• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN KEEMPAT RENCANA POLA RUANG WILAYAH KAB. LUWU TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAGIAN KEEMPAT RENCANA POLA RUANG WILAYAH KAB. LUWU TIMUR"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 1

BAGIAN KEEMPAT

RENCANA POLA RUANG

WILAYAH KAB. LUWU TIMUR

Berdasarkan Permen PU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, pengertian rencana pola pemanfaatan ruang adalah rencana yang menggambarkan letak, ukuran dan fungsi dari kegiatan-kegiatan lindung dan budidaya. Substansi dari rencana pola pemanfaatan ruang meliputi batas-batas kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan kawasan-kawasan lainnya (kawasan lindung dan kawasan budidaya). Pengembangan rencana pola pemanfaatan ruang bertujuan untuk :

1. Pemanfaatan ruang harus memperhatikan daya dukung lingkungan.

2. Tersedianya lahan yang dapat menampung perkembangan jumlah penduduk dan tenaga kerja.

3. Terciptanya sinkronisasi antara rencana pola pemanfaatan ruang dan rencana struktur tata ruang yang dikembangkan.

4. Memperhatikan kesesuaian lahan dan kondisi eksisting. 5. Mewujudkan aspirasi masyarakat.

(2)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 2

Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kabupaten yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rencana pola ruang wilayah kabupaten berfungsi:

 sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten;

 mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang;

 sebagai dasar penyusunan indikasi program utama jangka menengah lima tahunan untuk dua puluh tahun; dan

 sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kabupaten. Pada prinsipnya pemanfaatan ruang merupakan perwujudan dari upaya pemanfaatan sumberdaya alam di suatu wilayah melalui pola pemanfaatan yang diyakini dapat memberikan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan/atau kegiatan alam. Hasil dari pemanfaatan ruang meliputi; lokasi, sebaran, permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, pariwisata, pertambangan dan mineral, pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan, serta penggunaan budidaya lainnya.

4.1. KAWASAN LINDUNG

Rencana pola pemanfaatan ruang kawasan lindung ditujukan untuk mewujudkan kelestaian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem antarwilayah guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan.

1. Klasifikasi dan Kriteria Pengelolaan Kawasan Lindung

Penetapan kawasan lindung merupakan perwujudan dari pengembangan struktur ruang wilayah Kabupaten Luwu Timur yang berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Setelah kawasan lindung ini ditetapkan sebagai wilayah limitasi atau kendala bagi pengembangan kawasan budidaya, selanjutnya dapat ditentukan kawasan budidaya. Kawasan lindung termasuk kekayaan flora dan fauna

(3)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 3

atau biota yang ada di darat dan perairan pesisir. Pertimbangan yang digunakan untuk penetapan kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur adalah : (1) kriteria kawasan lindung menurut Kepres Nomor 32 Tahun 1990 didasarkan pada klasifikasi kriteria serta urutan prioritas penerapannya, (2) hasil analisis kesesuaian lahan.

2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung

Klasifikasi kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur dari fungsinya, meliputi:

 Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya adalah kawasan hutan lindung.

 Kawasan perlindungan setempat, terdiri dari: - Kawasan sempadan pantai

- Kawasan sempadan sungai - Kawasan sempadan danau  Kawasan suaka alam, terdiri dari:

- Kawasan cagar alam

- Kawasan konservasi perairan

Penetapan kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur berdasarkan klasifikasi kriteria serta urutan prioritas penerapannya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.1. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung di Kabupaten Luwu Timur Fungsi

Kawasan Peruntukan Ruang Rencana Pengelolaan Lokasi

Kawasan yang memberikan perindungan kawasan bawahannya

Hutan Lindung 1. Mempertahankan kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan dan meningkatkan fungsi hidrologisnya, sehingga tidak boleh dikonversi untuk kepentingan lain yang mengubah fungsi hutan lindung.

2. Menjaga fungsi hutan lindung yang masih baik serta mengembalikan kawasan yang beralih pemanfaatan lahannya dari non hutan menjadi hutan lindung.

3. Beberapa kawasan tertentu, terutama hutan produksi (terbatas dan tetap) yang memenuhi kriteria hutan lindung agar diproses secara cermat sesuai prosedur yang berlaku menjadi kawasan hutan lindung.

Rencana alokasi hutan lindung seluas 254.283,64 hektar. Lokasi hutan lindung tersebar di Kecamatan Towuti, Nuha, Wasuponda, Malili, Angkona, Tomoni, Mangkutana, Wotu, dan Kecamatan Burau.

(4)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 4

4. Mengukuhkan kawasan sebagai hutan lindung apabila kawasan tersebut belum dikukuhkan.

5. Bagi kawasan non hutan (perkebunan) yang mempunyai kriteria lindung agar dikaji dan dipertimbangkan fungsinya sebagai hutan lindung atau kawasan resapan air atau dialihfungsikan secara bertahap (terutama bagi HGU-nya telah habis atau dihapuskan) secara cermat dan tepat sehingga menjadi bagian dari kawasan yang berfungsi lindung.

6. Kegiatan pada kawasan hutan lindung harus dibatasi secara ketat dan tidak mengganggu fungsi lindung seperti ekosistem, penelitian, dan pendidikan lingkungan.

7. Kegiatan budidaya yang sudah berlangsung pada kawasan hutan lindung dicegah perkembangannya, dan secara bertahap diarahkan sesuai fungsi kawasan.

8. Wilayah-wilayah

perkampungan/penduduk

asli/setempat yang berada di kawasan ini diupayakan mendapat perlakuan khusus, antara lain:

a. Pemanfaatannya harus tetap mengacu pada fungsi lindung. b. Luasnya tidak boleh ditambah dan

tidak boleh diperjualbelikan. c. Tidak diperkenankan mengubah

bentang alam, kecuali untuk meningkatkan sistem konservasi tanah dan air.

9. Tidak diperkenankan mendirikan bangunan, kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum/ekowisata sepanjang tidak mengganggu keseimbangan ekosistemnya, misalnya pos pengamatan dan penjagaan, jalan setapak untuk wisata, triangulasi, jaringan listrik/telekomunikasi dan patok.

10. Melakukan rehbilitasi dan reboisasi dengan tutupan vegetasi tetap, terutama pada lahan-lahan yang saat ini kritis.

11. Menjaga dan melindungi flora dan fauna yang ada.

12. Monitoring secara kontinyu, khususnya pada kegiatan/pemanfaatan lahan yang saat ini tidak sesuai dengan peruntukan fungsi hutan lindung.

(5)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 5

13. Dilakukan pola-pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan.

14. Dilakukan studi-studi terhadap potensi ekonomi hutan lindung untuk sumberdaya non kayu.

Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya

Cagar Alam 1. Memperhatikan keberadaan kawasan baik fungsi dan kualitasnya.

2. Dapat dikembangkan sebagai daerah ekowisata selama tidak mengganggu fungsi utama kawasan.

3. Rehabilitasi dan reboisasi terhadap kawasan yang mengalami kerusakan lingkungan.

4. Melakukan pengawasan dan pengamanan kawasan terhadap gangguan dan kegiatan pariwisata.

Luas rencana kawasan cagar alam adalah 101. 453, 89 hektar. Kawasan cagar alam tersebar di Kecamatan Angkona, Kalaena, Mangkutana, Nuha, Towuti, dan Kecamatan Wasuponda 1. Konservasi

Perairan 1. Mempertahankan resapan air atau kawasan yang kawasan-kawasan berfungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air.

2. Tidak diperkenankan mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi kawasan selama tidak mengganggu ekosistem kawasan .

3. Kawasan ini dikategorikan sebagai wilayah limitasi bagi pembangunan fisik dan diperlukan bagi kelestarian lingkungan. Luas rencana kawasan konservasi perairan adalah 73.445,47 hektar. Kawasan konservasi ini tersebar di Kecamatan Towuti dan Kecamatan Nuha. Kawasan Perlindungan Setempat (a) Sempadan Sungai

1. Tidak mengeluarkan ijin bangunan dan kegiatan yang berdampak mengganggu aliran sungai pada daerah sempadan sungai, kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi kawasan.

