• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER SUMMER COURSE STFT JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER SUMMER COURSE STFT JAKARTA"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

LAPORAN KEGIATAN SEBAGAI NARASUMBER SUMMER COURSE STFT JAKARTA 25, 28 DAN 29 JUNI 2021

1. Saya selaku dosen STFT Jakarta bidang Studi Pendidikan Kristiani diminta untuk terlibat mengajar dalam kegiatan “Summer Course Tahun 2021 STFT Jakarta.” Kegiatan ini diselenggarakan sebagai program dari Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik STFT Jakarta. Kegiatan ini diperuntukkan untuk para pendeta/sarjana teologi yang melayani di jemaat/sekolah/organisasi keagamaan lainnya yang membutuhkan penyegaran terkait perkembangan terbaru dalam bidang teologi.

2. Dalam kegiatan ini saya memaparkan sejumlah materi dengan perincian sebagai berikut:

Tanggal Sesion Topik

Jumat,

25 Juni 2021 Sesion 1-2 Perkembangan Terkini dalam PendidikanKristiani Sesion 3 Lanskap Pendidikan Kristiani di Era Pandemi Senin,

28 Juni 2021 Sesion 1Sesion 2 Pendidikan Kristiani IntergenerasiPendidikan Kristiani Inklusi Sesion 3 Gereja, Sahabat Anak

Selasa,

29 Juni 2021 Sesion 1Sesion 2 Pendidikan PengasuhanPendidikan Multikultural Sesion 3 Metode Pembelajaran

Durasi waktu untuk pemaparan materi pada sesion yang pertama adalah 2 jam, sedangkan untuk sesion 2 dan sesion 3 adalah masing-masing 1,5 jam. Pada akhir kegiatan, ada sesion konsultasi antara pengajar dan peserta untuk menolong peserta memetakan persoalan yang mau dikaji dalam penulisan makalah akhirnya.

3. Kegiatan ini diikuti oleh 10 orang peserta via aplikasiZoom.Ada cukup banyak respons dan sharing pengalaman di setiap sesion yang disampaikan oleh para peserta berbasis pada pengalaman mereka selama ini di gereja/sekolah/organisasi Kristen lainnya. 4. Terlampir undangan, poster kegiatan dan materi yang saya sampaikan dalam kegiatan

Summer Courseini. Jakarta, 30 Juni 2021

(4)

Perkembangan Pendidikan Kristiani di Aras Global dan Lokal

(Disiapkan oleh: Justitia Vox Dei Hattu)

Berbagai perubahan signifikan dalam konteks pendidikan di Indonesia, baik pada konteks masyarakat, bergereja maupun pada level pendidikan umum, memberikan sejumlah perubahan signifikan pada wajah Pendidikan Kristiani. Beberapa perubahan tersebut, antara lain:

1. Perubahan Nama PAK menjadi PK. Pada awal tahun 2000-an, sejumlah fakultas dan sekolah teologi di Indonesia mengubah nama Pendidikan Agama Kristen (disingkat: PAK) menjadi Pendidikan Kristiani (disngkat: PK). Perubahan nama ini dilatar-belakangi oleh satu alasan mendasar, yaitu semakin terdistorsinya nama PAK menjadi hanya sebagai sebuah mata pelajaran atau mata kuliah di sekolah/sekolah tinggi/universitas, padahal PAK sejatinya adalah seluruh gerak pelayanan dan pembinaan bagi warga gereja (untuk juga para siswa/mahasiswa di sekolah/universitas) untuk menolong mereka berkarakter Kristiani dan menunjukkan gaya hidup Kristiani dalam laku hidup sehari-hari di masyarakat. 2. Konsep Pendidikan Kristiani. Oleh karena distorsi makna pada nama tersebut, maka

seringkali muncul kesalahpahaman tentang PK. Maria Harris, dalam bukunya berjudul Fashion Me a People memetakan setidaknya dua kesalahpahaman terhadap PK, yang saya kira juga terjadi dalam konteks di Indonesia, yaitu: (a) PK identik dengan anak-anak, sehingga siapa yang mengambil bidang ini, akan dianggap cakap mengajar anak-anak, tidak lebih; (b) PK hanya terkait dengan sekolah (papan tulis, kapur, meja-kursi), tidak lebih. Dampak dari kesalahpahaman ini mewujud dalam beberapa hal, antara lain: (a) PK sebagai sebuah prodi, mata kuliah, bidang kajian, seringkali dinomor-duakan setelah teologi, padahal PK bagian dari teologi(practical theology); (b) Tidak ada keterkaitan yang signifikan antara PK di sekolah dan di gereja. Masing-masing berjalan sendiri.

Padahal PK sendiri adalah sebah disiplin ilmu yang punya keterkaitan dengan disiplin ilmu yang lain. Hal ini tampak dari beragam pendekatan dalam PK yang memperlihatkan wajah PK yang multidimensi dan multidisipliner. Beberapa literatur dalam bidang PK memperlihatkan secara jelas hal ini. Misalnya:

(5)

a) Buku “Contemporary Approaches to Christian Education” yang diedit oleh Jack L. Seymour dan Donald E. Miller. Memperkenalkan ada lima pendekatan dalam PK, yaitu: Religious Instruction, Faith Community, Developmental, Liberation, danInterpretation.

b) Buku “Mapping Christian Education” yang diedit oleh Jack L. Seymour. Buku ini memperkenalkan empat pendekatan dalam PK, yaitu: Social Transformation (yang menekankan pada kemampuan berpikir kritis, transformasi dan pembebasan dari ketertindasan); Faith Community (yang menekankan pada dimensi komunikasi, interaksi, dan relasi); Personal Development (yang menekankan pada perkembangan karakter dan perilaku, iman, moral, relasi sosial, dan bahasa yang ditandai dengan perpindahan individu dari satu tahap ke tahap berikutnya); dan Religious Instruction (yang menekankan pada aktivitas mengajar, instruksi, indoktrinasi transmisi iman, katekisasi, dan sekolah).

c) Buku “Ajarlah Mereka Melakukan” yang diedit oleh Andar Ismail. Buku ini memuat sejumlah artikel yang memperkenalkan berbagai isu yang terkait dengan bidang displin ilmu yang lain, antara lain: pendidikan moral dan perilaku, didaktik, metode PAK, ekologi, HAM, pendidikan anak, pendidikan remaja, PAK untuk pemuda, PAK untuk lansia, PAK di sekolah, tantangan PAK di abad ke-21.

d) Buku “Memperlengkapi Bagi Pelayanan dan Pertumbuhan” yang diedit oleh Kadarmanto Hardjowasito, dkk. Buku ini memuat: PAK sebagai sebuah mata kuliah dan tempatnya dalam pendidikan teologi, PAK Dewasa, kurikulum PAK, Sejarah PAK, pendidikan perdamaian, PAK Transformatif, PAK untuk Remaja, PAK dan pendidikan anti kekerasan, spiritualitas, pendidikan moral dan dan PAK dalam konteks multiagama.

e) Buku “Mendidik dalam Kasih, Keadilan dan Kebenaran” yang diedit oleh Justitia Vox Dei Hattu. Buku ini memuat sejumlah artikel tentang: prinsip pengajaran, PK Inklusi (isu disabilitas), pendidikan kritis, pendidikan untuk transformasi sosial, pendidikan multikultural, pembinaan warga gereja, Gereja ramah anak, pembelajaran ramah anak, kurikulum katekisasi, pendidikan perdamaian, spiritualitas, pendidikan pengasuhan (parenting), hermeneutik, dan model pembelajaran.

(6)

3. Tujuan Pendidikan Kristiani. Jika pada awalnya berorientasi pada transmisi pengetahuan (Alkitab) saja, maka saat ini PK berorientasi pada:

a. Menghubungkan apa yang dipelajari dengan realitas masa kini.

b. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis sebagai seorang Kristen. c. Mengasah sensitivitas dan kepekaan dan berwujud dalam perilaku dalam

komunitas Kristen maupun multiagama.

4. Konteks Pendidikan Kristiani. PK tidak lagi berkutat di dalam gedung gereja, tetapi juga melampaui batas gedung gereja, yakni di ruang publik.

a. Di dalam gereja, kita menemukan adanya ketegangan antara kelompok-kelompok kategorial dan upaya-upaya untuk membuat pelayanan lebih intergenerasional.

b. Diluar gereja, PK terjadi dalam beberapa konteks: (1) Rumah-rumah warga jemaat (keluarga); (2) ruang dialog antar umat beragama; (3) ruang publik untuk melakukan Pendidikan Anti Kekerasan, PK dalam Konteks Masyarakat Majemuk, PK Berbasis Kewarganegaraan, PK Inklusi, dsb.

c. Konteks tidak hanya terkait dengan soal fisik, tetapi juga dua hal ini: (1) Faktor emosional dan perilaku: hospitalitas, keterbukaan (openness), dan keamanan (safety); dan (2) Nilai-nilai budaya (lokal) (Karen Tye 2000, 39-40).

5. Model – Metode Pembelajaran Pendidikan Kristiani. Terjadi pergeseran signifikan dari model-model pembelajaran yang bersifat indoktrinatif ke model-model pembelajaran yang lebih humanis dan membebaskan: partisipatif, dialogis dan mengasah kemampuan berpikir kritis dan kepekaan. Dua diantaranya adalah: a) Lima Ragam Mengajar menurut Sara Little, yaitu:

- Ragam Pemrosesan Informasi - Ragam Interaksi Kelompok

- Ragam Komunikasi Tidak Langsung - Ragam Pengembangan Pribadi - Ragam Aksi-Refleksi

(7)

b) .Empat Kelompok Model Pengajaran menurut Bruce Joyce, dkk., yaitu: - Kelompok Model Pengajaran Memproses Informasi

- Kelompok Model Pengajaran Sosial - Kelompok Model Pengajaran Personal

- Kelompok Model Pengajaran Sistem Perilaku

Dengan melihat sejumlah perubahan di atas, kita mendapati bahwa PK bukanlah sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri saja, namun ia terkait erat dengan beberapa displin ilmu (baik dalam lingkup teologi) maupun di luar teologi (seperti: psikologi, pendidikan umum, dll).

