• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENCEGAHAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK MELALUI APLIKASI BAKTERI PROBIOTIK RICA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENCEGAHAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK MELALUI APLIKASI BAKTERI PROBIOTIK RICA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENCEGAHAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK

MELALUI APLIKASI BAKTERI PROBIOTIK RICA

Muharijadi Atmomarsono dan Rachmansyah

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sittaka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: hari_ atmo@yahoo.com

ABSTRAK

Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh Vibrio harveyi dan penyakit bintik putih oleh “White Spot Syndrome Virus” (WSSV) masih merupakan penyebab utama kegagalan panen dalam budidaya udang windu (Penaeus monodon) di tambak. Aplikasi bakteri probiotik RICA (“Research Institute for Coastal Aquaculture”) terbukti mampu mencegah serangan kedua jenis penyakit tersebut melalui perbaikan kualitas air tambak. Kemampuan bakteri probiotik dalam mengurangi kandungan total amonium nitrogen (TAN) dan nitrit-nitrogen, serta menekan jumlah bakteri Vibrio spp. dalam air tambak, serta dapat meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di tambak tradisional, semi-intensif, maupun intensif.

KATA KUNCI: udang windu, probiotik RICA, Vibrio, WSSV PENDAHULUAN

Kegagalan panen di pertambakan udang windu di Indonesia sejak dua dekade terakhir terutama disebabkan oleh dua patogen utama, yaitu Vibrio harveyi (bakteri kunang-kunang) dan WSSV (White

Spot Syndrome Virus). Berbagai cara untuk mencegah terjadinya penyakit udang tersebut telah banyak

dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP), baik dengan metode tandon air dan biofilter (Atmomarsono et al., 1995; Muliani et al., 1998), penanaman mangrove kembali di sepanjang saluran dalam rangka menghasilkan bakterisida alami yang dapat mematikan bakteri V.

harveyi (Suryati et al., 2006), pemakaian tokolan udang windu (Suwoyo & Mangampa, 2008), aplikasi

bakteri probiotik di tambak (Poernomo, 2004; Atmomarsono, 2009; Atmomarsono et al., 2009a; 2009b; 2010), juga upaya menghasilkan benur windu yang tahan penyakit WSSV (benur SPR =

“Specific Pathogen Resistant”).

Yang dimaksudkan dengan bakteri probiotik disini adalah bakteri yang sengaja dimasukkan ke dalam air tambak udang karena kemampuannya dalam memperbaiki kualitas air (menurunkan kandungan bahan organik total, amoniak, dan nitrit) dan menghambat perkembangbiakan organisme patogen (V. harveyi dan WSSV). Menurut Suwanto (1993), penggunaan bakteri probiotik tertentu dapat menghambat dan membunuh bakteri patogen (Vibrio harveyi), sehingga tidak terjadi korum

sensing yang dapat menimbulkan sifat patogen. Verschuere et al. (2000) dan Poernomo (2004)

menyatakan, bahwa penggunaan bakteri probiotik merupakan salah satu cara untuk menanggulangi penyakit pada usaha budidaya udang. Selain itu, Gunarto et al. (2006) juga menyatakan tentang perlunya bakteri probiotik di tambak udang.

Tulisan berikut mengulas tentang manfaat aplikasi bakteri probiotik RICA (Research Institute for

Coastal Aquaculture) atau probiotik BRPBAP dalam upaya pencegahan penyakit udang windu di tambak,

sehingga produksi dan sintasannya dapat ditingkatkan.

APA PENYEBAB KEGAGAL AN PANEN UDANG WINDU DI TAMBAK ?

Kegagalan panen udang windu di tambak tidak selamanya disebabkan oleh serangan penyakit, baik ekor “geripis” oleh V. harveyi maupun bintik putih oleh WSSV. Namun kenyataannya kematian udang di tambak juga dapat disebabkan oleh adanya plankton beracun (Gonyaulax, Gymnodinium,

(2)

(pestisida, bahan kimia, dan logam berat), maupun oleh adanya perubahan musim (suhu air, salinitas, pH, dan alkalinitas total).

