• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN DUA SAUDARA KANDUNG PADA TAHUN YANG SAMA DI DESA PARADO KECAMATAN PARADO KABUPATEN BIMA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN DUA SAUDARA KANDUNG PADA TAHUN YANG SAMA DI DESA PARADO KECAMATAN PARADO KABUPATEN BIMA."

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN

PERKAWINAN DUA SAUDARA KANDUNG PADA TAHUN

YANG SAMA DI DESA PARADO KECAMATAN PARADO

KABUPATEN BIMA

SKRIPSI

Oleh LUTFIH C01211031

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga Islam (AS)

Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Skripsi dengan berjudul “Analisis Hukum Islam Terhadap Larangan Perkawinan Dua Saudara Kandung Pada Tahun Yang Sama Di Desa Parado

Kecamatan Parado Kabupaten Bima” ini merupakan penelitian lapangan untuk

menjawab permasalahan: bagaimana deskripsi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kec. Parado kab. Bima? Bagaimana analisis hukum Islam terhadap larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kec. Parado kab. Bima?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut metode yang digunakan adalah dengan metode observasi dan interview yang kemudian dianalisis dengan menggunakan metode diskriptif

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa: Pertama, tradisi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang bersamaan adalah keyakinan yang timbul karena adanya ikatan emosional yang kuat antara masyarakat dengan nenek moyang atau para leluhurnya. Praktik larangan perkawinan dua saudara kandung di tahun yang sama di desa Parado, menurut para tokoh berawal dari kejadian yang telah lampau, ada salah satu keluarga yang melangsungkan perkawinan pada tahun yang sama, pasca pelaksanaan perkawinan, keluarga tersebut mengalami musibah yang berturut-turut, maka setelah kasus tersebut nenek moyang pada waktu itu mulai meyakini bahwa musibah itu terjadi disebabkan oleh adanya praktik perkawinan dua orang yang masih bersaudara melangsungkan perkawinan dengan pasanganya masing-masing di tahun yang sama. Sehingga sampai sekarang kepercayaan itu masih diyakini dan di pegang teguh oleh masyarakat di desa Parado, diperkuat lagi dengan adanya image atau pola pikir masyarakat yang beranggapan bahwa apapun yang disampaikan oleh nenek moyang terdahulu adalah mentaatinya menjadi sebuah kaharusan. Kedua, kaitanya dengan hukum Islam, tidak ada satupun ayat ataupun hadis yang memuat atau menyinggung terkait dengan larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama. Islam hanya melarang karena disebabkan oleh adanya nasab, keluarga semenda dan saudara sesusuan. Itu artinya Islam tidak melarang kepada keluarga yang ingin melangsungkan perkawinan putra/putrinya dengan pasanganya masing-masing di tahun yang sama, selama tidak melanggar

rukun dan syarat perkawinan dalam syara’.

(6)

x DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Kajian Pustaka ... 8

E. Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 11

G. Definisi Operasional ... 11

H. Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II TINJAUAN UMUM LARANGAN PERKAWINAN MENURUT ISLAM ... 19

A. Pengertian Perkawinan ... 19

B. Dasar Hukum Perkawinan ... 21

(7)

D. Sebab Larangan Perkawinan ... 34

E. Konsep ‘Urf dalam Islam ... 39

F. Hikmah dan Tujuan Perkawinan... 43

BAB III DESKRIPSI TRADISI LARANGAN PERKAWINAN DUA SAUDARA KANDUNG PADA TAHUN YANG SAMA DI SESA PARADO KEC. PARADO KAB. BIMA ... 49

A. Deskripsi Wilayah ... 49

B. Gambaran Umum Larangan Perkawinan Dua Saudara Kandung Pada Tahun Yang Sama Di Desa Parado ... 55

C. Pendapat Para Tokoh Masyarakat Dan Tokoh Adat Tentang Tradisi Larangan Perkawinan Dua Saudara Kandung Pada Tahun Yang Sama Di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima ... 61

BAB IV ANALISI HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN DUA SAUDARA KANDUNG PADA TAHUN YANG SAMA DI DESA PARADO KEC. PARADO KAB. BIMA ... 66

A. Deskripsi Penyebab Larangan Perkawinan Dua Saudara Kandung Pada Tahun Yang Sama ... 66

B. Analisis Tradisi Larangan Perkawinan Dua Saudara Kandung Pada Tahun Yang Sama ... 68

BAB V PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(8)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami istri dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syariat Islam.1 Perkawinan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal antara satu dengan yang lainya, sehingga akan membuka jalan untuk saling tolong menolong.

Perbedaan kelamin menyebabkan terjadinya hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita dan itulah menjadi sebab musabab kelangsungan hidup manusia.2 hal itu menjadi sumber dari kehidupan dan perkembangan lebih lanjut merupakan titik pangkal daripada tatanan masyarakat. kaitanya dengan tradisi adalah suatu kata yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia, dan bahkan tradisi dikategorikan sebagai sesuatu yang sakral dan wajib diataati oleh masyarakat yang

bersangkutan, tradisi itu sendiri merupakan suatu kepercayaan masyarakat tertentu terhadap suatu kejadian atau peristiwa yang secara

1M. Afnan Hafidh dan A. Ma’ruf Asrori,Tradisi Islami: Panduan Prosesi Kelahiran, Perkawinan

dan Kematian (Surabaya: Khalista, 2009), 88.

2 R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia

(Surabaya: Airlangga University Press, 2012), 22.

(9)

2

turun temurun dianggap benar adanya, sehingga melanggar merupakan pengingkaran dan dosa. Antara daerah satu dengan yang lainya terdapat tradisi yang berbeda-beda baik dari segi ekonomi, pendidikan maupun terhadap praktik penerapan terhadap nilai-nilai agama.

Tradisi bukanlah hal tabu dikehidupan sehari-hari, akan tetapi hal ini bahkan sudah dikenal oleh masyarakat pra Islam, pasca Islam dan dalam bahasa arab dikenal dengan al-adah (adat istiadat), pada zaman nabi masyarakat arab tidak lepas daripada tradisi-tradisi unik, walaupun ketika itu oleh Allah lewat Firman Nya langsung dikoreksi terhadap tradisi yang tidak sejalan dengan konteks Al-Quran. Masyarakat Indonesia pun syarat akan keyakinan-keyakinan unik terhadap peristiwa-peristiwa tertentu. Tradisi itu sendiri memiliki arti dalam bahasa latin tradisio yang artinya kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai arti adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan ditengah masyarakat yang dalam anggapanya bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar.3

Masalah perkawinan, baik itu pra perkawinan maupun pasca

perkawinan adalah suatu yang tidak luput dari nuansa tradisi atau adat istiadat masyarakat, hal ini sering timbul dimasyarakat pedesaan yang

(10)

3

masih jauh dari jangkuan tekhnologi, sehingga bisa dikatakan masyarakat seperti ini hidup dalam pola sederhana, dengan cara sederhana dan masih memelihara anggapan-anggapan yang berbau irasional yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya.

