• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH AGUS NAUFAL

H14052333

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(2)

(Dibimbing oleh WIWIEK RINDAYATI).

Pembangunan ekonomi dilakukan dengan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang ada. Namun perbedaan karakteristik dan keragaman yang tinggi di Indonesia berpengaruh terhadap perbedaan kemampuan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di suatu daerah sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan. Pembangunan pada masa orde baru kurang memperhitungkan kemerataan, hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pada masa itu sektor tradisional (sektor pertanian) seakan-akan termarginalkan, digantikan oleh sektor modern (sektor industri).

Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar kedua terhadap PDRB Pemerintah Aceh setelah sektor pertambangan dan penggalian. Sektor pertambangan dan penggalian selain sedikit dalam penyerapan tenaga kerja sektor ini diduga tidak akan bertahan lama, terlihat dari laju pertumbuhan sektor yang merupakan sumber daya alam tidak bisa diperbaharui ini yang semakin menurun. Berdasarkan pemikiran tersebut, diperlukan sektor lain sebagai pengganti. Sektor pertanian merupakan penyerap tenaga kerja terbesar bagi daerah ini, dengan kontribusi yang cukup tinggi dan laju pertumbuhan yang positif. Oleh karena itu, sektor pertanian di Pemerintah Aceh menarik untuk dianalisis.

Tujuan penelitian ini ingin melihat seberapa besar kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, penyerapan tenaga kerja, dan laju pertumbuhan ekonomi, serta besarnya ketimpangan pendapatan di Pemerintah Aceh. Selain itu akan diidentifikasi peranan sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan di daerah Pemerintah Aceh pada kurun waktu tahun 2000-2007.

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari berbagai sumber. Penelitian ini menggunakan metode Indeks Williamson untuk menghitung ketimpangan di Pemerintah Aceh. Peranan sektor pertanian dapat dilihat dengan cara menghitung ketimpangan pendapatan daerah tanpa memasukkan nilai PDRB sektor pertanian dalam perhitungan tersebut. Kemudian dibandingkan dengan besarnya tingkat ketimpangan dengan memasukkan PDRB sektor pertanian. Selanjutnya dilakukan analisis uji dua nilai tengah berpasangan untuk melihat signifikansi perbedaan antara Indeks Ketimpangan dengan mengikutsertakan PDRB sektor pertanian dan Indeks Ketimpangan tanpa mengikutsertakan PDRB sektor pertanian. Dilakukan pula analisis korelasi antara indeks ketimpangan dan kontribusi pertanian, serta analisis korelasi antara kontribusi pertanian dan PDRB per kapita.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup besar dalam perekonomian daerah Pemerintah Aceh yaitu menyumbang rata-rata 20,97 persen per tahun terhadap PDRB. Sumbangan terbesar dari sektor ini terjadi pada tahun 2001 sebesar 23,53 persen, sumbangan

(3)

selama periode analisis 2000-2007. Ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2000 sebesar 0,42 sedangkan ketimpangan terrendah terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 0,20.

Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup besar dalam mengurangi ketimpangan pendapatan dan juga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Pemerintah Aceh. Setelah dilakukan analisis, terlihat bahwa ketimpangan pendapatan semakin meningkat jika PDRB sektor pertanian dikeluarkan dari hitungan. Berdasarkan uji beda dua nilai rata-rata juga memperkuat bukti bahwa indeks ketimpangan dengan mengikut sertakan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan nilainya lebih kecil dibandingkan dengan indeks ketimpangan tanpa mengikutsertakan PDRB sektor pertanian. Berdasarkan hasil analisis korelasi juga didapat bahwa terdapat hubungan negatif yang kuat antara pertanian dan indeks ketimpangan, artinya peningkatan kontribusi sektor pertanian akan menurunkan ketimpangan pendapatan yang terjadi. Analisis korelasi yang lain menunjukkan bahwa terjadi hubungan positif antara persentase pertanian dengan PDRB per kapita. Hal ini menunjukkan bahwa daerah-daerah yang didominasi oleh sektor pertanian cenderung memiliki PDRB per kapita yang tinggi dibandingkan daerah yang didominasi oleh sektor non pertanian. Hal tersebut mambuktikan bahwa sektor pertanian mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Pemerintah Aceh.

Sektor pertanian yang pertumbuhannya relatif kecil tapi mempunyai peran yang cukup besar dalam PDRB, dan penyerapan tenaga kerja diharapkan dapat lebih diperhatikan dalam peningkatannya, dan menjadi prioritas dalam pembangunan, agar dapat tetap menjadi leading sektor di pemerintah Aceh. Tren ketimpangan yang semakin menurun di Pemerintah Aceh diharapkan dapat dipertahankan. Tren ketimpangan yang semakin menurun ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi kemakmuran di Pemerintah Aceh akan tercapai. Sektor pertanian masih memerlukan dukungan sektor lain (agroindustri) khususnya di daerah pertanian, peningkatan pada sub sektor agroindustri dapat memperlancar aliran barang hulu-hilirnya yang akan meningkatkan nilai tambah, sehingga peningkatan pertumbuhan ekonomi secara merata dapat berjalan sebagaimana mestinya di Pemerintah Aceh.

(4)

Oleh AGUS NAUFAL

H14052333

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

(5)

Aceh

Nama : Agus Naufal

NIM : H14052333

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si NIP. 19620816 198701 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim M.Ec NIP. 19641022 198903 1 003

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Maret 2010

Agus Naufal H14052333

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di sebuah kota kecil bernama Sigli di propinsi paling barat Indonesia, Pemerintah Aceh. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan ayahanda Budiman dan ibunda Sukmayati yang lahir pada tanggal 17 Agustus 1987 tepat pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-42.

Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri 9 Banda Aceh, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Banda Aceh dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMU Negeri 1 Banda Aceh dan lulus pada tahun 2005.

Penulis melanjutkan jenjang perguruan tinggi dan diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memulai studinya di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun dimana penulis belum memiliki program mayor. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa program mayor Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi anggota dan pengurus Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) di Departemen Informasi dan Komunikasi tahun 2006-2008, Ketua Program Pendidikan Intensif IMTR tahun 2006-2008, penulis juga aktif di organisasi kampus Syari’a Economi Student Club (SES-C) di departemen Sumber Daya Insani tahun 2007-2008, Ketua Asrama Mahasiswa Aceh Leuser 2007-2008, Sekertaris Asrama Mahasiswa Aceh Leuser periode 2008-2009.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia nikmat yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “Peranan Sektor Pertanian dalam Pertumbuhan Ekonomi dan

Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pemerintah Aceh”.

Penelitian ini bertujuan ingin melihat besarnya ketimpangan pendapatan di Pemerintah Aceh, kontribusi sektor pertanian di Pemerintah Aceh, serta peranannya terhadap pemerataan pendapatan di daerah Pemerintah Aceh pada kurun waktu tahun 2000-2007 dengan alat analisis Indeks Williamson. Disamping hal tersebut, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada Ibu Wiwiek Rindayati yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis maupun teoritis dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para peserta seminar sehingga sangat terbantu oleh kritik dan saran dari mereka pada Seminar Hasil Penelitian skripsi ini.

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Budiman dan ibunda Sukmayati serta adik kandung penulis, atas segala bimbingan, nasihat, kesabaran, doa, dan dukungannya dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selain itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran proses penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan karena keterbatasan yang dihadapi. Namun demikian, penulis berharap skripsi ini dapat berrmanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam membangun

(9)

perekonomian Pemerintah Aceh secara merata dan berjalan sebagai mana mestinya.