2. Bangunan yang sudah berada di kawasan sempadan sungai ditata, baik secara rekayasa teknis maupun non teknis, sehingga tidak mengganggu aliran sungai.

3. Menata atau mengelola saluran-saluran bangunan limbah yang menuju badan sungai dan tertentu pada sempadan pantai.

4. Melakukan konservasi lahan pada jalur kiri dan kanan sungai yang potensial erosi dan longsor.

Luas sempadan sungai adalah 36.083,21 hektar. Kawasan sempadan sungai tersebar di seluruh Kabupaten Luwu Timur. (b) Sempadan Pantai

1. Pemanfaatan lahan pada kawasan ini baik melalui rekayasa teknis maupun non teknis harus dilakukan melalui kajian AMDAL yang cermat dan tidak diperkenankan memberi dampak negatif terhadap lingkungan pantai.

Luas sempadan pantai adalah 5.542,97 hektar. Lokasi kawasan sempadan pantai berada di Kec.

(6)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 6

2. Penataan dan pengendalian terhadap bangunan atau aktivitas yang mengganggu lingkungan pantai dan keindahannya.

3. Menyusun pengelolaan terpadu kawasan pesisir terutama untuk pengembangan kegiatan budidaya.

Angkona, Burau, Malili dan Kecamatan Wotu.

(c) Kawasan Sekitar Danau

1. Melakukan rehabilitasi dan konservasi lahan pada kawasan yang rawan erosi untuk mencegah percepatan sedimentasi pada danau.

2. Menata ulang kawasan untuk meningkatkan fungsi kawasan

3. Kegiatan budidaya dapat dilakukan selama tidak mengganggu kualitas dan fungsi danau

4. Memasang rambu/tanda perungatan di wilayah radius kawasan

Kawasan sekitar danau memiliki luas 6.575,38 hektar. Lokasi kawasan sekitar danau terdapat di Kecamatan Towuti, Nuha dan Kecamatan Wasuponda.

Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009

4.1.1. Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya

Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya merupakan yang ditujukan untuk mencegah erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin tersedianya unsur hara tanah dan air permukaan. Kriteria dari kawasan ini adalah:

 Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, dan curah hujan yang melebihi nilai skor 175 menurut Keputusan Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980 dan atau

 Kawasan hutan mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih (Inmendagri 8/1985) dan atau

 Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan laut 2.000 meter atau lebih.

Kawasan lindung ini di Kabupaten Luwu Timur secara keseluruhan memiliki luas sekitar 350.852 Ha, yang antara lain terdapat pada Kecamatan Burau, Wotu, Tomoni, Mangkutana, Kalaena, Angkona, Malili, Towuti Nuha, dan Wasuponda

Adapun arahan pengaturan dari kawasan ini adalah sebagai berikut:

 Hutan lindung yang telah ada berdasarkan peraturan/perundangan yang berlaku tetap dipertahankan.

(7)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 7

 Penggunaan lahan yang telah ada (permukiman, sawah, tegalan, tanaman tahunan/perkebunan, dan lain-lain) di dalam kawasan ini secara bertahap dialihkan ke arah usaha konservatif dan/atau dibatasi secara ketat, sehingga fungsi lindung yang diemban dapat dilaksanakan.

 Kawasan lahan >40% diluar hutan lindung/cagar alam dan terindikasi telah digunakan sebagai lahan budidaya juga akan tetap dibatasi secara ketat dan akan dijadikan area penyanggah (buferzone) bagi kawasan tersebut.

 Penggunaan lahan yang akan mengurangi fungsi konservasi secara bertahap dialihkan fungsinya sebagai lindung sesuai kemampuan dana yang ada.

 Penggunaan lahan baru tidak diperkenankan bila tidak menjamin fungsi lindung terhadap hidro-orologis, kecuali jenis penggunaan yang sifatnya tidak bisa dialihkan (menara BTS, jaringan listrik, telepon, air minum dan lain-lain), hal tersebut tetap memperhatikan azas konservasi.

 Adanya potensi pertambangan pada beberapa bagian di kawasan hutan lindung Kabupaten Luwu Timur perlu mendapatkan perhatian serius. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama terkait dengan tumpang tindih lahan pertambangan dan hutan lindung.

4.1.2. Kawasan Perlindungan Setempat

Kawasan perlindungan setempat diarahkan bagi pengembangan Sempadan Sungai, Sempadan Pantai, dan Kawasan Resapan Air.

A. Kawasan Sempadan Sungai

Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.

 Tujuan dari penentuan ini adalah untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik dan dasar sungai, serta mengamankan aliran sungai.

 Kriteria dari kawasan sempadan sungai adalah kawasan yang sekurang-kurangnya berada 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri-kanan anak sungai yang berada di luar permukiman (SK Mentan nomor 837/KPTS/Um/11/1980 dan

(8)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 8

nomor 887/KPTS/Um/1980). Sempadan sungai di kawasan permukiman berupa daerah sepanjang sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi (10-15 meter).

 Kawasan sempadan sungai dialokasikan di sepanjang aliran sungai yang ada di Kabupaten Luwu Timur. Pengalokasian dan pengelolaan kawasan ini secara tepat diharapkan dapat tetap menjaga keberadaan sungai di Kabupaten Luwu Timur, mengingat wilayah ini terbagi menjadi beberapa WAS (Wilayah Aliran Sungai) dan Sub WAS yang sudah tentu terdiri dari banyak sungai dan anak sungai yang membentang, diantaranya WAS Kalaena, Tomoni, Larona, WAS Malili, Sub WAS Pongkeru.

B. Kawasan Sempadan Pantai dan Danau

Sempadan pantai adalah kawasan sepanjang pantai, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai terhadap daratan dari bahaya abrasi dan intrusi air laut ke darat, juga terhadap keragaman biota yang ada di kawasan pantai. Lokasi ini di Kabupaten Luwu Timur terdapat pada beberapa kecamatan, diantaranya Kecamatan Malili, Wotu, Angkona dan Burau.

Demikian halnya dengan sempadan danau yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur, diantaranya Danau Towuti, Danau Matano dan Danau Mahalona perlunya melestarikan fungsi untuk menjaga luapan air danau, serta menjaga kelestarian keragaman biota yang ada.

 Tujuan dari penentuan kawasan sempadan pantai dan danau adalah untuk melindungi wilayah pantai dari usikan kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai dan danau;

 Pengaturan umum terhadap kawasan sempadan pantai dan danau adalah :

 Khusus untuk pemanfaatan hutan bakau (mangrovee) untuk pengembangan perikanan tambak dapat dilakukan secara ketat dengan tetap mengedepankan aspek pelestarian pantai, dan danau, dengan terlebih dahulu mengarahkan pada arahan lokasi yang telah ditetapkan;

 Batas sempadan pantai yang berhutan bakau (mangrovee) minimal adalah 130 kali perbedaan pasang dan surut tertinggi.

(9)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 9 C. Kawasan Resapan Air

Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (aquifer) yang berguna sebagai sumber air. Tujuan dari penentuan kawasan resapan air adalah memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah resapan air tanah untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan. Kriteria dari kawasan resapan air adalah kawasan dengan curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.

Kawasan resapan air di Kabupaten Luwu Timur terdapat di pada hampir setiap kecamatan, terutama pada lahan-lahan pertanian basah, sekitar pantai, sekitar danau Towuti, Matano dan Mahalona.

4.1.3. Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya

Pengelolaan kawasan cagar alam merupakan komponen yang penting dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang di Kabupaten Luwu Timur untuk menjaga kelestarian lingkungan. Beberapa upaya pengelolaan kawasan cagar alam di Kabupaten Luwu Timur, antara lain:

- Menambah dan memelihara keanekaragaman flora dan fauna di dalam kawasan. - Memperketat penjagaan dan pengawasan kawasan cagar alam dan disekitarnya

guna tetap terpeliharanya kawasan sesuai dengan fungsi kelestariannya.

