TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN
PERKAWINAN DENGAN SEPUPU DI DESA SUKAONENG
KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK
SKRIPSI
Oleh:
Ahamad Burhan NIM. C01212065
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
F
AKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul: Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Perkawinan
Dengan Sepupu Di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik”, ini
merupakan hasil penelitian lapangan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang Bagaimana praktek pelarangan perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik dan Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap praktek larangan perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.
Metodologi penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian studi kasus pada objek. Data penelitian dihimpun dengan melalui wawancara dan dokumenter. Teknik analisis data dengan menggunakan metode deduktif analisis yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai objek penelitian secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara Undang-Undang dengan pelaksanaan perogram. Selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis dengan pola fikir deduktif. Dekduktif adalah pola pikir yang menampilkan/memaparkan dalil-dalil umum yang berkaitan dengan syarat pelarangan perkawinan dalam hukum islam, kemudian dipakai untuk meninjau praktek pelarangan perkawinan di Desa Sukaoneng kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.
Hasil penelitian menjelaskan, Di dalam adat masyarakat Desa Sukaoneng, praktek larangan perkawinan dengan sepupu yang terjadi di Desa sukaoneng adalah pernikahan antara anak laki-laki dengan anak saudara sekandung perempuan. Masyarakat Desa
Sukaoneng mengistilahkan dengan ”Satoghelan” atau satu kakek, seperti anak Paman
dengan anak Paman atau Bibi.Perkawinan yang seperti itu dilarang di desa Sukaoneng karena berlawanan dengan prinsip adat yang berlaku, masyarakat di desa sukaoneng juga percaya perkawianan antar sepupu dapat menimbulkan putusnya tali silaturahmi apabila terjadi perselisihan di antara keduanya. Menurut hukum Islam perkawinan dengan sepupu bukan larangan dalam perkawinan. Secara umum perkawinan yang dilarang menurut Islam adalah: perkawinan dengan mahramnya, yaitu : ibu tiri, ibu kandung, anak kandung, saudara kandung seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah diajak berhubungan intim, menantu, ipar untuk dimadudan perempuan yang bersuami.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Batasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 8
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 9
G>. Kajian Pustaka ... 9
H. Definisi Operasional ... 12
I. Metode Penelitian ... 13
BAB II SYARAT DAN KETENTUAN PERKAWINAN
MENURUT ISLAM ... 18
A. Pengertian Perkawinan Menurut Hk. Islam ... 18
B. Dasar Hukum Perkawinan... 25
C. Syarat dan Rukun Perkawinan ... 30
D. Perempuan Yang Boleh Dinikahi Menurut Islam ... 32
H. Sistem Retribusi Parkir Menurut Islam ... 55
BAB III PROFIL DAN SEJARAH DESA SUKAONENG ... 38
A. Sejarah Desa... 38
B. Demografi Desa Sukaoneng ... 39
C. Letak Geografis Desa Sukaoneng ... 40
D. Keadaan Pendidikan Desa Sukaoneng ... 41
E. Keadaan Sosial Desa Sukaoneng ... 44
F. Keadaan Ekonomi... 47
G. Pemerintah Desa Sukaoneng ... 49
H. Perkawinan Dengan Sepupu di Desa Sukaoneng ... 52
BAB IV ANALISIS LARANGAN PERKAWINAN DENGAN SEPUPU DI DESA SUKAONENG KECAMATAN TAMBAK BAWEAN KABUPATEN GRESIK ... 60
A. Analisis Larangan Perkawinan Dengan Sepupu di
Kabupaten Gresik ... 60
B. Analisis Hukum Islam Tentang Larangan Perkawinan Dengan Sepupu di Desa Sukaoneng\ Kecamatan Tambak Bawean Kabuapaten Gresik... 63
BAB V PENUTUP ... 74
A. Kesimpulan ... 74
B. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin.
Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”1
Sedang dalam Kompilasi
Hukum Islam “perkawinan yang sah menurut hukum Islam merupakan
pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”2
Dari pengertian di atas, pernikahan memiliki tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Sehingga baik suami maupun isteri harus
saling melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material.3 Hal ini sejalan dengan firman Allah :
ك ۡيب لعج ا ۡيلإ ا ٓ كۡستل اج ٰ ۡ أ ۡ كسف أ ۡ كل ق خ ۡ أ ٓۦهتٰياء ۡ
َكفتي ۡقل تٰيَٓ كلٰذ يف َ إ ۚ ة ۡحر ةَد َ
Artinya:“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
1
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1. 2
Departemen Agama RI, Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991; Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), 14.
3
2
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang kaum yang berfikir.”
(QS. Ar-Rum: 21).4
Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam Islam perkawinan yang
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksual seseorang secara halal serta
untuk melangsungkan keturunannya dalam suasana saling mencintai
(mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) antara suami isteri. Jadi, pada dasarnya perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar
kedua lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk,
mencium dan hubungan intim. Perkawinan juga merupukan cara untuk
melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya
regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Dan perkawinan
memiliki dimensi psikologis yang sangat dalam, karena dengan perkawinan
ini kedua insan, suami dan isteri, yang semula merupakan orang lain
kemudian menjadi satu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling
membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi,
sehingga terwujud keluarga yang harmonis (sakinah).5
Begitu jelas Islam menjelaskan tentang hakekat dan arti penting
perkawinan, bahkan dalam beberapa undang-undang masalah perkawinan
diatur secara khusus. Seperti, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun
1975 dan lain-lain.
4
Ibid, 156. 5
3
Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
selektivitas. Artinya bahwa, seseorang ketika hendak melangsungkan
pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah
dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah.6 Hal ini untuk menjaga agar
pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada.
Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk
dinikahi, yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram
dinikahi).
Dalam hal larangan perkawinan, al-Qur’an memberikan aturan yang tegas dan terperinci. Dalam surat an-Nisa ayat 22-23 Allah SWT dengan
tegas menjelaskan siapa saja perempuan yang haram untuk dinikahi.
Perempuan itu adalah ibu tiri, ibu kandung, anak kandung, saudara kandung,
seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara
laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara
sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah diajak berhubungan intim,
menantu, ipar (untuk dimadu) dan perempuan yang bersuami.7
Berdasarkan ayat ini, dapat dipahami bahwa ada tiga kategori
perempuan yang haram untuk dinikahi. Pertama, karena ada hubungan darah
(pertalian nasab), baik hubungan nasab (keturunan) maupun karena hubungan
persusuan. Kedua, karena ada hubungan pernikahan, baik yang dilakukan
oleh ayah, diri sendiri atau anak. Dan ketiga, karena status perempuan yang
sudah menikah.
6
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media, cet. II, 2004), 144.
7
4
Sementara dalam kompilasi hukum Islam, masalah larangan
perkawinan diatur dalam pasal 39-44 Pasal 39 menyebutkan bahwa:
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita disebabkan:
1. Karena pertalian nasab:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya
atau keturunannya.
b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2. Karena pertalian kerabat semenda:
a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.
b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.
c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali
putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qabla
al-dukhul.
d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan:
a. Dengan wanita yang sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke
atas;
b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke
bawah;
c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke
bawah;
5
e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Tampaknya berkenaan dengan larangan perkawinan, baik yang
termuat dalam fiqh, undang-undang maupun kompilasi hukum Islam, tidak
menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari fiqh, undang-undang
maupun KHI. Hal ini disebabkan karena masalah perkawinan ini adalah
masalah normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang taken for granted. Di dalam hukum adat dikenal juga adanya larangan perkawinan,
bahkan lebih spesifik dari apa yang diatur oleh agama dan Undang-undangan.
