• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN. instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

171 BAB VI

KESIMPULAN

Penelitian ini tidak hanya menyasar pada perihal bagaimana pengaruh Kyai dalam memproduksi kuasa melalui perempuan pesantren sebagai salah satu instrumentnya meraih legitimasi-legitimasi, namun juga menelisik kehidupan terdalam dari perempuan pesantren tersebut dalam memposisikan dirinya sebagai pelaku budaya yang memiliki sikap dan caranya sendiri dalam menjalani

kehidupannya di pesantren. Pada bahasan awal penelitian ini memang dipahami sebatas sebagai ‘modal’ Kyai atau elit Islam dalam ikhtiarnya mempertahankan eksistensi semata, namun pada gilirannya setelah melihat secara mendalam bagaimana sebenarnya para perempuan tersebut melakoni hidupnya sebagai seorang perempuan pesantren maka kemudian ditemukan betapa sebenarnya pembacaan mengenai kepatuhan akan simbol-simbol Islam lewat tutur Kyai pada diri perempuan sebagai sebuah pasungan dan diskrimisasi sangat reduksionis. Perempuan perlu dilihat sebagai aktor utuh yang juga memiliki peluang-peluang perlawanan terhadap sistem yang dominatif.

Lahirnya resistensi dalam diri perempuan pesantren sebagai konsekwensi logis atas dominasi kekuasaan otoratif seorang kyai juga tidak selalu berpotensi merusak tatanan sosio-kultural yang ada. Hadirnya tiap resistensi tersebut bahkan memiliki kemungkinannya sendiri untuk mencipta peristiwa-peristiwa impresif dan reflektif dalam kaitannya sebagai respon dari tekanan struktur patriarkhis pesantren. Baik resistensi yang sifatnya simbolik sampai pada resistensi yang sifatnya fisik-aktual merupakan potret bagaimana perempuan menyadari

(2)

172 keberadaan “self” dalam tubuhnya dan bukan “other”. Yang terpenting dari semua penelitian ini adalah jikapun seorang perempuan Islam yang aktif mengkonsumsi dan mengimplementasi simbol-simbol Islam serta ajaran-ajaranNya, seperti cadar dan jilbab, dianggap mengalami bentuk-bentuk diskriminasi, opresi, marginalisasi dan subordinasi, semua itu tidak melulu berkait-erat dengan aroganisme jenis kelamin laki-laki. Sekurang-kurangnya strukturlah yang mendudukan laki-laki dan perempuan menjadi terlalu timpang baik pada dimensi kultural maupun agama.

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa (pertama) terdapat bangunan budaya di mana di dalamnya menggeliat kuat sistem dominasi patriarkhi yang terepresentasi dalam diri Kyai sebagai pemimpin tradisional masyarakat desa. Kyai yang terlegitimasi secara kultural-tradisional pada masyarakat Sunda menjadi pemegang kekuasaan dominan untuk mengatur tiap laku-hidup perempuan dalam sistem sosial masyarakatnya. Sudah bisa dipastikan bahwa kebertahanan sang Kyai hingga kini dalam struktur sosial yang ada dipengaruhi oleh sulit tercerabutnya konstruksi yang telah melekat dalam benak masyarakat akan kemuliaan sosok Kyai. Wacana-wacana dan mitos-mitos suci yang dibentuk-bangunkan di tengah-tengah masyarakat telah mencipta kantung-kantung kepercayaan di segala kalangan termasuk di kalangan perempuannya. Oleh sebab itu dominasi kultural Islam dan konstruksi teks suci selalu efektif diletakkan pada diri perempuan karena perempuanlah yang secara struktural menempati posisi lemah dan mudah dikendalikan dibanding laki-laki. Tidaklah heran bila pada akhirnya perempuan menyimpan lumbung kekuatan yang

(3)

173 diandalkan para Kyai untuk menopang eksistensinya di dalam masyarakat yang meskipun telah memiliki pemimpin formal mereka tetap mengakui Kyai sebagai pengatur utama kehidupan sosial-agama mereka.

