan bakar berkayu, maka api akan menyala pada suhu
300-600°C dalam kondisi udara di sekitar bahan bakar yang kaya akan oksigen. b. Fase Flaming
Reaksi eksotermik dalam fase ini meningkatkan suhu dari 300°C menjadi 500°C hingga mencapai 1400°C. Pirolisis meningkat dan oksidasi cepat (flaming) dari gas-gas yang mudah terbakar menjadi dominan. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap-uap yang dihasilkan dari pirolisis naik ke atas permukaan bahan bakar bercampur dengan O2 dan terbakar. Panas yang dihasilkan dari reaksi flaming meningkatkan laju pirolisis dan melepaskan lebih banyak gas-gas yang mudah terbakar. Beberapa volatil organik dengan berat molekul rendah meninggalkan fase oksidasi dan terangkut dalam angin. Senyawa dengan berat molekul lebih tinggi yang meninggalkan oksidasi sempurna akan mendingin dan berkondensasi dalam angin menjadi ter dan jelaga partikel yang menghasilkan asap. Oksidasi gas-gas organik yang tinggi dan gas-gas dalam zona penyalaan menghasilkan massa terbesar dan produk combustion seperti air, CO2, CO, N2, NOx. Kondensasi dari
soot (jelaga) dan ter yang berdiameter <1 mikrometer dari asap adalah satu proses
c. Fase Smoldering
Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini, yaitu zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan zona dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju penjalaran api mulai menurun karena bahan bakar tidak dapat menyuplai gas-gas yang tidak dapat terbakar dalam konsentrasinya dan pada laju yang dibutuhkan untuk pembakaran yang dahsyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun bersamaan dengan turunnya suhu sehingga menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi dalam bentuk asap. Emisi yang dihasilkan selama fase smoldering adalah sangat nyata lebih besar daripada yang terjadi pada fase flaming.
d. Fase Glowing
Fase ini merupakan fase akhir dari proses smoldering namun glowing tidak termasuk ke dalam fase smoldering. Pada fase ini sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO2 dan abu sisa pembakaran.
e. Fase Extinction
Suatu kebakaran akan terhenti bila semua bahan bakar yang tersedia telah habis dikonsumsi atau bila panas yang dihasilkan melalui oksidasi baik pada fase
smoldering/glowing tidak cukup lagi untuk menguapkan sejumlah uap air yang
diperlukan bahan bakar yang lembab/basah.
Tiga tahap proses pembakaran pada pohon menurut Chandler et al. (1983) adalah :
a. Penyerapan (endoterm) dimana bahan bakar menyerap panas sampai mencapai titik bakar.
b. Peningkatan suhu disertai penguapan air dan hancurnya molekul jaringan pohon dan melepaskan kandungannya yang mudah menguap
c. Pelepasan panas (eksoterm) dimana bahan bakar (selulosa) terbakar melepaskan panas dan uap air dari pembakaran
2.1.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi kebakaran Hutan
Menurut Wibowo (2003) faktor utama yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan yang utama dalah bahan bakar (kadar air, jumlah, ukuran, dan susunan bahan bakar), kondisi cuaca (suhu, curah hujan, kelembaban, dan angin) serta topografi.
a. Bahan Bakar
Kadar air bahan bakar menentukan kemudahan bahan bakar untuk menyala, kecepatan proses pembakaran, kecepatan penjalaran api, dan kemudahan usaha pemadaman kebakaran. Kecepatan penjalaran api meningkat secara langsung dan proporsional dengan meningkatnya jumlah bahan bakar tersedia, apabila faktor lainnya konstan.
Secara umum, semakin kecil ukuran bahan bakar, maka akan semakin cepat api menjalar selama bahan bakar tersebut tersedia. Dengan kuantitas bahan bakar yang sama, api akan lebih cepat menjalar apabila luas permukaan bahan bakar semakin besar. Apabila bahan bakar longgar, panas ditransfer melalui proses konveksi dan radiasi, sedangkan pada bahan bakar yang tersusun padat, prosesnya adalah konduksi yang kurang efisien.
b.Cuaca (Suhu, kelembaban udara, curah hujan dan angin)
Suhu bahan bakar dan udara di sekelilingnya adalah faktor penting yang secara tidak langsung mempengaruhi prilaku kebakaran. Meningkatnya suhu akan menurunkan kelembaban udara dan meningkatkan proses pengeringan bahan bakar, sehingga kadar air bahan bakar menurun.
Kelembaban udara dan curah hujan berhubungan erat dengan musim kebakaran karena kaitannya dengan kemudahan terbakar dari bahan bakar dan hubungannya dengan faktor cuaca lainnya. Pada bahan bakar mati seperti serasah, kandungan kadar airnya sangat ditentukan oleh kondisi kelembaban udara sekitar. Bahan bakar akan menyerap air dari udara lembab dan melepaskan uap air ke udara yang kering.
Faktor lain adalah angin. Angin mempengaruhi prilaku kebakaran dengan cara-cara berikut :
1. Menurunkan kelembaban udara dan mempercepat proses pengeringan bahan bakar.
2. Mempercepat proses pembakaran dengan menambah suplai oksigen 3. Mempercepat penyebaran api dengan membawa panas dan api loncat 4. Mengarahkan lidah api ke bahan bakar yang belum terbakar.
c.Topografi
Kebakaran akan bergerak lebih cepat ke arah atas lereng, hal ini karena panas yang dihasilkan oleh kebakaran lebih dekat ke permukaan tanah, menurunkan kadar air dan meningkatkan suhu bahan bakar di depannya. Hasil penelitian di Australia menunjukkan bahwa kecepatan penjalaran api meningkat linear dengan peningkatan kemiringan lereng. Kecepatan penjalaran api pada kebakaran yang terjadi di topografi datar akan meningkat dua kali lipat pada kelerengan 10° dan akan meningkat empat kali lipat pada kelerengan 20°. Penjalaran api akan berkurang kecepatannya ke arah bawah lereng (Mc. Arthur dalam Wibowo 2003).
Brown dan Davis (1973) mengklasifikasikan kebakaran hutan berdasarkan tipe bahan bakar menurut sebaran vertikal, yaitu :
a. Kebakaran bawah (Ground Fire)
Tipe kebakaran ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan. Kebakaran bawah ini sangat sukar dideteksi dan berjalan lambat sekali karena tidak dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda bahwa areal tersebut terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Karena berada di bawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan.
b. Kebakaran permukaan (Surface Fire)
Kebakaran tipe ini mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok yang bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan diatas permukaan tanah. Kebakaran tipe ini adalah yang paling sering terjadi di dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut.
Kebakaran permukaan ini biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.
c. Kebakaran tajuk (Crown Fire)
Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Kebakaran ini biasanya bermula dari adanya api lompat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/semak yang terbakar atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak atau karena pemanasan permukaan.
