• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Dampak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Prosiding Seminar Dampak"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

PROSIDING SEMINAR DAMPAK PERUBAHAN PERUNTUKAN

DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DALAM REVISI RTRWP TERHADAP

NERACA KARBON DALAM KAWASAN HUTAN

DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN

(2)

K

ATA

P

ENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Alloh SWT, maka selesailah penyusunan prosiding “Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP terhadap Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan”.

Seminar ini merupakan forum komunikasi dan konsultasi antar berbagai pihak yang terkait dibidang penataan ruang kawasan hutan dalam rangka menyikapi perubahan kawasan hutan dalam revisi RTRWP terkait dengan upaya-upaya mitigasi perubahan iklim.

Seminar ini dihadiri 100 orang peserta yang terdiri dari Unit Eselon I dan II Lingkup Kementerian Kehutanan, Pokja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan, Instansi teknis yang tergabung dalam keanggotaan BKPRN, Dinas Kehutanan Provinsi, Perguruan Tinggi, Dewan Kehutanan Nasional, APHI, Perhutani, Inhutani dan undangan lainnya

Prosiding ini disusun dari kumpulan presentasi pada seminar tersebut yang terdiri dari 4 pembicara dengan judul Neraca atau siklus karbon di dalam hutan oleh Dr. Ir. Bahruni , Rantai produksi yang dimulai dari pemanenan sampai dengan pengguna akhir hasil hutan kayu oleh Dr. Ir. Sudarsono Sudomo, Politik ekonomi dalam perdagangan karbon oleh Prof. Dr. Sofyan Warsito, Strategi nasional dalam menghadapi isu karbon oleh Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, dan 3 makalah pembahas yaitu oleh Dr. Ir. Iman Santoso, Ir. Wandojo Siswanto, MSc dan Prof. Dr. Rizaldi Boer .

Akhirnya, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi - tingginya atas kerjasama dari semua pihak dalam penyelenggaraan seminar dan penyusunan prosiding ini.

Jakarta, 5 Juli 2010

Direktur Perencanaan Kawasan Hutan

(3)

RUMUSAN SEMINAR DAMPAK PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DALAM REVISI RTRWP TERHADAP

NERACA KARBON DALAM HUTAN

Penataan ruang mengatur alokasi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan, yang mengharmoniskan kepentingkan tujuan ekonomi, lingkungan ataupun kepentingan masyarakat secara luas sebagai prasyarat optimalisasi penggunaan ruang/lahan. Kawasaan hutan merupakan bagian integral dari ruang wilayah, sehingga dalam setiap revisi RTRWP selalu memasukkan variabel kawasan hutan ke dalam subyek perubahan.

Siklus karbon pada ekosistem hutan menyangkut proses penyerapan dan emisi karbon ke atmosfer. Proses ini dipengaruhi oleh beberapa faktor atau kondisi yaitu : 1) Kondisi vegetasi yang meliputi jenis atau tipe vegetasi atau hutan; 2) Kondisi tempat tumbuh dan lingkungan yang meliputi faktor edafis, klimatis dan faktor hayati lainnya; 3) Kondisi pengelolaan yang meliputi pengaturan ruang (tata ruang), penentuan peruntukan/penggunaan lahan dan hutan; 4) Kondisi gangguan seperti perubahan lingkungan, kemarau, ledakan gangguan hama dan penyakit, gangguan perbuatan manusia seperti pembakaran, eksploitasi tidak terkelola dengan baik dan lain-lain.

Siklus Karbon merupakan proses penyerapan dan emisi karbon, yang hasil akhirnya adalah akumulasi atau stok karbon di tegakan atau hutan. Neraca Karbon akan menggambarkan perubahan stok karbon dari waktu ke waktu di dalam ekosistem hutan tersebut di dalam suatu ruang. Ada beberapa konsep umum yang mengukur hasil yang terjadi pada siklus karbon ini yaitu: 1) Produksi Primer Bruto (Gross Primary Production) yang merupakan penyerapan karbon dari atmosfer melalui proses fotosintesis dengan bantuan energi matahari dan klorofil pada vegetasi; 2) Produksi Primer Neto (Net Primary Production) merupakan gambaran jumlah energi yang difiksasi menjadi bahan kimia (karbon) oleh vegetasi dikurangi oleh energi respirasi oleh vegetasi (autotrophic) berupa pelepasan karbon dioksida ke atmosfer; dan Produksi Ekosistem Neto (Net Ecosystem Production), merupakan gambaran metabolisme ekosistem total yaitu pembentukan bahan organik (karbon) neto di suatu ekosistem.

(4)

berupa kepastian ruang kelola, kepastian bentuk penggunaan/pengelolaan, kepastian hak pengelolaan, yang dijamin secara legal; dan Faktor harmonisasi kepentingan para pihak di dalam pengelolaan ekosistem hutan, untuk pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan.

Dalam mitigasi perubahan iklim, hutan berperan dalam waktu terbatas, karena pada hutan klimaks stok karbon relatif stabil, penyerapannya sangat kecil, dibandingkan tegakan muda. Pada hutan yang dikelola secara lestari stok karbon dapat dianggap konstan. Kecuali ada gangguan deforestasi dan degradasi yang mengancam emisi dari stok karbon hutan tersebut.

Estimasi neraca karbon hutan Indonesia dengan skenario dan asumsi tersebut, diperoleh peningkatan stok karbon dari awal 2007 sampai tahun 2020. Peningkatan ini pengaruh pembangunan HTI yang dilakukan pada HP tanah kosong (tidak berhutan). Sehingga penting untuk menekankan prioritas pembangunan HTI di areal tidak berhutan, agar peningkatan serapan karbon terjadi.

Neraca karbon setelah tahun 2020 mengalami defisit karena proses deforetasi terus terjadi. Jadi meskipun sudah dilakukan upaya penyerapan karbon melalui pembangunan HTI sehingga terjadi surplus karbon (peningkatan stok karbon), tetapi setelah selesai pembangunan HTI proses deforestasi tetap terjadi. Jadi penting adanya upaya yang nyata dari berbagai pendekatan secara komprehensif antara lain kepastian kawasan hutan (tata ruang) untuk menurunkan laju deforestasi.

Hutan untuk kepentingan memproduksi kayu tidak perlu dipertentangkan dengan hutan untuk tujuan menyimpan karbon. Keduanya dapat berjalan seiring. Melalui hutan produksi yang dikelola dengan baik, jumlah karbon yang tersimpan dalam biomas lebih tinggi dibandingkan jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan yang ditujukan hanya untuk menyimpan karbon. Disamping keunggulan dalam menambat dan menyimpan karbon, hutan produksi dapat membangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat. Pemanenan hutan dan pemanfaatan kayunya dengan bijaksana berpotensi meningkatkan jumlah karbon yang tersimpan dan meningkatkan kegiatan ekonomi. Oleh karenanya bukan trade-off antar keduanya, melainkan bergerak dalam satu arah.

(5)

tahap berikutnya, daur yang digunakan, dan masa pakai produk kayu.

Proses pengolahan kayu dari kayu bulat menjadi produk akhir dapat dibagi dua, yakni pengolahan primer dan sekunder. Efisiensi pengolahan sekunder ini sangat beragamyang tergantung pada jenis produk akhir yang hendak dihasilkan. Jenis produk akhir ini juga akan menentukan masa pemakaian. Perlakuan pengawetan terhadap kayu tentu saja akan dapat memperpanjang masa pakainya.

Agar terdapat pergerakan satu arah antara hutan untuk kepentingan memproduksi kayu dan dalam m itigasi perubahan iklim maka:

1. Untuk menambah penambatan karbon, Indonesia harus lebih banyak menanam dan memanen kayu dari hutan. Antara hutan produksi dan hutan karbon tidak perlu dipertentangkan karena melalui hutan produksi karbon yang tersimpan dalam biomas sangat mungkin lebih banyak ketimbang karbon yang tersimpan dalam hutan karbon.

2. Hutan produksi memberikan dampak ekonomi yang lebih menguntungkan dibanding hutan yang melulu untuk karbon. Aktivitas ekonomi dapat terguncang hebat dengan dialihkannya hutan produksi menjadi hutan karbon.

3. Konstruksi rumah Indonesia masa depan seharusnya dari kayu, bukan dari tembok dan beton. Disamping menyimpan lebih banyak karbon, rumah kayu lebih tahan gempa. Ini sangat cocok untuk Indonesia yang sering dilanda gempa.

Produk barang dan jasa oleh SDH adalah joint product, ini berarti produk barang dan jasa SDH adalah dalam satu paket. Produksi berupa jasa penyerapan karbon adalah tidak terpisah dengan produksi jasa dan barang lainnya. Oleh karena itu, sebenarnya pembangunan SDH akan sekaligus menghasilkan jasa penyerapan karbon dan jasa hutan lainnya (pengurangan resiko banjir dan kekeringan bentang alam) adalah merupakan kepentingan ekonomi nasional

(6)

pasar bebas karbon akan sangat sulit untuk terlaksana, artinya memerlukan negosiasi-negosiasi global yang tidak terlalu gampang.

Eksistensi Sumber Daya Hutan secara serentak memberikan manfaat yang besar bagi kepentingan ekonomi bangsa paling tidak dalam hal penurunan resiko bencana alam. Oleh karena itu, sebenarnya kalaupun kita tidak terlalu sukses dalam perdagangan karbon, tidaklah merugi apabila pengelolaan hutan bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu diperlukan strategi ke depan untuk dapat menetapkan kawasan hutan tetap sehingga secara bertahap dapat mengeluarkan kawasan hutan sebagai variabel perubahan di dalam revisi RTRWP, karena keberadaan hutan adalah ditentukan oleh bentang alam, bukan kepentingan lain.

Beperapa program dalam rangka pengurangan emisi dari sektor kehutanan, antara lain:

1. Menekan laju deforestasi melalui a) Pengendalian penggunaan dan pelepasan kawasan hutan; dan b) Penghentian izin baru dan konversi di hutan gambut untuk pertanian dan pemukiman. Untuk implementasi program ini diperlukan penyiapan peraturan perundangan, antisipasi/strtegi untuk memfasilitasi kebutuhan sek tor lain baik secara parsial maupun dalam revisi RTRWP, serta upaya mengatasi terjadinya deforestasi yang tidak tencana 2. Mengurangi degradasi melalui a) Penerapan RIL (Reduced Impact

Logging); b) Rehabilitasi hutan gambut; dan c) Pengaturan & penurunan jatah tebang. Disamping langkah/solusi teknis tersebut diperlukan kebijakan yang tegas tehadap IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT yang kinerjanya buruk.