Kematian udang pada awal penebaran biasanya sering terjadi pada penebaran di musim hujan, di mana salinitas air tambak mendekati nol promil, sedangkan salinitas di panti pembenihan masih sekitar 30 promil. Kesalahan dalam transportasi dan aklimatisasi benur juga dapat menyebabkan kematian udang yang baru saja ditebar. Makin jauh benur diangkut, maka kepadatan per kantongnya harus makin rendah, karena kebutuhan oksigen untuk proses metabolismenya makin meningkat. Suhu pengangkutan benur juga sebaiknya relatif dingin (sekitar 20°C) agar metabolismenya dapat ditekan. Selain itu, mutu benur yang rendah (ukuran terlalu kecil, misal PL-8 atau bahkan lebih kecil lagi, atau bahkan ekornya belum terbuka) memungkinkan benur mudah stres selama pengangkutan dan aklimatisasi, sehingga mudah terserang patogen oportunistik “bakteri kunang-kunang” (V.

harveyi) yang seringkali sudah ada di tambak pada saat penebaran. Pada umumnya udang yang

berukuran lebih kecil relatif lebih peka (rentan) terhadap serangan bakteri V. harveyi. Oleh karena itu, benur yang terlalu kecil sebaiknya ditokolkan/dibantut terlebih dahulu sebelum ditebar di tambak (Suwoyo & Mangampa, 2008). Benur yang akan ditebar sebaiknya telah dicek kondisi fisiknya maupun kemungkinan adanya kontaminasi bakteri (terutama V. harveyi) yang diperiksa pada media TCBSA (Thiosulphate Citrate Bile-salt Sucrose Agar) dan virus (terutama WSSV) yang diperiksa dengan PCR (Polymerase Chain Reaction). Semua benur yang akan ditebar harus diaklimatisasi terhadap suhu dan salinitas dalam waktu yang memadai, tergantung perbedaan suhu dan salinitasnya.

Kematian udang di sekitar caren tambak pada awal musim penghujan diduga disebabkan oleh jenis tanah tambak yang tergolong tanah sulfat masam (TSM). Hal ini banyak terjadi di daerah pertambakan yang dibangun dari bekas lahan mangrove (terutama nipah) seperti di Sulawesi Selatan bagian Timur, Lampung Timur, Kalimantan secara keseluruhan, dan Aceh. Pada pematang tambak TSM biasanya dijumpai adanya bagian tanah yang berwarna kuning (JAROSIT). Bila tanah pematang ini tersiram air hujan, maka air yang turun ke tambak bersifat sangat masam, karena mengandung H2SO4 (seperti asam pekat yang digunakan untuk air aki). Senyawa inilah yang menyebabkan sebagian

kulit dan daging udang terkelupas dan akhirnya mati. Tambak semacam ini sebaiknya direklamasi terlebih dahulu selama persiapan tambak dan bila memungkinkan pematang tambak diusahakan ditanami rumput yang bisa menahan peluruhan jarosit ke dalam tambak. Pematang tambak yang dilapis plastik juga dapat mengurangi permasalahan kemasaman air tambak. Sedangkan pengapuran dengan dolomit di sekeliling pematang menjelang hujan turun terbukti cukup bermanfaat mengurangi kematian udang di tambak. Padat penebaran benur windu di tambak TSM sebaiknya hanya 0,5-1 ekor/m2.

Adanya peningkatan dominasi fitoplankton beracun asal air tawar seperti Anabaena spp., Oscillatoria spp., dan Microcystis spp. yang diindikasikan dengan warna air hijau tua kental dan lengket juga dapat menyebabkan kematian udang di tambak. Seringkali bakteri Vibrio spp. yang merupakan patogen oportunistik juga berasosiasi dengan fitoplankton tersebut (Atmomarsono, 2004). Adanya bagian air yang menyala pada malam hari yang gelap merupakan indikasi adanya fitoplankton beracun asal laut dari jenis Noctiluca sp. ataupun adanya peningkatan populasi bakteri V. harveyi dalam air tambak hingga di atas 103 cfu/mL (Atmomarsono et al., 1993). Pada kondisi demikian, sebagian air

tambak sebaiknya diganti dengan air baru yang relatif lebih bersih. Aplikasi kapur dolomit [CaMg(CO3)2] sekitar 5-10 mg/L (50-100 kg per ha tambak dengan kedalaman air 100 cm atau 25-50 kg/ha dengan kedalaman air 50 cm) terbukti dapat mencegah terjadinya “blooming” fitoplankton beracun maupun perkembangbiakan bakteri V. harveyi dalam air tambak (Atmomarsono, 2005).