Bila calon jodoh/istri berasal dari kelompok saudara ipar, orang Jawa
menyebutnya dengan istilah kerambil sejanjang. Menurut anggapan, perkawinan bentuk ini merupakan pantangan atau larangan, apabila
pantangan itu dilanggar akan mengakibatkan salah satu diantara mereka
meninggal. Perkawinan antar saudara kandung juga dilarang, bahkan bila
calon jodoh itu tidak sesuai dengan hari kelahirannya orang Jawa
menyebutnya dengan istilah neptune ora cocok, ini juga dilarang. Selain itu apabila calon isteri adalah anak saudara laki-laki ayah. Orang Jawa
menyebutnya dengan istilah sedulur pancer wali atau pancer
lanangperkawinan jenis ini harus dihindari.8
Dalam adat masyarakat Batak, yang bersifat patrilineal dan bersendi
“dalihan natolu (tungku tiga) berlaku larangan perkawinan semarga, pria dan
wanita dari satu keturunan (marga) yang sama dilarang melangsungkan
perkawinan. Jika pria Batak akan kawin harus mencari wanita lain dari marga
yang lain pula, begitu juga wanitanya. Sifat perkawinan demikian disebut
8
6
asymetris comnubium di mana ada marga pemberi bibit wanita (marga
hula-hula), ada marga dengan sabutuha (marga sendiri yang satu turunan) dan adamarga penerima wanita (marga boru). Antara ketiga tungku marga ini tidak boleh melakukan perkawinan tukar menukar (ambil beri).
Sementara di dalam masyarakat Minang, berlaku eksogami suku dan
endogamy kampung. Ini berarti bahwa orang yang sesuku di dalam satu
negeritidak boleh kawin, demikian pula orang yang sekampung tidak dapat
kawin di dalam kampung sendiri, walaupun sukunya berlainan. Perkawinan
sesuku dianggap tidak baik karena itu berarti kawin seketurunan dan
merupakan kejahatan daerah atau incest.
Dalam masyarakat Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean
Gresik, terdapat suatu perkawinan antar anggota keluarga. Perkawinan
dengan sepupu terjadi, berdasarkan keterangan sementara dari masyarakat
Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik , adalah
karena alasan harta, dan ijbar atau perjodohan. Mereka takut apabila kawin
dengan orang lain (tidak satu nasab), harta mereka akan dikuasai oleh orang
lain. Mengenai alasan ijbar, mereka berpendapat untuk mempererat tali
silaturrahmi dan melanggengkan keturunan (biasanya keturunan priyayi atau
bangsawan).
Fenomena tersebut menarik perhatian penulis, untuk meneliti lebih
jauh. Karena baik dalam hukum Islam, undang-undang maupun Kompilasi
Hukum Islam, perkawinan bentuk ini tidak diatur secara detail. Di dalam adat
masyarakat Jawa, perkawinan dengan sepupu disebut perkawinan corss
7
saudara sekandung perempuan. Perkawinan cross causin menunjukkan
adanya prinsip keturunan yang disebut bilineal, yang
menghitungkankekerabatan melalui orang laki-laki saja untuk sejumlah hak
kewajiban tertentu dan melalui garis wanita untuk sejumlah hak dan
kewajiban yang lain.
Fenomena perkawinan dengan sepupu , sebenarnya banyak terjadi di
masyarakat, karena mereka menganggap dari pada menikah dengan orang
lain, yang berbeda marga/keturunan, lebih baik dengan keluarga sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, penulis merasa ada yang perlu dikaji lebih
mendalam tentang perkawinan bentuk ini terutama dari perspektif adat.
Karena ada sebagian yang menyatakan bahwa perkawinan ini boleh
dilakukan, ada juga yang mengatakan tidak boleh dilakukan. Dalam
penelitian ini penulis memberi judul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Larangan Perkawinan Dengan Sepupu Di Desa Sukaoneng Kecamatan
Tambak Bawean Kabupaten Gresik”.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan di atas dapat di
identifikasi sebagai berikut
1. Banyaknya dorongan orang tua untuk menjodohkan anak-anaknya dengan
anak saudaranya supaya tidak hilang persaudaraannya.
2. Masih banyak yang menghawatirkan terhadap harta (biasanya keturunan
priyayi atau bangsawan). agar tidak jatuh di tangan orang lain(beda nasab)
8
3. Banyaknya pemikiran yang mengacu terhadap petuah (mitos) yang masih
belum jelas kebenarannya dalam perkawinan dengan kerabat dekat
(sepupu)
Identifikasi yang telah dikemukakan diatas, agar penelitian terarah dan
tidak menyimpang dari topik yangdibahas, maka penulis msemberi batasan
permasalahan pada :Berdasarkan perkawinan dengan sepupu di desa
sukaoneng kecamatan tambak bawean kabupaten gresik jika ditinjau dari
perundang-undangan dan hukum islam
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini antara lain:
1. Bagaimana praktek pelarangan perkawinan dengan sepupu di Desa
Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik ?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam terhadap praktek larangan perkawinan
dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean
Kabupaten Gresik?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui praktek terjadinya larangan perkawinan dengan sepupu
Di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.
9
perkawinan dengan sepupu di Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak
Bawean Kabupaten Gresik.
E. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan hasil dari penelitian ini yaitu :
1. Bagi masyarakat Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten
Gresik, dapat dijadikan bahan wawasan hukum islam memandang
perkawinan yang terjadi di daerah tersebut.
2. Bagi penulis, penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan
kontribusi pemikiran di bidang hukum Islam.
3. Bagi pembaca, diharapkan dapat menambah wawasan serta bermanfaat
dan dapat digunakan sebagai acuan/pembanding dalam pembuatan skripsi
berikutnya.
4. Sebagai salah satu syarat bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi pada
program studi Hukum Keluarga Jurusan Hukum Perdata Islam Fakultas
Syariah & Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
F. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap objek
yang sama serta menghindari anggapan plagiasi karya tertentu, maka perlu
pengkajian terhadap karya-karya yang telah ada. Diantara penelitian yang
sudah pernah dilakukan adalah sebagai berikut.
Sejauh penulusuran yang penulis lakukakan, ditemukan skripsi yang
10
Rosida dengan judul “Analisis Hukum Islam Terhadapa Larangan
Perkawinan Adat Lusan Manten di Desa Beton Kecamatan Siman Kabupaten
Ponorogo” skripsi ini membahas tentang larangan perkawinan adat lusan
manten di desa Beton Kecamatan siman Kabupaten Ponorogo yang mana
perkawinan adat lusan manten salah satu yang tidak dilarang oleh hukum
islam akan tetapi jika menggunakan pendekatan Saddu al- Zariah.9
Skripsi Nuris Setiyawati dengan judul “Pandangan Masyarakat
Terhadap Larangan Perkawinan Sepangku di Desa Jenggot Kecamatan
Krembung Kabupaten Sidoarjo Ditinjau Dari Hukum Islam” skripsi ini membahas tentang pandangan masyarakat yang melarang akan
berlangsungnya perkawinan sepangku.10
Dalam literatur-literatur fiqh klasik hampir seluruhnya membahas
tentang konsep mahram atau wanita yang haram untuk dinikahi. Di antaranya:
Imam Syafi’i dalam karyanya al-Umm, Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya,
Muhammad Jawad Mughniyah dalam Fiqh Lima Madzhab, Ibnu Rusyd
dalam Bidayatul Mujtahid dan masih banyak lagi karya-karya fiqh lain yang
membahas tentang larangan pernikahan.