3. Pengelolaan hutan produksi lestari melalui a) Penerapan multi system silvikultur; dan b) Penerapan sertifikasi legalitas kayu (SVLK).

(7)

5. Peningkatan Stok Karbon Hutan melalui pembangunan hutan 1,6 jt ha/th dalam bentuk HKm/Hutan Desa, RHL DAS, HTI/HTR, Restorasi HPH, dan Hutan Rakyat kemitraan

Program-program tersebut dalam implementasinya memerlukan dukungan antara lain berupa perlunya kebijakan lintas sektor, penyiapan peraturan perundangan terkait karbon (pembatasan pemanfaatan lahan gambut, hutan alam primer, dsb), mekanisme penyelesaian konflik kawasan termasuk di dalamnya adanya keterlanjuran kegiatan non kehutanan di dalam kawasan hutan, reformasi birokrasi yang antara lain percepatan pembentukan KPH, serta pemutakhiran data dan informasi.

(8)

D

AFTAR

I

SI

Kata Pengantar ... 1

Rumusan Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP terhadap Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan... 2

Daftar Isi ... 7

Daftar Lampiran ... 9

Laporan Ketua Panitia Seminar... 11

Sambutan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan... 15

MAKALAH PEMBICARA Neraca atau Siklus Karbon di dalam Hutan (oleh: Dr.Ir. Bahruni – Fakultas Kehutanan IPB)... 22

Karbon dalam Rantai Suplai Kayu (oleh: Dr. Ir. Sudarsono Sudomo – Fakultas Kehutanan IPB)... 55

Politik Ekonomi dalam Perdagangan Karbon (oleh: Prof. Dr. Sofyan P.Warsito, Ph.D. – Fakultas Kehutanan UGM)... 70

Posisi Kelembagaan Kehutanan dan Kawasan Hutan di dalam Strategi Nasional terkait Isu Karbon (oleh: Dr.Ir. Hariadi Kartodihardjo – Fakultas Kehutanan IPB)... 78

MAKALAH PEMBAHAS Bahasan Terkait dengan Revisi RTRWP terhadap Neraca Karbon di dalam Hutan (oleh: Prof. Dr. Rizaldi Boer –CCROM SEAP IPB)... 77

Bahasan terhadap Presentasi ( oleh: Ir. Wandojo Siswanto, M.Sc- SAM Bidang Kermitraan/ Ketua Harian Pokja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan)... 88

Kelembagaan dan Ekonomi Karbon Hutan Indonesia (Oleh: Dr. Ir. Iman Santoso- Direktur Bina Perencana Pemanfaatan Hutan Produksi/ Anggota Pokja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan... 93

(9)
(10)

D

AFTAR

L

AMPIRAN

Daftar Peserta Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP terhadap

Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan... 116 Dokumentasi Peserta Seminar Dampak Perubahan Peruntukan

dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP terhadap

Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan... 120 Keputusan Direktur Perencanaan Kawasan Hutan tentang

(11)

LAPORAN KETUA PANITIA

Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan

Hutan Dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon Dalam

Kawasan Hutan

Ir. Basoeki Karyaatmadja, M.Sc.

(12)

LAPORAN KETUA PANITIA

Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon Dalam

Kawasan Hutan

(Hotel Menara Peninsula, Jakarta 2 Juni 2010)

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Salam Sejahtera bagi kita semua dan selamat pagi Yth. Bapak Direktur Jenderal Planologi Kehutanan; Yth. Narasumber/Pakar/Fasilitator;

Yth. Para Undangan dan Peserta Seminar;

Perkenankanlah kami secara singkat menyampaikan laporan tentang penyelenggaraan Seminar “Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan” sebagai berikut :

Dasar Pelaksanaan :

Keputusan Direktur Perencanaan Kawasan Hutan No.SK.15/VII/Ren-3/2010 tanggal 19 Mei 2010 tentang Panitia Penyelenggara Seminar ”Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan”

Latar Belakang

Isu global perubahan iklim akan memberikan dampak perhatian dunia terhadap pengelolaan hutan, karena posisi hutan sebagai penyerap karbon terkait mitigasi perubahan iklim.

Maksud dan Tujuan Seminar

Melalui penyelenggaraan seminar ini dimaksudkan untuk dapat menyampaikan permasalahan dampak perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam revisi RTRWP terhadap neraca karbon dalam kawasan hutan.

(13)

1. Membangun pemahanan dan langkah yang sama dalam menyingkapi pengelolaan dan perubahan kawasan hutan dalam review RTRWP terkait dalam mitigasi perubahan iklim; 2. Terwujudnya penataan hutan yang selaras serasi, seimbang.

Tempat dan waktu penyelenggaraan

Seluruh rangkaian kegiatan seminar dilaksanakan di Hotel Peninsula, Jakarta selama 1 (satu) hari pada tanggal 2 Juni 2010.

Persidangan

Seminar diawali dengan sambutan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan yang sekaligus membuka secara resmi pelaksanaan seminar, yang dilanjutkan dengan sesi pengantar diskusi dengan topik :

a. Neraca atau siklus karbon di dalam hutan, yang akan disampaikan oleh Dr. Ir. Bahruni

b. Rantai produksi yang dimulai dari pemanenan sampai dengan pengguna akhir hasil hutan kayu yang akan disampaikan oleh Dr. Ir. Sudarsono Sudomo

c. Politik ekonomi dalam perdagangan karbon yang akan disampaikan oleh Prof. Dr. Sofyan Warsito

d. Strategi nasional dalam menghadapi isu karbon, yang akan disampaikan oleh Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo

Selanjutnya diiskusi diawali dengan penyampaian bahasan dari Dr. Ir. Iman Santoso,Ir. Wandojo Siswanto, MSc, Prof. Dr. Rizaldi Boer.

Peserta Seminar

(14)

Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kapada para pakar yang telah berkenan menjadi narasumber dan pembahas pada pelaksanaan seminar ini.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada Bapak/Ibu atas kehadirannya untuk mengikuti acara ini, dan atas nama keseluruhan anggota panitia kami sampaikan permohonan maaf apa bila ada hal-hal yang kurang berkenan dalam penyelenggaraan kegiatan ini.

Untuk selanjutnya, kami mohon perkenan Bapak Direktur Jenderal Planologi Kehutanan untuk memberikan arahan dan sekaligus membuka secara resmi Seminar Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon dalam Kawasan Hutan” Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 2 Juni 2010

Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Ttd

(15)

Sambutan dan Pembukaan Direktur Jenderal Planologi

Kehutanan pada Seminar Dampak Perubahan

Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Revisi

RTRWP Terhadap Neraca Karbon Dalam Kawasan Hutan

yang diwakili oleh Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang

Ekonomi

(16)

SAMBUTAN

DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

PADA ACARA PEMBUKAAN

SEMINAR DAMPAK PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN

FUNGSI KAWASAN HUTAN TERHADAP

NERACA KARBON DALAM KAWASAN HUTAN

Assalamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakatu, Salam sejahtera bagi kita semua.

Yth. Para Pembicara; Yth. Para Pembahas;

Yth. Pejabat Eselon I dan Eselon II Lingkup Kementerian Kehutanan; Yth. Dekan Fakultas Kehutanan UGM dan IPB;

Yth. Anggota BKPRN;

Yth. Para Kepala Dinas Kehutanan Provinsi; Yth. Sekretaris Dewan Nasional Perubahan Iklim;

Yth. Anggota Pokja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan; Yth. Direktur Utama Perum Perhutani;

Yth. Direktur PT. Inhutani I s/d V;

Yth. Ketua Dewan Kehutanan Nasional (DKN);

Yth. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Bapak, Ibu Hadirin sekalian yang berbahagia.

Marilah kita awali pertemuan ini dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya kita semua dapat berkumpul untuk mengikuti acara seminar "Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon Dalam Kawasan Hutan" pada hari ini.

(17)

iklim tersebut, baik yang menyangkut tingkat bahaya lingkungan yang akan ditimbulkan, cara atau pendekatan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mekanisme insentif terhadap upaya pengurangan dampak perubahan iklim, dan sebagainya. Dari kesemuanya tersebut, yang sudah pasti adalah isu perubahan iklim saat ini dapat kita rasakan bersama telah memberikan pengaruh yang sangat luar biasa terhadap posisi (peran strategis) hutan dalam perubahan iklim tersebut. Kiranya tidak berlebihan jika di dalam kondisi "Dunia di Tengah Perubahan Iklim" seperti saat ini, menempatkan hutan pada posisi yang strategis tersebut, karena hutan tidak hanya mampu menyerap CO2 dari udara tetapi juga mampu menyimpan CO2 dalam jangka waktu yang panjang.

Saudara-saudara sekalian,

Pandangan terhadap peran strategis hutan dalam isu perubahan iklim tersebut, di satu sisi dapat merupakan pendorong bagi upaya perbaikan kondisi dan pelestarian hutan, tetapi di sisi lain dapat pula menjadi pembatas bagi upaya pengelolaan hutan yang diarahkan untuk memperoleh manfaat ekonomi dari hasil hutan dan pemanfaatan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan. Pemanfaatan hutan khususnya pemanfaatan hasil hutan berupa kayu saat ini sangat erat dikaitkan dengan isu deforestasi. Lebih lanjut, isu deforestasi tersebut diposisikan sebagai penyebab signifikan terjadinya perubahan iklim, meskipun kita ketahui bersama bahwa emisi CO2 lebih banyak berasal dari hasil pembakaran bahan bakar fosil untuk kepentingan industri, transportasi, listrik, dsb.

(18)

iklim melalui isu deforestasi. Dengan demikian isu deforestasi tersebut dipicu oleh adanya kegiatan konversi (perubahan peruntukan) kawasan hutan menjadi APL, dan kegiatan pemanfatan hutan khususnya hasil hutan kayu.