Pada dasarnya, dalam Islam perkawinan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal antara satu dengan lainya, sehingga akan membuka jalan untuk saling tolong menolong. Selain itu, pernikahan merupakan sarana pemenuhan hasrat seksual, yang teramat penting dalam kehidupan masyarakat sebagai awal untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat dan keluarga sebagai pilar penyokong kehidupan bermasyarakat.4

Penciptaan manusia oleh Allah mengemban misi untuk meramaikan bumi dengan aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT, Para Nabi dan Rasul itulah orang-orang yang dipilih oleh Allah untuk menyampaikan Firman-Nya, yang berisi tata aturan sebagai pedoman hidup yang benar sesuai dengan kehendak Nya. Manusia diciptakan saling berpasang-pasangan antara kaum laki-laki dan perempuan, bercampurnya dua pasangan yang berbeda jenis secara syar’i biasa dikenal dalam Islam ialah dengan lafadz nikah atau perkawinan. Pernikahan adalah sebuah

proses awal dimana seseorang akan melanjutkan kehidupan bersama pasanganya dalam ikatan rumah tangga, untuk menanamkan fondasi bagi

(11)

4

terciptanya keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.5Artinya laki-laki dan perempuan sebenarnya saling membutuhkan. Laki-laki-laki membutuhkan perempuan dan begitu pula perempuan membutuhkan laki-laki, sehingga apabila tidak ada salah satu, maka sunatullah untuk berkembang biak tidak dapat dilakukan.6

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai dan kehormatan manusia sebagai makhluk beradab, lewat aturanya Islam menganjurkan untuk hidup berpasang-pasangan dengan cara yang terhormat dan mulia, yaitu melalui sebuah pernikahan terlebih dahulu. Namun seperti yang saya katakan diatas bahwa dalam pelaksanaan perkawinan ditengah masyarakat, baik itu masyarakat yang menghuni pulau jawa maupun diluar jawa memiliki anggapan-anggapan tertentu terhadap pelaksanaan perkawinan, sehingga kadangkala mempengaruhi substansi atau rukun dan syarat dalam perkawinan yang telah digariskan oleh Al- Quran dan Hadits. Misalnya perkawinan culik di Lombok timur, yang mana si laki-laki dibolehkan untuk membawa lari si calon pengantin perempuan. Atau tradisi masyarakat jawa yang kental akan hitungan hari, pada masyarakat jawa tertentu memiliki anggapan bahwa tidak semua hari dalam setahun itu semuanya baik, sehingga mempengaruhi pelaksanaan acara-acara yang dianggap penting, seperti khitan dan perkawinan.

Dalam hal ini penulis akan membahas tentang “Larangan

Perkawinan Dua Saudara Kandung pada tahun yang bersamaan (kakak

5 Rokhmadi, Indahnya Kawin Sesama Jenis (Semarang: Justisia Edisi 25, 2004), 7.

(12)

5

beradik), di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima, larangan itu sudah diyakini dan diamini oleh sebagian besar masyarakat Desa Parado, sebab dalam anggapan mereka, jika perkawinan dua saudara kandung dilaksanakan pada tahun yang bersamaan akan membawa musibah bagi para pengantin, hal-hal yang akan menimpa para muda-mudi tersebut seperti, keturunanya akan sengsara atau bahkan akan ada keturunan yang akan meninggal dunia diantara salah satu pasangan.7

Kepercayaan seperti itu, tentu perlu sebuah kajian yang lebih mendalam terhadap adanya larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang bersamaan di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima, kaitannya dengan adanya anggapan timbulnya musibah bagi para pelaku (muda-mudi). Mengingat perkawinan adalah ibadah yang sudah ada ketentuanya, tentu adanya tradisi semacam itu merupakan sesuatu yang penting untuk ditelusuri, dikaji dan dipelajari lebih mendalam, agar nanti masyarakat di Desa Parado Kecamatan Parado agar lebih jeli dan rasional dalam penerapan nilai-nilai agama, terutama dalam masalah pelaksanaan perkawinan, serta terhindar dari kepercayaan-kepercayaan yang berbau tahayul, sebab hal itu dapat merugikan mereka sendiri dihadapan Allah SWT.

Keadaan sebagaimana yang terurai diatas, nyatanya masih terjadi

di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima, meskipun hal ini langka, namun dalam kurun waktu lima tahun terakhir, terdapat 2

(13)

6

pasangan yang melangsungkan perkawina dua saudara kandung pada tahun yang sama seperti yang terurai oleh penulis diatas.

Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima termasuk salah satu desa yang masih belum dijangkau oleh jaringan internet, sehingga masyarakatnya masih tertutup akan hal-hal yang berbau modern (perubahan). Meskipun desanya terpencil,akan tetapi untuk kegiatan kemasyarakatan Desa Parado cukup bagus, serta keteguhanya terhadap agamanya cukup kuat, walaupun cara pemahamanya masih tradisional.

Masyarakat Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Meskipun ada sebagian kecil dari mereka yang berprofesi sebagai Guru dan Pedagang. Untuk tingkat pendidikan masyarakat Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima masih tergolong rendah, sebab rata-rata dari mereka hanya lulusan SD dan SMP. Karena factor pendidikan rendah, masih primitive, sehingga menimbulkan pemahaman yang kurang tajam terhadap ajaran agama, serta kecenderungan mempercayai hal-hal yang berbau mistis.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan diatas, maka dapat diidentifikasi oleh penulis sebagai berikut:

1. Efek mashlahat dan mudharat menurut masyarakat terhadap pelaku yang melangsungkan perkawianan dua saudara kandung pada tahun

(14)

7

2. Pandangan para tokoh terhadap adanya larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang bersamaan

3. Efektifitas larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama secara bersamaan di desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima

4. Pendapat para pelaku pelaksana perkawinan terhadap dilanggarnya larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima

5. Deskripsi tradisi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima 6. Analisis hukum Islam terhadap larangan perkawinan dua saudara

kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima

Dari identifikasi masalah tersebut diatas, dan banyaknya persoalan yang ditemukan dilapangan, untuk menghindari terjadinya kerancuan serta melebarnya bahasan dalam skripsi yang penulis angkat, maka penulis membatasinya hanya dalam ruang lingkup sebagai berikut:

1. Deskripsi tradisi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima 2. Tinjauan hukum Islam terhadap larangan perkawinan dua saudara

(15)

8

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang tertera pada latar belakang diatas, maka dapat ditarik rumus masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana deskripsi tradisi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima?