Luas rencana kawasan cagar alam di Kabupaten Luwu Timur adalah 101. 453, 89 hektar. Kawasan cagar alam tersebar di Kecamatan Angkona, Kalaena, Mangkutana, Nuha, Towuti, dan Kecamatan Wasuponda

4.1.4. Kawasan Rawan Bencana

Kawasan rawan bencana alam, diarahkan pada daerah-daerah yang rawan gempa akibat adanya patahan dan sesar, juga pada daerah rawan bencana tsunami di pesisir pantai, daerah tanah longsor, dan banjir. Pengalokasian ini ditujukan untuk

(10)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 10

melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh bencana alam.

Potensi rawan bencana Kabupaten Luwu Timur berupa tanah longsor, luapan air sungai, rawan gempa dan rawan banjir yang hampir terjadi setiap tahun. Adapaun arahan rencana penanganan kawsan rawan bencana di Kabupaten Luwu Timur sebagai berilkut:

 Untuk tanah longsor dan luapan air sungai diarahkan pengendaliannya dengan menetapkan deliniasi kawasan lindung agar pemanfaatan lahan pada kawasan tersebut mengeliminir kegiatan-kegiatan budidaya yang dapat menyebabkan terjadi longsor pada kawasan tersebut, terutama pada kawasan hulu sungai. Rawan longsor dan luapan air sungai di Kabupaten Luwu Timur sering terjadi pada Kecamatan Kalaena, Mangkutana, Towuti, Malili, dan Kecamatan Nuha.  Untuk daerah rawan banjir diarahkan pengendaliannya dikawasan yang sering

terkena banjir seperti di sekitar Kecamatan Malili (Kota Lama Malili), Kecamatan Wotu, Kalaena, Mangkutana, Burau dan Kecamatan Tomoni.

 Untuk rawan gempa bumi, diarahkan pengendalian ketat pada wilayah yang berada tepat pada jalur patahan (sesar Matano) yang melalui beberapa wilayah kecamatan seperti Kecamatan Kalaena, Mangkutana, Malili, hingga ke Kecamatan Wasuponda dan Nuha

(11)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 11

(12)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 12

(13)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 13

4.2. KAWASAN BUDIDAYA

Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia. Kawasan budidaya dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur diarahkan untuk:

 Memberikan arahan pemanfaatan ruang kawasan budidaya secara optimal dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.

 Memnerikan arahan dalam menentukan prioritas pemanfaatan ruang antara kegiatan budidaya yang berlainan.

 Memberikan arahan bagi perubahan jenis pemanfaatan ruang dari jenis kegiatan budidaya tertentu ke jenis lainnya.

Proses penentuan kawasan budidaya di dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur didasarkan pada:

 Kawasan lindung yang telah ditetapkan sebelumnya dan menjadi limitasi bagi penetapan kawasan budidaya di wilayah Kabupaten Luwu Timur.

 Kriteria menurut pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK)

 Hasil analisis kesesuaian lahan Kabupaten Luwu Timur Tahun 2009

Kawasan budi daya yaitu kawasan yang dilihat dari kondisi fisik dan potensi sumber daya alamnya dapat dan perlu dimanfaatkan guna kepentingan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan. Berdasarkan peraturan Keppres No. 57 Tahun 1989 tentang Kriteria Kawasan Budidaya serta SK Mentan No. 683/Kpts/Um/8/1981 dan No. 837/Kpts/Um/11/1980 yang berkaitan dengan penetapan kriteria kawasan hutan produksi, kawasan budi daya di Kabupaten Luwu Timur terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, perkebunan, pertanian padi sawah dan padi ladang, permukiman (termasuk kawasan pemerintahan) dan kawasan pertambangan.

Kriteria kawasan budidaya merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang dutetapkan untuk berbagai kegiatan usaha dan atau kegiatan yang terdiri dari kriteria teknis sektoral dan kriteria ruang. Kriteria teknis

(14)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 14

sektoral adalah ukuran untuk menentukan bahwa penentuan pemanfaatan ruang suatu kegiatan dalam kawasan yang memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya dukung, kesesuaian lahan dan bebas bencana alam. Sedangkan keriteria ruang adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan untuk suatu kegiatan budidaya dalam kawasan, menghasilkan nilai strategis terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dngan pelestarian lingkungan. Kriteria ruang tersebut berdasarkan azas-azas sebagai berikut:

1. Saling menunjang antar kegiatan meliputi:

 Meningkatkan daya guna pemanfaatan ruang serta sumber daya yang ada di dalamnya guna perkembangan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya.

 Dorongan terhadap perkembangan kegiatan sekitarnya. 2. Kelestarian lingkungan, meliputi:

 Jaminan terhadap ketersediaan sumberdaya dalam waktu panjang.  Jaminan terhadap kualitas lingkungan.

3. Tanggap terhadap dinamika perkembangan, meliputi:  Peningkatan pendapatan masyarakat.

 Peningkatan pendapatan daerah dan nasional.  Peningkatan kesempatan kerja.

 Peningkatan ekspor

 Peningkatan peran serta masyarakat dan kesesuaian sosial budaya

Kawasan budidaya yang akan ditetapkan di Kabupaten Luwu Timur terdiri dari:

1. Kawasan hutan produksi, meliputi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas.

2. Kawasan budidaya pertanian, meliputi kawasan tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, peternakan, perkebunan, dan perikanan.

3. Kawasan budidaya non pertanian, meliputi kawasan permukiman, pertambangan, industri, pariwisata dan sebagainya.

(15)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 15

Kriteria bagi kawasan budidaya secara umum didasarkan pada faktor-faktor kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kagiatan budidaya tertentu. Secara rinci, kriteria dan klasifikasi kawasan budidaya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.2. Klasifikasi dan Kriteria Kawasan Budidaya yang Diterapkan di Kabupaten Luwu Timur

Jenis Fungsi Kriteria Keterangan

Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Terbatas

Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor < 124 di luar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683//KPTS/Um/8 dan 837/KPTS/Um/11/1980).

Arahan pengembangan hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi konversi: - Kategori hutan

- Re-evaluasi peta paduserasi - Hasil analisis fisik dengan

mempertimbangkan adanya wilayah limitasi, sesuai dengan kriteria dalam Kepres 32 Tahun 1990 bagi kawasan lindung. Dalam rangka memberikan arahan bagi pengembangan kawasan budidaya, kawasan ini mencakup hutan produksi, konversi yang telah ditetapkan seperti di atas setelah dikurangi arel yang potensial untuk kegiatan budidaya yang bersifat lebih intensif.

Kawasan Hutan Produksi Tetap

Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor 125-174, di luar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan konversi lainnya (683 /KPTS/Um/11/1980).

Kawasan Hutan Produksi Konversi

Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor < 124 di luar hutan suaka alam, hutan wisata, hutan produksi terbatas, dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683/KPTS/Um/8 dan 837/KPTS/Um/11/1980). Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan Pertanian Lahan Basah - Ketinggian < 1000 meter dpl - Kemiringan lerang < 40% - Kedalaman efektif tanah > 30 cm - Terdapat sistem irigasi (teknis,

semi teknis dan sederhana)

Arahan pengembangan kawasan pertanian lahan basah didasarkan pada potensi dan kesesuian lahan dengan dukungan jaringan irigasi.

Kawasan Pertanian Lahan

Kering

- Ketinggian < 1000 meter dpl - Kemiringan lerang < 40% - Kedalaman efektif tanah > 30 cm

Pemetaannya dalam skala 1:100.000 hanya dilakukan dalam kawasan pertanian lahan kering yang didalamnya dapat pula terdiri atas kawasan pertanian lahan basah Kawasan

Tanaman Pangan/Perkebu

- Ketinggian < 2000 meter dpl - Kemiringan lerang < 40%

Arahan pengembangan kawasan tanaman tahunan dan perkebunan

(16)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 16

nan - Kedalaman efektif tanah > 30 cm didasarkan pada potensi pengembangan perkebunan, selain kesesuaian lahan dari hasil analisis.

