• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS..."

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

iii DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 8

1.3 Rumusan Masalah ... 9

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Kegunaan Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS ... 12

2.1 Kajian Pustaka ... 12

2.1.1 Komitmen Organisasi ... 12

2.1.1.1 Konsep Komitmen Organisasi dalam Perilaku Organisasi ... 12

2.1.1.2 Definisi Komitmen Organisasi ... 13

2.1.1.3 Dimensi Komitmen Organisasi ... 15

2.1.1.4 Model Komitmen Organisasi ... 19

2.1.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi ... 21

2.1.1.6 Hasil Komitmen Organisasi ... 23

2.1.2 Leader Member Exchange (LMX) ... 24

2.1.2.1 Konsep Leader Member Exchange (LMX) dalam Perilaku Organisasi ... 24

2.1.2.2 Definisi Leader Member Exchange (LMX) ... 25

2.1.2.3 Dimensi Leader Member Exchange (LMX) ... 27

2.1.2.4 Fase Leader Member Exchange (LMX) ... 28

2.1.2.5 Model Leader Member Exchange (LMX) ... 29

2.1.2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Leader Member Exchange (LMX) ... 31

2.1.3 Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 32

2.1.3.1 Konsep Organizational Citizenshi Behavior (OCB) dalam Perilaku Organisasi ... 32

2.1.3.2 Definisi Organizational Citizenshi Behavior (OCB) ... 33

2.1.3.3 Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 35

2.1.3.4 Model Organizational Citizenshi Behavior (OCB) ... 38

2.1.3.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 39

(2)

2.1.3.5 Dampak Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 42

2.1.4 Pengaruh Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 43

2.1.5 Pengaruh Leader Member Exchange (LMX) terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 44

2.1.6 Penelitian Terdahulu ... 46

2.2 Kerangka Pemikiran... 49

2.3 Hipotesis ... 55

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN... 57

3.1 Objek Penelitian ... 57

3.2 Metode Penelitian ... 57

3.2.1 Jenis Penelitian dan Metode yang Digunakan ... 57

3.2.2 Operasionalisasi Variabel ... 58

3.2.3 Jenis dan Sumber Data ... 63

3.2.4 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 64

3.2.5 Teknik Pengumpulan Data ... 67

3.2.6 Metode Konversi Data menjadi Skala Interval ... 68

3.2.7 Hasil Pengujian Validitas dan Reabilitas ... 69

3.2.8 Teknik Analisis Data ... 71

3.3 Pengujian Hipotesis ... 81

(3)

iv

DAFTAR TABEL

No Tabel Judul Hal

1.1 Rekapitulasi Ketidakhadiran Pegawai Badan Kepegawaian Negara

(BKN) Kantor Regional III Tahun 2016-2018 ... 5

2.1 Penelitian Terdahulu ... 39

3.1 Operasional Variabel ... 53

3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian ... 59

3.3 Jumlah Pengawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III ... 60

3.4 Proporsi Respon Responden ... 62

3.5 Skor Alternatif Jawaban Positif Negatif ... 67

3.6 Kriteria Penafasiran Hasil Perhitungan Responden ... 69

3.7 Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Pengaruh Koefisiesn Deterrminasi ... 72

(4)

v

DAFTAR GAMBAR

No Gambar Judul Hal

1.1 Rekapitulasi Cuti Pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN)

Kantor Regional III Tahun 2017-2018 ... 4

2.1 Model Leader Member Exchange (LMX)... 23

2.2 Model Leader Member Exchange (LMX)... 24

2.3 Model Komitmen Organisasi ... 31

2.4 Model Komitmen Orgnisasi ... 32

2.5 Model Organizational Citizenship Behavior (OCB) Berdasarkan Motif ... 41

2.6 Model Organizational Citizenship Behavior (OCB) Berdasarkan Motif ... 41

2.7 Kerangka Pemikiran Leader Member Exchange (LMX) dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 55

2.8 Paradigma Penelitian Pengaruh Leader Member Exchange (LMX) dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) ... 56

(5)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Keberadaan manusia sebagai sumber daya manusia adalah penting dalam organisasi karena sumber daya manusia menunjang organisasi melalui karya, bakat, kreativitas, dorongan, dan peran nyata seperti dapat dilihat dalam setiap organisasi (Masharyono & Senen, 2015:121). Peranan sumber daya manusia yang ada pada sebuah organisasi semakin penting seiring dengan semakin kompleksnya tugas, tanggung jawab, dan tantangan yang dihadapi organisasi saat ini (Masharyono, 2015:813). Sumber daya manusia tersebut perlu dikelola secara profesional agar terwujud keseimbangan antara kebutuhan pegawai dalam tuntutan dan kemampuan organisasi perusahaan (Anwar Prabu Mangkunegara, 2004:1). Pengelolaan sumber daya manusia yang baik akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, ditandai dengan adanya kinerja yang baik dalam setiap diri karyawan (Senen & Masharyono, 2015: 121). Sumber daya manusia merupakan faktor dinamis yang mampu menentukan maju atau mundurnya organisasi, sehingga lembaga yang memiliki sumber daya manusia yang handal akan memenangkan persaingan (Masharyono & Senen, 2015:121).

Menurut data dari United Nation For Development Program (UNDP), Human Development Index (HDI) Indonesia tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 0,63 poin atau meningkat sebesar 0,90% dibandingkan dengan tahun 2016 (http://voinews.id16/07/2018/Pukul:11:35), menunjukan bahwa sudah sepantasnya Indonesia untuk tetap mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM yang berkualitas adalah yang bekerja sesuai dengan standar-standar yang ditentukan dan mampu menghasilkan kerja sesuai bahkan lebih dari apa yang diharapkan (Muhajir & Arisandra, 2018:3).

Organisasi bisnis maupun organisasi pemerintahan mengiginkan sumber daya manusia yang dimilikinya dapat memberikan kontribusi sebesar-besarnya bagi organisasi. Namun, dalam kenyataanya sering ditemui bahwa kemampuan sumber daya manusia belum memenuhi harapan manajer atau pemimpin (Wibowo, 2017:365). Organisasi yang sukses membutuhkan karyawan yang tidak hanya bertindak sesuai tugas yang tertulis dalam job description, melainkan karyawan

(6)

yang juga memberikan kinerja melebihi tugas yang ditetapkan (Robin & Judge, 2017:19), atau individu tersebut menampilkan perilaku extra-role.

Perilaku extra-role dalam organisasi dikenal dengan istilah organizational citizenship behavior (OCB), dan orang yang menampilkan perilaku OCB sebagai karyawan yang baik (good citizen) (Eflina et al., 2004). Perilaku OCB ini bersifat discretionary dan tidak ada paksaan bagi karyawan untuk menampilkannya (N. P. Podsakoff, Whiting, Podsakoff, & Blume, 2009). OCB memberikan kontribusi dalam efektivitas perusahaan (Khan et al., 2015) sehingga perlu dikembangkan dan ditingkatkan oleh karyawan agar perusahaan dapat terus bersaing di masa yang akan datang.

Organisasi sadar pentingnya perilaku OCB adalah salah satu faktor keberhasilan dalam membantu pengembangan organisasi (Ebrahimpour, Zahed, Khaleghkhah, & Bager, 2011). Banyak penelitian yang difokuskan pada masalah OCB di berbagai sektor, seperti sektor perbankan (Apridar & Adamy, 2018), pelayanan jasa transportasi (Maduningtias, 2017), rumah sakit (Napitupulu, 2018), institusi pendidikan (Claudia, 2018), pertahanan sipil (Nazli & Khairudin, 2018), Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Sudarmo & Wibowo, 2018), dan instansi publik atau pemerintahan (Bogar, Saerang, & Tawas, 2018; Oemar, 2013),

Perilaku OCB sering dikaitkan pada organisasi di instansi pemerintah, salah satunya pada Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN). Era reformasi birokrasi sebagaimana saat ini dijalankan di berbagai instansi pemerintah, peran OCB dianggap vital dan sangat menentukan organisasi, khususnya di sektor pemerintah. Perkembangan zaman menghadapkan aparatur sipil negara kepada kondisi kompleksitas tugas pemerintahan dan pembangunan serta tuntutan pelayanan masyarakat yang lebih variatif dan berkualitas (Hermanto, Heriyanto, & Karneli, 2017:324). Sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara pada pasal 11 ayat 2 disebutkan bahwa pegawai ASN bertugas memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas(https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU52014AparaturSipilNegara.pdf/10/1 2/2018.Pukul 20.51). Tuntutan atas kualitas pelayanan publik tersebut harus dipenuhi dengan optimalisasi kebijakan bagi ASN. Namun, kebijakan implementasi untuk mengembangkan ASN belum seperti yang diharapkan. Hal ini diperkuat

(7)

dengan pernyataan dari Kepala Biro Humas Badan Kepegawaian Negara (BKN) Ridwan menyadari pelayanan pegawai negeri sipil di birokrasi belum sepenuhnya memuaskan(https://tirto.id/banyak-pegawai-honorer-kenapa-pemerintah-bukasele ksi-cpns-cv8k/10/12/2018/ Pukul 10.46).