Pandangan pentingnya insentif bagi upaya pengurangan dan/atau menghambat terjadinya perubahan iklim tersebut, memunculkan berbagai skema yang antara lain menjadikan insentif tersebut ke dalam mekanisme pasar (carbon trading). Mekanisme tersebut pada prinsipnya diarahkan pada upaya untuk menunda pemanfaatan dan/atau untuk lebih mengkonservasi hutan meskipun fungsi pokoknya adalah hutan produksi. Hal ini pula yang dapat menimbulkan isu baru ketika kebutuhan akan hasil hutan khususnya kayu menjadi terbatas, demikian juga terhadap kebutuhan lahan bagi pembangunan di luar sektor kehutanan.

Sebagaimana sudah kita ketahui bersama, terdapat berbagai sistem silvikultur di dalam pemanfaatan hutan baik untuk hutan alam maupun hutan tanaman, yang kesemuanya diharapkan dapat menjamin keberlanjutan fungsi ekonomi/produksi, ekologi dan sosial yang diperankan oleh kawasan hutan (SFM). Namun dalam isu perubahan iklim masih diperlukan kejelasan terhadap posisi sistem silvikultur ini, karena terdapat sebagian pandangan yang memposisikan sistem ini sebagai penyebab emisi CO2.

Terhadap tuntutan kebutuhan lahan bagi pembangunan di luar sektor kehutanan melalui konversi (perubahan peruntukan) kawasan hutan menjadi APL, kiranya perlu ditempatkan secara proporsional di dalam isu perubahan iklim melalui isu deforestasi. Keberhasilan pembangunan tegakan hutan di luar kawasan hutan seperti di Desa Selopuro dan Sumber Rejo di Kabupaten Wonogiri dan di desa-desa lain di P. Jawa, ternyata mampu menjawab terbatasnya atau tidak terpenuhinya luas minimum kawasan hutan yang harus ada di sebuah DAS atau wilayah.

(19)

pemanfaatan hutan berdasarkan sistem silvikultur tertentu yang direncanakan dipandang (dikategorikan) sebagai penyebab deforestasi.

Saudara-saudara sekalian

Banyak hal yang masih menjadi pertanyaan khususnya terkait dengan pengaturan urusan kehutanan di Indonesia dikaitkan dengan isu perubahan iklim tersebut. Pembagian kawasan hutan menjadi 3 (tiga) fungsi pokok secara relative permanen (yang masih dimungkinkan terjadi perubahan dalam batas-batas dan kriteria tertentu) dengan kejelasan arahan pemanfaatannya yaitu sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi tentunya akan mempunyai implikasi yang berbeda terhadap peran hutan di dalam isu perubahan iklim tersebut.

Pada seminar kali ini kita berharap dapat memperoleh penjelasan dari pakar manajemen hutan untuk menjelaskan bagaimana siklus hidup hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman dalam kaitannya dengan rantai penyerapan dan penyimpanan karbon di dalam hutan. Dari pakar lain diharapkan dapat diperoleh penjelasan bagaimana rantai produksi hasil hutan yang dimulai dari pemanenan (penebangan pohon), pengolahan sampai dengan pengguna akhir dalam kaitannya dengan emisi CO2. Disamping hal-hal teknis tersebut, juga diperlukan penjelasan bagaimana peluang implementasi mekanisme perdagangan karbon di Indonesia khususnya di sektor kehutanan, serta strategi nasional dalam menghadapi isu perubahan iklim khususnya kesiapan kelembagaan kehutanan saat ini dan ke depan.

Saudara-saudara sekalian

(20)

Khususnya kepada para narasumber yang diantara kesibukannya masih menyempatkan untuk dapat memenuhi undangan kami, sekali lagi kami ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat berseminar dengan harapan dapat dihasilkan rumusan solusi permasalahan pemanfaatan ruang. Dengan mengucapkan Bismillahirrohmanirahim SEMINAR “DAMPAK PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DALAM REVISI RTRWP TERHADAP NERACA KARBON DALAM KAWASAN HUTAN” saya nyatakan dengan resmi dibuka.

Wassalamualaikum Wr.Wb.,

DIREKTUR JENDERAL

PLANOLOGI KEHUTANAN,

Ttd

(21)

2010

Seminar Dampak Perubahan

Peruntukan dan Fungsi Kawasan

Hutan Dalam Revisi RTRWP

Terhadap Neraca Karbon Dalam

Kawasan Hutan

(22)

Pembicara

Dr. Ir. Bahruni

Fakultas Kehutanan IPB

(23)

NERACA ATAU SIKLUS KARBON DI DALAM HUTAN

(Oleh: Dr. Ir. Bahruni)

A. PERKEMBANGAN HUTAN INDONESIA

Tanah atau lahan negara merupakan sumberdaya penting untuk berbagai keperluan pembangunan nasional dan daerah. Adanya tata ruang yang mengatur alokasi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan, yang mengharmoniskan kepentingkan tujuan ekonomi, lingkungan ataupun kepentingan masyarakat secara luas merupakan prasyarat optimalisasi penggunaan ruang/ lahan. Alokasi lahan yang ditujukan untuk pembangunan kehutanan di atur dalam tata ruang wilayah nasional, akan memberikan kepastian status kawasan hutan dan sasaran pengurusan hutan dan kehutanan, dilakukan melalui penetapan dan pengukuhan kawasan hutan. Sesuai dengan fungsi utama setiap ekosistem hutan yang memiliki karakteristik tertentu ditetapkan untuk hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi yang akan membentuk hutan tetap/permamen. Di samping itu ada kawasan hutan yang bersifat temporal yaitu hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) untuk berbagai kepentingan pembangunan.

Tutupan lahan pada suatu kawasan hutan bisa berupa hutan dengan berbagai tingkatan kualitas, ataupun non hutan. Kondisi hutan ini akan menentukan besar kerapatan karbon di setiap hutan. Kebijakan pemanfaatan hutan alam yang umumnya dalam kondisi klimaks (dilihat dari segi riwayat gangguan disebut hutan primer), menggunakan sistem silvikultur tebang pilih (manajemen hutan tidak seumur). Salah satu karakteristik ekonomi dan manajemen hutan adalah adanya multi sifat dalam satu wujud tegakan. Sifat itu berupa produk yaitu kayu dan non kayu juga sekaligus sebagai pabrik yang menghasilkan produk itu. Pemanenan hasil kayu sekaligus menghilangkan pabriknya, yang dapat mengganggu ketersediaan sumberdaya hutan dalam jangka panjang.

Berdasarkan data statistik kehutanan yang dibuat dan didokumentasikan oleh Ditjen Planologi, seperti dokumen neraca sumberdaya hutan (NSDH 1998, 2002, 2005), peta deforestasi Indonesia periode 2003-2006, menunjukkan penurunan luas dan potensi hutan Indonesia. Banyak data dan pendapat yang menyatakan bahwa kerusakan hutan disebabkan kombinasi berbagai faktor.

(24)

kelola dan regulasi yang tidak mampu menumbuhkan perilaku pengelolaan hutan yang baik, birokrasi yang yang belum efisien, karakter opportunis, ketidakpastian lahan (masalah tenurial & tata ruang) dan lain-lain.

Fakta bahwa hutan alam semakin berkurang sedangkan pembangunan hutan tanaman (HTI) relatif lambat dan keberhasilan reboisasi, penghijauan, rehabilitasi lahan dan hutan juga masih rendah. Pada tahun 2005 dari luas total 131, 65 juta ha, hutan primer hanya tersisa 35,85%, sedangkan hutan sekunder mencapai 32,37% dan tidak berhutan cukup luas yaitu 31,78%. Data luas kawasan hutan Indonesia menurut fungsi hutan tahun 2005 di Lampiran 1. Berdasarkan data Peta Deforestasi Indonesia Periode 2003-2006 dan data luas pada akhir tahun 2005 (awal 2006), diestimasi laju deforestasi di setiap kondisi hutan (hutan primer dan sekunder) untuk masing-masing fungsi hutan. Secara umum deforestasi tertinggi terjadi di HP sebesar 0,8%/thn, sedangkan kondisi hutan yang tercepat terdeforestasi adalah hutan sekunder di HPK yaitu 1,77%/thn diikuti hutan sekunder di HP sebesar 1,16%/thn (Tabel 1).

Tabel 1. Analisis laju deforestasi Indonesia periode 2003-2006 a. Deforestasi terhadap luas total setiap fungsi hutan 2003-2006

Deforestasi KSA+KPA HL HPT+HP HPK

Hutan primer 0,04% 0,05% 0,04% 0,02%

Hutan sekunder 0,21% 0,35% 0,63% 0,43%

Total 0,26% 0,42% 0,80% 0,48%

b. Deforestasi terhadap luas masing-masing kondisi hutan

Deforestasi KSA+KPA HL HPT+HP HPK

Hutan primer 0,08% 0,11% 0.16% 0,07%

Hutan sekunder 0,88% 1,18% 1.62% 1.77%

Total 0,26% 0,42% 0.80% 0,48%

Note: diolah dari informasi peta deforestasi Indonesia 2003-2006

(25)

Wilayah (nasional dan propinsi, kabupaten/kota) terhadap kuantitas dan kualitas hutan Indonesia, untuk mendukung berbagai kelangsungan sistem produksi hutan dan industri berbasis hasil hutan, serta memberikan jasa ekologis skala lokal nasional dan global. Diantara jasa ekologis itu adalah penyerapan karbon pada hutan baru (hutan tanaman) maupun hutan alam. Sebagaimana diketahui perkembangan hutan dan stok karbon hutan dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kepastian kawasan, melalui kemantapan tata ruang.

B. SIKLUS & NERACA KARBON HUTAN

Pembahasan tentang stok atau neraca karbon ekosistem hutan tidak terlepas dari pemahaman tentang siklus atau aliran karbon itu. Ekosistem memiliki empat komponen dasar yaitu a) substansi abiotik, b) produser (autotrophic), c) konsumer, d) dekomposer. Di dalam ekosistem (termasuk ekosistem hutan) terjadi proses pertukaran materi seperti air,unsur-unsur hara, ataupun bahan kimia, polutan dll, dan perubahan energi secara terus menerus, yang mempengaruhi kelangsungan ekosistem seperti tingkat produktivitas, integritas dan kelestariannya.