Kawasan Peternakan

- Ketinggian < 1000 meter dpl - Kemiringan lerang < 15% - Jenis tanah/iklim sesuai dengan

padang rumput

-

Kawasan Perikanan

- Kemiringan lerang < 8%

- Persediaan air permukaan cukup -

Kawasan Permukiman

- Kemiringan lerang < 15% - Ketersediaan air terjamin - Aksesibilitas yang baik - Tidak berada pada daerah

rawan bencana

- Berada dekat dengan pusat kegiatan

Kawasan ini mencakup kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan.

Ketentuan mengenai batas wilayah, ibukota kabupaten dan kecamatan menurut peraturan perundang undangan.

Untuk permukiman perdesaan, keberadaan saat ini menjadi dasar untuk pertimbangan perluasannya

Kawasan

Pertambangan Mempunyai potensi bahan tambang

Kawasan ini tidak dapat diarahkan pengembangannya secara spesifik pada skala 1:100.000 atau lebih besar. Wilayah kontrak karya dan kuasa pertambangan yang ada perlu dipertegas pada skala yang lebih besar untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan kawasan lain.

Kawasan Pariwisata

- Memiliki keindahan dan panorama alam

- Memiliki kebudayaan yang bernilai tinggi

- Memiliki bangunan sejarah -

Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009

Tabel 4.3. Kriteria Kawasan Budidaya Pesisir dan Laut

No. Kawasan Kriteria

1. Perikanan Tangkap 1. Jauh dari areal budidaya

2. Berjarak aman dari kawasan-kawasan lainnya. Jarak aman tersebut sama seperti yang disebutkan bagian sebelumnya, yaitu berdasarkan atas tipe pasut dan kecepatan arus di kawasan yang ditentukan. 3. Keberadaan front (pertemuan dua massa air yang berbeda

karakteristiknya). Di kawasan pesisir, front ini sering ditemui di daerah muara sungai atau perairan teluk atau selat.

4. Merupakan daerah “up-welling” daerah yang kaya dengan unsur hara dan tempat berkumpulnya beberapa jenis ikan.

5. Karakteristik fisik perairan yang sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh untuk pengoperasian jaringan tangkap yang diperlukan dasar perairan yang landai dengan substrak pasir atau lumpur.

6. Pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan perikanan di pantai dilaksanakan dengan tidak mengubah kondisi

(17)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 17

pantai untuk menghindari proses erosi maupun sedimentasi. 7. Jauh dari spawning ground dan nursey ground.

2. Perikanan Budidaya 1. Terlindung ari gelombang dan angin. Menghindari terjadinya kerusakan pada kegiatan atau usaha budidaya yang berasal dari gelombang dan arus yang besar.

2. Jauh dari permukiman dan industri. Limbah atau pencemaran yang berasal dari rumah tangga dan industri dapat mengakibatkan kerusakan perairan dan kegagalan usaha budidaya.

3. Jauh dari muara sungai. Muara sungai juga dapat mempengaruhi budidaya laut dengan adanya proses sedimentasi akibat aktivitas di daerah atas (up-land), seperti penebangan hutan, pertanian, permukiman dan industri yang dekat bantaran sungai. Kondisi ini menjadi kompleks karena daerah muara sungai secara oseanografi sangat dipengaruhi oleh air laut. Akibatnya kondisi perairan, biota dan ekosistemnya memiliki karakteristik yang khas. Dengan demikian kegiatan budidaya laut tidak mungkin dilakukan di daerah ini.

4. Kualitas air baik. Kelayakan kondisi perairan dapat diukur dari parameter fisika (kecerahan), kimia (disolved Oxygen –DO, Chemical Oxygen Demand-COD, kandungan organik, Biologycal Ozygen Demand-BOD, kandungan klorofil, dan parameter biologi: plankton. 5. Jaminan keamanan merupakan faktor yang mendukung keberhasilan

budidaya.

3. Kawasan Pariwisata 1. Berjarak aman dari kawasan perikanan dan pertambangan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kagiatan di kawasan-kawasan tersebut tidak menyebar dan mencapai kawasan-kawasan pariwisata atau sebaliknya.

2. Berjarak aman dari kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung.

3. Sirkulasi massa air di kawasan perlu lancar. Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009

Agar pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Luwu Timur dapat berkelanjutan, secara garis besar wilayah pesisir perlu dipilah menjadi tiga mintakat (zones), yaitu : (1) mintakat preservasi, (2) mintakat konservasi dan (3) mintakat pemanfaatan. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007, mintakat (1) dan (2) dinamakan sebagai kawasan lindung, sedangkan mintakat (3) disebut sebagi kawasan budidaya.

Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan (spawning grounds), daerah pembesaran (nursey ground), dan alur migrasi (migration routes) dari biota perairan. Kecuali kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah, dalam mintakat ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan manusia (pembangunan).

Mintakat konservasi adalah daerah yang diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan atau pemanfaatan secara terbatas dan terkendali. Misalnya kawasan

(18)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 18

hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam (ecotourism). Sementara ini mintakat pemanfaatan memang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan dalam tingkat pemanfaatan yang lebih intensif, seperti industri, tambak intensif, pariwisata komersial, permukiman, pelabuhan dan pertambangan.

Pada wilayah pesisir dan laut Kabupaten Luwu Timur terdapat berbagai kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut di atas, diantaranya untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, industri kelautan dan lainnya. Kondisi kawasan lindung di wilayah pesisir Kabupaten Luwu Timur pada saat ini banyak dijadikan areal tambak oleh masyarakat, sehingga perlu diatur dalam pembatasan konversi hutan bakau agar kelestarian sumberdaya tetap terjaga.

A. Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya Darat

Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan budidaya ditujukan untuk menjaga kualitas daya dukung lingkungan Kabupaten Luwu Timur, menciptakan lapangan pekerjaan, terciptanya keserasian dengan struktur ruang yang direncanakan.

Untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Luwu Timur, maka setiap luasan pengembangan kawasan budidaya harus memperhatikan potensi tenaga kerja dan daya dukung lingkungan yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, maka rencana pemanfaatan ruang kawasan budidaya seluas 217.103,44 hektar atau 31,26% dari luas wilayah Kabupaten Luwu Timur seperti yang ditunjukan tabel berikut.

Tabel 4.4. Rencana Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya di Kabupaten Luwu Timur

No. PEMANFAATAN RANG KAWASAN BUDIDAYA (HEKTAR) LUAS PERSENTASE (%)

1. Kawasan Hutan Produksi Terbatas 72.052,42 33,17

2. Kawasan Hutan Produksi Tetap 8.613,20 3,97

3. Kawasan Hutan Produksi Konversi 16.902,21 7,78 4. Kawasan Pertanian Lahan Basah 17.312,15 7,97 5. Kawasan Pertanian Lahan Kering 19.849,62 9,14

6. Kawasan Perkebunan 39.238,39 18,07

7. Kawasan Permukiman 6.140,99 2,83

8. Kawasan Pertambangan 37.083,00 17,07

(19)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 19 B. Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Kalautan

Saat ini perkembangan kawasan pesisir dan laut di Kabupaten Luwu Timur memungkinkan terjadi dampak perkembangan yang positif dan negatif terhadap kondisi lingkungan, ekosistem kawasan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Oleh karena itu, maka upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan perkembangan ini sehingga secara fungsional tetap dan dapat dimanfaatkan atau ditingkatkan pemanfaatannya untuk kepentingan pembangunan kawasan pesisir dan laut di Kabupaten Luwu Timur.

Pengoptimasian suatu perkembangan bertujuan untuk mencari konfigurasi yang optimal untuk mencapai tujuan tertentu dengan mengacu kepada kendala dan keterbatasan tertentu. Upaya optimasi pemanfaatan ruang di kawasan pesisir dan laut Kabupaten Luwu Timur, maka perlu dilakukan perumusan seperti yang terlihat pada tabel berikut.