2.1.4.Penyebab Kebakaran Hutan
Menurut FAO (1953) penyebab terjadinya kebakaran sangat beraneka ragam, tetapi umumnya adalah karena kelalaian manusia. Secara umum penyebab kebakaran hutan dikategorikan sebagai berikut :
a. Api dari kilat b. Api dari korek api
c. Api dari penebang pohon d. Api dari perkemahan
e. Sisa-sisa api dari perladangan
f. Pembakaran oleh orang yang tidak bertanggung jawab
Lebih dari 90% kebakaran hutan yang terjadi disebabkan oleh kelalaian manusia (Chandler et al. 1983).
Menurut Adinugroho et al. (2005) penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut :
a. Konversi lahan, dimana kebakaran yang disebabkan oleh api berasal dari kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran untuk pertanian, industri, pembuatan jalan, jembatan, bangunan dan lain-lain.
b. Pembakaran vegetasi, yaitu kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali sehingga terjadi api loncat, misalnya pada pembukaan areal HTI dan
perkebunan, penyiapan lahan oleh masyarakat dan lain-lain.
c. Aktivitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam, dimana kebakaran disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas selama pemanfaatan sumberdaya alam. Misalnya saja, pembakaran semak belukar yang menghalangi akses masuk atau pembuatan api untuk memasak oleh penebang liar atau pencari ikan di dalam hutan.
d. Pembuatan kanal/saluran di lahan gambut, dimana saluran ini umumnya digunakan untuk sarana transportasi kayu hasil tebangan maupun irigasi. Saluran yang tidak dilengkapi pintu konrol air yang memadai menyebabkan lepasnya air dari lapisan gambut sehingga gambut menjadi kering dan mudah terbakar.
e. Penguasaan lahan, dimana api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atau bahkan menjarah lahan milik orang lain.
2.2 Hotspot
Metode yang digunakan dalam pemantauan titik panas (hotspot) ini adalah metode penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Data hotspot dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tentang kemungkinan terjadinya kebakaran sehingga perlu dilakukan analisa, pemantauan dan terkadang perlu dilakukan cek lapangan (ground truthing) untuk mengetahui apakah diperlukan tindakan penanggulangan dini khususnya pada saat musim kemarau dimana penyebaran api sangat cepat (Adinugroho et al. 2005).
Asean Specialized Meteorological Center (ASMC) menyatakan bahwa
remote sensing merupakan suatu teknologi yang dapat memberikan informasi mengenai permukaan bumi dan keadaan atmosfer dengan menggunakan sensor yang dipasang di udara (pesawat terbang, balon udara) atau di luar angkasa (satelit). Sensor ini akan menangkap sinyal berupa gelombang radiasi elektromagnetik yang membawa informasi tentang objek yang sedang ditangkap. Hasil dari remote sensing ini adalah sebuah citra (image) yang menjelaskan tentang objek yang sedang diamati.
Satelit NOAA merupakan satelit lingkungan yang bernaung dibawah
National Environtmental Satellite Data and Information Services (NESDIS); National Oceanic Atmospheric Administration; Department of Commerce, USA.
Metode yang digunakan dalam menentukan hotspot ini adalah dengan menetapkan batas nilai ambang (threshold value) suhu kecerahan tertentu, pada matriks citra tersebut. Nilai ambang bukanlah suatu nilai yang kaku, tetapi dapat diubah-ubah sesuai dengan kondisi iklim atau daerah yang dideteksi (Hirorki dan Prabowo 2003, diacu dalam Sukmawati 2006).
Menurut Departemen Kehutanan (2002) satelit NOAA akan mendeteksi suatu obyek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang dideteksi berkisar antara 210 K (37°C) untuk deteksi malam hari dan 315 K (42°C) untuk siang hari. Hotspot tersebut akan diproyeksikan menjadi suatu piksel pada sebuah peta yang menunjukkan koordinat geografisnya.
Satelit NOAA melalui sensor AVHRR (Advaced Very High Resolution
Radiometer) yang dapat membedakan suhu permukaan di darat ataupun di laut.
Satelit ini dibuat dan diluncurkan oleh National Aeronautics and Space
Administration (NASA-USA). Satelit NOAA-AVHRR memiliki cakupan yang
sangat luas dan mengunjungi tempat yang sama sebanyak 4 kali sehari sehingga memungkinkan tersedianya data yang cukup aktual dan waktu analisa yang lebih singkat meskipun wilayahnya luas (Adinugroho et al. 2005)
Fungsi dari sistem monitoring dan deteksi kebakaran dengan menggunakan satelit NOAA adalah untuk menentukan lokasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan sebelum kebakaran meluas dan mengakibatkan kerusakan serius serta kerugian ekonomi. Penggunaan metode remote sensing juga memberikan solusi yang efisien dalam kegiatan deteksi dan monitoring kebakaran hutan dan lahan pada areal yang luas (ASMC 2002).
Satelit NOAA mencakup area permukaan bumi seluas 2700 km dari ketinggian kurang lebih 860 km dan memiliki resolusi medan 1,1 km2 (ukuran piksel). Satelit-satelit ini mempunyai sensor AVHRR yang merupakan sebuah radiometer pemantauan dengan lima saluran yang masing-masing memiliki karakteristik spektral yang berbeda (tampak, inframerah, dekat, tengah dan jauh). (Wannamaker 1996, diacu dalam Hoffman 2000).
Proses geografis lebih lanjut dilakukan dengan Sistem Tampilan dan Analisa Geografis (GADS) dan Arcview 3.2. Dengan tingkat pengulangannya yang tinggi, NOAA-AVHRR memiliki kemampuan untuk mendeteksi aktivitas kebakaran (High Temperature Even atau Hotspot) berdasarkan pengukuran temperature pada waktu sebenarnya. Hotspot tidak memberikan informasi mengenai jumlah, ukuran dan intensitas kebakaran serta ukuran luas yang terbakar (Malingreau 1990, diacu dalam Hoffman 2000).
Satelit NOAA ini membutuhkan waktu 102 menit untuk mencapai satu putaran (orbit). Selama melakukan satu putaran penuh, satelit NOAA ini membelok 25° sehingga dapat memberikan gambaran yang berbeda dari permukaan bumi setiap melewatinya. Dengan ukuran pixel seluas 1,1 km2, hotspot akan mudah terdeteksi jika areal memancarkan panas seluas 40 x 40 m2 atau lebih. Saat ini ada enam satelit berfungsi, yaitu NOAA 10, 12, 14, 15, 16, 18. Perbedaan yang terdapat pada keeenam satelit NOAA ini terletak pada treshold temperature yang dapat ditangkap (ASMC 2002).
