• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakekat Matematika

Pada masa sekarang ini matematika memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini disebabkan hampir semua ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan matematika. Matematika merupakan sarana untuk menanamkan kebiasaan menggunakan penalaran dalam pola pikir seseorang.

Begitu pentingnya matematika maka matematika diajarkan hampir di semua jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Dimana matematika itu terdiri dari matematika secara umum dan matematika sekolah. Oleh sebab itu, dibutuhkan matematika sekolah dalam pembelajaran matematika di sekolah. Adapun pengertian tentang matematika dan matematika sekolah adalah :

a. Pengertian Matematika

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 723) matematika diartikan sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan. Dari pengertian ini, matematika hanya dipandang berdasarkan salah satu objeknya, yaitu bilangan.

Matematika merupakan suatu ilmu yang mempelajari tentang pola keteraturan (Herman Hudojo, 1988: 75). Karena itu siswa-siswa belajar matematika berarti siswa-siswa mempelajari suatu ilmu tentang pola keteraturan. Banyak pola keteraturan yang dipelajari siswa, apabila siswa mempelajari matematika. Satu demi satu pola keteraturan tersebut akan diperoleh siswa dan dipelajarinya, ketika siswa mempelajari matematika. Seperti halnya dalam kehidupan, pola keteraturan yang dipelajari siswa dalam pelajaran matematika berkaitan dengan objek-objek matematika.

(2)

commit to user

Menurut Crowley (1987: 108), objek-objek dalam pelajaran matematika meliputi objek-objek langsung dan objek-objek tak-langsung. Objek-objek langsung dalam pelajaran matematika meliputi fakta-fakta, konsep-konsep, operasi-operasi (skills), dan prinsip-prinsip. Sedangkan objek-objek tak-langsung dalam pelajaran matematika dapat berupa transfer belajar, kemampuan penemuan, kemampuan problem-solving, kedisplinan diri, dan apresiasi pada struktur matematika. Sedangkan menurut Ruseffendi (2006), objek yang terkait langsung dengan aktifitas belajar matematika meliputi fakta, keterampilan, konsep, dan aturan/prinsip. Keempat objek langsung ini dapat dibedakan antara satu dengan lainnya secara jelas karena masing-masing objek langsung tersebut dapat didefinisi secara jelas

Selain itu, matematika adalah ilmu tentang pola dan urutan (dalam Murdanu, 1998: 13). Definisi ini menantang pandangan populer masyarakat terhadap matematika sebagai ilmu yang didominasi oleh perhitungan dan tanpa alasan-alasan. Menemukan dan mengungkap keteraturan atau urutan ini dan kemudian memberikan arti merupakan makna dari mengerjakan matematika. Di sisi lain, R. Soedjadi (2000: 11) menyajikan beberapa definisi atau pengertian mengenai matematika yang didasarkan pada sudut pandang pembuatnya.

1) Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik.

2) Matematika adalah pengertian tentang bilangan dan kalkulasi.

3) Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan.

4) Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk.

5) Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik. 6) Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Ada 6 (enam) karakteristik matematika menurut Soedjadi (2000: 12), yaitu: 1) Memiliki objek kajian abstrak

Objek dasar yang dipelajari dalam matematika adalah abstrak. Objek ini meliputi:

(3)

commit to user

a) Fakta berupa konvensi-konvensi yang diungkap dengan symbol tertentu, b) Konsep merupakan ide abstrak yang dapat digunakan untuk

mengelompokkan atau mengklasifikasikan sekumpulan objek,

c) Operasi ataupun relasi adalah pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar dan pengerjaan matematika lain, dan

d) Prinsip adalah objek matematika yang kompleks, dapat terdiri dari beberapa fakta, beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi ataupun operasi.

2) Bertumpu pada kesepakatan

Kesepakatan dalam matematika yang mendasar adalah aksioma dan konsep primitif.

3) Berpola pikir deduktif

Matematika hanya menerima pola pikir deduktif. Secara sederhana, pola pikir deduktif adalah pemikiran yang berpangkal dari hal yang bersifat umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus.

4) Memiliki simbol yang kosong dari arti

Rangkaian simbol-simbol dalam matematika dapat membentuk suatu model matematika. Makna huruf dan tanda tergantung dari permasalahan yang mengakibatkan terbentuknya suatu model.

5) Memperhatikan semesta pembicaraan

Sehubungan dengan kosongnya arti dari simbol menunjukkan bahwa dalam menggunakan matematika diperlukan kejelasan dalam lingkup apa model dipakai. Lingkup pembicaraan inilah yang disebut semesta pembicaraan. Benar atau salah, ataupun ada tidaknya penyelesaian suatu model matematika tergantung pada semesta pembicaraannya.

6) Konsisten dalam sistemnya

Dalam matematika terdapat banyak sistem dimana didalam masing-masing sistem dan strukturnya terdapat ketaat-azasan atau konsistensi. Dalam setiap sistem dan strukturnya tidak boleh terdapat kontradiksi.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak yang mempelajari tentang bilangan, kalkulasi,

(4)

commit to user

penalaran logis, fakta-fakta kuantitatif, masalah ruang dan bentuk, aturan-aturan yang ketat dan teratur serta tentang struktur yang terorganisasi dan didasarkan pada generalisasi induktif.

b. Matematika Sekolah

Menurut Soedjadi (2000: 37), mengungkapkan bahwa matematika sekolah adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan dan perkembangan IPTEK. Matematika sekolah tidak sepenuhnya sama dengan matematika sebagai ilmu. Dikatakan demikian karena:

1) Penyajian atau pengungkapan butir-butir matematika yang disampaikan disesuaikan dengan perkiraan perkembangan intelektual siswa.

2) Dalam proses pembelajaran dapat digunakan pola pikir induktif, meskipun pada akhirnya siswa diharapkan dapat berpikir deduktif. Pola pikir induktif yang digunakan dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa.

3) Katerbatasan semesta, dimana pengertian semesta pembicaraan tetap diperhatikan namun sering kali dipersempit.

4) Sifat abstrak objek matematika tetap ada, tetapi kadarnya lebih rendah.

Terkait dengan pendidikan di sekolah maka ada empat pilar pendidikan yang dikemukakan oleh UNESCO (dalam Depdiknas, 2007: 3), yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Impelementasi dalam pembelajaran matematika terlihat dalam pembelajaran dan penilaian yang sifatnya learning to know (fakta, skills, konsep, dan prinsip), learning to do (doing mathematics), learning to be (enjoy mathematics), dan learning to live together (cooperative learning in mathematics).

Sebagai bentuk penerapan keempat pilar ini, telah dikeluarkan Permen No 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) (dalam Depdiknas, 2007:4). Adapun SKL untuk mata pelajaran matematika adalah:

1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

(5)

commit to user

2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Dengan demikian pengembangan kurikulum matematika di tingkat satuan pendidikan harus relevan dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Terkait dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk mata pelajaran matematika khususnya pada poin ketiga yaitu memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Untuk bisa memenuhi Standar Kompetensi Lulusan (SKL) pada poin ketiga tersebut dibutuhkan pemahaman yang baik dalam materi dan keterampilan-keterampilan dasar dalam memecahkan masalah geometri. Untuk itu peneliti akan melakukan penelitian tentang analisis keterampilan dasar siswa dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele, sehingga dibutuhkan pengertian dan pembatasan tentang keterampilan dasar dalam memecahkan masalah.