Tabel 4.5. Optimasi Kawasan Pesisir dan Laut di Kabupaten Luwu Timur

TUJUAN RUMUSAN KENDALA/KETERBATASAN KETERANGAN

OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG Tingginya kebutuhan ruang akibat meningkatnya jumlah penduduk dengan sistem aktivitasnya. Sehingga perlu memperhatikan jumlah penggunaan lahan dan aktivitas masyarakat yang optimal

 Keterbatasan daya dukung fisik

 Ketersediaan prasarana pendukung

 Dampak eksternal lingkungan sekitarnya  Keterbatasan daya dukung

fisik

Azas diminishing return tingkat pelayanan (peningkatan usaha) pengadaan prasarana pelayanan mencapai titik optimum dan setelah itu penambahan jumlah prasarana tidak dapat lagi memberikan penambahan tingkat pelayanan Setiap jenis pemanfaatan ruang akan mencapai tingkat efisiensi dan bahwa keefektifan penggunaan kawasan dalam kondisi aglomerasi yang saling menguntungkan. PENINGKATAN INTENSITAS RUANG Dikombinasikan dengan daya tampung ruang di kawasan agar lebih optimal bermanfaat dengan makin meningkatnya berbagai kendala penggunaan lahan pesisir

(20)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 20 1. Optimasi dan Sinergi Perencanaan Ruang Kawasan Pesisir dan Laut

Pengembangan kawasan pesisir dan laut merupakan suatu perwujudan berbagai kegiatan usaha masyarakat melalui dinamisasi perkembangannya di wilayah ini. Dengan demikian selama dinamika perkembangan kawasan pesisir tidak menimbulkan dampak negatif, mempunyai efek ganda positif dan potensial bagi pengembangan keseluruhan wilayah pesisir di Kabupaten Luwu Timur secara ekonomis, sosiologi dan fisik, maka rencana pengoptimasian kawasan pesisir harus dapat mengalokasikan berbagai kegiatan fungsional yang berkembang berdasarkan kaidah dan arahan perencanaan yang bersifat komprehensif.

Diestimasikan perkembangan berbagai kegiatan di kawasan pesisir Kabupaten Luwu Timur akan berkembang terus, maka dalam kurun waktu perencanaan dapat terjadi perkembangan baru yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal kawasan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rencana pengembangan pesisir Kabupaten Luwu Timur dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4.6. Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Kawasan Pesisir

NO. FAKTOR VARIABEL/INDIKATOR FAKTOR

1. Faktor internal

 Pertambahan penduduk

 Peningkatan kepdatan penduduk  Pengendalian penduduk 2. Faktor kegiatan/aktivitas manusia  Kegiatan usaha  Mobilitas penduduk  Produktivitas masyarakat  Taraf sosial ekonomi masyarakat

 Kegiatan dan pergerakan investasi masyarakat

3.

Perkembangan kemampuan kualitas budaya masyarakat pesisir

 Tingkat sosial budaya masyarakat  Perkembangan pendidikan masyarakat  Perkembangan kesadaran masyarakat

 Perkembangan kesadaran terhadap wawasan lingkungan

4. Faktor eksternal

 Perkembangan perekonomian wilayah sekitar Kabupaten Luwu Timur

 Perkembangan sistem komunikasi dan teknologi serta ilmu pengetahuan wilayah sekitar Kabupaten Luwu Timur  Perkembangan sosial politik dan sosial budaya Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009

(21)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 21 2. Optimasi dan Sinergi Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir dan Laut

Diestimasikan perkembangan pemanfaatan ruang kawasan pesisir di Kabupaten Luwu Timur cukup intensif di masa yang akan datang, antar lain: permukiman, kegiatan perikanan tangkap dan budidaya, kegiatan pariwisata dan perkembangan bagian fungsional lainnya yang berbatasan langsung dengan pantai.

Terdapat beberapa kendala dan keterbatasan yang akan dihadapi dalam pemanfaatan ruang kawasan pesisir di wilayah ini adalah: (1) keterbatasan daya dukung fisik, (2) tingkat ketersediaan prasarana lingkungan, (3) dampak terhadap lingkungan sekitar dan wilayah pedalaman (hinterland-nya). Upaya yang diarahkan untuk pengembangan kawasan pesisir dari segi pemanfaatan ruangnya adalah:

 Pengembangan jenis fungsional yang optimal dan mempunyai manfaat bagi pengembangan kawasan pesisir di wilayah ini.

 Meningkatkan intensitas pemanfaatan ruang yang sesuai dengan daya tampung lahan sesuai dengan fungsi kegiatannya baik dari segi fisik, sosial budaya maupun sosial ekonomi akan meningkat kemanfaatannya.

 Upaya yang harus dilakukan adalah : (1) mengidentifikasi pemanfaatan ruang di kawasan akibat terjadinya perubahan internal dan eksternal, (2) meningkatkan optimasi pemanfaatan ruang, (3) melakukan evaluasi, pengawasan dan penajaman kebijakan pencapaian target sesuai rumusan rencana untuk masa datang dan keterkaitan rumusan rencana dengan instansi sektor terkait.

3. Optimasi dan Sinergi Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir dan Laut

Perkembangan dan perubahan kegiatan fungsional di kawasan pesisir di wilayah Kabupaten Luwu Timur, seperti kawasan hutan bakau menjadi tambak, permukiman nelayan, sepanjang tepi pantai dibangun jalan dan muara sungai menjadi pelabuhan pendaratan ikan nelayan tradisional dan tempat pelelangan ikan akan mempengaruhi perkembangan sarana dan prasarana di wilayah tersebut. Perubahan ini juga akan mempengaruhi kepada kepentingan batasan-batasan wilayah yang dapat dikembangkan, dibatasi perkembangannya atau dilarang untuk berkembang.

Optimasi pengendalian yang diperlukan untuk kawasan pesisir Kabupaten Luwu Timur adalah:

(22)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 22

 Pengendalian pengembangan untuk pengamanan pantai dan perusakan yang terjadi dari arah daratan dengan cara menetapkan sempadan pantai sesuai dengan kondisi wilayah pantai yang bersangkutan.

 Pengembangan dan reboisasi pada wilayah-wilayah yang harus dikonversikan dengan pengoptimasian wilayah hutan bakau sepanjang pesisir pada bagian-bagian kawasan tertentu.

 Penetapan wilayah yang memungkinkan untuk dibangun, wilayah yang adapat dibangun dengan persyaratan teknis tertentu (bersyarat) dan wilayah yang mutlak tidak dapat dibangun untuk konservasi pantai.

 Penetapan jenis kegiatan fungsional yang dapat dikembangkan di kawasan pesisir Kabupaten Luwu Timur.

4.2.1. Kawasan Peruntukan Hutan Produksi

Tata guna hutan dan lahan dimaksudkan sebagai prakondisi untuk menciptakan kepastian status dan hak terhadap kawasan hutan dan lahan yang akan dimanfaatkan dengan berdasarkan potensi dan keadaan kawasan hutan dan lahan yang sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, perlu diadakan penatagunaan kawasan hutan dan lahan yang akan direhabilitasi yang dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat, instansi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa sistem kepemilikan lahan oleh masyarakat yang perlu ditata secara partisipatif untuk menunjang kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), yaitu tanah milik, tanah yang dikuasai (bukti penguasaan biasanya SPPT), tanah ongko, dan tanah negara bebas.