Permasalahan mengenai ASN juga terjadi di Jawa Barat, dengan adanya data mengenai tidak sebandingnya kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dengan besaranya tunjangan penghasilan ASN di lingkungan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, serta banyaknya anggaran pembangunan yang tidak terserap menambah indikasi bahwa kinerja birokrasi di Pemerintahan Provinsi Jawa Barat tidak optimal (https://pikiran-rakyat.com/23/01/2018/ Pukul 17.37). Aparatur Sipil Negara merupakan unsur penting dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (http://bkn.go.id/wp-content/uploads/2017/07/Renstra-BKN-20152019.pdf/6/12/2 018. Pukul 15.40). Berdasarkan peranan tersebut, penting bagi pegawai (ASN) untuk menghadapi dan mengantisipasi dinamika lingkungan strategis yang begitu pesat, yaitu tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kualitas pelayanan, kebijakan yang disusun harus difokuskan pada ASN. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan perilaku kewarganegaraan dalam organisasi atau sering disebut dengan Organizational Citizenship Behaviour (OCB). Jika perilaku ASN didasarkan pada perilaku OCB, maka kinerja organisasi akan semakin baik dan meningkat (Hermanto et al., 2017:325).

Dampak dari kurangnya OCB pada pegawai di suatu organisasi adalah perilaku dan sikap organisasi yang tidak diinginkan, seperti turnover intention, actual turnover (Podsakoff, Whiting, Podsakoff, & Blume, 2009), cuti (Lestri & Jatnika, 2014:121), keterlambatan (tardiness/lateness) (J. R. Smith, Micich, & McWilliams, 2016), dan ketidakhadiran (Zaabi et al., 2016; Podsakoff, Whiting, Podsakoff, & Blume, 2009; Triyanto & Santosa, 2009; J. R. Smith, Micich, & McWilliams, 2016). Penting untuk memperhatikan penguatan OCB sebagai prioritas dalam mencapai tujuan organisasi, karena OCB secara teoritis berpengaruh pada proses manajerial organisasi (Zayas-Ortiz, Rosario, & Gruneiro, 2015)

(8)

Salah satu organisasi yang mengalami permasalahan OCB, yaitu pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Kota Bandung. Badan Kepegawaian Negara (BKN) menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, BKN ditetapkan sebagai lembaga pemerintah non kementrian yang diberi kewenangan melakukan pembinaan dan menyelenggarakan manajemen ASN secara nasional (https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU52014 AparaturSipilNegara.pdf/10/12/2018/ Pukul 20.51).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional III terdapat faktor yang mengindikasikan masalah OCB. Indikasi yang menunjukan Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional III belum memiliki predikat good citizenship behavior yang memadai adalah jumlah cuti pegawai yang relatif meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.1 tentang Rekapitulasi Cuti Pegawai Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional III :

Sumber : Bagian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III

GAMBAR 1.1

REKAPITULASI CUTI PEGAWAI BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA (BKN) KANTOR REGIONAL III TAHUN 2017-2018

Berdasarkan Gambar 1.1, dilihat bahwa jumlah cuti pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III mengalami fluktuatif yang dapat dilihat dari peningkatan dan penurunan yang cukup signifikan. Misalnya pada bulan November sampai bulan Desember tahun 2017, jumlah cuti pegawai meningkat dari 4 menjadi 58. Selain itu, cuti pegawai pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2018 meningkat dibandingkan cuti pegawai bulan Januari samapai bulan April 2017. Pegawai yang seringkali mengambil cuti, maka dapat berdampak pada menumpuknya kerja ketika kembali masuk kerja, sehingga mengindikasikan bahwa

23 4 4 1 4 3 11 6 13 21 4 58 29 23 13 33 10 9 20 12 26 37 0 10 20 30 40 50 60 70

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des

Ju m la h Pega w ai 2017 2018

(9)

pegawai belum memiliki keinginan untuk bekerja melebihi apa yang seharusnya dikerjakan.

Mengingat pentingya OCB pada pegawai, maka organisasi perlu memunculkan pegawai yang memberi kontribusi melebihi apa yang diharapkan perusahaan dan menunjukan sikap extra-role. Para pakar organisasi menyimpulkan pentingnya OCB bagi keberhasilan sebuah organisasi, karena OCB menimbulkan dampak positif bagi organisasi, seperti meningkatkan kualitas pelayanan, meningkatkan kinerja kelompok, dan menurunkan tingkat turnover (Gunawan, 2016:60). Hal ini didukung oleh Triyanto dalam penelitiannya menunjukan peranan penting OCB yang dimiliki karyawan terhadap efektifitas organisasi, jika karyawan memiliki tingkat OCB yang tinggi maka akan menurunkan keinginan keluar, sebaliknya jika OCB rendah maka akan meningkatkan keinginan keluar (Lestri & Jatnika, 2014:119).

Indikasi lain yang menunjukan OCB rendah pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III adalah keterlambatan (tardiness) dan absen (absenteeism) yang relatif meningkat. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1 tentang Rekapitulasi Ketidakhadiran Pegawai Badan Kepegawaian Negara Kantor Regional III :

TABEL 1.1

REKAPITULASI KETIDAKHADIRAN PEGAWAI

BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA KANTOR (BKN) REGIONAL III TAHUN 2016-2018 Tahun Jumlah Pegawai Keterangan Total Persentase Keterlambatan Tanpa Keterangan 2016 157 35 3 38 24,20% 2017 151 51 16 66 43, 70% 2018 147 68 20 88 59,86%

Berdasarkan Tabel 1.1 menunjukkan bahwa tingkat kehadiran yang rendah terlihat dari rata-rata ketidakhadiran yang cukup signifikan sehingga berpengaruh terhadap tugas dan tanggung jawab sebagai karyawan. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kegiatan di perusahaan tidak akan berjalan secara optimal tanpa kehadiran karyawan yang memadai. J. R. Smith et al., (2016) menyatakan bahwa karyawan yang terlibat dalam perilaku OCB cenderung tidak terlambat atau absen dari pekerjaan. Implikasi dari penelitian yang ditemukan, mendorong organisasi

(10)

menerapkan program untuk meningkatkan tingkat perilaku OCB, dengan demikian dapat menurunkan keterlambatan (tardiness) dan ketidakhadiran (absenteeism).

Salah satu faktor yang mampu mempengaruhi organizational citizenship behavior (OCB) adalah komitmen organisasi. Sejalan dengan Meyer et.al (2002) dalam Charbonneau & Wood (2018) bahwa OCB dapat ditentukan oleh komitmen organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen tinggi pada organisasi, akan melakukan apapun untuk memajukan perusahaan karena yakin dan percaya pada organisasi di mana karyawan tersebut bekerja (Robin & Judge, 2017:19). Pernyataan tersebut didukung oleh Greenberg (2011), semakin tinggi komitmen karyawan terhadap organisasi, semakin karyawan tersebut ingin berperilaku melebihi tuntutan tugas apabila dibutuhkan. Hal ini mengarahkan karyawan untuk terlibat dalam berbagai bentuk OCB. Karyawan dengan komitmen organisasi yang tinggi memiliki perbedaan sikap dibandingkan karyawan yang berkomitmen rendah.

Komitmen organisasi yang tinggi menghasilkan tingginya performa kerja, rendahnya tingkat absen, dan rendahnya tingkat keluar-masuk (turnover) pegawai. Pegawai yang berkomitmen tinggi akan memiliki produktivitas tinggi (Luthans, 2011). Komitmen organisasi mendorong pegawai untuk mempertahankan pekerjaannya dan menunjukkan hasil yang seharusnya (Greenberg, 2011). Komitmen organisasi yang kuat akan memunculkan perilaku extra-role atau OCB yang didasari oleh keinginannya sendiri (Sudarmo & Wibowo, 2018:56). Model teoritis menyatakan bahwa karyawan yang berkomitmen akan semakin kurang terlibat dalam pengunduran diri, sekalipun mereka tidak puas, karena mereka memiliki rasa kesetiaan ketertarikan terhap organisasi. Begitu juga sebaliknya, pekerja yang tidak berkomitmen, yang merasa kurang setia pada organisasi, akan cenderung menunjukkan tingkat kehadiran di tempat kerja yang lebih rendah (Robin & Judge, 2017:47).