2. Geometri

Geometri berasal dari kata latin “geometria”, geo yang berarti tanah dan metria yang berarti pengukuran. Menurut sejarahnya geometri mulai tumbuh sejak jauh sebelum masehi, karena keperluan pengukuran tanah setiap kali setelah sungai Nil di Mesir banjir. Geometri dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai ilmu ukur. Menurut KBBI (dalam Depdiknas, 2007: 355) geometri

(6)

commit to user

merupakan salah satu cabang matematika yang mempelajari tentang titik, garis, bidang, dan benda-benda ruang beserta sifat-sifatnya, ukuran-ukurannya, dan hubungan yang satu dengan yang lain. Sedangkan menurut Haryono (1991), obyek yang dibicarakan dalam geometri adalah benda pikir yang berasal dari benda nyata setelah diabstraksikan dan diidealkan. Diabstraksikan berarti bahwa benda geometri tersebut tidak diperhatikan warnanya, suhunya, baunya dan lain-lain. Karena obyeknya bukan benda nyata, maka cara mempelajari geometri bukan semata-mata didasarkan pada ketajaman indera, melainkan lebih ditekankan pada pemecahan lewat daya pikir atau logika dan penalaran.

Menurut William F. Burger dan Barbara Culpepper (dalam Wilson, 1993: 140) menyatakan bahwa geometri menempati tempat yang spesial dalam kurikulum matematika karena bervariasinya konsep-konsep geometri. Oleh karena itu, tampak bahwa materi geometri penting dipelajari di sekolah karena konsep geometri itu bervariasi seperti bentuk dan ukuran serta sistem geometri berkaitan dengan berpikir numerik sebagai dasar untuk matematika.

Untuk itu geometri menempati posisi yang penting untuk dipelajari. Van de Walle (2001: 309) mengungkap lima alasan mengapa geometri sangat penting untuk dipelajari. Pertama, geometri membantu manusia memiliki apresiasi yang utuh tentang dunianya, geometri dapat dijumpai dalam system tata surya, formasi geologi, kristal, tumbuhan dan tanaman, binatang sampai pada karya seni arsitektur dan hasil kerja mesin. Kedua, eksplorasi geometrik dapat membantu mengembangkan keterampilan pemecahan masalah. Ketiga, geometri memainkan peranan utama dalam bidang matematika lainnya. Keempat, geometri digunakan oleh banyak orang dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kelima, geometri penuh dengan tantangan dan menarik.

Geometri sebagai salah satu bidang kajian dalam materi matematika sekolah memperoleh porsi yang besar untuk dipelajari oleh siswa di sekolah. Dari distribusi bidang kajian materi matematika sekolah menengah pertama diketahui bahwa 41% bidang kajian mengenai geometrid an pengukuran. Adapun materi geometri yang harus dikuasai siswa sesuai standar isi yang memuat standar kompetensi dan kompetensi dasar meliputi : hubungan antar garis, sudut (melukis

(7)

commit to user

sudut dan membagi sudut), segitiga (termasuk melukis segitiga) dan segi empat, teorema Pythagoras, lingkaran (garis singgung sekutu, lingkaran luar dan lingkaran dalam segitiga, dan melukisnya), kubus, balok, prisma, limas, dan jaring-jaringnya, kesebangunan dan kongruensi, tabung, kerucut, bola serta menggunakannya dalam pemecahan masalah.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (dalam Siregih Sehatta, 2002: 9) menyatakan bahwa secara umum kemampuan geometri yang harus dimiliki siswa adalah: 1) Mampu menganalisis karakter dan sifat dari bentuk geometri baik 2D dan 3D; dan mampu membangun argumen-argumen matematika mengenai hubungan geometri dengan yang lainnya; 2) Mampu menentukan kedudukan suatu titik dengan lebih spesifik dan gambaran hubungan spasial dengan system yang lain; 3) Aplikasi transformasi dan menggunakannya secara simetris untuk menganalisis situasi matematika; 4) Menggunakan visualisasi, penalaran spasial, dan model geometri untuk memecahkan permasalahan. Untuk itu NCTM (dalam Siregih Sehatta, 2002: 18) menganjurkan agar dalam pembelajaran geometri siswa dapat menvisualisasikan, menggambarkan, serta memperbandingkan bangun-bangun geometri dalam berbagai posisi, sehingga siswa dapat memahaminya.

Tujuan pembelajaran geometri secara umum adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan (keterampilan) matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara matematis, dan dapat bernalar secara matematis.

3. Pemecahan Masalah a. Pengertian Masalah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Depdiknas, 2007), masalah ialah keadaan suatu hal atau peristiwa yang harus diganti dengan suatu cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Menurut Tennysen (dalam Wasis, 1999) masalah adalah suatu keadaan dimana pengetahuan yang tersimpan di dalam memori untuk melakukan suatu tugas pemecahan belum siap pakai. Dengan kata lain, tugas pemecahan masalah itu baru meskipun pengetahuan yang telah

(8)

commit to user

dimiliki dapat digunakan untuk memecahkan. Ellen D. Gagne (1985) menyebut masalah sebagai ada tujuan tetapi belum diidentifikasi cara mencapainya. Dari dua pengertian masalah di atas, memberikan arti bahwa suatu masalah sesungguhnya mengundang kita untuk berpikir dan bertindak. Karena kita berada pada situasi persoalan yang tidak dengan segera memperoleh jawabannya. Artinya terdapat kesenjangan antara kenyataan yang ada dengan bagaimana seharusnya.

Lebih lanjut Murdanu (1998) menyatakan bahwa masalah adalah situasi yang masih kabur, bagaimana menjebatani adanya kesenjangan antara dimana kita berada dan kemana kita menuju. Sedangkan menurut Cooney (dalam Fajar Shadiq, 2009: 4) menyatakan bahwa:“…a question to be a problem, it must present a challenge that can not be resolved by some routin procedure known to the student”. Maksudnya adalah suatu pertanyaan akan menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dengan suatu prosedur rutin yang sudah diketahui orang yang memecahkan masalah. Ini berarti tidak semua pertanyaan merupakan masalah. Jadi, termuatnya “tantangan” serta “belum diketahuinya prosedur rutin” pada suatu pertanyaan yang akan diberikan kepada siswa akan menentukan terkategorikan tidaknya suatu pertanyaan menjadi “masalah”. Polya (1973: 117) mengemukakan bahwa suatu masalah berarti mencari dengan sadar beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang jelas, tetapi tujuan tidak dapat segera dicapai. Selanjutnya Polya (1988) mengklarifikasikan bahwa di dalam belajar matematika terdapat dua macam masalah, yakni: (1) masalah menemukan (problem to find); (2) masalah membuktikan (problem to prove).

Dengan demikian dapat disimpulkan masalah adalah suatu keadaan yang masih kabur dan merupakan suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan dimana terjadi kesenjangan antara tujuan yang ingin diselesaikan sehingga berusaha mencari dengan sadar beberapa tindakan yang tepat untuk mencapai suatu tujuan yang jelas, tetapi tujuan tidak dapat segera dicapai maka untuk itu digunakan pengetahuan siap pakai yang dimiliki. Pengetahuan siap pakai yang dimaksud adalah pengetahuan yang ada di dalam ingatan untuk segera dipakai untuk menyelesaikan masalah, tanpa harus mengorganisasikan terlebih dahulu.

