LAPORAN AKHI R TAHUN
PEMANFAATAN LAHAN KERI NG MASAM DENGAN TUMPANGSARI JAGUNG
DAN KACANG TANAH DI PROVI NSI BENGKULU
Wahyu Wibaw a
KEMENTERI AN PERTANI AN
BADAN PENELI TI AN DAN PENGEMBANGAN PERTANI AN
BALAI PENGKAJI AN TEKNOLOGI PERTANI AN BENGKULU
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
Laporan Akhir Tahun 2014 Kegiatan Pemanfaatan Lahan Kering Masam dengan
Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah di Provinsi Bengkulu dapat tersusun. Laporan
ini dibuat sebagai salah satu pertanggung jawaban terhadap hasil pelaksanaan
kegiatan mulai bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun 2014.
Kegiatan Pemanfaatan Lahan Kering Masam dengan Tumpangsari Jagung dan
Kacang Tanah di Provinsi Bengkulu bertujuan untuk: (1.) Menentukan varietas kacang
tanah yang tepat untuk ditumpangsarikan dengan jagung pada lahan kering masam
(Ultisol) spesifik lokasi di Provinsi Bengkulu ,( 2.) Mengevaluasi efektifitas penambahan
amelioran pada lahan Ultisol terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman yang
ditumpangsarikan, (3.) Meningkatkan produktifitas, efisiensi penggunaan lahan, dan
keuntungan usahatani secara tumpangsari pada lahan Ultisol, (4.) Mendapatkan
alternatif rekomendasi teknis sistem tumpangsari jagung dan kacang tanah pada lahan
suboptimal, (5.) Mendapatkan umpan balik dari
stakeholders
dan petani pengguna
dalam rangka percepatan penyebarluasan inovasi teknologi.
Kami menyadari bahwa dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ini
tentu ada kekurangannya, oleh karena itu kritik dan saran untuk perbaikan sangat
diharapkan. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan membantu pelaksanaan
kegiatan ini kami sampaikan terima kasih. Semoga kegiatan ini dapat memberikan
manfaat bagi percepatan adopsi inovasi teknologi Pemanfaatan Lahan Kering Masam
dengan Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah di Provinsi Bengkulu
Bengkulu, Desember 2014
Penanggung jawab Kegiatan
LEMBAR PENGESAHAN
1.
Judul RPTP
: Pemanfaatan Lahan Kering Masam dengan Tumpangsari
Jagung dan Kacang Tanah di Provinsi Bengkulu
2.
Unit Kerja
: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu
3.
Alamat Unit Kerja
: Jalan I rian Km.6.5 Kelurahan Semarang Bengkulu 38119
4.
Sumber Dana
: DI PA BPTP Bengkulu T.A. 2014
5.
Status Penelitian (L/ B)
: Baru
6.
Penanggung Jawab
:
a. Nama
: I r. Wahyu Wibawa, MP, Ph.D
b. Pangkat / Golongan
: Penata Tingkat I / I I I d
c. Jabatan
: Peneliti Muda
7.
Lokasi
: Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu
8.
Agroekosistem
: Lahan Kering Masam
9.
Tahun Mulai
: 2014
10.
Tahun Selesai
: 2014
11.
Output Tahunan
:
-12.
Output Akhir
: 1. Varietas unggul kacang tanah yang tepat untuk
ditumpangsarikan dengan jagung pada lahan kering
masam (Ultisol) spesifik lokasi di Provinsi Bengkulu
2. Tingkat efektifitas penambahan amelioran pada lahan
Ultisol terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman yang
ditumpangsarikan.
3. Peningkatan produktifitas, efisiensi penggunaan lahan,
dan keuntungan usahatani secara tumpangsari pada
lahan Ultisol.
4. Alternatif rekomendasi teknis sistem tumpangsari
jagung dan kacang tanah pada lahan suboptimal.
5. Umpan balik dari
stakeholders
dan petani pengguna
13.