Bogor, Maret 2010

Agus Naufal H14052333

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 4 1.3. Tujuan Penelitian ... 8 1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Perencanaan Pembangunan Regional ... 10

2.1.1. Pertumbuhan Regional ... 10

2.1.2. Produk Domestik Regional Bruto ... 11

2.2. Ketimpangan ... 15

2.2.1. Ketimpangan Pendapatan ... 15

2.2.2. Pengukuran Ketimpangan ... 17

2.3. Sektor Pertanian ... 22

2.3.1. Peranan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi ... 22

2.3.2. Pembangunan Pertanian dan Pemerataan Pendapatan... 26

2.4. Hasil Penelitian Terdahulu ... 28

2.5. Kerangka Pemikiran ... 34

2.6. Hipotesis ... 37

III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data ... 38

3.2. Metode Analisis ... 38

3.2.1. Analisis Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, Penyerapan Tenaga Kerja, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh ... 39

(11)

3.2.3. Analisis Peranan Sektor Pertanian terhadap Ketimpangan

Pendapatan dan Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh . 40

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PEMERINTAH ACEH 4.1. Letak Geografis dan Batas Wilayah... 44

4.2. Wilayah Administrasi ... 44

4.3. Kependudukan ... 46

4.4. Ketenagakerjaan ... 48

4.5. Struktur Perekonomian ... 49

4.6. Pertanian di Pemerintah Aceh ... 51

4.7. Potensi Ekonomi ... 54

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, Penyerapan Tenaga Kerja, dan Laju Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh ... 60

5.1.1. Sumbangan Sektor Pertanian terhadap PDRB, dan Tenaga Kerja Pemerintah Aceh ... 60

5.1.2. Kontribusi Sektor Pertanian terhadap Laju pertumbuhan Ekonomi Sektor Pertanian Pemerintah Aceh ... 61

5.2. Analisis Ketimpangan Pendapatan... 63

5.3. Peranan Sektor Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Daerah dan Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh ... 65

5.3.1. Peranan Sektor Pertanian dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah Aceh ... 65

5.3.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah Aceh ... 68

VI. Kesimpulan dan Saran 6.1. Kesimpulan ... 71

6.2. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1. Indeks Ketimpangan Williamsons Indonesia Tahun 2000-2007 ... 2 1.2. PDRB Sektoral Pemerintah Aceh Atas Dasar Harga Konstan

2000, Tahun 2006-2007 ... 5 1.3. Persentase Penduduk Pemerintah Aceh Berumur 15 tahun Keatas

yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaaan Tahun 2006-2007 ... 6 1.4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Pemerintah Aceh Tahun

2006-2007 ... 7 2.1. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau ... 28 2.2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Indonesia ... 29 2.3. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Provinsi Lampung

Tahun 1995-2001 ... 31 4.1. Kabupaten/Kota di Daerah Pemerintah Aceh ... 45 4.2. Jumlah Penduduk Pemerintah Aceh Menurut Kabupaten/Kota

Tahun 2007 ... 47 4.3. Distribusi PDRB Pemerintah Aceh Menurut Lapangan Usaha

Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2000-2007 (%) ... 50 5.1. Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor Pertanian di

Kabupaten/Kota Pemerintah Aceh Tahun 2000-2007 (%) ... 62 5.2. Indeks Ketimpangan Pendapatan di Daerah Pemerintah Aceh

Tahun 2000-2007 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 63 5.3. Indeks Ketimpangan Pendapatan, dan Peranan Sektor Pertanian di

Daerah Pemerintah Aceh Tahun 2000-2007 (Tanpa

Lhokseumawe dan Aceh Utara)... 64 5.4. Peran sektor pertanian dalam mengurangi Ketimpangan

Pendapatan di Daerah Pemerintah Aceh Tahun 2000-2007 (Tanpa

Lhokseumawe dan Aceh Utara)... 66 5.5. Peran Sektor Pertanian dalam Pertumbuhan Ekonomi Pemerintah

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 2.1. Kurva Lorenz ... 18 2.2. Kerangka pemikiran... 36 5.1. Boxplot perbandingan antara Indeks Williamson dengan

mengikutsertakan PDRB sektor pertanian dan Indeks Williamson

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Produksi Tanaman Pangan Menurut Kabupaten/Kota di Pemerintah

Aceh Tahun 2006 (Ton)... 80 2. Produksi Tanaman Pangan Menurut Kabupaten/Kota di Pemerintah

Aceh Tahun 2007 (Ton)... 81 3. Produksi Perkebunan Menurut Kabupaten/Kota di Pemerintah

Aceh Tahun 2006 (Ton)... 82 4. Produksi Perkebunan Menurut Kabupaten/Kota di Pemerintah

Aceh Tahun 2007 (Ton)... 83 5. Populasi Ternak Terperinci Menurut Jenis Ternak dan

Kabupaten/Kota di Pemerintah Aceh Tahun 2006 (Ekor) ... 84 6. Populasi Ternak Terperinci Menurut Jenis Ternak dan

Kabupaten/Kota di Pemerintah Aceh Tahun 2007 (Ekor) ... 85 7. Produksi Perikanan Laut dan Darat Menurut Kabupaten/Kota di

Pemerintah Aceh Tahun 2006 (Ton) ... 86 8. Produksi Perikanan Laut dan Darat Menurut Kabupaten/Kota di

Pemerintah Aceh Tahun 2007 (Ton) ... 87 9. Rata-rata PDRB Sektoral Pemerintah Aceh Menurut Lapangan

Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2000-2007 ... 88 10. Kontribusi Sektor Pertanian dalam Kabupaten/Kota Pemerintah

Aceh Tahun 2000-2007 ... 89 11. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah

Aceh Tahun 2000 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 90 12. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah

Aceh Tahun 2001 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 91 13. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah

Aceh Tahun 2002 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 92 14. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah

Aceh Tahun 2003 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 93 15. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah

Aceh Tahun 2004 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 94 16. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah

Aceh Tahun 2005 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 95 17. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah

(15)

18. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Pemerintah

Aceh Tahun 2007 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 97 19. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Dengan

Mengeluarkan PDRB Sektor Pertanian Pemerintah Aceh Tahun

2000 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 98 20. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Dengan

Mengeluarkan PDRB Sektor Pertanian Pemerintah Aceh Tahun

2001 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 99 21. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Dengan

Mengeluarkan PDRB Sektor Pertanian Pemerintah Aceh Tahun

2002 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 100 22. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Dengan

Mengeluarkan PDRB Sektor Pertanian Pemerintah Aceh Tahun

2003 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 101 23. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Dengan

Mengeluarkan PDRB Sektor Pertanian Pemerintah Aceh Tahun

2004 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 102 24. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Dengan

Mengeluarkan PDRB Sektor Pertanian Pemerintah Aceh Tahun

2005 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 103 25. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Dengan

Mengeluarkan PDRB Sektor Pertanian Pemerintah Aceh Tahun

2006 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 104 26. Perhitungan Nilai Ketimpangan Pendapatan Daerah Dengan

Mengeluarkan PDRB Sektor Pertanian Pemerintah Aceh Tahun

2007 (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 105 27. Uji Dua Nilai Tengah Berpasangan antara Indeks Ketimpangan

Dengan Mengikutsertakan PDRB Sektor Pertanian dan Indeks Ketimpangan Tanpa PDRB Sektor Pertanian (Tanpa Lhokseumawe

dan Aceh Utara) ... 106 28. Korelasi antara Indeks Ketimpangan dengan PDRB Sektor

Pertanian (Tanpa Lhokseumawe dan Aceh Utara) ... 107 29. Korelasi antara Kontribusi Pangsa Pertanian dan PDRB Per Kapita ... 108

(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri lebih dari 17.508 pulau yang membentang luas sekitar 9,8 juta km2 dimana seluas 7,9 km2 (81 persen) diantaranya berupa lautan sedangkan sisanya seluas 1,9 juta km2 (19 persen) berupa daratan. Indonesia terletak di garis khatulistiwa memiliki lima pulau besar yang menjadi tempat tinggal mayoritas penduduk yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia), Sulawesi, dan Papua. Masing-masing daerah mempunyai perbedaan ciri khas tersendiri meliputi sumberdaya alam, ekonomi, sosial budaya, adat-istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, mutu sumberdaya manusia, letak geografis, serta sarana dan prasarana yang tersedia di setiap daerah (BPS, 1996).

Perbedaan karakteristik tersebut berpengaruh pada kemampuan tumbuh masing-masing daerah, sehingga membuat pembangunan di sebagian daerah tumbuh lebih cepat dari pada pembangunan daerah lainnya. Kemampuan tumbuh yang berbeda ini juga diikuti oleh perbedaan pola pembangunan ekonomi yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan pendapatan antar wilayah. Pembangunan ekonomi Indonesia hampir sama seperti pada negara-negara yang sedang berkembang, umumnya hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi tanpa mempertimbangkan pengalokasian distribusi pendapatan di masing-masing daerahnya. Berdasarkan perhitungan Indeks Ketimpangan Williamsons yang membandingkan besaran PDRB perkapita antar propinsi di

(17)

Indonesia tahun 2000-2007, terlihat ketimpangan mencapai 0,85 (Tabel 1.1). Hal ini menggambarkan terjadi ketimpangan yang tinggi antar propinsi-propinsi di Indonesia terutama dalam hal ketimpangan distribusi pendapatan per kapita penduduknya. Tingginya tingkat ketimpangan pendapatan mengindikasikan tidak meratanya pembangunan di Indonesia terutama di bidang ekonomi, sehingga ketimpangan di Indonesia sudah menjadi masalah serius.