Terdapat beberapa kelemahan pada satelit NOAA yang berfungsi sebagai pemantau titik panas yaitu sensornya tidak dapat menembus awan, asap dan aerosol sehingga memungkinkan jumlah hotspot yang terdeteksi pada saat kebakaran besar jauh lebih rendah daripada seharusnya. Sifat sensor yang sensitif terhadap suhu permukaan bumi ditambah dengan resolusinya yang rendah menyebabkan kemungkinan terjadinya salah perkiraan hotspot, misalnya cerobong api dari tambang minyak atau gas seringkali terdeteksi sebagai suatu hotspot. Oleh karena itu diperlukan analisa lebih lanjut dengan melakukan overlay (penggabungan) antara data hotspot dengan peta penutupan lahan atau penggunaan lahan dengan menggunakan sistem informasi geografis serta dengan melakukan cek lapangan (ground surveying) (Adinugroho et al. 2005).
Dengan NOAA-AVHRR tidaklah mungkin untuk mengukur secara tepat luas area yang terbakar ataupun memberikan data yang tepat mengenai kerusakan vegetasi. Koordinat hotspot mewakili titik tengah dari piksel kebakaran yang terdeteksi dan bukan koordinat letak kebakaran di permukaan bumi yang sesungguhnya. Kebakaran atau beberapa kebakaran dapat terletak dalam radius 500 meter dari koordinat titik tengah tersebut. Lebih jauh lagi, sangatlah sulit untuk menjamin registrasi yang baik dari citra NOAA-AVHRR secara berturut-turut. Kekeliruan registrasi tergantung pada keakuratan operator ketika menumpang susunkan garis pantai dalam proses geoferensi citra. Sehubungan dengan kasarnya skala citra tersebut (kira-kira 1: 6.000.000) kualitas registrasi juga tergantung pada kualitas citra itu sendiri. Semakin jelas garis pantai yang dapat dilihat maka semakin akurat hasil geoferensinya. Sebagai tambahan, keakuratan alat scanner AVHRR diperburuk oleh besarnya sudut pemantauan. Bila digabungkan menjadi satu, diperkirakan kekeliruan medan dari hotspot NOAA-AVHRR sekitar 3 km (Hoffman 2000).
Pada sensor AVHRR, saluran 3 dan 4 merupakan channel yang paling sesuai untuk pendeteksian kebakaran yaitu dua saluran infra merah thermal pertama. Proses pendeteksian kebakaran berdasarkan pada pengukuran temperatur permukaan bumi yang diperoleh dari saluran 3. Sebuah pixel dideteksi sebagai piksel kebakaran atau hotspot ketika saluran 3 dipenuhi oleh temperatur spesifik vegetasi yang terbakar. Oleh karena itu untuk menghindari salah deteksi sehubungan dengan tingginya temperatur latar belakang (tanah), refleksi awan, atau refleksi matahari oleh air, pemrosesan satelit dilakukan dengan menggunakan alogaritma-alogaritma khusus. Temperatur ambang batas untuk saluran 3 ditentukan secara manual untuk setiap citra yang diperoleh dari fasilitas yang ada pada layar. Fasilitas tersebut menunjukkan distribusi piksel dalam hubungannya dengan temperatur yang terukur (Hoffman 2000).
2.3. Pencemaran Udara dan Kabut Asap 2.3.1.Pencemaran Udara
Pencemaran Lingkungan Hidup adalah (Pasal 1 ayat 12, UU No.23 tahun 1997) adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (Bapedal 2001). Menurut Wardhana (1994) pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya.
Efek dari pencemaran udara dapat berupa gangguan kenyamanan dan estetika kerusakan harta benda, kerusakan pada binatang dan tumbuhan, gangguan pada kesehatan manusia, kerusakan sistem reproduksi dan genetik serta kerusakan ekosistem (Effendi dan Effendi 2002).
Menurut Kozak dan Sudarmo (1992) diacu dalam Tristiyenny (2003) ada dua bentuk emisi dari unsur pencemaran udara :
1. Pencemar udara primer (Primary air pollution)
Emisi zat-zat pencemar udara langsung ke atmosfer dari sumber-sumber diam maupun bergerak. Misalnya : CO, CO2, NO2, SO2, CFC, Cl2, partikel-partikel debu.
2. Pencemar udara sekunder ( Secondary air pollution)
Emisi pencemar udara dari hasil proses fisika dan kimia di atmosfer dalam bentuk fotokimia yang umumnya bersifat rekatif dan mengalami transformasi fisika dan kimia menjadi unsur/senyawa. Bentuknya akan berbeda atau berubah pada saat diemisikan hingga setelah ada di atmosfer. Misalnya ozon (O3), aldehida, hujan asam, dan sebagainya.
Tidaklah mudah untuk menghubungkan pencemaran udara dengan terjadinya suatu penyakit atau terjadinya kematian. Hal ini disebabkan (Kusnoputranto 2000) :
a. Jumlah dan keanekaragaman zat pencemar
b. Kesulitan dalam mendeteksi zat pencemar yang membahayakan pada konsentrasi rendah
c. Interaksi sinergistik antar zat-zat pencemar
d. Kesulitan dalam mengisolasi faktor tinggal yang menjadi penyebab karena manusia terpajan terhadap sejumlah zat pencemar yang berbahaya untuk jangka waktu yang cukup lama.
e. Penyebab jamak dan masa inkubasi lama dari penyakit-penyakit yang diduga diakibatkannya (misal : emfisema, bronkitis kronik, kanker, jantung).
2.3.2.Kabut Asap dari Kebakaran Hutan
Kabut asap merupakan sebutan untuk keadaan udara berasap/berkabut (yang disebabkan kebakaran hutan dalam skala besar) yang didominasi partikel (Heil 1998, diacu dalam Tristitenny 2003).
Jenis-jenis bahan utama yang terbakar, misalnya tumbuh-tumbuhan yang mengandung bahan-bahan organik, yang bila terbakar akan menghasilkan debu dan berbagai zat kimia, antara lain aldehid, sulfur, CO, hidrogen sulfida, nitrogen oksida, fenol, kresol, toluen, partikel debu dan beberapa jenis senyawa hidrokarbon merupakan faktor yang mempengaruhi angka ISPU (WHO 1992 dan Agee 1993, diacu dalam Tristiyenny 2003).
Menurut GTZ (1998) asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar ditandai dengan partikel yang tinggi, yang salah satu dampaknya adalah memperkecil jarak pandang. Partikel ini mengandung kumpulan karbon dalam berbagai diameter antara 0,001 μm - 100 μm. Dalam kebakaran hutan yang lebih banyak partikel yang lebih kecil, sebagian partikel yang lebih besar telah jatuh lebih dulu.