Solusi lain yang mampu mengatasi masalah OCB adalah kualitas interaksi atasan-bawahan (LMX) (Robin & Judge, 2017:257; Organ, 2017). Beberapa faktor lain yang mempengaruhi OCB diantaranya faktor kepribadian, sikap, dan needs (kebutuhan) (Vandeveer & Menefee, 2010). Menurut Graen dalam Setiawan, Hadi, & Remiasa (2017:73) kualitas interaksi atasan bawahan diistilahkan dengan leader member exchange (LMX) yaitu suatu hubungan pertukaran interpersonal antara

(11)

bawahan dan pemimpinnya. Ikatan LMX menjelaskan tentang hubungan antara kepemimpinan dan karyawan harus terjalin dengan baik untuk menciptakan organisasi yang baik pula, hal ini didukung dengan adannya teori yang dikemukakan Bhal (2006) bahwa, “Perilaku karyawan terhadap perusahaan mempunyai peran penting terhadap keberhasilan sebuah organisasi. Perlakuan yang baik terhadap karyawan akan mampu menciptakan perasaan sukarela pada diri karyawan untuk bisa berkorban bagi perusahaan. Selain itu, melalui perlakuan khsusus yang positif akan mampu meningkatkan kontribusi karywan pada perusahaan dimana karyawan bekerja”.

Pada gaya kepemimpinan LMX, pemimpin memberikan dukungan dan bimbingan kepada karyawan untuk membuat karyawan terlibat dan terikat dengan perusahaan (Rahmawati. Sumiyati. Masharyono., 2016:40). Perlakuan yang baik terhadap karyawan akan mampu menciptakan perilaku OCB pada diri pegawai untuk bisa berkorban bagi organisasi. Perlakuan khusus pemimpin yang positif akan mampu meningkatkan kontribusi karyawan pada perusahaan dimana karyawan bekerja (Peter Northouse, 2017:164). Didukung oleh teori Riggio (2009) menyatakan bahwa apabila interaksi atasan dan bawahan berkualitas tinggi maka seorang atasan akan berpandangan positif terhadap bawahannya sehingga bawahannya akan merasakan bahwa atasan banyak memberikan dukungan dan motivasi, hal ini tentunya akan meningkatkan rasa percaya diri dan hormat bawahan pada atasan sehingga mereka tergerak untuk melakukan pekerjaan yang lebih dari apa yang diharapkan oleh atasan mereka.

Sebagai salah satu instansi pemerintah, Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III membutuhkan karyawan yang berperilaku OCB yang baik, dan mampu memberikan usaha terbaik bagi perusahaan, bahkan melebihi ekspektasi instansi. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Bagian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) (14/12/2018/ Pukul 10.15), upaya yang telah dilakukan oleh organisasi untuk memperkuat perilaku OCB pada pegawai adalah dengan melibatkan pegawai dalam kelompok, seperti dilibatkan dalam rapat dinas luar, panitia pemilihan CPNS, sehingga antara pemimpin dan anggota dalam kelompok (in-group) memiliki rasa percaya, loyalitas, dan lebih dapat diandalkan dibandingkan dengan pegawai yang berada di luar kelompok (out-group), hal ini

(12)

dilakukan untuk mendorong kepedulian dalam meningkatkan leader member exchange (LMX). Upaya lain yang dilakukan oleh organisasi untuk meningkatkan OCB adalah dengan meningkatkan komitmen organisasi melalui membangun identitas sosial pegawai untuk partisipasi dalam kegiatan yang dilaksanakan organisasi, seperti senam pagi pada hari Jumat, upacara setiap hari Senin, rapat, pendidikan dan pelatihan kepegawaian (Pusdiklat) BKN, dan coaching klinik, sehingga komitmen pegawai terhadap organisasi meningkat.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah masih banyaknya karyawan yang belum memiliki predikat good citizenship behavior yang memadai. Hal ini tentu dirasakan oleh pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III pada fluktuasi cuti pegawai dan menurunnya jumlah karyawan selama dua tahun terakhir.

Perilaku OCB memberikan kontribusi dalam efektivitas organisasi sehingga perlu dikembangkan dan ditingkatkan oleh pegawai agar instansi dapat terus bersaing di masa yang akan datang. Permasalahan rendahnya OCB pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III harus melakukan strategi yang sesuai untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi OCB karyawan adalah komitmen organisasi dan leader member exchange (LMX).

Komitmen organisasi mempunyai pengaruh terhadap OCB. Pegawai yang berkomitmen akan semakin kurang terlibat dalam pengunduran diri, sekalipun mereka tidak puas, karena mereka memiliki rasa kesetiaan ketertarikan terhap organisasi. Begitu juga sebaliknya, pegawai yang tidak berkomitmen, yang merasa kurang setia pada organisasi, akan cenderung menunjukkan tingkat kehadiran di tempat kerja yang lebih rendah (Robin & Judge, 2017:47).

Perlakuan yang baik terhadap karyawan akan mampu menciptakan perasaan suka rela pada diri karyawan untuk bisa berkorban bagi perusahaan. Selain itu, melalui perlakuan khusus yang positif akan mampu meningkatkan kontribusi karyawan pada perusahaan dimana karyawan bekerja (Setiawan, Hadi, & Remiasa, 2017:36). Teori LMX membuat sejumlah kontribusi positif untuk pemahaman

(13)

tentang proses kepemimpinan (Peter Northouse, 2017:161). Manfaat bagi karyawan yang mengembangkan hubungan pemimpin-anggota yang berkualitas (LMX) tinggi mencakup tindakan yang lebih disukai, komunikasi tentang pekerjaan yang semakin meningkt, akses yang banyak untuk menemui penyelia, dan umpan balik terkait kinerja meningkat. Kerugian dari mereka dengan LMX rendah mencakup rasa percaya dan dukungan yang terbatas dari penyelia, serta sedikit manfaat di luar kontrak pekerjaan (Peter Northouse, 2017:159).

Teori tentang LMX sangat penting diterapkan oleh pemimpin supaya pemimpin di suatu organisasi mengerti pentingnya adanya hubungan baik antara pemimpin dan karyawannya, karena dengan adanya interaksi yang baik antara pemimpin dan tiap individu di dalam setiap organisasi akan membuat karyawan lebih merasa nyaman terhadap pemimpin (Setiawan, Hadi, & Remiasa, 2017:34)

Berdasarkan dengan permasalahan yang telah dipaparkan, pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III belum memiliki predikat good citizenship behavior yang memadai. Berdasarkan latar belakang penelitian dan identifikasi masalah, maka peneliti mengidentifikasi masalah menjadi tema sentral sebagai berikut.

Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III membutuhkan pegawai yang memiliki OCB yang baik, dimana karyawan secara sukarela mau bekerja melebihi job description yang telah ditetapkan. Apabila perusahaan atau organisasi ingin meningkatkan good citizenship behavior karyawan, perusahaan atau organisasi perlu memperhatikan leader member exchange (LMX) dan komitmen organisasi karyawannya.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifkasi masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat komitmen organisasi pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

2. Bagaimana tingkat leader member exchange (LMX) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

3. Bagaimana tingkat organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

(14)

4. Adakah pengaruh komitmen organisasi terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

5. Adakah pengaruh leader member exchange (LMX) terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

6. Adakah pengaruh komitmen organisasi dan leader member exchange (LMX) terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh leader member exchange (LMX) dan komitmen organisasi terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III, yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tingkat komitmen organisasi pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

2. Untuk mengetahui tingkat leader member exchange (LMX)pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

3. Untuk mengetahui tingkat organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung. 4. Untuk memperoleh temuan mengenai pengaruh komitmen organisasi terhadap

organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

5. Untuk memperoleh temuan mengenai pengaruh leader member exchange (LMX) terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

6. Untuk memperoleh temuan mengenai pengaruh komitmen organisasi dan leader member exchange (LMX) terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III Bandung.

(15)

1.5 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan bukti empiris mengenai pengaruh leader member exchange (LMX) dan komitmen organisasi terhadap organizational citizenship behavior (OCB) pada pegawai Badan Kepegawaian Negara (BKN) Kantor Regional III. Adapun kegunaan penelitian yang diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan teori, konsep ilmiah dan referensi dalam ilmu manajemen, khususnya Manajemen Sumber Daya Manusia, dan referensi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengaruh leader member exchange (LMX) dan komitmen organisasi terhadap organizational citizenship behavior (OCB). 2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini dapat berguna bagi pemahaman penulis sekaligus bagi instansi sebagai umpan balik (feedback) tentang pentingnya leader member exchange (LMX) dan komitmen organisasi terhadap organizational citizenship behavior (OCB) untuk mewujudkan tujuan organisasi dan instansi pemerintahan.

3. Kegunaan untuk Penelitian Selanjutnya

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bahan kajian untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam ataupun dengan objek yang lebih luas.

(16)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Komitmen Organisasi

2.1.1.1 Konsep Komitmen Organisasi dalam Perilaku Organisasi

Menurut Robin & Judge (2017:5) perilaku organisasi (organizational behavior) merupakan bidang studi yang menginvestasi pengaruh individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku di dalam organisasi, untuk tujuan penerapan pengetahuan dan peningkatan demi peningkatan efektivitas organisasi. Perilaku organisasi menerapkan pengetahuan yang diperoleh mengenai individu, kelompok, dan efek dari struktur terhadap perilaku untuk membuat organisasi bekerja lebih efektif. Adapun Griffin & Moorhead (2014) mengatakan bahwa perilaku organisasi adalah bidang ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam pengaturan organisasi, dari hubungan antara perilaku manusia dan organisasi, dan dari organisasi itu sendiri

Perilaku organisasi dapat dianalisis melalui tiga penentu perilaku dalam organisasi, yaitu individu, kelompok, dan struktur (Robin & Judge, 2017:6). Perilaku organisasi pada tingkat individu, kejadian-kejadian yang ada dalam organisasi dianalisis dalam hubungannya dengan perilaku seseorang dan interaksi kepribadian dalam situasi di mana setiap individu dalam individu dalam organisasi membawa sikap, nilai dan pengalaman masa lalu yang berbeda (Rivai et al., 2017:172).