(9)

commit to user b. Pengertian Pemecahan Masalah

Pemecahan masalah secara sederhana adalah proses penerimaan masalah sebagai tantangan untuk memecahkannya. Pemecahan masalah dalam interprestasi proses diperlukan strategi atau tahap-tahap pemecahan masalah. Sejumlah pakar

mengemukakan tentang pemecahan masalah. Menurut Polya (1973)

mendefinisikan bahwa pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan mudah dapat dicapai. Jenis belajar ini merupakan suatu proses psikologi yang melibatkan tidak hanya sekedar aplikasi dalil-dalil atau hukum-hukum atau teorema-teorema yang dipelajari, melainkan juga harus didasarkan atas struktur kognitif siswa agar masalah yang bermakna dapat dipecahkan. suatu tantangan yang tidak dapat dipecahkan.

Selanjutnya Cooney (dalam Fajar Shadiq, 2009: 23) mengemukakan bahwa pemecahan masalah adalah proses penerimaan masalah dan berusaha menyelesaikannya. Dalam pemecahan masalah bukan hanya menggunakan dan mengaplikasikan konsep, definisi, teorema-teorema yang telah dipelajari tetapi memerlukan aspek-aspek lain seperti penalaran, analisis, dan sintesa. Dalam pemecahan masalah siswa didorong dan diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berinisiatif dan berpikir sistematis dalam menghadapi suatu masalah dengan menerapkan pengetahuan yang didapat sebelumnya.

Sedangkan menurut Crowley (1987: 116) pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan tingkat tinggi dari proses mental seseorang untuk menemukan pemecahan dari suatu masalah.

Pemecahan masalah didefinisikan sebagai kombinasi dari gagasan yang cemerlang untuk membentuk kombinasi gagasan yang baru. Ia mementingkan penalaran sebagai dasar untuk mengkombinasikan gagasan dan mengarahkan kepada penyelesaian masalah. Ditambahkan pula bahwa, seseorang yang telah banyak pengalaman untuk bidang tertentu selalu memiliki respon yang siap dalam situasi untuk memecahkan masalah.

Berdasarkan dari pendapat-pendapat di atas maka pemecahan masalah dapat diartikan sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai

(10)

commit to user

tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai dan merupakan kombinasi dari gagasan yang cemerlang untuk membentuk kombinasi gagasan yang baru. Dalam pemecahan masalah bukan hanya menggunakan dan mengaplikasikan konsep, definisi, teorema-teorema yang telah dipelajari tetapi memerlukan aspek-aspek lain seperti penalaran, analisis, dan sintesa.

Berkenaan dengan objek belajar matematika, menurut Gagne (dalam Ruseffendi, 2006: 172) memandang kemampuan pemecahan masalah sebagai objek tak langsung dalam belajar matematika, dimana objek belajar matematika terdiri atas dua macam, yaitu objek langsung dan objek tak langsung. Objek yang terkait langsung dengan aktifitas belajar matematika meliputi fakta, keterampilan, konsep, dan aturan/prinsip. Keempat objek langsung ini dapat dibedakan antara satu dengan lainnya secara jelas karena masing-masing objek langsung tersebut dapat didefinisi secara jelas. Sedangkan objek tidak langsung belajar matematika meliputi kemampuan pemecahan masalah, kemampuan inkuiri, kemandirian, sikap positif, dan tahu bagaimana semestinya belajar (learning to learn).

Untuk tujuan terjadinya proses pemecahan masalah dalam kegiatan belajar diperlukan adanya soal-soal yang memenuhi kriteria soal pemecahan masalah. Sebagai pedoman penyusunan soal pemecahan masalah, Fung dan Roland (2004) memberikan beberapa karakteristik suatu masalah. Menurut Fung dan Roland masalah matematika yang baik bagi siswa sekolah hendaknya memenuhi kriteria berikut:

1) Masalah hendaknya memerlukan lebih dari satu langkah dalam menyelesaikannya.

2) Masalah hendaknya dapat diselesaikan dengan lebih dari satu cara/metode; 3) Masalah hendaknya menggunakan bahasa yang jelas dan tidak menimbulkan

salah tafsir;

4) Masalah hendaknya menarik (menantang) serta relevan dengan kehidupan siswa; dan

5) Masalah hendaknya mengandung nilai (konsep) matematik yang nyata sehingga masalah tersebut dapat meningkatkan pemahaman dan memperluas pengetahuan matematika siswa.

(11)

commit to user

Selanjutnya, menurut Polya (dalam Ruseffendi, 1988: 177) mengemukakan bahwa ada empat langkah dalam menyelesaikan masalah yaitu:

1) Memahami masalah

Pada kegiatan ini hal yang dilakukan adalah merumuskan: apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi cukup, kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).

2) Merencanakan pemecahannya

Kegiatan yang dilakukan pada langkah ini adalah mencoba mencari atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki kemiripan dengan sifat yang akan dipecahkan, mencari pola atau aturan , menyusun prosedur penyelesaian.

3) Melaksanakan rencana

Kegiatan pada langkah ini adalah menjalankan prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan penyelesaian.

4) Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian

Kegiatan pada langkah ini adalah menganalis dan mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh benar, apakah ada prosedur lain yang lebih efektif , apakah prosedur yang dibuat dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah sejenis, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.

Berdasarkan pendapat di atas yang dimaksud pemecahan masalah adalah suatu proses pemecahan masalah yang dimulai dengan memahami masalah, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian. Tetapi pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian ini bukan seperti yang dijelaskan oleh Polya yang terdiri dari empat tahap, melainkan pemecahan masalah yang menggunakan keterampilan khusus yaitu keterampilan geometri dalam melaksanakan rencana dalam pemecahan masalah. Jadi dalam penelitian ini peneliti lebih melihat bagaimana siswa menggunakan keterampilan dalam memecahkan masalah yang diberikan.

(12)

commit to user

4. Keterampilan Geometri dalam Memecahkan Masalah Geometri Berdasarkan Tingkat (Level) Berpikir van Hiele

Pada bagian ini akan dijelaskan terlebih dahulu teori terkait dengan keterampilan geometri menurut Hoffer (1981) yang terdiri dari lima keterampilan dan teori tentang tingkat berpikir van Hiele yang terdiri dari lima tingkat. Setelah itu baru dijelaskan tentang keterampilan geometri dalam memecahkan masalah berdasarkan tingkat berpikir van Hiele.

a. Keterampilan Geometri dalam Memecahkan Masalah Geometri

Menurut Hoffer (1981), keterampilan geometri dalam memecahkan masalah geometri merupakan prasyarat untuk mempelajari konsep-konsep dalam geometri khususnya pada materi bangun datar. Hoffer juga mengemukakan bahwa ada lima keterampilan geometri dalam memecahkan masalah geometri, yaitu: 1) Keterampilan Visual (Visual Skill)

Hoffer (1981: 11) memberikan penjelasan tentang keterampilan visual seperti di bawah ini:

“Visual skill, including the ability to: recognize various plane and space figures; observe parts of a given figure and their interrelations; identify centres, axes, and planes of symmetry of given figure; classify given figures by their observable characteristic; deduce further information from visual observations; and visualize the geometric representations (models), or counter-example, which are implied by given data in a given deductive mathematical system.”