Tabel 1.1. Indeks Ketimpangan Williamsons Indonesia Tahun 2000-2007

No Tahun Indeks Williamsons

1 2000 0,8455 2 2001 0,8551 3 2002 0,8570 4 2003 0,8654 5 2004 0,8621 6 2005 0,8523 7 2006 0,8428 8 2007 0,8409 Rata-rata 0,8533

Sumber: BPS (diolah) dalam Suparno (2008)

Ketimpangan tidak dapat dimusnahkan, melainkan hanya bisa dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diterima oleh suatu sistem sosial tertentu agar keselarasan dalam sistem tersebut terpelihara dalam proses pertumbuhannya (Supriyantoro, 2005). Oleh karena itu, ketimpangan pasti akan selalu ada baik di negara miskin, negara sedang berkembang maupun negara maju. Setiap negara hanya bisa menekan nilai ketimpangan serendah mungkin. Ketimpangan yang semakin melebar lama-kelamaan akan menimbulkan ketidakpuasan yang berujung pada timbulnya konflik. Akumulasi dari ketidakpuasan tersebut dapat

(18)

membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena diwujudkan dalam gerakan pemisahan wilayah atau separatisme.

Pembangunan pada masa orde baru yang dimulai dari tahun 1969 merupakan masa dimana perekonomian Indonesia memperlihatkan angka pertumbuhan yang sangat baik. Bahkan pada tahun 1993, Bank Dunia mengkategorikan Indonesia sebagai Newly Industrializing Economies (NIEs), bersama dengan Malaysia, Meksiko, Brazil, Taiwan, Hongkong, Singapura, Korea Selatan dan Thailand. Pada saat itu sektor tradisional (sektor pertanian) seakan-akan termarginalkan, digantikan oleh sektor modern (sektor industri). Seperti halnya negara yang sedang berkembang lainnya, pertumbuhan ekonomi selalu dipusatkan pada peningkatan sektor modern yang cenderung sedikit dalam penyerapan tenaga kerja.

Sektor tradisional yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar selama ini tersisihkan, sehingga sektor modern lebih cepat berkembang. Peningkatan yang cepat pada sektor modern menyebabkan kesenjangan antara sektor modern dan sektor tradisional. Untuk menanggulangi hal diatas perlu adanya strategi baru bagi pemerintah agar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan.

Pada saat krisis ekonomi (tahun 1997) sektor pertanian terbukti masih dapat bertahan, sektor ini memang memiliki ketahanan terhadap goncangan struktural dari perekonomian makro. Sektor tradisional yang masih kuat salah satunya adalah pertanian di Pemerintah Aceh. Hanya dua sektor perekonomian di

(19)

Pemerintah Aceh yang masih menunjukkan pertumbuhan positif pada masa krisis yaitu sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian.

1.2. Perumusan Masalah

Jumlah penduduk miskin pada suatu daerah merupakan salah satu indikator mengukur kesejahteraan penduduk. Perekonomian Pemerintah Aceh saat ini cenderung belum sejahtera dan masih belum dapat berkembang sebagaimana mestinya. Hal tersebut ditandai oleh tingginya tingkat kemiskinan di Pemerintah Aceh. Pada tahun 2004, Pemerintah Aceh bersama Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur digolongkan sebagai propinsi yang persentase penduduk miskinnya relatif besar untuk Indonesia yaitu lebih dari 27 persen, sekaligus memiliki kabupaten tertinggal terbanyak setelah Papua. Karena Pemerintah Aceh memiliki persentase penduduk miskin yang tinggi tapi juga memiliki PDRB perkapita yang besar, kemungkinan besar telah terjadi ketimpangan pendapatan antar daerah.

Dalam hal ini sektor pertanian menjadi menarik untuk dianalisis, khususnya di Pemerintah Aceh yang menjadikan sektor ini sebagai sektor unggulan di daerah yang dijuluki “Serambi Mekkah” ini. Seperti yang terlihat pada Tabel 1.2, sumbangan sektor ini paling besar setelah sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2006, yaitu sebesar 21,36 persen. Pada tahun berikutnya sumbangan sektor ini meningkat menjadi 22,93 persen sehingga menjadikan sektor ini sebagai penyumbang terbesar dalam PDRB Pemerintah Aceh. Potensi sektor pertanian ini diharapkan mampu menunjang pembangunan

(20)

daerah dan mengurangi ketimpangan pendapatan yang selama ini juga terjadi di Pemerintah Aceh.

Tabel 1.2. PDRB Sektoral Pemerintah Aceh Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2006-2007

No Sektor Tahun (juta rupiah)

2006 2007

1 Pertanian 7.872.780 8.262.810

(21,36%) (22,93%) 2 Pertambangan dan Penggalian 9.244.910 7.243.960

(25,09 %) (20,10 %) 3 Industri pengolahan 4.996.610 4.491.750 (13,56%) (12,46%) 4 Listrik, gas dan air Bersih 66.34 82.06

(0,18%) (0,23%)

5 Konstruksi 1.884.770 2.147.330

(5,11%) (5,96%) 6 Perdagangan, hotel dan restoran 5.571.090 5.665.990

(15,12%) (15,72%) 7 Pengangkutan dan Komunikasi 1.925.570 2.136.860

(5,22%) (5,93%) 8 Keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan

493.7 523.43

(1,34%) (1,45%)

9 Jasa-jasa 4.798.100 5.484.320

(13,02%) (15,22%) Sumber: BPS Pemerintah Aceh, 2008

Keterangan: ( ) Menunjukkan kontribusi dalam persen

Mayoritas penduduk Pemerintah Aceh bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2006, sektor ini menyerap tenaga kerja sebesar 56,31 persen dari total penduduk yang berumur 15 tahun keatas di Pemerintah Aceh (Tabel 1.3). Sektor jasa-jasa juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar yaitu 14,57 persen, diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 14,02 persen. Pada tahun 2007 sektor ini masih menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar

(21)

bagi Pemerintah Aceh walaupun terjadi penurunan beberapa persen, disusul oleh sektor jasa-jasa sebesar 16,41 persen, dan sektor perdagangan sebesar 15,82 persen.

Tabel 1.3. Persentase Penduduk Pemerintah Aceh Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaaan Tahun 2006-2007

No Sektor Tahun (%)

2006 2007

1 Pertanian 56,31 49,68

2 Pertambangan dan penggalian 0,50 0,48

3 Industri pengolahan 4,71 4,83

4 Listrik gas dan air bersih 0,35 0,41

5 Konstruksi 4,84 5,92

6 Perdagangan hotel dan restoran 14,02 15,82

7 Pengangkutan dan komunikasi 4,94 4,54

8

Keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan 0,22 0,19

9 Jasa-jasa 14,57 16,41

Sumber: BPS Pemerintah Aceh, 2008

Kinerja sektor-sektor pertambangan dan penggalian beberapa tahun terakhir ini memang cukup mendominasi perekonomian Pemerintah Aceh, tetapi sektor tersebut diramalkan tidak akan bertahan lama. Selain sangat sedikit dalam penyerapan tenaga kerja, pada Tabel 1.4 terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi sektor pertambangan dan penggalian mengalami pertumbuhan negatif. Pada tahun 2006 pertumbuhan sektor ini sebesar -2,6 persen, bahkan pada tahun 2007 pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian menyentuh angka -21,6 persen. Sektor industri pengolahan yang biasanya merupakan sektor andalan daerah maju juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang buruk di daerah Pemerintah Aceh, pada tahun 2006 sebesar -13,2 persen dan sebesar -10,1 persen

(22)

pada tahun 2007. Oleh karena itu sektor pertanian dibutuhkan, sektor yang merupakan mata pencaharian masyarakat Aceh yang sebagian besar tergolong menengah kebawah diharapkan dapat mengurangi masalah ketimpangan pendapatan antar daerah di Pemerintah Aceh.