Dalam 10-15 tahun terakhir ini kita menjumpai beberapa isu yang mengemuka dalam ranah Pendidikan Kristiani. Munculnya isu-isu ini dikarenakan berbagai pergumulan konteks yang juga menuntut respons positif dari Pendidikan Kristiani itu sendiri. Isu-isu tersebut di antaranya:

1. Pendidikan Perdamaian 2. Pendidikan Multikultural 3. Pendidikan Pengasuhan 4. Pendidikan Karakter

5. Pendidikan Kristiani Inklusi 6. Pendidikan Kewarganegaraan 7. Pendidikan Intergenerasi

8. Pendidikan (Gereja) Ramah Anak 9. Pendidikan yang membebaskan 10. Model-model Pembelajaran 11. Mengajar melalui Rekreasi 12. Teknologi Pembelajaran

(8)

Daftar Acuan

Boehlke, Robert R. 2013. Sejarah perkembangan pikiran dan praktek pendidikan agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Harris, Maria. 1989.Fashion me a people: Curriculum in the church.Louisville: Westminster John Knox Press, 1989.

Joyce, Bruce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun. 2016. Models of teaching. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Little, Sara. 1983.To set one’s heart: Belief and teaching in the church. Atlanta: John Knox Press.

(9)

Lanskap Pendidikan Kristiani di Era Pandemi Covid-19 (Disiapkan oleh: Justitia Vox Dei Hattu)

Penulisan makalah ini lebih bersifat sebuah refleksi tentang apa yang bisa dipelajari (learning lessons) atas pelaksanaan Pendidikan Kristiani selama masa pandemi COVID-19 dan era kebiasaan baru (yang akan atau sudah kita masuki bersama-sama). Oleh karena sifatnya reflektif, maka uraian dalam makalah ini akan berfokus pada dua hal utama: persoalan yang muncul dalam ranah Pendidikan Kristiani selama masa pandemi COVID-19 (dan era kebiasaan baru) dan bagaimana respons pedagogis atas persoalan-persoalan tersebut dengan menggunakan lensa Pendidikan Kristiani. Saya memetakannya dalam lima poin sebagai berikut.

1. Dari Tatap Muka ke Tatap Maya

Berkumpul dan bertatap muka langsung adalah sebuahplatformyang sudah kita hidupi dalam dunia pendidikan formal maupun gereja sejak lama. Bahkan berkumpul menjadi salah satu praktik utama, bahkan definitif, dari hampir semua kelompok agama di Indonesia dan menjadi fitur utama model pembelajaran yang dianggap paling mapan (lih. juga Mercer 2021, 1). Oleh karena “kemapanan” ini, maka tidaklah mengherankan ketika pandemi COVID-19 melanda negeri ini dan diikuti dengan pemberlakukan stay at home/work from home/worship from home, semua orang secara cepat dipaksa untuk berpindah segera dari ruang-ruang tatap muka langsung ke ruang-ruang tatap maya. Perasaan canggung, gagap dan ketakutan menghinggapi kita semua, mulai dari anak-anak sampai usia lanjut. Tidak ada satu orangpun yang bebas dari perasaan ini. Namun, pada saat itu, kita tidak memiliki pilihan lain, selain menggunakan: Grup WhatApps (WA), Google Form, Google Classroom, Youtube, dan Zoom Meeting sebagai platforms baru untuk bisa tetap terkoneksi dengan yang lain (Herliandry, dkk. 2020, 66; Anugrahana 2020, 285).

Refleksi: Pandemi ini, setidaknya membuka sebuah cakrawala berpikir yang baru bahwa ruang-ruang virtualpun bisa menjadisacred spacebagi siapapun, tanpa terkecuali. Dalam situasi seperti ini tentu kita menggumuli bersama bagaimana kualitas relasi antara kita (entah dalam kapasitas sebagai pengajar maupun pembelajar) bisa terjaga baik dengan orang-orang yang hadir di ruang virtual bersama dengan kita. Meskipun perjumpaan terjadi di ruang virtual (virtual space), namun kualitas relasi perjumpaan

(10)

harus diperhatikan dengan saksama. Menurut Karen B. Tye dalam bukunya Basics of Christian Education, “...there are at least three key qualities of such a space. These are hospitality, openess, and a sense of safety” (Tye 2000, 39). Hospitalitas (hospitality) merujuk pada tindakan menerima orang lain dengan hangat dan penuh perhatian; keterbukaan (openness) ditandai oleh sikap terbuka dan merasa bebas untuk membagikan apa yang dipikirkan dan dirasakan; dan rasa aman (safe) merujuk pada kemampuan untuk menciptakan ruang belajar yang aman serta bebas dari berbagai tindakan kekerasan, verbal maupun nonverbal (Tye 2000, 39-40).

Tiga kualitas yang dikemukakan oleh Tye ini menjadi sebuah penanda penting bagi kita karena dengan beralihnya semua proses pembelajaran dari tatap muka ke tatap maya, membuat cukup banyak ruang private di kalangan para siswa/mahasiswa/umat yang tidak bisa dengan mudah tersentuh oleh para pengajar. Atau sebaliknya, para siswa/mahasiswa/umat tidak lagi memiliki ruang private karena dengan mudah dipantau oleh anggota keluarga yang lain. Pada titik ini kualitas keterbukaan dan rasa aman (dan nyaman) tidaklah menjadi milik siswa/mahasiswa/umat sepenuhnya karena ada pihak (yang lebih memiliki otoritas) yang yang mengawasi dan mengontrol. Saat membaca ini, kita tentu mengingat kembali sebuah video singkat yang sempat viral di beberapa media sosial tentang orang tua yang mendampingi anaknya belajar online sambil memegang rotan di tangannya. Realitas ini juga berjalan beriringan dengan terus meningginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) selama masa pandemi ini, yang memperlihatkan bahwa ruang maya tidak selamanya menjadi ruang yang terbuka sepenuhnya karena mereka yang terlibat di dalamnya, pada ruang maya mereka masing-masing dikungkung oleh dominasi pihak otoriter. Anak, sebagai korban terbesar mengalami apa yang disebut sebagai pandemi di dalam pandemi. Oleh karenanya, tantangan paling besar bagi kita saat ini adalah bagaimana membuat ruang maya dan segala percakapan yang terjadi didalamnya sebagai ruang yang bisa menolong dan memulihkan mereka yang berproses bersama dengan kita.

2. Dari yang Bersifat Baku ke yang Fleksibel

Dengan beralihnya tatap muka ke tatap maya dan dengan memanfaatkan sejumlah platforms yang ada, kita menyaksikan tetapi juga mengalami bagaimana berbagai penyesuaian harus kita lakukan. Beberapa penyesuaian terjadi pada konten pengajaran, pemanfaatan ragam teknologi sebagai media pembelajaran, penyesuaian metode belajar,

(11)

dll. Penyesuaian-penyesuaian ini harus terjadi karena ragam pertimbangan: kemampuan dan daya tahan siswa/mahasiswa/umat untuk belajar tatap maya tidaklah sekuat tatap muka; variasi-variasi penggunaan metode di ruang virtual dianggap lebih terbatas dibandingkan bertemu langsung; kekuatan jaringan internet setiap siswa/mahasiwa/umat berbeda-beda, sehingga “masuk-keluar” ruang kelas virtual adalah hal yang lumrah, sesuatu yang mustahil (bahkan mungkin tidak sopan) jika terjadi dalam pembelajaran tatap muka.

Refleksi: Joyce Mercer, dalam catatan editorialnya bertajukReports from Religious Educators at Work amid the COVID-19 Global Pandemic di Jurnal Religious Education menyatakan bahwa, “Oleh karena fleksibilitas adalah sebuah persyaratan utama yang tidak tertulis dalam deskripsi tugas masing-masing pengajar, maka dalam konteks pandemi ini, para pendidik dapat memenuhi panggilan implisit ini untuk tetap luwes di bawah tekanan (Mercer 2021, 1). Pernyataan Mercer ini mengingatkan kita bahwa setiap desain pendidikan pada konteksnya, ia harus fleksibel dan adaptabletanpa melupakan tujuan yang mau dicapai dari desain itu sendiri.

Dalam pendidikan (secara khusus pada desain kurikulum dan implementasinya), fleksibilitas didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa setiap orang memiliki kapasitas yang berbeda untuk belajar dan memahami sesuatu dalam konteks dimana dia berada/berasal. Fleksibilitas kurikulum (dan pembelajaran) selama masa pandemi dalam konteks kita di Indonesia ini setidaknya harus didasarkan pada sejumlah alasan berikut: kategori usia, wilayah domisili (yang tentu berpengaruh pada akses internet dan sumber-sumber belajar), motivasi, gaya belajar, dukungan keluarga dan lingkungan sekitar, dan literasi digital yang dimiliki (lih. juga Jonker, März, dan Voogt 2020, 69).

Fleksibilitas dalam pembelajaran juga dimungkinkan ketika situasi dan kondisi sekeliling tidak seperti yang kita harapkan. Dalam situasi ini, saya kira perspektif pedagogis seorang pengajar harus kuat dalam membaca situasi, tetapi juga memikirkan modifikasi dan penyesuaian sehingga proses pembelajaran tetap terjadi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya tetap “menikmatinya.” Courtney T. Goto sebagaimana dikutip oleh Rachelle R. Green dalam artikelnya berjudulPlaying in the Face of Deathmenyatakan bahwa “the primary task of religious education is to help form and transform people to create a more just and peaceful world” (Green 2021, 17). Dalam proses belajar mengajar, pernyataan ini mengingatkan kita bahwa ada tanggung jawab besar yang diemban untuk menciptakan sebuah ruang pembelajaran yang damai. Ruang ini bisa tercipta jika kita

(12)

mampu untuk membaca tanda-tanda, melakukan modifikasi-modifikasi yang sesuai dengan situasi mereka yang belajar bersama kita sehingga kita menjadi kawan seperjalanan yang peka dengan kebutuhan yang lain. Bagi Green, “dalam masa krisis pengajaran dan lingkungan pembelajaran dapat menjadi tanda-tanda pengharapan, signal-signal yang mengarah pada masa depan yang lebih berpengharapan” (Green 2021, 17). Green, berdasarkan pengalamannya bersama dengan para mahasiswa di Fordham University, New York, mengembangkan beberapa modifikasi dalam desain pembelajaran mereka ketika COVID-19 mulai mewabah di wilayah mereka. Bermain adalah cara yang mereka pilih dan praktikkan secara bersama-sama di ruang belajar virtual. Cara ini menolong mereka untuk menghadapi berbagai tekanan yang dibawa oleh pandemi dan berita kematian yang terus berdatangan menghantui mereka. Green dalam kesimpulan bersama-sama dengan semua peserta kelas menyatakan, “dengan bermain bersama sebagai pembelajar-pembelajar dewasa, kami mengeksplorasi fungsi terapis dari bermain untuk kehidupan kami di masa yang tidak mudah ini” (Green 2021, 20). Bagi Green, pengalaman bermain di ruang belajar virtual selama pandemi, mengilustrasikan pentingnya menubuhkan pengharapan-pengharapan kita dalam masa krisis dan mengingatkan kita karunia-karunia yang dimiliki dalam komunitas belajar yang darinya kita ditolong dan diarahkan untuk melihat pada kehidupan di hadapan kematian (Green 2021, 20).