Di dalam ekosistem dengan seluruh unsur pembentuknya tersebut terdapat tujuh atribut yang menjadi karakteristiknya (Kimmins, 1987 dalam Vogt et. al, 1997) yaitu a) struktur ekosistem, b) fungsi ekosistem, c) kompleksitas sifat setiap unsur maupun hubungan fungsional diantara komponennya, d) adanya interaksi dan ketergantungan setiap komponen di dalam ekosistem, e) ekosistem tidak terlepas dengan dimensi ruang, f) ekosistem selalu mengalami perubahan temporal. Dalam konteks perubahan temporal ini sumber perubahan bisa dari faktor alam seperti cuaca ataupun iklim, ataupun perbuatan manusia (antrophogenic). Tindakan manusia ini bisa secara terorganisir berupa tindakan pengelolaan ekosistem itu ataupun tindakan lainnya atau mengubah ekosistem tersebut. Di dalam ekosistem terdapat kemampuan atau proses yang setelah adanya gangguan ekosistem akan menuju kondisi semula (kondisi stabil) dinamakan proses suksesi (succession), sedangkan proses yang semakin menjauh dari kondisi stabil karena adanya gangguan yang kronis dinamakan proses retrogesi (retrogession), menuju degradasi dan deforestasi.

(26)

1. Kondisi vegetasi : meliputi jenis atau tipe vegetasi atau hutan hal ini terkait dengan sifat biologi tanaman, dan umur tanaman, yang mempengaruhi respon vegetasi terhadap karbon dioksida di atmosfer.

2. Kondisi tempat tumbuh dan lingkungan (faktor edafis, klimatis dan faktor hayati lainnya) : menyangkut geomorfologi, kondisi tanah, unsur-unsur hara di tanah, curah hujan, kelembaban, suhu, jenis dan kepadatan populasi herbivor dan lain-lain.

3. Kondisi pengelolaan dan gangguan : menyangkut pengaturan ruang (tata ruang), penentuan peruntukan/ penggunaan lahan dan hutan, kegiatan pengelolaan sesuai dengan fungsi hutan dan tujuannya. Adapun gangguan yang bersifat alami seperti stres oleh perubahan lingkungan, kemarau, ledakan gangguan hama dan penyakit, gangguan perbuatan manusia seperti pembakaran, eksploitasi tidak tidak terkelola (berlebihan) dan lain-lain.

(27)

Gambar 1. Proses siklus karbon hutan berdasarkan proses penyerapan dan emisi karbon ke atmosfer

Pengelolaan ekosistem hutan merupakan upaya untuk meningkatkan pengaruh positif terhadap proses ekologis dan meminimalkan perubahan dari kondisi ekologis yang diinginkan (terkait dengan sistim output seperti berbagai hasil hutan yang dapat dipanen, tata air yang baik, keindahan bentang alam, kualitas habitat, dll) ke arah yang kurang diinginkan seperti banjir, erosi, kematian tegakan, penurunan populasi satwaliar,penurunan atau perubahan tutupan tajuk, penurunan stok karbon, dll). Di dalam pengelolaan ekosistem hutan sistem outputnya terkait dengan siklus karbon. Untuk memahami siklus karbon ditunjukkan pada Gambar 1. Siklus Karbon merupakan proses penyerapan dan emisi karbon, yang hasil akhirnya adalah akumulasi atau stok karbon di tegakan atau hutan. Neraca Karbon akan menggambarkan perubahan stok karbon dari waktu ke waktu di dalam ekosistem hutan tersebut di dalam suatu ruang.

Ada beberapa konsep umum yang mengukur hasil yang terjadi pada siklus karbon ini yaitu Produksi Primer Bruto (Gross Primary Production), Produksi DEFORESTASI, DEGRADASI DEKOMPOSISI, RESPIRASI HETEROTROPHIC RESPIRASI AUTOTROPHIC FOTOSINTESIS REGENERASI , MATI O2 TEGAKAN :  PRODUKSI PRIMER NETO;  PRODUKSI EKOSISTEM NETO PERTUMBUHAN NETO PANEN, PAKAN HERBIVOR A T M O S F E R G CO2

MANAJEMEN EKOSISTEM , ANTHROPOGENIC TANAH & SERASAH

(28)

Primer Neto (Net Primary Production) dan Produksi Ekosistem Neto (Net Ecosystem Production), yang diacu dari Vogt et. al(1997).  Produksi primer bruto (PPB) merupakan penyerapan karbon dari

atmosfer melalui proses fotosintesis dengan bantuan energi matahari dan klorofil pada vegetasi.

 Produksi primer neto (PPN) merupakan gambaran jumlah energi yang difiksasi menjadi bahan kimia (karbon) oleh vegetasi dikurangi oleh energi respirasi (R) oleh vegetasi (autotrophic) berupa pelepasan karbon dioksida ke atmosfer. Secara matematik PPN = PPB – R, namun pengkuran fotosintesis dan respirasi ini relatif sulit. Di dalam keperluan manajemen diperlukan cara praktis, yaitu mengukur biomasa pada vegetasi/hutan, ditambah biomasa yang ada pada bagian yang mengalami regenerasi/mati (serasah) dan ditambah bagian vegetasi yang dimakan hewan herbivor.

 Produksi ekosistem neto (PEN) merupakan gambaran metabolisme ekosistem total yaitu pembentukan bahan organik (karbon) neto di suatu ekosistem. Yaitu biomasa vegetasi dikurangi pelepasan karbon keatmosfer oleh respirasi heterotrophic, berupa dekomposisi bahan organik dari bagian yang mati (nekromasa) atau dekomposisi bahan organik oleh organisme tanah, termasuk juga dekomposisi dari yang dimakan oleh hewan herbivor.

Di dalam kepentingan pengelolaan, maka dimensi ruang yang tidak dapat dipisahkan dengan ekosistem dimasukan dalam perhitungan. Skala ruang ini bisa pada berbagai tingkatan. Produksi primer pada skala ruang ini adalah PEN dikurangi dengan pengurangan biomasa (karbon) oleh tindakan pengelolaan ataupun gangguan, seperti pemanenan, kebakaran dll. Skala ruang ini bisa dari tingkat sempit sampai luas, yaitu :

 Produksi biomasa pada skala ekoton. Ekoton merupakan zona transisi diantara individu vegetasi ataupun diantara komunitas vegetasi.

 Produksi biomasa neto pada skala tegakan (stand level) atau Produksi tegakan neto (PTN). Tegakan didefinisikan sebagai wilayah yang dicirikan oleh struktur vegetasi yang cukup homogen, kesamaan umur, tipe tanah, topografi, iklim mikro, kesamaan riwayat gangguan masa lalu dan sekarang, serta dikelola sebagai suatu unit pengelolaan.

(29)

 Produksi neto pada skala bentang alam (landscape level).

 Produksi biomasa neto pada skala biome (biome level). Biome terdiri dari komunitas vegetasi yang signifikan berbeda dengan komunitas vegetasi lainnya, dicirikan oleh kesamaan kualitas seperti tinggi tajuk, jumlah strata vegetasi dll (kimmins, 1987 dalam Vogt et. al, 1997). Deliniasi biome biasanya didasarkan atas variabel iklim seperti curah hujan tahunan, temperatur rata-rata tahunan sebagai pembagian komunitas vegetasi, disebut juga tipe vegetasi klimatis. Seperti hutan tropis dibagi atas hutan hujan tropis, hutan musim dan lain-lain.

Pengelolaan lahan dan vegetasi pada level biome dapat Lebih lanjut mempertimbangkan faktor penciri edafis digabungkan dengan faktor klimatis sehingga lebih rinci menjadi tipe-tipe hutan. Pada skala ini memungkinkan membuat beberapa skenario pengelolaan perubahan lahan dan hutan. Apabila dipertimbangkan unsur waktu pada suatu siklus karbon maka PPN merupakan pembentukan stok karbon jangka pendek. Sedangkan proses dekomposisi bahan organik yang akan melepas karbon ke atmosfer membutuhkan waktu cukup panjang, yang akan mengurangi stok biomasa (karbon) di dalam ekosistem (PEN). Produksi biomasa neto pada skala tegakan, tipe vegetasi ataupun bentang alam memperhitungkan pengurangan-pengurangan biomasa (karbon) oleh faktor diluar sistem alami, yaitu tindakan pengelolaan seperti penebangan dan pembinaan hutan. Oleh karena itu diperlukan evaluasi neraca karbon terkait dengan ruang dan waktu.

Neraca Karbon dapat sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola ekosistem hutan. Faktor penting yang terkait mempengaruhi neraca karbon antara lain, adalah :

 Faktor yang mempengaruhi siklus karbon (fotosintesis, respirasi dan dekomposisi)

 Faktor prasyarat berupa kepastian ruang kelola, kepastian bentuk penggunaan/ pengelolaan, kepastian hak pengelolaan, yang dijamin secara legal.

 Faktor harmonisasi kepentingan para pihak di dalam pengelolaan ekosistem hutan, untuk pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan.

(30)

atmosfer, suatu proses deforestasi dan degradasi hutan. Proses itu disajikan pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Proses reforestasi, deforestasi & degaradasi hutan Dalam mitigasi perubahan iklim hutan berperan dalam waktu terbatas, karena pada hutan klimaks stok karbon relatif stabil, penyerapannya sangat kecil, dibandingkan tegakan muda. Pada hutan yang dikelola secara lestari stok karbon dapat dianggap konstan. Kecuali ada gangguan deforestasi dan degradasi yang mengancam emisi dari stok karbon hutan tersebut.

Berikut ini diuraikan pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman pada siklus dan neraca karbon di dalam kawasan hutan Indonesia.

1. Pengelolaan pada HP mencakup dua skenario yang digunakan adalah :

a. Skema pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), untuk hutan alam dan hutan tanaman.

b. Skema pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman pada kondisi terjadi deforestasi, data historis 2003-2006.

2. Pengelolaan hutan pada fungsi HL, KSA & KPA, HPK diasumsikan sebagaimana pengelolaan yang ada sekarang ini. Program intervensi terhadap deforestasi dan degradasi di HL, KSA & KPA, dan HPK tidak secara khusus atau tidak ada peningkatan. Skema deforestasi berdasarkan data historis periode 2003-2006

KAWASAN NON HUTAN

(31)

digunakan pada neraca karbon HL, KSA & KPA serta HPK. Penghitungan neraca karbon pada skala nasional.