Selain literatur-literatur di atas, ada beberapa karya tentang larangan
perkawinan di antaranya: Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf dalam
karyanya al-Tanbih fii Fiqhi asy-Syafi’i, Syeikh Mahmud Syaltut dalam
9Alfatur Rosida, “
AnalisisHukum Islam TerhadapaLaranganPerkawinanAdatLusanManten di DesaBetonKecamatanSimanKabupatenPonorogo”, (Skripsi--Istitut Agama Islam Negeri Sunan Ampel,2013).
10Nuris Setiyawati,”
Pandangan Masyarakat Terhadap Larangan Perkawinan Sepangku di Desa
11
Islam „Aqidah wa Syari’ah, al-Fatawa, Imam al-Ghazali dalam karyanya
Adab an-Nikah, Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia,
jugamembahas tentang larangan dalam pernikahan.
Dalam bentuk undang-undang aturan-aturan tentang larangan
perkawinan juga diatur. Di antaranya adalah Kompilasi Hukum Islam,
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
Dari semua karya yang telah disebutkan di atas, pembahasan tentang
larangan pernikahan (konsep mahram), bersumber dari al-Qur’an surat an-Nisa ayat 22-23 yang menjelaskan tentang siapa saja perempuan yang haram
untuk dinikahi, yaitu Ibu tiri, Ibu Kandung, Anak Kandung, Saudara
Kandung, seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari
saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui,
saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah diajak berhubungan
intim, menantu, ipar (untuk dimadu) dan perempuan yang bersuami.
Tampaknya dari semua pembahasan tentang larangan perkawinan
yang termuat di dalam fiqh, undang-undang maupun Kompilasi Hukum
Islam, tidak menunjukkan adanya pergeseran konseptual dari fiqh,
undang-undang perkawinan dan KHI. Hal ini disebabkan karena masalah larangan
perkawinan ini adalah masalah normatif yang bisa dikatakan sebagai sesuatu
yang takenfor granted.
Prinsip larangan Perkawinan dengan sepupu yang terjadi di
12
maupun undang-undang, seperti perkawinan yang terjadi di desa sukaoneng
kecamatan tambak bawean gresik.
Dengan demikian, penelitian yang penulis lakukan ini belum pernah
dilakukan, sehingga memerlukan kajian yang lebih komprehensif untuk dapat
mengetahui bagaimana hukum Islam memandang larangan perkawinan
dengan sepupu di desa sukaoneng kecamatan tambak bawean gresik dan
bagaimana prakteknya.
G. Definisi Operasional
Sebagai gambaran di dalam memahami suatu pembahasan maka perlu
sekali adanya pendefinisian terhadap judul yang bersifat operasional dalam
penulisan skripsi ini agar mudah dipahami secara jelas tentang arah dan
tujuannya.
Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Larangan Perkawinan Dengan Sepupu Di Desa Sukaoneng Kecamatan
Tambak Bawean Kabupaten Gresik”. Dan agar tidak terjadi kesalapahaman
di dalam memahami judul skripsi ini, maka perlu kiranya penulis uraiakan
tentang pengertian judul tersebut sebagai berikut :
Hukum Islam : Peraturan-peraturan yang dirumuskan
berdasarkan wahyu dan sunnah Rasul-nya
tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan
13
11
Dalam penelitian ini hukum islam yang
digunakan untuk menganalisis adalah al-Qur’an, Hadits dan pendapat para ulama’.
Perkawinan dengan
sepupu
: Perkawinan yang dilakukan oleh salah satu
keluarga yang mana berlangsungnya kedua
belah pihak adalah seorang anak dari anak dari
saudara kandung sendiri atau kakak kandung.
H. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan
(fieldresearch). Oleh karena itu, data-data yang dikumpulkan berasal dari datalapangan sebagai obyek penelitian. Untuk memperoleh validitas data,
maka teknik pengumpulan data yang relevan menjadi satu hal yang sangat
penting.
Dalam penelitian hukum, penelitian ini termasuk dalam penelitian
hukum sosiologis atau studi law in action. Karena mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial yang
lain, studi terhadap hukum sebagai law in action merupakan studi ilmu sosial yang non-doktrinal dan bersifat empiris.
11
14
1. Data yang dikumpulkan
a. Data tentang praktek terjadinya larangan perkawinan dengan sepupu
hasil wawancara dengan masyarakat yang melakukan perkawinan
dengan sepupu dan tokoh masyarakat di Desa Sukaoneng Kecamatan
Tambak Bawean Kabupaten Gresik.
b. Data yang berkaitan dengan larangan perkaawinan dengan sepupu di
Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik.
2. Sumber Data
Sebagaimana lazimnya penelitian hukum di masyarakat (sosio-legal research), penelitian ini membutuhkan data baik data primer yang berasal dari informan, maupun data sekunder yang berasal dari “Bahan Hukum”.
Data primer yang diperlukan berupa informasi yang terkait dengan
perkawinan antar sepupu. Oleh karena itu, informan penelitian ini terdiri
atas orang-orang yang melakukan legalisasi kejadian tersebut, dalam hal
ini yaitu Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tambak
Bawean Kabupaten Gresik.
Data sekunder adalah data yang bersumber dari literatur
perundang-undangan, dan kitab-kitab yang membahas tentang model
perkawinan tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
15
peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang
ditetapkan.12
a. Studi Dokumenter
Penelitian untuk mengumpulkan data sekunder dilakukan dengan
studi dokumentasi, khususnya peraturan perundang-undangan, dan data
statistik perkawinan antar sepupu.
b. Wawancara
Dalam hal ini dilakukan survai dan wawancara dengan metode
depth interview atau wawancara mendalam untuk mengumpulkan
data yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi.13
Wawancara juga dilakukan dengan menggunakan petunjuk wawancara
(guided interview) sebagai petunjuk atau pedoman dalam melakukan
wawancara. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat yang
melakukan perkawinan tersebut serta tokoh masyarakat dan Kepala
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten
Gresik.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah menganalisis
data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa data kualitatif,
12
Sugiyono, MetodePenelitianKuantitatifKualitatifdan R&D, 224. (Bandung: PenerbitAlfabeta, 2010), 3
13
16
dengan metode deskriptif kualitatif, yakni penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan keadaan atau fenomena melalui sudut pandang sosial.
Dalam hal ini penulis ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan
dengan perkawinan dengan sepupu, bagaimana masyarakat desa
sukaoneng tambak bawean gresik memandang hal tersebut.
Dalam mendeskripsikan data-data yang telah diperoleh, penulis
menggunakan pola berfikir deduktif, yaitu berangkat dari premis-premis
mayor atau fakta - fakta umum, kemudian fakta - fakta umum tersebut
digeneralisasikan ke dalam premis khusus atau dituangkan dalam sebuah
teori lama. Dalam studi sosial, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu
gejala normatif yang mandiri (otonom), tetapi sebagai suatu institusi sosial
yang dikaitkan secara riil dengan variabel-variabel sosial yang lain.