Tabel 1.4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektoral Pemerintah Aceh Tahun 2006-2007

No Sektor Tahun (%)

2006 2007

1 Pertanian 1,5 4,9

2 Pertambangan dan penggalian -2,6 -21,6

3 Industri pengolahan -13,2 -10,1

4 Listrik gas dan air bersih 12 23,7

5 Konstruksi 48,4 13,9

6 Perdagangan hotel dan restoran 7,4 1,7

7 Pengangkutan dan komunikasi 10,9 10,9

8

Keuangan, persewaan dan jasa

perusahaan 11,7 6,0

9 Jasa-jasa 4,4 14,3

Sumber: BPS Pemerintah Aceh, 2008

Sayangnya, besarnya kontribusi dalam perekonomian dan dalam penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian kurang diikuti oleh besarnya laju pertumbuhan pertanian. Padahal apabila dilihat keterkaitan kebelakang dan kedepan sektor pertanian maka, dengan berkembangnya sektor pertanian akan mampu mendorong berkembangnya sektor perekonomian yang lain sehinggga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu, berkembangnya sektor pertanian juga akan meningkatkan pendapatan petani sehingga taraf hidup petani meningkat dan pendapatan masyarakat semakin merata.

(23)

Berdasarkan uraian tersebut, terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasi yaitu:

1. Bagaimana kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, penyerapan tenaga kerja, dan laju pertumbuhan ekonomi di Pemerintah Aceh?

2. Berapa besar tingkat ketimpangan pendapatan di daerah Pemerintah Aceh dan bagaimana dinamikanya?

3. Bagaimana peranan sektor pertanian terhadap pemerataan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi Pemerintah Aceh?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB, penyerapan tenaga kerja, dan laju pertumbuhan ekonomi di Pemerintah Aceh.

2. Menghitung besarnya ketimpangan pendapatan yang terjadi di Pemerintah Aceh dan melihat dinamikanya.

3. Mengidentifikasi peranan sektor pertanian terhadap pemerataan pendapatan daerah dan pertumbuhan ekonomi di Pemerintah Aceh.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini sangat berguna untuk menganalisis perekonomian wilayah serta menyusun rencana pembangunan sektoral yang komprehensif di daerah Pemerintah Aceh. Hasil penelitian ini juga sangat berguna untuk mengevaluasi kegiatan perekonomian dan menyusun kebijaksanaan baru untuk

(24)

pelaksanaan pembangunan yang menyejahterakan masyarakat di daerah Pemerintah Aceh.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas peranan sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi dan mengurangi ketimpangan pendapatan di Pemerintah Aceh pada periode tahun 2000-2007. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data jumlah penduduk menurut kabupaten/kota, Produk Domestik Regional Bruto sektoral masing-masing kabupaten/kota atas dasar harga konstan tahun 2000, dan persentase penduduk berumur 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan pekerjaaan.

Dalam perhitungan ketimpangan penulis hanya menggunakan data 21 dari 23 kabupaten/kota di Pemerintah Aceh. Hal ini disebabkan oleh nilai Indeks Ketimpangan seluruh kabupaten/kota di Pemerintah Aceh yang mencapai 1,67, sedangkan nilai Indeks Ketimpangan itu sendiri harus berada antara 0 dan 1. Oleh karena itu, penulis mengeluarkan dua daerah pencilan (Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara) yang memiliki PDRB per kapita mencapai 4-6 kali lipat daerah lainnya di Pemerintah Aceh.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Perencanaan Pembangunan Regional 2.1.1. Pertumbuhan Regional

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai rill, artinya diukur dalam harga konstan. Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Richardson, 1991).

Ada dua cara pendekatan yang dapat digunakan (Richardson, 1991). Pertama, mengadaptasi model-model ekonomi makro yang digunakan dalam teori pertumbuhan agregatif dan yang kedua menafsirkan pertumbuhan suatu daerah menurut struktur dinamika industrinya. Untuk pendekatan yang pertama terdapat tiga model umum yang digunakan yaitu model Neo-klasik, Basis Ekspor, dan Harrod-Domar.

Dalam model Neo-klasik tingkat pertumbuhan terdiri dari tiga sumber yaitu akumulasi modal, tenaga kerja, dan residu–yang dapat dinamakan sebagai kemajuan teknik (Richardson, 1991). Sedangkan menurut model Basis Ekspor, pertumbuhan suatu daerah tergantung pada pertumbuhan industri-industri

(26)

ekspornya dan kenaikan permintaan yang bersifat ekstrim bagi daerah yang bersangkutan adalah penentu pokok dari pertumbuhan regional. Sektor-sektor perekonomian suatu daerah dikelompokkan menjadi sektor basis dan non basis. Sektor basis merupakan sektor yang memiliki keunggulan komparatif (dibanding dengan daerah lain dalam lingkup wilayah yang lebih luas) dengan sasaran utama untuk diekspor ke daerah lain.

Pada model Harrod-Domar, memfokuskan peranan kunci kepada investasi dalam proses pertumbuhan ekonomi, lebih diutamakan tentang watak ganda yang dimiliki investasi. Dia menciptakan pendapatan (dampak permintaan) dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal (dampak penawaran). Selama investasi neto tetap berlangsung, pendapatan nyata dan output akan semakin membesar. Model ini juga dapat digunakan untuk menganalisa pertumbuhan regional dengan cara memperhitungkan perpindahan modal dan tenaga kerja interregional (Richardson, 1991). Semakin tinggi hasrat masyarakat di suatu daerah untuk menabung dan apabila rasio modal-output mereka semakin rendah, dengan demikian daerah tersebut akan bertumbuh semakin cepat. Impor neto adalah tambahan kepada tabungan total suatu daerah, maka daerah-daerah yang memiliki surplus impor dapat tumbuh lebih cepat dari daerah-daerah lainnya.

2.1.2. Produk Domestik Regional Bruto

Salah satu indikator ekonomi makro yang berperan dalam membuat perencanaan kebijaksanaan dalam pembangunan, menentukan arah pembangunan serta mengevaluasi hasil pembangunan suatu wilayah adalah Produk Domestik

(27)

Regional Bruto. PDRB dapat dijadikan sebagai indikator laju pertumbuhan ekonomi sektoral agar dapat diketahui sektor-sektor mana saja yang menyebabkan perubahan pada pertumbuhan ekonomi. Besar kecilnya PDRB yang dapat dihasilkan oleh suatu wilayah/daerah tergantung oleh besarnya sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan, jumlah dan mutu sumberdaya manusia, kebijaksanaan pemerintah, letak geografis serta tersedianya sarana dan prasarana di wilayah tersebut. Terdapat beberapa ukuran pendapatan nasional , diantaranya: Gross National Product (GNP) atau Produk Nasional Bruto (PNB), Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB), Net National Product (NNP) atau Produk Nasional Neto (PNN), dan National Income (NI) atau Pendapatan Nasional (PN) (Dumairy, 1996).

Menurut Gilis et al (2004), Produk Nasional Bruto (PNB) adalah penjumlahan nilai produk akhir barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun) tanpa menghitung nilai produk antara. Produk Domestik bruto (PDB) sama dengan PNB tetapi dalam perhitungannya mengeluarkan pendapatan warga negara yang berada di luar negeri tapi memasukkan seluruh produksi dalam negeri termasuk pendapatan yang diterima warga negara asing. Sedangkan PDB untuk tingkat wilayah regional pada sebuah Negara dikenal dengan sebutan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perhitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode antara lain (Dumairy, 1996):

(28)

a. Metode Langsung

Dalam menghitung PDRB dengan metode langsung, perhitungan diserahkan sepenuhnya pada kepada data daerah yang terpisah dari data nasional, sehingga hasil perhitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh daerah tersebut. Dalam metode ini PDRB dapat diukur dengan tiga pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Produksi

PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 sektor (dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan penggalian; (3) industry pengolahan; (4) listrik, gas, dan air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintahan; dan (11) jasa-jasa.

2. Pendekatan Pendapatan

PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu setahun. Balas jasa produksi yang dimaksud meliputi upah dan gaji, sewa tanah, modal, dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung neto. Jumlah semua komponen pendapatan ini per sektor disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu PDRB menurut pendekatan

(29)

pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha.