Partikel terdeposisi dengan berbagai ukuran sehingga mempunyai masa tinggal yang berbeda di udara sehingga dapat dikelompokkan menjadi (Tristiyenny 2003) :
1. Partikel dengan ukuran diatas 10-100 mikron mempunyai masa tinggal di udara selama 1-2 hari dan terdeposisi akibat presipitasi/hujan. Partikel golongan ini tidak berbahaya karena akan ditangkap oleh bulu-bulu hidung. 2. Partikel dengan ukuran 1-10 mikron/PM 10 mempunyai masa tinggal di
udara cenderung lebih lama karena bertahan dalam bentuk suspensi di udara. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap partikel ini adalah selaput lendir.
3. Partikel berukuran < 2 mikron yang mempunyai masa tinggal di troposfer selama 1-2 minggu kemudian naik ke stratosfer dan bertahan 1-2 minggu. Effendi dan Effendi (2002) menyebutkan sumber alamiah partikel atmosfer adalah debu yang memasuki atmofer karena terbawa oleh angin. Sumber artifisial debu terutama adalah pembakaran yang dapat menghasilkan jelaga (partikel yang terdiri atas karbon dan zat lain yang melekat padanya.
WHO (1987) menyatakan partikel dalam atmosfer mempunyai karakteristik spesifik, dapat berupa zat padat maupun suspensi aerosol cair. Bahan partikel tersebut dapat berasal dari proses kondensasi, proses dispersi maupun proses erosi bahan tertentu. Berdasarkan ukuran secara garis besar partikel dapat merupakan suatu :
a. Partikel debu kasar (coarse particle), jika diameternya > 10μm b. Partikel debu, uap, asap jika diameternya antara 1-10μm c. Aerosol, jika diameternya antara < 1μm
2.4. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah suatu kelompok penyakit yang kompleks dan heterogen yang disebabkan oleh banyak agen etiologik dan mempengaruhi berbagai tempat pada saluran pernafasan (WHO/UNICEF 1986).
Menurut Ditjen PPM & PLP Depkes (2004) menyatakan ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut, dengan pengertian sebagai berikut:
1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. 2. Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta
organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratorytract)
3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.
Terjadinya infeksi bakterial mudah terjadi pada saluran nafas yang telah rusak sel-sel epitel mukosanya, yang dapat disebabkan oleh asap rokok dan gas SO2 serta polutan utama pencemaran udara lainnya, sindroma imotil dan pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi. (Alsagaff et al. 1989)
Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri dari penyebab ISPA antara lain genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus, hemofilus sedangkan virus penyebab ISPA adalah golongan miksovirus, adenovirus, koronavirus dan lain-lain (Mansyoer et al. 2000, diacu dalam Tristiyenny 2003).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilakukan di Kabupaten Indragiri Hulu provinsi Riau dan Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama pada bulan Maret sampai dengan Mei 2008.
3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dengan beberapa perangkat lunak yaitu Microsoft Excel, Minitab, Arcview 3.2 untuk pengolahan dalam format Sistem Informasi Geografis (SIG), kamera digital, kalkulator dan alat tulis.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data jumlah penderita ISPA dari Dinas Kesehatan kabupaten Indragiri Hulu selama tahun 2007 sebanyak 4 Puskesmas dari 4 kecamatan. Kecamatan dipilih berdasarkan jumlah hotspot yang terdeteksi selama tahun 2007.
2. Data jumlah hotspot dari Kementrian Lingkungan Hidup tiap bulan selama tahun 2007 di Kabupaten Indragiri Hulu.
3. Data unsur iklim bulanan selama tahun 2007 dari stasiun meteorologi Japura Rengat yang terletak pada koordinat 20°LU/102°BT .
4. Data wilayah kehutanan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Indragiri Hulu Riau
5. Data kependudukan (Indragiri Hulu dalam Angka) dari BPS Kabupaten Indragiri Hulu
3.3. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi yang bertujuan mendiskripsikan hubungan korelatif antara dua variabel, dimana unit observasi dan unit analisis adalah kelompok (agregat) individu, dalam hal ini agregat dibatasi secara geografik. Karena mengamati agregat individu dan bukannya peristiwa yang terjadi pada individu itu sendiri, maka studi ini disebut juga studi korelasi ekologi atau analisis ekologi (Murti 1997 diacu dalam Tristiyenny 2003).
Kelemahan studi ini adalah ketidakmampuan mengontrol pengaruh faktor yang menjadi faktor perancu, dimana faktor-faktor perancu tersebut bersama-sama faktor penelitian berkorelasi dengan penyakit, menciptakan keadaan yang disebut multikolineritas. Studi ini bukan rancangan yang kuat untuk menganalisis hubungan sebab akibat karena ketidakmampuannya menjembatani kesenjangan status paparan dan status penyakit pada tingkat populasi dan tingkat individu. Walaupun lemah untuk pengujian hipotesis etiologi penyakit, studi korelasi populasi ini sangat berguna untuk mengevaluasi dampak dari program intervensi kesehatan pada populasi sasaran (Kleinbaum et al. 1982 diacu dalam Tristiyenny 2003).
Penelitian ini mengukur hubungan antara peningkatan sebaran titik panas (hotspot) sebagai penunjuk adanya kebakaran hutan dan lahan dengan peningkatan kejadian ISPA di beberapa kecamatan di Indragiri Hulu pada periode Februari sampai Agustus 2007. Pertimbangan bulan yang diambil karena data yang diperoleh dari Kementrian Lingkungan Hidup 2007 menunjukkan bahwa jumlah hotspot terdeteksi paling banyak terdapat pada bulan Februari dan Agustus. Kecamatan yang dianalisis dibagi berdasarkan jumlah hotspot selama tahun 2007 dengan pembagian sebagai berikut:
0 - 10 hotspot : Kecamatan Lubuk Batu Jaya 10 - 20 hotspot : Kecamatan Kelayang
20 – 30 hotspot : Kecamatan Peranap 30 – 40 hotspot : Kecamatan Rengat Barat
Selanjutnya akan dilakukan penelitian deskriptif untuk memperoleh gambaran mengenai peningkatan dampak kesehatan yang terbatas pada penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut dilihat dari kelas umur dan jenis kelamin.
3.4. Analisis Data 3.4.1. Uji Korelasi
Dalam studi korelasi populasi ini prinsipnya adalah dua variabel (X,Y) diukur pada tiap-tiap unit observasi. Kemudian sejumlah n pasangan (X,Y) dipertemukan untuk mencari hubungannya. Kekuatan hubungan linier antara variabel X dan variabel Y dihitung dalam koefisien yang disebut koefesien korelasi (r). Koefisien korelasi mengukur berapa besar perubahan setiap unit variabel diikuti oleh perubahan setiap unit paparan, atau sebaliknya (Murti 1997 diacu dalam Tristiyenny 2003)
Nilai korelasi (r) berkisar dari 0 sampai dengan 1 atau bila disertai arahnya nilainya antara -1 sampai dengan +1 (Walpole 1988). Colton dalam Tristiyenny 2003 menyatakan kekuatan hubungan antara dua variabel secara kualitatif dapat dibagi dalam 4 area, yaitu :
1. r = 0,00 – 0,25 tidak ada hubungan 2. r = 0,26 – 0,50 hubungan sedang 3. r = 0,52 – 0,75 hubungan kuat
4. r = 0,76 – 1,00 hubungan sangat kuat/sempurna
Untuk selanjutnya akan digunakan batasan ini dalam melihat hubungan antara jumlah hotspot dengan kejadian ISPA.