Salah satu perilaku organisasi pada tingkat individu adalah sikap dan kepuasan kerja. Sikap (attitude) adalah pernyataan-pernyataan evaluasif, baik menyenangkan atau tidak menyenangkan mengenai objek, orang atau peristiwa (Robin & Judge, 2017:43). Sikap merefleksikan bagaimana perasaan kita tentang sesuatu. Saat karyawan mengatakan, “saya menyukai pekerjaan saya” karyawan merefleksikan sikap terhadap pekerjaannya.

Terdapat perbedaan antara sikap dan nilai, meskipun kedua-duanya belief dan cognitive, adapaun perbedaan tersebut, sikap adalah keyakinan (belief) mengenai suatu objek yang khusus mengenai orang atau situasi, sedangkan nilai adalah bersifat umum. Nilai adalah keyakinan yang melekat pada diri orang,

(17)

terlepas bagaimana orang lain, sedangkan sikap adalah tanggapan terhadap pihak lain (Rahman et al., 2017:60).

Salah satu sikap pekerja dalam organisasi pada level individu adalah komitmen organisasi (Robin & Judge, 2017:47). Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan tingkat dimana seorang pekerja mengidentifikasi sebuah organisasi, tujuan serta harapannya untuk tetap menjadi anggota. (Robin & Judge, 2017:47). Komitmen organisasi menjadi semakin terkenal dalam literatur perilaku organisasi (Luthans, 2011). Komitmen telah muncul kembali sebagai topik yang sangat penting untuk dipelajari dan dikhawatirkan, serta sebagai tantangan utama di zaman modern (Luthans, 2011:249):

“today’s workplace is enveloped by the fear of downsizing, loss of job security, overwhelming, change in technology and the stress of having to do more with less.. managers (need to) establish the type of caring, spirited workplace that will ignite employee commitment.”

Berdasarkan pemaparan di atas, menjelaskan bahwa tempat kerja saat ini seringkali terjadi perampingan, kehilangan pekerjaan, perubahan seketika dalam teknologi, dan stress karena harus bekerja lebih banyak manajer membutuhkan tempat kerja yang saling peduli dan bersemangat yang akan membangkitkan komitmen karyawan.

2.1.1.2 Definisi Komitmen Organisasi

Komitmen organisasi (organizational commitment) merupakan tingkat dimana seorang pekerja mengidentifikasi sebuah organisasi, tujuan serta harapannya untuk tetap menjadi anggota (Robin & Judge, 2017:47). Komitmen organisasi sering kali disebut komitmen kerja, yang mencerminkan identifikasi dan ketertarikan individu dengan organisasi (Griffin & Moorhead, 2014). Orang yang sangat berkomitmen memungkinkan untuk memperlihatkan dirinya sebagai anggota sejati dari suatu perusahaan, mengabaikan sumber kecil ketidakpuasaan, dan melihat dirinya tetap menjadi anggota organisasi. Sebaliknya, orang yang kurang berkomitmen lebih cenderung melihat dirinya sebagai orang luar organisasi tertentu, mengekspresikan lebih banyak ketidakpuasan tentang berbagai hal, dan tidak memandang dirinya sebagai anggota jangka panjang dari organisasi (Griffin & Moorhead, 2014).

(18)

Meyer dan Allen (1997) dalam Sloan, Buckham, & Lee (2017) menyatakan bahwa komitmen organisasi semula dibentuk sebagai konstruk psikologi untuk mengukur tingkat individu yang terikat pada suatu organisasi. Komitmen menurut Kreitner dan Kinicki (2010) adalah kesepakan untuk melakukan sesuatu untuk diri sendiri, individu lain, kelompok atau organisasi (Wibowo, 2017:430). Jika dikaitkan dengan organisasi, komitmen organisasi berarti keadaan di mana individu mengidentifikasi dirinya dengan organisasi dan terikat pada tujuan organisasinya. Sedangkan menurut Luthans (2011) komitmen organisasi didefinsikan sebagai sikap (1) keinginan kuat untuk tetap sebagai anggota organisasi tertentu; (2) keinginan untuk berusaha keras sesuai sesuai keinginan organisasi; dan (3) keyakinan tertentu, dan penerimaan nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan di mana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan berkelanjutan.

Komitmen organisasi menurut Schermerhorn, Osborn, Uhl-Bien, & Hunt (2012) dalam Wibowo (2017:430) dinyatakan sebagai loyalitas seorang individu pada organisasi. Individu yang mempunyai komitmen organisasi tinggi mengidentifikasi dengan sangat kuat dengan organisasi dan merasa bangga mempertimbangkan dirinya sebagai anggota. Sedangkan Wibowo (2017:431) mendefinisikan komitmen organisasi adalah perasaan, sikap, dan perilaku individu mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian dari organisasi, terlibat dalam proses kegiatan organisasi dan loyal terhadap organisasi dalam mencapai tujuan organisasi. Greenberg (2011) menyatakan bahwa konsep komitmen organisasi cenderung pada tingkat dimana pegawai terlibat dengan organisasi mereka dan tertarik untuk tetap tinggal dengan organisasi tersebut. Vandeveer & Menefee (2010) menambahkan bahwa komitmen organisasi merupakan jangkauan pegawai yang percaya pada organiasi dan melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dalam organisasi.

Adapun menurut Steve M. Jex and Thomas M. Britt (2008) dalam Kaswan (2015:125) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai “the extent to which employees are dedicated to their employing organizations and are willing to work on their behalf, and the likehood that they will maintain membership”. Definisi ini menyatakan bahwa komitmen organisasi dapat dianggap tingkat dedikasi pegawai

(19)

terhadap organisasi tempat dia bekerja dan kemauan bekerja atas nama/untuk kepentingan organisasi, dan kemungkinannya mempertahankan keanggotaannya.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa komitmen organisasi merupakan sikap loyalitas atau kesetiaasan karyawan untuk dapat tetap bekerja dan bangga terhadap organisasinya.

2.1.1.3 Dimensi Komitmen Organisasi

Menurut Meyer & Allen dalam Jerald Greenberg (2011), terdapat perbedaan dimensi komitmen organisasi yang akan menampilkan pengaruh komitmen organisasi pada fungsi organisasi, yaitu:

1. Continuance commitment. Ini merupakan kekuatan terhadap keinginan seseorang untuk melanjutkan bekerja pada organiassi karena kebutuhan mereka dan tidak berusaha untuk melakukan kebalikannya. Semakin lama seseorang tetap pada organisasinya, akan semakin mempertahankan untuk kehilangan apa yang telah mereka investasikan selama bertahun-tahun. Banyak orang berkomitmen untuk tetap pada pekerjaanya karena tidak mau mengambil risiko kehilangan banyak hal.

2. Normative commitment. Hal ini mengarah pada kekuatan terhadap keinginan seseorang untuk melanjutkan bekerja pada organisasi karena kewajiban yang mereka rasakan dari orang lain yang menetap pada organisasi tersebut. Seseorang yang mempunyai tingkat normative commitment yang tinggi sangat memperhatikan apa yang orang lain pikirkan terhadap mereka. Mereka enggan untuk mengecewakan pekerja mereka dan memperhatikan jika rekan kerja lainnya berpikir mereka akan resign.

3. Affective commitment. Hal ini mengarah pada kekuatan terhadap keinginan seseorang untuk melanjutkan bekerja pada organisasi karena mereka menganggap itu sebagai hal yang positif dan setuju dengan tujuan pokok dan nilai organisasi. Seseorang yang mempunyai tingkat affective commitment tinggi ingin tetap berada pada suatu organisasi karena merekomendasikan apa yang organisasi pertahankan dan tertarik untuk mendukung misi organisasi.

(20)

Terdapat perkembangan dukungan untuk tiga model komponen yang diajukan oleh Meyer dan Allen (Luthans, 2011), yaitu :

1. Komitmen afektif adalah keterikatan emosional karyawan, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi.

2. Komitmen keberlanjutan adalah komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi.

3. Komitmen normatif adalah perasaan wajib untuk tetap berada dalam organisasi karena merasa harus begitu; tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan.

Komitmen organisasi dibentuk oleh tiga dimensi sebagai komponen model Meyer & Allen (1991) dalam Napitupulu (2018:5), yaitu:

1. Komitmen afektif. Komitmen afektif merupakan perasaan cinta pada organisasi dikarenakan telah menjadi bagian dari organisasi. Pengenalan dan keterikatan pada organisasi pada pekerjaan secra terus menerus yang disebabkan mereka ingin melakukannya (want to do).