3. Pendekatan Pengeluaran

PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; serta (4) ekspor neto (yaitu ekspor dikurang impor) dalam jangka waktu setahun.

b. Metode Tidak Langsung / Alokasi

Menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional kedalam masing-masing kelompok kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.

Pemakaian masing-masing metode pendekatan sangat tergantung pada data yang tersedia. Pada kenyataannya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling mendukung satu sama lain, karena metode langsung akan mendorong peningkatan mutu atau kualitas data daerah.

Dilihat dari penjelasan diatas PDRB dari suatu daerah/wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk sekitar yang bersangkutan. Walaupun demikian, PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data yang lainnya.

(30)

2.2. Ketimpangan

2.2.1. Ketimpangan Pendapatan

Dua model pertumbuhan yang dijelaskan di atas, yaitu teori Neo-klasik dan Harrod-Domar memberikan perhatian khusus pada peran kapital berupa kegiatan investasi yang ditanamkan di suatu daerah. Setiap daerah memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menarik investor untuk berinvestasi di daerahnya, hal ini jelas akan berpengaruh pada kemampuan daerah untuk bertumbuh sekaligus menciptakan perbedaan kemampuan dalam menghasilkan pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan bila dialokasikan pada daerah yang dinilai dapat menghasilkan “return” yang besar dalam jangka waktu yang relatif singkat. Mekanisme pasar yang demikian justru akan menyebabkan ketidakmerataan, daerah yang relatif maju akan bertumbuh dengan cepat meninggalkan daerah yang pertumbuhannya relatif lambat. Hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya ketimpangan pendapatan sehingga diperlukan suatu perencanaan kebijakan yang matang dari pemerintah dalam rangka mengarahkan alokasi investasi menuju kemjuan ekonomi yang berimbang di seluruh wilayah dalam negara.

Menurut Wie (1981), pertumbuhan ekonomi yang pesat pada umumnya disertai pembagian pendapatan yang semakin timpang. Negara yang semata-mata hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi, tanpa memperhitungkan pendistribusian pendapatan negaranya akan memunculkan ketimpangan-ketimpangan diantaranya:

(31)

1. Ketimpangan pendapatan antar golongan atau ketimpangan relatif, ketimpangan pendapatan antar golongan ini biasanya diukur dengan menggunakan koefisien gini. Kendati koefisien gini bukan merupakan koefisien yang ideal untuk mengukur ketimpangan pendapatan antar berbagai golongan, namun sedikitnya angka ini dapat memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam pola distribusi pendapatan.

2. Ketimpangan antar masyarakat kota dengan masyarakat pedesaan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan dapat juga ditinjau dari segi perbedaan perolehan pendapatan antar masyarakat desa dengan masyarakat kota (urban-rural income disparieties). Untuk membedakan hal ini, digunakan dua indikator pertama dibandingkan antara tingkat pendapatan didaerah pedesaan dan perkotaan. Kedua, disparitas pendapatan daerah pedesaan dan perkotaan.

3. Ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah, satu kajian sisi lain dalam melihat ketimpangan-ketimpangan pendapatan nasional adalah ketimpangan dalam pertumbuhan ekonomi antar daerah di berbagai daerah di Indonesia, yang mengakibatkan pola terjadinya ketimpangan pendapatan antar daerah (region income disparieties). Ketimpangan pendapatan ini disebabkan oleh penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata serta dalam laju pertumbuhan daerah dan belum berhasilnya usaha-usaha perubahan yang merata antar daerah di Indonesia.

Kuznets (1957) dalam Todaro (1999) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, namun pada

(32)

tahap selanjutnya distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang dikenal dengan “U Hypothesis” atau kurva Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam distribusi pendapatan. Hipotesa ini dihasilkan oleh kajian empiris yang diambil dari pola pertumbuhan sejumlah negara di dunia, bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Lambat laun sejalan dengan pertumbuhan pembangunan ekonomi setelah mencapai tahap tertentu ketimpangan tersebut akan menghilang digantikan dengan hubungan korelasi positif antara pemerataan dan pertumbuhan. Pola tersebut timbul karena pada tahap awal pembangunan cenderung lebih dipusatkan pada sektor modern yang sedikit menyerap tenaga kerja. Sektor modern bertumbuh dengan cepat meninggalkan sektor tradisional (sektor pertanian). Kesenjangan antar sektor modern dan sektor tradisional ini menyebabkan adanya ketimpangan. Ketimpangan pendapatan cenderung tinggi karena sebahagian besar penduduk masih berpendapatan rendah, dan sektor modern telah berkembang tanpa perubahan struktur produksi dan alokasi tenaga kerja yang sesuai untuk suatu pertumbuhan ekonomi modern secara menyeluruh.

2.2.2. Pengukuran Ketimpangan

Merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara dikalangan penduduknya tercermin pada distribusi pendapatan nasional. Terdapat beberapa tolok ukur atau kriteria untuk menilai kemerataan distribusi yang dimaksud, diantaranya yaitu:

(33)

1. Kurva Lorenz

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif pula. Misalkan data yang tersedia adalah jumlah penduduk dan pendapatannya (bisa kita gunakan unit terkecil, seperti individu atau kabupaten/kota). Langkah awal adalah menyusun data individu atau penduduk tersebut menurut tingkat pendapatan mereka secara berurutan. Kemudian bergerak dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, kurva Lorenz akan memplotkan proporsi dari total pendapatan yang dikuasai penduduk.

100 C 90 80 70 60 50 40 30 20 10 B O 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Jumlah Penduduk (%) (Sumber: Dumairy, 1996)

Keterangan: Titik A mencerminkan 60 persen penduduk berpendapatan terendah yang menghasilkan atau hanya memiliki 20 persen pendapatan nasional.

Gambar 2.1. Kurva Lorenz

A Juml ah P enda pa tan ( % )

(34)

Bentuk kurva Lorenz seperti pada Gambar 2.1. Kurva ini terletak di dalam sebuah bujur sangkar. Sisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi datarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka akan mencerminkan keadaan yang semakin memburuk, distribusi pendapatan nasional akan semakin timpang atau tidak merata.

2. Indeks Gini

Corrado Gini merumuskan suatu ukuran untuk menghitung tingkat ketimpangan pendapatan personal secara agregatif yang diterima diatas tingkat tertentu. Hasil temuannya itu lebih dikenal dengan gini coefficient atau Indeks Gini.

Koefisien gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, yang menjelaskan kadar kemerataan pendapatan. Koefisien yang semakin mendekati 0 menjelaskan bahwa distribusi pendapatan yang semakin merata, sebaliknya jika semakin membesar mendekati 1 maka tingkat ketimpangan di daerah tersebut semakin besar. Angka rasio gini secara visual langsung dapat ditaksir dari kurva Lorenz, yaitu perbandingan luas area yang terletak diantara kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas area segitiga OBC. Semakin melengkung kurva Lorenz, akan semakin luas area yang dibagi sehingga Koefisien Gini akan semakin membesar, yang menyiratkan distribusi pendapatan yang semakin timpang.

(35)

Distribusi pendapatan daerah menggambarkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu daerah di kalangan penduduknya (Todaro, 2003). Negara-negara yang ketimpangannya tinggi maka koefisien gininya terletak antara 0,50 sampai 0,70. Sedangkan untuk Negara-negara yang ketimpangannya relatif rendah maka koefisien gininya berkisar antara 0,20 sampai 0,35.

Dalam melakukan pengukuran terhadap ketimpangan pendapatan khususnya antar daerah perkotaan dan pedesaaan, maka ukuran koefisien Gini ini juga sering digunakan, dengan rumus:

0 < G < 1 Dimana:

G = Rasio Gini

fi = Proporsi jumlah rumah tangga dalam kelas-i

Xi = Proporsi jumlah kumulatif rumah tangga dalam kelas-i

Yi = Proporsi jumlah kumulatif pendapatan dalam kelas-i

3. Kriteria Bank Dunia

Bank Dunia yang bekerja sama dengan Institute of Development Studies menentukan kriteria tentang penggolongan distribusi pendapatan, apakah

……….