3. Dari Sumber Belajar Tunggal ke Sumber Belajar yang Beragam

Terlepas dari kompleksitas persoalan yang dibawa oleh pandemi COVID-19, kita menyaksikan dan juga mengalami bagaimana terjadi pergeseran yang sangat signifikan dalam hal pengajar dan sumber-sumber belajar lainnya di luar pengajar. Dalam konteks bergereja, sebelum pandemi terjadi, mereka yang dikategorikan sebagai pengajar hanyalah segelintir orang: pendeta dan orang-orang yang berlatar-belakang pendidikan teologi. Namun, saat ini dengan terbukanya akses informasi, kita menemukan sejumlah “pengajar” dan “sumber belajar” baru. Dalam konteks bergereja online, dengan hadirnya ibadah-ibadah online, warga jemaat bisa dengan mudah berpindah dari satu channelke channellainnya demi “memuaskan” kebutuhannya, jika rumah virtual dimana dia berada kurang memuaskan.

Refleksi: Figur-figur tunggal di dalam gereja, kini harus “berdampingan” di ruang-ruang virtual warga jemaat dengan figur-figur atau sumber-sumber lain, termasuk

(13)

sejumlah media sosial, seperti Facebook, Youtube, Instagram, dan Twitter yang penggunanya meningkat pesat di era pandemi ini. Dalam situasi ini, para pendeta (pengajar) ditantang untuk bisa menyajikan “makanan yang bernilai gizi tinggi” agar umatnya tidak berpindah ke ruang-ruang virtual yang lain. Dengan hadirnya beragam sumber belajar ini, akses seseorang untuk belajar dan menyampaikan pendapatnya juga meningkat pesat. Klaus Schwab dalam bukunya berjudul The Fourth Industrial Revolutionmengemukakan bahwa beberapa media sosial, seperti Facebook, Instagram dan Twitter menciptakan “ruang yang memadai” untuk orang-orang (dari kalangan kalangan dan latar belakang manapun untuk untuk bersuara dan berpartisipasi di ruang publik (Schwab 2017, 95). Apa yang dikatakan oleh Schwab jauh sebelum pandemi ini, terbukti kebenarannya dalam masa pandemi ini.

4. Mindful Teacher, Mindful Learner

Dalam rentang waktu satu tahun lebih, sejak tahun lalu kita berupaya semaksimal mungkin untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan untuk menjadi mahir di ruang-ruang virtual. Berbagai fitur menarik kita uji-cobakan supaya proses pembelajaran (pada level pendidikan formal maupun gereja) berjalan dengan baik. Masastay at home memungkinkan kita untuk memiliki lebih banyak waktu berselancar secara virtual dari ruang seminar/pelatihan yang satu ke ruang seminar/pelatihan yang lain. Pertemuan-pertemuan virtual (yang bersifat formal maupun informal) terjadi sampai tengah malam. Beberapa dari antara kita bahkan bisa mengikuti dua pertemuan dalam waktu bersamaan. Kapasitasmulitaskingkita meningkat.

Lalu dengan berlalunya waktu, kita mulai menyadari, ternyata tugas-tugas sekolah anak bukannya bertambah sedikit, malah lebih banyak dari biasanya. Anak mulai mengeluh banyak sekali pekerjaan rumah; orang tua mulai mengeluh kewalahan berbagi diri dengan tugas-tugas harian yang harus dilakukan dan memberi perhatian pada kegiatan belajar anak; para siswa dan guru, para mahasiswa dan dosen mulai kelelahan karena setiap hari yang ditatap adalah layarhandphonedanlaptop.Segala sesuatu yang dulunya baru dan harus dipelajari di tahun yang lalu, kini berganti menjadi sebuah rutinitas yang melelahkan dan mungkin tidak lagi menggairahkan. Banyak yang akhirnya mulai rentan dengan pelbagai tekanan dan berujung pada stres dan burnout. Rupa-rupanya, kita harus mengakui bahwa kesibukan (di ruang virtual) tanpa kita sadari menuntun kita kepada sebuah rutinitas yang berulang terus menerus. Kita lalu berubah menjadi seperti robot. Belum lagi target-target yang harus dicapai yang akhirnya

(14)

membuat kita semakin stres. Dalam banyak hal, kita melakukan segala sesuatu (dengan kapasitasmultitaskingyang meningkat selama masa pandemi ini) tetapi kita tidak benar-benar hadir di sana dan melakukan apa yang semestinya kita lakukan. Jon Kabat-Zinn, sebagaimana dikutip oleh Robert Burnett membahasakannya begini: “We may eat without really tasting, see without really seeing, hear without really hearing, touch without really feeling, and talk without really knowing what we are saying” (Burnett 2011, 83).

Refleksi: Kondisi ini memanggil kita untuk kembali fokus pada apa yang kita kerjakan, menjadi seorang yangmindful(berkesadaran penuh). Richard Burnett secara sederhana mendefinisikan mindfulness sebagai “memberi perhatian pada waktu sekarang (bukan lampau atau akan datang) dengan bijaksana” (Burnett 2011, 84-85). Mindfulnessmenjadi sebuah kebutuhan yang perlu dilatih di era pandemi ini karena kita terdistraksi oleh berbagai hal yang akhirnya membuat sebagian besar dari kita menjadi orang-orang yang tidak bisa lagi berfokus secara maksimal pada apa yang sedang kita kerjakan. Dalam proses pembelajaran di era pandemi ini, tuntutan untuk menjadi seorangmindful teacher,mindful student, danmindful partneradalah sebuah keharusan. Seorang bijak pernah mengatakan: “When teachers are fully present, they teach better. When students are fully present, the quality of their learning is better.”

Untuk menjadi seorang mindful teacher/student/partner, kita membutuhkan “ruang” untuk melatih dan mengembangkan kapasitas yang ada di dalam diri kita di tengah-tengah berbagai distraksi yang kita alami selama pandemi COVID-19 ini. Mindfulness terjadi melalui sebuah pembiasaan dan dilatih melalui beragam aktivitas, baik yang berbentuk sangat sederhana sampai kepada yang sangat kompleks, misalnya: berjalan di sekeliling rumah dan fokus mengamati apa yang ada di sekitar, mengatakan satu-dua kalimat sederhana yang memotivasi (loving-kindness practice), mendengarkan dengan baik ketika orang sedang berbicara (hindarilahmultitasking), mengimajinasikan sesuatu, merenung, menggerakkan tubuh mengikuti pola/ritme tertentu, menulis kreatif, membuat jurnal, mendengarkan musik, dan menciptakan karya seni tertentu (lih. Lau dan Hue 2011, 319). Semua contoh yang diusulkan ini bisa diintegrasikan dalam model-model pembelajaran yang kita desain, termasuk dalam rutinitas kita sehari-hari, supaya kita benar-benar berkesadaran penuh ketika melakukan suatu hal.

(15)

5. Beriman sebagai Proses Menciptakan Arti (Meaning-making Process)

Pandemi COVID-19 membuat kita mempertanyakan banyak hal dalam hidup beriman kita secara personal maupun komunal. Kita bertanya tentang Tuhan dan kemahakuasaan-Nya melampaui virus COVID-19; kita bertanya tentang kematian orang-orang terdekat, sahabat dan kerabat yang sangat kita kasihi; kita bertanya tentang arti kepedulian terhadap diri dan sesama di tengah-tengah pembatasan sosial yang masih terus berlangsung; kita bertanya tentang kemampuan bertahan dan berjuang di tengah-tengah peliknya kehidupan; kita bertanya tentang masih adakah harapan untuk hari depan ketika pemutusan hubungan kerja terjadi, usaha tidak memberikan hasil gemilang, anak tidak bisa bersekolah dengan baik, dan rasa sakit yang masih harus dibawa karena terinfeksi COVID-19. Semua pertanyaan ini muncul dalam benak setiap kita. Lalu, apakah dengan mempertanyakan semua ini kita sedang menunjukkan sikap tidak beriman kita kepada Tuhan? Saya kira tidak. Sebab semua pertanyaan ini mengingatkan kita kembali bahwa pandemi ini membuka ruang untuk mempercakapkan kembali hal-hal yang mendasar dari hidup beriman kita, yakni: Tuhan, sesama dan kasih kepada sesama di masa pembatasan sosial, kehidupan dan kematian, dukacita yang tertunda, trauma yang tertinggal, daya juang, daya lenting, kerapuhan, spiritualitas yang harus terus dihidupi di tengah krisis, dan sebagainya. Semua hal ini, pada masa sebelum pandemi kita hanyatake them for granted. Kita menerimanya sebagai sebuah doktrin, menyimpannya baik-baik tanpa melatih dan membiasakan diri kita untuk terus mempelajarinya. Akibatnya, ketika pandemi menghantam, kita seperti kelabakan karena semua yang kita terima di masa lampau itu hanya sebagai sebuah warisan, yang tidak kita gunakan, tapi kita simpan rapat-rapat di lemari kehidupan beriman kita. Salah satu krisis terbesar yang dialami seluruh penduduk dunia, termasuk orang Kristen di masa pandemi ini adalah krisis identitas. Menurut Hyun-Sook Kim, “krisis identitas ini menuntut dari kita jawaban langsung, yang mendorong kita untuk melihat dari dekat apa yang sudah kita lakukan, siapa kita pada masa sekarang ini, dan masa depan seperti apa yang bisa diharapkan (Kim 2021, 46).