Kutipan di atas dapat diartikan bahwa keterampilan visual adalah yaitu meliputi kemampuan untuk mengenal bermacam-macam bangun datar dan ruang, mengamati bagian-bagian dari sebuah bangun dan keterkaitan bagian satu dengan bagian yang lain, menunjukkan pusat simetri, sumbu simetri, dan bidang simetri dari sebuah gambar bangun, mengklasifikasikan bangun-bangun geometri menurut ciri-ciri yang teramati, menyimpulkan informasi lanjut berdasarkan pengamatan visual, dan memvisualisasikan model geometri, atau contoh-contoh penangkal yang dinyatakan secara implisit oleh data dalam suatu sistem matematika deduktif.

(13)

commit to user

2) Keterampilan Verbal (Deskriptive Skill)

Hoffer (1981: 12) mengemukakan penjelasan terkait keterampilan verbal sebagai berikut:

“Verbal skills, including the ability to: identify various figures by name; visualize figures from verbal descriptions of them; describe given figures and their properties; formulate proper definitions of the words used; describe relationships among given figures, recognize the logical structure of verbal problems; and formulate statements of generalization and of abstractions.”

Kutipan di atas dapat diartikan bahwa keterampilan verbal, meliputi kemampuan untuk menunjukkan bermacam-macam bangun geometri menurut namanya. Memvisualisasikan bangun geometri menurut deskripsi verbalnya, mengungkapkan bangun geometri dan sifat-sifatnya, merumuskan definisi dengan tepat dan benar, mengungkapkan hubungan antar bangun, mengenali struktur logis dari masalah verbal, dan merumuskan pernyataan generalisasi dan abstraksi.

3) Keterampilan Menggambar (Drawing Skill)

Hoffer (1981: 12) memberikan penjelasan tentang keterampilan menggambar seperti di bawah ini:

“Drawing skills, including the ability to: sketch given figure and label spesified points; sketch figure from their verbal descriptions; draw or construct figure with given properties; construct figures having a specified relation to given figures; sketch plane secauxiliary elements to figures; recognize the role (and limitations) of sketches and constructed figures; and sketch of construct geometric models or counter-example.”

Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan menggambar, meliputi kemampuan untuk menyeketsa gambar bangun dan melabel titik tertentu, menyeketsa gambar bangun menurut deskripsi verbalnya, menggambar atau mengkonstruksi gambar bangun berdasarkan sifat-sifat yang diberikan, mengkonstruksi gambar bangun yang mempunyai kaitan tertentu dengan gambar-gambar yang telah diberikan, mensketsa bagian-bagian bidang dan interaksi gambar-gambar bangun yang diberikan, menambahkan unsur-unsur tambahan yang berguna pada sebuah gambar bangun, mengenal peranan (keterbatasan)

(14)

commit to user

sketsa dan gambar bangun yang terkonstruksi, dan mensketsa atau mengkonstruksi model geometri atau contoh penyangkal.

4) Keterampilan Logika (Logical Skill)

Hoffer (1981: 12-13) mengemukakan penjelasan terkait keterampilan logika sebagai berikut:

“Logical skills, including the ability to; recognize differences and similarities among given figures; recognize the figures can be classified by their properties; determine whether or not a given figures belong to a specified class; understand ang apply the describle properties of definitions; identify the logical consequences of given data; develop logical proofs; and recognize the role and limitations of deductive methods.”

Kutipan di atas dapat diterjemahkan bahwa keterampilan logika, meliputi kemampuan untuk mengenal perbedaan dan kesamaaan antar bangun geometri, mengenal bangun geometri yang dapat diklasifikasikan menurut sifat-sifatnya, menentukan apakah sebuah gambar masuk atau tidak masuk dalam kelas tertentu, memahami dan menerapkan sifat-sifat penting dari definisi, menujukkan akibar-akibat logis dari data-data yang diberikan, mengembangkan bukti-bukti yang logis, dan mengenal peranan dan keterbatasan metode deduktif.

5) Keterampilan Terapan (Applied Skill)

Hoffer (1981: 13) memberikan penjelasan tentang keterampilan terapan seperti di bawah ini:

“Applied skills, including the ability to: recognize phisical models of geometric figures; sketch or construct geometric models of phisical objects; use properties of geometric model to conjecture properties of the usefulness of geometric model for natural phenomena, sets of element in the phisical sciences and sets of elements in the social sciences; ang use geometric models in problem solving.”

Kutipan di atas dapat diartikan sebagai keterampilan terapan, meliputi kemampuan untuk mengenal model fisik dari bangun geometri. Mensketsa atau mengekonstruksi model geometri berdasarkan objek fisiknya, menerapkan sifat-sifat dari model geometri pada sifat-sifat-sifat-sifat dari objek fisik, mengembangkan model-model geometri untuk fenomena alam, himpunan elemen di IPA dan himpunan

(15)

commit to user

elemen di IPS, dan menerapkan model-model geometri dalam pemecahan masalah.

b. Tingkat (Level) Berpikir van Hiele

Pembelajaran geometri (Euclides) di jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah sekarang ini sejalan juga dengan perkembangan berpikir geometri menurut model van Hiele (Soemaadi, 1994: 10). Van Hiele adalah seorang guru matematika berkebangsaan Belanda yang pada tahun 1954 menulis disertasi tentang pembelajaran geometri. Disertasi tersebut ditulis berdasarkan hasil penelitian di lapangan melalui observasi dan tanya jawab. Kesimpulan yang diperoleh oleh van Hiele adalah bahwa terdapat lima tingkat berpikir geometri secara urut yaitu: secara visual, analysis, informal-deduction, deduction, ke rigor.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (1989) merekomendasikan pengajaran geometri di sekolah-sekolah di Amerika dikonsentrasikan pada tingkat 0 dan tingkat 1, dan beberapa kegiatan dirancang untuk untuk tingkat 2, model van Hiele (Holmes, 1995: 333). Ini didasarkan dari sejumlah penelitian pendidikan matematika yang menerapkan teori dari vah Hiele tersebut.

Menurut model Piaget dalam diri seorang anak terbentuk konsep ruang geometri Euclides secara alami, jika ia mempelajari dulu hubungan-hubungan sederhana yang bersifat topologis, dilanjutkan dengan yang bersifat proyektif, baru yang bersifat Euclides (Geddes dan Fortunato, 1993: 200). Sedangkan menurut model van Hiele, tingkat-tingkat yang berkaitan dengan perkembangan berpikir seorang anak agar dapat memahami geometri dalam 5 tingkat, yaitu tingkat 0: visualization, tingkat 1: analysis, tingkat 2: informal-deduction, tingkat 3: deduction, dan tingkat 4: rigor (Suydam, 1983: 100; Geddes dan Fortunato, 1993: 202; Holmes, 1995: 332-333).