……… (2.1)

……….……. (2.2)

……… … (i)

(36)

dalam keadaan ketimpangan yang parah, sedang, atau ringan. Kriteria tersebut menunjukkan bahwa:

a. Jika 40 persen penduduk suatu negara berpendapatan terendah menikmati sekitar kurang dari 12 persen jumlah pendapatan negara tersebut maka hal ini termasuk kedalam ketimpangan yang cukup tinggi atau yang dianggap parah.

b. Kelompok kedua adalah 40 persen dari jumlah penduduk yang berpendapatan terendah, tapi hanya menerima antara 12 sampai dengan 17 persen dari seluruh pendapatan negara. Golongan ini masih dapat dikatakan sebagai keadaan dengan ketimpangan yang sedang.

c. Jika golongan penduduk yang 40 persen tersebut memperoleh lebih dari 17 persen dari total pendapatan negaranya, maka ketimpangan dikatakan lunak, distribusi pendapatan dikatakan cukup merata.

4. Indeks Williamson

Indeks Williamson ini diperkenalkan oleh Jeffry G Williamson (1965), perhitungan nilai ini didasarkan pada coefficient of variation (CV) dan Williamson memodifikasi perhitungan ini dengan menimbangnya dengan proporsi penduduk wilayah. Berbeda halnya dengan gini coefficient yang memerlukan data yang cukup spesifik seperti jumlah rumah tangga untuk menghitung nilai distribusi pendapatan seluruh rumah tangga dalam suatu daerah Negara. Indeks Williamsons menggunakan data PDRB per kapita atas dasar harga konstan baik di tingkat propinsi maupun di tingkat kabupaten untuk dapat melihat ketimpangan distribusi pendapatan antar daerah dalam

(37)

sebuah wilayah. Semakin besar angka Indeks Williamson ini semakin besar pula tingkat ketimpangan yang terjadi. Indeks Williamson ini dapat dihitung dengan rumus (Tambunan, 2003):

……….… (2.3)

Dimana:

CVw = Indeks ketimpangan daerah Williamson fi = Jumlah penduduk di daerah ke-i (jiwa)

n = Penduduk total (jiwa)

= PDRB perkapita atas dasar harga konstan di daerah ke-i (rupiah) = PDRB perkapita atas dasar harga konstan untuk propinsi (rupiah)

2.3. Sektor Pertanian

2.3.1. Peranan Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi

Pada umumnya negara-negara berkembang seperti Indonesia adalah negara agraris. Sektor pertanian mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan negara-negara berkembang, sebahagian ahli ekonomi memandang sektor pertanian adalah sektor penunjang yang positif dalam pembangunan ekonomi pada negara itu.

Beberapa ahli telah mengemukakan pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Todaro (2003) yang mengemukakan pembangunan pertanian sebagai syarat mutlak bagi pembangunan nasional bagi khususnya di

(38)

negara dunia ketiga. Dia melihat sekitar dua per tiga dari bangsa yang miskin menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian, sebagian besar kelompok miskin tersebut bertempat tinggal di pedesaan.

Johnston dan Mellor (1961) dalam Jhingan (1990) menyebutkan bahwa peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi adalah:

1. Sumber utama penyediaan bahan makanan. 2. Sumber penghasilan dan pajak.

3. Sumber penghasilan devisa yang diperlukan untuk mengimpor modal, bahan baku, dan lain-lain.

4. Pasar dalam negeri untuk menampung hasil produksi industri pengolahan dan sektor bahan pertanian lainnya.

Daniel (2002) mengemukakan tiga alasan utama mengapa sektor pertanian perlu dibangun lebih dulu:

1. Barang-barang hasil industri memerlukan dukungan daya beli masyarakat. Umumnya pembeli barang-barang hasil industri sebagian besar berada dalam lingkungan sektor pertanian. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga memenuhi kebutuhan peralatan dan bahan untuk usaha di sektor pertanian diperlukan barang hasil industri. Oleh karena itu, masyarakat sektor pertanian harus ditingkatkan lebih dulu pendapatannya.

2. Untuk menekan ongkos produksi dari komponen upah dan gaji diperlukan tersedianya bahan-bahan makanan yang murah dan terjangkau, sehingga upah dan gaji yang diterima dapat dapakai untuk memenuhi kebutuhan pokok guru dan pegawai. Keadaan ini bisa tercipta bila produksi hasil pertanian terutama

(39)

pangan dapat ditingkatkan sehingga harganya lebih rendah dan terjangkau oleh daya beli.

3. Industri membutuhkan bahan baku yang berasal dari sektor pertanian, karena itu produksi bahan-bahan industri memberikan basis bagi pertumbuhan itu sendiri. Keadaan ini bisa tercipta sedemikian rupa sehingga merupakan suatu siklus dan kerja sama yang saling menguntungkan.

Di negara berkembang yang mengalami peningkatan laju pertumbuhan penduduk akibat kemerosotan yang tajam angka kematian dan penurunan yang lambat dalam tingkat kesuburan akan memerlukan permintaan bahan pangan yang lebih besar lagi. Kebutuhan pangan bagi masyarakat dapat tercapai dengan cara meningkatkan produktivitas pertanian sehingga dapat memperbesar output yang dihasilkan. Meningkatkan daya beli daerah pedesaan sebagai hasil perluasan output dan produktivitas pertanian akan cenderung menaikkan permintaan atas barang manufaktur dan memperluas ukuran pasar itu sendiri.

Selanjutnya permintaan seperti pupuk, peralatan yang lebih baik, traktor dan fasilitas irigasi di sektor pertanian akan mendorong perluasan sektor industri lebih jauh lagi. Selain itu, pada saat surplus pertanian akan diangkut ke daerah perkotaan dan barang manufaktur diangkat ke daerah pedesaan, sarana pengangkutan dan perhubungan akan berkembang. Dampak jangka panjang perluasan sektor sekunder dan tersier ini akan membentuk kenaikan keuntungan di sektor-sektor tersebut, apakah sektor tersebut dikelola oleh swasta ataupun pemerintah.

(40)

Tambahan devisa juga dapat dihasilkan oleh sektor pertanian. Meningkatnya produktivitas pertanian akan memacu peningkatan volume ekspor nasional, sehingga perolehan devisa meningkat. Dengan demkian surplus pertanian mendorong pembentukan modal jika barang-barang modal tersebut diimpor dengan menggunakan devisa dari hasil pertanian. Meningkatnya penerimaan pertanian menjadi jalan terbaik bagi pembentukan modal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memobilisasi pendapatan dari sektor pertanian melalui pajak hasil bumi, pajak tanah, pajak pendapatan hasil pertanian dan biaya-biaya lainnya. Terakhir, kenaikan pendapatan daerah pedesaan sebagai hasil surplus dari hasil pertanian cenderung memperbaiki kesejahteraan masyarakat daerah pedesaan, sehingga standar kehidupan sebahagian rakyat pedesaan meningkat.

Peranan sektor pertanian juga tercermin pada saat Indonesia dilanda krisis. Sektor ini terbukti mampu bertahan selama krisis dan dapat tetap menghasilkan devisa bagi Indonesia disaat sektor-sektor lain ikut terpuruk terbawa gejolak krisis moneter 1998. Depresiasi rupiah terhadap dollar yang cukup besar pada saat itu menyebabkan harga komoditi ekspor pertanian dalam rupiah pada saat itu melonjak sangat tinggi, sehingga mendorong peningkatan volume ekspor. Peningkatan volume ekspor tersebut juga karena produk-produk Indonesia dapat bersaing baik secara kompetitif maupun secara komparatif di pasar internasional (Daniel, 2002).

(41)

2.3.2. Pembangunan Pertanian dan Pemerataan Pendapatan

Menurut Soekartawi (2002), pembangunan pertanian pada dasarnya diarahkan untuk memenuhi keinginan yang ingin dicapai yaitu untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pertanian secara lebih merata. Pembangunan pertanian dilakukan dengan cara meningkatkan produksi, produktivitas tenaga kerja, tanah dan modal. Dengan usaha tersebut maka, partisipasi aktif petani dan masyarakat pedesaan dapat ditingkatkan, sehingga peningkatan tingkat produksi pertanian dapat dicapai secara efisien dan dinamis diikuti pembagian surplus ekonomi antar berbagai pelaku ekonomi secara lebih adil, serta pengembangan sistem agribisnis yang efisien.