Tata guna hutan dan lahan akan dilaksanakan melalui pemetaan partisipatif antar pemilik lahan. Pengukuran lokasi untuk tujuan pemetaan akan melibatkan semua pemilik lahan, dan pemilik yang bertetangga untuk bersama-sama mengukur dan menentukan batas serta memasang patok pada batas lokasi lahan mereka. Pada saat pelaksanaan tata guna hutan dan lahan, akan dibuat kesepakatan antara petani pengelola RHL, terutama yang berada di dalam kawasan hutan untuk tidak lagi melakukan perluasan areal tanpa sepengetahuan semua pihak yang terkait dengan kegiatan RHL. Pada peta tata guna hutan dan lahan desa juga tergambarkan lokasi-lokasi yang dapat dikembangkan dengan pola agroforestry untuk pengembangan

(23)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 23

hutan rakyat pada lahan milik dan pola-pola hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan yang telah dirambah.

a. Pembangunan Tanaman Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL)

Pembangunan tanaman RHL harus didukung dengan tersedianya bibit dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Dalam hal ini seyogyanya dibangun Kebun Bibit Desa (KBD) pada lokasi-lokasi tertentu yang akan melayani kebutuhan bibit pada lokasi-lokasi RHL di sekitarnya. Bibit yang diproduksi mencakup jenis-jenis pohon hutan, pohon unggulan setempat, jenis-jenis andalan, penghasil buah-buahan, obat-obatan, dan rempah-rempah. Pembangunan tanaman harus mengacu kepada sebuah rancangan teknis yang menguraikan secara rinci rangkaian kegiatan pembangunan tanaman RHL, yang meliputi kegitan penanaman, peremajaan, dan pemeliharaan tanaman RHL.

b. Perlindungan dan Pengamanan Areal RHL

Perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga dan memelihara hutan, kawasan hutan dan lingkungannya agar berfungsi secara optimal dan lestari yang dilaksanakan melalui upaya mencegah dan menanggulangi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, serta hama dan penyakit.

Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan oleh pemerintah desa dan masyarakatnya sangat diperlukan dalam bentuk kegiatan secara berkelanjutan dan efektif. Bentuk perlindungan dan pengamanan yang diharapkan dapat dilakukan oleh masyarakat melalui kelompok atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat berupa:

1)

Perlindungan dan pengamanan sumber mata air yang terdapat di dalam wilayah

hutan pada setiap desa.

2)

Perlindungan terhadap lahan usaha dari gangguan serangan hama dan penyakit.

3)

Perlindungan dan pengamanan hutan di desa atau dusun dari gangguan

pembukaan lahan atau penebangan tanpa sepengetahuan lembaga pengelolaan hutan oleh desa.

(24)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 24

4)

Program perlindungan pengembalaan ternak dengan kegiatan: pengendalian

pengembalaan ternak sapi liar yang diarahkan untuk melindungi tanaman/tegakan hutan, pengadaan aturan tata tertib pengembalaan ternak, pengkandangan ternak untuk penggemukan sapi.

5)

Program pengamanan hutan oleh desa dengan pembentukan lembaga/satuan

pengamanan hutan di setiap dusun.

6)

Perlindungan dan pengamanan tersebut seharusnya dijabarkan secara tertulis

dalam bentuk peraturan desa dan peraturan daerah.

c. Model Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Berdasarkan kondisi areal sasaran RHL (BAB VIII), maka model RHL harus disesuikan dengan kondisi hutan dan lahan serta kondisi masyarakat di sekitar areal RHL. Model rehabilitas pada masing-masing areal sasaran RHL diuraikan sebagai berikut:

1) Tanah Terbuka

Tanah terbuka umumnya dijumpai dalam kawasan hutan. Pada lahan terbuka dalam kawasan hutan tersebut, dapat dilakukan pembangunan hutan kemasyarakatan (HKM) dengan pola agroforestry. Model pemanfaatan ruang untuk rehabilitasi tanah terbuka di dalam kawasan hutan diperlihatkan pada gambar berikut.

Gambar 4.4. Model Pemanfatan Ruang Tanah Terbuka dalam Kawasan Hutan Keterangan :

A : Areal Pemukiman.

B : Lahan Terbuka dalam Kawasan Hutan untuk Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) dengan Pola Agroforestry.

C : Kawasan Hutan yang kondisinya masih bagus.

(25)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 25

2) Semak Belukar

- Model buffer agroforestry

Model buffer adalah suatu model rehabilitasi yang dilaksanakan pada lahan milik di sepanjang batas dengan daerah pemukiman sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai buffer/penyangga agar masyarakat tidak merambah kawasan hutan karena kebutuhannya dapat dipenuhi dari areal rehabilitasi yang mereka kelola. Model buffer sesuai untuk diterapkan pada lahan-lahan masyarakat yang berbatasan dengan kawasan hutan yang berpenutupan semak belukar. Gambaran penataan ruang Model buffer agroforestry diperlihatkan pada gambar berikut.

Gambar 4.5. Penataan Ruang Model Buffer Agroforestry Keterangan :

A : Areal Pemukiman.

B : Areal milik masyarakat yang berpenutupan semak belukar C : Kawasan Hutan yang kondisinya masih bagus.

- Model tersebar pola HKm

Model tersebar adalah sistem penanaman secara spot/mosaik pada tempat-tempat tertentu pada kawasan hutan yang sebagian arealnya secara setempat-tempat-setempat-tempat telah mengalami kerusakan akibat perambahan, sedang sebagian lainnya masih cukup baik. Model ini juga dapat diterapkan pada areal alang-alang dan semak belukar yang luas, direhabilitasi secara bertahap melalui penanaman hutan secara mosaik. Gambaran penataan rehabilitasi ruang dengan model tersebar diperlihatkan pada gambar berikut.

C

B

(26)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 26

Gambar 4.6. Penataan Ruang Model Tersebar Keterangan :

A : Areal Pemukiman

B : Lahan Milik lokasi Pengembangan Hutan Rakyat/Kebun Rakyat (HR/KR). C : Kawasan Hutan yang mengalami kerusakan

D : Kawasan Hutan yang kondisinya masih bagus

- Model Jalur

Model jalur merupakan suatu model dimana rehabilitasi dilakukan melalui penanaman secara jalur. Jalur tanam berselang-seling dengan jalur penutupan hutan alam atau semak belukar, yang berfungsi sebagai jalur konservasi. Model ini cocok diterapkan pada areal semak belukar ataupun lahan pertanian campur semak dengan kemiringan lereng lebih dari 40%. Gambaran penataan ruang Model Jalur diperlihatkan pada gambar berikut.

Gambar 4.7. Penataan Ruang Model Jalur Keterangan :

A : Areal Pemukiman.

B : Lahan Milik lokasi Pengembangan Hutan Rakyat Pola Agroforestry secara Jalur.

C : Kawasan Hutan lokasi Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Pola Agroforestry secara Jalur. D : Kawasan Hutan yang kondisinya masih bagus.

C B A HR KR HR Hkm Hkm D C B A D JK JK JK B

(27)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 27

: B dan C : Lokasi RHL Pola Jalur : JK : Lokasi Jalur Konservasi

3) Pertanian Lahan Kering Campur Semak (PLKCS)

Pertanian lahan kering campur semak umumnya berupa lahan yang dimanfaatkan oleh petani secara periodik atau yang dikenal dengan sistem rotasi. Lahan tersebut berupa ladang yang dikelola oleh petani dalam jangka waktu 2 – 5 tahun (tergantung tingkat kesuburannya), selanjutnya lahan tersebut diberakan dan setelah dianggap subur akan diolah kembali. Sebelum ladang tersebut ditinggalkan, biasanya ditanami dengan tanaman tahunan, baik berupa pohon buah-buahan (MPTS) maupun jenis kayu-kayuan. Tanaman tahunan ini ditanam sebagai tanda kepemilikan atau hak pemanfaatan lahan, selai itu tanaman tersebut merupakan aset mereka di masa yang akan datang.