Yang (kedua) adalah strategi Kyai dalam mempertahankan eksistensi dan dominasi kekuasaan dibangun dengan cara menjaga keutuhan lingkaran relasi sosial di dalam maupun luar pesantren. Tidak bisa ditolak bahwa Interaksi pun turut andil dalam pembentukan identitas, moralitas, religiusitas, dan kultur kita. Hubungan informal dibangun para Kyai dengan warga masyarakat tidak selalu mengandalkan pada intimitas aktivitas keagamaan yakni juga melalui aktivitas ekonomi memungkinkannya untuk tetap mengikat loyalitas para pengikut serta menjaga dukungan dan kepercayaan terhadapnya. Hubungan sosial-emosional diantara para santri adalah yang paling utama dalam penguatan otoritas kekiyaian. Dengan adanya pesantren dan santri, kyai setidaknya memiliki suara tetap yang selalu setia mengikuti setiap tutur-katanya, dan tentu saja hal tersebut akhirnya juga dapat mengkilapkan kewibawaan serta kharismanya di mata warga masyarakat. Selain dengan para santri, hubungan baik juga dijalin seorang kyai dengan kerabat di pesantren. Tradisi perkawinan endogamy yang terjadi disana turut mengawetkan posisi serta kuasa seseorang lewat garis kekerabatannya. Para Kyai yang dialiri darah dari garis keturunan pendiri pesantren mendapat posisi lebih tinggi secara struktural dibanding dengan kyai yang tidak sama sekali memiliki garis keturunan pendiri pesantren, ia hanya akan menjadi pengajar biasa atau sekurang-kurangnya menjadi Pembina di asrama putra. Jalinan sosial di antara masyarakat, para santri dan kerabat juga alumni menciptakan beberapa

(4)

174 basis legitimasi sebagai alat pengakuan atas otoritas seorang Kyai. Basis legitimasi yang berhasil ditemukan dari kerja penelitian ini adalah; Legitimasi dari traditional domination yang ada di pesantren yakni yang bersumber dari tradisi

agama, di mana kyai dianggap memiliki kedudukan yang mulia sebagai mediator antara Tuhan dan manusia. Boleh dikata legitimasi yang berasal dari agama ini adalah yang cukup efektif merangkul pengakuan dari masyarakat atas kuasa Kyai sebagai pengatur umat manusia. Selanjutnya adalah legitimasi yang bersumber dari legal-rational domination dimana kedudukan Kyai sebagai pemimpin di masyarakat di dapat dari sistem institusional pesantren.. Pesantren memberi kewenangan terhadap Kyai tertentu untuk menjadi pemimpin yang kemudian diakui oleh masyarakat setempat. Dia legitimate untuk berkuasa dan mengatur masyarakat karena keyakinan-keyakinan lama terhadap sistem pesantren. Yang terakhir adalah legitimasi yang bersumber dari charismatic domination; dimana legitimasi ini didapat dari simpati serta apresiasi masyarakat karena pribadi dan karakter yang dimiliki seorang kyai. Seorang kyai yang mudah mencair dan terbuka pada ummatnya jauh lebih disukai dari pada seorang kyai yang kaku dan tertutup.

Temuan yang (ketiga) adalah bertalian dengan persoalan terpenting dari penggarapan penelitian ini, yakni mengupas mengenai sejauh apa penerimaan perempuan dalam posisinya terhadap figur dan ‘tutur’ kyai di dalam dan luar pesantren. Persoalan konstruksi para Kyai pada laku-hidup perempuan yang barangkali membuat diri mereka tidak memiliki posisi tawar di ranah publik sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di ranah domestik. Boleh jadi,

(5)