Biaya
: Rp. 150.000.000 (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah)
Koordinator Program ,
Penanggung Jawab RPTP
I r. Wahyu Wibawa, MP, Ph.D
NI P.19690427 199803 1 001
I r. Wahyu Wibawa, MP, Ph.D
NI P.19690427 199803 1 001
Mengetahui :
Kepala BB Pengkajian
Kepala BPTP Bengkulu
DAFTAR I SI
RI NGKASAN DAN SUMMARY ...
x
I . PENDAHULUAN...
1
3.6. Plot Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah ...
11
3.7. Parameter Yang Diukur ...
11
3.8. Analisis Data ...
12
I V. HASI L DAN PEMBAHASAN...
13
4.1 Koordinasi I nternal dan antar I nstansi. ...
13
4.2 Dominasi Jenis Gulma ...
13
4.3 Sistem Tumpang sari Jagung dan Kacang Tanah ...
14
4.4 Efektifitas Pemberian Amelioran...
21
4.5 Produktivitas, Efisiensi Penggunaan Lahan dan Usaha Tani ...
29
4.6 Sosialisasi, Apresiasi Teknologi Pemanfaatan Lahan Kering Masam ...
32
4.7 Umpan Balik dari Satkeholders dan Petani Pengguna...
33
V. KESI MPULAN DAN SARAN...
36
KI NERJA HASI L...
37
DAFTAR PUSTAKA ...
38
ANALI SI S RESI KO ...
40
JADWAL KERJA...
41
DAFTAR TABEL
1. I dentifikasi dominansi gulma awal ...
14
2. Nilai rata-rata hasil perhitungan keseluruhan NKL
tanaman kacang tanah dan jagung ...
15
3. Data pertumbuhan vegetatif kacang tanah ...
16
4. Data komponen hasil kacang tanah sistem tumpangsari , MK 2014...
17
5. Data komponen hasil kacang tanah sistem tumpangsari , MK 2014...
18
6. Data pertumbuhan vegetatif jagung...
19
7. Data pertumbuhan generatif jagung ...
20
8. Hasil analisa tanah awal dan akhir ...
22
9. Data hari hujan dan curah hujan
kabupaten Bengkulu Tengah (BP3K Talang Pauh, 2014) ...
24
10.Data pertumbuhan vegetatif kacang tanah sistem tanam monokultur...
25
11. Data komponen hasil kacang tanah sistem monokultur , MK 2014 ...
27
12. Data komponen hasil kacang tanah sistem monokultur , MK 2014... ...
28
LAMPI RAN
Halaman
1. Kuesioner tingkat pengetahuan petani terhadap teknologi pemanfaatan
lahan kering masam dengan tumpangsari jagung dan kacang tanah…………..
45
2. Kuesioner I dentifikasi Petani dan Pola Usaha Tani Pemanfaatan Lahan
Kering
Masam
dengan
Tumpangsari
Jagung
dan
Kacang
Tanah………..
62
3. Foto kegiatan sosialisasi kegiatan pemanfaatan lahan kering masam
dengan tumpangsari jagung dan kacang tanah………
67
4. Foto kegiatan apresisasi teknologi kegiatan pemanfaatan lahan kering
masam dengan tumpangsari jagung dan kacang tanah………
69
5. Foto kegiatan pemanfaatan lahan kering masam dengan tumpangsari
jagung dan kacang tanah (pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan,
panen)………
70
6. Kegiatan Pemanfaatan Lahan Kering Masam dengan Tumpangsari Jagung
dan Kacang Tanah (pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan,
panen)………
71
7. Kegiatan Pemanfaatan Lahan Kering Masam dengan Tumpangsari Jagung
dan Kacang Tanah (pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen)
Ringkasan
1.
Judul
: Pemanfaatan
Lahan
Kering
Masam
dengan
Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah di Provinsi
Bengkulu
2.
Unit Kerja
: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Bengkulu
3.