Salah satu penyebab penyakit vibriosis pada udang windu, baik di tambak maupun di panti perbenihan adalah V. harveyi yang merupakan bakteri patogen oportunistik yang menyala pada kondisi gelap. Bakteri ini dapat menyebabkan bintik hitam, insang hitam, ekor merah dan geripis, serta menyebabkan warna badan udang nampak merah merata. Pengobatan penyakit ini dengan menggunakan antibiotika yang dicampurkan ke pakan tidak disarankan lagi, karena dapat menimbulkan resistensi. Pengendalian dengan menggunakan petak tandon dan biofilter terbukti dapat menurunkan populasinya. Sedangkan penggunaan kapur dolomit juga dapat mengendalikan bakteri ini secara tidak langsung, yaitu melalui penekanan kandungan bahan organik total. Dengan

(3)

memasukkan bandeng sebagai pengontrol biologis juga terbukti mampu menekan populasi bakteri

Vibrio spp. secara tak langsung hingga 80%-nya (Atmomarsono & Mansyur, 1997). Atmomarsono et al. (2009a) melaporkan, bahwa bakteri asal laut BL542 dapat meningkatkan sintasan pascalarva

udang windu melalui pengendalian perkembangbiakan bakteri Vibrio spp. dalam air tambak.

PERSIAPAN TAMBAK UDANG WINDU

Yang harus dilakukan pertama kali dalam persiapan tambak adalah melakukan pengecekan kondisi tambak kita. Semua bocoran pada pematang dan saluran tambak sebaiknya diperbaiki untuk menghindari terjadinya kontaminasi patogen (bakteri dan virus) apabila sewaktu-waktu terjadi wabah penyakit di sekitarnya. Apabila terdapat warna kuning di atas pematang tambak, maka perlu diwaspadai bahwa tanah tambak tersebut masih tergolong tanah sulfat masam (TSM). Apabila memungkinkan lakukan pelapisan pematang dengan kapur dolomit secara berlapis-lapis, sedangkan di dalam petakan tambak juga dilakukan proses bioremediasi/reklamasi, yaitu pengeringan dan pembilasan tambak secara berulang-ulang. Kalau air masih berwarna merah, berarti potensi kemasaman tambak tersebut masih tinggi. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah kapur bakar (CaO) di tambak tersebut yang jumlahnya sangat tergantung pada potensi kemasamannya. Lakukan penanaman mangrove kembali di sepanjang saluran pemasukan air agar nantinya dapat berfungsi sebagai biofilter dan bakterisida secara alami. Apabila areal tambaknya memungkinkan, buat petakan pengendapan, biofilter, tandon, dan treatmen.

Pada kondisi masih berair (sekitar 10 cm), lakukan keduk teplok (mengangkat lumpur hitam dari dasar tambak), kemudian lakukan pemberantasan hama dengan saponin 15-30 mg/L tergantung salinitas airnya (makin tinggi salinitas, maka saponinnya makin rendah). Apabila masih ada ikan-ikan kecil dan krustase liar (udang, kepiting, jembret, dan sejenisnya) yang tidak mati, maka saponin tadi perlu dicampur dengan sedikit kaporit sekitar 2 mg/L. Setelah empat hari, air dibuang, kemudian tanah dasar tambak dibajak dan dikeringkan secara sempurna hingga retak-retak agar limbah organik di dasar tambak teroksidasi sempurna. Kapur bakar (CaO) juga diperlukan untuk mempercepat proses oksidasi tersebut dengan cara menaburkan kapur bakar tersebut secara merata terutama pada bagian tambak yang masih berair.