Refleksi: Proses mempertanyakan kembali berbagai hal ini, mengingatkan saya pada teori perkembangan iman James Fowler. Fowler memahami iman sebagai sesuatu yang dinamis, tidak statis. Itu sebabnya Fowler mendefinisikan iman sebagai sebuah kata kerja (verb), bukan kata benda (noun). Bahkan Fowler memahami iman itu sebagai sebuah proses menciptakan arti (meaning-making). Iman adalah cara seseorang melihat

(16)

dirinya dalam relasi dengan sesama, Tuhan, dan dunia ini; iman adalah cara kita menemukan keterhubungan dengan yang lain dan berbagai pengalaman hidup yang kita alami yang darinya kita menciptakan arti (Fowler 2000, 4). Iman adalah sesuatu yang mendorong kita maju dan membuat kita terus memberi arti dan bentuk pada setiap pengalaman yang kita alami.

Dari pengertian Fowler ini, saya setidaknya mereflesikan dua hal penting, bahwa: (1) pandemi COVID-19 ini membuat kita semakin sadar bahwa hidup beriman ini adalah sesuatu yang dinamis, tidak statis. Oleh karenanya, setiap pengalaman perjumpaan kita dengan Tuhan, sesama dan alam sekitar, entah itu dalam keadaan baik atau tidak baik, seharusnya menuntun kita untuk lebih memaknai keberimanan kita; (2) pandemi COVID-19 ini membuat kita, Gereja (dan juga sekolah-sekolah) untuk segera berpindah dari model-model pengajaran yang sifatnya indoktrinatif, kepada model-model pengajaran yang dialogis, yang membuka “ruang” untuk orang bertanya, berefleksi, merasakan secara mendalam dan menciptakan pemahaman-pemahaman baru yang memperkaya hidup berimannya.

Pandemi COVID-19 mungkin akan segera berakhir dalam satu atau dua tahun lagi, namun dampaknya itu akan membekas di ingatan kita, di tubuh kita, karena ada duka yang tertunda selama pandemi ini yang butuh ruang untuk diekspresikan, ada trauma yang tertinggal karena berbagai peristiwa duka dan kekerasan yang menyakitkan dan melukakan hati, ada hati yang terluka karena berbagai tindakan kekerasan yang dialami dalam rumah tangga selama masa stay at home, dan berbagai persoalan lainnya. Oleh karenanya, desain-desain bahan ajar perlu untuk mempercakapkan hal ini, desain-desain pembinaan dan pelatihan perlu memperlengkapi orang dengan kapasitas untuk mengidentifikasi, berefleksi atas dan belajar sesuatu darinya. Konten-konten pengajaran dan pelayanan pastoral Gereja harus menjangkau dan mengakomodir berbagai isu ini sehingga setiap orang mendapatkan ruang untuk menuturkan narasi kehidupannya, narasi keberimanannya selama dan pasca pandemi ini.

(17)

Daftar Acuan

Anugrahana, Andri. 2020. “Hambatan, solusi dan harapan: Pembelajaran daring selama masa pandemi Covid-19 oleh guru sekolah dasar.”Scholaria: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan10, no. 3 (September): 282-289.

Burnett, Richard. 2011. “Mindfulness in secondary schools: Learning lesson from the adults, secular and Buddhist.” Buddhist Studies Review28, no. 1: 79-121.

Fowler, James W. 1995.Stages of faith: The psychology of human development and the quest for meaning. New York: HarperCollins.

Green, Rachelle R. 2021. “Playing in the face of death: Pedagogical play as love and lament in a time of COVID.Religious Education116, no. 1 (Januari): 16-25.

Herliandry, Luh Devi, dkk. 2020. “Pembelajaran pada masa pandemi Covid-19.” Jurnal Teknologi Pendidikan22, no. 1: 65-70.

Jonker, Herma, Virginie März, dan Joke Voogt. 2020. “Curriculum flexibility in a blended curriculum.Australasian Journal of Educational Technology36, no. 1: 64-84. Kim, Hyun-Sook. 2021. “Beyond doubt and uncertainty: Religious education for a

post-COVID-19 world.Religious Education116, no. 1 (Januari): 41-52.

Lau, Ngar-sze dan Ming-tak Hue. 2011. “Preliminary outcomes of a mindfulness-based programme for Hong Kong adolescents in schools: Well-being, stress and

depressive symptoms.”International Journal of Children’s Spirituality16, No. 4 (November): 315-330.

Mercer, Joyce. 2021. “Reports from religious educators at work amid the COVID-19 global pandemic.”Religious Education116, no. 1 (januari): 1-2.

Https://doi.org/10.1080/00344087.2021.1876607.

Schwab, Klaus. 2017.The fourth industrial revolution.New York: Curency. Tye, Karen. B. 2000.Basics of Christian education.danvers, MA: Chalice Press.

(18)

Pendidikan Intergenerasi:

Sebuah Wacana Pembanding Bagi Desain Pelayanan Gereja yang Holistik

(Disiapkan oleh: Justitia Vox Dei Hattu)

A. Latar Belakang Pendidikan dan Pelayanan Berbasis Integenerasi

Dalam jangka waktu yang begitu lama model pelayanan gereja-gereja di Indonesia begitu didominasi oleh model kategorial. Model kategorial ini didasarkan pada pengelompokkan berdasarkan kategori usia: anak, remaja, pemuda, dewasa, dan usia lanjut. Setiap kelompok usia ini mendesain bentuk-bentuk pelayanan yang sesuai untuk mereka tanpa memikirkan interaksi dengan kelompok usia lain. Akibatnya, fokus pelayanan lebih berorientasi pada kelompok usianya saja dan cenderung mengabaikan kategori usia lain. Akibat yang lebih buruk adalah munculnya gereja di dalam gereja sebab semua kelompok usia berjalan dengan bendera kategorialnya masing-masing dan melupakan bahwa mereka adalah satu tubuh, satu gereja.

Pelayanan berbasis kategorial ini setidaknya menimbulkan sejumlah persoalan dalam kehidupan menggereja, antara lain: pertama, menguatnya eksklusivitas di kalangan kategorial. Akibatnya, kelompok yang kuat akan bertahan dan berjaya, sedangkan kelompok yang tidak mampu akan tertinggal bahkan perlahan-lahan tersingkirkan dari pelayanan gereja. Dalam realitas pengalaman menggereja, yang biasanya tersingkirkan atau dianggap tidak mampu adalah kategori anak, remaja dan pemuda. Itu sebabnya, tidaklah juga mengherankan jika banyak kaum muda yang meninggalkan gereja karena dianggap tidak penting dan tidak dibutuhkan (lihat juga Walker, 2013, p. 47-50). Scott Wilcher (2010, p. 15) dalam bukunya berjudul The Orphaned Generation, menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan mengapa kaum muda meninggalkan gereja: “They don’t want me, they don’t trust me dan they lied to me.” Alasan yang pertama mengemuka di kalangan kaum muda karena orang dewasa selalu mengeluh tentang kaum muda dan menganggap bahwa mereka menciptakan berbagai persoalan (Wilcher, 2010, p. 16). Tidak hanya itu, kaum muda juga merasa bahwa mereka tidak menemukan wadah yang memadai untuk usianya, tempat di mana mereka bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik (Wilcher, 2010, p. 17). Alasan yang kedua mengemuka di kalangan kaum muda karena mereka menerima perlakukan tidak percaya dari orang dewasa terhadap mereka. Orang dewasa tidak memercayai kaum muda karena keinginan untuk tidak mau diganggu oleh kaum muda, ketidakberdayaan kaum dewasa untuk melatih kaum muda, dan ketakutan akan kehilangan posisi dan status di gereja (Wilcher, 2010, p. 17). Alasan yang ketiga mengemuka di kalangan kaum muda karena mereka menemukan fakta bahwa ajaran yang mereka terima dari gereja lebih banyak menina-bobokan mereka, dan tidak mengajarkan

(19)

mereka untuk berpikir kritis. Banyak hal ditutup-tutupi supaya mereka tidak bertanya tentang banyak hal kepada gereja. Selain kaum muda, anak-anak juga mengalami perlakuan yang sama. Dengan dalil ketidakmampuan mereka untuk memahami hal-hal yang dipercakapkan oleh orang dewasa, maka anak lebih sering tidak diberikan ruang untuk terlibat bersama dalam kehidupan bergereja. Anak memiliki akses untuk terlibat dalam pelayanan bersama orang dewasa ketika ada perayaan hari raya gerejawi, misalnya perayaan bulan keluarga, hari Natal dan hari Paskah.

Dampak kedua yang ditimbulkan oleh pelayanan gereja yang berbasis kategorial adalah hubungan yang “tidak sehat” antar generasi karena yang bertahan akan menjadi nomor satu dan mendominasi pelayanan gereja, dan yang lainnya dinomor-sekiankan. Padahal idealnya, setiap generasi memiliki pengalaman iman yang bisa dibagikan kepada kelompok generasi yang lainnya melalui berbagai ragam aktivitas yang dirancang untuk bersama-sama.

James W. White (1988, p.1-10) dalam bukunya berjudul Intergenerational Religious Education, menyebutkan bahwa sangatlah mendesak bagi gereja-gereja untuk menyelenggarakan pelayanan (dhi. pendidikan) intergenerasi karena dua situasi sosial yang mendesak: pertama, perubahan dalam keluarga terkait dengan penurunan jumlah anggota keluarga, mobilitas anggota keluarga, jarak dan letak geografis yang memisahkan banyak anggota keluarga, perceraian, dan sikap individualis yang bertumbuh pesat; dan alasan kedua, institusi – seperti tempat kerja, sekolah, tempat tinggal, pemerintah, klub sosial, media masa, dan kegiatan sosial - yang menciptakan bahkan memelihara pemisahan berdasarkan kelompok umur, yang semakin membuaat isolasi dan segragasi bertumbuh subur. Bagi White, dengan berdasar pada dua analisis sosial ini, maka gereja adalah salah satu tumpuan utama yang diharapkan bisa tetap memelihara keterhubungan anggota keluarga. Namun faktanya, gerejapun tidak bisa diharpkan karena desain pelayanan gereja lebih banyak memisahkan dari pada menyatukan berbagai kelomok kategorial ini.