2. Komitmen berkelanjutan. Komitmen berkelanjutan merupakan perasaan berat untuk meninggalkan organisasi dan ketiadaan alternatif yang tersedia bagi individu tersebut. Menyadari adanya biaya-biaya yang dihubungkan dengan meninggalkan organisasi, yang diharapkan tetap dalam organisasi disebabkan mereka membutuhkan untuk melakukannya (need to do). Selain itu apabila karyawan telah lama bekerja dalam perusahaan dan telah merasa senior, rasa senioritas ini juga dapat menimbulkan komitmen berkelanjutan. 3. Komitmen normatif. Komitmen normatif merupakan perasaan yang mengharuskan untuk bertahan dalam organisasi dikarenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap organisasi atas dasar pertimbangan norma, nilai, dan keyakinan yang dianut oleh individu. Perasaan terhadap jaminan hak atas atas tekanan sosial merasa bahwa mereka seharusnya tetap melakukannya (ought to do).

Schermerhorn et al., (2012) mengenalkan adanya dua tipe komitmen organisasional, yaitu rational commitment dan emotional commitment. Rational commitment mencerminkan perasaan bahwa pekerjaan memenuhi kepentingan finansialnya, pengembangan, dan profesionalnya. Sedangkan Emotional commitment mencerminkan perasaan bahwa apa yang dilakukan adalah penting, berharga dan memberi manfaat pada orang lain (Wibowo, 2017:431).

Hope dan Palyer (2012) mengemukakan adanya dua tipe komitmen bersumber dari pandangan Chris Argyris, yang dinamakan external commitment dan internal commitment. External commitment adalah komitmen yang mengarahkan orang lain untuk memenuhi kewajiban konstraktual yang ditentukan

(21)

oleh pihak lain, dan dimana tujuan kinerja mengalir dari atas ke bawah. Sedangkan internal commitment memberikan kesempatan kepada individu untuk mendefinisikan rencanannya sendiri dan tugas yang diperlukan untuk memenuhi mereka, dan sifatnya partisipatif, datang dari dalam individu, dan menyerahkan pada orang untuk mengambil risiko dan menerima tanggung jawab atas tindakan mereka (Wibowo, 2017:432-433).

Kreiner dan Kinicki (2010) menggambarkan adanya tiga komponen komitmen organisasional, bersumber dari pendapat John Meyer dan Natalie Allen, yaitu: affective commitment, continuence commitment, dan normative commitment. Affective commitment mencerminkan ketertarikan emosional pekerja pada, identifikasi dengan, dan keterlibatan dalam organisasi. Pekerja dengan affective commitment kuat melanjutkan bekerja dengan organisasi karena mereka ingin melakukannya. Continuance commitment mencerminkan pada kepedulian terhadap biaya berkaitan dengan apabila meninggalkan organinsasi. Pekerja yang terutama terkait pada organisasi didasarkan pada continuence commitment. Akhirnya, normative commitment mencerminkan perasan sebagai kewajiban untuk melanjutkan kesempatan kerja. Pekerja dengan normative commitment tingkat tinggi merasa bahwa mereka harus tetap dengan organisasi (Wibowo, 2017:431-432).

Colquitt, LePine dan Wesson (2015) mempunyai pandangan yang sama dengan tipe komitmen organisasional. Mereka menamakan affective commitment dengan emotion-based, continuance commitment sebagai cost-based, dan normative commitment sebagai obligation-based. Affective commitment didefinisikan sebagai keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi karena merasa sebagai perlengkapan emosional pada, ketertarikan dengan organisasi. Continuance commitment didefinisikan sebagai keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi karena kesadaran biaya yang berkaitan dengan menninggalkannya. Alasan cost-based untuk tetap tinggal, termasuk gaji, tunjangan dan promosi serta kepentingan keluarga. Alasan normative commitment adalah keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi karena merasa sebagai kewajiban (Wibowo, 2017:431-432).

(22)

Menurut Dick Richard (2004) dalam Kaswan (2015:121-123), ada empat jenis komitmen (politik, intelektual, emosional, dan spiritual) tetapi yang terpenting ada tiga, yaitu komitmen intelektual, emosional, dan spiritual.

1. Komitmen intelektual

Tujuan komitmen intelektual adalah meyakinkan orang. Memastikan bahwa mereka memahami tujuan yang mereka diminta untuk didukung dengan alasan-alasannya.

2. Komitmen emosi

Tujuan komitmen emosi adalah menggerakkan orang, yaitu meningkatkan motivasi bertindak atas dasar tujuan yang mereka diminta untuk didukung. 3. Komitmen spiritual

Tujuan komitmen ini adalah megikat orang. Yaitu menarik mereka dengan pemahaman tujuan atau panggilan yang lebih tinggi. Untuk memenangakan komitmen spiritual dari pemain tim, dibutuhkan kompetensi: a) memberi makna, b) melaksanakan kepercayaan, c) memusatkan

Spencer dan Spencer (1993) dalam Kaswan (2015:127) mengatakan ada empat indikator perilaku umum dari komitmen organisasi, yaitu (1) ada kerelaan untuk membantu kolega menyelesaikan tugas-tugas organisasi, (2) menyatukan aktivitas dan prioritas yang dimiliki untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang lebih besar, (3) memahami kebutuhan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih besar, dan (4) memilih kebutuhan-kebutuhan organisasi yang pantas dari pada mengikuti beberapa minat profesional.

Spencer dan Spencer (1993) dalam Kaswan (2015:127) merinci deskripsi perilaku komitmen organisasi sebagai berikut:

1. Usaha aktif. Melakukan usaha aktif agar selaras seperti, berpakaian dengan tepat dan menghargai norma-norma organisasi.

2. Menjadi model “organizatinao citizenship behavior”. Menunjukkan loyalitas, kemauan, membantu kolega menyelesaikan tugasnya, menghargai mereka yang memiliki otoritas.

3. Kesadaran terhadap tujuan-menyatakan komitmen. Memahami dan secara aktif mendukung misi dan sasaran organisasi; mengaitkan tindakan dan prioritasnya untuk memenuhi kebutuhan organisasi; memahami kebutuhan untuk kerjasama untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih besar. 4. Melakukan pengorbanan personal atau professional. Mendahulukan

kebutuhan organisasi di atas kebutuhan sendiri; melakukan pengorbanan pribadi untuk memnuhi kebutuhan organisasi di atas identitas dan preferensi professional dan kepentingan keluarga.

Komitmen organisasi merupakan suatu kemauan individu untuk bersama organisasi yang memiliki tiga karakteristik utama, yaitu antara lain affective commitmen, continuance commitment, dan normative commitment.

(23)

2.1.1.4 Model Komitmen Organisasi

Dikemukakan sebelumnya bahwa komitmen organisasi terdiri dari affective commitment, continuance commitment, normative commitment. Menurut Robert Kreitner dan Angelo Kinicki (2010) dalam Wibowo (2017:433) masing-masing komponen tersebut dipengaruhi oleh faktor yang berbeda. Hubungan antara faktor-faktor yang memengaruhi komitmen organisasi tersebut digambarkan sebagai berikut.

Sumber: Robert Keitner dan Angelo Kinicki (2010) dalam Wibowo (2017:434) GAMBAR 2.3

MODEL KOMITMEN ORGANISASI

Affective commitment dipengaruhi berbagai karakteristik personal seperti kepribadian dan locus of control, pengalaman kerja sebelumnya dan sesuaian nilai. Karena continuance commitment mencerminkan rasio antara biaya dan manfaat yang berkaitan dengan biaya dan manfaat yang berkaitan dengan meninggalkan organisasi, maka dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi biaya dan manfaat, seperti kurangnya alternatif pekerjaan dan jumlah investasi yang telah dilakukan orang dalam organisasi atau komunitas tertentu. Continuance commitment akan tinggi apabila individu tidak mempunyai alternatif pekerjaan. Normative commitment dipengaruhi oleh proses sosialisasi yang dinamakan psychological contract. Personal contract merupakan persepsi individu tentang persyaratan perjanjian dan pertukaran dengan pihak lain. Psychological contract mencerminkan keyakinan pekerja tentang apa yang seharusnya diterima sebagai imbalan atas apa yang mereka berikan pada organisasi (Wibowo, 2017:433).

(24)

Menurut Greenberg (2011), menjadi komitmen pada organisasi bukan hanya mengenai “ya atau tidak” atau bahkan “seberapa banyak”. Perbedaan yang jelas juga dapat buat dengan sikap “apa bentuk?” dari komitmen. Secara spesifik, peneliti memiliki perbedaan yang jelas anatara tiga perbedaan bentuk komitmen, yang akan ditampilkan pada gambar berikut.