Tujuan
: 1. Menentukan varietas kacang tanah yang tepat
untuk
ditumpangsarikan dengan jagung pada
lahan kering masam (Ultisol) spesifik lokasi di
Provinsi Bengkulu
2. Mengevaluasi efektifitas penambahan amelioran
pada lahan Ultisol terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman yang ditumpangsarikan.
3. Meningkatkan produktifitas, efisiensi penggunaan
lahan,
dan
keuntungan
usahatani
secara
tumpangsari pada lahan Ultisol.
4. Mendapatkan alternatif rekomendasi teknis sistem
tumpangsari jagung dan kacang tanah pada lahan
suboptimal.
5. Mendapatkan umpan balik dari
stakeholders
dan
petani pengguna dalam rangka percepatan
penyebarluasan inovasi teknologi.
4.
Keluaran/ Output
: 1. Varietas unggul kacang tanah yang tepat untuk
ditumpangsarikan dengan jagung pada lahan
kering masam (Ultisol) spesifik lokasi di Provinsi
Bengkulu
2. Tingkat efektifitas penambahan amelioran pada
lahan
Ultisol terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman yang ditumpangsarikan.
3.
Peningkatan produktifitas, efisiensi penggunaan
lahan,
dan
keuntungan
usahatani
secara
tumpangsari pada lahan Ultisol.
4. Alternatif rekomendasi teknis sistem tumpangsari
jagung dan kacang tanah pada lahan suboptimal.
5. Umpan balik dari
stakeholders
dan petani
pengguna
dalam
rangka
percepatan
penyebarluasan inovasi teknologi.
varietas Lokal yang ditumpangsarikan dengan
jagung. Masing-masing perlakuan diulang 5 kali.
Petani kooperator sebanyak 5 orang berperan
sebagai ulangan.
Amelioran yang diberikan adalah pupuk kandang 2.5
ton/ ha dan kapur pertanian (dolomit) 0.5 ton/ ha.
Untuk
pupuk
disesuaikan
dengan
kebutuhan
tanaman. Kacang tanah ditambahkan pupuk Urea 75
kg/ ha, SP-36 75 kg/ ha dan KCl 75 kg/ ha. Untuk
tanaman jagung ditambahkan pupuk urea 300 kg/ ha,
SP-36 100 kg/ ha dan KCl 100 kg/ ha.
Data agronomi dianalisa dengan analisis of variant
(ANOVA) dan uji lanjut dengan LSD. Selama
pengkajian
dilakukan
pengamatan
terhadap
komponen pertumbuhan, komponen hasil, sifat fisik
dan kimia tanah, dominansi jenis gulma, tingkat
serangan OPT dan Land Equivalent Ratio (LER).
7.
Capaian
:
8.
Manfaat
: Pemanfaatan lahan suboptimal untuk pertanaman
jagung dan kacang tanah dengan penggunaan
varietas yang sesuai dan pemupukan yang spesifik
lokasi. Produktivitas jagung dan kacang tanah yang
optimal dapat tercapai dengan pengelolaan hara dan
pemilihan varietas yang tepat.
9.
Dampak
: Pengembangan jagung dan kacang tanah di lahan
suboptimal dapat menyumbangkan produksi secara
signifikan di Provinsi Bengkulu. Peningkatan produksi
akan berdampak pada peningkatan pendapatan
petani dan mendukung target swasembada jagung.
Lahan kering masam dapat dimanfaatkan untuk
penanaman dan produksi pangan, jagung ataup[ un
kacang
tanah,
sehingga
mampu
mendukung
terwujudnya ketahanan, kemandirian dan bahkan
kedaulalatan pangan pada masa depan. Budidaya
tumpangsari dapat menjadi alternative untuk
menjaga kelestarian/ konservasi lahan dengan tetap
memberikan keuntungan ataupun pendapatan yang
layak bagi petani. Hal ini dapat menahan atau
mengurangi konversi lahan dari lahan pangan ke
sektor perkebunan khususnya untuk komoditas
kelapa sawit dan karet.