Bertolak dari realitas di atas, maka tampak jelas bagi kita bahwa model pelayanan gereja berbasis kategorial tidak sepenuhnya menjawab kebutuhan warga jemaatnya dan tidak menciptakan pola relasi yang sehat antar anggota jemaat. Sebaliknya, model ini mempertajam gap antar generasi. Tulisan ini mencoba untuk memperlihatkan keterbatasan dari model pelayanan berbasis kategorial dan menawarkan model intergenerasi sebagai sebuah model pelayanan yang holistik bagi gereja-gereja di Indonesia di era pandemi Covid-19.

(20)

B. Pelayanan Intergenerasi: Seberapa Pentingkah?

Ada beberapa alasan penting yang mendasari dan melatar-belakangi mengapa begitu pentingnya pelayanan intergenerasi dalam konteks menggereja di Indonesia. Pertama, sebagai persekutuan orang Kristen kita memahami sungguh bahwa Gereja adalah kumpulan

orang-orang dari generasi yang berbeda, mulai dari bayi hingga kaum lanjut usia. Generasi yang

bervariasi ini perlu diakui keberadaannya dengan melibatkannya secara aktif dan bersama-sama dalam pelayanan sehingga pengenalan satu dengan yang lain menjadi sesuatu yang penting. Dalam teks-teks Alkitab kita dapat menemukan bagaimana Alkitab banyak berbicara tentang pentingnya keluarga dan peranannya dalam kehidupan seseorang. Dalam teks-teks Perjanjian Lama kita menjumpai bagaimana pola-pola pendidikan yang berlangsung bagi anak-anak melibatkan peran aktif orangtua dan orang dewasa lainnya, termasuk seluruh anggota komunitas. Holly Catterton Allen, dalam artikelnya berjudul “Bringing the Generations Together: Support from Learning Theory” menjelaskan bahwa dalam agama Israel, anak-anak tidak hanya mennjadi anggota komunitas, tetapi mereka dilibatkan secara aktif, dibiasakan dengan berbagai kegiatan komunitas termasuk berbagai perayaan (Allen, 2009, p. 5). Dalam berbagai perayaan tersebut, semua kelompok usia berkumpul bersama: mereka menari, bermusik, dan bernyanyi bersama. Ada beberapa perayaan yang dilakukan secara bersama-sama, antara lain perayaan Paskah. Dalam perayaan-perayaan tersebut, ketika anggota komunitas makan bersama, kepada anak-anak diceritakan karya-karya Allah bagi para orang tua mereka. Melalui berbagai penuturan ini, anak-anak mengerti bagaimana Tuhan berkarya dalam hidup para orang tua mereka; dengan perayaan ini pula, umat menyadari siapa Tuhan dimasa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang bagi mereka (Allen, 2009, p. 5).

Kedua, kecenderungan untuk membagi-bagi berdasarkan kategori (age segregated model):

anak-pemuda-dewasa, pria-wanita; dan sebagainya, tanpa disadari menciptakan gap antar generasi yang bermuara pada penonjolan generasi masing-masing daripada menjaga keseimbangan dan keselarasan dalam pelayanan termasuk pula munculnya gereja di dalam gereja. Itu sebabnya, metafora keluarga sering dipakai untuk menjelaskan pelayanan intergenerasi. Dengan menggunakan metafora ini, Gereja diibaratkan sebagai sebuah komunitas yang terdiri dari beberapa generasi: ayah, ibu, dan anak-anak. Generasi-generasi yang berbeda ini bekerja bersama untuk keberlangsungan hidup mereka dan untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan diantara mereka. Masing-masing melakukan apa yang menjadi

(21)

tanggung-jawabnya tetapi dalam relasi dan koordinasi dengan yang lain; tidak terlepas-lepas satu dengan yang lain.

Ketiga, kelompok yang lebih tua memiliki sesuatu untuk dibagikan kepada mereka yang

lebih muda, dan sebaliknya. Proses berbagi dan mendengarkan satu terhadap yang lain menandai interaksi ini. Itu sebabnya, John Westerhoff III dan James Fowler mengusulkan konsep komunitas iman untuk memahami pelayanan intergenerasi. Westerhoff menyebutnya sebagai “enkulturasi iman” dan Fowler menyebutnya sebagai “ekologi bagi pendewasaan iman” (Allen dan Ross, 2012, p. 66-68). Dalam komunitas ini terjadi interaksi dan keterlibatan aktif dari para anggota komunitas. Anak-anak mendapatkan kesempatan emas untuk terlibat aktif dalam persekutuan bersama dan belajar dari anggota komunitas yang lain.

Keempat, dari perspektif perkembangan iman dan spiritual, dikatakan bahwa pertumbuhan

iman dan spiritualitas seorang anak (pemuda, dan dewasa) tidak bisa dilepas-pisahkan begitu saja dari pengaruh kategori usia lain. Dari komunitas orang dewasa anak-anak belajar sesuatu dan sebaliknya, orang dewasa merefleksikan perjalanan hidupnya melalui keterlibatan mereka dengan kategori usi yang lebih muda dari mereka. Terkait dengan perkembangan iman seorang anak, John Westerhoff III dan James Fowler berpendapat bahwa, pengategorian menurut kelompok usia harus diimbangi dengan pengalaman religius antar generasi (Allen dan Ross, 2012, p. 66-68).

C. Peluang dan Tantangan Pengembangan Pelayanan (dan Pendidikan) Intergenerasi dalam Konteks Bergereja di Indonesia

Dengan menyadari bahwa konsep ini bukanlah sesuatu yang masih baru untuk konteks Indonesia, maka setidaknya ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh, antara lain:

1. Membutuhkan persiapan matang karena melibatkan berbagai generasi. Isu-isu yang dimunculkan perlu dirumuskan secara matang sehingga mampu menjawab kebutuhan setiap generasi.

2. Ada kecenderungan bahwa generasi tertentu mendominasi pelaksanaan, misalnya anak atau orang dewasa.

3. Gap (usia) antar generasi kelak bermuara kepada kesulitan untuk bisa memenuhi pemahaman yang lebih mendalam. Ini terjadi karena: (a) Ada kebutuhan spesifik,

(22)

termasuk isu-isu personal dan sosial setiap kategori usia yang bisa saja tidak diakomodasi dengan baik dalam model integenerational; (b) Setiap orang dari usia tertentu akan belajar dengan maksimal melalui rekan seusianya, dan bukan melalui generasi yang lain; (c) Banyak orang lebih menikmati berada dan belajar bersama-sama dengan orang-orang seusia mereka; (d) Karena usia yang begitu bervariasi, pengembangan aktivitas pembelajaran akan terbatas pada aktivitas-aktivitas yang sifatnya umum.

4. Beberapa orang tua ketika datang ke gereja ingin sekali terbebas dari tanggung jawab mengurusi anak-anak mereka, termasuk bebas menikmati waktu mereka bersama-sama dengan kawan-kawan seusia. Sebaliknya, anak-anak juga demikian; mereka ingin sekali terbebas dari kontrol orang tua, paling tidak untuk satu-dua jam selama mereka beribadah.

Selanjutnya, dalam konteks bergereja di Indonesia, setidaknya ada beberapa peluang pengembangan model intergenerasi, antara lain:

1. Kelompok-kelompok kategorial yang sudah ada bisa dimaksimalkan sebagai basis pelayanan inetrgenerasi.

2. Gereja-gereja di Indonesia memiliki kegiatan pelayanan yang berbasis intergenerasi, misalnya: ibadah keluarga, perayaan hari raya gerejawi, program ke dalam dan ke luar, dll.

3. Ruang-ruang informal gereja (misal: common meeting space) bisa dimaksimalkan sebagai ruang perjumpaan intergenerasi.

4. Kategori generasi tertentu berpotensi untuk menjadi “jembatan penghubung” antar generasi.

(23)

DAFTAR ACUAN

Allen, Holly Catterton dan Christian Lawton Ross. 2012. Intergenerational Christian formation: Bringing the whole church together in ministry, community and worship. Illinois: IVP Academic.

Allen, Holly Catterton. 2009. “Bringing the generations together: Supports from learning theory.” Lifelong Faith: 3-11.

Walker, Mel. 2013. Inter-generational youth ministry: Why a balanced view of connecting the generations is essential for the church. USA: Vision for Youth Publishing.

White, James W. 1988. Intergenerational religious education: Models, theory, and prescription for interage life and learning in the faith community. Birmingham, Alabama: Religious

Education Press.

Wilcher, Scott. 2010. The orphaned generation: The father’s heart for connecting youth and young adults to your church. Chesapeake, VA: The Upstream Project.

(24)

Pendidikan Kristiani Inklusi

(Disiapkan oleh: Justitia Vox Dei Hattu)

A. Pengantar

Isu disabilitas mengemuka dalam dunia Pendidikan Kristiani beberapa tahun belakangan ini. Hal ini didorong oleh semakin berkembangnya studi disabilitas yang mempertanyakan kembali cara pandang Gereja dan komunitas beriman terhadap orang-orang dengan disabilitas. Data dan pengalaman riil memperlihatkan bahwa masih banyak orang-orang dengan disabilitas menerima perlakuan diskriminatif dari warga gereja. Perlakuan diskriminatif ini disebabkan karena kedangkalan pemahaman tentang disabilitas termasuk juga tafsir yang keliru terhadap teks-teks Alkitab dan ajaran gereja yang berimbas pada pembentukan pemahaman yang keliru pula. Misalnya, disabilitas dilihat sebagai dosa, kutukan dan hukuman dari Tuhan.

Pendidikan Kristiani Inklusi menjadi sebuah tawaran menarik untuk memperlihatkan bagaimana desain pendidikan Kristiani memberi perhatian yang serius terhadap isu ini. Pendidikan Kristiani Inklusi, menurut Tabita Kartika Christiani dalam tulisannya berjudul “Pendidikan Kristiani Inklusi” bersifat multidisipliner karena melibatkan setidaknya tiga disiplin ilmu, yaitu: Pendidikan Inklusi, Teologi Disabilitas, dan Pendidikan Kristiani (Christiani 2019, 16).

