• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP IBN ‘ATHA’ILLAH TENTANG MAHABBAH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP IBN ‘ATHA’ILLAH TENTANG MAHABBAH."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S-1)

Filsafat Agama

OLEH: HANNAN NIM: E81211046

PRODI FILSAFAT AGAMA

JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)

ii  

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Program Studi Filsafat Agama

Oleh :

HANNAN E81211046

PROGRAM STUDI FILSAFATAGAMA JURUSAN PEMIKIRAN ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(3)
(4)
(5)
(6)

6

PERPI]STAKAAN

Jl.Jend

A

Y,tri I l7 Sunbaya 60217 Tclp. 0l t-3,111972 Fax.03 t &1l:lloo

E-Mait: per?us@uinsby.&.id

LENTBAR PI]RNYAT,{{N ?ERSETL"JUAN ?LN]-II'AsI

K{RYA

IL\IL\H UN:IU(

KEPENTINGAN ]*NDENIIS

SebiA! snias xkr&nlLa UIN Sutrm ,lmpel Smbrla ,.ng bcniodr hsan di h,mh

i.!

MIal

NINI I li3l2]]046

I

Lshulu&I'

F satit

tsam

,

tun.anh.mr.360@gnuil.co.r

b6etu lie4ngld

r.g

drpedulm {biL

.da)

DenSxn

H,k

B.b:s Royilri Nod EtslNif ini

IerpusbL.{

UIN

Sdd

,{npel

suiblp

bcrhak

msrmpu,

nc.g.lih-6edir/folmt

kfl,

henaeloLnya

d.Ln

bentu[

pmgls]"n

dah

(daEb,E),

neodidibNitmya! &n

r..hpJt"d

D,mprbllu.&:nnjr (L ln !tu.,

]

ru

n.d!'/m

--m

/l,./,rrrLntut

hcntinsai

1\rdcm. hnpr perlu

mrffu r.

dari

!"/r.d,m

rDp nensnrunln

oin

vI:.eb93a

p.nul/p.ndFE

d,n rmu peosbtr r:na b.Nnsrahn.

S.Ir b6edi,

utuk

mm..gguns

stqa

pnbdi

e.pi

melibrtL.n pihd(

p.pnsbtrin

UtN

Su.n

Ahpel

subar4

scs2L

bobL

tutuh

hutm ydg

tnnbul.bs

p€l,nsrm

Hat Ciph

d,lm

lcy.

il,ni$

$r

ini.

Desi(ias

pmyatu

ini Bng saya hut denArn

shcl]dF.

su/Lnr,

1t nlrcmber

l0l6

Dchl pc senbxnsrn

ilnr

leogcbhurn. hsrrerujui unuh

r6L6ils.

Lepadr Peryuhku

u_\

sunsn Anpe.

rMbi!^,

Hrt

B.h:.R.yeld

Non

El.tlu.r

,D\\qa-

il,tuh

@',i\nf"i Ef te.j

E D.ctu.i E Itr tr

....

.

.1...

.
(7)

ABSTRAK

Hannan, NIM. E81211046, 2016. Konsep Ibn „Atha’illah. Skripsi Program Studi Filsafat Agama Jurusan Pemikiran Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Kata kunci: Ibn „Atha’illah dan Mahabbah

Skripsi dengan judul “Konsep Ibn „Atha’illah Tentang Mahabbah” ini adalah hasil penelitian kajian pustaka untuk mengetahui alasan yang mendorong dan manfaat yang diambil dari mahabbah Ibn Atha’illah sebagai konsep peningkatan kebersihan jiwa kepada Tuhan yang dilakukan melalui meditasi mahabbah. Dalam pandangan Ibn „Atha’illah tentang mahabbah ialah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintai, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dan pendekatan secara deskriptif-historis, yakni menggambarkan kehidupan ahli tasawuf dan tarekat dalam mahabbah kepada Tuhan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan selama proses penelitian ini adalah dengan teknik kajian pustaka dan dokumentasi.

Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa keberadaan mahabbah Ibn „Atha’illah masih terus berkembang. Konsep mahabbah Ibn

„Atha’illah menjadikan ketentraman jiwa dan kebersihan jiwa bagi penganutnya. Dan sebagai sarana tercepat untuk peningkatan spiritualitas, ketentraman dan kebersihan jiwa yang belum pernah dirasakan sebelumnya, dan dari pihak mahabbah Ibn „Atha’illah, adanya status tidak pandang tempat baik dalam keadaan apapun baik seperti keadaan duduk, berdiri, sakit dan diperbolehkan mengamalkan berdzikir kepada Tuhan sebagai serana untuk mendapatkan

(8)

xv

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii

PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN ... v

PERSEMBAHAN ... vi

MOTTO ...viii

ABSTRAK ... ix

TRANSLITERASI ... x

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Kajian Pustaka ... 8

F. Metode Penelitian... 9

1. JenisPenelitian ... 9

2. Data dan Sumber Data ... 11

3. Teknis Pengumpulan Data dan Analisis Data ... 12

(9)

xvi

BAB II BOGRAFI IBN ATHA’ILLAH ... 15

A. Biografi ... 15

B. Karya-karya ... 19

C. Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah ... 20

BAB III KONSEP IBN ATHA’ILLAH TENTANG MAHABBAH ......37

A. Konsep Ibn Atha’illah tentang Mahabbah ... 37

B. Tingkatan Maqam Menurut Ibn Atha’illah ... ...41

C. Penyucian Jiwa ... 50

BAB IVANALISIS KONSEP IBN ATHA’ILLAH TENTANG MAHABBAH DALAM SUDUT PANDANG TEORI MAX SCHELER ... 54

A. Analisis Konsep Ibn Atha’illah tentang Mahabbah ... 54

B. Cara Mendapatkan Nur Muhammad ... 54

C. Ordo Amoris sebagai Refleksi Hati ... 58

BAB V PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia pasti mempunyai keinginan untuk dekat dan dicintai oleh

Tuhannya yang dalam Islam dikenal dengan istilah Mahabbah. Namun, tidak

semua orang mampu untuk mahabbah bukanlah merupakan hal yang mudah dan

hanya orang yang memiliki kekuatan cinta yang kuat terhadap Tuhannya.

Mahabbah merupakan rasa cinta yang mendalam terhadap tuhannya, dengan

tujuan untuk mencintai dan dicintai oleh Tuhan. Ketika manusia mendapat

mahabbah, maka dia akan mendapat rasa ketenangan dan cinta yang luar biasa

dari Tuhannya.

Kita selaku umat Islam harus berusaha mencapai mahabbah demi

mendapat kehidupan yang tenang dan damai serta cinta dari Sang Maha Cinta.

Dalam pandangan ahli tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi

segenap kemuliaan, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan

maqam. Sebab itu, pada dasarnya adalah anugrah bagi segala bentuk mendekatkan

kepada Tuhan. Kaum sufi menyebutkan mahabbah adalah mundurnya hati untuk

memperhatikan keindahan atau kecantikan.

Mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yang secara

harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan yang mendalam.

Al-mahabbah dapat pula diartikan Al-Wadud, yaitu yang sangat kasih atau

(11)

penyayang, pengertian mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat

kepada Allah.1

Tasawuf adalah bagaiamana kaifiyah tazkiyatun-Nafs (cara menyucikan

hati) agar dekat dengan tuhan, mengikuti sunnah Rasullullah baik yang tersurat

maupun yang tersirat. Untuk mengetahui aspek ajaran Islam yang tersurat dan

yang tersirat, perlu mengetahui ilmunya. Ilmu yang menjelaskan makna esoteris

ajaran agama Islam, juga bagaimana perjalanan ruhani Rasulullah, dan bagaimana

cara Rasulullah menyucikan ruhaninya, sebagai sufi pertama.2

Dalam ajaran tasawuf banyak cara para sufi untuk mendekatkan diri

kepada Tuhan, salah satunya adalah mahabbah (cinta). Seseorang tidak disebut

“Mencintai” kalau masih meminta sesuatu dari yang dicintai, namun orang-orang

yang betul-betul mencintai ialah orang yang mau berkorban untukmu, maka

sesungguhnya orang yang mencintai ialah orang yang memberimu, bukan

orang-orang yang yang minta diberi pemberianmu.3

Mahabbah adalaha cinta, dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan

dalam artian kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya atau

mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi yakni

tuhan.4 Yang mana hal ini sesuai dengan firman Allah:

1

Jamil Shaliba, al-Mu‟jam al-Falsafy, jilid 11, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978), 439.