Siswa yang didukung dengan pengalaman pembelajaran yang tepat, akan melewati lima tingkatan tersebut, dimana siswa tidak dapat mencapai satu tingkatan pemikiran tanpa melewati tingkatan sebelumnya. Setiap tingkatan menunjukan proses berpikir yang digunakan seseorang dalam belajar konsep

(16)

commit to user

geometri. Disarikan dari Shaughnessy dan Burger (1985: 420), Crowley (1987: 2-7), Hoffer (1988: 237-242), dan Holmes (1995: 332-333) masing-masing tingkat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Tingkat 0: Visualization (visualisasi)

Pada tingkat ini, siswa-siswa mengenali suatu ruang hanya sebagai sesuatu yang ada di sekitarnya. Konsep-konsep geometri lebih dicermati sebagai keseluruhan yang sungguh-sungguh apa adanya, daripada kepemilikan komponen-komponen atau atribut-atribut. Misalnya bentuk geometri dikenali bentuk seutuhnya, dalam hal ini kenampakan fisiknya, bukan bagian-bagian atau sifat-sifatnya.

Pada tingkat ini siswa dapat mempelajari perbendaharaan kata geometrik dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk khusus dari suatu gambar yang diberikan, dan melukiskannya. Misalnya bentuk-bentuk dalam Gambar 2.1. di bawah ini:

Gambar 2.1. Gambar Tiga buah Persegi dan Tiga buah Persegipanjang dengan Variasi Ukuran Orientasi

Siswa-siswa dapat mengenali bahwa ada 3 buah persegi dalam Gambar 2.1.(a), dan 3 buah persegipanjang dalam Gambar 2.1.(b). Siswa mengenali demikian, karena gambar-gambar tersebut berbentuk seperti yang dikenali sebelumnya sebagai persegi-persegi dan persegipanjang-persegipanjang. Tetapi pada tingkat ini siswa tidak dapat mengenali bahwa bentuk-bentuk tersebut mempunyai sudut-sudut siku-siku atau sisi-sisi yang berhadapan sejajar.

Siswa mengenali gambar-gambar bentuk geometri bidang, tetapi belum mengenali property-property-nya (sifat-sifatnya), seperti sudut siku-siku. Siswa mengamati gambar bentuk geometri bidang dengan kenampakan keseluruhannya

(17)

commit to user

dan siswa pun dapat mengidentifikasi gambar-gambar bentuk geometri bidang. Siswa dapat mencontoh dan menggambar bentuk geometri bidang dengan menggunakan alat tulis. Siswa tidak menerima gambar-gambar bentuk geometri bidang yang orientasinya berbeda.

2. Tingkat 1: Analysis (analisis)

Tingkat 1 merupakan permulaan penganalisisan konsep-konsep geometri. Misalnya, melalui observasi dan percobaan, siswa-siswa mulai melihat karakteristik dari suatu bentuk geometri. Kemudian sifat-sifat yang diketahui digunakan untuk mengetahui kelas-kelas dari bentuk-bentuk geometri. Karena itu bentuk-bentuk geometri dikenali kepemilikan bagian-bagian dan dikenali tentang bagian-bagiannya.

Pada tingkat ini, siswa sudah memahami sifat-sifat konsep atau bangun geometri berdasarkan analisis informal tentang bagian dan atribut komponennya. Misalnya, siswa sudah mengetahui dan mengenal sisi-sisi berhadapan pada sebuah persegi panjang adalah kongruen, panjang kedua diagonalnya kongruen dan memotong satu sama lain sama panjang. Tetapi pada tingkat ini siswa belum dapat memahami hubungan antara bangun-bangun geometri, misalnya persegi adalah juga persegi panjang, persegi panjang adalah jajar genjang.

Siswa mulai dapat menganalisis gambar-gambar bentuk geometri bidang. Siswa memperhatikan atribut-atribut gambar bentuk geometri bidang dan mengembangkan konsep bentuk geometri bidang melalui sifat dari gambar yang diperhatikan. Misalnya, siswa menyatakan bahwa segitiga mempunyai 3 sisi. Siswa dapat menggambar bentuk-bentuk geometri bidang dan mengetahui namanya. Tetapi siswa belum mengkonstruk hubungan antara gambar yang satu dan yang lain.

Siswa dapat mendefinisikan bentuk geometri bidang, tetapi sering menggunakan kata yang berlebihan. Siswa dapat menghafal definisi yang tertulis di buku, tetapi siswa belum mengerti maknanya, bahkan siswa sering tidak menggunakan definisi yang tertulis di buku dalam menjelaskan suatu bentuk geometri bidang.

(18)

commit to user

3. Tingkat 2: Informal Deduction (deduksi informal)

Pada tingkat ini, siswa-siswa dapat menetapkan hubungan/kaitan dari sifat-sifat dari suatu bentuk geometri. Misalnya, dalam suatu segiempat, sisi-sisi yang berhadapan sejajar mengharuskan sudut-sudut yang berhadapan berukuran sama. Siswa-siswa juga dapat menetapkan interrelasi-interrelasi sifat-sifat antara bentuk-bentuk geometri. Misalnya suatu persegi merupakan suatu persegipanjang, karena persegi mempunyai semua sifat dari persegipanjang. Karena itu siswa-siswa dapat menarik kesimpulan dari sifat-sifat suatu bentuk geometri dan mengenali kelas-kelas dari bentuk-bentuk geometri.

Definisi-definisi dimengerti sepenuhnya. Argumen-argumen informal diberikan dalam menjelaskan. Tetapi siswa-siswa pada tingkat ini tidak memahami arti pengambilan kesimpulan sebagai suatu perangkat atau aturan aksiomatik. Secara empiris hasil-hasil yang diperoleh sering digunakan dalam konjungsi dengan teknik-teknik deduksi. Bukti-bukti formal dapat diikuti, tetapi siswa-siswa tidak melihat bagaimana urutan logis dapat diturunkan atau mereka melihat bagaimana menyusun suatu permulaan pembuktian dari premis-premis berbeda atau tak-dikenal.

Siswa mengerti dan menerima definisi dan dapat menggunakan definisinya dalam mengkaji suatu gambar bentuk geometri bidang. Siswa mengerti hubungan sifat-sifat di dalam dan di antara bentuk-bentuk geometri bidang. Misalnya siswa dapat berasumsi bahwa pada suatu jajargenjang, karena sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sudut-sudut yang berhadapan berukuran sama.

Siswa mengerti bahwa karena suatu persegi memiliki semua sifat dari persegipanjang, maka persegi merupakan persegipanjang. Siswa mengerti bahwa suatu persegi merupakan persegipanjang, merupakan jajargenjang, dan merupakan segiempat. Siswa dapat berpikir “jika……..maka………”, tetapi belum dapat mengkonstruksi pembuktian secara deduktif.

4. Tingkat 3: Deduction (deduksi)

Pada tingkat ini, siswa-siswa mengerti ketepatan penarikan kesimpulan sebagai suatu cara menetukan teori geometri dalam suatu sistem aksioma.

(19)

commit to user

Interrelasi dan peran dari istilah tak terdefinisi, aksioma-aksioma, postulat-postulat, definisi-definisi, teorema-teorema, dan bukti-bukti dimengerti. Misalnya dalam mendefinisikan persegipanjang siswa tidak perlu menyebutnya sebagai suatu bangun datar yang dilengkapi dengan sifat-sifatnya. Siswa cukup menyebut persegi panjang sebagai suatu jajar genjang yang salah satu sudutnya berupa sudut sikiu-siku. Siswa perlu menyebut demikian, karena sifat-sifat sisi-sisi dan sudut-sudut pada persegi panjang juga merupakan sifat-sifat dari jajar genjang.

