• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH TERKAIT DENGAN KINERJA DAN SISTEM PENDUKUNG DPR Dipersiapkan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR INVENTARISASI MASALAH TERKAIT DENGAN KINERJA DAN SISTEM PENDUKUNG DPR Dipersiapkan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

DAN SISTEM PENDUKUNG DPR

Dipersiapkan oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK)

No Informasi Yang

Diperlukan

Status Terkini

Masalah

1. Staf Ahli Baleg Rekrutmen pertama staf ahli Baleg dilakukan pada 2006 sebanyak 15 orang. Jumlah ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Tata Tertib DPR yang mengatur jumlah staf ahli Baleg sekurang-kurangnya 15 orang (Pasal 40 ayat (5)). Staf ahli Baleg merupakan unsur pendukung legislasi dengan status non permanen atau kontrak dan menerima gaji

sebesar Rp 7.500.000,- dari anggaran DPR. Jangka waktu kontrak kerja staf ahli Baleg adalah selama satu tahun dan dapat diperpanjang lagi berdasarkan prestasi kerja.

Penentuan jangka waktu satu tahun ini mengikuti tahun anggaran. Staf ahli Baleg bertanggung jawab kepada pimpinan Baleg dan diwajibkan bekerja penuh waktu.

Dengan honor yang lebih besar dari gaji PNS pada umumnya, staf ahli yang bekerja di Baleg adalah orang yang belum berpengalaman dalam bidang legislasi, atau kalau sudah berpengalaman maka ia seringkali tidak memenuhi kewajiban untuk bekerja penuh waktu.

2. Staf Ahli Anggota

DPR Pada awal 2008, telah dilakukan rekrutmen staf ahli sejumlah 550 orang yang diperuntukan untuk setiap anggota DPR. Pada tahun ini, akan dilakukan rekrutmen kembali dengan pola, Setjen DPR yang melakukan rekrutmen dan seleksi, bekerja dengan dengan pihak perguruan tinggi. Atas kepentingan kecocokan dan kenyamanan dalam bekerja, Setjen DPR memberikan peluang bagi anggota DPR untuk untuk menyodorkan calon staf ahli, namun tetap harus menempuh jalur seleksi yang telah ditentukan sebelumnya. Apabila kemudian, calon staf ahli yang direkomendasikan oleh anggota DPR tersebut tidak lulus seleksi, namun anggota DPR tetap ingin menggunakan keahliannya, maka

Perlu diperhatikan bahwa DPR telah memiliki staf pendukung seperti Peneliti P3DI, Perancang Peraturan perundang-undangan, Staf Ahli pada Badan Legislasi (Baleg), Staf Ahli Fraksi, Staf Ahli Komisi, dan Staf Pribadi (seringkali disebut Aspri/Sespri). Hingga kini masih belum jelas hubungan kerja antar dukungan tersebut dalam mendukung pelaksanaan fungsi DPR karena belum adanya strategi yang menyeluruh agar kesemua dukungan ini mampu bersinergi dengan baik. Hal ini sering mengakibatkan ketidakjelasan, tumpang tindih, kecemburuan

(2)

penggajian staf ahli tersebut tidak dibebankan kepada APBN, melainkan menjadi tanggung jawab langsung anggota DPR bersangkutan.

(karena kesenjangan penghargaan) maupun ketidakefektifan dalam implementasi kerja antar unit pendukung tersebut.

3. Staf Ahli Komisi Staf ahli komisi merupakan salah satu bentuk staf ahli yang berada pada alat kelengkapan DPR. Peraturan Tata Tertib DPR menyebutkan bahwa Komisi mempunyai sebuah sekretariat dan tim ahli (Pasal 38 ayat (3)). Dukungan yang diberikan staf ahli komisi antara lain menyiapkan ringkasan rapat-rapat komisi, meneliti rancangan undang-undang yang dibahas oleh komisi, menyediakan data dan informasi untuk kerja anggota komisi dan menyiapkan makalah dan bahan presentasi untuk anggota komisi. Seperti halnya staf ahli Baleg, staf ahli komisi mempunyai status non permanen atau kontrak, yang berlangsung selama satu tahun mengikuti tahun anggaran dan akan diperpanjang setiap tahunnya. Staf ahli bertanggung jawab kepada pimpinan komisi masing-masing atau anggota komisi yang memerlukan bantuannya. Staf ahli ini berada di luar struktur Setjen DPR namun gaji atau honorariumnya diambil dari anggaran Setjen DPR.