B. Pendidikan Inklusi

Pendidikan Inklusi muncul pertama kali di Amerika sebagai sebuah kritik terhadap pengadaan kelas/sekolah khusus bagi anak dengan disabilitas yang berujung pada terbentuknya stigma terhadap mereka. Dengan latar belakang ini, maka pendidikan inklusi merupakan: (1) upaya penyatuan bagi anak-anak dengan disabilitas ke dalam program-program sekolah; (2) penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, interaksi sosial dan konsep diri sekolah; (3) penghapusan pendidikan khusus; dan (4) komitmen untuk melibatkan siswa-siswi dengan disabilitas dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang memungkinkan (Friend dan Bursuck 2015).

Menurut Marilyn Friend dan William Bursuck, tiga dimensi filosofis pendidikan inklusi adalah (Friend dan Bursuck 2015, 34-35):

(25)

1. Integrasi fisik yang menempatkan siswa dengan disabilitas dan bukan dalam ruang belajar yang sama.

2. Integrasi sosial yang mendorong terciptanya “ruang” relasi antar siswa, termasuk antara siswa dengan para pengajar dan orang dewasa lainnya.

3. Integrasi pengajaran yang berorientasi pada sebagian besar siswa harus diajarkan dengan mengacu pada kurikulum yang sama.

Selanjutnya, Friend dsan Bursuck mengatakan bahwa pendidikan inklusi memiliki sejumlah ciri, yaitu (Friend dan Bursuck 2015, 34):

1. Komitmen untuk membantu seluruh siswa mencapai potensi diri secara maksimal.

2. Para staf dan profesional menggunakan bahasa yang sopan dan memanusiakan siswa.

3. Fokus pada kemampuan dan bukan ketidakmampuan siswa, sehingga budaya: “Aku Bisa” perlu terus-menerus dibudayakan di kalangan sekolah dan masyarakat.

4. Perbedaan di antara para siswa dianggap sebagai kaidah yang berlaku, bukan pengecualian, sehingga pengakuan terhadap yang berbeda itu menjadi sebuah perilaku dan nilai budaya yan dihidupi dalam keseharian.

5. Keterlibatan aktif orangtua menjadi salah satu faktor penunjang yang sangat penting dan berarti.

6. Inklusivitas merupakan bagian utuh dari budaya sekolah. Inklusivitas dikomunikasikan melalui beragam cara, antara lain melalui materi yang ditampilkan, buku dan media, jadwal, tugas, interaksi dan relasi, dll

7. Penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang proses pembelajaran.

C. Teologi Disabilitas

Menurut Isabella Sinulingga, ada empat model model disabilitas, yaitu: (1)Model Medis yang melihat disabilitas sebagai sesuatu yang rusak. Umumnya terkait dengan tubuh (secara biologis); (2)Model Sosialyang memperlihatkan bahwa disabilitas tidak mendapatkan akses secara memadai. Misalnya, orang lumpuh tidak mendapatkan akses sehingga ia bisa mandiri; (3)Model Postmodernyang menekankan bahwa tubuh manusia sangat rentan dan sewaktu-waktu bisa mengalami kecelakan yang membuatnya

(26)

mengalami disabilitas; dan (4)Model Charityyang memperlihatkan bahwa orang yang menyandang disabilitas diliperlakukan sebagai pihak inferior dan kita (yang tidak menyandang disabilitas) sebagai pihak-pihak superior, sehingga tercipta relasi hierarki (Sinulingga 2016, 3).

Isu-isu Teologi Disabilitas

Menurut Christiani, teologi disabilitas berangkat dari kesadaran bahwa disabilitas bukan kekurangan atau cacat atau ketidaksempurnaan atau ketidaknormalan (Christiani 2019, 18). Disabilitas adalah sebuah variasi lain dari ciptaan Tuhan yang sempurna. Disabilitas menunjukkan bahwa tiap ciptaan Tuhan itu unik, berbeda satu sama lain, tetapi sederajat (Christiani 2019, 18). Teologi disabilitas mencoba kembali membaca ulang ajaran-ajaran dan dogma-dogma gereja yang tradisional, yang memakai standar kenormalan, kesempurnaan dan keadaan ideal (Christiani 2019, 18). Beberapa isu tersebut, antara lain (Christiani 2019, 19-21):

1. Kristologi Disabilitas. Kristologi disabilitas tidak hanya melihat sikap Yesus terhadap orang dengan disabilitas, tetapi juga diri Yesus sendiri sebagai penyandang disabilitas sesudah kebangkitan-Nya.

2. Penciptaan manusia. Tuhan melihat segala ciptaan-Nya baik. Kata “baik” (tov) tidak berarti sempurna menurut standar kenormalan yang berlaku di masyarakat, tetapi lebih kepada segala sesuatu memiliki kekhasannya.

3. Soteriologi disabilitas. Mereka yang menyandang disabilitas bukanlah orang yang menerima hukuman, kutukan dan penderitaan dari Tuhan. Keselamatan Allah diperuntukkan untuk semua orang.

4. Eklesiologi. Konsep Gereja sebagai tubuh Kristus (sebagaimana tertera dalam Surat 1 Korintus 12) harus dibaca sebagai upaya untuk memperlihatkan bahwa setiap anggota tubuh Kristus membutuhkan anggota lain, tidak ada hierarki di antara anggota tubuh Kristus itu sendiri. Dengan demikian dikotomi “yang kuat” dan “yang lemah” tidak perlu dipertegas dan tidak menjadi alasan untuk membuat pengkategorian tentang yang kuat identik dengan yang tanpa disabilitas dan yang lemah identik dengan penyandang disabilitas.

(27)

Christiani mengusulkan ada sejumlah komponen penting yang perlu diperhatikan ketika kita berbicara tentang “Pendidikan Kristiani Inklusi”, yaitu (Christiani 2019, 27):

1. Tujuan PK Inklusi adalah membentuk Gereja sebagai komunitas yang inklusif sehingga (semua) warga Gereja memiliki perspektif disabilitas.

2. Peserta didik PK Inklusi adalah semua warga jemaat.

3. Pendidik PK Inklusi adalah semua orang yang bersedia mengajar bersama dan memiliki wawasan (pendidikan) inklusi.

4. Konteks PK Inklusi adalah komunitas Gereja, keluarga, dan masyarakat.

5. Proses PK Inklusi adalah melalui pembiasan, pengalaman langsung dan aksi-aksi transformatif di dalam komunitas Gereja, keluarga, dan masyarakat.

Dengan adanya desain PK Inklusi ini, maka diharapkan Gereja (sebagai sebuah institusi) dan warga jemaatnya mampu memperlihatkan bentuk-bentuk terhadap orang dengan disabilitas. Sejumlah bentuk keramahan yang bisa ditunjukkan adalah (Tim Penyusun Ditjen Bimas Kristen 2020, 7-8):

1. Semua warga Gereja memiliki cara pandang yang benar terhadap para penyandang disabilitas, termasuk meluruskan pemahaman teologis yang keliru. Cara pandang yang benar mewujud dalam perilaku yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Dengan demikian pelabelan harus dihentikan.

2. Menggunakan sapaan yang ramah dan manusiawi terhadap penyandang disabilitas. Kita perlu berhenti menggunakan kata “cacat” dan “tuna.”

3. Mendesain model-model peribadatan dan pembelajaran yang memperhatikan dengan saksama kebutuhan penyandang disabilitas.

4. Melibatkan penyandang disabilitas dalam berbagai aktivitas/pelayanan gerejawi berdasarkan karunia dan talentanya.

5. Sarana-prasarana termasuk arsitektur Gereja harus ramah terhadap penyandang disabilitas.

(28)

Daftar Acuan

Christiani, Tabita Kartika. 2019. “Pendidikan Kristiani inklusi.”DalamMendidik dalam kasih, keadilan, dan kebenaran: Kumpulan karangan seputar pendidikan

Kristiani untuk memperingati 100 tahun Clement Suleeman,peny. Justitia Vox Dei Hattu, 15-30. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta.

Friend, Marilyn dan William D. Bursuck. 2015.Menuju pendidikan inklusi: Panduan praktis untuk mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sinulingga, Isabella Novsima. 2016. “Disabilitas sebagai objek ilmu pengetahuan: Retardasi mental dalam peziarahan normalisme.” DalamDari disabilitas ke penebusan,peny. Samuel Septino Saragih. Jakarta: ATI.

Tim Penyusun Ditjen Bimas Kristen Kementerian Agama. 2020.Buku pedoman pembina anak sekolah minggu berkebutuhan khusus. Jakarta: Ditjem Bimas Kristen Kementerian Agama.

(29)

Gereja, Sahabat Anak: Mencari Arah Baru Menggereja yang Bersahabat dengan Anak dalam Konteks Gereja-gereja di Indonesia

(Disiapkan oleh: Justitia Vox Dei Hattu)

Tulisan ini mau memperlihatkan dua wajah Gereja yang berbeda ketika berhadapan dengan anak. Pada satu sisi, anak dinilai sangat berharga, namun dalam praktiknya sikap Gereja bertolak belakang dengan hal ini. Untuk itu, dalam tulisan ini saya menawarkan konsep “Gereja sebagai Sahabat Anak.” Konsep Gereja sebagai Sahabat Anak ini saya nilai sebagai sebuah model menggereja secara konteksual dengan berbasis pada konteks gereja-gereja di Indonesia masa kini. Dalam mengonstruksi tawaran saya ini, saya menggunakan pendekatan teologi hospitalitas dan melihat implikasinya bagi Pendidikan Kristiani sebagai salah satu wujud keramahan terhadap anak. Gereja Sahabat Anak yang akan dieksplorasi dalam tulisan ini mau meluruhkan konsep-konsep sakral tentang gereja yang menjunjung tinggi pemahamaan bahwa gereja hanya untuk orang dewasa dan akhirnya membuat gereja terasa jauh dan tertutup bagi warga jemaat anak. Anak menjadi orang asing di rumahnya sendiri. Tulisan ini menawarkan konsep “Gereja sebagai Sahabat Anak.” Konsep Gereja sebagai Sahabat Anak ini saya nilai sebagai sebuah model menggereja secara konteksual dengan berbasis pada konteks gereja-gereja di Indonesia masa kini. Dalam mengonstruksi tawaran saya ini, saya akan menggunakan pendekatan teologi hospitalitas dan melihat implikasinya bagi Pendidikan Kristiani.1