Siswa-siswa dalam tingkat ini dapat menyusun bukti, mampu mengembangkan suatu bukti lebih dari satu cara, mengerti interaksi syarat perlu dan cukup, membedakan antara suatu pernyataan dan kebalikannya dapat dibuat. Misalnya dalam membuktikan sifat-sifat sisi-sisi dan sudut-sudut persegipanjang dan memanfaatkan keberlakuan teorema kekongruenan dua segitiga.

Siswa dapat mengkonstruksi pembuktian secara deduktif, dan siswa mempercayai pembuktian untuk menentukan kebenaran pernyataan matematika. Tahap ini merupakan keharusan bagi siswa, agar berhasil dalam belajar geometri di sekolah menengah.

5. Tingkat 4: Rigor

Pada tahap ini siswa dapat bekerja dalam berbagai sistem aksioma, misalnya geometri non-Euclide dapat dimengerti, dan sistem-sistem yang berbeda dapat dibandingkan. Geometri dipikirkan secara abstrak. Siswa dapat membandingkan sistem-sistem aksioma yang berbeda dan dapat mempelajari bermacam-macam geometri tanpa memanipulasi gambar.

Selain mengutarakan hal tersebut van Hiele juga menyarankan dalam pembelajaran geometri sebaiknya siswa-siswa dilibatkan dengan berpikir dan berbuat dalam suatu kegiatan. Kegiatan yang membimbing siswa untuk menyiapkan siswa mempelajari geometri yang lebih formal. Kegiatan dirancang sedemikian rupa, sehingga siswa dibimbing dari eksplorasi informal ke eksplorasi formal.

Holmes (1995: 333-334) memberikan pedoman untuk mengetahui dan menganalisis kemampuan berpikir geometri siswa menurut model van Hiele,

(20)

commit to user

didasarkan dari penelitian Crowley (1987) dan rekomendasi NCTM (1989) sebagai berikut :

1) Pada tahap 0, siswa seharusnya dapat: (a) mengidentifikasi; (b) mengelompokkan; (c) menggambar; (d) menjelaskan (dengan kata-katanya sendiri); dan (e) menyelesaikan soal; bentuk-bentuk geometri bidang. Pada tahap ini siswa memandang bentuk geometri sebagai satu keseluruhan.

2) Pada tahap 1, siswa seharusnya dapat: (a) melakukan kegiatan pada tahap 0, dengan memperhatikan sifat dari bentuk-bentuk geometri; (b) menggunakan kata-kata matematika dalam menjelaskan; (c) menerima generalisasi secara induktif, bentuk-bentuk geometri bidang.

Dua implikasi dari teori van Hiele (Crowley, 1987) menjadi perhatian dalam pembelajaran adalah: (1) seorang siswa tidak dapat berjalan pada suatu tingkat dalam pembelajaran yang diberikan tanpa penguasaan konsep pada tingkat sebelumnya yang memungkinkan siswa untuk berpikir secara intuitif di setiap tingkat terdahulu; (2) apabila tingkat pemikiran siswa lebih rendah dari bahasa pengajarannya, maka ia tidak akan memahami pengajaran tersebut.

Dari penjelasan di atas dapat dibuat indikator untuk digunakan dalam pembuatan tes penempatan untuk menentukan siswa masuk ke dalam kategori tingkat berpikir van Hiele, sehingga indikator yang dibuat hanya sampai tingkat 3 (deduksi formal) untuk keperluan membuat soal tes penempatan yang dijelaskan secara jelas pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Indikator Tingkat Berpikir Geometri Berdasarkan Tingkat Berpikir van Hiele pada Materi Bangun Datar

No Tingkat Berpikir van

Hiele Indikator

1. Tingkat 0 (Visualisasi)

 Siswa dapat mengidentifikasi bentuk segiempat berdasarkan gambar (bentuk fisiknya)

 Siswa dapat menentukan jenis-jenis segiempat berdasarkan gambar dengan berbagai posisi dan warna

 Siswa dapat menentukan sifat-sifat fisik dari berbagai bentuk segiempat

2. Tingkat 1 (Analisis)

 Siswa dapat menentukan sifat-sifat segiempat dan sifat-sifat yang diketahui digunakan untuk mengetahui jenis-jenis dari segiempat

(21)

commit to user

 Siswa sudah dapat menentukan sifat segiempat dengan menganalisis gambar segiempat

 Siswa dapat menentukan jenis-jenis segiempat berdasarkan ukuran-ukuran panjang sisi dan atau besar sudutnya

3. Tingkat 2 (Deduksi Informal)

 Siswa dapat menetapkan hubungan-hubungan dari sifat-sifat suatu jenis segiempat

 Siswa dapat menetapkan hubungan antara jenis-jenis segiempat

 Siswa dapat menarik kesimpulan dari sifat-sifat suatu jenis segiempat dan mengenali kelas-kelas dari jenis-jenis segiempat

4. Tingkat 3 (Deduksi Formal)

 Siswa mengerti ketepatan penarikan kesimpulan sebagai suatu cara menentukan teori geometri dalam suatu sistem aksioma

 Siswa memahami interaksi antara syarat perlu dan syarat cukup, perbedaan antara pernyataan dan ingkarannya dapat dibuat

 Siswa dapat membangun suatu bukti, tidak hanya mengingat, kemungkinan untuk mengembangkan bukti dalam lebih dari satu cara

5. Tingkat 4 (Rigor)

 Siswa dapat bekerja dalam berbagai sistem aksioma.

 Siswa dapat membandingkan sistem-sistem aksioma yang berbeda, dan

 Siswa dapat mempelajari bermacam-macam geometri tanpa memanipulasi gambar.

Abdussakir (2009) mengemukakan bahwa ada lima karakteristik teori belajar van Hiele.

1) Berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut sesuai urutannya;

2) Kemajuan, yakni keberhasilan dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi oleh isi dan strategi pembelajaran dari pada oleh usia;

3) Intrinsik dan ekstrinsik, yakni obyek yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya;

4) Kosakata, yakni masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan

(22)

commit to user

5) Mismatch, yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang berbeda, maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai.

Setiap tingkat dalam teori van Hiele, menunjukkan karakteristik proses berpikir siswa dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri. Kualitas pengetahuan siswa tidak ditentukan oleh akumulasi pengetahuannya, tetapi lebih ditentukan oleh proses berpikir yang digunakan.