Sektor pertanian menjadi prioritas utama karena ditinjau dari berbagai segi memang merupakan sektor yang cenderung dominan dalam ekonomi nasional. Pembangunan pertanian didorong dari segi penawaran dan dari segi fungsi produksi melalui penelitian-penelitian, pengembangan teknologi pertanian yang terus-menerus, pembangunan prasarana sosial dan ekonomi di pedesaan dan investasi-investasi oleh negara dalam jumlah besar. Pertanian kini dianggap sebagai sektor pemimpin “leading sector” yang diharapkan mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya (Mubyarto, 1989).

Secara konseptual maupun empiris sektor pertanian layak untuk menjadi sektor andalan ekonomi termasuk sebagai sektor andalan dalam pemerataan tingkat pendapatan masyarakat yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Dalam proses transformasi pembangunan juga mempunyai peran yaitu (Tripustika, 2005):

(42)

1. Kontribusi produk, yaitu sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan bagi pekerja di sektor industri, selain itu juga sebagai penyedia bahan baku industri.

2. Kontribusi pasar, yaitu rumah tangga di sektor pertanian adalah sasaran utama konsumsi output yang dihasilkan di sektor industri.

3. Kontribusi devisa, yaitu berperan sebagai penyumbang devisa atas ekspor barang-barang yang diproduksinya.

Menurut Mosher (1965) dalam Mubyarto (1989) ada lima syarat mutlak pembangunan pertanian yaitu:

1. Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha tani. 2. Teknologi yang senantiasa berkembang.

3. Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal. 4. Adanya perangsang produksi bagi petani.

5. Tersedianya pengangkutan yang lancar dan kontinu.

Di lain pihak, Siboro (2006) berpendapat sektor pertanian masih menghadapi berbagai kendala permasaalahan antara lain:

1. Peningkatan kemampuan petani dalam berbagai kegiatan produksi telah menimbulkan surplus produksi pada berbagai komoditi tetapi permintaannya masih terbatas.

2. Peningkatan mutu produksi yang masih lambat.

3. Tingkat produktivitas dan kontinuitas produksi yang masih rendah. 4. Munculnya tuntutan pelestarian lingkungan.

(43)

2.4. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai ketimpangan pendapatan untuk tingkat nasional pernah dilakukan oleh Uppal dan Handoko (1986) dalam Hendra (2004) dengan menggunakan formulasi Williamsons (CVw) untuk tahun 1976-1980. Uppal dan Handoko mengukur ketimpangan pendapatan di Indonesia dengan menggunakan PDRB di luar sektor pertambangan. Mereka menyimpulkan bahwa terdapat tendensi menurunnya tingkat ketimpangan pendapatan, pola pertumbuhan yang belum mengarah pada perbaikan ketimpangan dan faktor yang cenderung menurunkan ketimpangan dan faktor yang cenderung dapat menurunkan ketimpangan adalah anggaran belanja pemerintah pusat dan bantuan terhadap propinsi.

Tabel 2.1. Ketimpangan Pendapatan Antar Pulau

Tahun Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya 1984 0,2460 0,5680 0,4381 0,0522 0,3435 1985 0,2459 0,5377 0,4629 0,0408 0,3582 1986 0,2470 0,5177 0,4420 0,0423 0,3780 1987 0,2460 0,5120 0,4710 0,0390 0,3324 1988 0,2521 0,5054 0,4595 0,0460 0,4129 1989 0,2157 0,6209 0,4681 0,0508 0,4183 1990 0,1931 0,6034 0,4516 0,0515 0,4086 1991 0,1814 0,6041 0,4448 0,0580 0,4507 1992 0,1860 0,6108 0,4502 0,0591 0,4550 1993 0,1883 0,6158 0,4404 0,0632 0,4775 Sumber: Tadjoedin (1996) dalam Hendra (2004)

Tadjoedin (1996) juga mengukur besarnya ketimpangan antar pulau dengan hasil yang menunjukkan bahwa pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian (Pulau Sumatera) mempunyai tingkat ketimpangan yang

(44)

relatif kecil dibandingkan dengan pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri (Pulau Jawa). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tidak berada pada posisi dikotomis dengan pemerataan.

Tabel 2.2. Indeks Ketimpangan Pendapatan Indonesia

Tahun

Di Luar Migas

Sjafrizal U & H Tadjoedin Tadjoedin, et al

1971 0,369 1972 0,406 1973 0,415 1974 0,483 1975 0,462 1976 0,4631 0,415 1977 0,4609 0,396 1978 0,4344 0,429 1979 0,5240 0,417 1980 0,4433 0,425 1981 0,445 1982 0,438 1983 0,498 1984 0,4875 0,515 1985 0,4714 0,494 1986 0,4600 0,474 1987 0,4567 0,471 1988 0,4609 0,465 1989 0,5632 0,493 1990 0,5385 0,484 1991 0,5392 0,536 1992 0,5442 0,535 1993 0,5489 0,923 0,544 1994 0,938 0,643 1995 0,962 0,653 1996 0,966 0,654 1997 0,982 0,671 1998 0,965 0,605

Sumber: Uppal dan Handoko (1986), Tadjoedin (1996), dan Tadjoedin et al (2001) dalam Hendra (2004)

(45)

Begitu juga dengan Tadjoedin (1996) dalam Hendra (2004) yang juga mengukur ketimpangan pendapatan nasional dengan menggunakan konsep pengukuran yang sama, hanya saja dilakukan pengukuran untuk tahun 1984-1993. Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan selama periode analisis. Tadjoedin, et al, (2001) melakukan penelitian untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan nasional untuk tahun 1993-1998. Ketimpangan dihitung dengan menggunakan PDRB perkapita menurut kabupaten/kota yang ada di Indonesia berdasarkan harga konstan 1993. Hasil yang diperoleh menunjukkan tingkat ketimpangan semakin meningkat.

Sjafrizal (2000) dalam Tambunan (2003), menganalisis ketimpangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan memakai PDRB tahun 1971-1998. Dengan menggunakan formulasi yang sama, hasil yang diperoleh menunjukkan adanya tendensi peningkatan ketimpangan ekonomi antar propinsi di Indonesia sejak awal 1970-an.

Hendra (2004) melakukan penelitian tentang peranan sektor pertanian dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar daerah di Propinsi Lampung. Dengan menggunakan Indeks Williamson, Hendra menganalisis ketimpangan daerah Lampung pada tahun 1995-2001. Untuk melihat peranan sektor pertanian, dia membandingkan besarnya ketimpangan pendapatan daerah dengan dan tanpa memasukkan PDRB sektor pertanian dalam perhitungan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketimpangan semakin meningkat jika sektor pertanian dikeluarkan dari perhitungan. Hendra juga melakukan analisis korelasi, sehingga didapat hubungan negatif yang kuat antara kontribusi pertanian dan Indeks

(46)

Ketimpangan, yang berarti peningkatan produktivitas pertanian akan menurunkan ketimpangan pendapatan yang terjadi.

Tabel 2.3. Indeks Ketimpangan Pendapatan Daerah di Propinsi Lampung Tahun 1995-2001 Tahun CVw Persentase Penurunan Ketimpangan Pendapatan Daerah (%) Tanpa PDRBSektor Pertanian Dengan PDRB Sektor Pertanian 1995 0,8373 0,4404 47,4 1996 0,8380 0,4499 46,3 1997 0,8391 0,4846 42,2 1998 0,8369 0,4426 47,1 1999 0,7951 0,4207 47,1 2000 0,7793 0,4160 46,6 2001 0,7680 0,4068 47,0 Sumber: Hendra (2004)

Nugroho (2004) melakukan penelitian dengan judul “Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat”. Dengan menggunakan alat analisis Indeks Williamson, ternyata pertumbuhan ekonomi daerah yang memiliki wilayah pesisir di bagian selatan Jawa Barat sebagian besar digerakkan oleh basis pertanian. Sebelum krisis, antara tahun 1993-1996 rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah yang memiliki wilayah pesisir selatan Jawa Barat sebesar 6,93 persen, bagian utara Jawa Barat selama krisis 1997-2000 pertumbuhannya lebih lambat yaitu -1,38 persen dibandingkan bagian barat Jawa Barat yaitu -0,35 persen. Hal ini menunjukkan perekonomian yang berbasis pertanian lebih tahan menghadapi krisis. Ketimpangan Pembangunan antar kecamatan tertinggi terdapat di Kabupaten Ciamis yaitu 1,54. Sementara

(47)

ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Garut, Subang, dan Karawang relatif sama yaitu 1,00. Ditemukan bahwa ketimpangan pembangunan sebagian besar berasal dari kecamatan-kecamatan non pesisir.