A. Anak dan Gereja: Menjadi Orang Asing di Rumah Sendiri?

Ibu A pernah bertutur,

Malam itu adalah Malam Natal. Saya, suami, anak-anak beribadah bersama dengan keluarga besar kami di gereja tempat kami berjemaat. Ketika ibadah sedang berlangsung, anak saya turun dari kursinya, berjalan menuju altar dan kembali ke arah kami sambil berlari-lari kecil. Tiba-tiba pendeta yang memimpin ibadah saat itu berhenti berbicara, raut wajahnya memperlihatkan kemarahan dan sorot matanya mengarah tajam ke anak saya. Lalu si pendeta bertanya, “Ini anak siapa? Segera

1Pembatasan ini saya lakukan karena selain tulisan ini, sudah ada beberapa tulisan dalam bentuk buku,

tesis dan karyatama yang membahas topik ini dari beberapa sudut pandang, misalnya: Buku “Teologi Anak: Sebuah Kajian” terbitan Perkantas, yang merupakan hasil kerjasama Tim Kerja Teologi Anak Kontekstual (Tim KTAK), Gerakan Anak Bersinar Bangsa Gemilang (ABBG) dan Jaringan Peduli Anak Bangsa (JPAB). Buku ini membahas tentang anak dari beberapa perspektif, antara lain anak dalam Alkitab, anak dalam gereja, anak dalam budaya, anak dalam sekolah, anak dalam perspektif hukum, anak dalam media, anak dalam keluarga dan anak dalam pandangan anak. Selain buku ini, di tahun 2006, telah terbit sebuah buku berjudul “Yesus Cinta Semua Anak: Kurikulum Sekolah Minggu Bermuatan Konvensi Hak Anak” yang terbit sebagai hasil kerjasama antara Wahana Visi Indonesia, STT Jakarta, JPAB dan PGI.

(30)

diambil.” Kami langsung terdiam. Tak menyangka kata-kata itu keluar dari mulutnya. Suami saya segera beranjak dari kursi, berjalan menuju anak saya, dan menggendongnya keluar.” Kami merasa malu sekali dengan peristiwa ini. Anak saya yang tidak mengerti apa-apa, tiba-tiba terdiam karena bentakan tersebut.

Kakak B pernah bercerita,

Hari Minggu itu, giliran saya mengajar. Waktu hampir menunjukkan pukul 9. Tiba-tiba saya didatangi seorang pemimpin paduan suara. Saya diminta olehnya untuk segera mengakhiri kelas Sekolah Minggu karena kelompok paduan suara X mau berlatih sebelum mereka bernyanyi di ibadah pukul 10. Saya meminta beliau untuk menggunakan ruang konsistori saja, namun beliau bersikeras tidak mau. Saya berusaha tenang dan kembali melanjutkan mengajar. Beliau tetap berdiri di bagian belakang sambil beberapa kali menunjukkan jam tangan. Oleh karena sikap beliau ini, saya terpaksa mengakhiri kelas hari itu. Tidak ada aktivitas bersama anak. Apa yang sudah dipersiapkan tidak jadi dilakukan. Ini bukan kali pertama. Kami sering mengalami hal seperti ini dari kelompok orang dewasa lainnya. Padahal sudah ada aturan yang berlaku bahwa ruang pertemuan tersebut dipakai oleh Sekolah Minggu jam 07.30 - 09.30.

Ibu C pernah bercerita,

Hari itu saya beribadah di Gereja Y. Di pintu masuk saya diberikan lembar liturgi dan warta jemaat. Ketika membaca warta saya begitu kaget. Pada halaman ke-2 tertera di sana gambar anak dan diberi tanda silang. Di sampaing gambar anak tersebut diberi keterangan: anak-anak dilarang berisik. Gambar ini dipasang sejajar dengan beberapa larangan lain, seperti tidak menggunakan HP, tidak membuang sampah, dll. Di gereja lain, saya menemukan hal yang sama, dengan keterangan gambar yang berbeda: “Mohon menjaga baik-baik anak-anak Anda. Jangan sampai membuat keributan dan mengganggu jalannya ibadah.”

Kawan D pernah bertutur,

Gereja saya ramah terhadap anak sekolah Minggu. Tapi ramahnya itu hanya musiman. Mereka ramah terhadap anak saat acara penggalangan dana gereja dan jika ada kunjungan dari orang-orang tertentu ke gereja. Gereja bersikap demikian karena ada maunya. Anak-anak tersebut diminta bernyanyi saat penggalangan dana. Anak-anak diminta berdiri pada barisan paling depan supaya warga jemaat lain atau para tamu bisa langsung melihat mereka, menaruh iba kepada mereka dan memberi banyak bantuan untuk gereja. Setelah itu, mereka bersikap biasa lagi.

Beberapa cerita di atas hanyalah sebagian kecil dari banyaknya cerita lain yang memperlihatkan “wajah gereja” yang tidak (cukup) ramah terhadap anak-anak yang notabene adalah warga gereja. Dengan melihat sebagain kecil dari narasi di atas, kita tidak dapat menyangkali bahwa sampai saat ini gereja-gereja di Indonesia dalam pelayanannya masih lebih banyak berorientasi untuk membangun kehidupan beriman warga jemaat dewasa.2Hal ini tampak dalam berbagai hal, misalnya doktrin/ajaran gereja, cara gereja mengajarkan Alkitab yang terkesan semakin menjauhkan anak-anak dari kisah-kisah Alkitab itu sendiri, sarana dan prasarana yang tersedia di gereja (termasuk arsitektur gereja), ibadah-ibadah, serta program-program gereja.

2Meskipun pada saat yang bersamaan kita juga harus memberi apresiasi yang sungguh pada beberapa gereja yang secara serius memerhatikan pelayanan terhadap warga jemaat anak. Keseriusan ini nampak dalam berbagai aspek: pengakuan akan pentingnya anak-anak sebagaimana orang dewasa, pelayanan yang holistik

(31)

Dari dimensi cerita-cerita di Sekolah Minggu, Alkitab yang mengandung kabar sukacita bagi semua orang, sumber dari berbagai ajaran/doktrin gereja, pendidikan dan pengajaran gereja dalam praktiknya hanya menjadi milik orang dewasa. Setiap kata dan kalimat dalam Alkitabpun ditulis dalam bahasa orang dewasa. Akibatnya, anak-anak seringkali menghadapi kesulitan dalam upaya untuk mengartikan cerita demi cerita yang ada di dalam Alkitab. Dalam konteks sekolah Minggu, masih banyak orang tua dan orang dewasa (di gereja) tidak tahu (bahkan tidak mau tahu) cara menjelaskan Alkitab kepada anak-anak sesuai dengan tingkat usia dan kebutuhan mereka. Meskipun mereka menggunakan gaya anak-anak dalam menyampaikan cerita Alkitab, tetapi cerita itu sendiri menggunakan sudut pandang orang dewasa termasuk proses memahami, menafsirkan dan mengimplementasikannya tanpa melibatkan anak-anak (dan sudut pandang mereka).

Dari dimensi ibadah dan tata ibadah. Meskipun tata ibadah dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya didesain untuk anak-anak, unsur-unsur yang ada pada tata ibadah itu sendiri hanya mengikuti pola dan bahasa orang dewasa. Akibatnya, guru sekolah Minggu memperlakukan anak-anak seperti layaknya memperlakukan orang dewasa dalam hal berdoa, bernyanyi, membaca dan mengajarkan Alkitab. Segala sesuatu dilihat secara kaku, tanpa ekspresi, dan anak-anak tidak punya pilihan lain selain mengikuti apa yang dimintakan oleh guru Sekolah Minggu mereka.

Sarana dan prasarana gereja. Dalam konteks gereja-gereja di Indonesia, secara jujur kita harus

mengatakan bahwa masih sulit menemukan gereja yang menyediakan gedung/ruang yang memadai untuk anak-anak bersekolah Minggu atau beribadah. Dalam banyak kasus, anak-anak harus menggunakan ruang-ruang kecil di gereja yang sebenarnya tidak layak dan memadai untuk anak-anak beribadah di hari Minggu, kursi/bangku (dan meja) yang diperuntukkan untuk orang dewasa. Ada juga yang menggunakan ruang serbaguna/pertemuan, namun harus menyaksikan orang lalu lalang selama ibadah berlangsung. Atau, ada yang menggunakan gedung gereja, tetapi guru Sekolah Minggu harus terburu-buru menyampaikan segala sesuatu karena sesudah itu harus digunakan kembali oleh orang dewasa untuk beribadah. Dalam percakapan dengan beberapa guru Sekolah Minggu dalam berbagai kesempatan pembinaan dan pelatihan di beberapa daerah, mereka menceritakan bahwa seringkali kegiatan Sekolah Minggu untuk anak belum selesai tetapi mereka sudah diminta untuk mengakhiri ibadah tersebut karena gedung gereja akan segera dipakai kembali.

Dari dimensi program pelayanan gereja. Jika kita mengamati program pelayanan gereja-gereja,

terlebih khusus dalam hal pendanaan selama setahun, kita akan menemukan bahwa alokasi dana untuk pelayanan anak-anak di gereja sangat minim sekali. Kalaupun ada yang memberikan lebih dari persentase yang disebutkan, dalam realisasinya dana tersebut harus mengalami “pemangkasan” sana-sini dengan alasan melihat pada prioritas kebutuhan saja. Alhasil apa yang telah disetujui bersama dalam praktiknya tidak sepenuhnya direalisasikan. Banyak pihak yang terkait dengan hal ini, dalam

(32)

banyak kesempatan dengan entengnya memberi alasan bahwa anak-anak tersebut masih kecil, mereka tidak membutuhkan dana yang terlalu besar. Selain itu, kita juga perlu mengakui ketiadaan pelayanan pastoral dan konseling bagi anak di gereja, keterlibatan anak yang minim dalam penyusunan progran pelayanan yang notabene diperuntukkan untuk mereka, serta sumber daya guru Sekolah Minggu yang pas-pasan.