Siklus karbon Hutan Produksi (HP) akan menghasilkan pertumbuhan neto tegakan. Pada hutan alam terkait dengan dinamika tegakan, yang dianalisis dengan model pertumbuhan klas diameter, yaitu (Michie, 1985; Michie & McCandless, 1986; Davis & Johnson, 1987; Vanclay, 1994; Tarumingkeng, 1994; Suhendang, 1999)

Nk,t+1 = Nk,t +Ik - Uk - Mk - Hk,

Nk,t+1 adalah jumlah pohon kelas diameter k pada periode t+1;

Nk,t adalah jumlah pohon kelas diameter k pada periode t;

Ik adalahingrowth ke kelas diameter k selama periode;

Uk adalah upgrowth dari kelas diameter k selama periode;

Mk adalah mortalitas pada kelas diameter k selama periode;

Hk adalah jumlah pohon yang dipanen pada kelas diameter k selama

periode

Data pertumbuhan tegakan hutan alam menggunakan informasi hasil penelitian dibeberapa lokasi pada ekosistem hutan hujan tropis dataran rendah (Bahruni, 2008). Potensi karbon hutan alam primer dari lembaga Penelitian IPB (1992), hutan bekas tebangan dan sekunder hutan rawa dari Bahruni (2010), Rochmayanto (2009), Rahayu (2009). Pengelolaan hutan alam menggunakan sistem TPTI siklus tebang 35 tahun, dan TPTII dengan siklus tebang 25 tahun. Data siklus karbon hutan alam TPTII selama 25 tahun pertumbuhan dari Hardiansyah (2009).

Adapun pertumbuhan tegakan hutan tanaman bersumber dari data tiga lokasi Unit Manajemen HTI di Sumatera dan Kalimantan. Hasil inventarisasi plot contoh & plot permanen untuk jenis A. crassicarpa, A. mangium dan E. pellita. Riap diduga dengan model pertumbuhan yaitu :

A. crassicarpa : C = 42,032 Ln X + 2,5573. (R2= 09882)

E. Pellita : C = -0,1301 X3 + 2,4791 X2+ 3,2142 X + 1,0174 (R2 = 09896)

A. mangium : C= -0,0955 X3 +1,6646 X2 + 13,732 X –15,698 (R2 = 09928)

(32)

sebagai Produksi Primer Neto). Pada Gambar 3 pengelolaan hutan alam dimulai dari penebangan hutan alam klimaks (primer) stok 237 tC/ha. Penebangan TPTI menurunkan stok karbon menjadi (hutan bekas tebangan/LOA) TPTI menjadi 101 tC/ha. Pada skenario PHPL maka melalui model penduga dinamika tegakan hutan bekas tebangan (Bahruni, 2008) pada saat siklus tebang ke 2 (35 tahun kemudian) stok hutan alam naik mencapai 186 tC/ha. Adapun penebangan TPTII mengakibatkan stok karbon hutan alam bekas tebangan turun menjadi 49-98 tC/ha. Setelah 25 tahun kemudian stok karbon meningkat mencapai 219 tC/ha untuk stok tegakan saja, dan mencapai 271 tC/ha untuk stok karbon tegakan + serasah + pohon mati. Produksi primer neto pada TPTI dan TPTII itu polanya tetap selama analisis, karena tidak ada faktor gangguan, kelestarian hutan dan hasil hutan dapat tercapai.

0 50 100 150 200 250 300

1 10 19 28 37 46 55 64 73 82 91 100

Waktu (thn) S to k K a rb o n H u ta n A la m (t C /h a )

HA-TPTII-2 HA-TPTI HA-TPTII-1

Gambar 3. Dinamika stok karbon pengelolaan hutan alam TPTI & TPTII

(33)

-50 100 150 200 250

1 7 13 19 25 31 37 43 49 55 61 67 73 79 85 91

Waktu (thn) S to k K a rb o n (t C /h a )

Def HA-TPTI Def HTI

Gambar 4. Dinamika stok karbon pada pengelolaan hutan alam TPTI dan pengelolaan HTI pada pengaruh deforestasi.

Siklus karbon pada pengelolaan HTI, dimulai dari perubahan hutan alam sekunder dan hutan bekas tebangan. Pada hutan sekunder Rawa stok karbon 50 tC/ha, dan bekas tebangan sebesar 126 tC/ha, dan pada hutan lahan kering bekas tebangan 101 tC/ha. Model pertumbuhan digunakan melalui program Stella untuk menduga penyerapan karbon selama daur. Semua HTI (jenis Mangium, Crassicarpa dan Pellita) dapat mengakumulasi karbon sebagai produksi primer neto lebih tinggi dari hutan alam semula, kecuali HTI jenis Crassicarpa yang dikembangkan di Hutan Gambut bekas tebangan yang memiliki stok karbon 126 tC/ha (Gambar 5). Apabila HTI dikembangkan di lahan tidak berhutan semua jenis HTI akan meningkatkan stok karbon di hutan.

0 50 100 150 200 250

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65

(34)

Gambar 5. Dinamika stok karbon pada pengelolaan HTI skema PHPL Neraca karbon pengelolaan hutan alam dan HTI pada satu Unit Manajemen (UM), dianalisis untuk luas 35 ha (hutan alam dan HTI) agar dapat diperbandingkan produksi biomasa yang diperoleh di setiap UM. Dinamika karbon skala Unit Manajemen juga menggunakan skenario PHPL dan skenario pengaruh deforestasi. Pada luas UM yang sama masing-masing 35 ha, dengan daur atau siklus tebang yang berbeda-beda, diperoleh akumulasi stok karbon kondisi stabil (steady state pada pola pengaturan hasil selama siklus tebang bukansteady state pada pertumbuhan) skenario PHPL.

Akumulasi stok karbon pada skenario PHPL, TPTI sebesar 5.017,8 ton, TPTII-1 sebesar 4.050 ton dan TPTII-2 sebesar 5.885 ton. Stok kondisi semula hutan primer di dalam satu UM pengelolaan hutan alam TPTI & TPTII sebesar 8.305 ton. Dengan demikian stok karbon kondisi steady state pengelolaan hutan alam TPTI & TPTII, lebih rendah dari stok hutan klimaks (steady state pertumbuhan). (Gambar 6).

Akumulasi stok karbon pengelolaan HTI pada skenario PHPL satu UM luas 35 ha setelah selesai masa pembangunan satu daur mulai memasuki daur kedua mencapai 3.332 ton. Kondisi stok awal yaitu pada lahan kosong adalah 0 ton, sedangkan pada hutan sekunder stok karbon awal 1.960 ton (35 ha x 56/ha ton). Dengan demikian akumlasi stok akrbon HTI lebih besar dari stok hutan semula, jadi berperan positif meningkatkan simpanan karbon di hutan (Gambar 6).

-1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49

Waktu (thn) S to k K a rb o n U n it M a n a je m e n (t o n )

UM HA-TPTI UM-HTIhs UM-HTInh UM HA-TPTII

(35)

Skenario pengaruh deforestasi pada satu Unit Manajemen hutan alam maupun hutan tanaman tentu akan menurunkan akumlasi stok karbon, sehingga semakin lama kondisi stok semakin menurun yang berarti emisi telah menguras stok karbon dihutan. Gambar perkembangan atau neraca karbon pada satu UM pengaruh deforestasi disajikan pada Gambar7.

-2,000 4,000 6,000 8,000 10,000

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49

Umur (thn) S to k K a rb o n U n it M a n a je m e n (t o n )

UM HA-TPTI UM-HTIhs UM-HTInh UM HA-TPTII

Gambar 7. Neraca karbon pada skala satu UM hutan alam dan HTI pada skenario pengaruh deforestasi

Neraca karbon di dalam kawasan hutan Indonesia diestimasi menggunakan beberapa asumsi/ skenario, yaitu :

 Stok karbon hutan alam primer di semua fungsi hutan 237,29 tC/ha, hutan sekunder sebesar 101 tC/ha.

 Hutan sekunder pada HP merupakan keseluruhan UM pengelolaan hutan alam dengan TPTI yang sudah mencapai siklus tebang kedua stok karbon 35 ha sebesar 5.018 ton.

 HTI yang sudah ada sebesar (definitif) 4.600.000 ha sudah memasuki daur kedua. Pembangunan HTI ditargetkan total 15 juta hektar, sehingga masih ada pembangunan HTI sebesar 10.400.000 ha. Keseluruhan HTI baru dari HP yang tidak berhutan.

 Laju deforestasi di masing-masing hutan (primer dan sekunder) di setiap fungsi hutan mengacu angka laju deforestasi pada Tabel 1.  Neraca karbon hutan di dalam kawasan hutan Indonesia

(36)

 Analisis neraca karbon hutan di dalam kawasan selama 20 tahun.

Estimasi neraca karbon hutan Indonesia dengan skenario dan asumsi tersebut, diperoleh peningkatan stok karbon dari awal 2007 sampai tahun 2020. Peningkatan ini pengaruh pembangunan HTI yang dilakukan pada HP tanah kosong (tidak berhutan). Sehingga penting untuk menekankan prioritas pembangunan HTI di areal tidak berhutan, agar peningkatan serapan karbon terjadi.

Neraca karbon setelah tahun 2020 mengalami defisit karena proses deforetasi terus terjadi. Jadi meskipun sudah dilakukan upaya penyerapan karbon melalui pembangunan HTI sehingga terjadi surplus karbon (peningkatan stok karbon), tetapi setelah selesai pembangunan HTI proses deforestasi tetap terjadi. Jadi penting adanya upaya yang nyata dari berbagai pendekatan secara komprehensif antara lain kepastian kawasan hutan (tata ruang) untuk menurunkan laju deforestasi.

-100 -50 0 50 100 150 200 250

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19

Waktu (thn) P e ru b a h a n S to k K a rb o n H u ta n (j u ta to n ) Surplus/Defisit

Gambar 8. Surplus dan defisit neraca karbon hutan Indonesia selama 2006 - 2005

Data lebih rinci stok karbon di awal tahun dan di akhir tahun selama 20 tahun disajikan pada Tabel 2.