3.4.2. Uji Regresi
Untuk melihat bentuk hubungan antara dua variabel digunakan analisis regresi. Regresi linear bertujuan untuk membuat sebuah persamaan untuk memperkirakan nilai suatu variabel melalui variabel lain. Dalam penelitian ini akan diprediksi peningkatan kejadian ISPA dengan peningkatan jumlah hotspot.
Untuk memprediksi pada penelitian ini digunakan persamaan garis dengan regresi linear yang dituliskan dalam bentuk :
Y = a + bX Y = variabel dependen X = variabel independen
a = intersep, perkiraan besarnya rata-rata variabel Y ketika variabel X=0
b = kemiringan/gradien, perkiraan besarnya perubahan nilai variabel Y bila nilai variabel X berubah satu unit pengukuran.
Ukuran yang terpenting dalam analisis regresi adalah koefisien determinasi (R2), dimana nilai tersebut berguna untuk mengetahui seberapa besar variabel dependen (Y) dapat dijelaskan oleh variabel independen (X) atau seberapa jauh variabel independen dapat memprediksi variabel dependen. Besarnya nilai R2 antara 0 - 1 atau 0% sampai dengan 100%. Jika model persamaan yang diperoleh menghasilkan nilai koefisien determinasi yang rendah (R2<50%), maka model persamaan yang dihasilkan tidak relevan untuk diterapkan dalam perhitungan hubungan antara parameter kejadian ISPA dengan jumlah hotspot.
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. GEOGRAFI
4.1.1 Luas dan Letak Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Indragiri Hulu meliputi 8.198,26 km2 (819.826 Ha) yang terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan rawa-rawa. Kabupaten Indragiri Hulu terletak pada 0°15 Lintang Utara, 1°5 Lintang Selatan dan 102°10 Bujur Timur 102°48 Bujur Timur (BPS 2006).
Tabel 1. Luas dan ketinggian wilayah Kab. Indragiri Hulu Luas Ketinggian (m) Ha % 0-25 320.503 25,56 25-100 660.244 52,66 100-500 265.000 21,13 Jumlah 819.826 99,35 Sumber : BPS Inhu 2006 4.1.2 Batas Wilayah
Kabupaten Indragiri Hulu berbatasan dengan : 1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Pelalawan
2. Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bungo Tebo (Propinsi Jambi) 3. Sebelah Barat dengan Kabupaten Kuantan Singingi
4. Sebelah Timur dengan Kabupaten Indragiri Hilir
4.1.3 Iklim
4.1.3.1 Suhu dan Kelembaban Udara
Suhu dan kelembaban udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Suhu udara maksimum pada tahun 2007 yaitu 33,2°C, sedangkan suhu minimum berkisar pada 21,9° C. Kelembaban udara maksimum cukup tinggi yaitu 87%, sedangkan kelembaban udara minimum 84% (BMG Japura 2007).
4.1.3.2 Curah Hujan
Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan ortographi dan perputaran/pertemuan arus udara, oleh karena itu jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan stasiun pengamat. Pada tahun 2007 curah hujan tertinggi sebesar 354,9 mm pada bulan Mei, kemudian curah hujan terendah adalah 65,2 mm pada bulan Juni (BMG Japura 2007)
4.2. PENDUDUK DAN TENAGA KERJA 4.2.1. Penduduk
Data BPS 2006 mencatat penduduk kabupaten Indragiri Hulu pada tahun 2006 sebesar 317.542 jiwa dimana penduduk laki-laki sebanyak 153.219 jiwa (48,25%) dan penduduk perempuan 164.323 jiwa (51,75%). Penduduk perempuan di kabupaten Indragiri Hulu lebih besar dibandingkan penduduk laki-laki, sehingga seks ratio di kabupaten Indragiri Hulu sebesar 93,24% artinya terdapat 93 penduduk laki-laki setiap 100 penduduk perempuan.
Tabel 2. Jumlah penduduk Kabupaten Indragiri Hulu 2006 Penduduk
No Kecamatan Jumlah desa
Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Peranap 12 9.806 14.698 24.504 2. Batang Peranap 10 3.421 3.299 6720 3. Seberida 11 15.303 16.577 31.880 4. Batang Cenaku 10 12.508 12.181 24.689 5. Batang Gansal 20 10.354 9.987 20.341 6. Kelayang 17 10.603 14.825 25.428 7. Rokit Kulim 19 7.504 7.331 14.835 8. Pasir Penyu 13 10.886 16.317 27.203 9. Lirik 17 10.873 10.125 20.998 10. Sungai Lala 12 6.343 5.862 12.205
11. Lubuk Batu Jaya 9 9.791 8.539 18.330
12. Rengat Barat 18 17.973 16.325 34.298
13. Rengat 16 20.993 21.262 42.255
14. Kuala Cenaku 10 6.862 6.994 13.856
Jumlah 194 153.219 164.323 317.542
4.3. KESEHATAN
Fasilitas kesehatan di kabupaten Indragiri Hulu sebanyak 730 buah, dengan rincian 1 rumah sakit umum, 15 puskesmas, 86 puskesmas pembantu, 15 puskesmas keliling, 345 posyandu, 10 rumah bersalin, 13 balai pengobatan/klinik, 8 apotik, dan 23 toko obat. Jika dibandingkan dengan tahun 2005, fasilitas kesehatan di Kabupaten Indragiri Hulu sudah mengalami peningkatan jumlahnya, seperti halnya puskesmas sudah tersedia di setiap kecamatan di Kabupaten Indragiri Hulu. Terdapat 526 tenaga kesehatan, 64 diantaranya dokter dan 401 perawat dan bidan yang tersebar di setiap puskesmas di kabupaten Indragiri Hulu (BPS 2006). Puskesmas tersebar masing-masing satu di setiap kecamatan kecuali di kecamatan Rengat yang memiliki dua buah kecamatan.
