• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN JILU DI DESA DELING KECAMATAN SEKAR KABUPATEN BOJONEGORO.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN JILU DI DESA DELING KECAMATAN SEKAR KABUPATEN BOJONEGORO."

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN

PERKAWINAN JILU DI DESA DELING KECAMATAN SEKAR

KABUPATEN BOJONEGORO

SKRIPSI

OLEH :

MUKHAMMAD WAHYU ANGGA PRAWIRA

NIM : C01210060

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM

PRODI AHWAL AL SYAKHSIYYAH

(2)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN

PERKAWINAN JILU DI DESA DELING KECAMATAN SEKAR

KABUPATEN BOJONEGORO

SKRIPSI

Diajukan kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu

Ilmu Syariah

OLEH :

Mukhammad Wahyu Angga Prawira

NIM : C01210060

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

JURUSAN HUKUM PERDATA ISLAM

PRODI AHWAL AL SYAKHSIYYAH

(3)
(4)
(5)
(6)

x

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Larangan Perkawinan

JILU di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro ini merupakan hasil penelitian lapangan untuk menjawab pertanyaan: Apa yang melatar belakangi larangan kawin dari anak JILU di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro? Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap larangan kawin dari anak

JILU di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro?

Untuk menjawab permasalahan di atas maka data penelitian diperoleh melalui wawancara dan observasi. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analitis, yang menggambarkan fenomena atau keadaan yang mengenai adat larangan perkawinan JILU, setelah data terkumpul langkah selanjutnya yaitu meninjau data dengan ketentuan hukum Islam baik Al-Quran dan Hadis untuk menilai fakta di lapangan menggunakan pola pikir Induktif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa praktik larangan perkawinan JILU

merupakan perkawinan yang dilakukan antara anak nomer satu dari pihak laki-laki dengan anak nomer tiga dari pihak perempuan begitu sebaliknya antara anak nomer satu dari pihak perempuan dengan anak nomer tiga dari pihak laki-laki. Praktik perkawinan JILU ini tidak boleh dilakukan menurut adat larangan perkawinan JILU, namun menurut hukum Islam boleh dilakukan. Larangan perkawinan JILU di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro adalah salah satu adat yang tidak ada pada hukum Islam. Larangan perkawinan dalam Islam terdapat pada ayat 23-24 surat An-Nisa’.

Perkawinan merupakan suatu Ibadah, yang menentukan sah tidaknya suatu ibadah adalah terlaksananya rukun dan syarat perkwinan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Kepada tokoh agama hendaknya memberikan penjelasan kepada masyarakat secara bertahap tentang perkawinan, dan adat larangan perkawinan JILU

boleh dilakukan dan tidak berakibat buruk dari perkawinan JILU. Semua kejadian baik dan buruk hanya dari Allah bukan dari pelanggaran adat larangan perkawinan

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 9

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 12

G. Definisi Operasional... 13

H. Metode Penelitian... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II : LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM ... 18

A. Pengertian Hukum Islam ... 18

Definisi Hukum Islam ... 18

(8)

1. Pengertian Perkawinan ... 20

2. Hukum melakukan Perkawinan ... 23

3. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan... .... 28

4. Tujuan Perkawinan... 38

5. Hikmah Perkawinan ... 41

6. Larangan Perkawinan ... 41

BAB III : LARANGAN PERKAWINAN JILU DI DESA DELING KECAMATAN SEKAR KABUPATEN BOJONEGORO ... 52

A. Gambaran Umum Masyarakat Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro ... 52

1. Keadaan geografis Desa Deling ... 52

2. Keadaan sosial keagamaan ... 54

3. Kondisi sosial pendidikan ... 56

4. Kondisi Budaya ... 59

B. Alasan di Larangnya Pernikahan Jilu di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro .... 63

1. Gambaran Pernikahan Jilu ... 63

2. Praktek perkawinan Jilu ... 67

3. Alasan Jilu dijadikan larangan pernikahan di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro ... 67

BAB IV : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN PERKAWINAN JILU DI DESA DELING KECAMATAN SEKAR KABUPATEN BOJONEGORO ... 69

A. Pandangan Masyarakat Terhadap Larangan Perkawinan Jilu di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro ... 69

(9)

BAB V : PENUTUP ... 79

A. Kesimpulan ... 79

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81

(10)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam melarang umatnya melepaskan naluri seksual secara bebas tidak terkendali. Karena itulah, ia mengharamkan perbuatan zina, dengan segala hal yang menghantarkannya dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Pada saat yang sama, Islam juga memerangi kecenderungan yang melawan naluri dan mengekangnya. Kerena itulah, ia menyerukan kepada perkawinan, melarang kecenderungan melajang terus dan mengebiri sendiri. Tidak halal bagi seorang muslim berpaling dari perkawinan padahal ia mampu melakukannya, dengan alasan konsentrasi untuk ibadah menjahui dari dunia dan mengabdi secara penuh kepada Allah SWT.1

Perkawinan merupakan bagian dari rasa saling kasih mengasihi dan cinta mencintai dari lubuk hati terdalam antara lelaki dan perempuan yang diciptakan oleh Tuhannya. Sudah menjadi kodrat Irodah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh-jodohan dan diciptakan oleh Allah SWT, mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita.2

Dalam nikah itu terkandung keutamaann-keutamaan, namun ada pula bahaya-bahayanya. Sebagian ulama berpendapat bahwa menikah itu

1

Yusuf Qardhawi, Al-Halal Wa Al-Haram Fi Al-Islam, (Diterjemahkan Wahid Ahmadi, dkk, Halal Haram dalam Islam, Solo: Era Intermedia, Cet. 4, 2007), 245.

2

(11)

2

lebih utama dari pada menyucikan diri untuk beribadah kepada Allah. Hal ini tentu sangat berlebihan. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa yang lebih utama adalah tidak menikah sehingga lebih bisa berkonsentrasi dalam beribadah kepada Allah.3

Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa hidup berpasangan-pasangan, hidup berjodoh-berjodoh adalah naluri segala mahluk Allah, termasuk manusia.4 Sebagaimana firman-Nya dalam surat Az-Zariyat ayat 49:

َنوُركَذَت ْمُكلَعَل َِْْجْوَز اَنْقَلَخ ٍءْيَش ِلُك ْنِمَو

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”5

Nikah secara harfiah berarti aqad atau ikatan. Dalam ajaran Islam nikah berarti suatu perjanjian suci antara seorang pria dengan wanita untuk membangun suatu rumah tangga dalam ikatan sebagai suami isteri sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’.6 Kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu modal utama untuk mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah Swt. Islam memandang dan menjadikan perkawinan itu sebagai basis suatu masyarakat yang baik dan teratur, sebab perkawinan tidak hanya dipertalikan oleh ikatan lahir saja, tetapi juga dengan ikatan batin.