(37)

NERACA KARBON DI DALAM KAWASAN HUTAN 2006-2025 (juta ton)

Tahun Awal Tahun Akhir Tahun Surplus/Defisit

2006 - 17,473

2007 17,473 17,400 (73)

2008 17,400 17,348 (52)

2009 17,348 17,317 (31)

2010 17,317 17,308 (9)

2011 17,308 17,319 12

2012 17,319 17,352 33

2013 17,352 17,406 54

2014 17,406 17,481 75

2015 17,481 17,578 96

2016 17,578 17,695 117

2017 17,695 17,833 138

2018 17,833 17,992 159

2019 17,992 18,173 180

2020 18,173 18,374 201

2021 18,374 18,297 (77)

2022 18,297 18,221 (76)

2023 18,221 18,146 (75)

2024 18,146 18,071 (74)

2025 18,071 17,998 (73)

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Planologi. 1998. Neraca Sumberdaya Hutan Nasional 1998. Pusat Inventarisasi SDH dan Kebun. Badan Planologi Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

Badan Planologi . 2002. Neraca Sumberdaya Hutan Nasional 2002. Pusat Inventarisasi & Statistik Kehutanan, Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.

Badan Planologi. 2008. Peta Deforestasi Indonesia Periode 2003-2006. Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan, Badan Planologi Departemen kehutanan.

Bahruni. 2009. Bahan Training Analisis Biaya Manfaat Penggunaan Lahan dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Puslitsosek. Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor.

Bahruni. 2008. Pendekatan Sistem dalam Pendugaan Nilai Ekonomi Total Ekosistem Hutan. Studi Kasus Hutan Alam Bekas Tebangan di kalimantan Tengah. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Bahruni. 2010. Valuasi Ekonomi Alternatif Pengelolaan Kolaboratif Bentang Alam Semenanjung Kampar. Tropenbos International -Indonesia Programme, Balikpapan.

Departemen Kehutanan. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan RI No P.68/Menhut-II/2008 Tentang Penyelenggaraan Demontration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Departemen Kehutanan.

Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan RI No P.30/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan RI No P.36/Menhut-II/2009 Tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan /atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung. Departemen Kehutanan.

Hardiansyah G. 2009. Potensi Pemanfaatan Sistem TPTII untuk Mendukung Upaya Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD). Studi Kasus Areal IUPHHK-HT PT. Sari Bumi Kusuma di kalimantan Tengah. Draft Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.

(39)

Lembaga Penelitian IPB. 1992. Studi Evaluasi Lingkungan Hak Pengusahaan Hutan PT. Sari Bumi Kusuma. IPB Bogor.

Pemerintah RI. 2008. Peraturan Pemerintah RI No 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Rahayu, S. 2008. Kajian Perolehan Karbon Sebagai Dampak Intervensi. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol XIV (3) : 125-129.

Vogt KA, Gordon JC, Wargo JP, Vogt DJ, Asbjornsen H, Palmiotto PA, Clark HJ, O’Hara JL, Keaton WS, Weynand TP,Witten E. 1997. Ecosystem : Balancing Science with Management. Springer-Verlag New York.

Wulansari M. 2008. Perbandingan Stok Karbon pada Hutan mangrove dan Non Mangrove di Pulau Dua Banten. Skripsi. Program Studi Sarjana Biologi, SITH ITB.

(40)

Lampiran 1. Luas hutan Indonesia di setiap fungsi hutan 2005 Fungsi

Hutan

Hutan Primer

Hutan Sekunder

Tidak

Berhutan Total

KSA+KPA 11,102,557 4,924,975 5,129,203 21,156,735

LH 15,696,537 9,403,474 6,232,122 31,332,133

HP 14,680,320 22,806,529 19,044,337 56,531,186

HPK 5,720,288 5,485,238 11,433,228 22,638,754

Total 47,199,702 42,620,216 41,838,890 131,658,808 Prosentase

(%) 35,85 32,37 31,78 100

(41)

Lampiran 2. Perkembangan neraca karbon hutan primer dan sekunder HL selama 20 tahun

4:15 AM Mon, May 31, 2010

Neraca Karbon HL Page 4

1.00 27.00 53.00 79.00 105.00

Y ears

1: 1: 1:

2: 2: 2:

3.3e+009 3.55e+009 3.8e+009

250000000 650000000 1.05e+009

1: C HL[Hprimer] 2: C HL[Hsekunder]

1

1

1

1 2

2

2

2

(42)

7:52 PM Mon, May 31, 2010 Neraca Karbon HP

Page 5

1.00 5.75 10.50 15.25 20.00

Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 3: 3: 3: 3.35e+009 3.45e+009 3.55e+009 2.45e+009 2.95e+009 3.45e+009 500000000 2e+009. 3.5e+009

1: C HP[HA hp] 2: C HP[HA hs] 3: C HP[HTI]

1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 3 3

Lampiran 3. Perkembangan neraca karbon hutan primer dan sekunder KSA & KPA selama 20 tahun

4:47 AM Mon, May 31, 2010 Neraca Karbon KSA&KPA

Page 6

1.00 5.75 10.50 15.25 20.00

Y ears 1: 1: 1: 2: 2: 2: 2.59e+009 2.615e+009 2.64e+009 420000000 460000000 500000000

1: C KSA&KPA[Hprimer] 2: C KSA&KPA[Hsekunder]

(43)

Lampiran 4. Perkembangan neraca karbon hutan primer dan sekunder HPK selama 20 tahun

4:47 AM Mon, May 31, 2010 Neraca Karbon HPK

Page 7

1.00 5.75 10.50 15.25 20.00

Y ears

1: 1: 1:

2: 2: 2:

1.335e+009 1.35e+009 1.365e+009

350000000 500000000 650000000

1: C HPK[Hprimer] 2: C HPK[Hsekunder]

1

1

1

1 2

2

2

(44)

NERACA ATAU SIKLUS

KARBON DI DALAM HUTAN

BAHRUNI FAKULTAS KEHUTANAN IPB

Email: bahruni@gmail.com

TATA RUANG

• Tata ruang yang mengatur alokasi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan, yang mengharmoniskan kepentingan tujuan ekonomi, lingkungan ataupun kepentingan masyarakat secara luas merupakan prasyarat optimalisasi penggunaan ruang/ hutan

(45)

KEMUNGKINAN RTRW THD HUTAN

TETAP BERUBAH

PERUNTUKAN & FUNGSI HUTAN

HUTAN PRIMER, SEKUNDER, NON HUTAN

BERTAMBAH

BERKURANG

KEMUNGKINAN RTRW THD HUTAN &

KARBON HUTAN

KAWASAN NO N H UTAN

PERKE BU NAN

PERT ANIAN

SEM AK BEL UKAR

PEM UKIM AN

PERKO TAAN DL L HUTAN ALAM

KLIMAKS

HUTAN DIKELOLA/PHPL

HUTAN SEKUNDER TERDEGRADASI

SEMAK BELUKAR, RUMPUT

Deforestasi

Degradasi

Re forestasi, Re storasi K

A W A S A N

(46)

KONDISI HUTAN

• Banyak data yang menunjukkan kerusakan hutan

• Banyak pendapat yang menyatakan bahwa kerusakan hutan disebabkan kombinasi berbagai faktor.

–Tata kelola dan regulasi yang tidak mampu menumbuhkan perilaku

pengelolaan hutan yang baik, birokrasi yang yang belum efisien,

–Ketidakpastian lahan (masalah tenurial &tata ruang) dan lain-lain.

–Faktor teknis manajerial,

–Motif ekonomi yang tidak disertai kemauan mempertahankan

ketersediaan hutan jangka panjang,

–Karakter opportunis,

DEFORESTASI

Tabel 1. Analisis laju deforestasi Indonesia periode 2003-2006

a. Deforestasi terhadap luas total setiap fungsi hutan 2003-2006 Deforestasi KSA+KPA HL HPT+HP HPK Hutan primer 0,04% 0,05% 0,04% 0,02% Hutan sekunder 0,21% 0,35% 0,63% 0,43% Total 0,26% 0,42% 0,80% 0,48% b. Deforestasi terhadap luas masing-masing kondisi hutan

(47)

SIKLUS KARBON

PROSES PENYERAPAN DAN EMISI KARBON, DENGAN

HASIL BIOMASA / STOK KARBON

PROSES INI PENGARUHI OLEH :

–KONDISI VEGETASI

–KONDISI TEMPAT TUMBUH & LINGKUNGAN (faktor edafis, klimatis dan faktor hayati lainnya)

–KONDISI PENGELOLAAN & GANGGUAN

SIKLUS KARBON

DEF ORESTASI , DEGRADASI

DEKO MP OSI SI, RE SPI RASI HETE ROTROPHI C RES PIRAS I

AUTOTROP HIC FOTOS INTE SIS REGENERASI, MATI O2

TEGAKAN :

PRODUKSI PRIMER NETO ;

PRODUKSI EKOSIS TE M NETO PE RTUMBUHAN

NETO

PANE N, PAKAN HE RBIVOR A T M O S F E R G E O S F E R CO2

MANAJE ME N E KOS ISTEM , ANTHROP OGENIC TANAH & S ERAS AH

(48)

HASIL SIKLUS KARBON

Produksi Primer Bruto (PPB) :

– Karbon hsl fotosintesis pada vegetasi.

Produksi Primer Neto (PPN) :

– Karbon hsl fotosistensis dikurangi respirasi vegetasi.

– PPN = PPB – R.

– Cara praktis : B vegetasi + B. serasah + B. vegetasi yang dimakan herbivor.

Produksi Ekosistem Neto (PEN) :

– PPN – Dekomposisi bahan organik bagian veg yang mati

KARBON AREAL HUTAN :

– PEN – PANEN – GANGGUAN LAIN

NERACA KARBON

PENGELOLAAN HP :

–Skema PHPL (HA & HTI)

–Skema deforestasi, data historis 2003-2006.