Apabila memungkinkan, lakukan pengecekan redoks potensial tanah dasar tambak. Poernomo (2004) menyarankan agar pada saat pengeringan tersebut redoks potensialnya +50 mvolt. Namun pada kenyataannya hal ini seringkali sulit diperoleh di lapangan. Apabila nilainya masih minus (negatif), maka dilakukan pengapuran kembali hingga pH tanah dan redoks potensialnya meningkat. Setelah tanah dasar menjadi retak-retak 1-2 minggu, dilakukan pemupukan tambak sesuai kebutuhannya. Kemudian tambak diisi air bersih (lebih baik apabila telah ditandon 3-4 hari sebelumnya) langsung penuh (misal satu meter). Pengisian air tambak udang tidak boleh dilakukan secara bertahap 10 cm setiap hari. Pengisian secara bertahap ini hanya dilakukan di tambak ikan bandeng, karena bandeng perlu klekap sebagai makanannya. Sedangkan di tambak udang, tumbuhnya klekap justru dapat menjadi masalah bagi udang yang dipelihara, karena klekap ini akan terapung dan akhirnya mati dan membusuk di dasar tambak, yang pada akhirnya menjadi salah satu stressor bagi udang windu yang dipelihara.

Apabila menggunakan air langsung dari saluran, sebaiknya menunggu dahulu 1-2 jam setelah air pasang agar air tersebut telah stabil, karena air pada awal pasang seringkali mengandung bakteri lebih banyak. Apabila tambak memiliki petak tandon yang dilengkapi dengan biofilter, sebaiknya air disimpan di tandon dahulu sekitar 3-4 hari sebelum dimasukkan ke dalam petakan tambak. Hal ini dimaksudkan untuk menurunkan jumlah bakteri yang ada, serta bila memungkinkan juga untuk mengurangi peluang virus (WSSV) mendapatkan inangnya.

PENEBARAN BENUR/TOKOL AN SEHAT

Pengecekan dengan PCR untuk pengujian WSSV harus dilakukan sekitar tiga hari sebelum benur windu diambil di panti perbenihan. Benur yang sehat akan menunjukkan hasil negatif WSSV. Skrining benur juga perlu dilakukan dengan menggunakan formalin 200 mg/L (tiga liter formalin dalam 15 L air) selama 20-30 menit. Apabila kematian benur melebihi 20%, menunjukkan benur tersebut kurang

(4)

sehat. Skrining benur ini bukan dimaksudkan untuk menghilangkan virus WSSV pada udang, melainkan hanya untuk menguji vitalitas benur. Benur windu yang kurang sehat atau telah mengandung WSSV biasanya tidak tahan terkena formalin 200 mg/L, sehingga akan mati dalam 20-30 menit.

Agar vitalitas benur windu lebih baik, sebaiknya benur ditokolkan atau dibantut 2-6 minggu sebelum ditebar di tambak. Benur yang telah dibantut/ditokolkan ini dapat mempersingkat masa pemeliharaannya, yaitu dalam 2-3 bulan sudah bisa dipanen. Tokolan udang windu jenis ini sangat diperlukan di tambak TSM, karena tingginya kandungan besi dan aluminium di tambak TSM dapat merupakan stressor bagi udang, sehingga udang rentan terhadap serangan penyakit. Dengan menggunakan benur yang sudah dibantut, maka udang akan lebih tahan terhadap serangan penyakit yang biasanya terjadi antara umur 50-70 hari. Selain itu, agar udang juga cepat mencapai ukuran konsumsi, maka padat penebaran di tambak TSM juga harus disesuaikan kondisi tanahnya, misal hanya 0,5-1 ekor/m2.

Penebaran benur maupun tokolan udang windu sebaiknya hanya dilakukan apabila air dalam petakan tambak telah dipersiapkan minimal dua minggu sebelumnya. Hal ini diperlukan agar fitoplankton telah tumbuh dengan stabil. Benur atau tokolan udang windu ditebar setelah cukup aklimatisasi dan adaptasi terhadap suhu dan salinitas air tambak.