Strategi pemanfaatan lahan pada areal pertanian lahan kering campur semak adalah dengan melakukan pengayaan (enrichment planting) yaitu dengan memperkaya atau meningkatkan komposisi jenis pada lahan tersebut dengan menanam pohon buah-buahan maupun jenis kayu-kayuan sesuai dengan pilihan petani. Dampak yang diharapkan dari metode pengayaan ini adalah pendapatan petani lebih stabil dan meningkat, demikian pula laju perambahan dapat dikendalikan, serta secara ekologis mutu lingkungan hidup akan lebih baik.

d. Pola Tanam pada Berbagai Model Rehabilitasi

Pada setiap model rehabilitasi yang diuraikan di atas, dapat dikembangkan pola-pola sebagai berikut:

- Pola Agroforestry

Pola agroforestry yang dapat dikembangkan antara lain Silvopasture dan

Agrisilviculture. Sistem penanaman dapat dilakukan dengan tumpangsari maupun alley cropping. Mengingat dalam pola ini akan dimasukkan unsur tanaman pangan maka

(28)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 28

Alley cropping merupakan pola agroforestry yang sesuai untuk lahan datar

sampai topografi agak miring. Dengan alley cropping tanaman pohon ditanam secara kelompok berselang-seling dengan tanaman pangan menurut kontur. Pohon-pohon yang ditanam secara berkelompok tersebut dapat berfungsi sebagai penahan erosi yang cukup efektif disamping sebagai sumber bahan organik untuk mempertahankan dan mengembalikan kesuburan tanah. Bagian lahan yang diperuntukkan untuk tanaman semusim dapat ditanami dengan tanaman pangan seperti jagung, kacang tanah, kacang ijo, kacang kedelai, atau sayur-sayuran secara bergilir sepanjang tahun selama daur. Pada jalur tanaman kayu-kayuan seperti mahoni, jati, durian, rambutan, nangka dll. Penanaman tanaman semusim (tumpangsari) hanya pada tahun pertama atau kedua (sampai tajuk pohon saling bersinggungan atau tertutup). Lebar jalur untuk komponen kayu-kayuan adalah 9 meter dan untuk tanaman semusim 10 -17 m, tergantung kepada petani dan kondisi lahannya.

Pada daerah yang masyarakatnya banyak mengusahakan ternak, ternak tidak dilepas melainkan dikandangkan sehingga kebutuhan makanan dibawakan ke kandang (cut and carry). Model ini sekaligus dapat mengurangi bahaya kerusakan tanaman akibat ternak, sehingga produksi dapat lebih meningkat. Pemotongan rumput dan pemangkasan pohon untuk makanan ternak dilakukan secara berkala dan bergilir, sehingga ketersediaan dan kecukupan makanan ternak terpenuhi sepanjang tahun. Pemotongan rumput dilakukan pada musim hujan, sedangkan pemangkasan pohon untuk makanan ternak dilakukan pada musim kemarau.

- Pola Pengayaan

Pola Pengayaan dilakukan pada kawasan hutan yang penutupan lahannya telah mengalami kerusakan secara setempat-setempat yang penutupannya semak belukar, atau pada lahan pertanian lahan kering campur semak (PLKCS), sehingga tidak diperlukan penanaman secara menyeluruh. Pengayaan ini mengikuti model spot/mosaik dengan jalan menanam jenis kayu unggulan setempat dan jenis-jenis pohon penghidupan (MPTS) yang ditanam secara mengelompok maupun secara campuran. Jenis-jenis pohon unggulan setempat seperti: kemiri, durian, langsat, rambutan, nangka, petai, mangga, kapuk, dan sebagainya. Penanaman dapat dilakukan secara campuran ataupun secara kelompok.

(29)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 29

- Pola Hutan Campuran Sistem Jalur

Hutan campuran sistem jalur merupakan pola yang sesuai untuk penutupan pada lahan milik dan kawasan hutan yang penutupannya semak belukar. Penanaman secara jalur dimaksudkan agar belukar yang ada tidak ditebang habis melainkan ditebang secara jalur sehingga akan terdapat jalur tanaman dan jalur konservasi secara berselang-seling.

Lebar jalur tergantung dari kondisi tanah, kemiringan lereng dan jenis tanaman. Untuk menentukan berapa lebar jalur yang paling efektif perlu dilakukan penelitian dan uji coba, melalui pembangunan plot coba (demplot Agroforestry).

- Pola Hutan Tanaman Campuran/Hutan Serbaguna.

Pada pola ini beberapa jenis pohon, jenis kayu-kayuan untuk pertukangan dan jenis MPTS dapat ditanam secara bercampur disesuaikan dengan kondisi lapangan, lebar tajuk dan kebutuhan akan cahaya dari masing-masing jenis yang dipilih. Pola ini cukup baik untuk diterapkan pada penutupan semak belukar, dan atau alang-alang. Kombinasi tanaman dapat dilakukan sesuai keinginan dan tujuan penekanan yang diinginkan. Perbandingan antara kayu-kayuan dan jenis MPTS dapat dipilih antara lain : 70% :30%, 50% : 40%, 50% : 50% dan seterusnya. Model kebun campuran ini adalah mengkombinasikan tanaman kayu-kayuan, MPTS, dan tanaman semusim.

Untuk lahan dengan tutupan alang-alang, dapat dikembangkan pola berikut: - Pola Hutan Tanaman Penghasil Kayu dan Buah

Pola ini sesuai dilaksanakan pada areal alang-alang dan tanah kosong untuk meningkatkan produktifitasnya dengan menanam tanaman MPTS yang bermanfaat bagi penduduk.

- Hutan Tanaman Kayu Pertukangan

Hutan tanaman kayu pertukangan diarahkan pada areal semak belukar, alang-alang dan tanah kosong pada kawasan hutan atau lahan milik. Jenis yang dikembangkan adalah jenis kayu yang disenangi oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan kayu pertukangan seperti, jati, suren, pinus, mahoni, uru, johar, dll. Tanaman kayu-kayuan ditanam pada jalur tersendiri dan tanaman MPTS ditanam pada jalur tersendiri pula, sehingga terbentuk sabuk-sabuk yang mengikuti kontur.

(30)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 30

Luas lahan dan hutan yang perlu di rehabilitasi di Kabupaten Luwu Timur, mencapai 60.122 ha, yang terdiri dari 3.981 pada kawasan hutan dan 56.141 di luar kawasan hutan (APL). Rincian luas lahan dan hutan yang perlu di rehabilitasi pada setiap tipe kawasan hutan pada masing-masing kecamatan diuraikan berikut ini. 1. Kecamatan Angkona

Kecamatan Angkona mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 5.936 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain.Padaareal penggunaanlain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 3.165 ha, Cagar Alam 233, Hutan Lindung 128 ha, Hutan Produksi 1.079, serta Hutan Produksi terbatas sebesar 1.331 ha, dengan prioritas pelaksanaan pada umumnya berada pada prioritas 1 dan 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Angkona diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 4.7. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Angkona

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 33 3.132 3.165

2. Cagar Alam 233 233

3. Hutan Lindung 128 128

4. Hutan Produksi 27 1.052 1.079

5. Hutan Produksi Terbatas 2 1.329 1.331

Total Luas 62 5.874 5.936

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009

2. Kecamatan Burau

Kecamatan Burau mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 8.635 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 2.871 ha, Hutan Lindung 952 ha, Hutan Produksi Konvaersi 4.574 ha dan Kawasan Lindung sebesar 235 ha, dengan prioritas pelaksanaan hanya pada prioritas 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Burau diperlihatkan pada tabel berikut.

(31)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 31 Tabel 4.8. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan

di Kecamatan Burau

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 2.871 2.871

2. Hutan Lindung 952 952

3. Hutan Produksi Konversi 4.574 4.574

4. Kawasan Lindung 235 235

Total Luas 8.635 8.635

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 3. Kecamatan Kalaena

Kecamatan Kalaena mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 76 ha, dan hanya pada Areal Penggunaan Lain pada skala prioritas 2, seperti diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 4.9. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi Pada Areal Penggunaan Lain di Kecamatan Kalaena

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 76 76

Total Luas 76 76

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 4. Kecamatan Malili

Kecamatan Malili mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 4.753 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 2.971 ha, Cagar Alam seluas 286 ha, Hutan Lindung 575 ha, Hutan Produksi 631 ha serta Hutan Produksi Terbatas sebesar 631 ha, yang umumnya pada skala prioritas 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Malili diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 4.10. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Malili.