D. Kajian Pustaka

Walaupun persoalan yang penulis angkat adalah kepercayaan yang terdapat pada masyarakat tertentu (tidak semua daerah selalu ada), artinya persoalan ini tidak banyak diketahui umum, akan tetapi bukan berarti hal ini belum ada yang mengangkat kepermukaan, sebab sejauh yang yang penulis ketahui ada beberapa yang telah menyinggungnya lewat penelitian, diantaranya:

1. Tinjauan hukum Islam terhadap larangan nikah Lusan di Dusun Nglano Kelurahan Pandean Kecamatan Tasik Madu Kabupaten Karanganya oleh Nurul Inayah Nim: 04350074. Skripsi ini

(16)

9

bahwa anak pertama tidak boleh menikah dengan anak ketiga, apabila hal itu terjadi, maka dapat menimbulkan mudharat bagi para pelaku.8

2. Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi pemberian dalam perkawinan Nglangkahi di Desa Sumbaga Kecamatan Bumijaya Kabupaten Tegal, oleh: Atikoh: 04350099, masyarakat di Daerah ini mempercayai bahwa apabila ada anak perempuan yang belum menikah dan didahului oleh adik perempuanya yang lain, maka dalam pelaksanaan pernikahanya anak perempuan yang pertama mendapatkan tukon atau mahar yang sama dengan wanita yang dinikahkan.9

3. Tinjauan hukum Islam terhadap taradisi Ngalose di Desa Kepuh Kecamatan Tambak bawean Kabupaten Gresik oleh Abd Rozaq: C01303091, dalam hal ini diterangkan, bahwa tradisi ngalose adalah tradisi yang mempercayai seseorang yang sudah melaksanakan akad nikah tidak boleh melakukan hubungan badan itu juga, artinya harus ada batas waktu atau jenjang waktu yang sudah ditentukan, tujuanya untuk melestarikan budaya warga setempat dan untuk menghindari fitnah yang tidak diinginkan.10

Dari hasil telaah pustaka yang dilakukan oleh penulis terhadap penelitian-penelitian sebelumnya, lalu penulis mengkaji dan

8 Nurul Inayah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nikah Lusan Di Dusun Nglano Kelurahan

Pandean Kecamatan Tasik Madu Kabupaten Karanganyar” (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2009), 33.

9Atikoh, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemberian Dalam Perkawinan Nglangkahi Di

Desa Sumbaga Kecamatan Bumijaya Kabupaten Tegal” (Skripsi—UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2009), 29.

10 Abd Rozaq, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tradisi Ngalose Di Desa Kepuh Kecamatan

(17)

10

membandingkan dengan persoalan yang penulis angkat, memang sama-sama membahas terkait dengan tradisi atau adat istiadat masyarakat setempat yang bersinggungan dengan masalah perkawinan, akan tetapi dari keseluruhan penelitian sebelumnya ada perbedaan prinsipil dengan penelitian penulis, sebab dalam hal ini penulis melihat tradisi larangan perkawinan dua sauradara kandung yang dilakukan pada tahun yang sama di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima dari perspektif hukum Islam.

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini merupakan jawaban seputar ruang lingkup pertanyaan sebagaimana yang terpampang dalam rumusan masalah diatas, sehingga nantinya dapat diungkap dan dipahami secara jelas dan terperinci tujuan diadakanya penelitian oleh penulis. Adapun tujuan tersebut sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui deskripsi tradisi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima

2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap tradisi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa

(18)

11

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan setidak-tidaknya dapat bermanfaat dan berdaya guna dalam dua aspek, yaitu:

1. Aspek Teoritis, penelitian ini sekiranya dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada khalayak umum seputar adanya larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama dilihat dari sudut pandang studi hukum Islam

2. Aspek Praktis, sekiranya dapat memberikan setetes sumbangsih demi menambah koleksi khazanah ilmu pengetahuan hukum keluarga pada khususnya, serta tradisi masyarakat Indonesia yang unik dan beragam dengan menggunakan hukum Islam sebagai pisau analisis, tentunya. Sehingga dapat dijadikan bahan panduan sekunder bagi kalangan yang berminat untuk mendalaminya.

G. Definisi Operasional

Untuk mempermudah pemahaman terhadap penelitian ini, maka dalam hal ini penulis akan memaparkan istilah-istilah dari potongan kata yang terdapat dalam judul penelitian, yaitu:

Hukum Islam : segala peraturan agama yang telah ditetapkan Allah untuk manusia, baik dari Al-Quran maupun

dari sunah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku dan

(19)

12

Islam. Serta ketentuan – ketentuan hukum baik yang ditetapkan melalui nas atau ijtihad para mujtahid pada bidang yang tidak ada nas nya, atau yang lebih dikenal dengan fiqh.11

Perkawinan dua Saudara Kandung : pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang beradik kakak (seayah seibu) terhadap pasanganya masing-masing dan perkawinan ini dilakukan pada tahun yang bersamaan

Tahun Yang Sama : dalam kamus lengkap bahasa indonesia kata tahun memiliki arti masa yang lamanya dua belas bulan.12 Sedangkan sama memiliki arti serupa, sepadan dan berbarengan. Jadi yang dimaksud dengan Tahun Yang Sama adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama atau berbarengan pada masa yang lamanya dua belas bulan.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara atau prosedur yang dipergunakan untuk melakukan penelitian sehingga mampu menjawab rumusan masalah

dan tujuan dari penelitian, adapun sebagai berikut:

(20)

13

1. Data Yang Dikumpulkan

Sesuai dengan permasalahan yang telah penulis rumuskan diatas, maka data itu dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Data perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima

b. Data hukum Islam terhadap larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, yaitu:

a. Sumber Data Primer

Data Primer merupakan sumber data pokok yang digunakan oleh penulis dalam kelangsungan penelitian, maka data ini merupakan data yang diperoleh penulis melalui wawancara secara langsung terkait dengan adanya larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang bersamaan oleh masyarakat Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima. Mengingat data primer adalah data utama demi kelangsungan penelitian, maka penulis dalam hal

(21)

14

1. Pemuka masyarakat, dalam hal ini penulis mewawancarai bapak Tuan Guru K.H. Muhammad Hasan, B.A (selaku tokoh yang cukup di hormati oleh masyarakat),