PENGATURAN PAKAN DAN AIR TAMBAK

Pakan yang diberikan kepada udang windu yang dipelihara pada budidaya udang secara tradisional plus (ekstensif plus) pada dasarnya hanya bersifat tambahan saja, karena udang diharapkan makan plankton yang ada di tambak (fitoplankton dan zooplankton). Namun di tambak dengan sistem semi-intensif dan intensif, pakan yang berupa pelet mutlak diperlukan. Pakan harus sesuai mutu, ukuran, dan jumlahnya. Pakan yang sudah berjamur dan berbintik kuning tua merupakan ciri khas pakan yang telah mengandung aflatoksin, yaitu racun yang dihasilkan oleh jamur yang dapat mematikan udang dalam waktu kurang dari 24 jam. Pakan tersebut sebaiknya tidak digunakan lagi. Agar pakan pelet tidak mudah berjamur, sebaiknya disimpan di atas papan yang kering dan sejuk.

Jumlah pakan yang diberikan setiap harinya harus disesuaikan dengan pertumbuhan dan kondisi udangnya pada saat sampling. Apabila pada saat sampling banyak didapat udang yang moulting (ganti kulit), maka sebaiknya jumlah pakannya dikurangi. Hal ini mengingat, bahwa udang yang

moulting akan istirahat makan sekitar 24-48 jam. Jadi jika pakannya justru ditambah, maka

kelebihannya tersebut justru menjadi limbah organik yang dapat memicu perkembangbiakan bakteri

V. harveyi dan WSSV yang dapat membahayakan udang windu di tambak. Sebaiknya jangan

menggunakan pakan segar dari kelompok krustase seperti kepiting, kepala udang, dan sebagainya, karena ini dapat menjadi “carrier” (pembawa) penyakit WSSV.

Dalam pengaturan air tambak, sebaiknya hanya mengganti air apabila diperlukan saja, artinya penggantian air dilakukan seminimal mungkin, karena makin banyak penggantian volume air justru dapat menimbulkan terjadinya udang stres. Perubahan warna air tambak sebaiknya diamati setiap saat. Warna air yang berubah-ubah setiap saat, misal pagi kuning, siang hijau, dan sore menjadi biru, merupakan indikator bahwa air tambak tersebut memiliki alkalinitas total yang rendah (di bawah 80 mg CaCO3 equivalen/L) (Atmomarsono, 2004). Akibatnya dapat terjadi goncangan pH air harian yang melebihi 0,5. Pada kondisi demikian, udang akan mudah mengalami stres. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya dilakukan aplikasi kapur dolomit di tambak tersebut. Warna air yang dianggap bagus untuk budidaya udang windu adalah hijau kecoklatan. Untuk mempertahankan warna air tersebut tetap baik, dapat dilakukan dengan aplikasi bakteri probiotik tertentu maupun pemupukan susulan. Pupuk SP-36 diperlukan apabila warna air cenderung kuning hingga hijau muda. Sebaliknya pupuk urea lebih diperlukan apabila warna air tambak cenderung coklat kemerahan.

APLIKASI BAKTERI PROBIOTIK RICA

Menurut Suwanto (1993), penggunaan bakteri probiotik tertentu dapat menghambat dan membunuh bakteri patogen (V. harveyi), sehingga tidak terjadi korum sensing yang dapat menimbulkan sifat patogen. Menurut Verschuere et al. (2000) dan Poernomo (2004), bahwa

(5)

penggunaan bakteri probiotik merupakan salah satu cara untuk menanggulangi penyakit pada usaha budidaya udang.

BRPBAP Maros telah melakukan seleksi terhadap 3.976 isolat bakteri yang berasal dari laut, man-grove, dan tambak di Sulawesi Selatan. Namun setelah dilakukan uji biokimiawi dan uji tantang terhadap V. harveyi, ternyata hanya 37 isolat (0,93%) yang memiliki daya hambat terhadap V. harveyi. Dari jumlah tersebut, hanya 7 isolat yang layak menjadi kandidat bakteri probiotik untuk budidaya udang windu (Lampiran 1 dan 2). Uji coba aplikasi bakteri probiotik RICA di tambak udang windu telah dilakukan sejak tahun 2006 dan dilakukan evaluasi sesudahnya untuk dilakukan perbaikan metode aplikasinya.