Tidak ada mekanisme baku untuk merekrut staf ahli komisi. Mekanisme diserahkan kepada masing-masing komisi. Akibatnya terbuka

peluang untuk menjadikan posisi ini sebagai pos dan pembagian jatah posisi kepada pihak lain yang tidak kompeten untuk kebutuhan sosial politik anggota komisi.

4. Anggaran Legislasi

Anggaran legislasi, dari yang beberapa tahun sebelumnya hanya berkisar Rp 300 juta untuk setiap rancangan undang-undang, menjadi Rp 560 juta per rancangan undang-undang pada 2005, bahkan status terakhir pada Juni 2007, anggaran legislasi telah mencapai nilai Rp 1,5 miliar per rancangan undang-undang. Pada 2008 naik menjadi Rp 3 miliar dan sudah ada rencana untuk menaikan kembali anggaran satu rancangan undang-undang menjadi Rp 5, 8 miliar.

Pada setiap aspek, mulai dari perencanaan dan penyusunan anggaran legislasi,

pengelolaan hingga pertanggungjawaban menyimpan masalah tersendiri. Misalnya dalam proses perencanaan, masih terdapat

kesenjangan antara persepsi Setjen DPR sebagai kuasa pengguna anggaran dengan anggota DPR sebagai pemangku kepentingan utama, sehingga signifikansi kebutuhan

(3)

untuk disepakati. Selain itu, tidak terdapat jaminan terhadap fleksibilitas dan akuntabilitas pengelolaan anggaran legislasi. Faktor

pemicunya adalah DPR tidak memiliki Standar Biaya Khusus (SBK). Ketiadaan alat dalam memonitor dan mengevaluasi pengelolaan anggaran legislasi menjadi masalah tersendiri pada aspek pertanggungjawaban.

5. Peneliti DPR Peneliti DPR berada dalam sebuah unit yang secara struktur setingkat dengan biro yaitu Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Namun demikian, P3DI tidak berada di bawah Deputi Bidang Perundang-undangan, melainkan berada di bawah Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan. Berdasarkan Peraturan Sekjen DPR, P3DI mempunyai tugas menyelenggarakan pengkajian, pengolahan data dan informasi perkembangan

perdewanan, penyelenggaraan pengolahan data dan sarana informasi, penyelengaraan kearsipan dan

dokumentasi, dan penyelenggaraan pengelolaan perpustakaan. Selanjutnya P3DI terdiri dari: bidang

pengkajian, bidang data dan sarana informasi, bidang arsip dan dokumentasi, bidang perpustakaan, subbagian tata usaha, dan kelompok jabatan fungsional. Peneliti masuk dalam unit bidang pengkajian. Peneliti DPR yang berada di P3DI mempunyai status PNS, sehingga rekrutmennya

dilakukan berdasarkan mekanisme rekrutmen PNS oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Sebagai salah satu bentuk jabatan fungsional, instansi pembina

peneliti adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

P3DI sebagai wadah berhimpunnya para peneliti di DPR dan lembaga yang bersifat keahlian ilmiah, dipimpin atau disubordinasi oleh pejabat struktural yang bersifat administratif yang dianggap tidak memahami “aspek ilmiah” menjadi suatu permasalahan tersendiri. Selain itu juga, perbedaan besarnya tunjangan struktural dan fungsional yang relatif signifikan telah membuat banyak peneliti yang memilih hijrah ke posisi struktural. Kurangnya komitmen yang nyata dari pihak Setjen DPR

mengakibatkan banyaknya peneliti P3DI yang memilih pindah ke posisi struktural karena dianggap lebih menjamin kepastian karir, pangkat, dan kesejahteraan. Akibatnya pada saat ini, jumlah peneliti yang tersisa tinggal 32 orang dari jumlah awal yang mencapai 42 orang.