Hukum yang secara empiris merupakan gejala masyarakat, di satu
pihak dapat dipelajari sebagai suatu variabel penyebab yang menimbulkan
akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial. Dalam hal ini, penulis
mengamati fenomena perkawinan dengan sepupu, yang terjadi pada
masyarakat desa sukaoneng tambak bawean gresik.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan skripsi akan disusun dalam lima bab. Tiap-tiap bab
terdiri atas beberapa sub-bab sesuai dengan keperluan kajian yang akan
penulis lakukan.
Bab pertama menguraikan tentang latar belakang, identifikasi
17
hasil penelitian, kajian pustaka, definisi operasional, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab dua membahas tentang perkawinan menurut hukum Islam, yang
meliputi pengertian perkawinan, dasar hukum perkawinan, syarat dan rukun
perkawinan, macam-macam sistem perkawinan,kriteria perempuan yang
boleh dinikahi.
Bab tiga membahas tentang larangan perkawinan dengan sepupu di
Desa Sukaoneng Kecamatan Tambak Bawean Kabupaten Gresik. Dalam bab
ini juga dibahas latar geografis atau monografi desa sukaoneng tambak
bawean gresik, latar sosial budaya dan keagamaan masyarakat Desa
Sukaoneng Tambak Bawean Gresik. Dan untuk memperjelas pokok bahasan
dalam penelitian ini dibahas tentang larangan perkawinan dengan sepupu
yang terjadi di Desa Sukaoneng Tambak Bawean Gresik.
Bab empat membahas tentang kajian analisis atau jawaban dari
rumusan permasalahan dalam penelitian ini. Di dalamnya menganalisis
tentang latar sosial, budaya dan keagamaan masyarakat Desa Sukaoneng
Tambak Bawean Gresik, dan yang menjadi pokok pembahasan yaitu analisis
larangan perkawinan dengan sepupu yang terjadi di desa sukaoneng tambak
bawean gresik ketika ditinjau dari hukum Islam.
Bab lima berisi kesimpulan dari uraian-uraian yang telah dibahas dan
diperbincangkan dalam keseluruhan penelitian. Dalam bab ini juga berisi
BAB II
SYARAT DAN KETENTUAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM
ISLAM
A. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Perkawinan merupakan sunnatullah pada hamba-hamba-Nya, dan
berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan ataupun
tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan itu khususnya bagi manusia (laki-
laki dan perempuan) Allah SWT menghendaki agar mereka mengemudikan
bahtera kehidupan rumah tangganya.1 Allah SWT berfirman:
اَن ُ ّ َ َ اْ ُ ّ َ َ اِْ َ ْ َزا َ ْ َ َ اٍ ْ َ اِّ ُ اْ ِ َ
Artinya: “Dan Segala sesuatu itu Kami (Allah) Jadikan
Berpasang-pasangan Agar Kamu Semu Mau Berfikir.(Qs-Ad
Dzariyat:49.)2
Allah SWT juga berfirman dalam surat Yaa Siin ayat 36:
اَن ُ َ ْ ََ ا َ ا ِّ َ اْ ِ ِ ُن َ اْ ِ َ اُ ْرَْا اُ ِن ُ ا ِّ ا َ ّ ُ اَج َ ْزَْا اَ َ َ ا ِ ّ اَن َ ْنُ
Artinya: “Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu
berpasang- pasangan, baik (pada) tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri (manusia) dan lain-lain yang
tidak mereka ketahui.” (QS. Yaa Siin: 36).3
Dalam Islam perkawinan dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhanseksual seseorang secara halal serta untuk melangsungkan
1
Mahtuf Ahnan dan Maria Ulfa, Risalah Fiqh Wanita, Pedoman Ibadah Kaum Wanita Muslimah dengan Berbagai Permasalahannya, (Surabaya: Terbit Terang, 2010), 270.
2
Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2014, Al Qur‟an Nur Karim dan Terjemahan, 678. 3
19
keturunannya dalam suasana saling mencintai (mawaddah) dan kasih
sayang (rahmah) antara suami isteri. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
اَن ُ َ ْ ََ ا َ ا ِّ َ اْ ِ ِ ُن َ اْ ِ َ اُ ْرَْا اُ ِن ُ ا ِّ ا َ ّ ُ اَج َ ْزَْا اَ َ َ ا ِ ّ اَن َ ْنُ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).4
Dalam Al-Qur’an, perkawinan disebut dengan nikah, yang disebut
sampai 19 kali. Namun, kata nikah tersebut memiliki beberapa makna.
Pertama, kata nikah dapat berarti aqd (akad), sebagaimana disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 32:
ا ُنَ َتْ ا ِّ اٌبيِصَ ا ِل َ ِّ ِ اٍضْ ََباىَ َعاْ ُ َضْ ََباِهِباُّّ اَ ّضَفا َ ا ْ َّ َ َتََ ا َ
ً يِ َعاٍ ْ َ اِّ ُ ِباَن َ اَّّ اّنِإاِهِ ْضَفاْ ِ اَّّ ا ُ َأْ َ اََْْ َتْ ا ِّ اٌبيِصَ اِ َ ِّ ِ َ
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas (pemberian- Nya) lagi Maha Mengetahui.”5
Ayat di atas, merupakan perintah “mengakadkan” karena
mungkin seorang lajang meskipun laki-laki perlu diakadkan karena secara
4
Masykuri Abdillah, “Distorsi Sakralitas Perkawinan Pada Masa Kini”,dalam MimbarHukum No. 36 Tahun IX, 1998, hlm. 75.
5
20
psikologis ia tidak ingin atau tidak berani menikah6, demikian juga Al-
Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 221 di bawah ini:
ا َ اْ ُ ْتََنَجْعَ اْ َ َ اٍةَ ِ ْشُ اْ ِ اٌ َْيَ اٌةَ ِ ْؤُ اٌةَ اَ اّ ِ ْؤَُ ا َّّحا ِت َ ِ ْشُ ْ ا ُ ِ ْ ََ ا َ
اَكِئَ ُ اْ ُ َنَجْعَ اْ َ َ اٍكِ ْشُ اْ ِ اٌ َْيَ اٌ ِ ْؤُ اٌدْنَ َ َ ا ُ ِ ْؤَُ ا َّّحاَ ِ ِ ْشُ ْ ا ُ ِ ْ َُ
اْ ُ ّ َ َ اِس ّ ِ اِهِ ََآاُِّ َنَُ َ اِهِ ْذِِِاِةَ ِنْغَ ْ َ اِةّ َْْ ا ََِإا ُعْدَ اُّّ َ اِر ّ ا ََِإاَن ُعْدَ
اَن ُ ّ َ َتََ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman …” (QS. Al- Baqarah: 221).7
Ayat di atas memperlihatkan bahwa laki-laki dilarang melangsungkan
akad nikah dengan perempuan musyrik. Kedua, kata nikah dapat bermakna
(hubungan kelamin), karena pada dasarnyahubungan laki-laki dan
perempuan itu adalah terlarang, kecuali ada hal-hal yang membolehkannya
secara hukum syara’. Di antara hal yang membolehkan hubungan kelamin itu
adalah adanya akad nikah di antara keduanya. Dengan demikian, akad itu
adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh
menjadi boleh. Ketiga, kata nikah juga dapat berarti umur baligh (usia dewasa)8.
6
Abdul Hadi, Fiqh Munakahat dan Peraturan Perundang-undangan,Diktat Kuliah, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo,Semarang,2002,hlm.2.
