I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya lahan yang berupa tanah pasiran merupakan salah satu-dari sekian banyak tipe lahan yang bermasalah ditinjau dari segi pemanfaatannya untuk budidaya pertanian. Pada umumnya tanah ini berbutir tunggal lepas-lepas, sehingga peka terhadap erosi angin maupun air. Di daerah tadah hujan dan kondisi permukaan air tanah yang dalam, tanah ini sering mengalami cekaman air, terutama disebabkan oleh daya simpan air dan kenaikan air kapiler yang rendah, serta kondisi struktur permukaan tanah yang memudahkan te rjadinya evaporasi. Begitu pula tingkat kesuburan kimia tanah umumnya rendah sebagai akibat proses pelindian unsur hara yang intensif (Muljadi, 1972; Lyle, 1987; Van Wambeke, 1992).
Untuk mengatasi kendala pada lahan pasiran di atas ada beberapa cara perbaikannya seperti disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Beberapa cara mengatasi tanah pasir(an) yang kurang baik
No. Sifat-sifat yang kurang baik Cara-cara mengatasinya
1 Tekstur pasiran Pencampuran dengan bahan koloid
(tanah klei, lumpur sungai/dam/waduk/ kolam ikan)
2 Daya simpan air rendah Penambahan bahan koloidal,
penggunaan lapisan kedap,
penggunaan mulsa pada permukaan tanah
3 Kandungan unsur hara rendah Penambahan bahan koloidal,
pemupukan anorganik, pemberian
pupuk sedikit-sedikit tapi berulang-ulang, pemberian pupuk lepas lambat
4 Laju infiltrasi yang tinggi Penambahan bahan koloidal,
penggunaan lapisan kedap,
penggunaan mulsa
5 Keterbatasan persediaan air Pembangunan sarana irigasi
(embung/reservoir/ bak renteng, pipa penyalur dan kran, pompa air bawah tanah atau dari sungai)
6 Aspek tanaman budidaya Pemilihan tanaman yang sesuai dan
bernilai jual tinggi
Penggunaan bahan organik untuk meningkatkan produktivitas tanah telah umum diketahui. Hubungan ini diduga akibat peranan bahan organik dalam memasok zat hara bagi tanaman, meningkatkan kapasitas menukar kation,
memperbaiki agregasi tanah, dan selanjutnya memperbaiki daya simpan air, dan mendukung kegiatan biota tanah (Dudal dan Deckers, 1993). Peranan gugusan karboksil dalam rangkaian ikatan fisiko-kimia antara permukaan klei (clay) yang aktif dan senyawa organik yang berkutub listrik, adalah sangat dominan (Gomah, 1982). Namun peranan bahan organik sebagai perekat partikel-partikel tanah hanya bersifat sementara (kira-kira 3 bulan) (Sarkar cit Gupta dan Nagarajarao, 1982). Komponen bahan organik yang penting dan berperan dalam proses agregasi tanah antara lain adalah asam fulvat (Khosla, 1969). Unger (1975) menunjukkan bahwa dalam tanah-tanah pasir hingga klei, volume air tersedia meningkat sebesar 1,8% bagi tiap kenaikan bahan organik 1,0%. Di lain pihak, Jamison (1953) membuktikan bahwa pengaruh ini tidak berarti bila tekstur tanahnya semakin halus.
Penggunaan lapisan kedap yang berupa aspal dan lembaran plastik pada jeluk tertentu di dalam profil tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah pasir dalam menyimpan air (Erickson, 1972). Selain meningkatkan daya simpan air, lapisan kedap juga dapat mencegah peresapan air ke bawah secara berlebihan, pelindian terhadap unsur-unsur hara, dan naiknya air bergaram ke atas secara kapiler. Sementara itu sifat-sifat baik tanah pasir sendiri masih dapat dipertahankan misalnya, laju infiltrasi tetap tinggi dan aerasi yang baik, sehingga dapat menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman.
Sedangkan sifat miskin hara tanah pasir ini dapat diatasi dengan pemberian pupuk organik maupun anorganik.
Penggunaan bahan halus seperti tanah klei, zeolit, kaolinit, montmorilonit, abu arang batu, bahan pembenah tanah, lumpur dari sungai/waduk/dam/kolam, dapat meningkatkan daya simpan air oleh tanah, dan sekaligus juga memperbaiki daya menukar ion, dan tekstur tanah pasir.
