BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Disiplin Kerja
Disiplin merupakan fungsi operatif Manajemen Sumber Daya Manusia yang terpenting. Karena semakin baik disiplin karyawan maka semakin tinggi produktivitas kerja, tanpa disiplin karyawan yang baik maka sulit bagi perusahaan untuk mencapai hasil yang optimal. Menurut Sinungan (2000 : 273) disiplin adalah sikap mental yang mencerminkan melalui perbuatan atau tingkah laku perorangan, kelompok atau masyarakat berupa kekuatan terhadap peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan pemerintah atau etika norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat untuk tujuan tertentu. Siagian (2003 : 305), mengartikan disiplin sebagai suatu tindakan manajemen untuk mendorong para anggota organisasi memenuhi tuntutan berbagai ketentuan. Menurut Sinungan (2000 : 134), disiplin kerja adalah sikap kejiwaan dari seseorang atau kelompok orang yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti atau mcmatuhi segala aturan atau keputusan yang telah ditetapkan menurut Hornby yang dikutip oleh Saydam (2002 : 198), disiplin kerja adalah pelatihan khususnya pelatihan pikiran dan sikap untuk pengendalian diri dan kebiasaan menaati peraturan yang berlaku.
Gorda (2001 : 106) disiplin kerja adalah sikap dan prilaku seorang karyawan yang diwujudkan dalam bentuk kesediaan seorang karyawan dengan
penuh kesadaran dan ketulusikhlasan atau dengan paksaan untuk mematuhi dan melaksanakan seluruh kebijaksanaan perusahaan dari dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai upaya memberi sumbangan semaksimal mungkin dalam pencapaian tujuan perusahaan. Bagi Mathis dan Jackson (2002:314) disiplin adalah merupakan bentuk pelatihan yang menegakkan peraturan-peraturan perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa disiplin kerja adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan perusahaan dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
2.1.2 Pentingnya disiplin kerja
Peranan pegawai dalam suatu organisasi sangat penting, karena keberhasilan organisasi dipengaruhi oleh kesadaran dan kemauan pegawai untuk berkorban dan bekerja keras dengan menjauhkan diri dari kepentingan pribadi atau golongan, kesadaran untuk bekerja keras demi dan untuk kepentingan organisasi serta melakukan tugasnya secara serius dengan tugas-tugas yang ada (disiplin) akan berpengaruh terhadap efisiensi organisasi. Menurut Saydam (2002:170), disiplin yang diharapkan dari karyawan pada dasarnya ada dua yaitu :
1) Mematuhi segala peraturan yang berlaku dalam perusahaan. 2) Menjauhi segala larangan yang berlaku dalam perusahaan.
Disamping organisasi menuntut karyawannya untuk berdisiplin, disiplin yang harus diperhatikan organisasi antara lain :
1) Tiap suatu tindakan terhadap karyawan harus memiliki dasar yang sudah diketahui oleh karyawan.
2) Memberi kompcnsasi waktu yang tepat waktu dan tepat jumlah scsuai dengan jasa yang sudah mcreka berikan.
3) Taat asas (konsisten) dan selalu menepati janji.
Untuk mengukur scberapa jauh disiplin kerja karyawan dapat dilihat dari ketidak hadiran atau absensi dan tingkah laku karyawan atau pegawai.
1) Ketidakhadiran atau absensi
Heidjrahman dan Husnan (2000 : 33), menyatakan bahwa salah satu wujud nyata dari kedisiplinan adalah tingkat absensi. Dengan tingkat absensi yang semakin besar, dengan kata lain banyaknya karyawan yang tidak masuk kerja akan semakin menyulitkan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Menurut Kuna Winaya (1989 : 25) mengemukakan bahwa : rata-rata tingkat absensi 2 - 3 persen perbulan masih dianggap baik, sedangkan apabila tingkat absensi yang mencapai 15 - 20 persen sudah menunjukkan gejala yang sangat buruk disiplin kerja karyawan dan sangat perlu diperhatikan serius guna memecahkan masalah tersebut. Menurut Mudiartha Utama (2001 : 93) untuk mengukur besarnya persentase tingkat absensi dapat dicari dengan menggunakan minus berikut :
Jumlah hari kerja yang hilang
Tingkat absensi = x 100
Absensi disebabkan oleh banyak hal antara lain adanya ketidakcocokan dengan teman kerja atau dengan atasan, tidak adanya motivasi kerja, adanya perasaan jenuh dan bosan atau adanya pekerjaan sampingan pegawai yang lebih memberikan penghasilan lebih besar. Oleh karena itu suatu organisasi harus selalu mencari jalan keluar agar pegawai yang dibinanya tetap melakukan tugas sehari-hari dengan tekun dan tidak absen.