PENGELOLAAN HL, KSA & KPA, HPK:

(49)

MODEL PERTUMBUHAN

• SIKLUS KARBONPERTUMBUHAN TEGAKAN NETO

• HA : PERTUMBUHAN KLS DIAMETER

– Nk,t+1 = Nk,t + Ik - Uk - Mk – Hk

• HTI :

A.crassicarpa:

– C = 42,032 Ln X + 2,5573. (R2= 0,9882)

E. pellita :

– C = -0,1301 X3 + 2,4791 X2 + 3,2142 X + 1,0174 (R2= 0,9896)

A. mangium:

– C= -0,0955 X3 +1,6646 X2 + 13,732 X –15,698 (R2= 0,9928)

MODEL SIKLUS KARBON HA

pancang

t iang phn20

m p40

l j teb50 t eb t ot al

m p30

phn40 up pan

kel uar up t iang

lj up p m ti ang m al am t

m p20

phn30 up p20

lj up t m teb t

m alam p30 m teb p30

l j up p20

up p30

j l up p30 m al am p20

m teb p20

phn50 up p40

t eb50 m p50

teb40

l j up p40

phn60 up p50

teb60 m alam p40

m t eb p40

l j teb60 l j up p50 m teb p50

lj t eb40

m p60 m teb p60 m alam p50 m alam p60

phn20

phn30 umur st lh t eb masuk

sikl us t eb

mul ai

teb total karbon teg t ot

phn40 phn50 phn60

karbon VF

(50)

MODEL SIKLUS KARBON HTI

S to k K a rb o n

R iap M C rss E u

Pa n e n

O u t M o d e l R i a p

Da u r

l j te b U m u r

In m u l ai

S UB S IST E M KA RB ON H TI

NERACA KARBON HP (PHPL)

0 50 100 150 200 250

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 Wa ktu (thn )

S to k K a rb o n H A -H T I (t C /h a ) Skd-Crassicarpa LOA-Crassicarpa LOA-Mangium LOA-Eucaliptus 0 50 100 150 200 250 300

1 10 19 28 37 46 55 64 73 82 91 100

Waktu(thn) St ok Ka rb on H ut an A la m (tC /h a)

(51)

NERA CA KA RBON H P D EF.

-50 100 150 200 250

1 7 13 19 25 31 37 43 49 55 61 67 73 79 85 91 Waktu (thn) S to k K ar bo n (t C /h a)

Def HA-TPTI Def HTI

NERACA PD SKALA UM (PHPL)

-1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 Waktu (thn) S to k K a rb o n U n it M a n a je m e n (t o n )

(52)

NERACA PD SKALA UM DEF.

-2,000 4,000 6,000 8,000 10,000

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 Umur (thn) S to k K a rb o n U n it M a n a je m e n (t o n )

UM HA-TPTI UM-HTIhs UM-HTInh UM HA -TPTII

NERACA C KAWASAN HUTAN INDONESIA

 Stok karbon hutan alam primer di semua fungsi hutan 237,29 tC/ha,

hutan sekunder sebesar 101 tC/ha.

 Hutan sekunder pada HP merupakan keseluruhan UM pengelolaan hutan

alam dengan TPTI yang sudah mencapai siklus tebang kedua stok karbon 35 ha sebesar 5.018 ton.

 HTI yang sudah ada sebesar (definitif) 4.600.000 ha sudah memasuki

daur kedua. Pembangunan HTI ditargetkan total 15 juta hektar,

sehingga masih ada pembangunan HTI sebesar 10.400.000 ha.

Keseluruhan HTI baru dari HP yang tidak berhutan.

 Laju deforestasi di masing-masing hutan (primer dan sekunder) di

setiap fungsi hutan mengacu angka laju deforestasi pada Tabel 1.

 Neraca karbon hutan di dalam kawasan hutan Indonesia menggunakan

data luas kawasan tahun 2005 (Lampiran 1).

(53)

MODEL NERACA C HTN IND

L KSA& KPA Hp

L KSA& KPA Hs

KSA&KP A Nh HL Hp HL Hs HL Nh de f1a de f1b Lj def1a

Lj df1 b

def2a

def2 b C KSA&KPA

Def HK Lj def HK

Lj def2 a

Lj def2b C HL

Def HL

Lj de fHL C HP

Def HP Re fHP

Lj ref

Lj defHP

Luas i n

C HPK

Def HP K L j defHPK HP Hp

Ref i n In HT HP Hs HPNh Lj def4a def4a def4b HPK Hp HPK Hs HPK Nh def3a def3b Lj d ef3a

Lj def3b L j def4b

NERACAHUT AN

NERACA KARBON HTN IND

NERACA KARBON DI DALAM KAWASAN HUTAN 2006 -2025 (juta ton) Tahun Awal Tahun Akhir Tahun Surplus/Defisit

2006 - 17,473

2007 17,473 17,400 (73)

2008 17,400 17,348 (52)

2009 17,348 17,317 (31)

2010 17,317 17,308 (9)

2011 17,308 17,319 12

2012 17,319 17,352 33

2013 17,352 17,406 54

2014 17,406 17,481 75

2015 17,481 17,578 96

2016 17,578 17,695 117

2017 17,695 17,833 138

2018 17,833 17,992 159

2019 17,992 18,173 180

2020 18,173 18,374 201

2021 18,374 18,297 (77)

2022 18,297 18,221 (76)

2023 18,221 18,146 (75)

2024 18,146 18,071 (74)

(54)

SURPLUS/DEFISIT KARBON HUTAN

-100 -50 0 50 100 150 200 250

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19

Waktu (thn) P e ru b a h a n S to k K a rb o n H u ta n (j u ta to n ) Surplus/Defisit

KESIMPULAN

TATA RUANG DIHARAPKAN MEMBERIKAN

KEPASTIAN PENGGUNAAN LAHAN

NERACA KARBON HUTAN DIPENGARUHI

BANYAK FAKTOR

PERLU UPAYA MENEKAN LAJU DEFORESTASI &

DEGRADASI

(55)

Pembicara

Dr. Ir. Sudarsono Sudomo

Fakultas Kehutanan IPB

(56)

Karbon dalam Rantai Suplai Kayu

Sudarsono Soedomo Fakultas Kehutanan IPB, Bogor Ringkasan

Hutan untuk kepentingan memproduksi kayu tidak perlu dipertentangkan dengan hutan untuk tujuan menyimpan karbon. Keduanya dapat berjalan seiring. Melalui hutan produksi yang dikelola dengan baik, jumlah karbon yang tersimpan dalam biomas lebih tinggi dibandingkan jumlah karbon yang tersimpan dalam hutan yang ditujukanmelulu untukmenyimpan karbon. Disamping keunggulan dalammenambat danmenyimpan karbon, hutan produksi dapatmembangkitkan kegiatan ekonomi masyarakat.

1. Pengantar

Tiga kata yang akhir-akhir ini sangat populer dalam diskursus lingkungan adalah emisi, karbon, dan deforestasi. Bila satu hektar hutan ditebang habis, imaginasi banyak orang adalah 200 ton karbon terlepas ke udara. Adalah benar bahwa hutan yang masih berdiri menyimpan karbon yang diambilnya dari udara selama proses fotosintesis, tetapi sangat menyesatkan menyimpulkan bahwa bila hutan yang bersangkutan ditebangmaka otomatis seluruh karbon yang terkandungnya akan dilepaskan kembali ke udara. Kesesatan pikir ini kemudianmenghasilkan kesesatan baru yangmenempatkan kepentingan menghasilkan jasa penyimpanan karbon dan kepentingan ekonomi dalam relasi trade-off.

Dewasa ini, penjualan karbon yang ditambat oleh hutan dapat dilakukan dengan mempertahankan hutan tetap berdiri. Sementara pasar bagi karbon hutan adalah problematik, banyak upaya telah dilakukan untuk membuat pasar karbon berjalan, misalnya susunan kelembagaan (Corbera et al., 2009), bank karbon untuk membuka kesempatan bagi pemilik hutan skala kecil (Bigsby, 2009), penentuan harga karbon yang tersimpan dalamtegakan (Hunt, 2008).

(57)

berpotensi tidak efisien. Pembeli harus memantau karbon yang disimpan secara periodik karena principal-agent problem.1

Kebocoran kayu dari hutan tanaman yang didedikasikan untuk menyerap karbon sangat mungkin terjadi yang pada gilirannya mempengaruhi pasar kayu (Sedjo and Sohngen, 2000). Kesalahan adalah sangat mungkin terjadi dalam menghitung simpanan karbon (Tavoni et al., 2007). Biaya transaksi berpotensi sangat tinggi (van Noordwijk et al., 2008).2

Dalam paper ini, saya akanmenunjukkan bahwa pemanenan hutan dan pemanfaatan kayunya dengan bijaksana berpotensimeningkatkan jumlah karbon yang tersimpan danmeningkatkan kegiatan ekonomi. Bukan trade-off antar keduanya, melainkan bergerak dalam satu arah. Organisasi paper ini dibuat sesederhana mungkin. Setelah seksi pengantar ini, seksi 2mendiskusikan rantai suplai kayu dan neraca karbon. Berikutnya adalah seksi 3 yangmenyampaikan kesimpulan.

2. Rantai Suplai Kayu dan Neraca Karbon

Untuk menduga neraca karbon sepanjang rantai suplai kayu kita perlu mengetahui total karbon di dalam tegakan hutan, pola pertumbuhan tegakan, tingkat efisiensi perubahan dari satu tahap ke tahap berikutnya, daur yang digunakan, dan masa pakai produk kayu. Secara garis besar, tahapan dalam rantai suplai kayu dapat dilihat pada Gambar 1. Dalam pemanenan, kayu bulat yang diperoleh merupakan suatu fraksi (sebesar α) dari biomas total tegakan hutan, sedangkan selebihnya akan menjadi limbah di dalam hutan. Pengolahan kayu bulatmenjadi produk akhir juga akanmenghasilkan limbah. Rendemen pengolahan dicatat dengan β. Selanjutnya, produk akhir akan digunakan oleh konsumen untuk beberapa waktu.

 Disampaikan dalam Seminar “Dampak Perubahan Peruntukan dan Fungsi

KawasanHutan dalam Revisi RTRWP terhadap Neraca Karbon dalamKawasan Hutan” tanggal 2 Juni 2010 di Jakarta.

1

Pembeli merupakan principal dan penjual merupakan agent. Penjual mengetahui informasi lebih lengkap ketimbang pembeli tentang hutan yang sedang ditransaksikan.