Lampiran 3 memperlihatkan kinerja aplikasi bakteri probiotik RICA (BRPBAP) dibandingkan kontrolnya (tanpa probiotik ataupun menggunakan probiotik komersil). Hasil penelitian pada tahun 2009 di tambak rakyat di Kabupaten Barru menunjukkan, bahwa aplikasi probiotik di tambak dengan padat penebaran 2 ekor/m2 pada kondisi kasus WSSV sedang mewabah, ternyata mampu mencegah

penyakit udang, dan terbukti produksinya 81,4 kg/ha (428%) dan sintasannya 30,9% (261%) dibandingkan pada kontrolnya (Nurbaya, 2009; Komunikasi Pribadi).

Pada kepadatan tebar benur yang lebih tinggi (6 ekor/m2) di Instalasi Tambak Percobaan (ITP)

Marana, kombinasi probiotik BL542+BR931+MY1112+MR55+BT950 dalam waktu 12 minggu tanpa aerasi mampu menghasilkan sintasan dan produksi udang windu 86,1% dan 568 kg/ha (sekitar 216%

daripada kontrolnya). Dengan padat penebaran 10 ekor/m2, kombinasi probiotik

BL542+BR883+MY1112+MR55+BT950 dalam 13 minggu pemeliharaan dengan aerasi “supercharge

blower” menghasilkan sintasan dan produksi udang windu 89,8% dan 672 kg/ha (121% dan 107%

daripada kontrolnya). Atmomarsono et al. (2010) melaporkan, bahwa aplikasi pergiliran probiotik (BT951 bulan I, MY1112 bulan II, BL542 bulan III, dan BT951 bulan IV) dengan padat penebaran 8 ekor/m2 di ITP Marana selama 13 minggu pemeliharaan pada musim kemarau (salinitas hingga 56

ppt) menghasilkan sintasan dan produksi udang 66,4% dan 448,7 kg/ha (167% dan 196% dibandingkan kontrolnya). Aplikasi pergiliran probiotik tersebut di Instalasi Tambak Percobaan Punaga, Takalar dengan padat penebaran tokolan hatcheri 20 ekor/m2 menggunakan kincir air selama 16 minggu

pemeliharaan mampu menghasilkan sintasan dan produksi udang windu 79% dan 1.543 kg/ha (166% dan 133% dibandingkan kontrolnya) (Atmomarsono et al., 2009b).

Hasil identifikasi secara molekuler (16S-rRNA) menunjukkan bahwa isolat BT951 merupakan bakteri asal tambak kelompok Bacilllus (Brevibacillus laterosporus) dengan indeks kedekatan sebesar 97,7% (Muliani et al., 2006), isolat MY1112 merupakan Serratia marcescens dari daun mangrove (Muliani

et al., 2004), sedangkan isolat BL542 merupakan Pseudoalteromonas sp. Edeep-1 yang berasal dari

laut (Muliani et al., 2003; 2005).

Berdasarkan hasil di atas menunjukkan, bahwa bakteri probiotik RICA (BRPBAP) terbukti mampu mengendalikan V. harveyi di air dan meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di tambak. Manfaat bakteri probiotik dalam budidaya udang adalah lebih aman, tidak menimbulkan resistensi, mudah diperbanyak, dapat mematikan bakteri patogen (V. harveyi), dapat berfungsi sebagai pengurai organik dan memperbaiki kualitas air, serta meningkatkan sintasan dan pertumbuhan udang yang dipelihara. Namun demikian hal ini baru dapat tercapai apabila aplikasinya dilakukan secara tepat jenis, dosis, waktu, dan medianya.

KESIMPUL AN DAN SARAN

- Aplikasi bakteri probiotik RICA (BRPBAP) terbukti mampu mengurangi serangan penyakit vibrio-sis maupun penyakit bintik putih di tambak udang windu.

- Aplikasi bakteri probiotik RICA mampu meningkatkan sintasan dan produksi udang windu di tambak ekstensif, semi-intensif, maupun intensif selama persiapan tambak, penebaran benur, serta pengaturan pakan dan air dilakukan dengan benar.

- Aplikasi bakteri probiotik di tambak TSM masih perlu dikaji lebih lanjut, terutama dalam hal pemakaian kapur dolomit pada musim penghujan.

(6)

DAF TAR ACUAN

Atmomarsono, M. 2004. Pengelolaan kesehatan udang windu, Penaeus monodon di tambak.

Aquacultura Indonesiana, 5(2): 73-78.