7
Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2014, Al Qur‟an Nur Karim dan
Terjemahan,hal.196 8
21
Sebagaimana firman Allah:
ُ ََتَْب َ
ا
ىَ َتََيْ
ا
اَّّح
ا
َذِإ
ا
ُغَ ََب
ا
اَح َ ِّ
ا
اْنِ َف
ا
اْ ُتْ َ آ
ا
اْ ُ َْ ِ
ا
ًدْ ُر
ا
ُ ََفْد َف
ا
اْ ِ ْيَ ِإ
ا
اْ َُا َ ْ َ
ا
َ
ا
َ ُ ُ ََْ
ا
ًف َ ْ ِإ
ا
ًر َدِبَ
ا
اْنَ
ا
ُ ََنْ َ
ا
اْ َ َ
ا
اَن َ
ا
ّيِ َغ
ا
اْ ِنْ ََتْ َيْ ََف
ا
اْ َ َ
ا
اَن َ
ا
ًرِ َف
ا
اْ ُ ْأَيْ ََف
ا
اِو ُ ْ َ ْ ِ
ا
َذِ َف
ا
اْ ُتْ ََفَد
ا
اْ ِ ْيَ ِإ
ا
اْ َُا َ ْ َ
ا
ُدِ ْ َأَف
ا
اْ ِ ْيَ َع
ا
ىَنَ َ
ا
اِِّّ
ا
ًنيِ َح
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. An-Nisa‟: 6).9
Menurut Imam Syafi'i, yang dimaksud umur dewasa adalah 15
tahun. Nikah juga dapat bermakna akad dan semua akibatnya, yaitu biaya
hidup dalam rumah tangga, atau paling tidak biaya akad nikah. Dalam
al-Qur'an perkawinan juga disebut dengan
ج ز
. Kata ini tidak banyak disebutkandi dalam Al-Qur'an sebagai suatu perintah harfiah,secara aktif terhadap
perkawinan, melainkan sebagai “kata benda” yang pasif. Sehingga kata
(
ج ز
ا-
ج زَ
-ا
ج ز
) berarti jodoh atau kawan, seperti tersirat dalam suratar-Rum ayat 21.
Kata tersebut di atas cukup banyak disebutkan dalam al-Qur'an
dengan konotasi yang paling dominan adalah jodoh. Jumlah ayatnya tidak
kurang dari 78 ayat yang tersebar di banyak surat. Kata jodoh itu digunakan
sebagai fenomena umum baik makhluk manusia maupun lainnya
sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat Yaa Siin ayat 36 seperti
disebutkan di atas. Kata nikah dan tazawwaj, dalam ilmu fiqh disebut dengan
9
22
kata sharih (denotatif), atau kata yang lazim dipakai oleh masyarakat muslim.10
Dari segi bahasa nikah memiliki beberapa arti, sedangkan
menurut istilah para ahli fiqh (fuqaha), nikah didefinisikan sebagai akad yang
disiarkan yang berdasarkan rukun-rukun dan syarat-syarat.11 Sayid Sabiq
dalam Fiqh Sunnah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menjadikan
halalnya menggapai kenikmatan bagi masing- masing suami isteri atas
dasar ketentuan yang disyari’atkan Allah SWT.12
Dalam Kompilasi Hukum Islam, perkawinan merupakan akad
yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah dan merupakan ibadah bagi yang melaksanakannya.13 Dan bertujuan
untukmewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan warrahmah.14
Dari pengertian di atas, dapat diambil pengertian bahwa: pertama,
perkawinan merupakan cara penghalalan terhadap hubungan antar kedua
lawan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk,
mencium dan hubungan intim. Kedua, perkawinan juga merupakan cara
untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena
tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah.
10
Ibid, 5. 11
Imam Taqiyuddin al-Dimasyqi, Kifayat al-Akhyar, Juz 2, (Bandung: PT. al-Ma’arif, 2010), 36. 12
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 2010), 7. 13
Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam. Lebih lengkap lihat Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000, 14.
14
23
Dan ketiga, perkawinan memiliki dimensi psikologis yang sangat
dalam, karena dengan perkawinan ini kedua insan, suami dan isteri, yang
semula merupakan orang lain kemudian menjadi bersatu. Mereka saling
memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling
mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang
harmonis (sakinah).
Perkawinan dalam undang diatur secara khusus, yaitu
undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974. Di dalam undang-undang-undang-undang ini, diatur
bagaimana perkawinan dapat berlangsung, dan semua hal yang berhubungan
dengan perkawinan. Dalam pasal 1 Undang-undang No.1 Tahun 1974
disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga,rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.15
Dalam KUH Perdata dikatakan undang-undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam pasal 81 KUH
Perdata dikatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh
diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat
agama mereka, bahwa perkawinan di hadapan pegawai pencatat sipil telah
berlangsung.16
15
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990, 7.
16
24
Berkaitan dengan takrif atau definisi nikah (perkawinan) di atas, ada beberapa hal penting yang berlaku umum di seluruh dunia Islam, ada
dua yaitu:
1. perkawinan merupakan perbuatan hukum yang dilangsungkan dalam
bentuk akad atau kontrak. Dawoud el Alami dan Doreen Hinchliffe, menyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah sebuah
kontrak, dan seperti halnya semua kontrak-kontrak yang lain, perkawinan
disimpulkan melalui pembinaan suatu penawaran (ijab) oleh satu pihak dan pemberian suatu penerimaan (qabul) oleh pihak yang lain. Bukan bentuk kata-katanya itu sendiri yang menjadi wajib, sepanjang maksudnya
dapat disimpulkan (dipahami), maka suatu akad perkawinan adalah jelas
(sah).17
2. Islam hanya mengakui perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan. Dalam undang-undang perkawinan Indonesia
(No. 1 Tahun 1974) disebutkan dalam anak kalimat “antara seorang pria
dengan seorang wanita” atau “aqdun bayn ar-rajul wa al-mar‟ah” dalam
undang-undang perkawinan lain.18
Ketiga, tujuan utama perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan
dalam rangka membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia atau
sakinah, sebagaimana disebutkan dalam undang-undang No.1 Tahun 1974
“dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal” atau
“to establish a bond a shared life and for procreation,” “with the object of
17
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 50-51.
18
25
the faming of a family and producing children,” dalam undang-undang
perkawinan dunia Islam.19
Perkawinan merupakan anjuran sebagai umat beragama, maka
hendaknya dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya, sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 974: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”20
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya
menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua
belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka
masing-masing.
B. Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu perbuatan yang diperintah oleh Allah
SWT dan juga oleh Nabi SAW. Banyak perintah-perintah Allah dalam
al-Qur'an untuk melaksanakan perkawinan. Dan perintah Nabi SAW dalam
sebuah hadits yang juga menganjurkan perkawinan. Di antara firman Allah
SWT yang memerintahkan perkawinan adalah:
اَثاُثَ ا َََْثَ اِ َ ِّ اَ ِ اْ ُ َ اَب َطا َ ا ُ ِ ْ َفاىَ َتََيْ ا ِِا ُطِ ْ َُ ا َ اْ ُتْنِ اْنِإَ
ُ ُ ََ ا َ اََْدَ اَكِ َذاْ ُ ُ ََْْ اْ َ َ َ ا َ اْ َ اًةَدِح َ ََفا ُ ِدْ ََ ا َ اْ ُتْنِ اْنِ َفاَعَ ُرَ
19
Ibid, 54. 20
26
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak- hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An
-Nisa‟:3)21
اًةََْْرَ اًةّدَ َ اْ ُ َ َْيََباَ َ َ َ ا َ َْيَ ِإا ُ ُ ْ َتِ ا ً َ ْزَ اْ ُ ِ ُنَْ َ اْ ِ اْ ُ َ اَ َ َ اْنَ اِهِ ََآاْ ِ َ
اَن ُ ّ َنََتََ اٍمْ َ ِ ا ٍتََ اَكِ َذا ِِاّنِإ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21).22
Adapun sumber-sumber naql yang berasal dari Rasulullah
SAWsebagai berikut:
ا َل َقاُهْ َعَ
ا:
(ا
اِةَ َنْ ِ اُ ُ ََْاماَِّّ اُل ُ َراَن َ
ا,
ا ًد ِدَ ا ًيْ ََ اِ ُتََنَّت اِ َعاىَ َْ ََ َ
ا,
اُل ُ ََ َ
ا:
اِةَ َيِ ْ َ اَمْ ََ اَ َيِنْ َْاَ اُ ُ ِباٌ ِث َ ُ ا ِِّّإاَد ُ َ ْ َ اَد ُدَ ْ َ ا ُ ّ َزََ
)
اُدََْْ اُه َ َر
ا,
اَن ّنِحاُ ْبِ اُهَ ّ َ َ
Artinya: “Menikahlah dengan wanita yang penuh cinta dan yang
banyak melahirkan keturunan. Karena sesungguhnya aku
merasa bangga karena banyak kaumku di hari kiamat kelak.”
(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).23
21
Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2014, Al Qur‟an Nur Karim dan Terjemahan, 354.
22
Ibid.,359 23
27
Dari begitu banyaknya perintah Allah dan Nabi untuk
melaksanakan perkawinan itu, maka perkawinan itu adalah perbuatan yang
lebih disenangi Allah dan Nabi untuk dilakukan. Namun perintah Allah dan
Rasul untuk melangsungkan perkawinan itu tidaklah berlaku secara mutlak
tanpa persyaratan.24
Persyaratan untuk melangsungkan perkawinanitu terdapat dalam
hadits Nabi dari Abdullah bin Mas’ud:
ا ِب َنّش َ اَ َشْ َ اََاماَِّّ اُل ُ َرا َ َ اَل َقاهاٍد ُ ْ َ اِ ْباَِّّ اِدْنَعاْ َع
ا!
اَع َطَتْ اِ َ
اْجّ َزََتََيْ ََفاَةَ َنْ َ اُ ُ ْ ِ
ا,
اِ َصَنْ ِ اُضَغَ اُهّ ِ َف
,
اِجْ َنْ ِ اُ َصْحَ َ
ا,
اِهْيَ َ ََفاْعِطَتْ َ اََْاْ َ َ
اِمْ ّص ِ
;
اٌ َ ِ اُهَ اُهّ ِ َف
)
اا
اِهْيَ َعاٌ َنَّتُ
Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kamu sekalian
yang mampu kawin, kawinilah: maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan mata (menenangkan pandangan) dan lebih memelihara farji. Barangsiapa yang belum kuat kawin (sedangkan sudah menginginkannya), berpuasalah!
Karena puasa itu dapat melemahkan syahwat.” (HR.
Muttafaq „Alaih).
Kata-kata al-baat mengandung arti kemampuan melakukan hubungan
kelamin dan kemampuan dalam biaya hidup perkawinan. Kedua hal
merupakan persyaratan suatu perkawinan. Pembicaraan tentang hukum asal
dari suatu perkawinan yang diperbincangkan di kalangan ulamaberkaitan
dengan telah dipenuhinya persyaratan tersebut:
صاِهاُلْ ُ َراَل َقا،ى ين اة راىا
ا:
ا،ِ ْ ِّد اَ ْصِ اَ َ ْ َتْ اِدَ ََفاُدْنَ ْ اَجّ َزََ ا َذِ
ىِق َن ْ ا ِ ْصِّ ا ِىاَهاِ ّتََيْ ََف
.
24
28
Artinya: “Kawinlah kamu sekalian! Berketurunanlah kamu sekalian; berkembangbiaklah kamu sekalian!Maka sesungguhnya aku merasa bangga dengan banyaknya jumlah kamu terhadap para Nabi di hari kiamat.” (HR. Baihaqi).25
Berdasarkan dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya
perkawinan di atas, maka dapat dipahami bahwa hukum asal perkawinan
adalah mubah (boleh). Menurut jumhur ulama hukum menikah adalah
sunnah, sedangkan menurut golongan dzahiri, menikah hukumnya wajib.26 Terlepas dari perbedaan pendapat para imam mazhab, maka hukum
perkawinan itu dapat berubah-ubah berdasarkan „illat hukum.27
Dengan demikian ada lima tingkatan hukum yaitu:28
1. Wajib: Perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang memiliki
kemampuan untuk melaksanakannya, dan ada kekhawatiran apabila tidak
kawin akan terjerumus dalam perbuatan zina. Hal ini disebabkan karena
menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib bagi seseorang, sedangkan
penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan jalan perkawinan, maka
bagi orang tersebut wajib hukumnya melaksanakan perkawinan.
2. Sunnah: Perkawinan hukumnya sunnah bagi orang yang berkeinginan
kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan. Untuk melaksanakan
dan memikul kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga
tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Melakukan perkawinan lebih
baik daripada hidup menyendiri dengan hanya beribadah. Oleh sebab itu
25
Ibid, 44. 26
Ibn Rusyd al-Qurtuby al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid, juz II, Beirut, Libanon: (Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 2010), 196.
27
Prof. Dr. Mukhtar Yahya dan Prof. Drs. Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1996), 83.
28
29
para pendeta yang sibuk dengan ibadah mereka dan tidak mau menikah itu
tidak termasuk ajaran Islam.
3. Mubah: Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa hukum asal pernikahan
adalah mubah atau boleh. Artinya, perkawinan boleh dilaksanakan bagi
orang yang mempunyai harta benda, tetapi apabila tidak kawin tidak akan
berbuat zina dan andai kata kawin tidak akan menyia-nyiakan
kewajibannya terhadap isteri. Perkawinan ini dilakukan sekedar memenuhi
kesenangan bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga
keselamatan hidup beragama.
4. Makruh: Perkawinan menjadi makruh bagi seseorang yang mampu dari
segi material, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama hingga
tidak akan khawatir terseret dalam perbuatan zina, tetapi mempunyai
kekhawatiran memenuhi kewajibannya terhadap isteri, meskipun tidak
akan berakibat menyusahkan pihak isteri, misalnya pihak isteri tergolong
orang kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk menikah.
5. Haram: Perkawinan menjadi haram apabila seseorang belum siap untuk
melaksanakan perkawinan, sehingga apabila kawin akan menyusahkan
isterinya dan tidak mampu memberi nafkah. Dengan demikian,
perkawinan merupakan jembatan baginya untuk berbuat dzalim.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dasar-dasar perkawinan disebutkan
dalam pasal 2-10. Pasal 5 KHI menyebutkan bahwa perkawinan dapat
30
maka setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan yang dimaksud,
dilaksanakan oleh Pegawai Pencatat Nikah
Dengan demikian setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan
dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Tanpa pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah, maka perkawinannya tidak memiliki kekuatan
hukum (pasal 6). Begitu juga dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1974,
bahwa perkawinan bisa dikatakan sah apabila dicatat, sebagaimana undang-
undang yang berlaku.29\
C.Syarat dan Rukun Perkawinan
Suatu perkawinan dapat dikatakan sah, apabila telah memenuhi rukun
dan syarat dalam perkawinan. Apabila salah satu dari rukun maupun syarat
tidak dipenuhi, maka perkawinannya tidak sah. Abdurrahman al-Jaziry
mengemukakan bahwa nikah yang tidak memenuhi syarat, maka status
nikahnya menjadi fasid (rusak), sedangkan nikah yang tidak memenuhi rukun maka nikahnya menjadi bathil (batal).30
Adapun syarat-syarat perkawinan mengikuti rukun-rukunnya, yaitu:31
1. Calon mempelai pria, dengan syarat:
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
29
Lihat pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. 30
Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Maktabah al-Tijariyah Kubra), 118.