2. Aparatur desa, ialah bapak Mansyur, SH. sebagai kepala desa 3. Pelaku pelaksana perkawinan, yaitu atas nama bapak Arifin

dengan kedua putrinya Ibu Rani dan Ibu Suryani, serta bapak Syafruddin

4. Tokoh adat, yaitu bapak Ompu Dareho b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari lembaga atau institusi tertentu. Menurut pendapat yang lain, data sekunder adalah data yang sudah tersedia sehingga peneliti tinggal mencari dan mengumpulkan untuk digunakan sebagai penunjang data primer.13 Pada umumnya, data sekunder digunakan sebagai pendukung atau pelengkap dari data primer. Dalam hal ini seluruh karya yang terkait dengan studi hukum Islam terhadap larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima. Yang terdiri dari buku, skripsi maupun dokumen yang berkaitan dengan penelitian, dalam hal ini meliputi: 1. Hukum Islam Di Indonesia karya Ahmad Rofiq

2. Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat Karya Neng Djubaidah

(22)

15

3. Fiqh Keluarga Karya Ali Yusuf As-Subki

4. Pluralism Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Karya Soetojo Prawirohamidjojo

5. Pengantar Penelitian Hukum Karya Soerjono Soekanto 6. Fiqh Munakahat Karya Abd. Rahman

7. Bimbingan Perkawinan Karya Dedi Junaedi

8. Asas-Asas Fiqh Munakahat Hukum Keluarga Islam Karya Dahlan Idhamy

9. Petunjuk Menuju Perkawinan Islami Karya Muhammad Tholib 10.Asas-asas dan Susunan Hukum Adat Karya Sorojo

Wignyodiporo

11. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Nikah Lusan Di Dusun Nglano Kelurahan Pandean Kecamatan Tasik Madu Kabupaten Karanganya Skripsi Nurul Inayah. Nim: 04350074

3. Teknik Pengumpulan Data

Prosedur penghimpunan data yang diterapkan oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

a. Dokumentasi, merupakan suatu teknik yang oleh penulis digunakan untuk menghimpun data tertulis dengan memakai konsep analisis. Teknik ini diterapkan oleh penulis untuk menghimpun data tertulis

terkait dengan larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima

(23)

16

b. Wawancara, merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.14teknik Tanya jawab penulis dengan audiens atau objek penelitian. Tentu penulis akan mewawancarai secara langsung para pelaku serta tokoh agama terkait dengan adanya larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima

4. Teknik Analisis Data

Adapun teknik pengolahan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini, yaitu:

a. Teknik deskriptif analisis, yaitu menganalisis dengan menggambarkan secara sistematis segala fakta actual yang ditemukan, kemudian dari hasil tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan yang konkrit. Tentu yang dimaksud oleh penulis adalah terkait adanya larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima dengan menggunakan studi hukum Islam. Dan dikaitkan pula dengan teori dan dalil-dalil yang terdapat dalam literatur sebagai bahan penunjang dalam menganalisis, sehingga memperoleh

kesimpulan yang bersifat umum.

(24)

17

b. Pola Deduktif, yaitu dengan mengemukakan teori-teori yang bersifat umum yang ada kaitanya dengan penelitian, tentu terkait dengan studi hukum Islam terhadap larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang bersaman di Desa Parado Kecamatan Parado Kabupaten Bima, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan oleh penulis dengan tujuan untuk membantu kelangsungan penulisan serta memudahkan dalam pemahaman . Adapun sistematika pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama diawali dengan Pendahuluan yang merupakan desain penelitian. Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Kajian Pustaka, Tujuan Penelitian, Kegunaan Hasil Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian. Dan bab ini diakhiri dengan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua memuat tinjauan umum pelaksanaan perkawinan menurut hukum Islam yang terdiri dari: pengertian pernikahan, Dasar hukum, rukun dan syarat perkawinan,sebab-sebab adanya larangan

perkawinan, Konsep ‘Urf dalam Islam, Hikmah dan Tujuan Perkawinan Bab ketiga memuat tradisi larangan perkawinan dua saudara

(25)

18

Parado. Serta dalam bab ini pula mencakup gambaran umum terkait dengan tradisi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado yang meliputi latar belakang timbulnya larangan perkawinan dua saudara pada tahun yang bersamaan, dasar hukum dipedomani oleh masyarakat sehingga adanya larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama, konsekuensi hukum terhadap pelaku pelaksana perkawinan di tahun yang sama dan mencakup pula pendapat para tokoh di desa Parado

Bab keempat memuat analisis deskripsi tradisi larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun sama, studi analisis hukum Islam terhadap larangan perkawinan dua saudara kandung pada tahun yang sama di desa Parado kecamatan Parado kabupaten Bima

(26)

19

BAB II

TINJAUAN UMUM PELAKSANAAN PERKAWINAN

MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perkawinan

Menurut uu nomor 1 tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1

Perkawinan disebut juga pernikahan, yang berasal dari kata

حاكن

yang

menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan

untuk arti bersetubuhan, serta digunakan untuk arti akad nikah.2

Perkawinan menurut hukum Islam ialah akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya

merupakan ibadah.3

Pernikahan (az-zawaj) menurut ahli hadis dan ahli fiqh adalah perkawinan dalam arti hubungan yang terjalin antara suami dan istri dengan ikatan hukum Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan, seperti wali, mahar, dua saksi yang adil dan disahkan dengan ijab dan qabul.4

1 Undang Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 1

2 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa adillatuh(Beirut: Dar al-Fikr, 1989), 29.

3 Kompilasi Hukum Islam No 1 Tahun 1991 Pasal 1

4 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga”Pedoman Berkeluarga Dalam Islam”(Jakarta: AMZAH,

2012), 1.

(27)

20

Pada prinsipnya, perkawinan atau nikah adalah akad untuk menghalalkan hubungan serta membatasi hak dan kewajiban, tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dimana antara keduanya bukan muhrim.5 Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, sedangkan menurut istilah bahasa Indonesia adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara “nikah” dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya hanya berbeda dalam

pengucapanya saja. Apabila ditinjau dari segi hukum nampak jelas bahwa pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkanya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni.

Dalam undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 merumuskan perkawinan sebagai berikut:

“perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.”

Slamet Abidin memberikan makna perkawinan sebagai suatu akad antara seorang pria dengans seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakaukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan

syarat yang telah ditetapkan syara’ untuk menghalalkan percampuran antara

keduanya sehingga satu sama lain saling membutuhkan menjadi sekutu

sebagai teman hidup dalam rumah tangga.6

5 Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam(Jakarta: PT Rineka, 1992), 188.