2

Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat“Dimensi Esoteris Ajaran Islam, (bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset, 2012), III.

3

Ibn Athaillah, Terjemahan al-Hikam ”Kajian Hikmah-Hikmah Ilmu, Iman & Amal Tauhid, Toriqot & Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 2011), 269.

4

(12)

ٌمْيِحر ُرْوُفَغ ُهاَو ْمُكَبْوُ نُذ ْمُكَلْرِفْغَ يَو ُها ُمُكْبِبُُْ ْ ِِْوُعِبتاَف َها َنْو بُُِ ْمُتْنُك ْنِا ْلُق

ُ

نارمع لا

:

٣١

َ

“Jika kamu cinta pada Tuhan, maka turutlah aku dan Allah akan mencintai kamu,

Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan Allah maha Pengampun dan maha

Penyayang.”5

(Q.S. Ali Imron:31)

Maksud dari ayat tersebut ialah, kalian akan mendapatkan yang lebih dari

kecintaan kalian kepadanya, yaitu kecintaanya kepada kalian dan ini lebih besar

dari pada kecintaan kalian kepadanya. Seperti yang diungkapkan sebagian ulama

ahli hikmah:6

“yang jadi permasalahan bukanlah jika engkau mencintai, tapi

permasalahannya ialah jika engkau dicintai.”

Menurut beberapa pandangan ulama tentang mahabbah diantaranya,

al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkatan yaitu:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka

menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam

berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.

2. Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada

kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmun-Nya,dan lain-lain.

Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri

seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat

5Al-Qur‟an dan Terjemah, Q.S.Ali Imran, 3:31

(13)

rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan

dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini

membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan

sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada

Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

3. Cinta orang „arif, yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta

seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang

dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya

sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai.7

Al-Qusyayri juga mendefinisikan cinta sebagai kecendurungan hati yang

telah diracuni oleh cinta, pilihan sang kekasih terhadap hamba-hamba,

keharmonisan dengan sang kekasih, penghapusan semua kualitas dari pecinta,

penegakan esensi sang kekasih, dan akhirnya terjalinlah hati sang pecinta itu

dengan kehendak Ilahi.8

Di dalam salah satu ungkapan-ungkapan Rabiah al-Adawiah tentang cinta

ialah:“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka. Bukan

pula karena ingin masuk surga. Tetapi aku mengabdi karena cintaku

kepada-Nya.”9

Sedangkan pandangan Ibn Athaillah mahabbah adalah menaati Allah. Ia

menguraikan: dua rakaat di tengah malam adalah cinta, membaca al-Qur‟an

adalah cinta, menjenguk orang sakit adalah cinta, sedekah kepada orang-orang

7

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme...,55.

8

Margaret Smith, Rabi‟ah: Pergulatan Spritual Perempuan, ( Surabaya, Risalah Gusti, 1997), 107.

9

(14)

miskin adalah cinta. Selanjutnya ia mengatakan: barang siapa yang mencurahkan

seluruh cintanya kepada Allah maka Allah akan memberi kepadanya minuman

kemurahan. Aneh, kata Ibnu Athaillah, masih ada orang yang mau bersahabat

dengan nafsunya dan mencintainya, padahal tidak datang kebaikan kecuali dari

Allah. Barang siapa yang ingin berjalan menuju Allah maka kuatkanlah tekad

kepada-Nya.10

Sebagaimana pedang tidak bisa berperang kecuali dengan pegangan yang

kuat, begitu pula amal saleh tidak akan pernah ada kecuali dari seorang mukmin

yang ikhlas dalam mengerjakan dan memenuhinya. Selanjutnya ia mengatakan:

tidak ada ibadah sebagai ungkapan rasa cintamu kepada Allah kecuali dhikir

kepada Allah secara tulus, karena dhikir dapat dilakukan oleh semua orang dalam

situasi apapun, sakit, sibuk, berdiri, duduk, berbaring, dan lainya. Sebagaimana

firman Allah:

نِا َةٰوَلصلااْوُمْيِقَأَف ْمُتْنَ نْأَمْطااَذِإَف ْمُكِبْوُ نُج ٰىَلَعَواًدْوُعُ قَو اًمٰيِق َهااْوُرُكْذاَف َةٰوَلصلا ُمُتْيَضَقاَذِإَف

اًتْوُ قْوَمًاٰبَتِك َِْْنِمْؤُمْلا ٰىَلَع ْتَناَك َةٰوَلصلاا

ُ

ءاسنلا

:

١٠٣

َ

“ Apabila kamu telah selesai melaksanakan salatmu, berdzikirlah kepada Allah di

waktu berdiri, duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah

merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya

shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang

beriman”. (Q.S. An-Nisa‟:103)

10

(15)

Hati manusia laksana cermin, dan perumpamaan nafsu adalah laksana

hembusan nafas, setiap kali hembusan nafas menimpa cermin itu dan tidak

mengkilat. Hati orang yang lemah, menurut ibn Athaillah, adalah seperti cermin

yang buram yang engkau biarkan dan tak pernah dibersihkan. Padahal engkau tak

bisa bercermin kecuali kalau permukaan cermin itu dibersihkan. Sementara hati

orang „arif adalah laksana pengantin perempuan yang cantik. Setiap hari engkau

membersihkan dan memperhatikannya sehingga ia mengkilap.11

Dalam kehidupan sekarang yang sudah serba hidup modern dengan

bergelimang dan berfikiran material, sehingga sibuk dengan dunianya dan

melupakan kewajiban dan tertutupnya mata hati sehinga dosa menjalar ke hati

hingga menggelapkannya. Maka permasalahan dalam kehidupan dunia

menyebabkan makin jauh mencintai kepada Tuhan dan melupakan-Nya yang

sebenarnya sebagai hamba haruslah mendekatkan diri kepada-Nya. Maka menurut

pandangan Ibn Athaillah untuk mengembalikan hati yang sudah tertutupi dengan

dosa haruslah melakukan empat hal diantanya:

1. Banyak berdzikir dan membaca al-Qur‟an.

2. Diam tidak banyak berbicara.

3. Khalwah untuk bermunajat kepada Raja Yang Maha Mengetahui.

4. Sedikit minum dan makan.

Maka berdasarkan penjelasan diatas peneliti berusaha meneliti konsep Ibn

Athaillah tentang mahabbah, sebagai serana untuk mendekatkan kepada Tuhan

11

(16)

dengan konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah dengan memakai sudut pandang

teori Max Scheler yakni teori Ordo Amoris (pengaturan kecintaan).

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang sebagaimana dijelaskan di atas, penulis

membatasi rumusan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian mahabbah dalam pandangan ulama‟ tasawuf?

2. Bagaimana konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana pengertian mahabbah dalam pandangan

beberapa ulama‟ tasawuf.

2. Mengetahui konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.

D. Mamfaat Penelitian

Hasil penelitian ini semoga memberi sumbangsih baik dalam aspek

keilmuan maupun dalam aspek terapan praktis.

1. Aspek keilmuan

a. Sebagai sumbangsih pemikiran dan upanya memperkaya ilmu

tasawuf dalam konsep mahabbah.

b. Semoga apa yang jadi penelitian ini bermamfaat bagi kegiatan

dalam rangka pengembangan ilmu tasawuf bagi siapa saja yang

(17)

c. Semoga bermamfaat untuk melatih diri dalam melakukan

penelitian dan memperluas wawasan pengetahuan yang

berhubungan dengan tasawuf.

2. Aspek penerapan praktis

a. Ikut serta membumingkan pemikiran ulama‟tasawuf tentang

mahabbah.

b. Memberi pengertian terhadap masyarakat awam tentang konsep

Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah.

E. Kajian Pustaka

Sejauh ini peneliti masih belum menemukan kajian tentang konsep Ibn

Athaillah tentang mahabbah. Adapun terkait dengan konsep Ibn „Atha‟illah

tentang mahabbah seperti, mahabbah Allah „Indah Tafsir Ibn al-Qayyim, dalam

skripsinya Siti Nur Azizah Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Ampel Surabaya,

(2012). Bagaimana pendapat Imam Ibn Qayyim tentang mahabbah kepada Allah

dan bagaimana tanda-tanda, susunan mahabbah kepada Allah dalam pandangan

Ibn Qayyim. Dalam penjelasan yang saya tangkap secara garis besar tentang

mahabbah di dalam skripsi tersebut bahwa mahabbah yaitu condongnya jiwa

kepada sesuatu yang dia condongi untuk kesempurnaan kemudian dia mengajak

mendekatkan kepadanya.

Konsep mahabbah menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya‟ „Ulum al din,

dalam Tesis Abd Malik Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya,

(18)

konsep mahabbah menurut para tokoh sufi dan kedua, bagaimana konsep

mahabbah Imam al-Ghazali. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa mahabbah

menurut Imam al-Ghazali adalah tujuan puncak dari seluruh maqam dan

kedudukan yang paling tinggi, karena setelah diraihnya mahabbah, tidak ada

maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu seperti maqam Shauq (kerinduan)

„Uns (kemesraan), rida, dan lain-lain.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau

lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Oleh karena itu, di dalam

penelitian ini tidak dapat dilepaskan dari dokumen atau buku-buku yang

membahas tentang fokus tersebut. Sehingga penelitian ini juga dapat disebut

dengan penelitian pustaka (Library reseach).

1. Jenis Penelitian

a. Objek material dalam penelitian ini adalah menuangkan pikiran Ibn

„Atha‟illah tentang konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah melalui

data perpustakaan baik dalam karya asli Ibn Athaillah atau pun melalui

buku-buku yang masih ada kaitannya. Disamping itu, penelitian ini

juga menggunakan data yang berkaitan dengan tokoh seperti biografi,

aspek pemikirannya dalam dunia tasawuf, dan lebih penting yaitu

(19)

b. Objek formal dalam penelitian ini adalah menggunakan konsep Max

Scheler tentang “Ordo Amoris” (Pengaturan kecintaan). Artinya,

memandang konsep mahabbah Ibn „Atha‟illah melalui sudut pandang

Max Scheler. Menurut pandangan Max Scheler tentang kodrat manusia

ada tiga suasana yaitu sebagai berikut:

a. Suasana indera: yang dimaksud suasana ini seperti enak,

pahit, dan sebagainya. Suasana ini mempunyai tempat yang

tertentu.

b. Suasana vital: mempunyai dua cabang: ialah kehidupan

jasmani, seperti lelah, segar-bugar. Semua itu tidak terbatas

tempatnya, melainkan meliputi seluruh tubuh.

c. Suasana rohani atau kejiwaan: seperti jika orang

mengatakan: aku sedih, aku bingung. Suasana ini tidak

membentang, tidak organis. Golongan yang ketiga ini

menurut pandangan Max Scheler adalah rasa atau perasaan

rohani tadi, misalnya bahagia, damai. Disini badan tidak

tersangkut. Orang yang sedang menderita badannya, bisa

juga bahagia. Disini yang merasa: ialah persona.12

Dalam teori Max Scheler tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa

dengan menggunakan pada poin ketiga (suasana rohani atau kejiwaan)

berkaitan dengan konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah yakni

kebersihan jiwa dalam mencapai maqam mahabbah.

12

(20)

2. Data dan Sumber Data

a. Data Primer

Adapun sumber data primer yaitu dari literatur-literatur utama

dalam penelitian ini yang membahas tentang mahabbah Ibn Athaillah

dalam karya aslinya. Diantaranya:

1. Ibn Athaillah, Terjemahan al-Hikam ”Kajian Hikmah-Hikmah

Ilmu, Iman & Amal Tauhid, Toriqot & Tasawuf, (Surabaya:

Terbit Terang, 2011), 269.

2. Ibn Athaillah, Mengapa Harus Berserah, Cet 1, (Jakarta: PT

Serambi Ilmu Semesta, 2007), 43.

3. Taj al „Arus al Chawi Litahdzib al nufus (Penyucian Jiwa)

4. Lathaif al Minan (Rahasia yang Maha Indah)

b. Data sekunder

Adapun sumber data skunder peneliti merujuk pada; buku-buku,

majalah, situs internet yang tentunya berkaitan dengan pokok penelitian

dalam skripsi ini. Antara lain:

1. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam

Islam,(jakarta:PT Bulan Bintang, 2010).

2. Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat“Dimensi Esoteris Ajaran

Islam, (bandung:PT Remaja Rosdakarya Offset, 2012).

(21)

3. Teknis Pengumpulan Data dan Analisis Data

a. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penetilian ini, peneliti akan

menghimpun data-data yang meliputi, munculnya konsep Ibn

„Atha‟illah. Dalam hal ini dibutuhkan untuk menjelaskan

konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah. Untuk penggalian

lebih dalam mengenai konsep Ibn „Atha‟illah tentang

mahabbah baik pemikiran tokoh tasawuf terdahulu dan pada

zamannya serta pengaruhnya dan setelahnya. Disamping itu,

latar belakang hidup, pendidikan, dan konsep mahabbah yang

dibangunnya untuk melakukan mahabbah kepada Allah.

Selanjutnya, data-data yang diperoleh di edit ulang,

untuk melihat kelengkapannya dengan melakukan

pengurangan dan penambahan data yang diselingi dengan

klasifikasi untuk memperoleh sistematika pembahasan dan

terdiskripsikan dengan rapi. Terkait dengan penggalian data,

penulis menggunakan teknik library. Adapun teknik library di

sini adalah pengumpulan atau pencarian data yang terdapat

pada buku-buku yang berkaitan dengan konsep Ibn „Atha‟illah

tentang mahabbah.

(22)

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan satu

kerangka analisis mahabbah sebagai bentuk mendekatkan

kepada Tuhan. Maksudnya diperlukan kajian kritis terhadap

konsep Ibn Athaillah tentang mahabbah. Metode ini didukung

dengan penggunaan metode deskriptif-historis. Dengan proses

pencarian data dan buku-buku yang sudah ada yang

menggunakan ketepatan interpretasi. Deskripsi ini menjelaskan

suatu fakta sebagaimana adanya,13 dalam hal ini berupa konsep

Ibn „Atha‟illah, sedangkan kajian historis digunakan untuk

mendapat keterangan yang mendalam tentang pengertian

mahabbah dalam pandangan ulama‟ tasawuf dan mengetahui

konsep Ibn Athaillah yang sudah ada. Kajian historis yang

dimaksud di sini yaitu fokus pada kehidupan Ibn „Atha‟illah

dan latar belakangya adanya konsep Ibn „Atha‟illah tentang

mahabbah yang mempengaruhi pemikirannya.

G. Sistematika Pembahasan

Adapun isi pokok pembahasan dalam penelitian ini disusun menjadi lima

bab, yaitu:

BAB I, Pendahuluan, yang berisi uraian yang meliputi latar

belakang, rumusan masalah, mamfaat penelitian, kajian pustaka,

metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.

13

(23)

BAB II, Menjelaskan biografi Ibn „Atha‟illah; meliputi riwayat

hidup, latar belakang pemikiran, karya-karya Ibn „Atha‟illah.

BAB III, Dalam bab ini akan menjelaskan tentang Konsep Ibn

„Atha‟illah tentang mahabbah.

BAB IV, Analisis konsep Ibn „Atha‟illah tentang mahabbah dalam

sudut pandang teori Max Scheler.

BAB V, Penutup yang didalamnya berisi kesimpulan seluruh

penulisan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang disajikan dan

(24)

BAB II

IBN ‘ATHA’ILLAH:

BIOGRAFI, KARYA-KARYA DAN PEMIKIRANNYA

A. Biografi Ibn ‘Atha’illah

Nama lengkapnya adalah Syekh Abul Fadl Tajuddin Ahmad bin

Muhammad bin Abdul Karim bin „Atha‟illah al-Sakandari lahir di Mesir pada pertengahan abad ke-7 H./ke-13 M, sejauh data yang ada, dan ia wafat di tempat

yang sama pada tahun 709 H./1309 M. Hampir separo hidupnya dihabiskan di

Mesir. Di bawah pemerintahan Mamluk, Mesir menjadi pusat agama dan

pemerintahan dunia Islam belahan timur setelah kekhalifahan Baghdad hancur

pada tahun 656 H./1258 M. Bangsa Mamluk berkuasa ketika Ibn Atha‟illah telah dewasa di Iskandaria. Mereka mengawasi orang Mongol, menyerang

orang-orang Isma‟iliyyah, dan menarik diri dari Levant, kerajaan-kerajaan Kristen yang

sudah lama dikepung. Mereka pun memberi kontribusi banyak terhadap Islam

Sunni pada homogenitas sifat Islam Sunni dan mengantarkan Islam pada kejayaan

zaman artistik dan arsitektur yang impresif, sehingga Islam dapat berkembang

secara berkelanjutan. Ibn Atha‟illah sendiri merupakan salah satu dari jajaran guru

Mamluk Mesir.1

Data mengenai awal kelahiran Ibn Atha‟illah dan ketika ia dilahirkan

sangat minim, tidak ada sumber yang secara pasti menyebutkannya, meski dapat

dikatakan secara masuk akal bahwa ia lahir sekitar pertengahan abad ke 7H

sampai 13M. Sungguh kita tahu bahwa ia dilahirkan dari keluarga terhormat

1

Victor Danner, Mistisisme Ibnu „Atha‟illah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999),1.

(25)

penganut madzhab Maliki dari Iskandaria. Kakeknya, yang meninggalkan

beberapa karya agama adalah pendiri, atau mungkin seorang reviver, dinasti yang

dikenal para pakar Bani Ibn Atha‟illah. Ibn „Atha‟illah sendiri menjadi seorang

anggota utama dari dinasti ini dan menempatkan diri dalam halaqah keagamaan

milik kakeknya di Iskandaria. Asal-usul keluarganya adalah keturunan orang

bernama Judzam (al-Judzam), seorang suku arab yang menetap di negeri Mesir

pada waktu terjadinya penyerbuan awal terhadap dunia Islam. Nisbah (keturunan)

al-Judzami dalam silsilah lengkapnya menunjukkan sebagai keturunan keluarga

Arab.

Sejak awal, Ibn „Atha‟illah dipersiapkan untuk mempelajari pemikiran -pemikiran Imam Maliki. Ia punya guru-guru terbaik di semua disiplin ilmu

hukum, seperti disiplin ilmu tatabahasa, hadis, tafsir al-Qur‟an, ilmu hukum, teologi Asy‟ariyah dan juga literatur Arab pada umumnya dalam madzhab Maliki

segera menyedot perhatian banyak orang terhadapnya dan tidak lama para tokoh

terkenal itu sebagai seorang faqih (ahli hukum). Ia mengikuti salah satu dari

sekolah-sekolah agama atau madrasah-madrasah, sebagaimana yang dilakukan

oleh orang-orang Ayyubiyah di Iskandaria untuk studi hukum. Ia mempelajari

hukum, khususnya pada aspek-aspek madzhab Maliki.2

Ada cerita yang sangat menarik mengapa Ibn Atha‟illah beranjak memilih

dunia tasawuf. Suatu ketika Ibn „Atha‟illah mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya: “apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abul Abbas

2

(26)

Mursi?. Selama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk

mendekatnya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang dia ajarkan

sejatinya. Kalau memang dia orang baik dan benar maka semuanya akan

kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang

tidak bisa sejalan dengan tasawuf.

Lalu aku datang kemajlisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya

dengan tekun tentang masalah-masalah syara‟ tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Disini jelas semua bahwa ternyata al-Mursi yang kelak menjadi guru

sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan.

Maka demikianlah, ketika dia mencicipi manisnya tasawuf hatinya

semakin bertambah masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai dia

punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk

kedunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan

meninggalkan aktivitas yang lain.3

Sebagian besar kehidupan Ibn Atha‟illah dijalani secara wajar, tidak ada

momen yang sekiranya sangat monomental dan fantastik, dan dalam hal ini

tampaknya ia seperti seorang Sufi biasa. Ia hidup sezaman dan bertemu dengan

teologi Hambali dan ahli fikih Ibn Taimiyah (w.728 H./1328 M), yang merupakan

seorang penjaga setia purintasi Islam dan tegas dalam menentang beberapa tokoh

besar Sufisme, seperti Ibn Arabi. Ibn Atah‟illah sendiri menemui kesulitan

terhadap personalitas-personalitas Sufi di Kairo yang menentang ajaran Ibn Arabi.

Kondisi pertentangan-pertentangan ini diperparah lagi dengan terjadinya

3

(27)

kontroversi politik dan teologi. Pada waktu itu, para penganut madzhab Syafi‟i sebagian besar berpegang pada teologi Asy‟ari, sementara para penganut madzhab

Hambali biasanya menentang usaha-usaha interpretasi spekulatif terhadap teologi,

namun kelompok penganut madzhab Hambali terhitung sebagai kelompok yang

relatif lebih kecil. Bagi penganut teologi Asy‟ari, ini kesempatan untuk menekan

orang-orang penganut madzhab Hambali. Kekacauan itu dipersulit lagi oleh para

elit politik Mamluk pada waktu itu dalam perebutan kekuasaan. Mereka tidak

segan-segan menggunakan dalil untuk legitimasi kepentingan mereka. Maka tidak

dapat dielakkan lagi bila terjadi serangan-serangan gencar terhadap sosok Ibn

Arabi dan juga muncul dalih-dalih yang membuat Ibn Taimiyah menjadi sasaran

kelompok-kelompok Sufi, sehingga kenyataan ini mendorong Ibn Atha‟illah untuk bereaksi. Atas nama ratusan fukoha‟ (para murid; yang lebih populer

dengan sebutan orang-orang fakir, pent.) dan Syekh, ia pergi ke Citadel di Kairo

dan menghadap Ibn Taimiyah dalam kewaspadaan tokoh-tokoh agama yang takut

kepada orang suci dari madzhab Hambali. Ternyata di Citadel tidak ada bantahan

dan pembicaraannya, sehingga pertemuannya tidak menghasilkan apa-apa,

terpaksa Ibn Atha‟illah meninggalkan tempat itu dengan perasaan tidak puas

terhadap penyelesaian dari para pengikut madzhab Hambali, dimana Imam

Ahmad bin Hambali masih berpegang teguh pada contoh literalisme yang keras

dan sempit, contoh klasik eksoteris muslim. Pada waktu itu, Ibn Atha‟illah,

sebagaimana banyak fuqoha‟ lainnya, telah menganut salah satu dari

(28)

Hanya dua tahun atau sesudah itu, Ibn Atha‟illah meninggal dunia di usia

sekitar 60 tahun. Ia meninggal di madrasah Manshuriah, dimana waktu itu ia

sedang mengajarkan materi hukum madzhab Maliki. Prosesi pemakamannya

tampak sangat ramai, dan ia di makamkan di pemakaman Qarafa. Makamnya

masih ada hingga kini, sedangkan di sebelahnya ada makam seorang Sufi

Syadziliah lainnya, yakni Syekh Ali Abu Wafa‟ (w.807 H./1405 M.), yang punya hubungan keturunan langsung dengan Ibn Atha‟illah. Dalam beberapa abad

lamanya, makamnya terkenal dan diziarahi oleh orang-orang saleh, dan segera

pula menjadi makam keramat (karamah) atau dikeramatkan orang.4

B. Karya-karya Ibn Athaillah diantaranya, sebagai berikut:

1. Kitab Al-Hikam (Bijaksana).

2. Al-Lathai‟if Manaqib Abil al-Abbas al-Mursi wa Syekh Abi al-Hasan

(Berkah dalam Kehidupan Abu Abbas al-Mursi dan Gurunya Abu

Hasan).

3. Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah (Kunci Kesuksesan dan

Penerang Spritual).

4. At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir (eksposisi pendekatan tarekat

Syadziliah).

5. Taj al-„Arus (cara-cara pembersihan jiwa).

6. Kitab al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ismi al-Mufrad.

4

(29)

Namun karya yang paling populer adalah al-Hikam menurut keterangan

Syekh Zarruq, kitab ini tidak ditulis sendiri oleh Ibn Atha‟illah, namun didektikan kepada muridnya yang bernama Syekh Taqiy al-Din al-Subki, seorang ahli fikih

dan kalam yang terkenal dalam ketelitian dan kejujurannya. Kitab ini sudah

beberapa kali di syarah, antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim bin „Ibad ar -Rundi, Syekh Ahmad Zarruq dan Ahmad bin Ajiba.

C. Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah

Dalam teorinya Ibn Atha‟illah merekomendasikan kepasrahan penuh

kepada Tuhan, sehingga bila dipandang dari kacamata ilmu kalam beliau adalah

termasuk penganut Jabariyah, suatu paham yang yang diidentifikasi sebagai

kepercayaan bahwa seluruhnya (termasuk perbuatan manusia) adalah rekayasa

tuhan semata. Kepasrahan total, dalam pandangan Ibn Athaillah, menjadi resep

kunci agar perjalanan manusia mencapai sang khaliq menuai kesuksesan.

Keberserahan diri sepenuhnya kepada-Nya menjadi jalan utama bagi dirasakannya

Karunia-Nya yang sangat berlimpah dan keadilan-Nya yang tak terbantah.5

Sejak pertama Ibn Atha‟illah membangun tasawufnya dengan pemikiran

bahwa manusia tidak memiliki kebebasan penuh untuk memilih nasib sendiri

sesuai dengan keinginanannya. Alasannya karena Allah telah menentukan nasib

manusia secara detail dan berkuasa penuh memperlakukan takdir ciptaanNya,

termasuk manusia.

Dasar pemikiran ini sebenarnya telah membudaya dihampir semua aliran

tasawuf yang ada, namun tidak berlebihan apabila dikatakan hanya Ibn Atha‟illah

5

(30)

saja yang konsisten dengan prinsip ini, baik secara teoritis maupun praktisnya.

Sebab dalam setiap perjalanan pemikiran tasawufnya Ibn Atha‟illah selalu

menegasikan kebebasan mutlak yang dituntut manusia. Hal ini tampak ketika

seorang salik (pelaku suluk atau pengembara spiritual) yang hendak melakukan

mujahadah al-nafs (apabila ditulis mujahadah saja artinya sama

dengan mujahadah al-nafs) harus mampu menghilangkan egonya lebih dahulu.

Keberhasilan salik dalam mempurifikasikaan jiwa dan sekaligus mampu

meningkatkan ketaatannya selama mujahadah (mendidik jiwa atau nafsu) pada

hakikatnya bukan murni hasil rekayasanya sendiri, tetapi karena ada campur

tangan Allah. Sebab mujahadah sendiri tidak menjamin keberhasilan salik dapat

wusul (menjumpai) Allah.

Dari sini semakin menjelaskan kenapa Ibn Atha‟illah tidak terlalu

menganggap penting laku suluk sebagaimana yang dilakukan oleh para pengikut

tasawuf lain. Sikapnya ini terdeteksi ketika Ibn Atha‟illah memberi ruang tersendiri kepada salik untuk mencapai tataran makrifat tanpa harus melalui

prosedur standar yang berjenjang sejak dari fase mujahadah, naik ke maqamat,

ahwal hingga ke tataran makrifat sebagai tujuan akhir. Pencapaian makrifat

dengan metode non standar dapat saja terjadi kalau ada gravitasi (jadhab) dari

Allah. Sehingga salik tidak perlu bersusah payah menjalani mujahadah yang

melelahkan untuk mencapai tataran berikutnya.6

6

Abu Al-Wafa‟ Al-Ghanimi, Al-Taftazani, Ibn „Ataillah Al-Sakandari wa

(31)

Berbagai aturan etika yang ada dalam prosedure standar, pada hakikatnya

hanya untuk menciptakan seorang menjadi salik yang bersih pikiran dan jiwanya

dari sifat-sifat keakuan (egoistis, ananiah) sehingga dapat menerima takdir Allah

sepenuhnya atau nrimo ing pandum. Dengan kata lain, seseorang pengembara

ruhani (salik) yang ingin sukses mencapai tataran makrifat harus membekali

dirinya dengan kepasrahan yang sempurna.

Menurutnya totalitas kepasrahan ini tidak bisa ditawar lagi karena ada

keyakinan bahwa konsep tersebut sudah menjadi blue print (iradah) Tuhan yang

ditetapkan sejak zaman Azali (eternal). Apalagi dalam blue print tersebut diyakini

memuat berbagai detail aktifitas makhluk Allah tanpa terkecuali, terutama

manusia. Dari berbagai penjelasan yang ada dapat digaris bawahi bahwa Ibn

„Athaillah adalah pemikir tasawuf yang konsisten dengan pemikiran jabariyah

yang mendasarkan kepasrahan total terhadap kudrat dan iradat Allah.

Dalam arti lain manusia tidak memiliki kebebasan mutlak untuk

menentukan keinginan dan masa depannya sendiri. Manusia hanya bisa nrimo ing

pandum apabila berhadapan dengan takdir Allah.

Menurut Ibn „Athaillah manusia hanya bisa nrimo ing pandum jika

berhadapan dengan iradat dan kudrat Tuhan, sehingga semua aktifitas manusia

sebenarnya adalah tindakan Tuhan (af‟alullah). Artinya, semua aktifitas manusia– termasuk yang masih dalam rencana sekalipun–tidak akan terwujud apabila tidak mendapatkan ijinNya.

Hal ini memberikan pengertian bahwa semua tindakan manusia pada

(32)

kebaikan maupun kejahatan. Sikap Ibn „Athaillah tentang perbuatan manusia

tampaknya sama persis dengan pandangan Ahli Sunnah yang meyakini bahwa

semua tindakan manusia – baik dan buruk- adalah hasil ciptaan Allah dan bukan hasil karyanya sendiri. Alasannya karena “potensi kemampuan” yang dimiliki

manusia diberikan oleh Allah persis berbarengan dengan terjadinya “tindakan” yang dilakukan manusia. Jadi “potensi kemampuan” itu sendiri tidak diberikan

kepada manusia sebelum atau sesudahnya, tetapi bersamaan ketika ada wujud

tindakan.7 Pemikiran ini sesuai dengan firman Allah: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".8

Apabila pandangan Ibn „Athaillah tentang aktivitas manusia seirama

dengan Ahli Sunnah, maka sikap ini jelas bertolak belakang dengan pendapat

Mu‟tazilah yang menyatakan manusia memiliki kebebasan mutlak untuk memilih

dan melaksanakan semua tindakannya, baik yang berkaitan dengan kebaikan

maupun kejelekan. Artinya campur tangan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi

dalam berbagai tindakan manusia. Mereka sangat tidak setuju apabila perbuatan

jahat, maksiat, zalim dan kufur dihubungkan dengan perbuatan Tuhan. Masak

manusia yang berbuat jahat, tetapi Allah yang dituduh menjadi dalangnya,

Pandangan yang tidak masuk akal.9

7

Abu Al-Mu‟In Al-Nasafi, Bahr Al-Kalam bi majmu‟ah Al-Rasail, (Kurdistan: Al-„Ilmiah,

1359 H), hlm. 4.

8

Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Al-Shaffat, hlm 96.

9

(33)

Sikap ini muncul karena Mu'tazilah beranggapan bahwa “potensi kemampuan” yang dimiliki manusia sudah ada lebih dahulu ketimbang aktifitas

itu sendiri. Sehingga semua tingkah laku manusia adalah hasil rekayasanya

sendiri, sama sekali bukan kehendak Allah. Kebebasan memilih dan berbuat yang

ditonjolkan Muktazilah jelas bertolak belakang dengan pemikiran Ibn „Athaillah dalam hal yang sama. Manusia tidak bebas dalam menentukan nasibnya sendiri,

karena Allah sudah merencanakan semua perbuatan manusia, termasuk perbuatan

baik, jelek, taat dan maksiat.

Maksiat adalah perbuatan jelek dan jahat, menurut Mu'tazilah, sehingga

perbuatan ini tidak layak dilakukan oleh Allah yang terkenal dengan sifat rahman

dan rahimNya. Allah sudah sepantasnya steril dari perilaku jahat dan memalukan.

Keberatan Muktazilah ini ditanggapi oleh Ibn „Athaillah dengan

pernyataannya bahwa maksiat memang perbuatan jahat yang dilarang. Tetapi

maksiat itu sendiri dianggap jelek dan jahat karena melanggar larangan Allah, dan

bukan disebabkan oleh sifat jelek yang dimiliki maksiat. Demikian juga masalah

perintah melakukan kebaikan tidak bisa dikaitkan dengan sifat sesuatu yang

dianggap baik, tetapi karena ada “perintah” untuk melakukannya.10

Bila dicermati perbedaan ini muncul karena adanya ketidak samaan dalam

membidik sasaran. Mu'tazilah lebih menitik beratkan pada substansi tindakan

yang berupa kebaikan dan kejelekan, sedangkan Ibn „Athaillah cenderung melihat

pada substansi larangan dan perintahnya, bukan pada perbuatannya. Dengan

perbedaan ini sikap Muktazilah melahirkan paradigma kebebasan mutlak bagi

10

(34)

manusia, sebaliknya Ibn „Athaillah sangat mengingkari paradigma tersebut.