2

(58)

Gambar 1: Rantai Suplai Kayu dari Hutan Produksi

Proses pengolahan kayu dari kayu bulat menjadi produk akhir dapat dibagi dua, yakni pengolahan primer dan sekunder. Efisiensi pengolahan sekunder ini sangat beragamyang tergantung pada jenis produk akhir yang hendak dihasilkan. Produk ukiran, misalnya, banyakmenghasilkan limbah tetapi untungnya tidak banyak kayu yang diperuntukkan bagi produk ukiran. Jenis produk akhir ini juga akan menentukanmasa pemakaian (Tabel 1). Secara kasar 50%karbon hutan dari panen diubahmenjadi produk bermasa pakai lama dan sisanya digunakan untuk memproduksi barang bermasa pakai pendek (Perez-Garcia et al., 2005). Ingerson (2009) yang mengutip Smith et al menyebutkan 60% dari produk kayu solid primer dipakai untuk penggunaan yang berumur panjang. Perlakuan pengawetan terhadap kayu tentu saja akanmemperpanjang masa pakainya.

(59)

Untuk analisis neraca karbon, kita akan mulai dengan satu unit kayu olahan yang diperdagangkan dan kemudian digunakan oleh konsumen per tahun. Dua model penyusutan terhadap kayu produk akhir akan digunakan dalam analisis, yaitu:

1. Penyusutan per periode merupakan fraksi konstan (sebesar δ) dari kayu produk akhir yangmasih tersisa. Jadi, setiap satu unit kayu produk akhir yang dipakai selama satu periode akan menyusut sebesar δ×1 dan menyisakan 1−δ.3 Setiap periode t satu unit kayu produk akhir segar memasuki pemakaian dan pada periode yang sama terjadi penyusutan sebesar δ dikalikan dengan stok pada periode tersebut s(t ). Perubahan stok pada periodet tersebut dapat diformulasikan sebagai berikut:

(1)

Solusi terhadap persamaan ini dengan kendala stok di awal periode s (0) = 1 adalah

Penyusutan per tahun merupakan jumlah konstan sebesar d, sehingga satu unit kayu produk akhir yang dipakai akan habis dalam jangka waktu tahun. Model ini digunakan oleh Aber dan Melillo dalam Perez-Garcia et al. (2005). Dengan model penyusutan ini, satu unit kayu produk akhir akan tersisa sebesar 1−d setelah terpakai selama satu tahun. Pemakaian dua tahun akan menyisakan 12d. Kayu akan benar-benar habis ketika sisanya sama dengan nol, yakni 1−td = 0. Dengan kata lain, kayu benar-benar habis terpakai setelah digunakan selamat = 1/d. Model penyusutan

3

Dinamika satu unit ini dari waktu ke waktu mengikutis(t)= e−δt. Dalam notasi diskrit, ekspresi 1 dapat dituliskan sebagai berikut:

st = st−1−δst−1+1

(60)

ini akanmenghasilkan dinamika stok kayu produk akhir dalam pemakaian sebagai berikut:

Contoh dinamika stok kayu dalam penggunaan untuk kasus δ = 0,1 dan d = 0,1 dapat dilihat pada Gambar 2. Kondisi steady state untuk model penyusutan pertama terjadi lebih lambat ketimbang pencapaian kondisi steady state menurut model penyusutan kedua. Tingkat steady state model penyusutan pertama lebih tinggi dari tingkat steady state model penyusutan model penyusutan kedua. Jika setiap tahun satu unit kayu olahan masuk dalam peredaran pemakai, maka model penyusutan

pertama menghasilkan tingkat steady state 10 unit, sedangkan model penyusutan kedua memberikan steady state 5 unit.

(61)

Untuk memperkirakan berapa stok kayu dalam pemakaian yang lebih realistis, kita perlu memilih berapa nilai δ dan d yang cukup realistis dan

asumsi yang digunakan tentang keterpakaian kayu. Nilai δ dan d akan sangat tergantung pada teknologi pengawetan dan jenis pemakaian produk kayu.

Data pada Tabel 1 dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan nilai δ. Misalnya, half-life 100 adalah setara dengan δ = 0,007, sedangkan half-life 70 setara dengan δ = 0,010. Keterpakaian kayu dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalnya, suatu produk dianggap masih dalam pemakaian jika setengah darinyamasih utuh. Sebagai contoh, jika satu unit kayu produk akhir digunakan dan setiap tahun mengalami penyusutan 0,1 unit, maka pada tahun keenam akan tersisa 0,5 unit. Sisa ini dianggap tidak dapat dipakai lagi, lalu dibuang, dan dianggap segera terdekomposisi untukmelepaskan CO2 ke udara.

Tabel 2 menyajikan hasil perhitungan stok kayu produk akhir dalam pemakaian dalam keadaan steady state

(62)

berdiri atau hutan yang dikelola untuk dipungut kayunya? Pertanyaan ini tidak terlalumudah untuk dijawab karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Saya memfokuskan diri pada penggunaan yang berumur panjang yang menyerap sekitar 50% kayu dari hutan, khususnya konstruksi. Jika tingkat efisiensi untuk menghasilkan satu unit kayukonstruksi adalah β = 0,50, maka kayu bulat yang dibutuhkan untuk memproduksinya adalah 2 unit. Kayu bulat yang dipanen ini kurang lebih 60% dari total biomas dalam hutan atau dengan kata lain α = 0,60 (Ingerson, 2009). Jadi 2 unit kayu bulat yang dipungut adalah setara dengan 2/0.60= 3,33 unit biomas dalam hutan.

Artinya, setiap periode (satu tahun) 3,33 unit biomas dari hutan harus ditebang untuk menghasilkan satu unit kayu konstruksi. Untuk sampai kepada jawaban yang dikehendaki, kita perlu tahu masa pakai dari kayu konstruksi dan daur hutannya. Diasumsikan masa pakai kayu adalah 100 tahun - penyusutan konstan sebesar 0,005 unit per tahun dan masa pemakaian berlangsung hingga kayu yang tersisa adalah 50%. Pada kondisi steady state, jumlah unit kayu dalam pemakaian mencapai 75,75 unit. Jumlah ini kurang lebih setara dengan biomas hutan produksi normal yang berdaur 23 tahun dan dibiarkan tidak ditebang.4 Jika daur yang digunakan kurang dari 23 tahun, maka karbon yang tersimpan dalam produk akhir akan lebih tinggi ketimbang karbon yang tersimpan dalam hutan berdiri.

Baik secara ekonomis maupun penambatan dan penyimpanan karbon, hutan produksi menunjukkan keunggulan dibanding hutan yang dibangun hanya untuk tujuan penambatan dan penyerapan karbon.

Perlu pula diingat bahwa hutan produksi yang menghasilkan kayu olahan tersebut juga masih menyimpan karbon. Berapa sesilih biomas antara hutan produksi normal dengan hutan yang dibiarkan khusus untukmenyimpan karbon? Kita perlu melihat dari pertumbuhan tegakan. Misalnya fungsi pertumbuhan biomas adalah V (t ), yakni biomas merupakan fungsi dari waktu. Gambar 3memperlihatkan

(63)

2. Kesimpulan

4. Untuk menambah penambatan karbon, Indonesia harus lebih banyak menanam dan memanenkayu dari hutan. Antara hutan produksi dan hutan karbon tidak perlu dipertentangkan karena melalui hutan produksi karbon yang tersimpan dalam biomas sangat mungkin lebih banyak ketimbang karbon yang tersimpan dalam hutan karbon.

5. Hutan produksi memberikan dampak ekonomi yang lebih menguntungkan dibanding hutan yang melulu untuk karbon. Aktivitas ekonomi dapat terguncang hebat dengan dialihkannya hutan produksimenjadi hutan karbon.

6. Konstruksi rumah Indonesia masa depan seharusnya dari kayu, bukan dari tembok dan beton. Disampingmenyimpan lebih banyak karbon, rumah kayu lebih tahan gempa. Ini sangat cocok untuk Indonesia yang sering dilanda gempa.

Pustaka

Bigsby, H. 2009. Carbon banking: Creating flexibility for forest owners.Forest Ecology and Management, 257(1):378 – 383.

Corbera, E., Soberanis, C. G., and Brown, K. 2009. Institutional dimensions of payments for ecosystem services: An analysis of Mexico’s carbon forestry programme. Ecological Economics, 68(3):743 – 761.

Galik, C. S. and Jackson, R. B. 2009. Risks to forest carbon offset projects in a changing climate. Forest Ecology and Management, 257(11):2209 – 2216.

Hunt, C. 2008. Economy and ecology of emerging markets and credits for bio-sequestered carbon on pr

Gambar

Tabel 1. Analisis laju deforestasi Indonesia periode 2003-2006
Gambar 1. Proses siklus karbon hutan berdasarkan proses
Gambar 2. Proses reforestasi, deforestasi & degaradasi hutan
Gambar 3. Dinamika stok karbon pengelolaan hutan alam TPTI &TPTII
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan kecukupan energi, pada Grafik 3 tampak bahwa rerata ke- cukupan protein anak baduta yang masih mendapat ASI pada kedua kelompok umur dan kedua

Berdasarkan hasil analisa korelasi dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa Perceived Social Support (number) dan Self Acceptance tidak memiliki korelasi yang signifikan (r = 0,287

Analisa dimensi adalah alat konseptual yang sering diterapkan dalam ilmu teknik untuk memahami keadaan fisik yang melibatkan besaran fisik yang berbeda-beda untuk memeriksa

Data hasil penelitian untuk populasi mikroflora saluran pencernaan ikan mas dan lemak yang terdeposisi dalam tubuhnya dapat diamati pada Tabel 3.. Efektifitas perlakuan terhadap

Menurut Pasal 6 UU Desa, jenis desa terdiri dari Desa dan Desa Adat, penyebutan Desa atau Desa Adat disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku di daerah setempat. Desa

No.. Muaro Jambi sebanyak 330 ton, maka bisa dipastikan tidak sulit bagi UPI Muaro Jambi untuk memenuhi pasokan bahan abku. Jumlah tersebut pun didapatkan jika pasokan

1. Dosen mengeksplorasi pengetahuan para mahasiswa tentang urgensi ketahanan nasional dan wawasan nusantara melalui tanya jawab. Dosen menyampaikan kompetensi dasar dan indikator