(28)

21

B. Dasar Hukum Perkawinan

Pernikahan menurut ajaran Islam adalah melaksanakan sunatullah. Pernikahan yang dimaksud dengan sunatullah ini merupakan kebutuhan yang diminati oleh setiap naluri manusia dan dianggap oleh Islam sebagai ikatan yang sangat kokoh atau mitsaqon ghalizon. Karena itu, pernikahan hendaknya

dianggap sakral dan dimaksudkan untuk membina rumah tangga abadi selamanya.7 Pernikahan patutnya dianggap sebagai sesuatu yang sakral, bernuansa ibadah dan yang terpenting merupakan perintah langsung dari Allah SWT. Sebagaimana dituangkan dalam Al-Quran (An-Nur : 32)

                                 

Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberi-Nya) lagi Maha mengetahui.

Selain sebagai perintah langsung dari Allah, anjuran pernikahanpun dikuatkan pula oleh baginda rasul lewat sabdanya, yang mana dijelaskan bahwa melaksanakan pernikan merupakan pengamalan atas sunahnya, hal ini dijelaskan dalam hadis Nabi:

لا

ك

حا

س

يِت

و م

ين

ر ِغ

ب

ع

ين

س

يِت

ف ل يي

س

ِم

ي ّ

(

ور

يراخ

و

ملسم

)

Perkawinan adalah peraturanku barangsiapa yang benci terhadap peraturanku, maka ia bukan termasuk umatku. (Bokhari dan Muslim).

7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam (Jakarta: Raja Grafindo

(29)

22

Selain dari itu Islam juga menawarkan manfaat yang luar biasa indah kepada seseorang yang menunaikan pernikahan, pernikahan sebagai obat mujarab bagi seseorang untuk terhindar dari perbuatan zina, itu artinya menjadikan pelakunya terjaga pandanganya dan kehormatanya, sehingga menjadikan ia sebagai pribadi yang terkontrol. Sebagaimana dinyatakan dalam hadis :

يا

م يع

ش

ر

لا

ش

ب

با

م

ِن

يسا ت

ط

عا

ِم

ي ك

م

يلا ب

ءا ة

ف

يلا ي ت

ز و

ج

ف ِا ن

ه ا

غ

ض

ِل يل

ب ص

ِر

و ا

يح

ص

ن

ِل يل

ف ر

ِج

و م

ين

ي ل

ي يس

ت ِط

يع

ف ع ل

يي ِه

ِب

صلا

يو ِم

ف ِا ن

ه ل

ه ِ

و

ج

ءا

(

ور

راخ

و

ملسم

)

Dari Abdullah bin Mas’ud Rasulullah bersabda : Hai sekalian pemuda barangsiapa diantara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah kawin, sesungguhnya kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara faraj dan barangsiapa yang tidak sanggup hendaklah berpuasa, karena itu perisai baginya. (HR. Bukhori dan Muslim).

Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mapan untuk segera melaksanakanya, karena dengan pernikahan dapat mengurangi maksiat penglihatan dan memelihara diri dari perbuatan zina. Mapan artinya siap dari sisi financial maupun psikologis sebagai benteng untuk membendung terpaan permasalahan yang muncul dikemudian hari sehingga akan terjalin hubungan yang harmonis antar pasangan tersebut.

Kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakanya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh, ataupun mubah.8

(30)

23

a. Perkawinan yang dihukumi wajib

Bagi orang yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan terjerumus pada perbuatan zina seandainya tidak kawin, maka hukum melakukan perwinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang.

Imam Qurtuby berkata, “bujangan yang sudah mampu menikah

dan takut dirinya dan agamanya, sedangkan untuk menyelamatkan diri tidak ada jalan lain, kecuali dengan pernikahan maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia nikah. Jika nafsunya telah mendesak, sedang ia tidak mampu menafkahi istrinya, maka Allah nanti

yang akan melapangkan rezekinya.”

Ulama Malikiyah mengatakan bahwa menikah itu wajib bagi orang yang menyukainya dan takut dirinya terjerumus ke jurang perzinaan jika ia tidak menikah, sedangkan berpuasa ia tidak mampu.9

b. Perkawinan yang dihukumi sunnah

Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.

(31)

24

Ulama Hanafiyah dan Hanbaliyah sepakat bahwa menikah itu sunah bagi orang yang menyukainya, tetapi tidak takut terjerumus pada lembah perzinaan.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa menikah itu Sunnah bagi orang yang kurang menyukainya, tetapi menginginkan keturunan karena ia mampu melakukan kewajiban dengan memberi rezeki yang halal serta mampu melakukan hubungan seksual.

Sedangkan Imam Syafi’iyah menganggap bahwa menikah itu

Sunnah bagi orang yang melakukanya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan melanjutkan keturunan.10

c. Perkawinan yang dihukumi haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemampuan serta tanggungjawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarlah dirinya dan istrinya, begitu juga dengan seorang menikah dengan tujuan menelantarkan orang lain, wanita yang dinikahi itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat menikah dengan lain.11maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. Al-Quran surah al-Bakarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan :

10Ibid., 35.

(32)

25                             

Dan belanjakanlah (harta bendamu) dijalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimusendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Dalam ketetapan hukum ini, Al-Qurtuby turut memberikan pendapat bahwa jika seorang laki-laki tidak mampu menafkahi istrinya dan membayar maharnya, serta tidak mampu memenuhi hak-hak istrinya sebelum ia dengan terus terang menjelaskan keadaan itu kepadanya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak istrinya. Begitu juga kalau karena suatu hal ia menjadi lemah, tidak mampu menggauli istrinya, maka ia wajib menerangkan dengan terus terang agar calon istri tidak tertipu olehnya.

d. Perkawinan yang dihukumi makruh

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menahan diri

sehingga tidak memungkinkan dirinya berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

(33)

26

Sedangkan Imam Syafi’i, menikah itu hukumnya makruh bagi

orang yang mempunyai kekhawatiran tidak mampu menunaikan kewajibanya kepada istrinya.

e. Perkawinan yang dihukumi mubah

Mubah merupakan hukum asal perkawinan, yaitu suatu perbuatan yang dibolehkan mengerjakanya, tidak diwajibkan dan tidak pula diharamkan. Bagi laki-laki yang tidak terdesak dengan alasan-alasan yang mewajibkan untuk segera menikah, atau alasan-alasan yang menyebabkan ia harus menikah maka hukumnya mubah.

C. Rukun dan Syarat Perkawinan

Al-Quran menggambarkan perkawinan itu sebagai perjanjian antara Allah dengan manusia, serta antara manusia yang terlibat didalamnya, tentu saja agar perjanjian itu bisa kuat dan saling memuaskan satu sama lainya.12

Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar dan dengan cara-cara yang terhormat, dan dalam ajaran Nabi, perkawinan ditradisiskan menjadi sunah beliau. Karena itulah, perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu, agar tujuan disyariatkanya perkawinan tercapai.