2) Tingkah laku karyawan
Disiplin kerja pegawai dapat diukur dengan cara yang lain yaitu dengan melihat tingkah laku pegawai atau lebih tepat disebut dengan moral kerja. Sebab tingkah laku pegawai atau manusia pada umumnya ditentukan oleh moral manusia tersebut. Pembinaan moral kerja yang tinggi harus dianggap sebagai tanggung jawab perusahaan yang sifatnya kostan. Kondisi moral kerja yang buruk akan berdampak tidak langsung terhadap kinerja pegawai yang tampak dengan adanya disiplin kerja pegawai yang rendah. Oleh karena itu pembinaan karyawan secara tepat akan menghasilkan terbinanya disiplin kerja pegawai yang merupakan aset yang sangat bernilai bagi perusahaan.
Pembinaan disiplin dalam organisasi harus diupayakan dengan cara-cara yang baik, efektif, dan efisien. Oleh karena itu perlu diketahui hakekat disiplin itu sendiri, faktor-faktor yang menunjang pembentukan dan pembinaannya, serta segala sesuatu yang mempunyai hubungan atau kaitan yang erat dengan disiplin.
2.1.3 Tipe disiplin
Keberhasilan pegawai dalam menjalankan kewajiban sangat tergantung pada kesediaan untuk berkorban dan bekerja keras dengan menjauhkan diri dari kepentingan pribadi atau golongan. Karena perlu sekali dimiliki kedisiplinan oleh setiap pegawai dalam melakukan tugasnya agar efisien sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Menurut Gorda (2001 : 107) membedakan tipe disiplin menjadi 2 yaitu sebagai berikut :
1) Disiplin preventif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mendorong para karyawan agar mengikuti standar dan aturan sehingga penyelewengan-penyelewengan dapat dicegah. Disiplin preventif ini sasaran pokoknya adalah mendorong disiplin diri diantara para karyawan.
2) Disiplin korektif adalah kegiatan yang diambil untuk menangani pelanggaran tcrhadap aturan-aturan dan mencoba untuk menghina pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut. Disiplin korektif sering berupa hukuman yang sering disebut tindakan pendisiplinan (Disciplinary Action). Tindakan pendisiplinan bisa berupa peringatan atau skorsing.
2.1.4 Pola pembinaan disiplin
Pola pembinaannya penegakan disiplin kerja tidak diserahkan kepada pegawai semata-mata. Untuk itu organisasi haruslah mempunyai semacam pola pembinaan disiplin bagi para pegawainya. Pola pembinaan disiplin menurut Saydam (2002 : 200) dapat berupa :
1) Menciptakan peraturan dan tata tertib yang seharusnya dilaksanakan oleh para karyawannya.
2) Menciptakan dan memberikan sanksi-sanksi bagi pelanggaran disiplin. 3) Melakukan pembinaan melalui pelatihan-pelatihan kedisiplinan yang
terus menerus.
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin kerja
Tegaknya disiplin tergantung pada semua orang yang ada diperusahaan, karena ia akan melibatkan semua orang yaitu orang-orang yang selalu ingin teratur dan terjamin kepentingannya dalam bekerja. Oleh sebab itu, para karyawan harus memberikan partisipasinya untuk tegaknya disiplin kerja di dalam perusahaan. Menurut Mudiartha Utama (2001 : 229) suatu perusahaan yang tidak ditopang oleh tegaknya disiplin, terlihat dari gejala-gejala berikut ini :
1) Tingkat kemangkiran tinggi.
2) Para karyawan tidak mempunyai semangat dan gairah kerja. 3) Prestasi kerja menurun.
4) Tujuan perusahaan yang telah ditetapkan tidak akan tercapai.
Menurut Gorda (2001 : 114) adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi disiplin kerja, antara lain :
1) Kesadaran karyawan
Timbul dari karyawan sendiri untuk mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan peraturan perusahan.
2) Komunikasi yang cepat
Yaitu suatu proses penyampaian informan dari seseorang kepada orang lain agar timbul pengertian yang sama terhadap informan.
3) Kepemimpinan
Adalah sifat seseorang di dalam upaya membimbing dan menggerakkan orang lain agar bersedia melaksanakan suatu kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan yang dikehendaki. Jadi dalam penegakan disiplin kerja karyawan, banyak faktor yang harus diperhatikan guna mencapai tujuan perusahaan yang maksimal.
2.2 Kepemimpinan
2.2.1 Pengertian Kepemimpinan
Menurut Handoko (1999 : 294) kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya. Menurut Stoner dalam Umar (2003 : 31) kepemimpinan adalah proses pengarahan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari para anggota kelompok. Menurut Bernadine dan Susilo Supardo (2002 : 3) kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses yang kompleks dimana seseorang mempengaruhi orang-orang lain untuk mencapai suatu misi, tugas, atau suatu saran, dan mengarahkan organisasi dengan cara yang membuatnya lebih kohesif dan lebih masuk akal. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu upaya
penggunaan jenis pengaruh untuk memotivasi orang-orang mencapai tujuan tertentu.
2.2.2 Fungsi Kepemimpinan
Menurut Siagian yang dikutip oleh Sri Budi (2005 : 167) bahwa terdapat fungsi kepemimpinan yaitu :
1) Fungsi penentu arah. Keterbatasan sumber daya organisasi mengharuskan pemimpin untuk mengelolanya dengan efektif, dengan kata lain arah yang hendak dicapai oleh organisasi menuju tujuan harus sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan pemanfaatan dari segala sarana dan prasarana yang ada. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi dan taktik yang disusun oleh pimpinan dalam organisasi.
2) Fungsi sebagai juru bicara. Fungsi ini mengharuskan pemimpin untuk berperan sebagai penghubung antara organisasi dengan pihak-pihak luar yang berkepentingan seperti pemilik saham, pemasok, penyalur, lembaga keuangan, dan perusahaan yang terkait.
3) Fungsi kepemimpinan sebagai mediator. Konflik-konflik yang terjadi atau adanya perbedaan-perbedaan kepentingan dalam organisasi menuntut kehadiran seseorang pemimpin dalam menyelesaikan permasalahan yang ada kiranya sangat mudah membayangkan bahwa tidak akan ada seseorang pemimpin yang akan membiarkan situasi demikian berlangsung dalam organisasi yang dipimpinnnya dan akan segera berusaha keras untuk menanggulanginya.
4) Fungsi sebagai integrator. Adanya pembagian tugas, system alokasi daya, dana dan tenaga kerja, serta diperlukannya spesialisai pengetahuan dan keterampilan dapat menimbulkan sikap, perilaku dan tindakan berkotak-kotak dan oleh karenanya tidak boleh dibiarkan langsung terus. Dengan perkataan lain diperlukan integrator terutama pada hirarki puncak organisasi. Integrator itu adalah pimpinan.
2.2.3 Jenis atau Tipe Kepemimpinan
Berdasarkan perilaku pemimpin dalam perusahaan maka dapat dikelompokkan dalam tipe tertentu yang masing-masing memiliki ciri tersendiri (Sudarwan, 2004 : 74).
1) Pemimpin otokratik, tindakan pemimpin menurut kemauan sendiri. Perintah hanya dari satu pihak saja, pemimpin bekerja sungguh-sungguh, belajar keras, tertib dan tidak boleh dibantah. Memiliki cirri-ciri yaitu beban kerja organisasi ditangggung oleh pimpinan, bawahan hanya sebagai pelaksana tidak boleh memberikan ide-ide baru, bekerja dengan disiplin tidak kenal lelah, kepercayaan rendah terhadap bawahan, komunikasi tertutup dan satu arah.
2) Pemimpin demokratis, intinya adalah keterbukaan dan keinginan memposisikan pekerjaan dari, oleh dan untuk bersama-sama. Pemimpin yang demokratis berusaha lebih banyak melibatkan anggota kelompok dalam memacu tujuan-tujuan. Mempunyai ciri yaitu beban kerja organisasi menjadi tanggung jawab bersama dalam organisasi, bawahan oleh pimpinan
dianggap komponen pelaksana dan secara integral harus diberi tugas dan tanggung jawab, disiplin tetapi tidak kaku dan memecahkan masalah bersama, komunikasi dengan karyawan bersifat terbuka dan dua arah.
3) Pemimpin permisif, pemimpin yang tidak mempunyai pendirian yang kuat, serba dibolehkan. Mempunyai ciri yaitu tidak ada pegangan yang kuat dan kepercayaan yang rendah pada diri, mengiyakan semua saran, lambat dalam mengambil keputusan banyak “mengambil muka” kepada bawahan.
2.2.4 Syarat-syarat Pemimpinan
Menurut Sudarwan (2004 : 61) Syarat-syarat seorang pemimpin adalah : 1) Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa
2) Memiliki inteligensi yang tinggi 3) Memiliki fisik yang kuat
4) Pengetahuan luas 5) Percaya diri
6) Dapat menjadi anggota kelompok 7) Adil dan bijaksana
8) Tegas dan berinisiatif
9) Berkapasitas membuat keputusan 10) Memiliki kestabilan emosi 11) Sehat jasmani dan rihani 12) Bersifat prospektif
Sri Budi (2005 : 172) berpendapat dengan kesuksesan pemimpin dalam organisasi, nampaknya seorang pemimpin harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
(1) Watak dan kepribadian terpuji. Agar para bawahan maupun orang yang berada di luar organisasi mempercayainya, seorang pemimpin harus mempunyai watak dan kepribadian yang tinggi.
(2) Keinginan melayani bawahan. Seorang piminan harus percaya pada bawahan. Ia mendengarkan pendapat mereka dan berkeinginan untuk membantu mereka.
(3) Memahami kondisi lingkungan. Seorang pemimpin tidak hanya menyadari tentang apa yang terjadi disekitarnya, tetapi juga harus mempunyai pengertian yang memadai, sehingga dapat mengevaluasi perbedaan kondisi organisasi dan para bawahannya.
(4) Intelegensi yang tinggi. Seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan berfikir pada taraf yang tinggi. Ia dituntut harus mampu untuk menganalisa problem dengan efektif, belajar dengan cepat, dan memiliki minat yang tinggi untuk mendalami dan menggali ilmu.
(5) Berorientasi ke depan. Seorang pemimpin harus memiliki intuisi, kemampuan memprediksi, dan visi sehingga mengetahui sejak awal tentang kemungkinan apa yang dapat mempengaruhi organisasi organisasi yang dikelolanya.
(6) Sikap terbuka dan lugas. Pimpinan harus sanggup mempertimbangkan fakta-fakta dan inovasi baru. Lugas namun konsisten pendiriannya.
2.3 Budaya Organisasi
2.3.1 Pengertian Budaya organisasi
Perhatian terhadap pemikir penelitian budaya organisasi meningkat drastic sejak tahun 1982. Budaya mempengaruhi banyak aspek kehidupan baik organisasi maupun individu, Sherriton and Stren (1997 : 212-220). Dalam literatur teori organisasi budaya telah didefinisikan dalam berbagai ragam oleh berbagai ahli. Definisi budaya (culture) secara umum dikemukakan oleh Holsted pada tahun 1980 seperti dikutip oleh Bourantas et al., (1988) sebagai “the collective programming of the mind which distinguishes the members of one human group from another”. Menurut Peter F. Druicker dalam Pabundu Tika (2005 : 4) Budaya Organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal kelompok yang pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas. Menurut Phithi Amnuai dalam Pabundu Tika (2005 : 4) Budaya Organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal. Baik definisi budaya organisasi yang dikemukakan oleh Petere F. Drucker maupun Phithi Sithi Amnuai menunjukkan adanya kesamaan dengan definisi budaya yang dikemukakan oleh Edgar H. Schein. Dari 3 (tiga) definisi yang dikemukakan oleh para tokoh budaya
organisasi di atas terkandung unsur-unsur dalam budaya organisasi sebagai berikut.
1) Asumsi dasar
Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk berperilaku.
2) Keyakinan yang dianut
Dalam budaya organisasi terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi. Keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar, tujuan umum organisasi/ perusahaan, filosofi usaha, atau prinsip-prinsip menjelaskan usaha.
3) Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi. Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin organisasi/perusahaan atau kelompok tertentu dalam organisasi atau perusahaan tersebut.
4) Pedoman mengatasi masalah
Dalam organisasi/perusahaan, terdapat dua masalah integrasi internal. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut bersama anggota organisasi.
5) Berbagi nilai (sharing of value)
Dalam budaya organisasi perlu berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik atau berharga bagi seseorang.
6) Pewarisan (learning proses)
Asumsi dasar keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu diwariskan kepada anggota baru dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam organisasi/perusahaan tersebut.
7) Penyesuaian (adaptasi)
Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap peraturan atau norma yang berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi organisasi/ perusahaan terhadap perubahan lingkungan.
Menurut Monday and Noe III (1993 : 321), terdapat 3 (tiga) faktor membentuk budaya dalam organisasi yaitu : (1) komunikasi (2) motivasi dan (3) kepemimpinan. Komunikasi merupakan transfer informasi, ide pemahaman dan perasaan diantara para anggota organisasi. Manajer yang ingin berhasil dalam organisasi harus mampu berkomunikasi secara efektif. Motivasi merupakan kemauan untuk berusaha dalam mengejar tujuan organisasi sebelumnya manajer tidak dapat secara langsung memotivasi bawahan karena memotivasi adalah masalah internal masing-masing individu. Tugas manajemen adalah menghadirkan budaya organisasi yang mendorong perilaku positif dari bawahannya manajemen organisasi perlu memahami faktor-faktor yang memicu perilaku bawahan dan mengembangkan serta mempertahankan lingkungan yang produktif dalam organisasi, kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi anggota organisasi untuk bertindak sesuai dengan keyakinan pimpinan. Para manajer organisasi menggunakan pendekatan yang beragam dalam mempengaruhi anggota organisasi dan hal ini sangat mempengaruhi budaya
organisasi berdampak signifikan terhadap kinerja ekonomi jangka panjang. Penelitian mereka menunjukkan bahwa organisasi-organisasi yang memiliki budaya yang mementingkan pelanggan, pemegang saham dan karyawan terbukti memiliki kinerja yang jauh lebih baik dibandingkan dengan organisasi-organisasi yang tidak berbudaya seperti itu. Budaya organisasi-organisasi diprediksi menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan organisasi di masa mendatang.
2.3.2 Faktor-faktor dasar budaya organisasi
Berkaitan dengan dimensi budaya, Robbins (1989) juga mengemukakan sepuluh factor yang merupakan dasar atau karakteristik dari suatu budaya organisasi. Adapun kesepuluh faktor itu adalah :
1) Individual Initiative, yaitu tingkat tanggung jawab, kebebasan, kemandirian dan kesempatan yang dimiliki individu untuk menggunakan inisiatifnya dalam perusahaan.
2) Risk Tolerance, yaitu seberapa jauh tingkat resiko yang boleh atau mungkin diambil oleh anggota dalam perusahaan.
3) Direction, yaitu seberapa jauh perusahaan memberikan penjelasan tentang tujuan yang ingin dicapai dan kinerja yang diharapkan.
4) Integration, yaitu sejauh mana unit-unit kerja dalam perusahaan didorong untuk bekerja dalam suatu sistem yang terkoordinasi.
5) Management support, yaitu sejauh mana manajer-manajer dalam perusahaan memberikan pengarahan, dukungan dan berkomunikasi dengan bawahannya.
6) Control, yaitu sejumlah aturan kebijaksanaan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengontrol perilaku karyawan.
7) Identity, yaitu sejauh mana anggota mengidentifikasi diri pada perusahaan. 8) System, yaitu bagaimana tingkat penghargaan yang diberikan perusahaan
kepada karyawan.
9) Conflict Tolerance, yaitu tingkat toleransi terhadap konflik yang muncul dalam perusahaan.
10) Communication Patterns, yaitu sejauh mana komunikasi dalam perusahaan dibatasi berdasarkan susunan wewenang secara formal.
Susanto (1997) juga mengemukakan sepuluh faktor yang isinya sama dengan Robbins, yang dinamakan sepuluh karakteristik budaya organisasi/perusahaan. Menurut kesepuluh karakteristik tersebut dapat dijadikan ukuran kekuatan dari setiap organisasi untuk mencapai sasarannya dan menjadi patokan Sumber Daya Manusia dalam memandang perusahaan tempat mereka bekerja. Budaya organisasi bukan hanya gambaran dan sikap dan kepribadian anggotanya, tetapi lebih dari itu, budaya sentralisasi atau desentralisasi, tingkat interdependensi wewenang dan lain-lain.
2.3.3 Fungsi dan Peran Budaya Organisasi
Budaya melakukan sejumlah fungsi penting dalam sebuah organisasi, Smircich (1983) menjelaskan, budaya perusahaan sebagai nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama memberikan beberapa fungsi penting Pertama, membawa suatu perasaan identitas sebagai anggota organisasi. Kedua, sebagai sarana untuk membangun komitmen akan sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri. Ketiga, budaya perusahaan meningkatkan stabilitas sistem sosial. Keempat, budaya
organisasi merupakan suatu sense-making devies yang dapat memberikan pedoman dan mempertajam perilaku.
Budaya organisasi berfungsi sebagai sarana untuk mempersatukan kegiatan para anggota perusahaan, yang terdiri atas sekumpulan individu dengan latar belakang kebudayaan yang khas (Ouchi, 1986) berpendapat bahwa budaya organisasi berfungsi meningkatkan dan memelihara kohesi diantara anggota perusahaan. Pengendalian melalui budaya perusahaan melihat manusia itu emosional, pencinta symbol, butuh untuk dimiliki oleh suatu identitas yang superior ataupun kolektivitas. Manifestasi atas budaya organisasi telah menjadi suatu alternatif bentuk pengendalian yang mungkin paling efektif. Menurut Robbins (1989) fungsi budaya organisasi adalah, (a) menentukan peran yang membedakan perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain, (b) menentukan tujuan bersama yang lebih besar dari sekedar kepentingan individu, (c) menjaga stabilitas social perusahaan, (d) meningkatkan identitas bagi anggota perusahaan, (e) member pengertian dan mekanisme kontrol yang memberi pedoman bagi sikap dan perilaku.
2.3.4 Tolak Ukur
Menurut Taliziduhu dalam Pabundu Tika (2005 : 114) berpendapat dalam mengukur budaya organisasi kuat sebagai budaya organisasi yang dipegang semakin intensif (semakin mendasar dan kokoh), semakin luas dianut dan semakin jelas disosialisasikan dan diwariskan.
1) Kejelasan Nilai-nilai dan Keyakinan (Clarity of Ordering)
Nilai-nilai keyakinan yang disepakati oleh anggota organisasi dapat ditentukan secara jelas. Kejelasan nilai-nilai ini ditentukan dalam bentuk filosofi usaha,
slogan/moto perusahaan, asumsi dasar, tujuan umum perusahaan, dan prinsip-prinsip yang menjelaskan usaha.