Sumber: Jerald Greenberg (2011:202) GAMBAR 2.4

MODEL KOMITMEN ORGANISASI

Continuance commitment merupakan kekuatan terhadap keinginan seseorang untuk melanjutkan bekerja pada organiassi karena kebutuhan mereka dan tidak berusaha untuk melakukan kebalikannya. Semakin lama seseorang tetap pada organisasinya, akan semakin mempertahankan untuk kehilangan apa yang telah mereka investasikan selama bertahun-tahun. Banyak orang berkomitmen untuk tetap pada pekerjaanya karena tidak mau mengambil risiko kehilangan banyak hal. Tipe kedua dari komitmen organisasi adalah normative commitment. Hal ini mengarah pada kekuatan terhadap keinginan seseorang untuk melanjutkan bekerja pada organisasi karena kewajiban yang mereka rasakan dari orang lain yang menetap pada organisasi tersebut. Seseorang yang mempunyai tingkat normative commitment yang tinggi sangat memperhatikan apa yang orang lain pikirkan terhadap mereka. Mereka enggan untuk mengecewakan pekerja mereka dan memperhatikan jika rekan kerja lainnya berpikir mereka akan resign. Sedangkan affective commitment mengarah pada kekuatan terhadap keinginan seseorang untuk melanjutkan bekerja pada organisasi karena mereka menganggap itu sebagai hal yang positif dan setuju dengan tujuan pokok dan nilai organisasi. Seseorang yang mempunyai tingkat affective commitment tinggi ingin tetap berada pada suatu

Normative Commitment Affective Commitment Continuance Commitment Organizational Commitment

(25)

organisasi karena merekomendasikan apa yang organisasi pertahankan dan tertarik untuk mendukung misi organisasi (Greenberg, 2011).

2.1.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi

Menurut Robin dan Judge (Pitaloka & Sofia, 2014:11) komitmen organisasi ditentukan oleh:

1. Faktor personal (personal factors) seperti umur dan jenis kelamin. 2. Pengendalian sifat internal dan eksternal.

3. Faktor oragnisasi (organizational factors) seperti gaya kerja dan kepemimpinan seorang supervisor.

4. Faktor nonorganisasi (nonorganizational factors) seperti adanya pengganti sehingga mempengaruhi komitmen organisasi.

Sikap komitmen organisasi ditentukan menurut variabel orang (usia, kedudukan dalam organisasi, dan disposisi seperti efektivitas positif atau negatif, atau atribusi kontrol internal atau eksternal) dan organisasi (desain pekerjaan, nilai, dukungan, dan gaya kepemimpinan penyelia). Bahkan faktor non-organisasional, seperti adanya alternatif lain setelah memutuskan untuk bergabung dengan organisasi, akan mempengaruhi komitmen selanjutnya (Luthans, 2011). Menurut (Meyer & Allen, 1991) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan komitmen organisasi, yaitu: 1) keterlibatan emosi, 2) pertimbangan untung rugi jika meninggalkan organisasi, 3) perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi.

Komitmen dapat menurun atau meningkat karena faktor-faktor sebagai berikut (Wibowo, 2017:435):

1. Inhibiting factors, (faktor penghambat): menyalahkan secara berlebihan, mengucapkan terima kasih tidak tulus, kegagalan meneruskan, ketidakkonsistenan dan ketidaksesuaian, meningkatkan ego dan gangguan. 2. Stimulating factors, (faktor perangsang); kejelasan aturan dan kebijakan, investasi pada pekerja berupa pelatihan, penghargaan dan apresiasi atas usaha, partisipasi dan otonomi pekerja, membuat pekerja merasa dihargai, pengingat atas investasi pekerja, mengusahakan dukungan bagi pekerja untuk menyatakan kepedulian pada orang lain.

Sementara menurut McShane dan Von Glinow (2010) dalam Wibowo (2017:433) memandang komitmen organisasi sebagai loyalitas organisasi. Cara untuk membangun komitmen organisasi adalah melalui:

1. Justice and support (keadilan dan dukungan). Affective commitment lebih tinggi pada organisasi yang memenuhi kewajibannya pada pekerja dan tinggal dengan nilai-nilai humanitarian seperti kejujuran, kehormatan,

(26)

kemauan memaafkan dan integritas moral. Organisasi yang mendukung kesejahteraan pekerja cenderung menuai tingkat loyalitas lebih tinggi. 2. Shared values (nilai bersama). Affective commitment menunjukan identitas

orang pada organisasi, diidentifikasi mencapai tingkat tertinggi ketika pekerja yakin nilai-nilai mereka sesuai dengan nilai-nilai dominan organisasi. Pengalaman pekerja lebih nyaman dan dapat diduga ketika mereka sepakat dengan nilai-nilai mendasari keputusan korporasi.

3. Trust (kepercayaan). Kepercayaan menunjukkan harapan positif satu orang terhadap orang lain dalam situasi yang melibatkan risiko. Kepercayaan berarti menempatkan nasib pada orang lain atau kelompok. Pekerja memperkenalkan dengan dan merasa berkewajiban bekerja untuk organisasi hanya apabila hanya mereka mempercayai pemimpin mereka.

4. Organizatonal comprehension (pemahaman organisasi). Pemahaman organisasi menunjukkan seberapa baik pekerja memahami organisasi, termasuk arah strategis, dinamika sosial dan tata ruang fisik. Kepedulian ini merupakan prasyarat penting bagi affective commitment adalah sulit untuk mengidentifikasi dengan sesuatu yang tidak kita ketahui dengan baik. 5. Employee involvement (pelibatan pekerja). Pelibatan pekerja meningkatkan

affective commitment dengan memperkuat identitas sosial pekerja dengan organisasi. Pekerja merasa bahwa mereka menjadi bagian dari organisasi apabila mereka berpartisipasi dalam keputusan yang mengarahkan masa depan organisasi. Pelibatan pekerja juga membangun loyalitas karena memberikan kekuasaan ini menunjukkan kepercayaan organisasi pada pekerjanya.

Dessler dalam Luthans (2011) memberikan pedoman khusus untuk menginplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasi pada diri karyawan:

1. Berkomitmen pada nilai utama manusia. Membuat aturan tertulis, memekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi.

2. Memperjelas dan mengomunikasikan misi Anda. Memperjelas misi dan ideologi; berkharisma dan pelatihan; membentuk tradisi.

3. Manajemen keadilan organisasi. Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif, menyediakan komunikasi dua-arah yang ekstensif. 4. Menciptakan rasa komunitas. Membangun homogenitas berdasarkan nilai;

keadilan; menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim; berkumpul bersama.

5. Mendukung perkembangan karyawan melakukan aktualisasi; memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama; meajukan dan m emberdayakan;

(27)

mempromosikan dari dalam; menyediakan aktivitas perkembangan; menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.

2.1.1.6 Hasil Komitmen Organisasi

Luthans (2011) menyatakan bahwa hubungan positif antara komitmen organisasi dengan hasil yang mungkin ditampilkan seperti kinerja yang tinggi, turnover, dan absenteeism yang rendah. Terdapat bukti terkait komitmen organisasi dengan hasil tersebut seperti, persepsi keramahan, dukungan iklim organisasi, dan keinginan untuk saling membantu sebagai anggota tim yang baik.Penelitian juga menunjukkan bahwa komitmen pada supervisi lebih kuat dikaitkan dengan kinerja dibandingkan komitmen pada organisasi. Beberapa studi mengindikasikan kompleksnya sikap yang ditampilkan dari komitmen. Bagaimanapun, banyak penelitian yang setuju bahwa sikap komitmen organisasi dianggap sebagai prediktor yang lebih baik untuk menampilkan variabel kepuasan kerja dan layak mendapat perhatian manajemen.

Adapun hasil komitmen organisasi menurut Kaswan (2015:130-132) sebagai berikut:

1. Komitmen dan Kinerja

Hubungan positif tampaknya terjadi antara komitmen organisasi dengan produktivitas kerja, tetapi hubungannya sedang. Tinjauan terhadap 27 penelitian (dalam Robins, dan Judge, 2013) menunjukkan hubungan antara komitmen dan kinerja sangat kuat untuk pegawai baru dan agak lemah untuk pegawai yang berpengalaman. Riset mengindikasikan bahwa pegawai yang merasa perusahaan/organisasi yang tidak memenuhi janjinya kepada pegawai semakin berkurang komitmennya; dan penurunan komitmen itu pada gilirannya membawa kepada menurunnya tingkat kinerja kreatif.

2. Komitmen dan Kepuasan Kerja

Dikemukakan oleh Sharma, Bajpai, dan Shah (2010), tidak ada keraguan bahwa komitmen organisasi membawa kepada kepuasan kerja. Kepuasan kerja diakui sebagai komponen komitmen organisasi. Kepuasan kerja merupakan prediktor komitmen organisasi. Banyak kajian menggunakan kepuasan yang berbeda untuk memprediksi sikap pegawai, seperti kinerja, komitmen organisasi, dan kualitas pelayanan.