Sebelum membahas tentang rukun dan syarat perkawinan, alangkah baiknya diketahui terlebih dahulu istilah dari syarat dan rukun perkawinan itu

(34)

27

sendiri. Rukun adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan.13 Rukun sebagai bagian dari sesuatu, yang sesuatu itu tidak akan terkecuali dengan adanya bagian itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti ada dan tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan.

Rukun perkawinan adalah sesuatu yang menjadi sarana bagi terlaksananya perkawinan atau sesuatu yang menjadikan dapat dilaksanakanya perkawinan itu bila sesuatu itu ada, jika sesuatu itu tidak ada maka perkawinan itu tidak akan bisa terlaksana. Akan tetapi bukan berarti apabila salah satu dari unsur-unsur tersebut sudah ada perkawinan dapat dilangsungkan, demikian juga sebaliknya jika salah satu rukunya tidak ada maka perkawinan juga tidak dapat terlaksana.14

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai syarat dan rukun perkawinan menurut hukum Islam. Syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunya, seperti dikemukakan Kholil Rahman.15

a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya: 1) Beragama Islam

2) Laki-laki 3) Jelas orangnya

4) Dapat memberikan persetujuan

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

13 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. 45-46.

14 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan “Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk”(Yogyakarta:

al-Bayan, 1994), 52.

(35)

28

b. Calon mempelai wanita, syaratnya: 1) Beragama Islam atau Ahli Kitab 2) Perempuan

3) Jelas orangnya

4) Dapat dimintai persetujuanya 5) Tidak terdapat halangan perkawinan c. Syarat-syarat wali nikah

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.16. Abu Yusuf dan Abu Tsaur berpendapat, sah perempuan bernikah, asalkan sudah diizinkan oleh walinya, tetapi jika ia berkawin dengan tidak diizinkan oleh walinya, lalu kedua-duanya mengadukan pernikahan itu kepada hakim, dan hakim pun

menetapkan sah perkawinan itu, maka tiadalah boleh bagi hakim Syafi’i

membatalkan.17 Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baliq, berakal dan adil (tidak fasik). Perkawinan tanpa wali tidaklah sah, dijalaskan dalam hadis Nabi SAW:

ل ِن

ك

اح

ِا

ل

ِب

و يِل

(

اور

ئاسمخا

)

Artinya: tidak sah perkawinan tanpa wali

Wali yang utama adalah kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kemudian kelompok kedua yaitu kerabat saudara laki-laki sekandung atau saudara

16 Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Menuju Perkawinan Islami(Bandung: Baitus Salam, 1995), 28.

(36)

29

laki-laki seayah. Kemudian kelompok ketiga terdiri dari kerabat paman, yakni saudara laki kandung ayah, saudara seayah, dan keturunan laki mereka. Dan kemudian kelompok yang keempat adalah saudara laki kandung kakek, saudara laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Apabila wali-wali tersebut tidak ada, maka hak perwalian pindah kepada kepala negara yang biasa disebut dengan wali hakim, terkait dengan ini telah dimuat dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 23: 1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali

nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkanya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan

2) Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan agama tentang wali tersebut

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baliq, berakal, dapat melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.18

Tetapi menurut golongan Hanafi dan hanbali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan.19 Dan menurut Hanafi,

dibolehkan dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil). Orang tuli,

18 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), 38.

(37)

30

orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.20 Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai berikut:21

1) Berakal, bukan orang gila 2) Baliq, bukan anak-anak 3) Merdeka, bukan budak 4) Islam

5) Kedua orang saksi itu mendengar

Diwajibkanya ada saksi tidak lain adalah untuk kemashlahatan kedua belah pihak, katakanlah dikemudian hari salah satu pihak mengingkari perkawinanya, hal ini dapat terbantahkan dengan adanya saksi. Disamping itu juga dapat merambah kepada keturunan, apakah benar anak yang lahir dari pasangan tersebut dilahirkan setelah dilangsungkan perkawinan, dan saksi bisa mengklarifikasi.22 Atau persoalan-persoalan lain yang berkenaan dengan perkawinan kedua mempelai.

e. Ijab qabul, syaratnya adalah:

Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul secara lisan, inilah yang dinamakan dengan akad nikah. Pengecualian bagi orang bisu sahnya perkawinan dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami.23

20Ibid., 363.

21 Ibid., 65.

22 Masyfuk Zuhdi, et al., Masa’il Fiqhiyah…,47.

(38)

31

Ijab adalah pernyataan penawaran dari calon pengantin perempuan yang diwakili oleh walinya. Hakikat ijab adalah suatu pernyataan dari perempuan sebagai kehendak untuk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami syah. Sedangkan qabul adalah bentuk penerimaan dari calon pengantin laki-laki atas ijab pengantin calon perempuan.24

Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau wakilnya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.25

Ijab dan Kabul dilakukan didalam satu majelis, dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan Kabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan Kabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan kedua orang saksi.26

Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang menunjukan salah satu pihak berpaling dari maksud akad tersebut.27

Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz nikah atau

tazwij, yang terjemahanya adalah kawin atau nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat dalam kitabullah dan sunnah, demikian menurut Imam Asya-Syafi’i dan Hanbali.28

Jadi kalau dirinci syarat-syarat dalam ijab dan qabul adalah:

24 Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam(Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 198.

25 Ibid., 17.

26 Djamaan Nur, et al., Fiqh Munakahat…, 31.

27 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab(Jakarta: Lentera, 2001), 364.

(39)

32

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria 3) Memakai kata-kata nikah, tajwij atau terjemahanya 4) Antara ijab dan qabul bersambungan

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

6) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak dalam sedang ihram haji atau umrah

7) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi

Rukun dan syarat-syarat perkawinan tersebut di atas wajib dipenuhi, apabila tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tersebut tidaklah sah. Disebutkan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-mazahib

al-Arba’ah: “Nikah fasid yaitu nikah yang tidak memenuhi syarat-syaratnya,

sedang nikah batil adalah nikah yang tidak memenuhi rukunya. Dan hukum nikah fasid dan nikah batil adalah sama yaitu tidak sah”.29 Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) dituangkan pula mengenai rukun nikah, hal ini dijelaskan dalam pasal 14, yaitu:30

a. Calon suami b. Calon istri

c. Wali nikah d. Dua orang saksi

29 Abdurrahman al-Jaziry, et al., Kitab Al-Fiqh ‘ala al-mazahib al-Arba’ah…, 118.

(40)

33

e. Ijab dan qabul.