Pertanaman majemuk telah meluas digunakan dalam pertanian tradisional. Dua pola umum dari pertanian majemuk adalah pertanaman antar tanaman yang berbeda (tumpang sari) dan pertanaman bergantian (rotasi tanaman), masing-masing merupakan bentuk intensifikasi. Bila tumpangsari merupakan suatu intensifikasi, terhadap ruang dan waktu, maka rotasi tanaman merupakan intensifikasi terhadap waktu. Intensitas pertanaman meningkat dengan bertambahnya jumlah tanaman yang bisa ditumbuhkan selama setahun. Rotasi tanaman dapat terdiri dari satu, dua dan tiga jumlah tanaman yang menunjukkan adanya satu, dua dan tiga kali penanaman sereta pemanenan
selama setahun. Kedua sistem inilah yang mendominasi pertanian subsisten di daerah ini, yaitu selain kondisi tanah dan iklim, maka hal lain yang ikut menentukan adalah tuntutan akan pemenuhan kebutuhan untuk mendapatkan makan, sehingga sekali dalam setahun lahan akan ditanami dengan tanaman padi.
Sistem pertanaman dengan basis tanaman padi mengisyaratkan adanya tanaman padi minimal satu kali selama setahun. Ini berarti pula bahwa selama setahun, bila lahan tidak memiliki irigasi, paling tidak terdapat sejumlah besar curah hujan yang mampu membasahi tanah dari awal penanaman padi sampai panen.
Sistem pertanaman tunggal (monokultur) untuk padi menunjukkan bahwa suatu lahan hanya ditanami padi baik satu, dua atau tiga kali penanaman selama setahun. Sistem penanaman dengan basis tanaman padi baik sebagai sistem tunggal ataupun rotasi, telah lama dilakukan dengan hasil yang amat beragam.
Berdasarkan kebutuhan akan media pertumbuhannya, maka baik sebagai tanaman tunggal ataupun dalam rotasi, padi memerlukan pelumpuran dan penggenangan. Hal ini bagi kebanyakan tanaman-tanaman lain merupakan kondisi yang kurang sesuai bahkan bagi tanaman tertentu merupakan faktor pembatas pertumbuhan. Oleh karena itu, pemilihan tanaman dalam suatu rotasi dengan basis tanaman padi harus dilakukan dengan cermat agar pengaruh kurang menguntungkan dari kedua hal di atas, terutama pelumpuran, dapat diminimalkan.
Telah disadari dan dimengerti bahwa untuk mendapatkan hasil maksimal serta berkelanjutan, pemeliharaan dan pengelolaan serta konservasi tanah dalam usaha pertanian mutlak dilakukan. Pengurasan nutrisi tanah dengan intensitas pertanian yang tinggi dengan penanaman berbagai jenis tanaman akan menyebabkan tanah menjadi lebih cepat mengalami pengurangan kesuburan, bahkan bila tidak segera diusahakan perbaikan menyebabkan tanah mengalami kerusakan. Penggunaan pupuk anorganik memang telah lama dipraktekkan agar hasil yang didapat tetap tinggi, namun dari banyak pengamatan dan penelitian didapatkan bahwa dengan menggunakan dosis yang sama, hasil yang didapat tidak memberikan hasil yang sama, bahkan cenderung menurun dari waktu ke waktu, atau bila hasil ingin ditingkatkan semakin lama dosis yang diperlukan menjadi semakin tinggi dengan kondisi tanah cenderung menjadi kurang sesuai baik dari segi fisika, kimia dan lingkungan biologi tanahnya.
Pemilihan jenis tanaman juga merupakan salah satu faktor yang
berkesinambungan. Mengikutkan tanaman legum, sekali selama tiga tahun dalam rotasi (gula bit-barley-ley-kentang-barley-barley) menjadikan tanah mampu menghasilkan tanaman kentang setelah ley untuk berproduksi dan menghasilkan panen lebih baik dibandingkan setelah barley dalam rotasi (gula bit-barley-barley-kentang-barley-barley), dengan perbedaan dan perubahan organik-C dan kandungan mineral-N yang tidak nyata. Walaupun hanya menyebabkan perbedaan dan perubahan kecil, dengan menambahkan pupuk kandang saat penanaman kentang, terjadi peningkatan hasil kentang antara 0,08 ± 0,014% (Hanley et al., 1979). Praktek ini juga terjadi di daerah-daerah pertanian di Australia, dimana suatu lahan selama dua sampai empat tahun secara terus menerus ditanami dan yang diantaranya kemudian dilakukan penanaman tanaman legum selama satu atau dua kali. Dengan melakukan hal ini, diharapkan tanah akan terhindar dari pengaruh perusakan dari sistem penanaman terus menerus yaitu penurunan kesuburan dan sifat-sifat kimia serta fisika tanah dan lingkungan biologi tanah (Corbin dan Pratley, 1980).