Atmomarsono, M. 2005. Cara praktis pencegahan penyakit udang windu di tambak. Paper dipresentasikan pada acara “Temu Konsultasi Budidaya Tambak Ramah Lingkungan dan Strategi Pencegahan Penyakit Udang” di Kota Tarakan, 14-Juli-2005. BRPBAP, PRPB, BRKP, 13 hlm.

Atmomarsono, M. 2009. Upaya pencegahan penyakit udang melalui budidaya ramah lingkungan.

Dalam Hardianto, D. & Taufiqurrohman, M. (Eds). Prosiding Seminar Nasional Kelautan V. Univer-sitas Hang Tuah, Surabaya, 23-April-2009, hlm. II-285-292.

Atmomarsono, M. & Mansyur, A. 1997. Shrimp disease outbreak: A result of poor zonation in coastal area. In Noor, A. and Tahir, A. (Eds.), Proceeding, International Seminar on the Sea and its

Environ-ment. Ujung Pandang, p. 81-86.

Atmomarsono, M., Madeali, M.I, Muliani, & Tompo, A. 1993. Kasus penyakit udang windu di Kabupaten Pinrang. Dalam Hanafi, A., Atmomarsono, M., Ismawati, S. (Eds). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Maros, hml. 35-40.

Atmomarsono, M., Muliani, & Ismawati, S. 1995. Prospek penggunaan tandon pada budidaya udang windu. Makalah “Aplikasi Paket Teknologi Pertanian” di Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (IPPTP), Wonocolo, Surabaya, 2-4 Juli 1995, 10 hlm..

Atmomarsono, M., Muliani, & Nurbaya. 2009a. Penggunaan bakteri probiotik dengan komposisi berbeda untuk perbaikan kualitas air dan sintasan pascalarva udang windu. J. Ris. Akuakultur, 4(1): 73-83.

Atmomarsono, M., Muliani, & Tampangallo, B.R. 2010. Aplikasi bakteri probiotik untuk peningkatan sintasan dan produksi udang windu di tambak. Dalam Sudradjat, A., Rachmansyah, Hanafi, A. Azwar, Z.I., Imron, Kristanto, A.H., Chumaidi, & Insan, I. (Eds.). Prosiding Forum Inovasi Teknologi

Akuakultur 2010. Buku I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Jakarta, hlm. 269-278.

Atmomarsono, M., Pantjara, B., Mansyur, A., & Nurbaya. 2009b. Aplikasi bakteri probiotik secara pergiliran dalam budidaya udang windu di tambak intensif. Dalam Permadi, A., Sipahutar, Y.H., Saifurridjal, Basith, A., Sugriwa, E., Siregar, A. N., Thaib, E.A., Surya, R., & Wulandari, N.S. (Eds.).

Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2009. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M),

Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, hlm. 197-201.

Gunarto, Tangko, A. M., Tampangallo, B.R., & Muliani. 2006. Budidaya udang windu (Penaeus monodon) di tambak dengan penambahan probiotik. J. Ris. Akuakultur, 1(3): 303-313.

Muliani, Atmomarsono, M., & Madeali, M.I. 1998. Pengaruh penggunaan kekerangan sebagai biofilter terhadap kelimpahan dan komposisi jenis bakteri pada budidaya udang windu (Penaeus monodon) dengan sistem resirkulasi air. J. Pen. Perik. Indonesia, 3: 54-61.

Muliani, Nurbaya, & Atmomarsono, M. 2006. Penapisan bakteri yang diisolasi dari tambak udang sebagai kandidat probiotik pada budidaya udang windu, Penaeus monodon. J. Ris. Akuakultur, 1(1): 73-85.

Muliani, Nurbaya, Tompo, A., & Atmomarsono, M. 2004. Eksplorasi bakteri filosfer dari tanaman mangrove sebagai bakteri probiotik pada budidaya udang windu, Penaeus monodon. J. Pen. Perik.

Indonesia, 10(2): 47-57.

Muliani, Nurhidayah, & Atmomarsono, M. 2005. Karakterisasi, Analisis Gen 16S-rRNA bakteri BL542 dan evaluasi efek bakterisidanya terhadap Vibrio harveyi penyebab penyakit pada udang windu (Penaeus monodon). J. Pen. Perik. Indonesia, 11(1): 59-67.