3

Imam Al-Ghozali Ikhya’ Ulumiddin, (Diterjemahkan Abu Fajar Al-Qalami. Ringkasan Ikhya’

Ulumiddin. (Surabaya: Gitamedia Press, 2003),117. 4

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencanan Prenada Media Group, Cet. 3, 2003), 11-12.

5

Departemen Agama RI. Al-Quran Tafsir Perkata, ( Banten: Kalim), 523. 6

(12)

3

Islam mengajarkan bahwa perkawinan itu tidaklah hanya sebagai ikatan biasa seperti jual beli atau sewa menyewa dan lain-lain, melainkan merupakan suatu perjanjian suci (misaqon gholidhon), dimana kedua belah pihak dihubungkan menjadi suami isteri atau menjadi pasangan hidup.7 Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (keluarga yang tentram, penuh cinta kasih, dan kasih sayang).8 Hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah surat Ar-Ruum ayat 21 sebagai berikut

Dari mahluk yang diciptakan Allah SWT, berpasangan- pasangan inilah Allah menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan berlangsung dari generasi berikutnya.9 Sebagaimana tercantum dalam surat An-Nisa’ ayat 1:

تا ُسانلا اَه ي َأَي

َز اَهْ نِم َقَلَخَو ٍةَدِحو ٍسْف ن نِم ْمُكَقَلَخ ْيِذلا ُمُكبَر اْوُق

اَمُهْ نِم ثَبَو اَهَجْو

..ًءاَسِنو اًرْ يِثَك ًااَجِر

.

Artinya: “Wahai manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...”10

Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa berkeluarga itu termasuk sunnah rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad SAW.11 Sebagaimana tercantum dalam surat Ar-Ra’d ayat 38 :

...ًةي ِرُذو اًجاَوْزَا ْمََُ اَنْلَعَجَو َكِلْبَ ق ْنِم ًاُسُر اَنْلَسْرَا ْدَقَلَو

7

BP4,Rumah tangga Bahagia, 8. 8

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Didunia Islam Modren, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2011), 11. 9

Abdul Rahman Ghozali, fiqih Munakahat, 12. 10

Departemen Agama RI. Al-Quran Tafsir Perkata, 78. 11

(13)

4

Artinya : “Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan…”12

Berkeluarga yang baik menurut Islam sangat menunjang untuk menuju kepada kesejahteraan, termasuk dalam mencari rizki Tuhan.13 Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 32 perlu mendapat perhatian bagi orang yang berkeluarga:

ِكْنَاَو

...ْمُكْنِم ىَم اَيَاا اوُح

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu…”14

Dari pembahasan di atas hubungan antara laki-laki dan wanita diatur secara terhormat berdasarkan kerelaan dalam suatu ikatan pernikahan. Peraturan yang mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita inilah yang diridhoi Allah SWT. Oleh karena itu, siapapun yang telah mampu dan telah memenuhi syarat dianjurkan untu menikah.

Dasar persyariatan nikah adalah Al-Quran, Al-Sunnah dan Ijma’. Namun sebagian berpendapat Hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah (boleh) Hukum bisa berubah menjadi sunnah, wajib, halal makruh tergantung kepada illat hukum.15 Walaupun menikah sangat dianjurkan dalam Islam, akan tetapi terdapat rambu-rambu yang harus terpenuhi. Namun demikian, meskipun perkawinan telah memenuhi seluruh rukun dan syarat yang ditentukan belum tentu perkawinan tersebut sah, karena

12

Departemen Agama RI, Al-Quran Tafsir Perkata, 225. 13

Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, 15. 14

Departemen Agama RI, Al-Quran Tafsir Perkata, 355. 15

(14)

5

masih tergantung lagi padahal satu hal, yaitu perkawinan itu telah lepas dari segala hal yang menghalang. Halangan perkawinan itu disebut larangan perkawinan.16

Secara garis besar, larangan kawin antara seseorang pria dan seorang wanita menurut syara’ dibagi dua, yaitu halangan abadi (al-tahrim al- muabbad) dan halangan sementara (al-tahrim al-mu’aqqat).17 Yang haram selamanya, yaitu perempuan yang tidak boleh dikawini oleh laki-laki sepanjang masa. Sedang yang haram sementara yaitu perempuannya tidak boleh dikawininya selama waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu. Bilamana keadaannya sudah berubah haram sementaranya hilang dan menjadi halal.

Sebab-sebab Haram Selamanya ada tiga yaitu: 1) Karena Nasab.

2) Karena Perkawinan. 3) Karena Susuan.18

Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23:

ْمُكْيَلَع ْتَمِرُح

ْمُكُتَااَخَو ْمُكُتامَعَو ْمُكُتاَوَخَاَو ْمُكُتاَنَ بَو ْمُكُتاَهمُا

ُتاَنَ بَو ِخلا ُتاَنَ بَو

َاَو ْمُكَنْعَضْرأ ْ ِِالا ُمُكُتاَهمأَو ِتْخلاا

َعاَضرلا َنِم ْمُكُتاَوَخ

ُمُكُبِئاَب َرَو ْمُكِئ آَسِن ُتاَهمُأَو ِة

ِِاا

َحاَنُج َاَف نِِِ ْمُتْلَخَد اْوُ نوُكَت ّْ ْنِأَف نِِِ مُتْلَخَد ِِاا ُمُكِئ آَسِن نِم مُكِروُجُح ِف

16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, Cet. 3, 2009), 109.

17

Abdul Rahman Ghozali, fiqih Munakahat, 103. 18

(15)

6

َأ ْنِم َنْيِذلا ُمُكِئاَنْ بَأ ُلِئَاَحَو ْمُكْيَلَع

ُعَمََْ ْنَأَو ْمُكِبَاْص

نِأ َفَلَسْدَق اَم اِأ َِْْ تْخُلا ََْْ ب اْو

َُ اًمْيِحراًروُفَغ َناَك َها

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, suadara-saudaramu yang perempuan, suadara-saudara bapakmu yang perempuan, suadara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, anak perempuan dari saudara-saudara yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yangdalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sah sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersuadara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.”19

Larangan perkawinan yang masih di selisihkan ada dua yaitu: 1) Zina

Menikahi perempuan pezina adalah haram. Tidak di halalkan kawin dengan perempuan zina, begitu pula bagi perempuan tidak halal kawin dengan laki –laki zina, sesudah mereka bertaubat. Sebagaimana di sebutkan dalam Al-Quran surah An-Nur ayat 3:

ِلَذ َمِرُحَو ٌكِرْشُمْوَا ٍناَز اِا اَهُحِكْنَ ي َا َ ِِازلاَو ًةَكِرْشُمْوَا ًةَيِناَز اِا ُحِكْنَ ي َا ْ ِِازلاَا

ىَلَع َك

َُ َِْْنِمْؤُمْلا

Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina , atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina laki-laki musyrik, dan yang demekian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”.20

19

Deparetemen Agama RI, Al-quran Tafsir Perkata, 82. 20

(16)

7

2) Li’an

Apabila terjadi sumpah li’an antara suami istri maka putuslah hubungan perkawinan keduanya untuk selama - lamanya.21

Adapun larangan perkawinan yang bersifat sementara: 1. Mengawini dua orang suadara dalam satu masa.

Bila seorang laki-laki telah mengawini seorang perempuan, dalam waktu yang sama dia tidak boleh mengawini saudara dari perempuan itu. 2. Poligami di luar batas.

Seoarang laki-laki dalam perkawinan poligami paling banyak mengawini empat orang dan tidak boleh lebih dari itu.

3. Larangan karena ikatan perkawinan.

Seorang perempuan yang sedang terikat tali perkawinan haram dikawini oleh siapapun. Bahkan perempuan yang sedang dalam perkawinan itu dilarang untuk dilamar, baik dalam ucapan terus terang. Keharaman itu berlaku sampai suami masih hidup atau belum dicerai oleh suami.

4. Larangan karena talaq tiga.

Seorang suami yang telah menceraikan isterinya dengan tiga talak, baik sekaligus atau bertahap, mantan suaminya haram mengawininya sampai menatan isteri kawin dengan laki-laki dan habis pula iddahnya.

21

(17)

8

5. Larangan karena ihram.

Perempuan yang sedang ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah, tidak boleh dikawini oleh laki-laki baik laki-laki tersebut sedang ihram pula atau tidak. Larangan itu tidak berlaku lagi setelah lepas masa ihramnya.

6. Larangan karena beda agama.22

Akan tetapi, di dalam pola kehidupan masyarakat masih banyak ditemui nuansa kehidupan tradisi turun menurun nenek moyangnya. Mereka terkadang juga melenceng pada jalan kurang benar bahkan merugi. Sperti halnya pada masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi turun temurun. Salah satunya adalah tradisi larangan melakukakn perkawinan jilu. Perkawinan Jilu adalah perkawinan dua mempelai yang dilakukan antara anak nomor satu dengan anak nomor tiga. Perkawinan Jilu ini adalah terjadi di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro. Menurut kepercayaan warga Desa Deling, bahwa jika terjadi perkawinan Jilu akan terjadi sebuah bencana dalam keberlangsungan hidup berkeluarganya nanti yaitu di antaranya orang tua yang menikahkan cepat meninggal dunia, sulit rezkinya dan lain sebagainya.

22

(18)

9

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Beragam masalah yang terdapat dalam latar belakang masalah di atas, menarik untuk dilakukannya penelitian, yakni:

a. Pengertian tradisi larangan perkawinan Jilu. b. Praktek tradisi larangan perkawinan Jilu. c. Penyebab adanya larangan perkawinan Jilu. d. Larangan perkawinan Jilu menurut hukum Islam. 2. Batasan Masalah

Untuk mempermudah dalam pembahasan, penelitian ini hanya membatasi masalah-masalah berikut:

a. Sebab dan praktek larangan perkawinan Jilu di Desa deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro.

b. Tinjauan hukum Islam terhadap larangan perkawinan Jilu di Desa Deling Kecamtan Sekar Kabupaten Bojonegoro.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini ingin menjawab beberapa pertanyaan, yaitu: a. Apa yang melatar belakangi larangan perkawinan dari anak pertama

dengan anak nomer tiga di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro?

(19)

10

D. Kajian Pustaka

Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Apabila penelitian mengetahui apa yang telah dilakukan oleh penelitian lain, maka peneliti akan lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap.23

Setelah melakukan penelusuran, ada beberapa penelitian yang telah membahas tentang larangan perkawinan, diantaranya yaitu:

1) Penelitian yang ditulis oleh Luluk Masruroh pada tahun 2003, Fakultas syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang berjudul “

Larangan Kawin Pada Bulan syura di Desa Desa Maguan

Kecamtan Berbek Kabupaten Nganjuk”. Skripsi ini meneliti

tentang larangan perkawinan pada bulan Syura, karena di bulan tersebut menurut kepercayaan masyarakat adalah bulan apes tidak boleh melangsungkan perkawinan.24

2) Penelitian yang ditulis oleh Farida Armiranti, pada tahun 2011, fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang berjudul

“Tinjauan hukum Islam terhadap tradisi larangan nikah di Desa

Taluk Selok Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan”. Skripsi ini meneliti tentang larangan untuk

menikah dengan laki-laki atau perempuan yang mengikuti mazdab

23

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet 13, 2012),112.

24

(20)

11

selain mazdab Syafi’i. Larangan nikah ini bertujuan untuk

maslahat yaitu menjaga keharmonisan rumah tangga dan mencegah timbulnya mufsadat yaitu kerusakan yang timbul akibat pernikahan dengan beda mazdab.25

3) Skripsi yang ditulis oleh Ana Nustaqimatud Dina pada tahun 2012 Fakulatas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, yang berjudul “Analisa Hukum Islam terhadap Larangan Perkawinan Keturunan

Paku di Desa Dermolembang Kecamatan Sarirejo Kabupaten Lamongan”. Skripsi ini meneliti tentang larangan perkawinan

antara dua orang mempelai, di mana salah satu calon mempelai adalah keturunan seorang yang bernama “Paku”.26

Setelah melihat dan mempelajari beberapa skripsi di atas, menjelaskan bahwa penelitian yang diangkat dengan judul “Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Larangan Perkawinan Jilu di Desa Deling

Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro” belum pernah dibahas dan

untuk di lakukan penelitian, tentunya mempunyai perbedaan dengan penelitian sebelumnya, diantaranya lokasi dan obyek penelitian.

25

Farida Armiranti, Tinjauan hukum Islam Terhadap Tradisi Larangan Nikah di Desa Taluk Selong Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar Selatan Selatan, ( Surabaya:

Syari’ah,2011),V. 26

Ana Mustaqimatud Dina, Analisis Hukum Islam Terhadap Larangan Perkawinan Keturunan Paku di Desa Dermolembang Kecamatan Sarirejo Kabupaten Lamongan,( Surabaya: Syari’ah,

(21)

12

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang larangan kawin jilu di Desa Deling kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro.

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap larangan kawin jilu di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro.

F. Kegunaan Hasil Penelitian 1. Aspek teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bagi peneliti selanjutnya dan dapat dijadikan bahan masukan dalam memahami tentang tradisi larangan nikah di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro. Penelitian ini juga diharapkan menambah wawasan pengetahuan tentang larangan nikah jilu di Desa deling Kecamtan Sekar Kabupaten Bojonergoro.

2. Aspek praktis

(22)

13

G. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi penafsiran terhadap istilah-istilah yang terdapat pada skripsi ini, maka dikemukakan definisi sebagai berikut:

1. Hukum Islam

Hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasar wahyu Allah, sunnah Rasul dan KHI tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama Islam.27

2. Larangan Perkawinan Jilu

Larangan Perkawinan Jilu adalah pencegahan untuk melakukan perkawinan dua mempelai yang dilakukan antara anak yang pertama dari pihak laki-laki dengan anak yang ketiga dari pihak perempuan, begitu sebaliknya. Hal ini terjadi di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro.

.

H. Metode Penelitian

Penyusun skripsi dapat tersusun dengan benar, maka peneliti memandang perlu untuk menggunakan metode penulisan skripsi yaitu: 1. Lokasi Peneliatan

Peneliti ini dilaksankan di Desa deling Kecamtan Sekar Kabupaten Bojonegoro

27

(23)

14

2. Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah masyarakat yang pernah melakukan pernikahan dan orang-orang yang masih terlibat dalam masalah adat larangan tersebut

3. Data

Data yang dimaksud adalah data tentang larangan perkawinan JILU. 4. Sumber data

Adapun sumber data atau dari mana data berasal, dalam studi ini diperoleh:

a) Sumber Primer

yaitu data yang diperoleh lansung dari sumber pertama.28 Dalam penelitian ini adalah keterangan dari wawancara antara lain:

1) Tokoh masyarakat dan sesepuh sekaligus tokoh agama di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonergoro.

2) Masyarakat yang masih memakai adapt larangan perkawinan jilu di Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro.

3) Kepala Desa Deling Kecamatan Sekar Kabupaten Bojonegoro. b) Sumber Sekunder

Yaitu data yang berasal dari buku-buku bacaan yang meliputi buku-buku masalah tentang perkawinan diantaranya: 1) Sumber Kaur Kesra Kecamatan Sekar Tahun 2013.

28

(24)

15

2) LPJM (Laporan Pertanggung Jawaban Masyarakat) Desa Deling Tahun 2013.

5. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tehnik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

Interviu atau Wawancara

Wawancara adalah proses tanya-jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan.29 Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pandangan masyarakat mengenai larangan perkawinan Jilu dan akibat-akibat yang timbul.

6. Teknik Pengolahan Data

Sedangkan pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Editing

Mengedit adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para pengumpul data. Tujuan daripada editing adalah untuk mengurangi kesalahan atau yang ada di dalam daftar Mengedit adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkaan oleh para pengumpul data. Tujuan daripada editing adalah untuk mengurangi kesalahan atau

29

(25)

16

yang ada di dalam daftar pertanyaan yang sudah diselesaikan sampai sejauh mungkin.30

2) Organizing

Organizing adalah penyusunan data sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan bahan-bahan penulisan skripsi yang sistematis.

3) Analizing

Analizing yaitu melakukan analisa terhadap hasil pengumpulan dan penyusunan data yang diperoleh dengan menggunakan bahan-bahan literatur.

7. Teknik Analisis Data

Metode deskriptif analitis adalah metode penelitian yang berusaha menggambarkan data tentang larangan perkawinan Jilu yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sekaligus menganalisisnya dalam perspektif hukum Islam.

Induktif yaitu membahas permulaan pembahasan dengan mengungkapkan dengan pendapat atau dalil-dalil yang bersifat umum untuk mengetahui yang bersifat khusus,31yaitu membahas permulaan pembahasan hukum Islam yang bersifat umum untuk mengetahui kesimpulan tentang larangan perkawinan Jilu.

30

Cholid Narbuko & Abu Achmadi, Metedologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. 12, April 2012), 153.

31

(26)

17

I. Sistematika Pembahasan

Agar penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah. Maka dalam penelitian ini sistematika pembahasan diorganisasikan:

Bab I Pendahuluan, bab ini mengemukakan latar belakang masalah, Identifikasi masalah, Batasan masalah, Rumusan masalah, Kajian pustaka, Tujuan penelitian, Kegunaan hasil penelitian, Definisi operasional, Metode penelitiaan, dan Sistematika pembahasan.

Bab II Landasan Teori, yang berisi tentang Fikih dan Munakahat yang meliputi definisi fikih, pengertian perkawinan, hukum melaksanakan perkawinan, rukun dan syarat-syarat perkawinan, tujuan dan hikamah perkawinan, mahram (wanita-wanita yang haram dinikahi).

Bab III Hasil Penelitian, bab ini mengemukakan gambaran umum tentang lokasi penelitian, meliputi letak geografis desa, dan deskripsi larangan perkawinan Jilu di Desa Deling Kecamaatan Sekar Kabupaten Bojonegoro.

Bab IV Analisis Data, bab ini mengemukakan tinjauan hukum Islam terhadap larangan perkawinan Jilu.

(27)

18

BAB II

LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM

A. Pengertian Hukum Islam

Definisi Hukum Islam

Kata “Islam” artinya kepatuhan atau penyerahan diri. Kepatuhan atau

penyerahan diri yang dimaksud adalah kepada Allah. Orang yang menyerahkan diri kepada Allah itu disebut “Muslim”. Menurut Al-Quran, seorang muslim ialah

seseorang yang mengadakan perdamaian dengan Allah dan sesama manusia. Berdamai dengan Allah maksudnya menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dengan selamat sejahtera. Sedangkan perdamaian dengan sesama manusia maksudnya tidak akan menimbulkan permusuhan, konflik, iri hati, dan prasangka, melainkan selalu menghendaki persahabatan dengan mendoakan keselamatan bagi orang lain.1

Hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari

al-Fikih al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-Syari’ah al-Islamy. Istilah ini, dalam wacana ahli hukum Barat, Islamic law. Dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan. Namun yang digunakan adalah kata syariat Islam, yang kemudian dalam penjabarannya, disebut istilah fikih.

1

R. Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum,

(28)

19

Dalam perkembangan ilmu fikih dan usul fikih yang demikian pesat, para ulama usul fikih telah menetapkan definisi hukum islam secara terminologi, di antaranya yang dikemukakan oleh Abu Zahrah:

ِب ُقِلَعَ تُمْلا ِّللا ُباَطِخ

َأ ِءاَضِتْقِء ْْاِب َِْْفلَكُم ِلاَعْ فَا

َُ ِعْضَوْلاِوَأ ِِْْيْختلا ِو

Artinya: “Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan pilihan, maupun bersifat wadh’iy.”

Uraian di atas memberi asumsi bahwa hukum yang dimaksud adalah hukum Islam. Karena kajiannya dalam perspektif hukum Islam, maka yang dimaksud pula adalah hukum syarak yang bertalian dengan perbuatan manusia dalam ilmu fikih, bukan hukum yang bertalian dengan akidah dan akhlak. Penyebutan hukum Islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syariat Islam atau fikih Islam. Apabila syariat Islam diterjemahkan sebagai hukum Islam (hukum in abstracto), maka berarti syariat Islam yang dipahami dalam makna yang sempit. Karena kajian syariat Islam meliputi aspek i’tiqadiyah, khuluqiyah,

dan „amal syar’iyyah. Sebaliknya bila hukum Islam menjadi terjemahan dari fikih

Islam, maka hukum islam termasuk bidang kajian ijtihadi yang bersifat zhanni.

(29)

20

cara meminang, walimatul arusy, thalaq, rujuk, tanggung jawab suami istri dan lain-lain yang berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, dan qiyas.2

B. Pengertian Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluknya-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan makhluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.3

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”,

berasal dari kata nikah

َحاكنُ

yang menurut bahasa artinya mengumpulkan,

saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah.4 Sedangkan menurut syara’ nikah adalah:

َتَ ي ٌدْقَع

َض

ِظْفَلِب ٍءْطُولا َةَحاَبِا ُنم

َُ ٍجْيِوْزَ تلا ْوَا ٍحاَكْن ِْا

2

M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 2, 2010), 5-6.

3

Ibid. 6. 4

(30)

21

Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja”.5

Para Ulama Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul antara wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.6

Pengertian-pengertian di atas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, seperti terjadinya perceraian, kurang adanya keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.

Dalam kaitan ini, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat:

َواَعَ تَو ِةَاْرَمْلاَو ِلُجرلا ََْْ ب ِةَرْشُعْلا لَح ُدْيِفُي ٌدْقَع

ُهُ ن

دََُو اَم

ْنِم ِْيَلَعاَمَو ٍقْوُقُح ْنِم اَمِهْيَكِلاَم

َو

ٍتاَب ِجا

َُ

5

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, Cet. 3, 2009), 37.

6

(31)

22

Artinya: “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.

Dari pengertian ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum, melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung adanya tujuan mengharapkan keridhaan Allah SWT.7

Dalam kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya di dalam surat An-Nisa’ ayat 27 yang berbunyi:

ذَخَأَو

َُ اًظْيِلَغاًقاَثْيِم ْمُكِْم َن

Artinya: “Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.

7

(32)

23

َأ ٍحاَكِن ِظْفَلِب ٍءاَطَو َةَحاَبِا ُنمَضَتَ يٌدْقَع

ِِتم ُُْرَ ت ْوَأ ٍجْيِوْزَ ت ْو

َُ

Artinya: “Akad nikah adalah suatu akad yang membolehkan perbuatan wathi, dengan lafadz nikah atau lafadz tazwijatau terjemahannya”. (Al-Bajuri Juz II: 91).

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya di dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:

ْنِمَو

ِِتيا

َقَلََْْأ

ْمُكَل

ْنِم

ْمُكِسُفْ نَأ

اًجاَوْزَا

اوُُكْسَتِل

اَهْ يَلِأ

َلَعَجَو

ْمُكَْ يَ ب

ًةدَوَم

ًةََْْرَو

ىِفنِأ

َكِلَذ

ٍتَيََْ

ٍمْوَقِل

َنْوُركَفَ ت ي

َُ

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia yang menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum berfikir”.8

2. Hukum Melakukan Perkawinan

Dengan melihat hakikat perkawinan itu merupakan akad yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu adalah

8

(33)

24

boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal perkawinan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama dan dengan berlangsungnya akad perkawinan itu, maka pergaulan laki-laki dengan perempuan menjadi

mubah.9

Tentang hukum melakukan perkawinan, Ibnu Rusyd menjelaskan:

Segolongan fuqaha’, yakni jumhur (mayoritas ulama) berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa nikah itu

wajib. Para ulama Malikiyah mutaakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk sebagian orang, sunnah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk segolongan yang lain. Demikian itu menurut mereka ditinjau berdasarkan kekhawatiran (kesusahan) dirinya.

Di indonesia, umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi’iyah.

Terlepas dari pendapat imam-imam mazhab, berdasarkan nash-nash, baik Al-Quran maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka

9

(34)

25

melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh ataupun mubah.10

a. Wajib

Menikah menjadi wajib apabila seorang pria yang dipandang dari sudut fisik sudah sangat mendesak untuk menikah, sedang dari sudut biaya hidup sudah mampu mencukupi. Sehingga jika dia tidak menikah dikhawatirkan dirinya akan terjerumus dalam lembah perzinaan, maka wajib baginya untuk menikah. Begitu juga halnya dengan seorang wanita yang tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan orang jahat jika ia tidak menikah, maka wajib baginya untuk menikah.11

Terkait hukum wajibnya menikah, Sayyid Sabiq mengutip pendapat Imam Qurtuby, bahwa orang bujangan yang sudah mampu menikah dan takut dirinya dan agamanya jadi rusak, sedangkan tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan dirinya kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya ia menikah. Jika nafsunya telah mendesak, sedangkan ia tidak mampu membelanjani isterinya, maka Allah akan melapangkan rizkinya.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya di dalam surat An-Nur ayat 32 yang berbunyi:

َءاَرَقُ ف اْوُ نْوُكي ْنِا ْمُكِئ اَمِاَو ْمُكِداَبِع ْنِم َِْْحِلصلاَو ْمُكِْم ىَماَي َْْا اوُحِكْنَاَو

ِم ُّللا ُمِهْغُ ي

ْن

ْضَف

ٌمْيِلَع ٌعِساَو ُّللاَو ِِل

َُ

10

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, 16-18. 11

(35)

26

Artinya: “Dan kawinkanlah orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas lagi

Maha Mengetahui”.12

b. Sunnah

Menikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu, tetapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram. Dalam hal seperti ini, maka menikah lebih baik baginya daripada membujang, karena membujang (seperti pendeta) tidak diperbolehkan dalam Islam.13

Larangan membujang tersebut secara jelas telah disampaikan oleh Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:

ِلتَبَتلا ْنَع ىَهَ ن َملَسَو ِْيَلَع ُللا ىلَص ِللا َلوُسَر نَأ َةَرََُ ْنَع

َُ

Artinya: “Dari Samrah, sesungguhnya Rasulullah SAW melarang membujang”.14

c. Haram

Bagi orang yang membahayakaan wanita, karena tidak mampu melakukan senggama, tidak mampu memberi nafkah atau memperoleh pekerjaan haram,

12

Departemen Agama RI. Al-Quran Tafsir Perkata, 355. 13

Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Amani, Cet. 2, 2002), 8. 14

(36)

27

sekalipun senang nikah dan tidak takut zina. Pembagian hukum ini, semua berlaku juga bagi seorang wanita.15

Termasuk juga hukumnya haram perkawinan bila seseorang kawin dengan maksud untuk menerlantarkan orang lain, masalah wanita yang dikawini itu tidak diurus hanya agar wanita itu tidak dapat kawin dengan orang lain.

d. Makruh

Perkawinan yang hukumnya makruh bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri yang baik.16

Nikah juga bisa menjadi makruh bagi seorang yang mampu dari segi materil tapi lemah secara batin. Seperti orang yang lemah syahwat, dan tidak mampu memberikan nafkah kepada isterinya, walaupun tidak merugikan istri karena ia kaya dan tidak mempunyai naluri syahwat yang kuat.17 Juga bertambah makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.18

15

Al Imam Abu Muhammad, Qurratul „Uyun, (Diterjemahkan Achmad Sunarto, Berbulan Madu Menurut Syariat Islam, Surabaya: Al Hidayah, 1994), 1.

16

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, 21. 17

Al Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, 8. 18

(37)

28

e. Mubah

Perkawinan yang hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk kawin itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan melakukan kawin, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.19

3. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah

19

(38)

29

sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yangberkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.20

a. Rukun Perkawinan

Rukun adalah sesuatu yang harus ada untuk menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), namun sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Adapun rukun dalam sebuah pernikahan, jumhur ulama sepakat ada empat, yaitu:21

1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai adalah:

a) Laki-laki dan perempuan yang melangsungkan pernikahan haruslah sama-sama beragama Islam.

b) Keduanya harus jelas identitasnya dan bisa dibedakan dengan orang lain, baik terkait dengan nama, keberadaan, jenis kelamin dan hal-hal lainnya yang berkenaan dengan dirinya. Dengan adanya syariat peminangan sebelum berlangsungnya pernikahan kiranya merupakan suatu syarat supaya kedua calon

20

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, 59.

21

(39)

30

mempelai bisa sama-sama tahu dan mengenal satu sama lain secara baik dan terbuka.

c) Kedua belah pihak telah setuju untuk menikah dan juga setuju dengan pihak yang mengawininya. Tentang izin dan persetujuan dari kedua belah pihak yang akan melangsungkan pernikahan ulama fikih berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan mengenai persyaratan persetujuan kedua mempelai pada pasal 16, yaitu:

a) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

b) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat tapi dapat juga dengan berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

c) Antara kedua belah pihak tidak ada hal-hal yang terlarang untuk melangsungkan pernikahan.

d) Kedua belah pihak telah mencapai usia yang pantas dan layak untuk melangsungkan pernikahan. Untuk syarat yang terakhir ini akan dibahas sendiri pada penjelasan selanjutnya.22

2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita

Akad nikah dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi SAW:

22

(40)

31

نَأ َةَشِئ اَع ْنَع

للا ىلَص ِللا َلوُسَر

ِْيَلَع ُ

ْتَحَكَن ٍةَأَرْما اََأ َلاَق َملَسَو

َِْْغِب

ِإ

اَهِ يِلَو ِنْذ

اَهُحاَكَِف

لَحَتْسا اَِِ ُرْهَمْلا اَهَلَ ف اَِِ َلَخَد ْنِإَف ٌلِطاَب اَهُحاَكَِف ٌلِطاَب اَهُحاَكَِف ٌلِطاَب

َو ُناَطْلسل اَف اوُرَجَتْشا ْنِإَف اَهِجْرَ ف ْنِم

َم ِِ

َُل َِِو َْ ْن

َُ

Artinya: “dari „Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW. Pernah bersabda: perempuan mana saja yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal, apabila suami telah melakukan hubungan seksual, maka si perempuan sudah berhak mendapat mahar lantaran apa yang ia perbuat halal pada kemaluan perempuan itu. Apabila wali-wali itu enggan maka sultanlah (pemerintah) yang menjadi wali bagi yang tidak ada walinya”.23

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang menjadi wali adalah:

a) Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.

b) Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali. sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah. Namun ulama Hanafiah dan Syiah Imamiyah berbeda pendapan tentang hal ini. Keduanya berpendapat bahwa perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali untuk dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain yang mengharuskan adanya wali.

c) Muslim, tidak sah orang yang beragama Islam menjadi wali untuk muslim.

d) Orang merdeka

23

(41)

32

e) Tidak dalam keadaan mendapat pengampuan (mahjur „alaih). Hal ini karena orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan dirinya sendiri.

f) Berpikiran baik. Oleh karena itu tidak sah menjadi wali seseorang yang terganggu pikirannya sebab ketuaannya, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam pernikahan tersebut.

g) Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara murah dan sopan santun. Hadis Nabi dari „Aisyah menurut riwayat Al Quthni menjelaslan bahwa “Tidak sah nikah kecuali bila ada wali dan dua orang saksi yang adil.”

h) Tidak sedang melakukan ihram untuk haji atau umrah. Hal ini berdasarkan hadis Nabi dari Usman menurut riwayat Abu Muslim yang artinya “Orang yang sedang ihram tidak boleh

menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang.”24

3) Adanya dua orang saksi

Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kedudukan saksi dalam pernikahan, apakah termasuk rukun ataukah termasuk syarat dalam pernikahan. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah

berpendapat bahwa saksi itu adalah termasuk rukun dari

24

(42)

33

pernikahan. Sedangkan menurut Hanafiyah dan Zahiriyah, saksi merupakan salah satu dari dari syarat-syarat pernikahan yang ada. Sesuai Firman dalamdalam Al-Quran surat At-Talaq ayat 2:

اَذِاَف

َنْغَلَ ب

ْوَا ٍفْوُرْعَِِ نُْوُكِسْمَاَف نُهَلَجَا

نُْوُ قِراَف

اْوُدِهْشَاو ٍفْوُرْعَِِ

ىَوَذ

ٍلْدَع

َذ ِلِل َةَداَهشلا اوُمْيِقَاَو ْمُكِْم

ا

ُظَعْوُ ي ْمُكِل

ِرِخَْْا ِمْوَ يْلاَو ِللاِب ُنِمْؤُ ي َناَك ْنَم ِِب

َو

اًجَرََْ ُل ْلَعَْ َللا ِقت ي ْنَم

َُ

25

Artinya: “Maka apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.

Tidak semua orang boleh menjadi saksi, khususnya dalam pernikahan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dia bisa menjadi saksi yang sah, yaitu:

a) Saksi berjumlah minimal dua orang. Pendapat inilah yang dipegang oleh jumhur ulama. Sedangkan hanafiyah

berpendapat lain, menurutnya, saksi itu boleh terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

b) Saksi harus beragama Islam.

c) Kedua saksi itu merdeka (bukan budak).

d) Kedua saksi adalah laki-laki. Menurut Hanafiyah saksi itu boleh terdiri dari perempuan asalkan harus disertai saksi dari

25

(43)

34

laki-laki. Sedangkan menurut Zahiriyah, saksi boleh dari perempuan dengan pertimbangan dua orang perempuan sama kedudukannya dengan seorang laki-laki

e) Saksi bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga

muruah.

f) Saksi harus bisa mendengar dan melihat.26

4) Sighat akad nikah yaitu ijab dan kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Dalam hukum Islam, akad pernikahan itu bukanlah sekedar perjanjian yang bersifat keperdataan. Akad dinyatakan sebagai perjanjian yang kuat yang disebut dengan ungkapan misaqan galihzan dalam Al Quran, yang mana perjanjian itu bukan haya disaksikan oleh dua orang saksi atau kehadiran orang banyak pada waktu terlangsungnya pernikahan, akan tetapi juga disaksikan langsung oleh Allah SWT. Oleh karena itu perjanjian pada akad pernikahan ini sangatlah bersifat agung dan sakral.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar akad ijab kabulitu bisa menjadi sah, yaitu:

a) Akad dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Ijab berarti penyerahan dari pihak pertama, sedangkan Kabul adalah

26

(44)

35

penerimaan dari pihak kedua. Contoh penyebutan ijab “saya

nikahkan anak saya yang bernama Khotibah dengan mahar uang satu juta rupiah dibayar tunai”. Lalu kabulnya “saya

terima menikahi anak bapak yang bernama Khotibah dengan mahar uang sebesar satu juta rupiah. Materi dari ijab dan Kabul tidak boleh berbeda, seperti nama si perempuan dan bentuk mahar yang sudah ditentukan.

b) Ijab dan Kabul harus menggunakan lafad yang jelas dan terang sehingga dapat dipahami oleh kedua belah pihak secara tegas. Dalam akad tidak boleh menggunakan kata sindiran karena masih dibutuhkan sebuah niat, sedangkan saksi dalam pernikahan itu tidak akan dapat mengetahui apa yang diniatkan oleh seseorang. Lafad yang sharih (terang) yang disepakati oleh ulama ialah kata nakaha atau zawaja, atau terjemahan dari keduanya.

c) Ijab dan kabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang bersifat membatasi masa berlangsungnya pernikahan, karena adanya pernikahan itu bertujuan untuk selama hidupnya, bukan sesaat saja.

Ijab dan kabul harus diucapkan secara bersinambungan tanpa terputus walau sesaat.27

27

(45)

36

b. Syarat Perkawinan

Syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Adapun syarat sah dalam pernikahan sebagai berikut:28

1) Calon suami

Seorang calon suami yang akan menikah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Bukan mahram dari calon istri

b) Tidak terpaksa (atas kemauan sendiri) c) Jelas orangnya (bukan banci)

d) Tidak sedang ihram haji 2) Calon istri

Bagi calon istri yang akan menikah juga harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Tidak bersuami b) Bukan mahram

c) Tidak dalam masa iddah

d) Merdeka (atas kemauan sendiri) e) Jelas orangnya

f) Tidak sedang ihram haji 3) Wali

28

(46)

37

Untuk menjadi seorang wali dalam sebuah pernikahan, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) Laki-laki b) Dewasa c) Waras akalnya d) Tidak dipaksa e) Adil

f) Tidak sedang ihram haji 4) Ijab kabul

Ijab adalah sesuatu yang diucapkan oleh wali, sedangkan kabul ialah sesuatu yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.

5) Mahar

Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik dalam bentuk barang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.29

Fuqaha’ sependapat bahwa maskawin itu termasuk syarat sahnya nikah dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya.30

Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 4:

29

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Edisi I, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), 113. 30

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, Cet. 2, Terj. Imam Ghazali Sa’id dan

(47)

38

ًسْفَ ن ُِْم ٍءيَش ْنَع ْمُكَل َِْْط ْنِاَف ًةَلِِْ نِهِتَقُدَص َءاَسِلا اوُتَاَو

ًأْيَِ ُْوُلُكَف ا

َُ ًأْيِرم

Artinya: : Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 4)31

Di dalam KHI Pasal 30 dijelaskan dengan tegas bahwa: “calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon

mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.32

4. Tujuan perkawinan

Tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.33 Namun, pada umumnya tujuan pernikahan bergantung pada masing-masing individu yang akan melaksanakan pernikahan karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian, ada tujuan yang bersifat umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melangsungkan pernikahan yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan akhirat.

31

Departemen Agama RI. Al-Quran Tafsir Perkata, 78. 32

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, 120. 33

(48)

39

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, tujuan pernikahan dibuat lebih spesifik lagi dengan menggunakan term-term Qurani seperti misaqan galizhan, ibadah, sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Menurut Slamet Abidin, tujuan pernikahan ada dua, yaitu:

a. Melaksanakan libido seksualitas (

ِءْطَولْا

ُد

ِغَت ْي

(

Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai insting seks, hanya kadar dan intensitasnya yang berbeda. Dengan pernikahan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya pada seorang perempuan dengan sah dan begitu juga sebaliknya. Pernyataan tersebut didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 223:

ْمُكل ٌثْرَح ْمُكُؤاَسِن

اْوُمَلْعاَو َّللا اوُق تاَو ْمُكِسُفْ نَِْ اْوُمِدَقَو ْمُتْئِش ََا ْمُكَث ْرَح اْوُ ت ْأَف

ُقَلم ْمُكنَا

َِِْْمْؤُمْلا ِرِشَبَو ُْو

َُ

Artinya: Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanam itu, bagaimana saja yang kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berikan kabar gembira orang-orang yang beriman. (QS. Al Baqarah: 223).34

b. Memperoleh keturunan

Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita, akan tetapi perlu diketahui bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanat dari Allah SWT.

34

(49)

40

Walaupun dalam kenyataannya ada seseorang yang ditakdirkan untuk tidak mempunyai anak.35

ِضْرَْْاَو ِتَوَمسلا ُكْلُم ِّلِل

اًثاَنِا ُءاَشي ْنَمِل ُبَهَ ي ُءاَشَي اَم ُقُلَْ

ُءاَشي ْنَمِل ُبَهَ يَو

ُءاَشي ْنَم ُلَعََْو اًثاَنِاو اًناَرْكُذ ْمُهُجِوَزُ ي ْوَا ََُرْوُكذلا

َُ ٌرْ يِدَق ٌمْيِلَع ُنِا اًمْيِقَع

Artinya: Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Asy Syura: 49-50)36

Melihat dua tujuan di atas, Imam Al Ghazaliy dalam Ihya’-nya tentang faedah pernikahan, maka tujuan pernikahan dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu:

1) Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

2) Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

35

Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, 24. 36

(50)

41

5) Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram

atas dasar cinta dan kasih sayang.37

5. Hikmah Perkawinan

Hikmah pernikahan ada beberapa yaitu:

1. Memelihara gen manusia. Pernikahan sebagai sarana untuk memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan regenerasi dari masa ke masa.38

2. Dapat mendekatkan diri kepada allah. 39 3. Dapat memperbanyak keturunan. 4. Melawan hawa nafsu.

5. Dapat menjadikan keluarga sakinah, mawadah, warohmah.

6. Dapat menjalin iktan tali persaudaraan.

6. Larangan Perkawinan

Laraangan perkawinan atau “mahram” yang berarti terlarang, “sesuatu yang terlarang” maksudnya yaitu perempuan yang terlarang

untuk dikawini. Larangan perkawinan yaitu perintah atau aturan yang melarang suatu perkawinan.40 Secara garis besar, larangan kawin antara seoarng pria dan seorang wanita menurut syara’ dibagi dua,