BAB V
HASIL PEMBAHASAN
A. Hasil
Jumlah hotspot yang terdeteksi di Kabupaten Indragiri Hulu dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena animo masyarakat asli maupun pendatang sangat kuat untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit dan karet. Kelapa sawit berkembang baik di kabupaten ini disebabkan oleh letak geografis kabupaten yang dilintasi oleh garis ekuator. Faktor pendukung lainnya adalah faktor curah hujan, kemiringan lahan dan kelembaban.Untuk tahun 2007, hotspot yang terdeteksi di Kabupaten Indragiri Hulu dapat dilihat pada peta berikut ini :
Gambar 2. Peta sebaran hotspot Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007 Selama tahun 2007, angin cenderung bergerak ke arah utara dan selatan. Hal ini akan mempengaruhi pergerakan asap di saat terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Sehingga tidak ada jaminan kecamatan yang tidak terdeteksi hotspot, tidak akan terkena dampak akibat asap kebakaran hutan. Untuk mengetahui jumlah hotspot bulanan pada tiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3. Sebaran Hotspot Bulanan di Kabupaten Indragiri Hulu tahun 2007. Bulan Kecamatan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
∑ Hotspot per kecamatan Peranap 0 1 2 0 3 5 1 11 0 2 0 0 25 Batang Peranap 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Seberida 0 5 6 0 0 5 3 10 1 5 0 0 35 Batang Cenaku 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Batang Gansal 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Kelayang 0 3 1 0 0 2 0 11 1 1 0 0 19 Rokit Kulim 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Pasir Penyu 2 8 0 0 0 2 0 11 0 2 0 0 25 Lirik 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Sungai Lala 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Lubuk Batu Jaya 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Rengat Barat 1 5 2 1 0 7 7 13 0 0 0 0 36 Rengat 3 6 2 0 0 4 7 6 1 1 0 0 30 Kuala Cenaku 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Pada tabel berikut ini dapat dilihat data jumlah pasien yang terinfeksi saluran pernafasan akut dari bulan Februari sampai dengan Agustus pada tiap kecamatan yang dianalisis.
Tabel 4. Data jumlah hotspot perbulan dan jumlah pasien ISPA Bulan
Kecamatan
Februari Maret April Mei Juni Juli Agus Total ( orang) Rengat Barat ∑ ISPA (orang) 213 296 52 225 241 215 128 1370 ∑ Hotspot 5 2 1 0 7 7 13 35 Peranap ∑ ISPA (orang) 57 66 64 64 59 48 64 422 ∑ Hotspot 1 2 0 3 5 1 11 23 Kelayang ∑ ISPA (orang) 155 90 56 49 126 95 130 701 ∑ Hotspot 3 1 0 0 2 0 11 17
Lubuk Batu Jaya
∑ ISPA (orang) 46 71 56 39 18 43 62 335
∑ Hotspot 0 0 0 0 0 0 0 0
Sumber : KLH dan Dinas Kesehatan Inhu 2007
Untuk melakukan analisis statistik, total pasien yang terinfekasi saluran pernafasan akut dari tiap kecamatan dihubungkan dengan jumlah hotspot dari bulan Februari sampai dengan Agustus tahun 2007.
Tabel 5. Rekapitulasi jumlah hotspot dan jumlah pasien ISPA Kab. Indragiri Hulu
Kecamatan ∑ hotspot (buah) ∑ pasien (orang)
Rengat Barat 35 1370
Peranap 23 422
Kelayang 17 701
Lubuk Batu Jaya 0 335
Pada penelitian ini, dilihat juga keterkaitan antara jumlah pasien ISPA dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan memasukkan faktor lain yaitu jumlah penduduk. Dari tabel ini dilakukan analisis untuk megukur koefisien korelasi dan memperoleh persamaan linear.
Tabel 6. Hubungan hotspot dengan jumlah pasien ISPA dan jumlah penduduk
Kecamatan ∑ Hotspot (buah) ∑ pasien (orang) Penduduk (orang) Pasien/Penduduk Rengat Barat 35 1370 34.298 0,04 Peranap 23 422 24.504 0,02 Kelayang 17 701 25.428 0,03
Lubuk Batu Jaya 0 335 18.330 0,02
Sumber : KLH 2007, BPS 2006, Dinas Kesehatan Inhu 2007
Pasien yang terinfeksi penyakit ISPA dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Hal ini bertujuan untuk melihat jenis kelamin yang mana yang lebih banyak terserang ISPA pada periode Februari sampai dengan Agustus tahun 2007 di Kabupaten Indragiri Hulu.
Tabel 7. Data Pasien ISPA berdasarkan jenis kelamin Bulan Kecamatan
Feb Maret April Mei Juni Juli Agus
%ase /total pasien Rengat Barat Laki-laki (orang) 107 153 26 159 146 107 70 56 Perempuan (orang) 106 143 26 66 95 108 58 44 Peranap Laki-laki(orang) 34 35 32 32 31 36 20 52 Perempuan (orang) 23 31 32 32 28 12 44 48 Kelayang Laki-laki(orang) 86 43 24 29 55 52 64 50 Perempuan (orang) 69 47 32 20 71 43 66 50
Lubuk Batu Jaya
Laki-laki(orang) 24 37 36 17 8 21 32 52
Untuk melihat rentang usia yang lebih banyak terserang ISPA, maka pasien ISPA dikelompokkan menjadi 6 kelas umur. Pada tabel 8, 9, 10 dan 11 dapat dilihat jumlah pasien dengan masing-masing kelas umur pada 4 kecamatan yang dianalisis.
Tabel 8. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Rengat Barat
Bulan <1 th (orang) 1-5 th (orang) 5-14 th (orang) 15-24 th (orang) 25-44th (orang) 45 th + (orang) Februari 20 26 60 35 13 59 Maret 53 41 64 32 31 75 April 8 20 3 18 0 3 Mei 1 81 59 55 24 5 Juni 31 67 59 15 40 29 Juli 30 56 33 11 42 43 Agustus 31 41 10 7 27 12 Persentase 13% 24% 21% 13% 13% 16%
Sumber : Dinas Kesehatan Inhu 2007
Tabel 9. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Peranap
Bulan <1 th (orang) 1-5 th (orang) 5-14 th (orang) 15-24 th (orang) 25-44th (orang) 45 th + (orang) Februari 5 17 15 10 3 7 Maret 19 17 16 12 2 0 April 18 16 16 12 2 0 Mei 18 16 16 12 2 0 Juni 16 15 16 10 2 0 Juli 19 16 7 5 1 0 Agustus 3 10 33 11 4 3 Persentase 23% 25% 28% 17% 4% 2%
Tabel 10. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Kelayang Bulan <1 th (orang) 1-5 th (orang) 5-14 th (orang) 15-24 th (orang) 25-44th (orang) 45 th + (orang) Februari 16 38 29 21 35 16 Maret 17 23 16 9 17 8 April 7 15 16 7 9 2 Mei 5 20 8 11 4 1 Juni 9 26 19 19 50 3 Juli 6 11 16 11 31 20 Agustus 14 28 14 18 37 19 Persentase 11% 23% 17% 14% 26% 10%
Sumber : Dinas Kesehatan Inhu 2007
Tabel 11. Pasien ISPA berdasarkan kelas umur di Kecamatan Lubuk batu Jaya
Bulan <1 th (orang) 1-5 th (orang) 5-14 th (orang) 15-24 th (orang) 25-44 th (orang) 45 th + (orang) Februari 0 21 15 10 0 0 Maret 0 19 26 14 12 0 April 0 8 9 27 12 0 Mei 0 8 8 16 7 0 Juni 0 8 3 5 2 0 Juli 0 10 9 15 8 1 Agustus 0 16 16 25 5 0 Persentase 0% 27% 26% 33% 14% 0%
Tabel dibawah ini menunjukkan rekapitulasi dari persentase kelas umur pada masing-masing kecamatan. Data yang direkap, selanjutnya dirata-ratakan untuk melihat perbandingan persentase dari tiap kelas umur.