31
31
c. Jelas orangnya
d. Dapat memberikan persetujuan
e. Tidak dapat halangan perkawinan
2. Calon mempelai wanita, dengan syarat:
a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Jelas orangnya
d. Dapat dimintai persetujuannya
e. Tidak terdapat halangan perkawinan
f. Wali nikah, dengan syarat:
a) Laki-laki
b) Dewasa
c) Mempunyai hak perwalian
d) Tidak terdapat halangan perwaliannya
g. Saksi nikah, dengan syarat:
a) Minimal dua orang laki-laki
b) Hadir dalam ijab qabul
c) Dapat mengerti maksud akad
d) Islam
e) Dewasa
h. Ijab Qabul, dengan syarat:
a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
32
c) Memakai kata-kata nikah, tazwij, atau terjemahan dari kata nikah atau
tazwij
d) Antara ijab dan qabul bersambungan
e) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya
f) Orang yang berkait dengan ijab qabul tidak sedang dalam ihram
haji/umrah
g) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang, yaitu:
calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai wanita atau
wakilnya, dan dua orang saksi.32
D. Perempuan yang Boleh Dinikahi Menurut Islam
Setelah mengetahui rukun dan syarat perkawinan, bagi seorang
muslim yang hendak melangsungkan perkawinan, harus mengetahui lebih
dahulu siapa pasangan yang akan mendampingi nantinya. Hal ini penting
untuk diperhatikan, agar nantinya setelah menjalani kehidupan rumah tangga
tidak terjadi hal-hal yang tidak kita rencanakan. Dengan mengetahui siapa
pasangan kita, maka akan terjaga dan terpelihara status perkawinan kita.
Dalam sebuah hadits Nabi dijelaskan bahwa:
33
Artinya: Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda: “Dikawini
perempuan karena 4 (empat) perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamnya, maka pilihlah
karena agamanya maka akan selamatlah engkau.” (HR. Bukhari).
Hadits di atas menjelaskan anjuran bagi seorang muslim apabila
hendak mencari pasangannya. Ada 4 (empat) perkara yang harus diperhatikan
dalam memilih pasangan yaitu karena hartanya, karena keturunannya,
kecantikannya dan karena agamanya:
a. Karena Hartanya
Laki-laki baik dahulu maupun sekarang, menginginkan kawin
dengan perempuan yang kaya. Padahal hal ini belum tentu berdampak
positif. Karena orang yang mementingkan perkawinan karena
mengharapkan harta kekayaannya semata dapat menjatuhkan harga
dirinya. Lebih-lebih hal ini timbul dari pihak laki-laki, sebab akan
menjatuhkan dirinya di bawah pengaruhperempuan darikekayaannya.33
Dalam Firman Allah SWT juga dijelaskan:
اْ ِ ا ُ َنَْ َ ا ََِِ اٍضْ ََباىَ َعاْ ُ َضْ ََباُّّ اَ ّضَفا َِِاِ َ ِّ اىَ َعاَن ُ ّ ََقاُل َ ِّ
اّ َُز ُشُ اَن ُف َََا ِِا َ اُّّ اَظِنَحا َِِا ِبْيَغْ ِ اٌت َظِف َحاٌت َتِ َقاُت َِِ ّص َفاْ ِِا َ ْ َ
اايِنَ اّ ِ ْيَ َعا ُغَْنََ ااَفاْ ُ َ ْ َطَ اْنِ َفاّ ُ ُبِ ْض َ اِعِ َضَ ْ ا ِِاّ ُ ُ ُجْ َ اّ ُ ُظِ َف
ًرِنَ ا ّيِ َعاَن َ اَّّ اّنِإ
Artinya: Sesuatu yang telah mereka (laki-laki) nafkahkan dari harta-
hartanya.” (QS. An-Nisa‟: 34)
33
34
Mengharapkan isteri yang kaya, hanya karena semata-mata ingin
mengharap kekayaan, sungguh merupakan suatu pertimbangan yang jauh
dari tuntunan baginda Rasul.34
b. Karena keturunan atau kebangsawanannya
Pandangan ini sungguh merupakan pandangan yang kurang mulia.
Sebab dalam ajaran Islam, kemuliaan tidak terletak pada keturunan atau
kebangsawanan. Kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah orang yang
paling bertaqwa kepada-Nya35, sebagaimana dinyatakan dalam firman
Allah:
اّنِإا ُفَر َ ََتِ اَ ِئ َنََقَ اً ُ ُ اْ ُ َ ْ َ َ َ اىَثَْ ُ َ اٍ َ َذاْ ِ اْ ُ َ ْ َ َ اِّّإاُس ّ ا َ َُ َ اََ
اٌرِنَ اٌ يِ َعاَّّ اّنِإاْ ُ َ َْ َ اِّّ اَدْ ِعاْ ُ َ َ ْ َ
Artinya: “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
teliti.” (QS. Al-Hujurat: 13).36
Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa barangsiapa mengawini
seorang perempuan karena kebansawanannya, niscaya tidak akan
bertambah kebangsawanannya kecuali mendapat hinaan. Memilih calon
isteri karena mengharap atau menginginkan kebangsawanannya semata
34
Ibid, 39. 35
Ibid, 40. 36
35
adalah suatu larangan. Karena kebangsawanan seseorang (suami-isteri)
tidak mungkin berpindah kepada orang lain.