175 bila struktur patriarkhis yang terepresentasi dari dalam diri kyai serta laki-laki pada umumnya di dalam dimensi agama mengasingkan para perempuan dan seolah menjadikannnya sebagai alat politik penopang kekuasaan Kyai atau laki-laki semata, hal tersebut tidak sama sekali terepresentasi ketika di dalam rumah. Pada kenyataannya perempuan selalu berhasil mempengaruhi setiap keputusan-keputusan suami mereka dengan mengandalkan posisi strategisnya di dalam rumah. Mereka menggunakan tubuhnya yang disangkakan lemah dan tidak berdaya untuk melakukan politik balik, bahkan pada akhirnya para laki-lakilah yang kemudian terasing dari rumah dan anak mereka. Penelitian ini juga telah berhasil membongkar ihwal relasi perempuan -laki-laki di dalam ranah yang lebih internal-emosional yang mana menegasi anggapan-anggapan semula mengenai hubungan asimetris yang menindas. Persoalan dualisme identitas juga turut terbacakan di sana. Dominasi politik identitas yang digarap-kerjakan oleh Kyai pada perempuan untuk tujuan perlawanan simbolis atas arogansi Barat, direproduksi perempuan sebagai semacam kekuatan lain untuk melakukan survival strategy. Sensibilitas yang berbeda dari riset ini tidak bermaksud

menolak permainan dominasi politik identitas yang berasal dari Kyai atau para pemimpin agama, tapi hendak membebaskannya dari berbagai bentuk pembatasan pemaknaan.

Kedudukan penelitian ini dalam hubungannya dengan studi-studi yang ada adalah sebagai pembanding atas penelitian-penelitian gender dan kekuasaan sebelumnya di mana kebanyakan hanya memfokuskan diri pada persoalan pengasingan, penindasan, pemasungan dan kekerasan pada perempuan. Jarang

(6)

176 sekali atau barangkali belum ada yang kemudian menganalisa mengenai strategi Kyai yang ternyata menggunakan perempuan sebagai modalnya untuk mempertahankan eksistensi di ruang sosial. Sedang perempuan yang dijadikan instrumen serta objek dominasi Kyai tidak serta merta menjadi kaum yang berposisi pasif, perempuan dalam penelitian ini dibaca sebagai aktor yang sama-sama memiliki siasat-siasat seperti Kyai. Yang membedakan adalah bila Kyai memiliki modal-modal yang diperebutkan namun perempuan tidak memiliki modal apapun selain modal-modal yang sifatnya kodrati seperti salah satunya Rahim. Kodrat-kodrat tersebut kemudian memunculkan anggapan bahwa perempuan adalah kaum lemah dan harus selalu dilindungi. Melalui pewacanaan demikianlah perempuan memanfaatkan posisi lemahnya untuk melakukan perlawanan-perlawanan.

Referensi

Dokumen terkait

Berlaku untuk Anggota Keluarga wanita berstatus menikah (usia 10-54 tahun) dan tidak hamil atau Anggota Keluarga laki-laki berstatus menikah (usia ≥ 10 tahun). Form

Untuk kemudahan administratif di Desa Simaninggir, maka pada tahun 1993 desa ini telah disatukan dengan Desa Hutari Pusuk II dengan nama baru yaitu Pusuk II Simaninggir. Karena

Profil Lulusan Diploma III Keperawatan Indonesia adalah sebagai perawat pelaksana asuhan keperawatan pada individu, keluarga, dan kelompok khusus di tatanan klinik dan komunitas

Abstrak: Dampak Lingkungan Sekolah Satu Atap Siswa SMK terhadap Siswa SMP di Yayasan Yasmida. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan dampak lingkungan sosial

Hal ini menunjukkan bahwa film tipis ZnO yang dideposisi di atas substrat silikon memiliki orientasi bidang kristal tunggal. Alat

Hasil yang diperoleh yaitu keretakan terdapat pada salah satu sample pada tegangan paling optimum pada 70kV dengan jarak 65cm.. Sampel lain tidak menunjukan

Definisi Islam dirumuskan dengan “Islam agama rahmatan lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam), yang maknanya, umat Islam sadar bahwa adanya keragaman memang

“Gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga