9
BAB II
TEORI RUJUKAN
Guru adalah adalah Pahlawan tanpa tanda jasa, kata-kata ini tidak asing terdengar. Secara
sederhana, guru juga dapat diartikan sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada
anak didik. Karena tugas tersebut, guru dapat menambah kewibawaannya dan keberadaan guru
sangat diperlukan masyarakat. Pada bagian ini akan di bahas tentang hakekat guru Pendidikan
Agama Kristen (PAK), jati diri remaja, dan realita jender.
2.1. Guru PAK dan Kepemimpinannya
2.1.1. Hakikat Guru
Guru yang terampil tentunya akan terlebih dahulu memahami keadaan muridnya
kemudian dia akan tahu bagaimana cara mendidik muridnya dengan cara yang menarik, sehingga
para murid akan terlebih dahulu menyenangi guru tersebut dan akan diikuti kesenangan terhadap
pelajaran yang akan diajarkan.12 Keterampilan dalam pekerjaan sangat didukung oleh teori yang
telah dipelajari. Seorang guru dituntut banyak belajar, membaca, dan mendalami teori tentang
yang digelutinya, apa yang dipelajari tersebut bukanlah suatu yang permanen, melainkan akan
mengalami perubahan dan mengikuti perkembangan kebutuhan manusia, oleh sebab itu
memperkuat unsur rasionalitas yang menggalakkan sikap kritis terhadap teori sangatlah penting,
karena penerapan lapangan tidak akan mencapai hasil maksimal bila dilakukan dengan
12 Yamin Martinis, Profesionalisasi Guru dan Implementasi KTSP,(Jakarta:Gaung Persada Press 2007):
10
raba, mencoba-coba, akan tetapi suatu penerapan harus memiliki pedoman teoritis yang teruji
kevalidannya.13
Zakiah Darajat, menyebutkan tidak sembarangan orang dapat melakukan tugas guru,
melainkan orang-orang tertentu yang bisa memenuhi persyaratan yang dipandang mampu, yakni:
bertaqwa kepada Tuhan: maksudnya bahwa guru yang tidak taqwa kepada Tuhan sangat sulit
atau tidak mungkin bisa mendidik muridnya menjadi bertaqwa kepada Tuhan, mengingat guru
harus memberikan keteladanan yang memadai dan sejauh mana guru memberikan keteladanan
kepada muridnya maka sejauh itu pula muridnya dapat mengikuti teladan dari gurunya. Berilmu:
banyak remaja pada masa kini masuk kuliah sekedar untuk memperoleh secarik lembar ijazah,
yang pada akhirnya merugikan diri mereka sendiri karena ijazah yang didapat tidak dibarengi
dengan ilmu yang memadai. Guru yang dangkal penguasaan ilmunya, akan mengalami kesulitan
dalam berinteraksi dengan para muridnya. Berkelakuan baik: mengingat tugas guru antara lain
untuk mengembangkan akhlak yang mulia maka pastinya dia harus memberikan contoh
berakhlak mulia terlebih dahulu. Sehat Jasmani: kesehatan fisik adalah guru tersebut tidak
mengalami sakit yang kronis, menahun, atau jenis penyakit lainnya sehingga sangat menghalangi
tugasnya sebagai guru. 14
Menurut Gaff dan Smith pemberdayaan guru biasanya menggunakan tiga pendekatan:
pendekatan personal, pendekatan instruksional, dan pendekatan organisasional. Pertama,
Pendekatan Personal, aspek ini lebih menekankan pada aspek-aspek evektifitas mengajar,
pengembangan professional, pertumbuhan pribadi, serta peningkatan kemampuan teknik dan
keterampilan mengajar. Kedua, Pendekatan Instruksional, pendekatan ini menekankan pada
11
perbaikan pengajaran seperti pengembangan kurikulum, desain dan system pembelajaran,
bahan-bahan pelajaran, pengembangan teori kearah efektivitas belajar siswa, serta media dan teknologi
pembelajaran. Ketiga pendekatan organisasional, pendekatan ini memfokuskan pada lingkungan
dan suasana di mana para komunitas sekolah (guru, murid, pimpinan, dan karyawan) berada,
maka sangatlah penting peranan setiap guru terhadap para muridnya.15
Dalam kaitan dengan jender, guru perlu mengintegrasikan bagaimana pemahamannya
tentang jender dan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi kedalam tiga pendekatan, dan
harapannya akan perusahaan pemulihan dan pelatihan jender yang lebih adil dan setara. Dengan
demikian, sebagai guru kita tidak boleh melaksanakan pendidikan tanpa mempertimbangkan
relevansi murid-murid tersebut.
Alkitab mengungkapkan banyak contoh mengenai perilaku pendidik yang menjadi
teladan dalam kehidupan kristiani, dimana Yesus adalah Guru yang agung (Rabi). TuhanYesus
mengajar dengan otoritas dan wibawa, Perjanjian Baru banyak menyebut Tuhan Yesus sebagai
guru (Matius 12:38; 22:16, 24, 36) sebagai seorang guru, Tuhan Yesus sangat menguasai
peranNya. Relasi antara Yesus sebagai guru dan para muridNya adalah antara pendidik dan
peserta didik yang sangat baik (Yohanes 13:13). Sebagai seorang guru, Dia tidak membiarkan
para muridNya mengatasi masalahnya sendiri tanpa pertolongan gurunya, terutama saat
menghadapi badai besar di Danau Galilea (Markus 4: 38).16
15 Ibid Idris M dan Marno: 78
12 2.1.2. Pendidikan Agama Kristen (PAK)
Pendidikan bertujuan untuk menggerakkan kita melampaui keterbatasan-keterbatasan
masa kini menuju realisasi dari kemungkinan-kemungkinan yang penuh.17 Di masa depan jika
dilihat dari dasar katanya, istilah pendidikan diterjemahkan dari bahasa Inggris, education, dan
juga diambil dari bahasa Latin, ducere, yang berarti membimbing (to lead), dengan demikian arti
kata pendidikan adalah suatu tindakan untuk membimbing ke luar. Untuk itu, terlebih dahulu kita
harus memahami unsur-unsur yang terdapat dan membentuk proses pendidikan, yakni:
konteks/setting, dasar pendidikan, pendidik, peserta didik, isi pendidikan, metode yang dipakai,
dan waktu. Kebanyakan orang memahami bahwa konsep pendidikan sama dengan konsep
sekolah, padahal sebenarnya tidak demikian.18
Menurut Sijabat dan Richmond pendidikan pada dasarnya selalu menuju proses
pembentukan kepribadian secara utuh (holistik), biasanya ditujukan kepada manusia tidak selalu
melembaga/institusional, dan terjadi secara berkesinambungan. Sementara konsep sekolah selalu
berkaitan dengan proses belajar mengajar yang konkret, menekankan hasil yang tampak,
pengaruhnya segera dan nyata. Sekolah biasanya berbentuk institusional, berjenjang,
menekankan proses belajar, dan biasanya berbentuk lembaga formal.19
Menurut Josep Stalin pendidikan adalah sebuah senjata yang akibatnya tergantung pada
tangan yang memegangnya dan kepada siapa senjata itu diarahkan. Jika konsep pendidikan kita
kaitkan dengan PAK, Wyckoff berpendapat bahwa menjadi pembimbing dalam pelaksanaan
PAK baik dalam teori maupun praktik mengkomunikasikan kepada pengelola, pendidik, dan
peserta didik dengan suatu keyakinan bahwa apabila mereka memusatkan pikiran dan pelayanan
17 Dien Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif Dan Menarik.(Yogyakarta:Andi Offset,2006):46-47 18 Ibid: 3-4
13
pada unsur-unsur tersebut mereka akan melaksanakannya dengan baik, kemudian Robert W.
Pazmino mengungkapkan bahwa pendidikan Kristen merupakan upaya sistematis yang didukung
dengan upaya spiritualitas dan manusiawi untuk mentransmisikan pengetahuan, nilai, sikap,
keterampilan, maupun tingkah laku yang konsisten dengan iman Kristen, mengusahakan adanya
perubahan, pembaharuan, serta reformasi pada aras pribadi, aras kelompok, bahkan aras struktur
karena kuasa Roh Kudus sehingga peserta didik dapat hidup dengan kehendak Allah.20
Mengacu kepada pendidikan Agama Kristen, Groome mencoba mendefinisikan agama
sebagai pencarian manusia terhadap yang transenden dimana hubungan seseorang dengan suatu
dasar keberadaan yang mutlak dibawa ke dalam kesadaran dan dengan itu diberi ekspresi
(perwujudan). 21 Ada empat elemen inti yang bisa menjelaskan hakikat dari Pendidikan Agama
Kristen, yakni:
PAK adalah suatu usaha pendidikan. Merupakan usaha yang sadar, sistematis, dan
berkesinambungan apa pun bentuknya. Ini tak berarti bahwa pendidikan hanya terbatas
pada pendidikan yang formal baik di sekolah ataupun didalam gereja, melainkan juga
pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan sosialisasi.
PAK adalah pendidikan yang khusus yakni dalam dimensi religious manusia. Ini berarti
usaha tersebut dikhususkan pada bagaimana pencarian yang transenden serta pemberian
ekspresi dari seseorang terhadap yang transenden tadi dikembangkan.
PAK adalah menunjuk kepada persekutuan iman yang melakukan tugas pendidikan
agamawi, yakni persekutuan iman Kristen. Sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab, hal
ini sebagai suatu warisan, tidak hanya untuk transmisi warisan Kristen tetapi bagaimana
20 Ibid :7
14
membentuk masa depan sesuai dengan visi Allah berdasarkan warisan masa lampau dan
tindakan kreatf masa kini.
PAK adalah usaha pendidikan bagaimana pun juga mempunyai hakikat politis. Oleh
karena itu PAK juga turut berpartisipasi dalam hakikat politis pendidikan secara umum.
Artinya dalam PAK tidak hanya ada intervensi dalam kehidupan individual seseorang
dibidang kerohanian saja, tetapi juga mempengaruhi cara dan sikap mereka ketika
menjalani kehidupan dalam konteks masyarakatnya.22
Dari ke-4 elemen diatas, maka dapat dilihat bahwa penekanan apa dan bagaimana PAK
pada hakikatnya, PAK mencakup berbagai aspek pengaplikasiannya dalam hidup manusia. Pada
umumnya kebanyakan orang berfikir bahwa PAK itu hanya ditujukan kepada orang yang ingin
belajar mengenai agama saja, dengan kata lain PAK itu hanya mempelajari bagaimana isi
Alkitab, bagaimana cerita tentang Tuhan Yesus, dan bagaimana sebenarnya religious itu. Dengan
membudayanya stereotip seperti ini maka kebanyakan orang hanya mendalami bagian tersebut
saja, dan kebenarannya belajar tentang PAK bukan hannya mempelajari aspek spiritual saja
melainkan aspek sosial, politis, budaya dan lain sebagainya.
Kebanyakan guru-guru PAK juga mungkin memiliki pemahaman yang telah disebutkan
di atas, terutama hubungan dengan realitas jender, sangat berpengaruh kepada para murid yang
telah mereka didik dan pada akhirnya para muridpun mewarisi pemahaman yang didapatkan
melalui pendidik mereka. Dalam penjelasan sebelumnya memaparkan bahwa bagaimana
sebenarnya seorang pemimpin atau guru yang bijaksana, yakni seorang pemimpin atau seorang
guru yang memusatkan diri pada bagaimana dia, apa yang diketahuinya, dan apa yang akan
dilakukannya. Dengan keadaan seperti ini guru sebagai sang teladan dan pemimpin terhadap para
15
muridnya hendaknya menyikapi bagaimanakah mengatasi hal tersebut. Apakah kita masih
berada dalam keterbelengguan keadaan ini saja, atau sebaliknya, mau membuka mata dengan
kaca mata baru.
2.2. Jender dalam Perspektif Teori dan Pustaka
2.2.1. Seks dan Jender
Seperti yang telah dijelaskan di awal penulisan ini dalam latar belakang masalah, penulis
telah menjelaskan perbedaan antara konsep seks dan jender. Untuk lebih jelasnya penulis akan
memaparkan kembali bagaimana sebenarnya seks, dan jender. 23
Tujuan untuk memahami jender adalah untuk memutuskan ketimpangan jender dalam
rangka meningkatkan kesetaraan dan keadilan jender. Seks secara etimologi adalah jenis
kelamin, istilah jenis kelamin (laki-laki/perempuan) dalam bahasa Indonesia sering digunakan
dalam konsep seks dan jender, walaupun pada dasarnya keduanya mengandung makna berbeda.
Secara istilah seks adalah berkenaan dengan perbedaan secara biologis dan fisiologis antara
laki-laki dan perempuan yang dilihat secara anatomis dan reproduksi, sedangkan jender yang
mengacu pada perbedaan peranan laki-laki dan perempuan dalam suatu tingkah laku sosial yang
terstruktur. Intinya bahwa secara terminology jender merupakan konsep mengenai peran laki-laki
dan perempuan di suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi social bukan biologis.24
23 Muawanah Elfi, Pendidikan Jender dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Teras,2009): 1 24Ibid:4-7
16
2.2.2. Kesetaraan dan Keadilan Jender
Dalam realita penerapan jender dapat menimbulkan diskriminasi, oleh karena itu ada
usaha untuk merealisasikan kesetaraan dan keadilan jender. Kesetaraan jender adalah kesamaan
kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia agar berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, social budaya,
pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Menurut Ashgar kesetaraan adalah penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang
setara dan pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama baik itu dalam
bidang social, ekonomi, spiritual, maupun politik.25
Di pihak lain keadilan jender menonjolkan pentingnya kesetaraan dalam menikmati hasil,
keadilan jender adalah suatu proses untuk menjadi adil antara laki-laki dan perempuan, dimana
bobot hak perempuan sama dengan bobot hak laki-laki. Untuk menciptakan keadilan jender
diperlukan pemenuhan atas kepentingan praktis jender dan kepentingan strategis jender.
Kepentingan/keperluan praktis jender adalah keperluan yang diidentifikasi untuk membantu
perempuan yang masih di bawah (subordinasi). Keadilan jender secara fundamental bertujuan
menghilangkan dominasi, siapapun pelakunya baik laki-laki ataupun perempuan.26
2.2.3. Ketidakadilan Jender di Bidang Pendidikan
Ketidakadilan jender di bidang pendidikan terjadi antara lain dari gejala berbedanya
akses atau peluang bagi laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan. Pada tahap SD,
SLTP, dan SMU kesempatan memperoleh pendidikan untuk perempuan nampaknya relatif tinggi
17
dibandingkan dengan laki-laki.27 Dari hasil pengamatan, proses pembelajaran cenderung masih
belum berwawasan jender dan cenderung memihak laki-laki (bias toward male). Laki-laki
cenderung ditempatkan pada posisi yang lebih menguntungkan dalam keseluruhan proses
pendidikan misalnya dalam memimpin kelas, memimpin organisasi siswa, memimpin kelompok
belajar, atau mengemukakan pendapat dan sebagainya. Walaupun angka partisipasinya berbeda,
perempuan lebih mampu bertahan dibandingkan dengan laki-laki, angka putus sekolah siswa
perempuan selalu lebih kecil khususnya pada SMU/SMK dan Perguruan Tinggi, siswa
perempuan juga lebih banyak yang dapat menyelesaikan sekolah sampai lulus dibandingkan
dengan laki-laki.
Dari gejala tersebut mununjukkan bahwa peserta didik perempuan lebih optimal dalam
memanfaatkan kesempatan belajar. Di dalam pemilihan jurusan juga sangat kelihatan laki-laki
lebih dominan dalam memilih program studi yang mempelajari bidang-bidang pertanian,
kehutanan, teknologi dan industri, mesin atau elektro sementara itu perempuan lebih banyak
mempelajari jurusan ketatausahaan, tata boga, pekerjaan sosial, seni dan kerajinan, tat arias, serta
tekhnologi kerumahtanggaan.28 Ini terjadi karena stereotip yang telah tertanam di kebudayaan
kita mengenai keahlian yang dianggap sesuai dengan peran jenisnya.
2.2.4. Agama dan Jender
Agama merupakan salah satu kebutuhan penting spiritual manusia yang merupakan
kehidupan mereka lahir dan batin. Dalam beraktivitas sering kali manusia mencari landasan
untuk berpijak agar kuat dan tenang batinnya.
27 Ibid: 31
18
Selama ini, masyarakat menjadikan agama sebagai landasan dan pegangan hidup mereka.
Jika ajaran agama yang berkembang masih bias jender, maka dapat dipastikan bahwa kehidupan
masyarakat akan penuh dengan ketidakadialan jender. Sebaliknya jika yang dipegangi
masyarakat adalah ajaran agama yang sensitif jender maka warna kehidupan masyarakat tentu
penuh dengan keadilan jender. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana jender dilihat dari
agama Kristen.
Sebenarnya ajaran resmi gereja kristen yang berbicara tentang kesetaraan dan keadilan
jender belum ada, namun demikian cukup banyak pernyataan resmi gereja yang memperlihatkan
bahwa laki-laki dan perempuan menempati kedudukan yang setara.29 Hal ini tampak dalam kitab
suci (Perjanjian Lama) maupun dalam ajaran gereja secara khusus dan dalam ajaran sosial gereja
mengenai kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan.
Dalam Kitab Perjanjian Lama:
Melalui ajaran penciptaan di dalam kejadian 1:27 menyatakan Allah menciptakan
manusia menurut gambarNya sendiri, menurut gambar Allah diciptakan dia laki-laki dan
perempuan. Laki-laki dan perempuan bukan saja memiliki kesetaraan yang menyangkut
kesamaan martabatnya namun juga mengemban tugas yang sama dalam mengelola bumi dan
dalam karya bersama-sama, sebagaimana tertuang dalam kejadian 1:28 “Allah memberkati
mereka lalu berfirman: Beranak cuculah dan bertambah banyak penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut, dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi.” Dengan begitu maka keduanya haruslah saling melengkapi,
saling menolong, menjadi partner dan sama-sama pula menjadi bagian dari yang lain, dan tak
29 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah. Penyadaran Gender Bagi Pendidik. (Jawa
19
terpisahkan antara yang satu dengan yang lain sebagaimana kehendak Allah sendiri yang
tertuang di dalam kejadian 2:24 “sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya
dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging”.30
Dalam kisah perceraian (Markus 10:1-12) perempuan bisa direndahkan kedudukannya
sebagai obyek perceraian tersisih dan terhina, tetapi sekaligus juga mendapatkan kedudukan baru
yang diteguhkan. Dalam kisah ini tercermin bahwa dunia yang dikuasai laki-laki dan perlakuan
semena-mena terhadap perempuan, namun di dalam Kejadian 1, Yesus berdiri dalam tradisi
Iman dan tidak menampilkan gagasan ketergantungan perempuan kepada laki-laki. Adanya
keseimbangan peranan laki-laki dan perempuan , Markus 10:11 yang melihat sebagai zinah bila
menceraikan istri dan menikahi perempuan lain. Pandangan ini menunjukkan bahwa ada
persamaan hak dan tanggung jawab bagi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga.31
Dalam Kitab Perjanjian Baru:
Maria ibu Yesus merupakan tokoh panutan sebab ia mampu memperlihatkan diri sebagai
perempuan otonom yang berani menentukan keputusan secara mandiri, serta memperlihatkan
ketaatannya pada kehendak Allah secara konsekuen dan penuh rasa tanggung jawab. Lukas
1:26-31Malaikat Gabriel memberi kabar kepada bunda Maria bahwa ia akan mengandung dan
melahirkan seorang anak laki-laki yang hendaknya dinamai Yesus, dengan berani ia bertanya
untuk menentukan langkah berikutnya (Lukas 1:34) Bagaimana mungkin hal itu terjadi karena
saya belum bersuami.32
Namun ketika malaikat Gabriel mengatakan kepadanya: Roh Kudus akan turun atasmu
dan kuasa Allah yang Maha tinggi akan menaungi Engkau, sebab itu anak yang akan kau
30 Ibid: 91
20
lahirkan akan disebut Kudus, anak Allah. Mariapun secara tegas dan dengan penuh rasa
tanggung jawab serta menyadari konsekwensinya tanpa harus meminta pendapat kepada
siapapun, baik kepada ayahnya maupun kepada Yusuf yang adalah tunangannya, padahal pada
saat itu budaya patriarkhi sangatlah kuat. Namun Maria menjawab, sesungguhnya aku ini
hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu (Lukas 1:38). Dari jawaban itu maka
kelihatan bahwa Maria bukan saja pasrah dan taat kepada Allah tetapi juga ia berani
menghadapi segala resiko yang ada, seperti hamil di luar nikah, dicemooh orang banyak dan
seterusnya. Sikap otonom seperti ini dengan dijiwai oleh kesadaran atas suatu karya besar yang
melibatkan keselamatan manusia dengan menyingkirkan kepentingan pribadi adalah suatu sikap
yang selayaknya menjadi panutan bagi perempuan dan laki-laki. 33
Beberapa kali Yesus Kristus membuka wawasan tentang martabat dan peranan
perempuan dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat sama seperti laki-laki. Matius 12:48
“Siapakah ibuku? Dan siapa saudara-saudaraku?” Dan kemudian dilanjutkan: “Siapa yang
melakukan kehendak Bapa Ku di Surga, Dialah saudaraku laki-laki, Dialah saudaraKu
perempuan, Dialah IbuKu.” (Matius 12:50).
Pada saat Tuhan Yesus dihadapkan pada perempuan yang tertangkap basah berbuat zina
Dia dimintai pendapat tentang hukuman apa yang harus diberikan kepada perempuan itu, Yesus
menjawab demikian: “Barangsiapa diantara kamu tidak pernah berbuat dosa, hendaklah ia
pertama kali melemparkan batu kepada perempuan itu” (Yohanes 8:4-5, 7b), jawaban ini
bermakna ganda bahwa dosa zina tidak hanya dilakukan oleh perempuan saja tetapi laki-laki
juga bisa melakukannya artinya laki-laki dan perempuan sama rentannya untuk terjatuh kedalam
dosa yang sama. Demikian juga cerita tentang Yesus dijamu oleh satu keluarga, dimana Marta
sibuk didapur ketika Yesus dan murid-muridnya dating sedangkan Maria saudaranya duduk
21
bersama para murid mendengarkan firman Allah, Martapun marah dan meminta Yesus menegur
Maria, namun Yesus menjawab: “Marta Marta engkau kuatir dan menyusahkan dengan banyak
perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu, Maria telah memilih bagian yang terbaik yang tidak
akan diambil darinya.” (Lukas10:38-42) Jawaban ini menunjukkan bahwa perempuan tidak
harus melayani tetapi boleh belajar apa saja, sebab yang penting dalam hal ini adalah masalah
pilihan. Semua pekerjaan sama baiknya sejauh itu merupakan secara otonom, bukan karena
paksaan masyarakat maupun karena tuntutan tradisi dan adat istiadat.34 Dan masih banyak lagi
cerita di alkitab mengenai kesetaraan jender.
Melihat apa yang ditemukan dalam kitab suci maupun dalam gereja seharusnya
perempuan dan laki-laki mempunyai peran dalam tataran yang sama dalam segala hal kecuali
jika berkaitan dengan kodratnya sebagai perempuan yang bisa hamil, melahirkan, dan menyusui.
Namun pelaksanaannya dalam realitas kehidupan ini masih banyak diwarnai oleh budaya
patriarkhi, tafsir-tafsir yang bias jender sehingga menempatkan perempuan dalam subordinat.
2.3. Jati Diri Remaja
Pelayanan kepada remaja di sekolah dalam konteks masyarakat Indonesia adalah suatu
bidang yang strategis, tetapi juga sangat menantang karena remaja berada dalam fase kehidupan
yang sangat penting bagi masa depannya.
Hal ini juga dikaitkan dengan jati diri dan peran jender dalam dirinya. Masa remaja
adalah masa transisi dengan berbagai gejolak yang muncul, masa remaja adalah masa dimana
mereka mempertanyakan berbagai hal yang selama ini diajarkan kepada mereka baik di bidang
iman maupun moralitas. Lebih dari itu masa remaja juga masa yang penuh keterbukaan dan masa
22
dimana mereka mengambil keputusan penting yang mempunyai konsekuensi penting bagi masa
depan mereka.35
Wayne Rice dalam Nuhamara berpendapat bahwa ada 4 signifikansi khusus terhadap
remaja:
a. Masa Remaja adalah Masa Transisi
Masa remaja adalah masa yang amat meresahkan (unsettling) di dalam kehidupan
seseorang. Pada masa pubertas seseorang mengalami perubahan, baik secara fisik
maupun perubahan-perubahan yang lain dari masa kanak-kanak menuju ke masa
dewasa. Menurut Erik Erikson pada masa remaja seorang individu mulai
melihat/menyadari diri sendiri, mempunyai masa lalu dan masa depan yang secara
eksklusif merupakan dirinya sendiri. Masa remaja adalah masa dimana seseorang
membuat kenangan dan antisipasi tentang masa depan, pencarian ini terdiri dari suatu
rasa kesadaran tentang keunikan pribadi yang berusaha memiliki pengalaman yang
berkesinambungan dan solidaritas dengan ideal-ideal kelompok, sehingga sangat
dibutuhkan banyak perhatian dan bimbingan terhadap mereka.
b. Masa Remaja adalah Masa Bertanya
Pada masa ini remaja mengalami perkembangan dalam kognitifnya, umumnya
mereka mulai mempertanyakan banyak hal yang sudah diajarkan kepada mereka.
Banyak mitos masa kanak-kanak yang diragukan pada waktu mereka menemukan
cara-cara baru dalam memandang realitas, mereka tidaklah percaya pada semua hal
yang pernah dikatakan/diajarkan baik dari orang tua maupun guru mereka sebagai hal
yang benar, mereka ingin mengerti bagi diri mereka sendiri.
23
Dengan memahami perubahan pola pikir dalam diri remaja ke arah yang lebih
rasional inilah maka sangat berbahaya jika guru hanya menjejali para remaja dengan
aktivitas yang tidak berarti. Sehingga guru sangat perlu memberikan jawaban yang
sungguh dan jujur terhadap pertanyaan-pertanyaan yang muncul sebagai pertumbuhan
diri mereka didalam pengajarannya.
c. Masa Remaja adalah Masa Keterbukaan
Bagi kebanyakan remaja usaha untuk mencari/mendapatkan identitas baru,
merupakan suatu proses yang penuh dengan coba-coba yang menyebabkan
karakteristik mereka sukar ditebak. Mereka akan menerima suatu hal pada suatu
kesempatan, tetapi pada lain kesempatan mereka menolaknya sama sekali. Bagi
kebanyakan remaja hidup dapat diumpamakan dengan permainan jigsaw puzzle di
mana banyak dari potongannya masih hilang.
d. Masa Remaja adalah Masa Mengambil Keputusan
Kebanyakan remaja terlibat dalam periode fact finding yang menyebabkan
kebanyakan dari asumsi-asumsi, konklusi-konklusi, dan keputusan-keputusan mereka
agak tidak menentu dan sementara saja. Remaja akan membuat sejumlah keputusan
dan komitmen beberapa diantaranya mungkin bertahan lama. Yang harus disadari
oleh para guru adalah bahwa kecendrungan untuk memaksa remaja mengambil
keputusan adalah tndakan yang sangat berbahaya.36
24
2.4. Teori Pembagian Kerja Berbasis Jender
Pembagian kerja berbasis jender merupakan salah satu faktor terjadinya kesenjangan
jender, sehingga penulis mencoba melihat dan memahami melalui teori nature dan nurture, teori
fungsional, dan teori feminis.
2.4.1. Teori Nature dan Nurture
Teori Nature “Kodrat Alam” dan Teori Nurture “Kebudayaan” sering digunakan dalam
membedah sekaligus membenarkan perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan
perempuan. Secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. 37 Teori nature: Laki-laki
memiliki penis, jakun, dan dapat memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki rahim,
buah dada, memproduksi indung telur, dan air susu. Apa yang dimiliki laki-laki tidak dimiliki
perempuan begitu pula sebaliknya. Kodrat fisik yang berbeda berpengaruh pada kondisi psikis
masing-masing. Perempuan dengan kodrat fisik melahirkan tersebut berakibat pada
perkembangannya perangi psikologis yang dibutuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkan,
seperti perangi keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, kasih sayang dan sebagainya.
Sedangkan laki-laki dengan kodrat fisik yang dimilikinya menunjukkan bahwa fisik laki-laki
kuat, kodrat fisik yang kuat berdampak pada perangi psikologis yang tegar bahkan kasar,dengan
kodrat fisik dan psikologis tersebut laki-laki dikonstruksikan berperan disektor publik yang
keras, sekaligus memberi perlindungan pada pihak yang lebih lemah yakni perempuan.
Sanderson berpendapat bahwa perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan
merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran
antara kedua jenis kelamin tersebut.
37 Muthali’in, Achmat, Bias Jender dalam Pendidikan. (Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2001)
25
Teori Nurture: pada hakekatnya teori ini bertentangan dengan teori Nature, teori ini tidak
setuju bahwa pemilahan posisi dan peran laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam.
Menurut Sanderson faktor biologis tidak menyebabkan keunggulan laki-laki terhadap
perempuan, pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki disebabkan karena elaborasi
kebudayaan terhadap biologis masing-masing. Dengan demikian apa yang disebut dengan sifat
kelaki-lakian dan keperempuanan merupakan hasil pemupukan melalui kebudayaan, lebih
khususnya melalui pendidikan. Budiman memberikan pendapatnya mengenai usaha untuk
membagi manusia menjadi dua golongan laki-laki dan perempuan dan usaha untuk membedakan
keduanya dalam posisi dan peranan sosial yang berbeda merupakan suatu tindakan yang
direncanakan. Jadi apa yang disebut dengan kodrat perempuan merupakan buatan, yaitu hasil
kombinasi antara tekanan dan paksaan di suatu pihak dengan rangsangan yang tidak wajar,
sekaligus menyesatkan pihak lain khususnya perempuan.38
2.4.2. Teori Feminisme Radikal
Teori ini sesuai dengan namanya, radikal yang berarti mencari persoalan sampai ke
akar-akarnya, kaum feminisme radikal melihat penyebab utama adanya ketidakadilan bagi perempuan
didalam dunia pendidikan adalah kerena sistem patriarchal yang berlaku di masyarakat setempat,
selain itu juga melihat kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena hal ini menentukan
keterbelakangan perempuan di berbagai bidang. Peran seksualitas merupakan tempat yang sangat
penting karena penindasan berawal dari dominasi atas tubuh dan seksualitas perempuan yang
ditemui di ranah privat termasuk pendidikan. Diskursus yang dipakai dalam teori ini adalah
budaya patriarchal, pemberdayaan perempuan, dan mensentralkan kepentingan perempuan.39
38 Ibid:25
26 2.4.3. Teori Feminisme Marxis dan Sosialis
Bahasa yang sering digunakan dalam teori ini adalah yang berkaitan dengan kelas,
produksi, kemiskinan, dan seterusnya. Teori ini juga memberikan tekanan kepada teori alienasi
atau keterasingan perempuan yang berbeda dengan yang dialami oleh laki-laki, seperti yang
diungkapkan oleh Foreman bahwa laki-laki sangat menonjol perannya dibidang sosial, bisnis,
industri dan juga didalam keluarga, sehingga dia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat
bidang tersebut. Aliran ini juga memandang kaum perempuan pada umumnya masih menduduki
posisi rendah dimasyarakat dengan peringkat gaji yang juga rendah. Penindasan kepada
perempuan perlu diatasi dengan kekuatan dan posisi ekonomi yang baik dari perempuan itu
sendiri. Menurut teori ini ketidaksetaraan di dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi
pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih
melayani kelas ekonomi atas, pendidikan telah kehilangan makna bukan untuk mencerdaskan
bangsa melainkan untuk menguntungkan kantong masing-masing. Hubungan kekuasaan antara
ekonomi kuat dan ekonomi lemah sangat kelihatan sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan
berada didalam kebodohan secara terus menerus. 40
Melalui pengungkapan dari teori-teori feminisme ini, dapat disimpulkan bahwa walaupun
realita teori ini bermacam-macam dan cara pandang yang berbeda-beda namun mereka memiliki
satu tujuan ataupun arahan, yakni mereka ingin kesetaraan dan keadilan jender antara laki-laki
dan perempuan dapat terlaksana, walaupun disadari ini agak sulit namun mereka berusaha untuk
mengatasinya melalui teori-teori yang ada yang telah dijabarkan.
2.5. Teori Ketidakadilan Jender
Sesungguhnya perbedaan jender dengan pemilihan sifat, peran dan posisi tidaklah
menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan atau tidak ada yang menjadi korban,
27
namun pada kenyataannnya perbedaan jender ini telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bukan
saja bagi kaum perempuan tetapi juga bagi kaum laki-laki. Ketidakadilan jender adalah suatu
system dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem
tersebut. Ketidakadilan jender termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan terutama bagi
kaum perempuan.41 Ada beberapa teori ketidakadilan jender dapat dijabarkan:
2.5.1. Marginalisasi Perempuan
Tidak sedikit proses dalam masyarakat dan Negara yang memarginalkan masyarakat,
salah satu diantaranya adalah proses eksploitasi dalam pembangunan, salah satu proses
eksploitasi itu berbentuk pemiskinan satu jenis kelamin tertentu, yaitu kaum perempuan hal ini
terjadi karena berlakunya keyakinan jender, ada berbagai macam bentuk serta mekanisme proses
marginalisasi perempuan akibat jender tersebut yakni, dari kebijakan pemerintah, keyakinan atau
tafsiran terhadap ajaran agama, tradisi atau kebiasaan, dan bahkan berasal dari asumsi ilmu
pengetahuan.
Marginalisasi juga terjadi akibat adanya diskriminasi terhadap pembagian kerja menurut
jender, ada jenis pekerjaan tertentu yang dianggap cocok untuk perempuan karena keyakinan
jender, karena perempuan dianggap tekun, sadar, dan ramah maka pekerjaan yang cocok bagi
mereka adalah sekretaris, perawat/suster, guru TK, kasir, pramugari, atau penerima tamu dan
perempuan biasa diberi gaji yang rendah. Adanya anggapan bahwa perempuan sebagai istri harus
bekerja dibidang domestik menyebabkan banyak perempuan kehilangan kesempatan untuk
41 Muthali’in, Achmat, Bias Jender dalam Pendidikan.(Surakarta:Muhammadiyah University
28
bekerja dan menerima upah di sector publik, secara tidak langsung hal ini menjadikan
perempuan tergantung secara ekonomi kepada suaminya.42
2.5.2. Subordinasi Perempuan
Berawal dari pemahaman bahwa perempuan itu adalah makhluk yang emosional, maka ia
dipandang tidak dapat memimpin dan arena itu ditempatkan pada posisi yang tidak penting, hal
ini melahirkan subordinasi terhadap perempuan. Rachman melukiskan subordinasi perempuan
seperti gelas kaca dan kayu bakar, dalam analogi gelas kaca perempuanlah yang harus
mengalami peristiwa yang retak dan pecah, dan dalam analogi kayu bakar laki-laki yang
berperan sebagai api, sedangkan perempuan sebagai kayu bakarnya laki-lakilah yang berpeluang
membakar dan menghanguskan sang kayu, oleh sebab itu perempuanlah yang berpotensial
terbakar menjadi debu yang tidak lagi berarti apa-apa.
Bentuk subordinasi terhadap perempuan yang menonjol adalah semua pekerjaan yang
dikategorikan sebagai “reproduksi” dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi dari
pekerjaan “produksi” yang dikuasai oleh laki-laki. Salah satu bukti dari rendahnya penghargaan
terhadap pekerjaan “reproduksi” tersebut adalah bahwa pekerjaan ini hampir-hampir tidak
dihargai secara ekonomis, meski tingkat kerumitan dan waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan
tersebut tidak lebih ringan dari pekerjaan “produksi”, keadaan seperti ini menyebabkan baik
laki-laki maupun perempuan sendiri akhirnya menganggap bahwa pekerjaan “reproduksi” yang
dikategorikan domestik tersebut lebih rendah dan ditinggalkan.43
2.5.3. Stereotip Jenis Kelamin
Secara umum stereotip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok
tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip itu adalah
42 Ibid:33
29
bersumber dari pandangan yang bias jender. Stereotip bias jender merupakan suatu bentuk
penindasan ideologi dan kultural, yakni dengan pemberian label tertentu yang memojokkan
kaum perempuan. Faqih mengatakan bahwa label dan pada kondisi tertentu menjadikan
perempuan terpojok dan tidak menguntungkan eksistensi dirinya.
Salah satu pelabelan yang dimaksud adalah perempuan sebagai ibu rumah tangga, akibat
dari pelabelan ini jika perempuan hendak aktif dalam kegiatan yang dianggap wilayah laki-laki
seperti kegiatan politik, olah raga keras dan yang lainnya dianggap tidak sesuai dengan
kodratnya sebagai perempuan. Terkait dengan stereotip ini adalah dinomorduakannya pendidikan
kaum perempuan, perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi-tinggi, perempuan sebaiknya
menjadi ibu rumah tangga, pendidik anak, dan pendamping suami tidak memerlukan pendidikan
yang tinggi, karena pada akhirnya cukup di dapur.
2.5.4. Beban Kerja Lebih Berat
Asumsi teori hukum alam (teori natur) menyatakan bahwa perempuan secara alami
memiliki sifat keibuan, penyabar, penyayang, lemah lembut, dan rajin. Sifat seperti ini sangat
cocok untuk menjadi ibu rumah tangga dan sekaligus bukan kepala rumah tangga, akibatnya
semua pekerjaan domestik akan dilakukan oleh perempuan/ibu/istri, oleh karena itu semua
pekerjaan domestik menjadi tanggung jawabnya sehingga beban pekerjaan perempuan menjadi
lebih berat. Semua pekerjaan rumah tangga akan dilakukan sendiri, jika bagi keluarga menengah
beban ini akan diberikan kepada pembantu yang pada umumnya adalah perempuan, sementara
itu bagi kalangan keluarga miskin beban kerja perempuan akan menjadi beerlipat ganda mereka
juga harus membantu bekerja di sector publik untuk membantu mencari nafkah tambahan bagi
30
Ketidakadilan disini sangatlah kelihatan meski beban kerjanya lebih berat, paling tidak
waktu yang digunakan lebih lama tetapi curahan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan
pekerjaan tersebut samasekali tidak dihargai secara ekonomi, bahkan status sosialnya dalam
masyarakat dipandang lebih rendah dari pekerjaan publik. Ketidakadilannya berlipat ganda, tidak
berharga secara ekonomis sekaligus rendah secara sosial. 44
2.5.5. Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan yang mengenai perempuan pada umumnya disebabkan karena adanya
pandangan jender “Gender Related Violence”. Bentuk kekerasannya bisa bisa kekerasan fisik
maupun non fisik yang berlaku ditingkat rumah tangga, tingkat Negara, bahkan sampai pada
tafsir agama. Kekerasan kepada perempuan dapat dibagi menjadi tiga yakni,kekerasan yang
dilakukan oleh keluarga, kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat, dan kekerasan yang
dilakukan oleh negara.45
Melalui penjabaran pembagian kerja berbasis jender dengan teori yang ada penulis
menarik kesimpulan bahwa kehidupan perempuan selalu dinomorduakan. Karena akan selalu
kembali ke kodratnya bahwa perempuan itu sangat emosional, perempuan dianggap lemah, dan
tempatnya didapur. Untuk mengatasi kesenjangan jender dibidang pendidikan tidaklah hal yang
mudah dilakukan, namun pemaham dari berbagai teori dan model-model yang dikemukakan
kiranya dapat memandu penulis untuk melihat dari berbagai sisi kehidupan para korban dan
kerugian organisasi yang seharusnya tidak terjadi dibidang pendidikan.
44 Ibid:39