Di wilayah Kabupaten Sleman (lereng selatan Gunung Merapi) sampai saat ini, telah dikenal dan umum dilakukan beberapa sistem rotasi atau tumpangsari yang dianggap menguntungkan. Karena setiap tahun umumnya curah hujan lebih besar jumlahnya dari yang dibutuhkan untuk sekali bertanam padi, petani mempunyai dua pilihan yaitu: pertama, memanfaatkan kelebihan air setelah tanaman padi berakhir; atau, kedua: memanfaatkan awal musim penghujan dengan menanam tanaman bukan padi dan memanennya sebelum tanaman padi ditanam. Namun ada juga sejumlah petani yang lebih memilih lahan mereka tidak untuk menanam padi, sehingga sepanjang tahun lahan berfungsi sebagai tegalan dengan harapan akan panen sebanyak minimal dua kali. Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya kemungkinan kegagalan panen, karena peramalan musim hujan yang tidak tepat; terlalu awal atau terlambat tanam sehingga jumlah air yang diperhitungkan dapat diperuntukk an bagi paling tidak dua macam tanaman, tidak mencukupi. Bila dua macam tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik, maka tanaman ketiga biasanya dapat pula diusahakan. Bila tidak, maka lahan di daerah ini umumnya diberokan, namun tetap diolah dan disiapkan untuk musim tanam berikutnya.
Dengan tersedianya sedikit cadangan air yang diusahakan oleh baik dinas pengairan ataupun perusahaan swasta, masalah kekurangan air selama masa tanam kadang-kadang bisa diatasi. Dan dengan masukan (berupa
berbagai macam saprodi) yang tersedia saat ini, petani mempunyai kesempatan besar untuk mengusahakan lahannya dengan resiko gagal panen yang kecil. Namun ternyata secara ekonomis, banyak petani, bahkan hampir semuanya merasa bahwa hal tersebut amat tidak menguntungkan bila dihitung menurut analisis usahatani. Hasil produksi yang didapat dari lahan mereka sering, bahkan umumnya lebih kecil dari biaya yang telah mereka keluarkan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan pada lahan pasir yang berkaitan dengan hasil kegiatan gunung api dihadapkan pada berbagai permasalahan sebagai berikut: 1. Teknologi yang dibutuhkan serta pengkajian dinamika dan efisiensi lengas
tanah yang belum dianggap memadai untuk dilakukan
2. Sulitnya menentukan tanamanan yang sesuai untuk kepentingan petani 3. Sifat tanah pasiran yang kurang baik dan tidak menguntungkan.
4. Distribusi hujan sepanjang tahun yang tidak merata
1.2. Perumusan Masalah
Apabila secara alami, tanah yang ada tetap dipertahankan yaitu dalam kondisi tidak ada penambahan bahan apapun dari luar lokasi, maka mengingat bahwa di lapangan agregasi dan stabilitas agregat tanah selalu berubah karena adanya gaya-gaya yang dapat merusaknya, perlu cara dan perlakuan tertentu untuk mengatasinya.
Peningkatan KPK tanah melalui perombakan bahan organik oleh biota tanah merupakan cara yang tepat, mengingat sedikitnya kandungan koloid anorganik pada tanah ini. Bila ini bisa dilakukan maka agregasi dan stabilitas agregat, serta struktur tanah akan tetap baik dan terjaga.
Penanaman tanaman tertentu dengan aktivitas akar mengeluarkan atau memproduksi bahan sekresi yang mampu mengikat butiran tanah merupakan salah satu cara untuk mencegah perusakan agregat. Selain itu dengan adanya pertumbuhan akar yang dapat me nembus massa tanah akan terbentuk bidang-bidang belah atau retakan tanah. Adanya desakan akar menyebabkan tekanan sehingga butir-butir tanah menjadi lebih padat dan dekat satu sama lainnya.
Gaya urai air dapat menyebabkan penurunan gaya kohesi karena pelemahan ikatan bahan semen, pembengkakan massa tanah yang tidak seragam dan tekanan dari dalam karena udara terkurung. Hal ini dapat
dicegah dengan tetap mengupayakan jumlah dan komposisi zarah ukuran koloid serta bahan organik dalam keadaan yang baik dan se imbang.