37

Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, 24 38

Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Munakahat, (Jakarta : Amzah, 2009), 39. 39

Ahmad Jamil, Al-Fath Fiqih, (Gresik : CV. Putra Kembar, 2008), 5. 40

(51)

42

yaitu halangan abadi (al-tahrim al- muabbad) dan halangan sementara

(al-tahrim al-mu’aqqat).

a) Larangan abadi (mahram mu’abbad) yang disepakati terdiri dari: hubungan nasab, hubungan sesusuan dan hubungan perkawinan, sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu zina, dan li’an.41

Yang telah disepakati: 1) Hubungan Nasab

Al-Quran memberikan aturan yang tegas dan terperinci yaitu dalam surat an-Nisa’ ayat 23, yaitu:

ِخأا ُتاََ بَو ْمُكُتَْاَخَو ْمُكُتامَعَو ْمُكُتاَوَخَاَو ْمُكُتاََ بَو ْمُكُتاَهمُا ْمُكْيَلَع ْتَمِرُح

ِتْخأاا ُتاََ بَو

رلا َنِم ْمُكُتاَوَخَاَو ْمُكَْعَضْرأ ْ ِِالا ُمُكُتاَهمأَو

ُتاَهمُأَو ِةَعاَض

ِف ِِْا ُمُكُبِئاَب َرَو ْمُكِئ آَسِن

َْ ْنِأَف نِِِ مُتْلَخَد ِِْا ُمُكِئ آَسِن نِم مُكِروُجُح

ُلِئَاَحَو ْمُكْيَلَع َحاَُج َاَف نِِِ ْمُتْلَخَد اْوُ نوُكَت

ْمُكِبَاْصَأ ْنِم َنْيِذلا ُمُكِئاَْ بَأ

َْت ْنَأَو

َُ اًمْيِحراًروُفَغ َناَك َ ا نِأ َ َلَسْدَق اَم ِْأ َِْْ تْخُأا ََْْ ب اْوُعَم

Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, suadara-saudaramu yang perempuan, suadara-saudara bapakmu yang perempuan, suadara-saudara ibumu yang perempuan, anaka-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak perempuan dari saudara-saudara yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibi-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yangdalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sah sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, ( dan diharamkan bagimu) isteri-isteri

41

(52)

43

anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersuadara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.42

Berdasarkan surat An-Nisa’ wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (halangan abadi) karena hubungan nasab adalah:

1. Ibu, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya ke atas).

2. Anak perempuan, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya ke bawah.

3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.

4. Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau ibu.

5. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau perempuan.43 Di dalam KHI dijelaskan pada pasal 39 ayat 1 , yaitu:

Karena pertalian nasab :

a. dengan seorang wanita yangmelahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;

b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;

42

Deparetemen Agama RI, Al-quran Tafsir Perkata, 82. 43

(53)

44

c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

2) Hubungan Sesusuan

Perkawinan terlarang karena adanya hubungan susuan, yaitu hubungan yang terjadi karena seorang anak kecil menyusu kepada ibu selain ibu kandungnya sendiri. Hal itu dikarenakan air susu yang dia minum akan menjadi darah daging dan membentuk tulang-tulang anak. Penyusuan itu dapat menumbuhkan perasaan keanakan dan keibuan antara kedua belah pihak. Maka dari itu posisi ibu susuan dihukumi sebagai ibu sendiri.44

Wanita-wanita yang diharamkan dinikahi karena adanya hubungan sesusuan adalah:

a) Ibu Susuan, yaitu ibu yang pernah menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu, sehingga haram melakukan perkawinan b) Nenek susuan, yaitu ibu dari yang pernah menyusui

atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu di pandang seperti ayah bagi anak susuan sehingga haram melakukan perkawinan.

44

(54)

45

c) Bibi susuan, yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara perempuan suami ibu susuan dan seterusnya ke atas.

d) Kemenakan susuan perempuan, yakni anak perempuan dari saudara ibu susuan.

e) Saudara susuan perempuan, baik saudara seayah kandung maupun seibu saja.

Sebagai tambahan penjelasan sekitar susuan ini dapat dikemukakan :

1. Yang dimaksud dengan susuan yang mengakibatkan keharaman perkawinan ialah susuan yang berikan pada anak yang memang masih memperoleh makanan dan air susu.

2. Mengenai berapa kali seorang bayi menyusui pada seorang ibu yang menimbulkan keharaman perkawinan seperti keharaman hubungan nasab.45 Di dalam KHI dijelaskan pada pasal 39 ayat 3, yaitu: Karena pertalian sesusuan :

a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

45

(55)

46

c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;

d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

3) Hubungan Perkawinan atau Semenda

Adapaun halangan karena perkawinan atau semenda adalah :

a. Ibu mertua (ibu dari istri)

b. Anak perempuan dari isteri dengan ketentuan istrinya sudah di gauli

c. Perempuan yang telah di kawini oleh anak laki-laki.46 d. Perempuan yang telah dikawini oleh ayah atau ibu tiri. Seseuai dengan firman Allah:

َْ ت ََْو

ًةَشِحاَف َناَك ُنِا َ َلَس ْدَق اَم ِْا ِءاَسِلا َنِم ْمُكُؤاَبَا َحَكَن اَم ُحِك

ْقَمو

ًاْيِبَس َءاَسَو اًت

َ

Referensi

Dokumen terkait

Rukun yang pokok dalam perkawinan adalah ridhanya laki-laki dan perempuan serta persetujuan mereka untuk hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju

Adapun wawancara dilakukan terkait dengan penelitian ini adalah: Pihak-pihak yang melakukan praktik pemaksaan perkawinan wanita di bawah umur dengan laki-laki

Perkawinan bawah tangan, adalah perkawinan antara seorang laki- laki dan seorang perempuan, yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat- syarat yang ditetapkan dalam hukum agama

Sorotan utama dalam perkawinan wanita hamil karena zina (perkawinan di bawah umur) adalah masalah ekonomi. Karena kondisi ekonomi yang belum mapan bagi seorang laki-laki

Ngonse berasal dari bahasa suku Bajo, 2 yakni sebuah adat yang mana seorang wanita pergi ke rumah orang tua laki-laki yang akan menikahinya atau calon suaminya atas

Sunah, ketika seorang laki-laki telah memiliki syahwat (nafsu bersetubuh), sedangkan ia tidak takut terjerumus ke dalam zina. Jika ia menikah, justru akan membawa

mencegah atau mentaati larangan perkawinan supaya tidak terjadi suatu musibah atau petaka yang akan menimpa mempelai yang berasal dari Desa Bogorejo dan dalam

Larangan perzinaan/zina dalam berbagai peraturan perundang-undangan bahwa zina adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki atau seorang perempuan