Sedangkan dalam undang-undang perkawinan terkait dengan syarat-syarat perkawinan diatur dalam bab II pasal 6, adalah sebagai berikut:31

1) Perkawinan harus berdasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua

3) Dalam hal salah seoarang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan

(41)

34

dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberi izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini

6) Ketentuan tersebut ayat (1-5) pasal ini berlaku sepanjang hukum agamanya masing-masing dan kepercayaanya itu tidak menentukan lain

D. Sebab-Sebab Larangan Perkawinan

Larangan perkawinan dalam bahasa Agama disebut dengan mahram. Larangan perkawinan ada dua macam, pertama, larangan abadi (muabbad), dan kedua larangan dalam waktu tertentu (muaqqad).32 Larangan abadi diatur

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 39, larangan itu disebabkan oleh: 1. Karena pertalian nasab

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkanya b. Dengan seorang wanita keturunan ayah dan ibu

c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkanya 2. Karena pertalian kerabat semenda

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkan

(42)

35

c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla al-dukhul

d. Dengan seorang wanita bekas istrinya 3. Karena pertalian sesusuan

a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas

b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah

c. Dengan seporang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah

d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunanya

(43)

36

Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan. (QS. al-Nisa’ ayat 22)

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam pasal 39 kompilasi hukum Islam pada angka 1 didahulukan larangan perkawinan terhadap mahram nasab, yaitu mahram yang timbul karena ada hubungan darah yang relefansinya adalah surah an-Nisa ayat 23, yang juga sekaligus menjadi dasar adanya mahram karena pertalian sesusuan. Sementara diangka 2 larangan terhadap mahram karena kerabat semenda atau karena perkawinan. Kompilasi mengatur secara berurutan mulai dari larangan perkawinan karena mahram nasab, mahram akibat perkawinan dan mahram karena sesusuan sesuai dengan Al-Quran surat al-Nisa (4: 22-23) dengan maksud untuk mengatur secara teratur dan terstruktur.

Pada pasal 44 kompilasi hukum Islam dijelaskan pula bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan prkawinan dengan seorang pria yang

(44)

37                                                                               

dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. Surat al-Baqarah ayat 221 dan kompilasi hukum Islam (KHI) menetapkan larangan itu, tentu memiliki pertimbangan hukum, bahwa jika perkawinan yang ada unsur perbedaan keyakinan diantara pasangan akan menimbulkan mudarat yang lebih besar, betapapun, antara pemeluk Islam dan selain Islam, terdapat perbedaan prinsip, yang tidak jarang justru menjadi pemicu munculnya konflik dalam rumah tangga, tentu hal semacam ini tidak dikehendaki oleh pasangan suami-istri manapun dalam mengarungi bahtera rumahtangga

Selain dari larangan perkawinan diatas, terdapat pula perkawinan yang dilarang oleh Islam, yaitu perkawinan yang tidak sesuai dengan yang

disyari’atkan dalam Islam, karena itu perkawinan tersebut sangat dibenci oleh

(45)

38

mawaddah dan warahmah tetapi semata-mata untuk memuaskan hawa nafsu,

meskipun dalam perkawinan ini sudah terpenuhi semua syarat dan rukunya. Perkawinan semacam inilah yang dilarang dalam Islam, berikut macam-macam perkawinan yang dilarang dalam Islam:33

1. Nikah Mut’ah

Niukah mut’ah yaitu nikah yang tujuanya semata-mata untuk

melepaskan hawa nafsu belaka untuk bersenang-senang dalam waktu yang

telah ditentukan. Nikah mut’ah ini pernah dihalalkan oleh Rasulullah Saw

di zamanya, tetapi kemudian beliau mengharamkanya untuk selama-lamanya sampai hari kiamat

2. Nikah Muhallil

Nikah muhallil yaitu perkawinan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengahalalkan bekas istri yang telah ditalak tiga kali oleh suaminya, sehingga mereka dapat kawin kembali. dalam hukum Islam seorang suami tidak dibenarkan kembali kepada istrinya yang ditalak tiga kali kecuali istri tersebut sudah menikah lagi dengan laki-laki lain dengan perkawinan yang sebenarnya kemudian bercerai atau suaminya meninggal dunia dan telah habis masa iddahnya.

3. Nikah Syigar

Nikah syigar yaitu seorang laki-laki menikahkan seorang wanita

yang dibawah perwalianya dengan laki lain, dengan perjanjian

33 Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan(Jakarta: Bulan Bintang, 1974),

(46)

39

laki lain itu menikahkan pula dengan wanita dibawah perwalianya tanpa membayar mahar.

4. Nikah Tafwid

Nikah tafwid yaitu nikah yang dalam sigat akadnya tidak dinyatakan ketersediaan membayar mahar oleh pihak calon suami kepada calon istri

5. Nikah yang kurang salah satu syarat dan rukunya

Apabila suatu pernikahan dilaksanakan dalamkeadaan kurang salah satu dari rukun dan syaratnya, maka nikah tersebut dinyatakan batal dan pernikahan itu dianggap tidak pernah terjadi

E. ‘Urf Dalam Islam

Kata ‘urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat, sedangkan menurut terminologi seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti :

“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah

menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa

perbuatan maupun perkataan”.34

Dalam bahasa yang sederhana sebenarnya kata ‘urf merupakan kata

yang sudah terbiasa terdengar ditelinga kita, secara mudah kita memahami

bahwa ‘urf adalah kebiasaan atau tradisi yang diulang-ulang, dan para ahli

fiqh berpendapat bahwa keberadaan ‘urf merupakan salah satu diantara dalil

-dalil syar’i. ‘Urf digunakan untuk menentukan standar-standar baku dalam

(47)

40

disiplin ilmu fiqh, dalam berbagai permasalahan yang secara spesifik tidak ditemukan ketentuanya didalam nash.

Menurut Abd. Wahhab Khallaf mendefinisikan ‘urf adalah sesuatu yang familiar dan dilakukan oleh manusia baik berupa ucapan, perbuatan maupun hal-hal yang semestinya ditinggalkan, sehingga beliau tidak

membedakanya dengan adat. Sesaui dengan dialektika ahli syara’ yang tidak

membedakan antara ‘urf dengan adat.35

Para Ulama ushul fiqh membagi ‘urf kepada tiga macam, diantaranya adalah:

1. Al-‘Urf al-Lafzhi

Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Salah satu contoh, pada daerah tertentu ungkapan daging yang ditujukan untuk daging sapi, padahal kata daging mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi,

karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.

(48)

41

2. Al-‘urf al-amali

Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud dengan perbuatan biasa adalah kebiasaan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentudalam satu minggu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam acara-acara khusus.

Dari segi cakupanya, ‘urf terbagi dua yaitu:

a. Al-‘urf al-‘am

Adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Katakanlah dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang dan dongkrak termasuk dalam harga jual, tanpa akad tersendiri dan biaya tambahan.

b. Al-‘urf al-khash

Adalah kebiasaan yang berlaku di daerah atau masyarakat tertentu. Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan, tetapi hal ini belum tentu berlaku di daerah lain.