2) Penyebarluasan Nilai-nilai dan Keyakinan (Extent of Ordering)
Penyebarluasan nilai-nilai ini terkait dengan beberapa banyak orang/anggota organisasi yang menganut nilai-nilai dan keyakinan budaya organisasi. Penyebarluasan nilai tergantung dari sistem sosialisasi atau pewarisan yang diberikan oleh pimpinan organisasi kepada anggota-anggota organisasi khususnya anggota-anggota baru.
3) Intensitas Pelaksanaan Nilai-nilai Inti (Core Values Being Intensely Held)
Intensitas dimaksudkan seberapa jauh nilai-nilai budaya organisasi dihayati, dianut, dan dilaksanakan secara konsisten oleh anggota-anggota organisasi. Disamping itu, intensitas juga dimaksudkan bagamana cara organisasi/perusahaan memperlakukan anggota-anggota organisasi (karyawan) yang secara konsekuen menjalankan nilai-nilai budaya organisasi dan anggota organisasi yang hanya separuh atau sama sekali tidak menjalankan nilai-nilai budaya.
2.4 Komunikasi
2.4.1 Pengertian Komunikasi
Menurut Gorda (2004 : 193) komunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain dengan harapan timbul kesamaan pengertian dan persepsi yang kemudian untuk diarahkan kepada
sesuatutindakan tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.
Komunikasi merupakan hal yang sangat penting di dalam organisasi, karena komunikasi berlaku sebagai rantai koordinasi antara karyawan dengan fungsi organisasi (Manulang, 2001 : 209). Disisi lain proses komunikasi itu sendiri sering dianggap sebagai akar dari semua persoalan-persoalan yang timbul.
Menurut Supardi dan Syaiful (2002 : 81) mengatakan bahwa komunikasi adalah usaha untuk mendorong orang lain menginterpretasikan pendapat seperti apa yang dikehendaki oleh orang yang mempunyai pendapat tersebut, sehingga diharapkan diperoleh titik kesamaan saling pengertian.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain sehingga menimbulkan adanya interaksi antara kedua belah pihak untuk dapat saling mengerti dan mencapai suatu tujuan.
2.4.2 Bentuk dan Jenis Komunikasi
Jenis-jenis komunikasi menurut Handoko (2001 : 89) dapat dibedakan menjadi dua yaitu sebagai berikut :
1) Komunikasi Informal adalah komunikasi yang dilaksanakan tidak berdasarkan atas ketentuan dalam struktur organisasi atau peraturan-peraturan di lingkungan organisasi.
2) Komunikasi Formal adalah komunikasi yang terjadi berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu organisasi yang berupa komunikasi vertikal maupun komunikasi horisontal.
Siagian (2003 : 308) menyatakan bahwa dalam suatu organisasi terdapat empat arus atau empat bentuk komunikasi yaitu sebagai berikut :
(1) Komunikasi vertikal ke bawah
Merupakan wahana bagi manajemen untuk menyampaikan berbagai hal kepada para bawahannya seperti perintah, instruksi, kebijakan baru, pengarahan, pedoman kerja, nasehat dan teguran.
(2) Komunikasi vertikal ke atas
Menyangkut keinginan para anggota organisasi untuk menyampaikan berbagai hal seperti laporan hasil pekerjaan, masalah yang dihadapi baik yang sifatnya kedinasan maupun yang sifatnya pribadi kepada atasannya. (3) Komunikasi horisontal
Berlangsung antara orang-orang yang berada pada tingkat yang sama dalam hirarki organisasi, akan tetapi melaksanakan kegiatan yang berbeda.
(4) Komunikasi diagonal
Berlangsung antara dua satuan kerja yang berbeda pada jenjang hirarki organisasi yang berbeda, tetapi menyelenggarakan kegiatan yang sejenis.
2.4.3 Fungsi Komunikasi
Menurut Gorda (2004 : 194), komunikasi mempunyai empat fungsi utama sebagai berikut :
1) Fungsi Kendali
Komunikasi bertindak untuk mengendalikan perilaku karyawan dalam beberapa cara, misalnya bila para karyawan meminta untuk mengkomunikasikan setiap keluhan yang berkaitan dengan pekerjaan kepada atasan langsung, sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, atau sesuai dengan kebijakan perusahaan, dan selanjutnya atasan mengambil berbagai langkah-langkah untuk memecahkan keluhan karyawan tersebut, maka dalam hal ini komunikasi itu menjalankan fungsi kendali (kontrol). 2) Fungsi Motivasi
Komunikasi membantu perusahaan untuk mengembangkan motivasi dengan menjelaskan kepada karyawan apa yang harus dikerjakan, bagaimana mereka bekerja dengan baik, dan apa yang dapat dikerjakan untuk memperbaiki kinerja yang dibawah standar.