3. Komitmen dengan Kemangkiran dan Pergantian Pegawai

Bukti riset menunjukan hubungan negatif antara organisasi dengan baik kemangkiran maupun pergantian karyawan. Terdapat bukti bahwa komitmen karwayan berhubungan dengan hasil lain yang diinginkan seperti persepsi iklim organisasi yang hangat dan mendukung dan menjadi anggota tim yang baik yang siap membantu.

(28)

2.1.2 Leader Member Exchange (LMX)

2.1.2.1 Konsep Leader Member Exchange (LMX)dalam Perilaku Organisasi Menurut Robin & Judge (2017:5) perilaku organisasi (organizational behavior) merupakan bidang studi yang menginvestasi pengaruh individu, kelompok, dan struktur terhadap perilaku di dalam organisasi, untuk tujuan penerapan pengetahuan dan peningkatan demi peningkatan efektivitas organisasi. Perilaku organisasi mempelajari tiga penentu perilaku dalam organisasi, yaitu individu, kelompok, dan struktur. Pada tingkat kelompok, perilaku kelompok dipengaruhi oleh dinamika kelompok, aturan dan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok (Rivai et al., 2017:172). Salah satu cakupan pada tingkat kelompok adalah kepemimpinan (Robin & Judge, 2017:18). Pengelolaan sumber daya manusia tidak lepas dengan sikap atau peran dari seorang pemimpin dalam mengatur karyawan. Kepemimpinan menurut Robin & Judge (2017:249) merupakan kemampuan untuk memengaruhi suatu kelompok menuju pencapaian sebuah visi atau tujuan yang ditetapkan. Peran pemimpin dalam sebuah perusahaan tidak hanya dalam hal memerintah karyawannya saja tetapi diperlukan juga hubungan yang baik antara atasan dan bawahan untuk mengoptimalkan sumber daya manusia pada sebuah perusahaan. Salah satu konsep kepemimpinan dalam hal hubungan antara atasan dan bawahan biasa disebut dengan leader member exchange (LMX) (Dewantara, Kantor, & Utama, 2017:45).

LMX pertama kali muncul lebih dari 30 tahun yang lalu dengan nama “teori hubungan dua pihak vertikal”, teori ini terus menjadi penelitian kepemimpinan yang banyak dipelajari (Peter Northouse, 2017:172). Menurut Blau (Lu, Weng, & Lee, 2017) teori LMX terbentuk dari teori social exchange. Teori LMX sebelumnya disebut “teori hubungan dua pihak vertikal” karena fokusnya pada proses pengaruh timbal balik pada hubungan dua arah vertikal yang terdiri dari satu orang yang memiliki otoritas langsung atas orang lainnya (Yukl, 2017:140). Peter Northouse (2017:153) menjelaskan karakteritik hubungan dua pihak vertikal ini, menemukan dua jenis hubungan umum; hubungan yang didasarkan pada tanggung jawab peran yang diperluas dan dinegosiasikan (peran-tambahan), yang disebut sebagai dalam-kelompok, dan apa yang didasarkan pada kontrak pekerjaan resmi (peran yang ditetapkan), yang disebut sebagai luar-kelompok. Graen dalam Peter Northouse

(29)

(2017:155) keanggotaan di dalam satu kelompok atau yang lain didasarkan pada bagaimana pengikut melibatkan diri mereka dalam meluasakan tanggung jawab perannya dalam pemimpin. Pengikut yang tertarik untuk menegosisasi dengan pemimpin hal yang ingin mereka lakukan untuk kelompok, bisa menjadi bagian dari dalam-kelompok. Negoisasi ini melibatkan pertukaran di mana pengikut melakukan sejumlah aktivitas yang melebihi deskripsi pekerjaan resmi mereka, dan pemimpin sebagai akibatnya melakukan lebih banyak hal untuk pengikutnya. Bila pengikut tidak tertarik untuk merima tanggung jawab pekerjaan yang baru serta berbeda, mereka menjadi bagian dari luar-kelompok.

Menurut Robin & Judge (2017:258), teori leader member exchange (LMX) berpendapat bahwa tahap awal dalam sejarah interaksi di antara seorang pemimpin dengan seorang pengikut tertentu, pemimpin secara implisit mengategorikan pengikut sebagai “di dalam” atau “di luar”; hubungan tersebut relatif stabil dari waktu ke waktu. Terdapat bukti bahwa para anggota di dalam kelompok memiliki karakteristik demografis, tingkah laku, dan kepribadian yang sama dengan yang yang dimiliki oleh para pemimpin mereka atau level kompetensi yang lebih tinggi daripada para anggota di luar kelompok.

Para pemimpin dan para pengikut dengan gender yang sama cenderung memiliki hubungan yang lebih dekat (LMX yang lebih tinggi) daripada mereka dengan gender berbeda. Meskipun melakukan pemilihan, tetapi karakteristik pengikut akan mendorong pengambilan keputusan untuk mengkategorikan. Para pemimpin yang menanamkan sumber daya dengan yang mereka harapkan dapat bekerja dengan sangat baik. Mempercayai para anggota di dalam kelompok merupakan hal yang sangat penting para pemimpin memperlakukan mereka dengan cara demikian dan tanpa didasari telah memnuhi harapan mereka (Robin & Judge, 2017:258).

2.1.2.2 Definisi Leader Member Exchange (LMX)

Menurut Robin & Judge (2017:257) menjelaskan bahwa, teori pertukaran pemimpin-anggota (leader member exchange) merupakan suatu teori yang mendukung penciptaan para pemimpin di dalam kelompok dan di luar kelompok; para bawahan di dalam kelompok yang akan memiliki peringkat kerja yang lebih

(30)

tinggi, tingkat perputaran pekerja yang rendah, dan kepuasan kerja yan lebih tinggi. Karena tekanan waktu para pemimpin menetapkan suatu hubungan yang istimewa dengan kelompok kecil dari para pengikut mereka. Sedangkan menurut Yukl (2017:140), LMX menjelaskan proses peran antara pemimpin dan bawahan serta hubungan pertukaran yang berkembang dari waktu ke waktu. Graen memaknai LMX sebagai semacam hubungan pertukaran interpersonal antara pemimpin dan masing-masing pengikut (Erlita & Surjanti, 2018:600). Ivancevich, et al mengatakan bahwa LMX adalah pendekatan yang mengenali tidak adanya konsisten perilaku atasan kepada seluruh bawahannya (Dewantara et al., 2017:46). Morrow dalam Elshifa (2018:28) mendefinisikan LMX adalah peningkatan kualitas hubungan antara supervisi dengan karyawan akan mampu meningkatkan kerja keduanya. Namun realitasnya, hubungan antara karyawan dan supervisi dapat dikelompokkan pada dua hubungan yaitu hubungan yang baik dan hubungan yang buruk. Hubungan yang baik akan menciptakan kepercayaan karyawan, sikap positif, dan loyalitas, namun hubungan yang buruk berpengaruh sebaliknya.

Grean dan Uhl-Bien menjelaskan LMX sebagai pertukaran timbal balik antara pemimpin anggota yang dibentuk dari obligasi, respect, dan kepercayaan (Lu et al., 2017). Hubungan antar atasan dan bawahan tidak dapat terbentuk tanpa adanya saling menghormati (respect) terhadap kemampuan orang lain, tanpa adanya rasa percaya yang timbal balik dengan yang lain, dan tidak memperkirakan bahwa pengaruh kewajiban akan berkembang menjadi suatu hubungan kerja.

Teori LMX membicarakan kepemimpinan sebagai proses yang terpusat pada interaksi antara pemimpin dan pengikut, membuat hubungan pemimpin-anggota menjadi konsep utama dalam proses kepemimpinan (Peter Northouse, 2017:172). Achua & Lussier (2013) mendefinisikan LMX sebagai pertukaran antara pemimpin-anggota didefinisikan sebagai kualitas hubungan pertukaran antara pemimpin dan pengikut. Hubungan pertukaran antara pimpinan dan anggota yang alami dari sudut pandang ekonomi ditandai dengan rasa saling percaya, loyal satu terhadap yang lain, dan saling menghormati.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa leader member echange (LMX) merupakan peningkatan kualitas

(31)

hubungan pemimpin bawahan dari waktu dengan pendekatan mengenali tidak adanya konsisten perilaku atasan kepada seluruh bawahannya.