Berdasarkan pendapat di atas, pengamatan terhadap struktur tanah dan dinamika mikroba pada tanah -tanah pasiran lereng selatan Gunung Merapi ini perlu dilakukan karena dengan adanya informasi yang memadai tentang agregasi dan stabilitas agregat, yang juga berarti menjaga kondisi ruang pori yang tetap baik, tersedianya bahan organik yang cukup, kondisi lingkungan yang baik bagi biota tanah maka pengelolaan tanah bagi usaha pertanian di daerah ini akan lebih mudah dan diharapkan dapat berhasil dengan baik.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Memahami sifat-sifat utama tanah pasiran Gunung Merapi.
2. Mempelajari peran beberapa bahan pembenah tanah dan
pemberian/inokulasi bakteri penghasil eksopolisakarida
(exopolysaccharides = EPS) perbaikan stabilitas agregasi tanah pasiran dari Gunung Merapi.
3. Melakukan kajian terhadap stabilitas agregasi dan efektivitas melalukan dan/atau menyimpan lengas berdasar daya dukung tanah pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung.
1.4. Kebaruan
Dalam ekosistem tanah (mineral) dan lingkungan yang alami, perubahan terjadi mengikuti waktu. Dalam perjalanan beriringan dengan waktu, penambahan input baik itu berupa pengolahan tanah atau pemberian bahan lain atau introduksi mikroba ke dalam tanah akan meru bah kondisi tersebut. Fungsi tanah merupakansuatu hasil dari kombinasi kompleks dari proses-proses fisika, kimia dan biologi yang membentuk suatu struktur yang heterogen dan secara material suatu lingkungan yang kompleks. Pengelolaan tanah yang sesuai dan baik akan mengurangi kehilangan nutrisi/hara pada tanah-tanah yang memiliki kelebihan nutrisi/hara dari zona perakaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan produksi pertanian. Lebih lanjut diketahui bahwa usaha penyusunan rangka struktur
tanah dapat menentukan kondisi habitat untuk hidupnya mikroorganisme tanah dan lalu-lintas hara melalui agroekosistem.
Walaupun telah banyak penelitian menggunakan lokasi, bahan dan metodologi yang mirip seperti yang dilaksanakan dalam penelitian ini, seperti yang dilakukan dalam penelitian Santi (2011) dimana diuraikan
bahwa B. cenocepacia menghasilkan sejumlah besar bahan
eksopolisakarida yang setelah diperlakukan pada tanah bertekstur pasir memperbaiki agregasi dan meningkatkan nilai air tersedia dan juga disebutkan dalam penelitian itu bahwa keragaan tanaman kelapa sawit meningkat; atau beberapa hasil keluaran penting Rayes (2000) dalam peneitiannya di lereng selatan Gunung Merapi adalah uraian yang detil tentang sifat-sifat tanah secara umum dan pengungkapan karakteristik dan genesis serta faktor yang berperan dalam pembentukan profil tanah dan klasifikasi tanahnya; atau Soong (1979), melalui penambahan bahan pembenah seperti lateks akan meningkatkan kesarangan tanah dan agregasi partikel tanah sehingga stab ilitas tanah meningkat; lebih spesifik, Bernas et al. (1995) dengan menggunakan beragam tekstur tanah mengamati pengaruh penambahan lateks dengan hasil peningkatan agregasi tanah berdiameter >2mm secara nyata; atau pemanfaatan PVA terhadap perbaikan sifat tanah telah dicobakan dalam penelitian masing -masing oleh (Greene et al., 1978) tentang proses agregasi antar partikel; El Asswad et al. (1986) perbaikan tanah terhadap erosi; Carr dan Greenland (1975) tentang efektivitas perbaikan sifat tanah oleh berbaga i jenis dan takaran PVA terhadap berbagai kelengasan tanah , namun semuanya itu dilakukan tidak dalam kondisi yang sama bahkan cenderung merupakan kegiatan dengan hasil yang terpisah pula .
Dalam penelitian ini, dengan model dan usaha rekayasa terhadap agregasi tanah melalui penambahan bahan pembenah tanah dan inokulasi bakteri yang diketahui memberikan tambahan eksopolisakarida pada tanah , khususnya pada lereng selatan G. Merapi yang tanahnya didominasi oleh fraksi pasir dan memerlukan perbaikan fisika, kimia dan biologi, maka diharapkan hasil produksi tanaman juga membaik.