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 42 2.929 2.971

2. Cagar Alam 286 286

3. Hutan Lindung 575 575

4. Hutan Produksi 289 289

5. Hutan Produksi Terbatas 121 510 631

Total Luas 173 4.580 4.753

(32)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 32

5. Kecamatan Mangkutana

Kecamatan Mangkutana mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 10.080 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 5.344 ha, Cagar Alam seluas 139 ha, Hutan Lindung 1.398 ha, Hutan Produksi 208 ha serta Hutan Produksi Konversi sebesar 2.991 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Mangkutana diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 4.11. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Mangkutana

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 60 5.284 5.344

2. Cagar Alam 139 139

3. Hutan Lindung 1.398 1.398

4. Hutan Produksi 208 208

5. Hutan Produksi Konversi 2.991 2.991

Total Luas 60 10.020 10.080

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 6. Kecamatan Nuha

Kecamatan Nuha mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 7.723 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 2.489 ha, Cagar Alam seluas 914 ha, Hutan Lindung 4.241 ha, Hutan Produksi Terbatas 32 ha serta Taman Wisata Alam sebesar 25 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Nuha diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 4.12. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Nuha

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas 1 2 Total Area

1. Areal Penggunaan Lain 855 1.634 2.489

2. Cagar Alam 914 914

3. Hutan Lindung 719 3.522 4.241

4. Hutan Produksi Terbatas 32 32

5. Taman Wisata Alam 25 25

Total Luas 1.604 6.119 7.723

(33)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 33

7. Kecamatan Tomoni

Kecamatan Tomoni mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 3.279 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 890 ha, Hutan Lindung 103 ha, Hutan Produksi 219 ha serta Hutan Produksi Konversi sebesar 2.067 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Tomoni diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 4.13. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Kecamatan Tomoni

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 890 890

2. Hutan Lindung 103 103

3. Hutan Produksi 219 219

4. Hutan Produksi Konversi 2.067 2.067

Total Luas 3.277 3.279

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 8. Kecamatan Tomoni Timur

Kecamatan Tomoni Timur mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 386 ha, dan hanya pada Areal Penggunaan Lain pada skala prioritas 2, seperti diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 4.14. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi Pada Areal Penggunaan Lain Kecamatan Tomoni Timur

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 386 386

Total Luas 386 386

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 9. Kecamatan Towuti

Kecamatan Towuti mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 9.111 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 5.134 ha, Hutan Lindung 3.618 ha, serta Hutan Produksi Terbatas sebesar 293 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Towuti diperlihatkan pada tabel berikut.

(34)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 34 Tabel 4.15. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi Pada Areal Penggunaan Lain di

Kecamatan Towuti.

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 63 5.071 5.134

2. Hutan Lindung 1.277 2.341 3.618

3. Hutan Produksi Terbatas 41 252 293

Total Luas 1.392 7.719 9.111

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009

10. Kecamatan Wasuponda

Kecamatan Wasuponda mempunyai luas areal kegiatan rehabilitasi sebesar 10.142 ha, dengan dua pendekatan rehabilitasi, yakni reboisasi pada areal kawasan hutan dan penghijauan serta konservasi tanah pada areal penggunaan lain. Pada areal penggunaan lain (APL) terdapat areal rehabilitasi sebesar 4.952 ha, Cagar Alam 223 ha, Hutan Lindung 1.987 ha, Hutan Produksi 293 serta Hutan Produksi Terbatas sebesar 2.673 ha, dengan skala prioritas pelaksanaan 1 - 2. Luas indikasi kegiatan rehabilitasi di dalam dan di luar kawasan hutan di Kecamatan Wasuponda diperlihatkan pada tabel berikut.

Tabel 4.16. Luas Indikasi Kegiatan Rehabilitasi Pada Areal Penggunaan Lain di Kecamatan Wasuponda

No. FUNGSI KAWASAN HUTAN Skala Perioritas Total Area

1 2

1. Areal Penggunaan Lain 415 4.537 4.952

2. Cagar Alam 223 223

3. Hutan Lindung 54 1.933 1.987

4. Hutan Produksi 293 293

5. Hutan Produksi Terbatas 193 2.480 2.673

Total Luas 688 9.454 10.142

Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009

4.2.2. Kawasan Peruntukan Pertanian

Rencana pengembangan pertanian padi sawah dan padi ladang dilakukan di seluruh kecamatan di Kabupaten Luwu Timur, terutama untuk kegiatan pertanian dengan irigasi teknis di Kecamatan Wotu, Burau, Mangkutana, Tomoni, Kalaena, dan Angkona. Arahan pengembangan kawasan pertanian di Kabupaten Luwu Timur, memperhatikan beberapa hal berikut :

(35)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 35 1. Definisi

(1) Kawasan Pertanian/Pedesaan

Berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud dengan kawasan pertanian adalah kawasan pedesaan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.

(2) Persawahan

Merupakan lahan yang dominan berfungsi untuk budidaya pada dalam kondisi terhambat (basah) dengan sumber air dapat berasal dari air hujan maupun irigasi,

(3) Sawah Irigasi Teknis

Merupakan sawah yang memperoleh pengairan dari irigasi teknis yaitu jaringan saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian irigasi dapat diukur dengan mudah. Biasanya saluran primer (induk) dan sekunder serta tersier terpisah. Saluran primer dan sekunder serta pembangunannya dibangun dan dipelihara oleh Dinas Pengairan Pemerintah Kabupaten/Kota.

2. Dasar Hukum/Landasan Hukum

 Undang-undang No.26 Tahun 2007.

 Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Ketua Bappenas No. 5334/MK/9/1994.

 Keputusan Menteri Agraria/Keputusan BPN No. 460 - 3346 (31-10-1994).

3. Tipologi Pertanian

Menurut kesesuaian lahan, budidaya pertanian dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu:

 Sawah (padi sawah)

 Tanaman pangan lahan kering (seperti padi gogo, jagung, kedelai, kacang tanah, sayur-sayuran dan buah-buahan)

 Tanaman keras (seperti kelapa, kelapa sawit, kakao, kopi, karet, durian, rambutan dan sebagainya).

(36)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 36

(37)

Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 37

Gambar

Tabel 4.1.  Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung di Kabupaten Luwu Timur  Fungsi
Gambar 4.1. Patahan Matano yang Melintasi Wilayah Kabupaten Luwu Timur
Tabel 4.3.  Kriteria Kawasan Budidaya Pesisir dan Laut
Tabel 4.4.  Rencana  Pemanfaatan  Ruang  Kawasan  Budidaya  di  Kabupaten  Luwu  Timur
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

d) Pada aspek kepuasan orang tua terhadap tingkat pencapaian perkembangan. Berdasarkan akumulasi perolehan skor tertinggi diperoleh pada aspek penambahan kemampuan anak

Menurut Bafadal (2003:27), perencanaan sarana dan prasarana sekolah harus memenuhi prinsip-prinsip: 1) perencanaan sarana dan prasarana sekolah harus betul- betul merupakan

Pada skripsi ini penulis mencoba untuk menganalisis dan mengembangkan sebuah aplikasi yang bisa digunakan untuk mengelola dan mempermudah pekerjaan dalam menjalankan fungsi bisnis

Hal ini sangat jelas dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1)Dengan demikian Isteri dan anak akibat perkawinan tidak dicatat,

Deskripsi Singkat : Membahas tentang perspektif MSDM, Memenuhi persyaratan SDM, Mengembangkan efektivitas SDM, Penerapan kompensasi dan jaminan (Security), Mempererat hubungan

Everybody is slowly realizing the advantages of storing all their photos and videos digitally, rather than maintain a physical copy.. With the advent of this new phenomenon, the

Kandungan senyawa antioksidan pada spesies lokal tanaman yang dijadikan microgreens telah terbukti tinggi berdasarkan pengujian laboratorium di Jurusan Biologi UIN Bandung