(4)

kepada Deputi Perundang-undangan. Dukungan perancang terhadap proses legislasi di DPR dapat dibagi dalam dua tahap, yaitu penyiapan dan pendampingan. Tugas perancang adalah menyusun peraturan perundang-undangan sejak persiapa, termasuk studi kelayakan, menelaah usul penyusunan peraturan, dan menyiapkan naskah akademis. Hal ini diatur dalam Pasal 5 huruf b

Keputusan Menteri PAN No. 41/KEP/M/PAN/12/2000 tentang Jabatan Fungsional Perancang Peraturan

Perundang-undangan dan Angka Kreditnya. Perancang DPR memiliki status sebagai PNS. Rekrutmen dilakukan berdasarkan mekanisme rekrutmen PNS oleh Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara. Perancang

mendapatkan gaji dan tunjangan fungsional dari APBN yang dialokasikan untuk anggaran operasional Setjen DPR.

Sementara itu, instansi pembina perancang adalah Departemen Hukum dan HAM.

dalam praktek pekerjaan perancang. Pertama, kurangnya pemahaman atasan yang kerapkali dirotasi atas fungsi dan peran perancang. Kedua, struktur yang terbagi dalam dua biro (ekuindag dan polhukham kesra) sehingga mengakibatkan kesulitan dalam tingkatan praktek. Ketiga, kesenjangan kualifikasi perancang Departemen Hukum dan HAM dengan DPR (perancang muda, madya, dan utama) dimana jenjang jabatan fungsional perancang terdiri atas perancang Pertama, Perancang Muda, Perancang Madya, dan Perancang Utama. Dalam kenyataannya, saat memberikan dukungan fungsi legislasi,

perancang DPR mengerjakan pekerjaan untuk semua jenjang perancang dan ini menimbulkan masalah dalam penghitungan jenjang kredit. Tidak ada pembagian tugas yang didasarkan pada jenjang tingkat perancang. Keempat, jumlah perancang juga tidak sebanding dengan beban kerjanya. Saat ini di DPR terdapat 20 orang tenaga fungsional perancang yangt tersebar dalam bagian perancangan.

7. Tata Tertib Sidang UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengatur secara umum persidangan dan pengambilan keputusan, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam

Peraturan Tata Tertib DPR (Keputusan DPR No. 1 Tahun 2009). Salah satu pengaturan tentang tata tertib sidang dapat ditemukan pada Pasal 200 yaitu semua rapat di DPR pada

- Masih ada potensi rapat-rapat yang

diselenggarakan oleh alat kelengkapan DPR berlangsung tertutup, yang nantinya akan berakibat terhadap akses informasi melalui pengamatan langsung dan terhadap dokumen rapat.

(5)

dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang

dinyatakan tertutup. Bab XVI Peraturan Tata Tertib DPR mulai Pasal 214 mengatur tentang persidangan, jenis dan sifat rapat, tata cara rapat, tata cara mengikuti rapat, hingga pendokumentasian proses rapat.

- Rapat-rapat di DPR masih akan

menghadirkan fakta rendahnya disiplin anggota DPR, pembahasan materi atau agenda rapat yang bertele-tele dan cenderung tidak efektif, yang dapat diakibatkan juga karena faktor pimpinan rapat. Selain itu, konfigurasi sembilan fraksi masih terbilang besar dan kompleks pada saat mekanisme pengambilan keputusan, terutama saat pemenuhan quorum minimal. 8. Partisipasi Publik Secara umum, Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 mengatur

tentang keterlibatan masyarakat dalam memberikan

masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang-undang.

Kemudian Peraturan Tata Tertib DPR Pasal 208

mengelompokkan partisipasi publik pada empat proses: - penyusunan dan penetapan Prolegnas

- penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang;

- pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN; dan

- pengawasan pelaksanaan kebijakan pemerintah

- Partisipasi publik diartikan hanya pada ruang-ruang formal, sedangkan proses interaksinya tidak dibangun secara utuh - Desain konsultasi publik tidak menjamin

keefektifitasan proses menjaring masukan - Pelibatan stakeholders seringkali tidak tepat

dan tidak didukung database yang memadai.