Dari segi keabsahanya dari pandangan syara’, ‘Urf terbagi dua,

(49)

42

1. Al-‘urf al-Shahih

Adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash serta tidak menimbulkan mudarat kepada manusia. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.

2. Al-‘urf al-fasid

Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’

dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya kepercayaan masyarakat jawa yang tidak memperbolehkan menikahi seseorang yang rumahnya (elor kulon) utara barat bila itu terjadi, maka menurut kepercayaan mereka akan tertimpa banyak musibah. Terlepas dari pembagian ‘urf diatas, sebenarnya ada beberapa unsur atau klasifikasi dari hukum adat yang berkembangan di masyarakat, seperti dikemukakan oleh Sorojo Wignyodiporo adalah sebagai berikut:36

1. Adanya tingkah laku yang terus menerus yang dilakukan oleh masyarakat

2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis 3. Tingkah laku tersebut memiliki nilai sakral

4. Adanya keputusan kepala adat 5. Adanya sanksi

36 Sorojo Wignyodiporo, Asas asas dan Susunan Hukum Adat ( Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984),

(50)

43

6. Tidak tertulis dan ditaati oleh masyarakat.

Unsur – unsur diatas harus ada dan tercakup dalam peraturan adat sehingga dapat menimbulkan kewajiban hukum.

F. Hikmah dan Tujuan Pernikahan

Islam begitu menekankan lembaga perkawinan, tentu saja ada hikmah dan tujuan dibalik aturan yang ketat. Secara umum, Islam menerima baik lembaga perkawinan agar setiap orang memperoleh kepuasan perasaan dan seksual, sebagai sarana untuk mengurangi ketegangan, membiakkan keturunan dan kedudukan sosial seseorang.37

Hikmah dan tujuan pernikahan menurut agama Islam untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera dunia dan akhirat. harmonis dalam melaksanakan hak dan kewajiban anggota kelurga, sejahtera artinya tercipta ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga terjalinlah kasih sayang yang erat antara kedua pasangan.Allah menciptakan manusia berbekal naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam

pada itu manusia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Manusia dengan berlabel mahkluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan sang

Kholiq tentu dalam pemenuhan hasrat biologisnya memerlukan tata aturan sebagai pedoman sehingga gelar kesempurnaan itu benar-banar adanya.

(51)

44

Menurut Sudarsono ada enam hikmah dilangsungkanya perkawinan, yaitu:

1. Suami istri ikut memakmurkan bumi Tuhan dengan usaha saling tolong menolong antara keduanya yang bisa melipatgandakan hasil dan keuntungan-keuntungan sesudah manusia tidak bisa hidup dengan sempurna

2. Suami itsri hidup dengan bebas dalam pergaulan dan senggama yang teratur setelah merintis jalan yang sah

3. Mengurangi terjadinya aksi pemerkosaan kepada wanita, maksiat mata maupun maksiat kelamin

4. Suami istri itu dapat diharapkan mendapat ganjaran yang banyak dari Tuhan dengan munculnya anak-anak yang sholeh yang akan mendoakan keduanya sesudah matinya akibat adanya amal anak sholeh yang tidak pernah putus

5. Nikah itu merupakan salah satu perintah Allah

6. Hikmah nikah itu dapat menenangkan pikiran, menyehatkan dan dapat menimbulkan perbaikan akhlak

Jadi, aturan perkawinan dalam Islam sebagai tuntunan adalah menjadi sebuah keharusan serta cukup urgen keberadaanya. Sehingga tujuan dasar dilangsungkan perkawinan pun ditujukan untuk memenuhi anjuran agama.

Kalau diringkas ada dua tujuan dilangsungkan perkawinan ialah untuk memenuhi naluri manusiawi dan untuk menunaikan perintah agama.38

(52)

45

Terkait dengan naluri manusia yang termaktub diatas, Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat 14:

                                                

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Dari ayat di atas, jelas bahwa manusia mempunyai kecenderungan terhadap cinta wanita, cinta anak keturunan dan cinta akan harta kekayaan. Dalam pada itu manusia mempunyai fitrah mengenal kepada Tuhan sebagaimana tertera dalam surat ar-Rum ayat 30:

                                            

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Dan perlulah pengenalan terhadap Allah itu dalam bentuk pengenalan agama. Melihat dua tujuan diatas, dan memperhatikan uraian Imam al-Ghazali dalam ihya’ ulumuddin tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu:39

(53)

46

1. Mengembangkan keturunan

Naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah, yang dapat pengakuan dari masyarakat, Negara dan keyakinanya (agama). Agama memberi jalan hidup manusia agar bahagia di dumia dan akhirat. kebahagiaan itu dapat tercapai dengan hidup berbakti kepada Tuhan secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan bermasyarakat.

Al-Quran juga menganjurkan agar manusia selalu berdoa’a agar

dianugerahi putra terbaik yang didambakan oleh setiap suami istri, sebagaimana tercantum dalam surat al-Furkan ayat 74:













 



 







Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan mencurahkan kasih sayangnya. Sudah menjadi kodrat Allah, manusia diciptakan perpasang-pasangan serta berkeinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita. Disamping perkawinan untuk pengaturan naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggungjaw

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menjelaskan, Di dalam adat masyarakat Desa Sukaoneng, praktek larangan perkawinan dengan sepupu yang terjadi di Desa sukaoneng adalah pernikahan

Kendala dalam peralihan tersebut adanya rasa iri dan benci antara anak kandung, keponakan, maupun saudara kandung dengan anak asuh yang merupakan orang yang lebih

Berbeda dengan kiai atho’ illah ini beliau membenarkan tentang adanya larangan perkawinan tersebut memang benar kenyataanya, dan sudah menjadi tradisi yang

Apabila dilihat dari segi pelaksaannya, bagi mereka yang melanggar ketentuan larangan menikah di antara dua khotbah Idul Fitri dan Idul Adha ini dilakukan sesuai dengan syari’at

Larangan pernikahan yang ada di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro, yang dimaksud di sini adalah larangan perkawinan yang di lakukan oleh keturunan

Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu- ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara ayahmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang

Selain syarat yang dikemukakan di atas, ada syarat-syarat khusus bagi seorang yang nantinya akan menjadi keluarga sebelum melangsungkan perkawinan. Pihak pria tidak boleh

Perkawinan Antar Dukuh Karena Kepercayaan Masyarakat Muslim Dalam Perspektif Hukum Islam (Study Kasus antara Dukuh Jaten Desa Mojo dengan Dukuh Bandung Desa Beji