Semua deskripsi di atas memperlihatkan kepada kita bagaimana Gereja bersifat ambigu dan ambivalen terhadap anak-anak yang notabene adalah warga jemaatnya juga. Anak akhirnya menjadi orang asing di rumahnya sendiri, atau dalam terminologinya Letty M. Russell, in but still out (Russell 2009, 4) atau “crowded loneliness – surrounded by people but lost in the crowd,” dalam bahasanya Chuck and Kathie Crismier (Crismier 2005, 14). Anak-anak diperhitungkan masuk sebagai anggota gereja, namun dalam praktiknya mereka selalu dinomor-sekiankan atau bahkan disinggirkan. Dengan demikian, mereka memiliki relasi dan perjanjian dengan Allah, namun tidak dengan komunitas dimana mereka berada; mereka menjadi orang asing dalam kehidupan berjemaat, persekutuan orang beriman (Crismier 2005, 15). Keterasingan anak di dalam gereja memperlihatkan sebenarnya sikap ambivalensi gereja terhadap anak (Mercer 2005, vi). Sikap ambivalensi ini tampak melalui perlakuan mendua gereja terhadap anak: di satu sisi anak diterima dan disambut baik, namun di sisi lain anak dipaksa untuk bersikap seperti orang dewasa (Mercer 2005, 2). Bentuk lain dari ambivalensi gereja adalah anak selalu dikatakan sebagai generasi penerus gereja, namun di sisi lain anak dianggap sebagai pengacau, tukang ribut, pembuat keonaran dan harus dikontrol oleh orang dewasa supaya bersikap dan berlaku yang sesuai dengan perilaku orang dewasa pada umumnya. Ambivalensi gereja ini mengakibatkan posisi anak bergeser jauh ke wilayah pinggiran.

B. Teologi Hospitalitas dan Gereja yang Bersahabat dengan Anak

Secara sederhana hospitalitas saya pahami sebagai sebuah cara berpikir, merasai, dan bersikap ramah (bersahabat) terhadap orang lain. Ketiga unsur ini – berpikir, merasai dan bersikap – harus berjalan bersamaan sehingga tidak ada gap antara pikiran dan tindakan, atau antara perasaan dan tindakan. Dalam bukunya berjudul Just Hospitality: God’s Welcome in a World of Difference, Russell menjelaskan bahwa “how we do hospitality (action) is as important as what we think about hospitality (reflection)” (Russell 2009, xiii).

Dalam bahasa Yunani (Perjanjian Baru), kata yang dipakai untuk hospitalitas adalah philoxenia, mencintai orang asing. Sedangkan lawan dari kata ini adalah xenophobia, kebencian terhadap orang asing. Dalam konteks bergereja, jika mengikuti penjelasan ini, maka kita akan selalu mengidentikkan orang asing dengan mereka yang ada di luar tembok gereja. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengarah ke sana. Sebaliknya, tulisan ini mau memperlihatkan bahwa, di dalam gereja pun cukup

(33)

banyak warga jemaat yang menjadi orang asing. Dengan demikian, pelayanan yang dilakukan oleh gereja adalah menjadi mitra bagi banyak orang, menyambut orang-orang yang disambut Kristus, sehingga kita belajar untuk menjadi komunitas yang di dalamnya terdiri dari orang-orang dikumpulkan dalam Kristus terlepas dari perbedaan kelas, latar belakang agama, jenis kelamin, ras dan kelompok etnis (Russell 2009, 20).

Pertanyaannya kemudian adalah, sejauhmana teologi hospitalitas ini berpengaruh ketika kita berbicara tentang gereja yang bersahabat dengan anak? Menurut saya, teologi hospitalitas menjadi semacam dasar dan menjiwai cara/pola berpikir, merasai dan bersikap. Hospitalitas membuka semacam pintu baru untuk melihat orang lain (dalam hal ini anak) dengan cara pandang baru, termasuk dalam mengambil posisi untuk bersikap. Russell mengatakan, “when we decolonize our minds, we begin thinking from the margin rather than from the center. We reframe hospitality as a form of partnership with the ones we call “other,” rather than as a form of charity or entertainment” (Russell 2009, 82). Dari pernyataan Russell, tampak jelas bahwa ketika kita mendekolonisasi pikiran kita, kita sementara memulai sebuah tahap baru, untuk berpikir tidak lagi dari pusat ke pinggiran, melainkan sebaliknya dari pinggiran (margin) ke pusat (center). Pada titik ini kita sementara membingkai ulang hospitalitas sebagai sebuah bentuk kemitraan dengan yang lain, bukan sebagai bentuk amal atau hiburan semata. Pernyataan Russell ini mau menunjukkan kepada kita secara gamblang bahwa hospitalitas itu tidak sama dengan amal (charity) dan hiburan (entertainment) sebagaimana yang selama ini kita pahami. Hospitalitas juga bukan sebuah kegiatan pemasaran, yang bisa dinilai dengan sejumlah uang tertentu.

Hospitalitas tidak sama dengan kegiatan amal (charity). Jika hospitalitas hanya menjadi semacam kegiatan amal (charity) maka cara kita memperlakukan warga jemaat anak di gereja tidak lebih karena rasa kasihan semata: kasihan karena mereka lemah, kasihan karena mereka belum bisa berbuat banyak, kasihan karena mereka tidak tahu, kasihan karena mereka belum bisa menghasilkan uang sendiri, dan berbagai rasa kasihan lainnya. Akibatnya, kita menjadikan anak semata-mata sebagai objek dalam pelayanan/tindakan kasih kita. Tak jarang juga, anak seringkali dijadikan sebagai alasan untuk berbagai tindakan kita yang hanya semata-mata untuk memuaskan keinginan dan hasrat kita. Jika itu semua terpenuhi, anak kemudian disingkirkan.

Hospitalitas bukan hiburan (entertainment). Jika hospitalitas hanya menjadi semacam entertainment, maka kecenderungan yang muncul adalah kita berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga segala sesuatu sesuai dengan yang kita harapkan. Akibatnya, dalam banyak praktik bergereja, anak-anak dianggap sebagai gangguan dan menjadi kelompok yang perlu disingkirkan untuk berbagai alasan (Newman 2007, 6; Mercer 2005). Terkait dengan hospitalitas sebagai sebuah

(34)

entertainment, Elizabeth Newman dalam bukunya berjudul Untamed Hospitality menguraikan dua persoalan utama mengenai hal ini: (1) hospitalitas sebagai entertainment (hiburan) bisa menjadi bentuk kebohongan yang licik, yang mengakibatkan orang gagal untuk benar-benar menghormati kebenaran. Akibatnya, fokus beralih dari orang per orang kepada penampilan, from person to person to performance; (2) hospitalitas sebagai entertainmnet (hiburan) sering membatasi praktik pelayanan kita pada satu bidang saja, yaitu rumah atau kehidupan pribadi (Newman 2007, 26). Jika ini yang terjadi, maka orientasi kita terpusat pada diri dan pemuasan keinginan pribadi. Orang lain (dhi. anak) tidak lagi dilihat sebagai individu yang harus dihargai dan bernilai. Akibatnya nilai kedirian seseorang berkurang perlahan-lahan dan menjadi tidak berarti sama sekali, hanya seperti benda mati saja.

Hospitalitas bukan juga model pemasaran. Hal ini penting dipercakapkan karena kita seringkali terjebak menilai hospitalitas sebagai sebuah model pemasaran. Menurut Newman ada bahaya yang terkandung di sini, yaitu: (1) hospitalitas menjadi sesuatu yang mahal nilainya dan diperuntukkan untuk kelas tertentu saja karena didasarkan pada prinsip melayani untuk mendapatkan uang; (2) setiap orang menjadi asing terhadap orang lain. Ruang untuk menjalin relasi yang lebih intim dan berkomunikasi lebih dalam menjadi sangat terbatas (Newman 2007, 28).

Pola-pola pemahaman seperti ini, menurut saya perlu untuk dibaca kembali. Atau dalam bahasanya George Lakoff sebagaimana dikutip oleh Russell, reframing. Reframing adalah sebuah upaya mengubah cara kita melihat dunia dan cara kita berbicara dan bertindak di dalam dunia (Russell 2009, 77). Russell sendiri mengajukan beberapa argumentasinya terkait pentingnya melakukan reframing terhadap konsep hospitalitas yang selama ini dipahami. Menurut Russell setidaknya ada tiga alasan mendasar mengapa reframing perlu dilakukan: (1) hospitalitas selalu diidentikkan dengan hal-hal yang dipahami sebagai “terminal kesenangan,” seperti minum teh bersama, pekerjaan perempuan di rumah atau di rumah prostitusi; (2) hospitalitas kita seringkali dibatasi hanya pada orang-orang yang sama secara kelas, ras, kebangsaan, bahasa, posisi ekonomi; dan (3) hospitalitas sebagai sebuah bentuk perhatian dari orang-orang yang superior kepada mereka yang inferior (Russell 2009, 80-81; Newman, 2007, 25-28).

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana membaca tiga alasan mendasar ini dalam konteks sikap dan perlakuan gereja terhadap anak? Saya mencoba mengajukan beberapa argumentasi berikut ini sehingga proses reframing itu terjadi dan konsep Gereja sebagai Sahabat Anak bisa dikonstruksi: 1. Terkait alasan yang pertama, pertanyaan penting bagi gereja (kita) adalah apakah gereja hanya menjadi semacam “terminal kesenangan” saja bagi sekelompok orang? Anak diperlakukan baik jika anak mampu memenuhi semua ekspektasi orang dewasa, misalnya: duduk manis

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Profil Protein Ekstrak Biji

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai ukuran kristal (D), microstrain () dan kerapatan dislokasi () dari sampel akibat proses milling dan uji oksidasi

d. Sasaran dan strategi jangka menengah/panjang Perseroan. Merekomendasikan kepada Dewan Komisaris mengenai calon anggota Dewan Komisaris dan/atau calon anggota Direksi

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kecukupan panas proses pasteurisasi sari buah jambu biji merah yang dilakukan pada dua suhu yang berbeda (65 o C dan 77 o C) dengan

Dalam mikropropagasi atau kultur in-vitro, embrio juga dapat terbentuk tanpa melalui fertilisasi, tapi terbentuk dari sel-sel somatik yang berasal dari jaringan eksplan..

Hasil penelitian yang diperoleh dari 40 penelitian terhadap tes kemahiran membaca cepat siswa kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 4 Tanjungpinang Tahun Pelajaran

Metode Mendidik Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan (Telaah Buku Pendidikan Anak dalam Islam Pasal Metode Pendidikan yang Berpengaruh pada Anak).. Skripsi, Jurusan

Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) Kesehatan sangat diperlukan untuk mempertajam penentuan prioritas penyelenggaraan pembangunan kesehatan. Oleh karena