Sikapnya tercermin dalam kata hikmah yang ditujukan kepada para pengikutnya:

Al-Ghafil (pelupa, bodoh) adalah orang yang melihat dan mengagumi

perbuatannya sendiri, sedangkan Al-„Aqil (cerdas, pandai) ialah orang yang

mampu melihat apa yang sedang dikerjakan Allah.11

Lebih lanjut dikatakan bahwa laku “ketaatan” yang bisa dilakukan

manusia sebenarnya bersifat subyektif, sebab hakikatnya Tuhan sendiri yang

melakukan dan menciptakan laku ketaatan tersebut. Sedangkan perbuatan

“maksiat” yang dilakukan manusia, bukan sebagai sifat kezaliman Allah, tetapi

merupakan ajang pembuktian berlakunya keadilan Tuhan. Pemikiran ini tercermin

dalam munajatnya: “Tuhanku, hanya karena anugerahMu aku bisa melakukan

kebaikan dan ketaatan. Sebaliknya apabila aku melakukaan kejahatan dan

maksiat, tentu ini bukan dari sifat zalim-Mu, tetapi semata karena keadilanMu

yang berlaku, sehingga Engkau masih mempunyai alasan untuk mengadiliku”.12 Pemikiran Ibn „Athaillah tentang tidak adanya kebebasan memilih bagi

manusia adalah sebagai pencerminan keyakinannya yang fatalis dan jabariah tulen

ketika berhadapan dengan takdir Tuhan. Alasannya karena Allah adalah

perancang dan pencipta tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak, sehingga semua

yang telah, sedang dan akan terjadi tidak bakal keluar dari perencanaan dan

11Ibn „Ibad Al

-Nafazi Al-Randi, Sharh „ala al-hikam, I, hlm. 108.

12

(35)

kekuasaanNya. Lebih-lebih takdir Allah tidak akan bisa dirubah, dibendung dan

digagalkan oleh kekuatan apapun yang dimilik dan diciptakan manusia.13

Berangkat dari penjelasan ini seyogyanya setiap insan menyadari

sepenuhnya bahwa semua detail kehidupan yang ada adalah realisasi perjalanan

takdirnya yang dijalankan dan dikontrol oleh hukum-hukum Allah, sehingga

tidak mungkin ada peluang bagi manusia untuk keluar dari takdirNya. Apabila

manusia tidak mungkin keluar dari takdir jalan hidupnya, maka penyelesaian yang

terbaik dalam menghadapi berbagai kehidupan adalah memiliki sikap ridho dan

sumeleh terhadap semua kejadian.

Ibn „Atha‟illah tampaknya memberikan tekanan yang sangat kuat dan

mendalam ketika memahami hubungan antara kekuasaan Tuhan yang bersifat

hakiki dengan kekuasaan manusia yang bersifat nisbi. Sebab apabila manusia

menyadari kondisi kemampuannya sangat terbatas dibanding dengan kekuasaan

Allah, seharusnya melahirkan perasaan bahwa dirinya sangat rapuh dan tidak

berarti apa-apa. Kesadaran tentang kelemahannya dihadapan Tuhan inilah

sebenarnya pengertian dasar tentang makrifat yang dimaksud Ibn „Athaillah.

Artinya, pengertian makrifatullah yang paling mendasar adalah jika manusia telah

menyadari sepenuhnya tentang ketidak berdayaannya menghadapi takdir Tuhan,

baik takdir baik maupun jelek.14

13

Ibid... I hlm. 7.

14

(36)

Dalam arti lain dapat difahami bahwa manusia pada hakikatnya tidak

memiliki kemampuan apa-apa, sehingga layak apabila tidak memerlukan planing

(tadbir) untuk menentukan masa depannya sendiri. Bagaimana mungkin orang

yang tidak memiliki kemampuan dituntut mempunyai perencanaan yang aplikatif?

Apalagi semua rencana nasib manusia telah direncanakan oleh Allah sejak

zaman azali.

Selanjutnya Ibn „Atha‟illah menjelaskan tentang cinta (al-mahabbah) sebagai cara mendekatkan kepada Tuhan, yang mana Ibn Atha‟illah menjelaskan

mahabbah adalah manaati Allah. Ia menguraikan: dua rakaat di tengah malam

adalah cinta, membaca al-Qur‟an adalah cinta, menenguk orang sakit adalah cinta, sedekah pada orang-orang miskin adalah cinta, pertolonganmu kepada sesama

muslim adalah cinta, keterlibatanmu dalam masalah-masalah kemasyarakatan

adalah cinta, menyebarkan ilmu adalah cinta, membuang duri dari jalan adalah

cinta. Selanjutnya ia menyatakan: barang siapa yang mencurahkan seluruh

cintanya kepada Allah maka Allah akan memberikan kepadanya minuman

kemurahan. Aneh, kata Ibn „Atha‟illah, masih ada orang yang mau bersahabat dengan nafsunya dan mencintainya, padahal tidak datang kebaikan kecuali dari

Allah. Barang siapa yang berjalan menuju Allah maka kuatkanlah tekad

kepadan-Nya.

Sebagaimana pedang tidak bisa berperang kecuali dengan pegangan kuat,

begitu pula amal tidak akan pernah ada kecuali dari seorang mukmin yang ikhlas

dalam mengerjakan dan memenuhinya. Selanjutnya ia mengatakan: tidak ada

(37)

secara tulus, karena dzikir dapat dilakukan oleh semua orang dalam situasi

apapun, sakit, sibuk, berdiri, duduk, berbaring dan lainnya.

Hati manusia laksana cermin, dan perumpamaan nafsu adalah laksana

nafas. Setiap kali hembusan nafas menimpa cermin itu dan tidak mengkilat. Hati

orang yang lemah, menurut Ibn „Atha‟illah, adalah seperti cermin buram yang engkau biarkan dan tidak pernah dibersihkan. Padahal engkau tidak bisa

bercermin kecuali kalau permukaan cermin itu dibersihkan. Sementara hati orang

„arif adalah laksana pengantin perempuan yang cantik. Setiap hari engkau

membersihkan dan memperhatikannya sehingga ia selalu mengkilap.15

Jika engkau nyalakan api syahwat dalam tubuh, maka asap dosa itu akan

menjalar ke hati hingga menggelapkannya. Ia akan menjadi selaput yang yang

menutupi halaman hatinya. Menurut Ibn Atha‟illah jika engkau mau

mengkilapkan hati yang semula, maka kerjakanlah empat hal:

1. Banyak berdzikir dan membaca al-Qur‟an. 2. Diam tidak banyak bicara.

3. Khalwah untuk bermunajat kepada Raja Yang Maha Mengetahui.

4. Sedikit makan dan minum.

Ajaran mahabbah (cinta) ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja.

Nabi Muhammad sendiri –yang notabene pembawa agama Islam diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil

„alamin). Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam

15

(38)

Islam telah memperkenalkan betapa ajaran mahabbah (cinta) menempati

kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti

al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus

dilalui para sufi.16

Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, dari dulu sejak

zaman Rabi‟ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak

menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran

hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak

terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena

kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual.

Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern

membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani atau jiwadalam dirinya.

Ajaran mahabbah memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Alquran

maupun sunnah Nabi Muhammad Saw. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran

tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya. Dalam Islam tidaklah

mengadopsi dari unsur-unsur kebudayaan asing atau agama lain seperti yang

sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.17

a. Dalil-dalil dalam al-Qur‟an, saah satunya sebagai berikut:

ا ْ ل ْ ا ِ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ا لا

ير ْ ا

ب عْا ْ عْيمج ح ا ة قْا ب عْا ْ ر ْذ ْ ملظ ْ ا

)

ةرق ا

:

١

(

16

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma‟rifah, tt), juz IV, hal. 293.

17Ahmad Rofi‟ Usmani,

(39)

“dan di antara manusia ada oranُ-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”.( QS. Al-Baqarah ayat 165).

b. Dalil-dalil dalam hadis Nabi Muhammad SAW, misalnya sebagai berikut:

ْ

ي

ج

ة

م ْ

ْ

ا

ْيا

م

مه

ْ

ْرمْا

ْ

رْ

ْ

ع

ي

رْ ْا

م

رْ

ْ

ْق

لا ي

“Tiُa hal yanُ baranُ siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu; Pertama, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. kedua, tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah. Ketiga, benci kembali kepada kekaَiran sebaُaimana ia benci dilemparkan ke neraka”.18

Dalam tasawuf, konsep cinta (mahabbah)lebih dimaksudkan

sebagai bentuk cinta kepada Tuhan. Meski demikian, cinta kepada Tuhan

juga akan melahirkan bentuk kasih sayang kepada sesama, bahkan kepada

seluruh alam semesta. Hal ini bisa dilacak pada dalil-dalil syara’, baik

dalam Alquran maupun hadis yang menunjukkan tentang persoalan cinta.