Kristiyanti (2007) menganalisis sektor basis perekonomian dan peranannya dalam mengurangi ketimpangan pendapatan antar kabupaten/kota di propinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2005. Berdasarkan perhitungan, sektor pertanian merupakan salah satu sektor basis Propinsi Jawa Timur pada tahun 2004-2005. Ketimpangan pendapatan di propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan yang sangat tinggi karena menunjukkan angka Indeks Williamson yang lebih besar dari satu, besar nilai ketimpangan pada periode 2001-2005 berturut-turut yaitu: 1,1150; 1,1008; 1,1015; 1,1104; dan 1,0915. Hal ini mengindikasikan upaya pemerintah Jawa Timur untuk menciptakan pemerataan belum optimal. Sektor basis yang memiliki peranan terbesar dalam mengurangi tingkat ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur adalah sektor pertanian dengan rata-rata sebesar 19 persen. Sektor Industri pengolahan dan sektor perdagangan justru memberikan dampak negatif bagi ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata sebesar 45 persen selama periode analisis.

Fitria (2006), menganalisis tentang kesenjangan antar kabupaten/kota di pulau Jawa pada periode 1993-2004. Dengan menggunakan Indeks Williamson, diperoleh bahwa kesenjangan (ketimpangan) sebelum krisis selama periode 1993-1998 memburuk. Pada tahun 1993 kesenjangan antar kabupaten kota sebesar 0,991 sedangkan pada tahun 1998 menjadi 0,9924. Akan tetapi setelah krisis

(48)

keenjangan membaik, tahun 2004 kesenjangan kembali menyentuh angka 0,991. Tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak terjadi. Dengan menganggap pendidikan pendidikan mempengaruhi konvergensi pendapatan, maka tingkat konvergensi antar kabupaten/kota di pulau Jawa selama periode 1993-2004 tidak terjadi dan tidak signifikan.

Soetopo (2009) menganalisis ketimpangan pendapatan yang terjadi antar pulau di Indonesia pada periode 1996-2006. Dengan menggunakan Indeks Williamson, enam pulau tergolong dalam taraf ketimpangan yang rendah dengan nilai Indeks Ketimpangan antara 0,210 sampai 0,261. Untuk ketimpangan yang terjadi di dalam setiap pulau yang terdiri dari propinsi-propinsi yang berada pada taraf ketimpangan yang tinggi untuk Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Irian yaitu antara 0,521 - 0,966, pada Pulau Sulawesi taraf ketimpangannya relatif rendah yaitu antara 0,050 - 0,109, sedangkan untuk pulau Bali taraf ketimpangannya sedang yaitu antara 0,379 - 0,498.

Penelitian-penelitian sebelumnya sudah menghitung Indeks ketimpangan Indonesia antar pulau, Indeks ketimpangan Indonesia antara KBI dan KTI, Indeks Ketimpangan propinsi Jawa Timur, serta Indeks Ketimpangan propinsi Lampung. Belum ada penelitian yang meneliti Indeks Ketimpangan di Pemerintah Aceh pada periode 2000-2007. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini mengambil judul “Peranan Sektor Pertanian dalam Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi Ketimpangan Pendapatan di Pemerintah Aceh”.

(49)

2.5. Kerangka Pemikiran

Tingkat keberhasilan suatu negara dapat dilihat dari seberapa besar tingkat pertumbuhan ekonominya. Penerapan strategi pembangunan nasional yang hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata menimbulkan masalah pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan itu sendiri. Ketimpangan itu sendiri penyebabnya adalah pada awal pertumbuhan negara-negara yang sedang berkembang selalu dipusatkan pada peningkatan sektor modern yang cenderung sedikit dalam menyerap tenaga kerja. Sektor tradisional (pertanian) yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar selama ini seolah-olah terlupakan, sehingga sektor modern lebih cepat berkembang. Peningkatan yang cepat pada sektor modern menyebabkan kesenjangan antara sektor modern dan sektor tradisional sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan. Untuk menanggulangi hal diatas perlu adanya strategi baru bagi pemerintah agar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan.

Pada awal masa pemerintahan orde baru, pembangunan ekonomi dipusatkan hanya pada Pulau Jawa, dan hanya pada sektor-sektor tertentu saja dengan harapan akan terjadi efek penetesan kebawah (trickle down effect), sehingga sektor-sektor lainnya akan ikut meningkat. Akan tetapi efek penetesan kebawah yang diharapkan tidak terjadi, bahkan timbul masalah baru. Pemusatan pembangunan ekonomi berakibat pada terjadinya ketimpangan pendapatan. Pemerintah sebaiknya melakukan pembangunan secara lebih merata.

(50)

Kemiskinan di derah Pemerintah Aceh yang cukup tinggi, tapi memiliki PDRB perkapita yang besar, sehingga memperkuat anggapan bahwa telah terjadi ketimpangan. Sektor pertanian menjadi sektor unggulan di daerah Pemerintah Aceh. Sumbangan sektor pertanian tergolong cukup besar. Sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian masyarakat Aceh yang sebahagian besar tergolong menengah kebawah diharapkan dapat mengurangi masalah ketimpangan pendapatan antar daerah di Pemerintah Aceh. Dengan berkembangnya sektor pertanian akan mampu mendorong berkembangnya sektor perekonomian yang lain sehinggga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Peningkatan produktivitas di sektor pertanian akan meningkatkan pendapatan masyarakat menengah kebawah yang bekerja pada sektor pertanian. Peningkatan pendapatan ini akan meningkatkan taraf hidup masyarakat pada sektor pertanian yang jumlahnya cukup besar. Semakin banyak masyarakat yang tertarik pada sektor pertanian, semakin berkembang sektor pertanian, sehingga “range” PDRB perkapita antar daerah yang didominasi oleh sektor pertanian dan daerah yang di dominasi oleh sektor non pertanian semakin sempit. Pada akhirnya ketimpangan pendapatan daerah semakin kecil.

(51)

Indeks Williamsons Analisis Korelasi Indeks Ketimpangan dengan mengikutserta kan PDRB sektor pertanian Indeks Ketimpangan tanpa mengikutserta kan PDRB sektor pertanian Hubungan antara PDRB sektor pertanian dan PDRB per kapita Hubungan antara Indeks Ketimpangan dan PDRB sektor pertanian Dinamika Ketimpangan Implikasi Kebijakan Uji beda statistik

Peranan Sektor Pertanian

Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Pemerintah Aceh

Ketimpangan

keterangan

= alur penelitian

= ruang lingkup analisis penelitian

Gambar

Tabel 1.1.  Indeks Ketimpangan Williamsons Indonesia Tahun 2000-2007
Tabel 1.2.  PDRB  Sektoral  Pemerintah  Aceh  Atas  Dasar  Harga  Konstan  2000,  Tahun 2006-2007
Tabel 1.3.  Persentase  Penduduk  Pemerintah  Aceh  Berumur  15  Tahun  Keatas  yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaaan Tahun 2006-2007
Tabel 1.4.  Laju  Pertumbuhan  Ekonomi  Sektoral  Pemerintah  Aceh  Tahun  2006- 2006-2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

cakap buah tutur; -- catur anak catur spt bidak, kuda, gajah, dan benteng; -- congklak biji-bijian (kulit lokan dsb) yg dipakai dl permainan congklak; -- dacing batu (anak)

Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan,

Di Kota Palu, tingkat partisipasi masyarakat yang mengumpulkan tinjanya lebih banyak dibandingkan di Kabupaten Donggala, sehingga memungkinkan lebih banyak masyarakat

18 Anak saya menolak diperiksa perawat 19 Saya tidak perlu membujuk anak saya agar diam selama dipasang termometer 20 Anak saya selalu merengek minta. infusnya

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Perdana Menteri Kamboja dalam salah satu wawancara tertulis portal berita Xinhua bahwa motivasi utama ASEAN dalam ACFTA adalah untuk

Matematika telah banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan ilmu pengetahan maupun teknologi. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern

Berdasarkan data hasil Penelitian Tindakan Kelas tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa melalui media kartu angka bergambar dapat meningkatkan kemampuan mengenal lambang

attachment remaja terhadap orang tua (ibu dan ayah) serta teman sebaya dan seberapa tinggi regulasi emosi remaja sekarang ini khususnya di SMA. Yayasan