Contoh dari proses berpikir yang digunakan dalam teori van Hiele dalam belajar geometri khususnya materi bangun ruang sisi lengkung adalah saat siswa mempelajari rumus luas permukaan tabung, semata-mata siswa tidak langsung menggunakan rumus luas permukaan tabung tetapi siswa mengetahui darimana asal rumus tersebut, dengan mengamati jaring-jaring tabung yang terdiri dari 2 buah lingkaran sebagai alas dan tutup tabung dan 1 buah persegi panjang sebagai selimut tabung. Dengan itu siswa dapat menentukan luas permukaan tabung adalah luas jaring-jaring tabung (jumlah 2 luas lingkaran ditambah luas persegi panjang yang panjangnya adalah keliling lingkaran alas). Dari contoh tersebut bisa terlihat karakteristik proses berpikir siswa dalam belajar geometri dan pemahamannya dalam konteks geometri.

c. Keterampilan Geometri dalam Memecahkan Masalah Geometri Berdasarkan Tingkat Berpikir van Hiele

Meurut Hoffer (1981), keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri terdiri dari 5 keterampilan. Dia juga menjelaskan tentang keterampilan geometri memecahkan masalah geometri menurut tingkat berpikir van Hiele pada indikator yang berada pada Tabel 2.2 di bawah ini:

(23)

commit to user

Tabel 2.2 Indikator Keterampilan Geometri dalam Memecahkan Masalah Geometri berdasarkan Tingkat (level) berpikir van Hiele

Tingkat

Skill

Tingkat 0 Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4

Visual (a) Dapat mengenali bentuk gambar yang berbeda dari beberapa gambar dan mengenali informasi label yang tertulis pada gambar. (0a) Dapat memberitahuan sifat-sifat dalam gambar. mengidentifikas i gambar sebagai bagian dari gambar yang lain. (1a)

Dapat mengakui keterkaitan antara berbagai jenis gambar dengan mengakui sifat umum dari berbagai jenis gambar. (2a) Menggunakan informasi dari gambar untuk menarik kesimpulan dan informasi lebih lanjut. (3a) Mengenali asumsi-asumsi yang tidak tepat yang dibuat menggunakan gambar. Memahami gambar-gambar yang saling berkaitan dalam sistem deduksi. (4a) Verbal (b) Dapat mengelompo kkan nama yang benar untuk gambar yang diberikan dan menafsirkan kalimat yang menjelaskan gambar tersebut. (0b) Dapat menjelaskan secara akurat sifat berbagai gambar. (1b) Dapat mendefinisikan kata-kata secara akurat dan ringkas untuk merumuskan kalimat yang menunjukkan keterkaitan antara gambar-gambar tersebut. (2b) Dapat memahami perbedaan diantara definisi, postulant/dalil, dan teorema-teorema. Mengenali apa yang diberikan sebagai masalah dan diminta dalam masalah tersebut. (3b) Membentuk pola yang lebih luas dari hasil-hasil yang diketahui dan menggambarka n macam-macam sistem deduksi. (4b)

(24)

commit to user Drawing (c) Dapat membuat sketsa gambar akurat dengan pelabelan bagian tertentu. (0c) Dapat menerjemahkan informasi verbal yang diberikan ke dalam gambar. Dengan menggunakan sifat yang diberikan gambar untuk menggambar atau membangun suatu gambar. (1c) Gambar-gambar tertentu yang diberikan mampu membangun gambar lain yang berkaitan dengan gambar yang diberikan. (2c) Mengenali kapan dan bagaimana menggunakan elemen pembantu dalam sebuah gambar. Menarik kesimpulan dari informasi yang diberikan untuk menggambar sebuah bangun. (3c) Memahami batasan-batasan dan kemampuan-kemampuan dari berbagai alat gambar. Dari berbagai macam gambar mampu menjelaskan konsep/gagasan yang tidak standar dalam berbagai macam sistem deduktif. (4c) Logical (d) Dapat menyadari ada perbedaan dan kesamaan antara gambar. memahami konservasi bentuk gambar dalam berbagai posisi. (0d) Dapat memahami bahwa gambar dapat diklasifikasikan ke dalam jenis yang berbeda. menyadari bahwa sifat dapat digunakan untuk membedakan gambar. (1d) Dapat menggunakan sifat-sifat gambar untuk menentukan apakah satu kelas gambar yang terkandung di kelas lain. (2d) Dapat menggunakan aturan-aturan yang masuk akal untuk membangun bukti-bukti dan dapat mengambil kesimpulan dari informasi-informasi yang diberikan. (3d) Dapat memahami batasan-batasan dan kemampuan-kemampuan dari asums-asumsi dan postulat-postulat yang ada. Mengetahui kapan sebuah sistem dari postulat bersifat independen, konsisten, dan dapat dikelompokkan.

(25)

commit to user (4d) Applied (e) Dapat mengidentifik asi bentuk-bentuk geometris dalam obyek fisik. (0e) Dapat menjelaskan sifat geometris dari benda-benda fisik dan mengubah fenomena fisik tersebut di atas kertas atau model. Dapat menggunakan model geometri tersebut dalam pemecahan masalah. (1e) Dapat memahami konsep model matematika yang mewakili hubungan antara obyek. (2e) Dapat menarik kesimpulan tentang sifat-sifat objek dari informasi yang diberikan dan dapat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan masalah-masalah objek tersebut. (3e) Dapat menggunakan model-model matematika untuk menjelaskan sistem yang bersifat abstrak dan menggambar sifat-sifat fisik, sosial, dan fenomena alam. (4e) B. Kerangka Berpikir

Matematika bukan hanya berkaitan dengan berhitung saja tetapi berkaitan juga dengan penalaran. Selain itu, matematika juga berkaitan dengan bentuk-bentuk atau struktur yang abstrak sehingga siswa-siswa menganggap matematika itu sulit. Menurut Ruseffendi (2006) dalam matematika terdapat objek yang terkait langsung dengan aktifitas belajar matematika meliputi fakta, keterampilan, konsep, dan aturan/prinsip. Keempat objek langsung ini dapat dibedakan antara satu dengan lainnya secara jelas karena masing-masing objek langsung tersebut dapat didefinisi secara jelas. Seperti yang dijelaskan objek matematika itu selain konsep juga ada keterampilan. Apalagi jika mereka dihadapkan dengan soal yang berkaitan dengan geometri sebagai salah satu materi yang dipelajari dalam matematika. Yang menganggap bahwa keterampilan sangat dibutuhkan dalam memecahan masalah geometri. Namun menurut beberapa hasil penelitian

(26)

commit to user

mengungkapkan bahwa geometri dianggap paling susah dan rendah hasil prestasinya.

Berdasarkan data dari TIMSS pada tahun 2007 (dalam Mega Teguh Budiarto, 2011: 8), skor yang diperoleh oleh negara Indonesia pada konten geometri merupakan skor terendah dibandingkan materi bilangan, aljabar, data dan perubahannya. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam geometri terlihat masih rendah. Selain itu, seperti yang diungkapkan Siregih Sehatta (2002) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa berdasarkan penelitian tersebut diperoleh fakta bahwa secara umum siswa belum memiliki kemampuan yang baik mengenai sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap jenis segitiga sehingga belum bisa mengklasifikasikan suatu objek segitiga dalam hal ini klasifikasi jenis segitiga sama kaki, sama sisi, dan siku-siku. Berdasarkan hal ini, perlu adanya perhatian tentang pemahaman konsep segitiga dan keterampilan yang menunjang dalam pemahaman konsep geometri. Sedangkan menurut hasil penelitian Mega Teguh Budiarto & Aisia Sofyana (2011) mengemukakan bahwa siswa mempunyai karakteristik keterampilan yang berbeda-beda untuk setiap tingkat dalam teori van Hiele, yaitu antara tingkat 0, tingkat 1, dan tingkat 2.