Sebagian dalil tersebut telah disebutkan pada bagian sebelumnya.

Secara terminologis, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, cinta

adalah suatu kecenderungan terhadap sesuatu yang memberikan manfaat.

Apabila kecenderungan itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan

rindu. Sedangkan sebaliknya, benci adalah kecenderungan untuk

30

(40)

menghindari sesuatu yang menyakiti. Apabila kecenderungan untuk

menghindari itu mendalam dan menguat, maka ia dinamakan dendam.19

Menurut Abu Yazid al-Busthami mengatakan bahwa cinta adalah

menganggap sedikit milikmu yang sedikit dan menganggap banyak milik

Dzat yang kau cintai. Sementara Sahl bin Abdullah al-Tustari menyatakan

bahwa cinta adalah melakukan tindak-tanduk ketaatan dan menghindari

tindak-tanduk kedurhakaan. Bagi al-Junaid, cinta adalah kecenderungan

hati. Artinya, kecenderungan hati seseorang kepada Allah dan segala

milik-Nya tanpa rasa beban.20

Tasawuَ Rabi’ah yang begitu menonjolkan cinta kepada Tuhan

tanpa pamrih apapun merupakan suatu corak tasawuf yang baru di

zamannya. Pada saat itu, tasawuf lebih didominasi corak

kehidupan zuhud (asketisme) yang sebelumnya dikembangkan oleh Hasan

al-Bashri yang mendasarkan ajarannya pada rasa takut (khauf)kepada

Allah. Corak tasawuَ yanُ dikembanُkan oleh Rabi’ah tersebut kelak

membuatnya begitu dikenal dan menduduki posisi penting dalam dunia

tasawuf.

Cinta yanُ diajukan Rabi’ah, yaitu hub al-Hawa dan ahl lahu,

sebagaimana dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran bahwa makna

hubb al-Hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan

kebaikan yang diberikan Allah. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat

adalah nikmat materi, tidak spritual, karenanya hubb di sini bersifat hubb

19Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, juz 4, hal. 296 20

(41)

indrawi. Sedangkan al-Hubb anta lahu adalah cinta yang tidak didorong

kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua

ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang

dilakukan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang

dicintai.21

Sedemikian tulusnya cinta kepada Allah yang dikembangkan oleh

Rabi’ah, bisa dilihat, misalnya, dalam sebuah munajat yang ia

panjatkan:“Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepada-Mu karena takut

neraka-Mu, biarlah diriku terbakar api jahanam. Dan sekiranya aku

beribadah kepada-u karena mengharap surga-Mu, jauhkan aku darinya.

Tapi, sekiranya aku beribadah Mu hanya semata cinta

kepada-Mu, Tuhanku, janganlah Kauhalangi aku melihat keindahan-Mu yang

abadi.”22

Beُitu besar dan tulusnya cinta Rabi’ah kepada Allah, maka seolah

cintanya telah memenuhi seluruh kalbunya. Tak ada lagi tersisa ruang di

hatinya untuk mencintai selain Allah, bahkan kepada Nabi Muhammad

sekalipun. Pun, tak ada ruang lagi di kalbunya untuk membenci apapun,

bahkan kepada setan sekalipun. Seluruh hatinya telah penuh dengan cinta

kepada Tuhan semata. Hal ini juُa Rabi’ah tunjukkan denُan memutuskan

untuk tidak menikah sepanjang hidupnya, karena ia menganggap seluruh

diri dan hidupnya hanya untuk Allah semata.

21

Rosihon Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Cet, 1, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal, 121.

22

(42)

Rabi’ah memiliki iman yanُ menُanُُap bahwa semua pemberian

berasal dari Allah sebagai Sang Pemberi, dan menganggap bahwa

penderitaan dan ketidakberuntungan itu secara kebaikan dan

kebahagiaan.23 Imannya telah membimbing pada suatu kebahagiaan dalam

menjalani hukuman Allah yang ia anggap sebagai kebaikan-Nya, dan

bersikap rendah hati menerima semua yang diberikan-Nya, dan dari sikap

ini membimbing pada tindakan beribadat dan bersyukur, dan keinginan

yang sangat mendalam untuk memandang Sang Pemberi, dimana

pemberian itu mendorong pada keinginan penyatuan yang mendalam,

selamanya, dengan Sang Pemberi itu.

Corak pemikiran Ibn Atha’illah dalam bidang Tasawuf sangat

berbeda dengan para tokoh Sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf

pada ma’riَat.

Adapun pemikiran-pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah adalah

sebagai berikut:

Pertama, tidak dianjurkan kepada muridnya untuk meninggalkan

profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian,

makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana

akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Ilahi.

“Meninُُalkan dunia yanُ berlebihan akan menimbulkan

hilangnya rasa syukur dan berlebih-lebihan dalam memamfaatkan dunia

akan membawa kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat

23

(43)

Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuain petunjuk Allah dan

Rasul-Nya.” Kata Ibn Atha’illah.

Kedua, tidak menُabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah

salah satu tokoh Sufi yang menempuh jalur hampir searah dengan Imam

al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah.

Mengarah pada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (Tazkiyah

an-Nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal

cukup moderat.

Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada

dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain dari pada Allah. Dunia

yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak

manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai

keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas.

Semua itu adalah permainan (al-La‟b) dan senda gurau (al-Lahwu) yang

akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum Sufi,”

ujarnya.

Keempat, tidak ada halangan lagi bagi kaum salik untuk menjadi

milioner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang

dimilikinya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan

sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang

salik, kata Ibn Atha’illah, tidak bersedih ketika kehilanُan harta benda dan

(44)

Kelima, berusaha merespon apa yang sedang mengancam

kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spritual yang

dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap

pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah

dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Baُi Ibn Atha’illah,

tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak

Allah SWT. Senantiasanya melakukan perintah-Nya, dapat menguasai

hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan

bersama-Nya secara sungguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitan denُan ma’riَat as-Syadzili, ia berpendapat

bahwa ma’riَat adalah salah satu tujuan dari tasawuَ yanُ dapat diperoleh

dengan dua jalan; mawahib, yaitu Allah memberikannya tanpa usaha dan

Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut;

dan makasib, yaitu ma’riَat akan dapat diperoleh melalui usaha keras

seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudu‟, puasa, solat sunnah dan

amal soleh dan lain-lainnya.

Salah satu karomah Ibn Atha’illah yanُ dijelaskan oleh al-Munawi

penُaranُ kitab “al-Kawakib al-durriyah menُatakan: “Syaikh Kamal

Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini yakni Ibn Atha’illah

membaca surat Hud ketika sampai pada ayat yang artinya: “Diantara

mereka ada yang celaka dan bahagia...”. Tiba-tiba terdengar suara dari

(45)

Kamal...tidak ada diantara kita yanُ celaka”. Demi menyaksikan karomah

yang agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat

(46)

37

BAB III

A. Konsep Ibn ‘Atha’illah Tentang Mahabbah

Setiap manusia memiliki perasaan rindu yang ditimbulkan dari hati nurani

atau dhamir pada kedalaman kalbunya. Perasaan yang tumbuh itu secara bertahap

ada pada semua manusia, mengikuti perjalanan hidupnya. Apabila seseorang anak

tidak pernah berjumpa dengan kedua orang tua yang sangat dicintainya dalam

waktu yang cukup lama, akan tumbuh rasa rindu dalam hatinya. Kerinduan seperti

itu lahir karena rasa kecintaan yang terikat antara anak dengan orang tuanya.

Demikian juga antara dua sahabat yang lama terpisah karena sesuatu keadaan,

akan timbul perasaan seperti itu.

Dalam kajian tasawuf, para sufi memberi nama kerinduan seperti itu

dengan kata Syawq. Kata ini berasal dari bahasa Arab, seperti kalimat syaqahul

hubb (yang digoncang oleh kecintaan) atau tasyawwaqa sya‟ wa ilaihi

(menampakkan kerinduannya). Setiap kerinduan yang lahir dari rasa mahabbah

akan menginginkan perjumpaan (liqa‟). Itulah tujuan akhir sebuah perjalanan

cinta (mahabbah). Sedangkan syawq adalah buah dari pohon mahabbah.

