DIPERLUKAN, KEMENANGAN SIMBOLIS
(3-Habis)
Mustofa W Hasyim
Mungkin banyak yang jengkel dan bertanya-tanya mengapa sejak tulisan pertama hadiah Nobel selalu disebut-sebut sebagai ukuran kemenangan. Memang hadiah itu tidak merupakan ukuran mutlak, tetapi secara relatif, siapa yang mendapat hadiah itu cukup dipandang memaliki karya yang layak diperhitungkan secara internasional. Dan inilah rahasianya ‘kemenangan’ budaya orang Barat. Mereka senantiasa menciptakan berbagai penghargaan dan hadiah (award), untuk berbagai bidang, dan upacara pemberian hadiah itu kemudian sudah seperti ‘ritus budaya’ atau merupakan event yang senantiasa ditunggu-tunggu. Memang, event seperti pemberian award untuk karya film (Academy Award yang memberikan Piala Oscar) yang sepertinya terhegemoni olen nila-nilai Amerika kemudian mendapat counter dari tempat lain untuk film alternatif (seperti Festival Cannes dan festifal film lainnya). Tetapi tradisi pemberian award ini pada umumnya mampu
mendinamisasi semangat budaya masyarakatnya untuk terus selalu menang dalam pertarungan budaha global sekarang ini. Ketika bangsa Iran mampu
memenangkan berbagai penghargaan untuk karya film kelas dunia, kita pun tercengang. Sementara itu warga India, Jepang dan Cina telah pernah memperoleh hadiah Nobel untuk sastra. Kemudian Thailand dan Filipina justru punya lembaga pemberi hadiah dan banyak sastrawan Indonesia pernah mendapat hadiah dari sana. Sementara itu di dunia internasional, Indonesia memang hampir selalu memeroleh iklan buruk, propaganda buruk, dan stigmatisasi yang buruk sebagai bangsa sarang korupsi, kreativitas rendah, kualitas pendidikan rendah, atau (akhir-akhir ini) sarang teroris sebagaimana ditudingkan oleh para pejabat tinggi
Amerika Serikat.
Itu semua tidak selalu benar, sebab di samping yang busuk-busuk di atas, sesungguhnya bangsa Indonesia, termasuk komunitas Muslimnya masih mengandung banyak hal dan potensi yang harum, cemerlang dan layak
dikedepankan sebagai bendera kemenangan simbolis untuk dunia budaya. Hanya saja semua ini belum teraktualisasi dengan baik. Selama puluhan tahun, baru supremasi di bidang olahraga bulutangkis pernah dipegang oleh Indonesia, sampai menghasikan medali emas di Olympiade. Juga olahraga panahan, dan pencak silat, dimana banyak atlet dari Tapak Suci memborong piala. Ini sebenarnya juga merupakan kemenangan simbolis yang tidak kecil. Hanya masalahnya, untuk Indonesia, kekalahan simbolisnya dibanding kemenangan simbolisnya masih banyak kekalahan simbolisnya.
Barangkali ada yang potes atau kurang suka kenapa di atas hanya melulu
Tentu saja kemenangan-kemenangan substantif juga perlu, akan tetapi kemenangan substantif ini mirip dengan kemenangan udara yang memang bermakna dan bermanfaat, tetapi sulit dipegang dan dijadikan pertanda atau patokan, sebagai sebuah patokan atau tonggak bahwa kemenangan itu pernah ada. Sedang kemenangan simbolis, apalagi yang terlembagakan sampai ratusan tahun (seperti kemenangan simbolis keperkasaan fisik seperti dalam pesta Olympiade) lebih mudah dijadikan tonggak historis. Memang yang paling bermutu dan kita kehendaki adalah adanya kemenangan simbolis sekaligus kemenangan substantif sebagaimana pernah ditampilkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika
menaklukkan Damaskus dan Mesir. Kemenangan militerr beliau (simbolis) dilengkapi dengan kemenangan kemanusiaan (substantif) yang tidak kalah besarnya. Adegan Umar memegang tali kekang keledai, sedang pembantunya yang naik keledai ketika memasuki kota Damaskus itulah kemenangan substantif Umar. Ia telah mengajarkan adanya kesetaraan harkat dan posisi manusia, meski dia itu Khalifah atau pembantunya. Kemenangan seperti ini beberapa abad
kemudian diulang oleh Shalahuddin Al Ayyubi, yang ketika memenangkan Perang Salib, masuk kota Damaskus, kemudian mengampuni musuhnya serta
menebarkan kedamaian ke setiap butir-butir udara yang ada di situ. Atau
kemenanga Fadlillah Khan ketika berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa. Atau kemenangan Jenderal Soedirman yang dengan paru-paru separo lebih memilih keluar masuk hutan naik turun gunung ketimbang menyerah dan
membiarkan diri ditawan musuh sebagaimana dilakukan oleh para pemimpin yang tubuhnya sehat, gemuk dan suka makan enak itu. Atau kemenangan Pak
Kuntowijoyo yang meski masih belum sembuh dan pulih dari sakitnya mampu terus berkarya dan memenangkan cerpen pilihan Kompas sampai tiga kali, sampai akhirnya beliau mengusulkan agar dirinya jangan dimenangkan lagi. Tanpa kemenangan simbolis yang begitu kuat dan nyata maka kemenangan yang bersifat substantif sepertinya kurang lezat dinikmati oleh jiwa-jiwa kita. Begitulah
agaknya.