Dalam Islam dianjurkan agar kita memilih perempuan dari
golongan keluarga yang baik-baik, yang kokoh dalam mengamalkan
ajaran-ajaran agama. Dengan demikian, kelak dia akan dapat mendidik
anak-anaknya secara baik sesuai tuntunan Rasulullah. Sebaliknya, jika
memilih calon isteri yang tidak baik agamanya, sedangkan dia tidak
shalat, tidak puasa, tidak suka membaca Al-Qur’an, tidak mau membayar
zakat dan ibadah-ibadah lainnya, maka dikhawatirkan didikan yang
diberikan kepada anak-anaknya tidak baik pula.37
c. Karena kecantikannya
Seorang laki-laki apabila hendak menikah, dianjurkan untuk
memilih calon isteri yang cantik. Hal ini penting, karena dapat
menyenangkan suami yang akhirnya bermuara pada kepuasan rohani
(seksual). Dengan kecantikan biasanya dapat menyebabkan timbulnya
keserasian dan kerukunan hidup suami isteri. Keduanya saling mencintai
dan menyayangi. Sadar akan hal tersebut, nabi Muhammad SAW,
mengajarkan kaum laki-laki yang akan menikah, hendaklah terlebih
dahulu dilihat perempuan yang akan dinikahinya.38
Nabi SAW bersabda, yang artinya “janganlah kamu mengawini
perempuan itu karena ingin melihat kecantikannya, mungkin
kedantikannya itu akan membawa kerusakan bagi mereka sendiri, dan
37
Ibid, hlm. 41. 38
36
janganlah kamu mengawini mereka karena mengharap harta mereka,
mungkin hartanya itu akan menyebabkan mereka sombong. Tetapi
nikahilah mereka dengan dasar agama. Dan sesungguhnya hamba sahaya
yang hitam lebih baik asal ia beragama.39
d. Karena agamanya
Pandangan ini merupakan pandangan yang paling tepat. Seseorang
yang akan menentukan pilihan jodohnya bukan hanya karena harta
kekayaannya, keturunan atau kebangsawanannya, kecantikannya. Tapi
unsur yang paling penting adalah memilih istri yang beragama Islam serta
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dia
dapat melaksanakan kewajibannya dalam rumah tangga.40
Dijelaskan juga dalam Firman Allah.SWT yaitu41:
اْ ِِا َ ْ َ اْ ِ ا ُ َنَْ َ ا ََِِ اٍضْ ََباىَ َعاْ ُ َضْ ََباُّّ اَ ّضَفا َِِاِ َ ِّ اىَ َعاَن ُ ّ ََقاُل َ ِّ
اّ ُ ُظِ َفاّ َُز ُشُ اَن ُف َََا ِِا َ اُّّ اَظِنَحا َِِا ِبْيَغْ ِ اٌت َظِف َحاٌت َتِ َقاُت َِِ ّص َف
اَن َ اَّّ اّنِإاايِنَ اّ ِ ْيَ َعا ُغَْنََ ااَفاْ ُ َ ْ َطَ اْنِ َفاّ ُ ُبِ ْض َ اِعِ َضَ ْ ا ِِاّ ُ ُ ُجْ َ
ًرِنَ ا ّيِ َع
Artinya:“Maka perempuan yang baik ialah yang taat kepada suami, serta memelihara diri di balik belakang suaminya sebagaimana Allah telah memeliharakan dirinya. (QS. 4:34)42
Pengertian memelihara diri yang dimaksud dalam firman Allah
itu adalah memelihara kehormatannya maupun kehormatan suaminya
39
Ibid, 42. 40
Ibid, 43. 41
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran Nur Karim dan Terjemahan, thn,2004, 674. 42
37
serta rahasia suami dan keluarganya, rahasia rumah tangganya dengan
cara yang diwajibkan Allah. Dalam perkawinan antar anggota keluarga
yang mendasari terjadinya perkawinan ini adalah untuk menyambung
tali silaturrahim antar kedua keluarga dan juga untuk menjaga
BAB III
PROFIL DAN SEJARAH DESASUKAONENG
A. Sejarah Desa
Sejarah Desa Sukaoneng tidak terlepas dari sejarah namanya.
Disamping itu juga kondisi lingkungan masyarakatnya yang banyak lembaga
pendidikan. Bahkan sekitar tahun 1947 di Sukaoneng sudah berdiri lembaga
pendidikan Pesantren yang sangat pesat. Diantaranya Ponpes Darul Hikam
yang terletak di Dusun Rujing, sampai saat ini ( Tahun 2015) sudah berdiri 5
pondok pesantren yang tersebar di bebarapa dusun Desa Sukaoneng
Nama Sukaoneng di ambil dari bahasa Bawean yang berasal kosa kata
”Soka”atau suka yang berarti suka atau Senang, dan ”Oneng” yang berarti
Tahu (bukan TAHU makanan) atau pengetahuan sehingga arti dari kata
“Sukaoneng” adalahsuka pengetahuan. Jadi Sukaoneng adalah desa yang
penduduk dan masyarakatnya senang menimbah ilmu pengetahuan.
Adapun kepala desa yang pernah menjabat hingga sekarang adalah
sebagai berikut:
1. Tayyib (tahun 1932 s.d 1959)
2. Akhyar (tahun 1960s.d 1984)
3. Moh. Zaini (tahun 1985s.d 1999)
4. Ishaq (tahun 2000 s.d 2013)
5. Abdul hayyi ( Tahun 2013 s.d Sekarang )1
1
39
B. Demografi Desa Sokaoneng
1. Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2015 :
a. Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin
- Laki – laki : 1097Jiwa
-Perempuan : 1161 Jiwa
Jumlah : 2258Jiwa
b. Jumlah Kepala Keluarga : 474 KK
-Laki – laki : 412 Rumah
- Lainnya : 62 Rumah
c. Jumlah Penduduk menurut kewarganegaraan
-Laki – laki : 1097 Jiwa
Perempuan : 1161Jiwa
Jumlah : 2258Jiwa
d. Warga Negara Asing
-Laki – laki : 0 Jiwa
Perempuan : 0 Jiwa
Jumlah : 0 Jiwa
e. Jumlah Penduduk menurut Agama/Kepercayaan pada Tuhan YME
- Islam : 2258 Orang
- Keristen Protesten : 0 Orang
- Hindu : 0 Orang
40
Jumlah : 2258 Jiwa
f. Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian
- Pegawai Negeri : 11 Orang
- TNI / Polri : 0 Orang
- Karyawan Swasta : 0 Orang
- Wiraswasta / Pedagang : 40 Orang
- Tani : 453 Orang
- Buruh Tani : 679 Orang
- Nelayan : 347 Orang
- Pertukangan : 61 Orang
- Pensiunan : 07 Orang
- Jasa : 11 Orang
- Lain – lain : 123 Orang
Tingkat kemiskinan di DesaSukaoneng termasuk tinggi. Dari jumlah
474KK di atas, sejumlah 175 KK tercatat sebagai Pra Sejahtera;87 KK
tercatat Keluarga Sejahtera I;120 KK tercatat Keluarga Sejahtera II;68 KK
tercatat Keluarga Sejahtera III;24 KK sebagai sejahtera III plus. Jika KK
golongan Pra-sejahtera dan KK golongan I digolongkan sebagai KK golongan
miskin, maka lebih 48% KK DesaSukaoneng adalah keluarga miskin.2
C. Letak Ggeografis Desa Sukaoneng
2
41
Secara geografis Desa Sukaoneng. terletak pada posisi 7°19'-7°31'
Lintang Selatan dan 113°10'-111°40' Bujur Timur. Topografi ketinggian desa
ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 156m di atas permukaan air
laut. Berdasarkan data BPS kabupaten Gresiktahun 2004, selama tahun 2004
curah hujan di Desa Sukaoneng rata-rata mencapai 2.400 mm. Curah hujan
terbanyak terjadi pada bulan Desember hingga mencapai 405,04 mm yang
merupakan curah hujan tertinggi selama kurun waktu 2000-2010.
Secara administratif, Desa Sukaoneng terletak di wilayah Kecamatan
Tambak Kabupaten Gresik dengan posisi dibatasi oleh wilayah desa-desa
tetangga. Disebelah Utara berbatasan dengan Desa Sukalela Kecamatan
Tambak Kabupaten Gresik Di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Gelam
Di sisi Selatan berbatasan dengan Desa Teluk Jati DawangKecamatan
Tambak, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan desa Kelompang Gubug
Kecamatan Tambak Kabupaten Gresik.
Jarak tempuh Desa Sukaonengke ibu kota kecamatan adalah 2.5 km,
yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar 15 menit. Sedangkan jarak tempuh
ke ibu kota kabupaten adalah 83mil, yang dapatditempuh dengan waktu
sekitar 3 ja