9. Produktivitas DPR periode 2004-2009 menyelesaikan 193 RUU dari target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 284 RUU. Sedangkan DPR periode 1999-2004 menuntaskan 175 RUU dari 120 RUU (masih menggunakan pola Propenas berdasarkan UU No. 25 Tahun 2000)

- Sebagai sebuah instrumen perencanaan, Program Legislasi Nasional (Prolegnas) memang masih belum dapat dikatakan baik. Sejak 2001, selalu saja Pemerintah dan DPR tidak dapat mencapai target yang mereka tentukan sendiri. Misalnya pada 2006, DPR dan Pemerintah hanya dapat menyelesaikan 39 RUU dari 76 RUU yang

(6)

menjadi target pada tahun tersebut. Dari 39 RUU yang dihasilkan, 16 diantaranya adalah undang-undang pemekaran wilayah. Begitu juga pada 2005, hanya 14 RUU yang

diselesaikan dari 55 RUU yang menjadi target. Sedangkan untuk prioritas

penyelesaian rancangan undang-undang pada 2006 adalah sebanyak 36 RUU. Namun hingga berakhirnya penutupan Masa Sidang I pada 18 Oktober 2006, baru disahkan sebanyak 4 (empat) RUU.

- Selama periode 2004-2009, DPR telah berhasil menyelesaikan 193 RUU untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Sedangkan target Prolegnas sendiri

sebanyak 284 RUU. Untuk DPR periode 1999-2004 menuntaskan 175 RUU, melebihi target UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas sebanyak 120 UU. Namun perlu diketahui, kategori RUU Kumulatif Terbuka bagi RUU Pemekaran Wilayah dari 2005-2008 ada 58 UU, sedangkan RUU Ratifikasi Perjanjian Internasional dari 2005-2008 ada 21 UU. Total capaian keduanya 79 UU. Artinya,

diperkirakan sekitar 40% UU dihitung dalam kelompok RUU Kumulatif Terbuka, dikurangi capaian Prolegas (193 UU). Jadi sebenarnya riil capaian Prolegnas sekitar 120an UU. - Prolegnas hanyalah sekumpulan daftar

(7)

beberapa pihak, diantaranya adalah DPR, departemen teknis, dan kelompok-kelompok masyarakat. Betul bahwa dalam menyusun Prolegnas, pemerintah dan DPR memiliki dan menyepakati visi misi, arah kebijakan, serta skala prioritas. Akan tetapi dalam

operasionalisasinya, setiap tahun DPR dan Pemerintah menetapkan 50-60 RUU sebagai prioritas, suatu hal yang sangat mustahil dicapai, dan terbukti tidak pernah tercapai sejak 2001.

10. Kualitas Legislasi Secara umum, kualitas legislasi masih bermasalah dengan indikator:

- tidak implementatif karena masih ditemukan adanya peraturan pemerintah yang terlambat diterbitkan

- menimbulkan masalah sosial yang baru, seperti UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang membatasi jam kerja sopir angkutan umum

- masih mengedepankan kepentingan politik, ketimbang penuntasan terhadap suatu masalah atau penciptaan sistem yang lebih ideal, contohnya syarat pembentukan fraksi dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

- Fungsi pengawasan DPR masih lemah - Metodologi penyusunan rancangan

undang-undang cenderung mengabaikan fakta sosial

- Masih ditemukan sebagian pembahasan RUU minim partisipasi dan diskriminatif.

11. Keterbukaan

Informasi Tingkat keterbukaan informasi dapat dirasakan pada saat masyarakat berinteraksi dan terlibat dalam partisipasi pada proses legislasi. Di sisi lain, sudah ada kewajiban seperti yang termuat dalam Pasal 266 ayat (2) Peraturan Tata Tertib DPR yang menyebutkan bahwa risalah rapat (sebagai salah satu sumber informasi proses pembahasan rancangan undang-undang) dipublikasikan melalui media elektronik dan dapat

Tidak ada ketentuan lebih teknis yang mengatur batas waktu paling lambat publikasi melalui media. Selama ini dokumen yang bisa diunduh melalui situs www.dpr.go.id bukan merupakan risalah rapat yang tersedia dalam waktu

singkat. Kemudian, ketentuan Pasal 266 ayat (2) ternyata tidak mengikutsertakan juga akses

(8)

diakses oleh masyarakat. terhadap catatan rapat dan laporan singkat, yang sebenarnya merupakan dokumen yang paling cepat dihasilkan dan dijadikan rujukan untuk mengetahui status dan perkembangan pembahasan suatu rancangan

undang-undang. Muncul pertanyaan, apakah kalangan media dan masyarakat memungkinkan secara langsung mendapatkan dokumen risalah, catatan rapat, dan laporan singkat? 12. Hubungan

dengan DPD Kesimpulan umum yang dapat dimunculkan dalam memahami relasi antara DPR dengan DPD adalah tidak diakuinya (atau dalam situasi lain pengabaian) peran dan hasil kerja DPD, misalnya RUU Usul Inisiatif DPD yang kemudian dibahas dan disetujui bersama antara DPR dengan