3) Fungsi Pengungkapan emosional
Bagi banyak karyawan, kelompok kerja mereka merupakan sumber pertama interaksi sosial. Komunikasi yang terjadi didalam kelompok merupakan mekanisme fundamental dengan mana anggota-anggota menunjukkan kekecewaan dan rasa puas mereka. Oleh karena itu komunikasi menyiarkan ungkapan emosional dari perasaan dan pemenuhan kebutuhan sosial.
4) Fungsi Informasi
Komunikasi berhubungan dengan perannya dalm mempermudah pengambilan keputusan. Komunikasi memberikan informasi yang
diperlukan individu dan kelompok untuk mengambil keputusan dengan meneruskan data guna mengenali dan menilai pilihan-pilihan alternatif.
2.5 Pengaruh Kepemimpinan, Budaya Organisasi dan Komunikasi terhadap Disiplin Kerja Karyawan
Kepemimpinan adalah kunci dalam kelangsungan hidup perusahaan itu sendiri, karena pimpinan merupakan pencetus tujuan, merencanakan, mengorganisasikan, dan menggerakkkan seluruh sumber daya yang dimiliki sehingga tercapai yang diinginkan (Stoner dalam Umar, 2003 : 31). Kepemimpinan akan menyentuh aspek kehidupan karyawan dalam memberikan hasil karya yang berdaya guna dan berhasil guna. Kepemimpinan yang baik akan membawa iklim perusahaan yang baik pula, di mana karyawannya akan memberikan hasil maksimal yang ditunjukan dari sikap positif terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang ditugaskan kepadanya.
Menurut Stoner (1995) memberikan arti budaya sebagai gabungan kompleks asumsi, tingkah laku, cerita, mitos, metafora dan berbagai ide lain yang menjadi satu untuk menentukan apa arti menjadi anggota masyarakat. Dengan demikian diyakini bahwa budaya organisasi yang kuat dapat meningkatkan disiplin kerja karyawan.
Komunikasi merupakan suatu proses penyampaian informasi dari seseorang kepada orang lain dengan harapan timbul kesamaan pengertian dan persepsi yang kemudian untuk diarahkan pada suatu tindakan tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu ( Gorda, 2004 : 193). Komunikasi merupakan kunci pembuka dapat terjadinya hubungan kerjasama antar karyawan dan karyawan dengan
pimpinan. Dengan komunikasi seseorang dapat menyampaikan keinginan-keinginan yang terpendam dalm hatinya kepada orang lain, baik melalui suara, atau gerak isyarat anggota badan dan sebagainya. Semakin lancar dan cepat komunikasi yang dilakukan, akan semakin cepat pula dapat terbinanya hubungan kerja. Seseorang yang tidak dapat melakukan komunikasi maka akan sulit baginya untuk membina hubungan kerja dengan orang lain, oleh sebab itu dikatakan keberhasilan membina kerja sama akan ditentukan oleh keberhasilannya dalam melakukan komunikasi.
Dari uraian yang telah disampaikan maka dapat diketahui bahwa kepemimpinan, budaya organisasi dan komunikasi mempengaruhi disiplin kerja karyawan. Semakin baik cara memimpin dan menciptakan budaya yang baik dalam suatu organisasi yang disertai juga dengan komunikasi yang lancar antara pimpinan dan bawahan maka akan semakin cepat juga tercipta disiplin kerja karyawan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepemimpinan, budaya organisasi dan komunikasi merupakan faktor yang dapat mendorong karyawan untuk bekerja dengan bergairah,bersemangat dan memiliki disiplin kerja yang tinggi.
2.6 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian sebelumnya sebagai referensi oleh Fitria Dewi (2007) yang meneliti tentang “Pengaruh Lingkungan Kerja dan Insentif Finansial terhadap Disiplin Kerja Karyawan Pada PT. BPR Artha Bali Jaya Batu Bulan Gianyar”. Tehnik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuisioner, wawancara dan observasi. Responden penelitian ini adalah keseluruhan karyawan yang berjumlah 30 orang. Variabel-variabel yang diukur dalam penelitian ini yaitu X1
lingkungan kerja, X2 insentif finansial sebagai variabel bebas dan Y disiplin kerja
sebagai variabel berikut. Hasil analisis diperoleh R2 sebesar 0,736 yang berarti perubahan disiplin kerja karyawan sebesar 73,6 persen disebabkan oleh lingkungan kerja dan insentif finansial secara bersama-sama, sedangkan sisanya sebesar 26,4 persen disebabkan variabel lain yang tidak dianalisis. Fhitung sebesar (37,686) lebih
besar dari Ftabel (3,39) yang berarti ada pengaruh yang signifikan secara
bersama-sama dari variabel lingkungan kerja dan insentif finansial terhadap disiplin kerja karyawan pada PT. BPR Artha Bali Jaya Batubulan – Gianyar. thitung sebesar (3,630)
lebih besar dari ttabel (2,052) berarti ada pengaruh yang signifikan dari variabel
lingkungan kerja pada PT. BPR Artha Bali Jaya Batubulan – Gianyar. Nilai thitung
sebesar (5,884) lebih besar dari ttabel (2,052) berarti ada pengaruh yang signifikan
antara variabel insentif finansial terhadap disiplin kerja karyawan pada PT. BPR Artha Blai Jaya Batubulan – Gianyar.
Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat diuraikan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu sama menggunakan variabel terikat disiplin kerja, sedangkan perbedaannya adalah tempat, waktu pelaksanaannya.
Penelitian kedua yang dijadikan acuan adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwi Risadianta (2006) yang berjudul “Pengaruh Kepemimpinan dan Komunikasi Terhadap Disiplin Kerja Pegawai pada PT. (PERSERO) Angkasa Pura I Bandar Udara Ngurah Rai Tuban”.
Berdasarkan penghitungan hasil persamaan regresinya yaitu Y = 5,940 + 0,428 X1 + 0,544 X2. Sedangkan dari analisis uji regresinya yaitu t-test diperoleh
X1 dan X2 lebih besar dari nilai ttabel. Hal ini berarti kepemimpinan dan komunikasi
secara parsial berpengaruh signifikan terhadap disiplin kerja pegawai pada PT. (PERSERO) Angkasa Pura I Bandar Udara Ngurah Rai Tuban. Sedangkan dari analisis F-test diperoleh thitung sebesar 81,740 dan nilai Ftabel adalah 3,15 berarti Fhitung
> Ftabel, artinya kepemimpinan dan komunikasi secara simultan berpengaruh
signifikan terhadap disiplin kerja pegawai pada PT. (PERSERO) Angkasa Pura I Bandar Udara Ngurah Rai Tuban.
Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat diuraikan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu sama menggunakan variabel bebas kepemimpinan dan komunikasi, disiplin kerja sebagai variabel terikat, sedangkan perbedaannya adalah tempat dan waktu pelaksanaannya.
Penelitian selanjutnya yang dijadikan acuan adalah penelitian yang dilakukan oleh Madziatul Churiyah yang berjudul “Pengaruh Konflik Peran (Role Conflict) terhadap Disiplin Kerja Perawat serta Komitmen Pada Organisasi di Rumah Sakit”.
Dalam sebuah organisasi rumah sakit, perawat merupakan komponen penting dan sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya organisasi karena menjadi bagian kunci dengan tanggung jawab tinggi, di samping tenaga medis. Perawat sangat rentan terhadap stress pekerjaan, khususnya pada peran mereka. Selain mengurus pasien yang suka menuntut, mereka juga berhadapan dengan dokter yang stres. Dua penyebab stres tersebut sering menjadi alasan mengapa perawat seringkali merasa kelebihan beban kerja, ataupun merasa kurang dihargai. Penelitian ini mengkaji lebih dalam mengenai keterkaitan antara konflik peran, disiplin kerja perawat dan komitmen pada organisasi. Populasi sekaligus sampel sebanyak 64 orang. Proses
analisis menggunakan Analisis Statistik Deskriptif dan Analisis Statistik Inferential yaitu Analisis Jalur (Path Analysis). Hasil penelitian ini adalah konflik peran terhadap disiplin kerja perawat berpengaruh signifikan sebesar 0,430, konflik peran berpengaruh signifikan secara langsung terhadap komitmen pada organisasi sebesar 0,164, konflik peran berpengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap komitmen pada organisasi sebesar 0,353, disiplin kerja perawat berpengaruh signifikan langsung terhadap komitmen pada organisasi dengan koefisien path sebesar 0,821.
Berdasarkan penelitian tersebut maka dapat diuraikan persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu sama menggunakan variabel disiplin kerja sebagai variabel terikat, sedangkan perbedaannya adalah tempat dan waktu pelaksanaannya.
2.7 Hipotesis
Berdasarkan rumusan permasalahan landasan teori yang relevan maka hipotesis atau jawaban dari penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1) Diduga terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan dari kepemimpinan, budaya organisasi dan komunikasi terhadap disiplin kerja karyawan di Hotel Grand Santhi Denpasar.
2) Diduga terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial dari kepemimpinan, budaya organisasi dan komunikasi terhadap disiplin kerja karyawan di Hotel Grand Santhi Denpasar.
3) Diduga bahwa kepemimpinan merupakan variabel yang berpengaruh lebih besar terhadap disiplin kerja karyawan di Hotel Grand Santhi Denpasar.