Tabel 12.Rekapitulasi Pasien ISPA berdasarkan kelas umur Kecamatan <1 th (%) 1-5 th (%) 5-14 th (%) 15-24 th (%) 25-44 th (%) 45 th + (%) Rengat Barat 13 24 21 13 13 16 Peranap 23 25 28 17 4 2 Kelayang 11 23 17 14 26 10 Lb. Batu Jaya 0 27 26 33 14 0 Rata-rata 12 25 23 19 14 7
Sumber : Dinas Kesehatan Inhu 2007
5.2. Pembahasan
5.2.1. Sebaran Hotspot
Kabupaten Indragiri Hulu merupakan salah satu wilayah di Propinsi Riau yang setiap tahunnya terdeteksi hotspot sebagai indikasi terjadinya kebakaran hutan. Latar belakang Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu adalah pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan karet yang telah menjadi komoditas utama kabupaten ini. Api sampai saat ini masih dianggap sebagai manajemen yang relatif murah, mudah dan praktis. Kabupaten Indragiri Hulu memiliki 14 kecamatan dengan luas wilayah 8.198,26 km2 mempunyai hotspot sebanyak 171 buah, akan hotspot hanya tersebar di 6 kecamatan saja yakni kecamatan Peranap, Seberida, Kelayang, Pasir Penyu, Rengat Barat dan Rengat.
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa hotspot dalam jumlah yang banyak tidak hanya terdeteksi pada bulan-bulan kering saja. Dengan asumsi bulan kering dimulai Maret sampai Agustus dan bulan basah dimulai dari September sampai dengan Februari, jumlah hotspot terbanyak terdapat pada bulan transisi perubahan musim. Pada bulan Agustus hotspot tertinggi sebanyak 63 buah dan dilanjutkan pada bulan Februari yang terdeteksi 28 hotspot. Tingginya jumlah hotspot pada bulan Agustus berhubungan dengan penyiapan/pembukaan lahan untuk mengejar musim hujan pada bulan September.
Meskipun pada kenyataannya, batasan antara bulan basah dengan bulan kering sudah tidak jelas lagi. Curah hujan tertinggi terdapat di bulan Mei yang termasuk ke dalam kelompok bulan kering (lampiran 4). Hal ini berhubungan dengan perubahan iklim akibat pemanasan global yang membuat kondisi iklim tidak menentu. Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi gas-gas tertentu khususnya CO2 dan chlorofluorocarbon yang dikenal dengan gas rumah kaca terus bertambah di udara, Karbondioksida umumnya dihasilkan oleh penggunaan batubara, minyak bumi, gas dan penggundulan hutan serta pembakaran hutan. Menurut Kelompok Kerja Pemanasan Global (2002) penggundulan hutan mengurangi penyerapan karbon oleh pohon, yang menyebabkan emisi karbon bertambah sebesar 20%, dan mengubah iklim mikro lokal dan siklus hidrologis, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah.
5.2.2 Hotspot dan Penderita ISPA
Hutan yang terdiri dari makhluk hidup seperti tumbuh-tumbuhan atau hewan mengandung unsur-unsur organik C, H, O, N, S dan P. Sehingga dari hasil Kebakaran Hutan dan Lahan akan menimbulkan bau karena terbakarnya berbagai protein atau makhluk hidup yang menghasilkan berbagai polutan berupa partikel dan gas. Menurut GTZ (2008) pada umumnya partikel dan berbagai gas yang terlepas selama pembakaran biomasa (CO, Hidrokarbon, NOx, CH4, O3 dan lain-lain) terdapat di garis lintang tropis terutama pada saat hutan dan ladang dibersihkan dengan pembakaran. Gas ini berdampak terhadap kesehatan manusia tetapi dalam penelitian ini dampak kesehatan dari gas-gas tersebut tidak dibahas.
Kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan asap akan menimbulkan pencemaran udara. GTZ (2008) menyatakan bahwa kabut asap yang berasal dari Kebakaran Hutan dan Lahan dalam skala besar ditandai dengan kadar partikel yang tinggi yang salah satu dampaknya adalah memperkecil jarak pandang. Dalam kebakaran hutan lebih banyak partikel yang lebih kecil sebagian partikel yang lebih besar telah jatuh lebih dulu.
Polutan partikel padat (PM) dapat berasal dari bahan organik dan anorganik. Partikel debu yang dapat dihirup pada pernafasan manusia berukuran 0.1-10 mikron. Partikel ini akan berada di atmosfir sebagai suspended particulate
matter dan mempunyai pengaruh besar untuk menimbulkan kerusakan jaringan
dan faal paru. Dikutip dari Bates, debu-debu berdiameter 5-10 mikron akan tertahan dan tertimbun pada saluran nafas bagian tengah, debu yang berdiameter 1-3 mikron akan tertahan dan tertimbun pada bronkiolus terminal, sedangkan untuk debu yang berukuran kurang dari 1 mikron akan keluar masuk mengikuti gerak Brown (Awaloeddin 2007).
Partikel-partikel mempunyai potensi merusak sistem mukosilier (silia pada mukosa yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing) dan merangsang proses fibrosis (jaringan parut) paru (Awaloeddin 2007). Dalam kaitan dengan kebakaran hutan ini, ISPA terjadi karena pertahanan saluran pernafasan yakni sel-sel epitel mukosa menjadi lemah atau bahkan rusak akibat menghirup udara yang tercemar yang sarat dengan partikel debu, sehingga kuman mudah masuk dan berkembang biak.
Penyakit yang berhubungan dengan kebakaran hutan antara lain adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut, pneumonia, asma, iritasi mata dan iritasi kulit. Skema berikut menjelaskan hubungan antara kebakaran hutan dengan peningkatan kejadian ISPA di Kabupaten Indragiri Hulu.