Pemerintah, namun tidak mencantumkan (atau menegaskan dalam bentuk lain) undang-undang tersebut awalnya usul inisiatif DPD. Hal yang sama ditemukan pada saat DPD menyerahkan hasil penilaian dalam seleksi calon anggota BPK

Kedudukan DPR dan DPD tidak seimbang, yang ini berawal dari pengaturan di UUD 1945. Kondisi tersebut berdampak akhirnya pada hubungan yang jauh lebih teknis administratif, dimana seringkali DPD diposisikan dalam keadaan “terjepit” secara waktu dalam menjalankan tugas dan wewenang yang terkait dengan kewajiban DPR menerima masukan atau hasil kerja DPD.

13. Supporting Unit UU No. 27 Tahun 2009 menempatkan kelompok pendukung sebagai materi yang tidak terpisahkan dari undang-undang. Kelompok pendukung dalam UU tersebut terdiri atas Setjen DPR, dan Kelompok Pakar atau Tim Ahli.

- Ada kesenjangan persepsi antara anggota DPR dengan Setjen DPR terkait dengan identifikasi kebutuhan dan perencanaan anggaran legislasi. Di sisi lain, Setjen DPR turut berperan terhadap kebijakan kontroversial (seperti pengadaan laptop, cincin, dll) yang memperburuk kredibilitas lembaga di mata masyarakat.

- Setjen DPR belum maksimal mereposisi keberadaannya dalam merespon pelayanan masyarakat, khususnya yang

(9)

terkait dengan akses informasi legislasi 14. Struktur Setjen

DPR/DPD

Struktur Setjen terdiri atas 4 (empat) deputi yang membawahi beberapa biro. Empat deputi tersebut antara lain:

Deputi Bidang Perundang-undangan

- Biro Perancangan Undang-undang Bidang Politik, Hukum, HAM dan Kesejahteraan Sosial

- Biro Perancangan Undang-undang Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri dan Perdagangan

- Biro Biro Hukum, dan Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang

Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan - Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN - Biro Pengawasan Legislatif

- Pusat Pengkajian dan Pengolahan Data Informasi

Deputi Bidang Persidangan dan Kerja Sama Antar Parlemen - Biro Persidangan

- Biro Kesekretariatan Pimpinan - Biro Kerjasama Antar Parlemen

- Biro Hubungan Masyarakat dan Pemberitaan Deputi Bidang Administrasi

- Biro Perencanaan dan Pengawasan - Biro Keanggotaan dan Kepegawaian - Biro Keuangan

- Biro Pemeliharaan Bangunan dan Instalasi - Biro Umum

Struktur Setjen DPR masih lebih berat pada tataran administratif ketimbang fungsional

Referensi

Dokumen terkait

%elain rumah sehat dan jamban, sarana sanitasi lain yag diperiksa di antaranya %/B, %/L dan tempat pengolahan sampah. Dari hasil pemeriksaan yang

Iklan Baris Iklan Baris Serba Serbi MOBIL DISEWAKAN MOBIL KREDIT MOBIL DICARI. ADA ABADI Beli Mobil Dgn Hrg

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Informasi yang didapat pada Sistem AIS identifikasi kapal (nama kapal, nomor IMO, nomor MMSI, dan call sign), posisi kapal (langitude & latitude), kecepatan, arah

Belum holistiknya proses penyusunan rencana kerja pembangunan daerah terlihat dari beberapa proses tahapan musrenbang, mulai dari musrenbang tingkat kelurahan,

oleh karena itu, IHW dapat menyatakan telah memenuhi ketentuan untuk dinyatakan sebagai Pihak Terkait dalam Perkara Nomor 5/PUU dan seterusnya perihal Pengujian Undang- Undang

Dobson & Dobson (2009: 117) menyatakan teknik restrukturisasi kognitif baik digunakan untuk klien yang mengalami distress, distorsi kognitif, dan untuk klien yang