Muliani, Suwanto, A., & Hala, Y. 2003. Isolasi dan karakterisasi bakteri asal Laut Sulawesi untuk biokontrol penyakit vibriosis pada larva udang windu (Penaeus monodon Fab.). Hayati, 10: 6-11. Poernomo, A. 2004. Technology of probiotics to solve the problems in shrimp pond culture and the culture environment. Paper presented in The National Symposium on Development and Scientific

(7)

Suryati, E., Gunarto, & Sulaeman. 2006. Analisis bioaktif tanaman mangrove yang efektif mereduksi penyakit bakteri pada budidaya udang windu. J. Ris. Akuakultur, 1(1): 97-104.

Suwanto, A. 1993. Teknik Percobaan dalam Genetika Molekuler. Kursus singkat biologi molekuler. IPB, Bogor, 19-31 Juli 1993.

Suwoyo, H.S. & Mangampa, M. 2008. Teknologi produksi intensif tokolan udang windu (Penaeus

monodon Fabr.) di tambak dengan sistem aerasi. Media Akuakultur, 3(1): 1-5.

Verschuere, L., Rombaut, G., Sorgeloos, P., & Verstraete, W. 2000. Probiotic bacteria as biological control agents in aquaculture. Mic. Mol. Biol. Rev., 64(4): 655-671.

(8)

Lampiran 1. Bakteri probiotik yang memiliki daya hambat terhadap bakteri kunang-kunang,

Vibrio harveyi di tambak udang windu Asal

bakteri

Jumlah isolat

Jumlah isolat penghambat Vibrio harveyi

Kandidat bakteri probiotik Laut 603 15 (2,5%) 1 Mangrove 1.145 9 (0,78%) 3 Tambak 2.228 14 (0,6%) 3 Jumlah 3.976 38 (0,96%) 7

Lampiran 2. Nama latin kandidat bakteri probiotik untuk tambak udang windu berdasarkan hasil analisis 16S-rRNA

Asal bakteri Kode isolat Nama latin berdasarkan gen bank

Laut BL542 Pseudoalteromonas sp. Edeep-1

Mangrove MY1112 Serratia marcescens

BR883 Staphylococcus sp.

BR931 Pseudomonas putida Strain R.

Tambak MR55 Bacillus firmus Strain NRL

BT950 Brevibacillus laterosporus

(9)

La m p ir an 3 . K ine rj a b ak te ri p ro b io ti k as al l aut , m ang ro ve , d an tam b ak ud ang t er had ap p eni ng kat an si nt as an d an p rod uk si ud ang w ind u d i tam b ak t rad is io nal p lus ( ek st ens if ), s em i-int ens if, d an int ens if d i Sul aw es i Se lat an (2 0 0 6 -2 0 1 0 ) *)

Referensi

Dokumen terkait

Prototipe alat pencacah kulit kayu bangkal merupakan alat bantu yang dapat mempermudah proses pencacahan atau penghalusan kulit kayu bangkal sebagai bahan baku

Data spasial oseanografi khususnya data suhu, salinitas, oksigen terlarut, derajat keasaman, turbiditas, dan kecerahan diperoleh dari pengukuran di beberapa titik observasi

Ekplorasi dimulai dengan mencari tahu atau mempelajari kemampuan apa saja yang tersedia pada feature PC-Dmiss yang bisa dipergunakan untuk efisiensi waktu proses pembuatan

The aim of Science Standard Curriculum for primary is to instil interest and develop creativity amongst pupils through experience and investigation so as to master knowledge

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Kotabumi Kantor Cabang Bandar Lampung dalam menyalurkan pembiayaan sertifikasi mempunyai beberapa kriteria untuk memilih

Event merupakan sarana humas yang cukup sering digunakan dalam rangka meningkatkan publikasi dan memperkenalkan produk perusahaan pada masyarakat secara luas. Event menjadi salah

Sosok Pattimura yang memiliki jiwa kepemimpinan menyebabkan dirinya berhasil merangkul Raja-Rajadi negeri Maluku untuk melawan Kolonial Belanda.. Pattimura mendapat

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Televisi dan Budaya