10
Jangka Waktu
: 1 (satu) tahun
Summary
1.
Title
: Utilization of of acidic Dryland with I ntercropping
Peanut and Corn in Bengkulu
2.
Working Unit
: I nstitute for Agricultural Technology (AI AT) Bengkulu
3.
Objectives
: 1. Determine the appropriate varieties of peanut
intercropped with maize in acidic dryland (Ultisol)
specific locations in the province of Bengkulu
2. Evaluate the effectiveness of the addition of
ameliorant on Ultisol soil on the growth and yield
of intercropped.
3. I ncreasing productivity, efficiency of land use, and
the advantages of farming land intercropped on
Ultisol.
4. Obtain alternative technical recommendations
intercropping system of peanut and corn at acidic
dryland.
5. Getting feedback from stakeholders and users in
order to accelerate the farmer dissemination of
technological innovation.
4.
Output
: 1. High yielding varieties appropriate for peanut
intercropped with maize on dry land sour (Ultisol)
specific locations in the province of Bengkulu
2. The level of effectiveness of the addition of
ameliorant on Ultisol soil on the growth and yield
of intercropped.
3. I ncreased productivity, efficient use of land, and
farm profit intercropped on Ultisol soil.
4.
Alternative technical recommendation system
corn and peanut intercropping on suboptimal
land.
5. Feedback from stakeholders and users in order to
accelerate
the
farmer
dissemination
of
technological innovation.
6.
Prosedur
: Land suboptimal used in this study is the acidic
dryland. Assessment carried out in the district of
Central Bengkulu. The experimental design used was
a
complete randomized block design
with
5
replications. Plot were range 1000 to 1250 m2/ plot.
The treatment consists of four varieties are varieties
Talam, Tuban, Kancil and Local varieties intercropped
with corn. Each treatment was repeated 5 times.
Farmer cooperators as many as 5 people act as
replicates.
agricultural lime (dolomite) 0.5 tonnes / ha. For
fertilizer tailored to the needs of the plant. Peanuts
added urea 75 kg / ha, SP-36 75 kg / ha and KCl 75
kg / ha. For the corn crop was added urea to 300 kg
/ ha, SP-36 100 kg / ha and KCl 100 kg / ha.
Agronomic data were analyzed by analysis of variants
(ANOVA) and continued with LSD test. During the
assessment
carried out observations of
the
components of growth, yield components, physical
and chemical properties of the soil, weed species
dominance, the level of pest attacks and Land
Equivalent Ratio (LER).
7.
Achievement:
:
8.
Benefits
: The use of suboptimal land for planting corn and
peanuts with the use of suitable varieties and
site-specific fertilization.
Productivity of maize and
peanuts can be achieved with optimal nutrient
management and selection of appropriate varieties.
9.
I mpact
: Development of
maize
and
peanuts
in
land
suboptimal production can contribute significantly in
the province of Bengkulu. The increase in production
will have an impact on increasing the income of
farmers and support self-sufficiency target corn. Sour
dry land can be utilized for the cultivation and
production of food, corn, peanuts, so as to support
the creation of resilience, self-reliance and food
soverignity
even
in
the future.
I ntercropping
cultivation can be an alternative to preserve /
conserve land while providing a decent income or
profits for farmers. I t can resist or reduce the
conversion of land from food land to the plantation
sector, especially for palm oil and rubber.
10
Period
: 1 (one) year
I . PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di I ndonesia, penyebaran lahan kering masam cukup luas, terutama pada
wilayah beriklim basah seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua. Menurut Hidayat dan
Mulyani (2002) luas lahan kering di Pulau Sumatera mencapai 33,54 juta ha yang
terdiri atas 28,57 juta ha lahan masam dan 4,96 juta ha lahan tidak masam. Lahan
kering di Provinsi Bengkulu mencapai 4,57 juta ha yang terdiri atas 3,44 juta ha lahan
masam dan 1,13 juta ha lahan tidak masam. Luas lahan kering di Provinsi Bengkulu
yang memiliki potensi untuk sektor pertanian seluas 796.800 ha (BPS Provinsi
Bengkulu, 2010).