2.1.2.3 Dimensi Leader Member Exchange (LMX)

Adapun empat dimensi dari LMX ini yang dinyatakan oleh Liden & Maslyn (1988) yang memiliki tingkat dominan berbeda-beda pada tiap individu, yaitu:

b. Affect (Afeksi)

Mengacu pada hubungan timbal balik anggota yang saling menguntungkan yang mempunyai dasar utama pada ketertarikan interpersonal dibanding sekedar bekerja atau nilai professional tersebut dapat diwujudkan dalam keinginan untuk dan atau terjadinya hubungan yang memiliki komponen secara pribadi yang menguntungkan dan membuahkan hasil contohnya persahabatan.

b. Loyalty (Loyalitas)

Mengacu pada ekspresi dari dukungan yang umum diberikan untuk tercapainya tujuan dan sesuai dengan karakter personal dari anggota lain pada hubungan LMX. Hal ini terutama berkaitan dengan sejauh mana para pemimpin dan anggota LMX melindungi satu sama lainnya dari masalah yang berada di luar lingkungan mereka. Loyalitas yang kuat diwujudkan oleh perilaku sensitif, waspada, dan bijaksana saat berinteraksi dengan dunia luar lingkungan mereka

c. Contibution (Kontribusi)

Menggambarkan suatu persepsi jumlah, arah, dan kualitas aktivitas yang berorientasi kerja dari anggota LMX untuk mencapai tujuan yang menguntungkan (eksplisit atau implisit). Tingkat kontribusi berpengaruh dalam hal jumlah, kesulitan, dan pentingnya tugas yang diberikan dan diterima oleh anggota karena menunjukkan kepercayaan pemimpin terhadap kemampuan dan kemauan anggota untuk mengerjakan dan menyelesaikan dengan baik tugas yang susah dan penting.

d. Professional Respect (Respek Profesional)

Mengacu pada derajat persepsi anggota lain dalam membangun reputasi di dalam atau di luar organisasi, sehingga menjadi unggul di bidang kerjanya.

(32)

Respect dapat berasal dari data historis orang tersebut, seperti pengalaman personal seseorang bekerja dan penghargaan atau pengakuan profesional yang telah dicapai. Data historis yang bagus dan penghargaan yang dimiliki seseorang dapat mendatangkan respek professional dari pemimpin atau karyawan orang tersebut dan juga dari rekan kerjanya.

Menurut Graen dan Uhl-Bien, terdapat tiga indikator LMX, yaitu (Dewantara et al., 2017:47):

1. Respect, hubungan saling menghormati (respect) terhadap kemampuan orang lain antara atasan dengan bawahan. Mengetahui bagaimana atasan menghormati kemampuan bawahan, dan bagaimana bawahan menghormati kemampuan dan keputusan atasan dalam kepemimpinannya.

2. Trust, hubungan rasa saling percaya antara atasan dengan bawahan. Indikator untuk mengukur seberapa tingkat kepercayaan atasan terhadap bawahan dan sebaliknya seberapa tingkat kepercayaan bawahan terhadap atasan.

3. Obligation, pengaruh kewajiban atau keharusan dalam bekerja. Pengaruh kewajiban pekerjaan antara atasan dan bawahan akan berkembang menjadi suatu hubugan kerja

Dimensi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teori Liden & Maslyn (1988), yaitu Affect (Afeksi), Loyalty (Loyalitas), Contribution (Kontribusi), Professional Respect (Respek Profesional).

2.1.2.4 Fase Leader Member Exchange (LMX)

Graen dan Uhl-Bien dalam Peter Northouse (2017:158) meyatakan bahwa pembentukan kepemimpinan berkembang secara pesat selama tiga fase ini (1) fase orang asing, (2) fase perkenalan, (3) fase hubungan pertemanan yang matang. Selama fase 1, fase orang asing, interaksi dalam hubungan dua pihak antara pemimpin-anggota umumnya dibatasi peraturan, sangat mengandalkan pada hubungan kerja. Pemimpin dan pengikut berhubungan di dalam peran organisasi yang telah diteapkan. Mereka memiliki pertukaran yang berkualitas rendah, sama seperti dengan para anggota luar-kelompok.

Fase 2, fase perkenalan yang dimulai dengan tawaran oleh pemimpin untuk meningkatkan pertukaran sosial berorientasi karier, yang termasuk membagi lebih banyak sumber daya dan informasi pribadi atau informasi terkait dengan pekerjaan. Ini adalah periode pengujian untuk pemimpin dan pengikut guna menilai apakah pengikut tertarik mengambil lebih banyak peran dan tanggung jawab. Selama masa

(33)

ini, hubungan dua pihak berubah dari interaksi yang dengan ketat diatur oleh deskripsi jabatan dan menetapkan peran serta bergerak menuju cara baru berelasi. Seperti diukur oleh teori LMX, dapat dikatakan bahwa kualitas dari pertukaran mereka telah meningkat ke kualitas menengah. Hubungan dua pihak di dalam fase perkenalan ini mulai mengembangkan kepercayaan dan penghargaan yang fokus pada kepentingan diri sendiri dan lebih pada tujuan sera kegunaan kelompok (Peter Northouse, 2017:158-159).

Fase 3, hubungan pertemanan yang matang, ditandai oleh pertukaran pemimpin-anggota yang berkualitas tinggi. Orang-orang yang telah maju ke tahap ini di dalam hubungan mereka mengalami rasa saling percaya, sikap saling menghormati, dan sikap saling menghargai tingkat tinggi. Dalam hubungan pertemanan yang matang, ada tingkatan timbal balik yang tinggi antara pemimpin dan pengikut, masing-masing pihak saling memengaruhi dan dipengaruhi oleh pihak lain (Peter Northouse, 2017:159).

2.1.2.5 Model Leader Member Exchange (LMX)

Menurut Kreitner & Kinichi (2008), model LMX didasarkan pada asumsi bahwa pemimpin mengembangkan hubungan satu per satu yang unik dengan masing-masing orang yang melapor kepadanya. LMX berfokus pada hubungan diadik (dua arah) antara pemimpin dan masing-masing pengikutnya yang merupakan hubungan pertukaran yang bertujuan untuk meningkatkan kesuksesan organisasi dengan menciptakan hubungan yang positif antara pimpinan dengan pengikutnya.

Sumber : Griffin & Moorhead (2014:351) GAMBAR 2.1

MODEL LEADER MEMBER EXCHANGE Leader Subordinate 1 Subordinate 2 2 Subordinate 3 Subordinate 4 2 Subordinate 5 2 Out-Group In-Group

(34)

Griffin & Moorhead (2014) menjelaskan model LMX meyatakan bahwa supervisor membentuk hubungan spesial dengan sejumlah anggota yang disebut “in-group”. Anggota pada “in-group” sering msenerima pekerjaan spesial mewajibkan tanggung jawab yang lebih; mereka juga mendapat hak yang lebih, seperti keleluasaan mengenai jadwal kerja.

Sumber : Greenberg (2011:461) GAMBAR 2.2

MODEL LEADER MEMBER EXCHANGE

Konsep ini menyatakan bahwa berbagai alasan pemimpin memiliki bentuk relasi yang berbeda dengan variasi beberapa kelompok bawahan. Dalam sebuah grup, dilihat sebagai dalam grup, merupakan indivisu yang disukai. Anggota in-group mendapat perhatian yang lebih dari para pemimpin dan lebih besar membagi sumberdaya yang mereka tawarkan. Disisi lain, anggota lain yang termasuk pada out-group. Individu tersebut tidak disukai oleh pemimpin. Dengan demikian, mereka mendapat lebih sedikit nilai dari para pemimpin.

Pemimpin membedakan antara anggota in-group dengan anggota out-group sangat awal pada hubungan dengan mereka. Kesamaan yang dirasakan sehubungan dengan karakteristik pribadi seperti usia, jenis kelamin, atau kepribadian cukup untuk mengkategorikan pengikut ke dalam kelompok pemimpin. Demikian pula, pengikut tertentu dapat diberikan status dalam grup jika pemimpin percaya bahwa orang tersebut sangat kompeten dalam melakukan pekerjaannya.

Memperhatikan hubungan antara pemimpin dan pengikut mereka dapat sangat berguna. sifat hubungan seperti itu sangat mempengaruhi moral, komitmen, dan kinerja karyawan. membantu para pemimpin untuk meningkatkan hubungan semacam itu, seperti melalui pelatihan, oleh karena itu, dapat sangat berharga dalam hal ini. Pemimpin In-Group Out-Group Moral Komitmen Kinerja Semakin tinggi untuk anggota di dalam grup Semakin rendah untuk anggota di luar grup

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan yang menjadi deskripsi utama dari pemberian pelayanan kesehatan yang optimal yang berdasarkan konsep “Smart Health” adalah bagaimana memberikan pelayanan

Berdasarkan hasil pembahasan yang dikemukakan dalam laporan akhir ini, kesimpulan yang didapatkan ialah untuk tingkat likuiditas perusahaan dianggap likuid tetapi

Transaksi dalam mata uang asing dicatat ke dalam mata uang fungsional Rupiah dengan menggunakan kurs yang berlaku pada tanggal transaksi. Pada tanggal laporan

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Namun demikian ada parameter mutu yang tidak dapat dirubah, antara lain jenis tembakau, daerah penanaman, pembagian berdasarkan posisi daun pada batang, teknik budidaya yang

Perbandingan Debt To Equity menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kinerja perusahaan yang diukur dengan Debt To Equity antara periode sebelum

11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima (PKL) belum mengakomodir asas kemanusiaan dan keadilan. Sekretaris Dewan Kehormatan KP2KKN Dwi Saputro,