Dari penelitian-penelitian yang dijelaskan di atas disimpulkan bahwa kemampuan geometri siswa masih relatif rendah yang disebabkan oleh pemahaman dan keterampilan dasar siswa masih lemah dalam memecahan masalah geometri. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ada beberapa kompetensi yang harus ditunjukkan pada hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika, salah satu kompetensi tersebut adalah pemecahan masalah. Secara umum untuk memecahkan masalah matematika, siswa bisa menggunakan beberapa strategi-strategi. Untuk beberapa kasus tertentu memerlukan keterampilan khusus untuk pelaksanaan rencana dalam pemecahan masalah. Seperti pada permasalahan geometri, keterampilan geometri siswa dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan rencana dalam memecahkan masalah tersebut. Keterampilan geometri yang dimaksud adalah keterampilan geometri dalam memecahkan masalah geometri yang menurut Hoffer (1981) ada 5 keterampilan, yaitu: (1) keterampilan visual (visual skill), (2) keterampilan verbal

(27)

commit to user

(descriptive skill), (3) keterampilan menggambar (drawing skill), (4) keterampilan logika (logical skill), dan (5) keterampilan terapan (applied Skill). Dalam belajar dan menyelesaikan permasalahan geometri siswa juga dituntut untuk bisa memiliki keterampilan-keterampilan geometri tersebut.

Hoffer juga menyatakan bahwa dalam menyelesaikan masalah dibutuhkan pemikiran dan keterampilan yang matang. Berhubungan dengan tingkat berpikir dalam geometri, tingkat berpikir siswa bisa diketahui dari teori van Hiele. Hal ini dikarenakan dalam teori van Hiele telah dijelaskan bahwa ada 5 tingkat berpikir siswa dalam geometri, yaitu tingkat 0 (visualisasi), tingkat 1 (analisis), tingkat 2 (deduksi informal), tingkat 3 (deduksi formal), dan tingkat 4 (rigor) dengan karakteristik tiap tingkatannya yang berbeda-beda. Seorang siswa yang berada pada tingkat berpikir lebih rendah tidak dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat lebih tinggi dari tingkat berpikir siswa tersebut. Sehingga jika siswa tersebut dipaksakan untuk memahami materi, siswa itu baru bisa menyelesaikan soal melalui hafalan bukan melalui pengertian. Tingkat berpikir siswa dalam geometri bisa diketahui dengan menganalisis proses penyelesaian soal ditinjau dari indikator-indikator tingkat berpikir van Hiele.

Karakteristik tiap tingkat berpikir yang berbeda memungkinkan bahwa keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri yang dimiliki setiap siswa pada masing-masing tingkat berpikir yang dimiliki juga berbeda. Karena proses berpikir dalam hal ini berkaitan dengan menyelesaikan permasalahan geometri, dimana dibutuhkan keterampilan geometri seperti keterampilan visual, verbal, menggambar, logika dan terapan. Terkait dengan tingkat berpikir van Hiele, seorang siswa yang masuk dalam kategori tingkat 0 (visualisasi) dimungkinkan mempunyai keterampilan visual, verbal dan mnggambar dengan mengidentifikasi bentuk melalui gambar dan belum mengerti mengenai sifat-sifatnya. Sedangkan, siswa yang berada pada tingkat 1 (analisis) yang mulai bisa menganalisis sifat-sifat kemungkinan keterampilan yang dimiliki sudah mencapai keterampilan logika. Hal ini dikarenakan siswa yang berada pada tingkat 1 (analisis) cenderung bisa mendefinisikan sebuah bangun menurut sifat-sifat yang dimiliki. Mengetahui keterampilan geometri dan tingkat berpikir siswa

(28)

commit to user

dalam menyelesaikan soal geometri pada materi segiempat sangatlah penting karena dapat membantu guru untuk merencanakan dan menentukan model atau metode yang sesuai dengan karakteristik keterampilan yang dimiliki oleh masing-masing siswa.

Oleh sebab itu, dalam penelitian ini akan dianalisis keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele. Dengan menggunakan tes penempatan siswa digolongkan menurut tingkat berpikir van Hiele untuk masing-masing tingkatan yang dimiliki siswa dalam hasil pengelompokan tersebut. Tes yang digunakan untuk menentukan pembagian kategori tingkatan dibuat dengan menyesuaikan indikator pada tingkat berpikir van Hiele dan beberapa soal yang sesuai dengan materi segiempat yang diadopsi dari soal tes penempatan untuk menentukan tingkat berpikir van Hiele pada penelitian berjudul ”van hiele levels and achievement in secondary school geometry”. Setelah itu peneliti akan menganalisis keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele dengan mengambil subjek pada masing-masing tingkatan berpikir dengan menggunakan data hasil wawancara I dan wawancara II. Dari hasil wawancara I dan wawancara II tersebut diperoleh transkripsi data hasil wawancara siswa dengan peneliti terkait dengan tes yang sudah dibuat dengan menyesuaikan indikator-indikator keterampilan geometri dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele. Transkripsi tersebut akan direduksi dengan cara mengambil hasil percakapan siswa dengan peneliti pada wawancara I dan wawancara II yang terkait dengan karakteristik keterampilan yang dimiliki siswa, sehingga reduksi menghasilkan data berupa keterampilan geometri siswa dalam memecahkan masalah geometri berdasarkan tingkat berpikir van Hiele.

Hasil reduksi tersebut masih berupa percakapan antara siswa dan peneliti yang siswa tersebut sudah dikategorikan berdasarkan tingkat berpikir van Hiele. Kemudian hasil reduksi tersebut akan diberi label untuk setiap keterampilan geometri (visual, verbal, menggambar, logika, dan terapan) yang dimiliki siswa untuk masing-masing tingkatan berpikir. Selanjutnya, dari pelabelan tersebut

(29)

commit to user

dapat ditentukan karakteristik keterampilan-keterampilan geometri yang dimiliki siswa untuk masing-masing tingkat berpikir van Hiele.

Gambar

Gambar 2.1. Gambar Tiga buah Persegi dan Tiga buah Persegipanjang dengan  Variasi Ukuran Orientasi
Tabel 2.1 Indikator Tingkat Berpikir Geometri Berdasarkan Tingkat Berpikir  van Hiele pada Materi Bangun Datar
Tabel 2.2 Indikator Keterampilan Geometri dalam Memecahkan Masalah  Geometri berdasarkan Tingkat (level) berpikir van Hiele

Referensi

Dokumen terkait

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Berdasarkan data pada peta tahun 2011 Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, daerah yang memiliki rasio kelistrikan nasional paling kecil adalah daerah Indonesia

Pasien SN anak akan sering mendapat steroid yang memiliki efek samping seperti obesitas, penekanan pertumbuhan, hipertensi serta osteoporosis Tujuan Penelitian untuk menilai

Kelayakan modul berbasis bounded inquiry laboratory (lab) pada materi Sistem Pencernaan berdasarkan validasi ahli memperoleh kategori “sangat baik” dengan persentase

[r]

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian kompos pada tanah bekas tambang emas dan mengetahui jenis kompos mana yang terbaik terhadap pertumbuhan awal

Faktor internal dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pekerjaan pendapatan, status

Untuk memiliki pengetahuan bahasa asing seseorang harus mempelajari Untuk memiliki pengetahuan bahasa asing seseorang harus mempelajari kosakata terlebih dahulu