Lahan kering masam, potensial untuk pengembangan jagung dan kacang tanah
di Provinsi Bengkulu. Sasaran luas tanam jagung dan kedelai di Provinsi Bengkulu pada
tahun 2014 cukup banyak, masing-masing adalah 26.997 ha dan 7.471 ha (Dinas
Pertanian Provinsi Bengkulu, 2013).
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang mempunyai sebaran cukup luas
di Provinsi Bengkulu. Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga
merah. Pada klasifikasi lama, Ultisol diklasifikasikan sebagai Podsolik Merah Kuning
(PMK) (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Lahan ini mempunyai potensi yang tinggi
untuk pengembangan pertanian lahan kering. Untuk pengembangan tanaman pangan,
termasuk jagung dan kacang tanah, perlu pengelolaan yang baik karena tanah Ultisol
mempunyai sifat yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Beberapa
permasalahan umum dari tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi (pH rata-rata <
4,5), kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg,
dan kandungan bahan organik rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dapat
diterapkan teknologi pengapuran, pemupukan P dan K, dan penambahan bahan
organik.
pembelian amelioran yang cukup besar. I novasi teknologi berpeluang untuk diadopsi
oleh petani apabila teknologi yang diintroduksikan memiliki sifat -sifat sebagai berikut:
1. Bermanfaat bagi petani secara nyata.
2. Lebih unggul dibandingkan dengan teknologi yang telah ada.
3. Bahan, sarana, alat mesin, modal dan tenaga untuk mengadopsi teknologi
tersedia.
4. Memberikan nilai tambah dan keuntungan ekonomi.
5. Meningkatkan efisiensi dalam berproduksi.
6. Bersifat ramah lingkungan dan menjamin keberlanjutan usaha pertanian
(Kartono, 2009).
Dari sisi petaninya sendiri, mereka juga mempertimbangkan beberapa faktor sebelum
mengadopsi teknologi. Faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh petani diantaranya
adalah:
1. Ketersediaan pasar hasil panen dengan harga pasar yang layak serta
keuntungan yang baik.
2. Kepastian diperolehnya hasil panen dengan resiko kegagalan yang minimal.
3. Penerapan teknologi tidak sulit bagi petani.
4. Petani mampu menyediakan modal untuk mengadopsi teknologi.
5. Memberikan nilai tambah dan keuntungan nyata bagi petani.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka diperlukan pendekatan yang lebih
komprehensif, yaitu tidak hanya dari aspek teknik pengelolaan sumberdaya lahan
tetapi juga dari aspek teknik budidaya tanaman dan rekayasa sosial. Dari aspek teknik
budidaya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu melalui pemilihan varietas
(jagung dan kacang tanah) yang adaptif atau toleran pada kondisi lingkungan spesifik
(lahan Ultisol) dan penerapan sistem tumpangsari.
Di samping pemilihan varietas, sistem tumpangsari juga diperlukan dalam
upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan lahan. Tumpangsari
(
intercropping
) adalah penanaman dua atau lebih komoditas tanaman secara simultan
pada lahan yang sama (Whigham dan Bharati, 1983). Terdapat beberapa tipe
tumpangsari yang diantaranya adalah tumpangsari jalur (
Strip-I ntercropping
),
tumpang gilir (
Relay-I ntercropping
), dan tumpangsari berlanjutan (
Sequantial-I ntercropping
). Keuntungan dari tumpangsari diantaranya adalah: (1). Mengurangi
resiko kegagalan panen (2). Meningkatkan efisiensi penggunaan lahan (3).
Menciptakan stabilitas biologis yang dapat menekan serangan hama dan penyakit
tanaman (4) Meningkatkan produktivitas dan pendapatan usahatani (Zuchri, 2007).