Hubungan syawq dan mahabbah dalam kamus para sufi adalah kepada

Allah SWT, semata Sang Kekasih yang AL-Haq dan Abadi. Ada dua macam

kerinduan dalam pengertian tasawuf. Pertama, kerinduan berjumpa dengan Allah

Rabbus samawati wal ardh, melaui tanda-tanda yang tampak di langit dan di bumi

serta seluruh isinya, rahmat dan potensi alam yang disediakan Allah di dalamnya.

Kerinduan itu lahir karena merasa begitu dekatnya anugerah Allah dengan seluruh

(47)

sufi) sangat berharap dapat berjumpa (liqa‟) dengan Allah SWT melalui

kekuasaan dan kebesarannya. Perasaan seperti ini adalah kerinduan hamba kepada

Yang Maha Pencipta, karena anugerah dan barakah yang telah dilihat dan

dirasakannya dari Sang Khalik Pencipta alam semista..

Kedua, keinginan agar selalu bersama Allah SWT karena kerinduan yang

tak tertahankan, merasakan belum cukup hanya dengan melihat dan merasakan

anugerah alam semesta dengan seluruh keberkatannya. Sehingga tumbuh

kerinduan bersama Allah tanpa batas dan abadi.

Syauq (kerinduan) dalam ibadah para sufi adalah sesuatu yang begitu

penting sehingga menjadi suatu keutamaan yang bersatu dengan nafasnya.

Melalui Syawq yang akan mengantarkan mereka kepada mahabbah dari pusat

nafas mereka, diharapkan akan sampai kepada tujuan yakni baqa‟. Bagi para sufi

selama ada kecintaan (mahabbah) maka kerinduan (syawq) tetap ada.

Cinta (mahabbah) kepada Allah adalah puncak dari tahap atau maqam

hidup sufiyah. Setelah sampai tujuan tersebut, maka yang akan dipetik tidak lain

adalah buah dari mahabbah tersebut, yakni ridhai. Apabila ridha menghiasi hidup

seorang sufi, maka ia telah berada di pintu jannah. Dengan ridha ia akan bersama

Allah dan Allah akan selalu bersamanya. Allah menjelaskan hal ini dalam surat

Al-Maidah ayat 54: “Yuhibbuhum Wa Yuhibbunahu” (Allah akan mencintai

mereka, dan mereka pun mencintai-Nya). “Sedangkan orang yang beriman lebih

mencintai Allah.” (QS. Al-Baqarah ayat 165).

Orang yang mempunyai rasa cinta pasti ia mempunyai rasa rindu.

(48)

di dalam hati manusia, bahkan juga hewan. Sudah dijelaskan di atas bagaimana

rasa rindu itu mendorong untuk cepat berjumpa, dalam keadaan tenang dan damai

di dalam hati seseorang ingin menyampaikan perasaan hatinya dan juga keluh

kesah atau rasa gembira kepada orang yang dirindukannya. Atau kadang-kadang

orang merasa bosan karena terlalu lama menunggu atau dalam kesendirian, maka

tumbuh rasa rindu yang tak tertahan.1

Mahabbah kepada Allah adalah tujuan yang sangat jauh dan merupakan

derajat tertinggi pada perjalanan yang ditempuh para sufi. Sedangkan kerinduan

mengikuti perjalanan mahabbah mereka. Karena di dalam kerinduan itulah

mereka akan menjumpai mahabbah.

Cinta adalah gejolak yang mendorong untuk menjumpai yang dicintai.

Dari kacamata manusia, orang yang sedang diasyikkan oleh perasaan cinta akan

bangkit rasa rindu yang tak tertahankan. Dengan perasaan yang membara di dalam

dadanya, ia terus berusaha sekuat tenaga agar dapat berjumpa dengan yang

dicintainya. Perasaan cinta seperti itu ada dalam lubuk hati manusia. Ditumpahkan

kepada sesama manusia, demikian juga kepada Allah. Perbedaan hanya satu, ialah

syahwat dan ikhlas.

Cinta kepada Allah semata-mata karena mengharapkan karunia dan ridha

Allah yang dilaksanakan dalam keikhlasan amal dan ibadah. Sedangkan cinta

kepada manusia, bercampur dengan kehendak syahwat ingin memiliki, dalam arti

memberi dan menerima.

1

(49)

Kaitannya dengan mahabbah, para sufi menegaskan kecintaan mereka

kepada Allah, seperti bunyi ungkapan berikut ini:

“Tidak termasuk cinta sejati orang mengharapkan balasan dalam sebuah

percintaan. Atau karena ia mengharapkan sesuatu dari yang dicintainya.

Sesungguhnya perasaan cintu itu adalah ia memberi kepadanya, bukan

mengharapkan pemberian darinya.”

Konsep yang terikat erat dengan mahabbah juga adalah Keintiman (uns),

dimana sang penyembah itu merasa terpesona, sedangkan sang kekasih merasakan

keintiman juga. As-Sarraj membahas masalah ini sebagai kebahagiaan hati Sang

Kekasih dan mendefinisikan bahwa tingkatan tertinggi dalam uns, seperti dalam

syauq, akan menjadi uns yang tidak disadarinya, dalam pengertian penghormatan

(di dalam Kehadiran Allah), kedekatan kepada Allah, dan kebesarannya, semua

unsur ini menyatu menjadi suatu keintiman dengan Yang Agung.2

Pandangan tentang maqam sufi secara umum menurut kaum sufi, konsep

maqam dan hal adalah dua konsep yang sangat berhubungan dengan salik (pejalan

sufi). Maqam adalah tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang

salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal

maqam tobat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqam ini ia telah

bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjahui segala bentuk maksiat

dan syahwat. Dengan demikian, maqam adalah suatu keadaan tertentu yang ada

pada seorang salik yang didapatkan melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa

nafsu). Sedangkan hal sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi adalah suatu

2

(50)

keadaan yang dianugerahkan kepada seorang salik tanpa melalui proses usaha

riyadhah.

Dalam konsep maqam ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yanُ

berbeda, dia memandang bahwa suatu maqam dicapai bukan karena adanya usaha

dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah Swt. Karena jika maqam

dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik

memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqam atas kehendak dan

kemampuan dirinya sendiri. Pun jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan

konsep َana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak,

dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan

semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai

suatu maqam hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan

angan-angannya.

B. Tingkatan Maqam Menurut Ibn ‘Atha’illah

Menُenai maqam, Ibn Atha’illah membaُinya beberapa tingkatan yang

harus di lewati oleh seorang salik. Semuanya ada sembilan maqam, yaitu tobat,

zuhud, sabar, syukur, takut, rida, harap, tawakal, dan cinta. Semua maqam itu

akan tercapai dengan baik dan sempurna jika disertai dengan sikap pasrah

sepenuhnya kepada pengaturan dan pilihan Allah Swt.

(51)

Tobat

Selain bertobat dari dosa, seseorang harus bertobat dari keterlibatannya

dalam pengaturan bersama Tuhan. Pasalnya, mengatur dan memilih termasuk

dosa besar yang

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi dengan judul “ Konsep Putus Asa Dalam al-Qur’an (Kajian Tematik Telaah Psikologi Islami) ”, yang ditulis oleh Andi Taufiq Hakim ini, telah dipertahankan di depan

Maka dari itu, peneliti melakukan penelitian untuk pengajuan skripsi dengan judul “ Penerapan Model Pembelajaran Role Playing Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa

Puji syukur kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan berkat dan kasih – Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “ KONSEP DIRI LESBIAN

Skripsi dengan judul “ Pengaruh Persepsi Nasabah Tentang Konsep Pembiayaan Murabahah dan Aspek Pendidikan Terhadap Motivasi Berwirausaha Nasabah Pada BMT

Judul Skripsi : Perancangan Sipiso-piso Park Hotel Resort dengan Konsep Vernakular.. Nama Mahasiswa :

Namun ketika ia melihat realitas sosial dengan banyaknya penyimpangan ‘ ibādah yang dilakukan oleh umat Islam, maka konsep yang telah diperolehnya secara normatif dari

Judul Skripsi : Konsep Takrar Dalam Al-Qur’an Menurut Ibnu Taimiyyah Skripsi dengan judul tersebut telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Skripsi Strata-1 (S-1) Fakultas

Penelitian skripsi dengan judul “Konsep Diri Perempuan Penari Striptis (Studi Deskriptif Konsep Diri Perempuan Penari Striptis di Kota Medan)” ini bertujuan untuk memenuhi salah