Gambar 2. Konsep hubungan antara Kebakaran Hutan dan Lahan dengan Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit
Kebakaran hutan dan lahan
(hotspot)
Pencemaran udara akibat partikel dan gas polutan. Seperti asap, debu, CO, NOx, CH4, fog, hidrokarbon,dll
Penyakit saluran pernafasan misalnya: (ISPA)
Pada kecamatan Rengat Barat jumlah pasien terbanyak terdapat di bulan Maret dengan jumlah hotspot 2 buah. Jumlah pasien terendah terdapat di bulan April pada saat deteksi hotspot hanya 1 saja. Perhitungan tidak dilakukan tiap bulan karena ISPA adalah penyakit akut dengan batasan 14 hari. Misalnya pasien bulan Maret bisa saja sudah diserang penyakit ISPA sejak bulan sebelumnya. Bulan Agustus dengan 13 hotspot ditemukan pasien sebanyak 128 orang, jumlah ini cukup signifikan jika dibandingkan dengan bulan Mei yang tidak ditemukan titik panas. Dari 7 bulan (Februari – Agustus 2007) pasien ISPA di kecamatan Rengat Barat berjumlah 1370 orang dengan deteksi 37 hotspot.
Di kecamatan Peranap hotspot terbanyak terdapat pada bulan Agustus, sedangkan pada bulan lainnya terdeteksi tidak lebih dari 5 hotspot. Jumlah pasien tiap bulannya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan. Jumlah pasien terbanyak terdapat pada bulan Maret dan yang paling sedikit terdapat pada bulan Juli. Dari bulan yang dianalisis terdapat 23 buah hotspot dengan jumlah pasien ISPA sebanyak 422 orang.
Di kecamatan Kelayang terjadi perubahan yang signifikan pada jumlah pasien ISPA. Jumlah minimum terdapat pada bulan Mei sebanyak 49 orang dan yang tertinggi terdapat pada bulan Februari dengan jumlah pasien ISPA sebanyak 155 orang. Selain bulan Februari, Juni dan Agustus juga menunjukkan jumlah pasien yang cukup tinggi. Jumlah hotspot tertinggi terdapat pada bulan Agustus, sedangkan untuk bulan lainnya dapat dikatakan sangat sedikit terdeteksi hotspot bahkan bulan April, Mei, Juli tidak ditemukan satupun hotspot.
Kecamatan Lubuk Batu Jaya selama tahun 2007 tidak terdeteksi hotspot. Jumlah pasien ISPA tiap bulannya tidak pernah lebih dari 75 orang. Jumlah pasien terendah terdapat pada bulan Juni dan yang tertinggi terdapat pada bulan Maret. Hal ini disebabkan karena pengaruh kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kecamatan lain.
Berdasarkan Tabel 5, dilakukan analisis statistik dengan menggunakan
Minitab 14 untuk uji korelasi dan uji regresi. Uji korelasi dilakukan untuk melihat
hubungan antara jumlah hotspot dengan jumlah pasien ISPA, sedangkan uji regresi dilakukan untuk melihat pengaruh kebakaran hutan dan lahan terhadap kejadian penyakit ISPA , dan diperoleh hasil sebagai berikut :
r (Koefisien korelasi) = 0,81 r 2 (Koefisien determinasi) = 65,2 % dengan persamaan garis :
dengan :
Y = jumlah pasien ISPA X = jumlah hotspot
Dari hasil tersebut dapat dijelaskan bahwa antara jumlah hotspot dengan jumlah pasien ISPA mempunyai korelasi positif yang sangat kuat (r = 0,81). Jumlah pasien ISPA dipengaruhi 65,2% oleh jumlah hotspot dan 34,8% jumlah pasien ISPA dipengaruhi oleh faktor diluar kebakaran hutan dan lahan. Persamaan garis juga relevan karena dengan uji R square lebih besar dari 50%. Jadi peningkatan jumlah hotspot akan diikuti oleh peningkatan pasien ISPA.
Pada kecamatan Lubuk Batu Jaya, dari koefisien korelasi yang diperoleh dapat dikatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di satu kecamatan tidak hanya memberikan dampak negatif terhadap kesehatan di dalam kecamatan itu sendiri. Karena pengaruh hotspot terhadap pasien sangat kuat (dilihat dari hasil analisis statistik yang diperoleh), maka pasien ISPA di kecamatan Lubuk Batu Jaya dipengaruhi oleh kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kecamatan lain. Hal ini disebabkan karena asap bergerak dan tidak selalu diam di atmosfer. Pergerakan asap dipengaruhi oleh arah angin, kecepatan angin dan kondisi atomosfir.
Pada keadaan atmosfir stabil, masa udara akan mengalami pengangkatan sampai ketinggian tertentu dan akan turun kembali di daerah lain. Dalam kebakaran hutan dan lahan skala besar, asap bias berdampak ke negara lain yang dikenal dengan sebutan transboudary haze pollution. Pada keadaan atmosfir tidak stabil massa udara dari permukaan mengalami pengangkatan dan massa udara akan cenderung naik terus maka asap tidak tertahan pada lapisan troposfir bawah dekat permukaan. Situasi seperti ini tidak membahayakan dari segi pencemaran asap. Pada keadaan atmosfir netral massa udara akan tetap (tidak mengalami pengangkatan dan tidak turun) maka asap yang timbul akan bertahan di daerah asalnya sehingga juga berbahaya bagi kesehatan dan dapat menganggu aktivitas.
Arah angin selama tahun 2007 didominasi ke arah utara dan selatan. Dari pergerakan angin dapat diasumsikan bahwa pasien ISPA pada kecamatan Lubuk Batu Jaya dapat dipengaruhi oleh kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di kecamatan Rengat dengan angin yang bergerak ke selatan, Kelayang dan Seberida dengan angin yang bergerak ke utara.
Dengan memasukkan faktor lain yaitu jumlah penduduk dapat dilakukan analisis korelasi dan regresi. Hal ini juga dapat mendeskripsikan seberapa banyak dari jumlah penduduk total di tiap kecamatan terkena penyakit ISPA dan hubungannya dengan kebakaran hutan dan lahan. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Kecamatan Rengat Barat dan yang paling sedikit adalah kecamatan Lubuk Batu Jaya.
Setelah dilakukan analisis statistik, diperoleh nilai korelasi ( r ) = 0,74, koefisien determinasi ( R2) = 54 % dan persamaan garis :
dengan :
Y = Jumlah pasien ISPA/jumlah penduduk ; X = Jumlah hotspot
Antara jumlah hotspot dan jumlah pasien ISPA per jumlah penduduk mempunyai korelasi positif yang kuat (r = 0,74) karena jumlah pasien ISPA per jumlah penduduk dipengaruhi 54% oleh jumlah hotspot sebagai indikasi Kebakaran Hutan dan Lahan. Dari hasil uji R square 54%, (lebih besar dari 50%) persamaan garis Y = 0,0184 + 0,000483 X relevan digunakan dalam menentukan hubungan antara peningkatan hotspot dengan peningkatan pasien ISPA per jumlah penduduk.
Dari kedua analisis diatas terlihat pengaruh antara hotspot dengan pasien ISPA dapat dikatakan erat, baik dengan atau tanpa memperhatikan jumlah penduduk masing-masing kecamatan.