Tanaman jagung (
Zea mays L
) merupakan komoditas palawija yang paling
banyak diusahakan di Provinsi bengkulu dan merupakan tanaman pokok kedua setelah
padi. Kebutuhan jagung selalu meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya
permintaan jagung disebabkan banyaknya permintaan untuk pakan, pangan dan
industri.
Untuk dapat melaksanakan pola tanam tumpangsari secara baik perlu
diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh diantaranya
ketersediaan air yang ada selama pertumbuhan. Pola tanam tumpangsari sebaiknya
dipilih dan dikombinasikan antara tanaman yang mempunyai perakaran relatif dalam
dan tanaman yang mempunyai perakaran relatif dangkal.
Rekayasa sosial diperlukan, agar teknologi yang disampaikan dapat dipahami,
diadopsi dan terdifusi secara luas. Perlu disampaikan bahwa peningkatan pendapatan
dapat dicapai melalui pengelolaan sumberdaya lahan dan tanaman yang baik serta
permodalan yang cukup.
1.2
Dasar Pertimbangan
Kebutuhan pangan akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk. Di sisi lain lahan yang subur semakin berkurang yang disebabkan oleh alih
fungsi lahan baik ke subsektor perkebunan maupun di luar sektor pertanian. Lahan
Ultisol merupakan salah satu alternatif
dalam pengembangan dan peningkatan
produksi jagung dan kacang tanah di Provinsi Bengkulu. Lahan ini tergolong lahan
marginal dengan kendala utama kemasaman tanah, defisiensi hara P dan K serta
keracunan unsur tertentu , seperti Al.
Penambahan amelioran (kapur dan bahan organik), secara teknis dapat
mengatasi permasalahan pertumbuhan dan perkembangan tanaman pada lahan
Ultisol. Hal ini menimbulkan permasalahan baru yang disebabkan oleh rendahnya
tingkat pengetahuan, keterampilan dan pembiayaan petani dalam pengadaan dan
pembelian amelioran yang cukup besar.
Diperlukan pendekatan terpadu dari aspek teknik pengelolaan sumberdaya
lahan, aspek teknik budidaya tanaman dan rekayasa sosial. Dari aspek teknik budidaya
dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu melalui pemilihan varietas (jagung dan
kacang tanah) yang adaptif atau toleran pada kondisi lingkungan spesifik (lahan
Ultisol) dan penerapan sistem tumpangsari.
Rekayasa sosial diperlukan, agar teknologi yang disampaikan dapat dipahami,
diadopsi dan terdifusi secara luas. Perlu disampaikan bahwa peningkatan pendapatan
dapat dicapai melalui pengelolaan sumberdaya lahan dan tanaman yang baik serta
permodalan yang cukup.
1.3
Tujuan
1.
Menentukan varietas kacang tanah yang tepat untuk ditumpangsarikan
dengan jagung pada lahan kering masam (Ultisol) spesifik lokasi di Provinsi
Bengkulu
2.
Mengevaluasi efektifitas penambahan amelioran pada lahan Ultisol
terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman yang ditumpangsarikan.
4.
Mendapatkan alternatif rekomendasi teknis sistem tumpangsari jagung dan
kacang tanah pada lahan suboptimal.
5.
Mendapatkan umpan balik dari
stakeholders
dan petani pengguna dalam
rangka percepatan penyebarluasan inovasi teknologi.
1.4
Keluaran yang diharapkan
1. Varietas unggul kacang tanah yang tepat untuk ditumpangsarikan dengan
jagung pada lahan kering masam (Ultisol) spesifik lokasi di Provinsi
Bengkulu.
2. Tingkat efektifitas penambahan amelioran pada lahan Ultisol terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman yang ditumpangsarikan.
3.
Peningkatan produktifitas, efisiensi penggunaan lahan, dan keuntungan
usahatani secara tumpangsari pada lahan Ultisol.
4.
Alternatif rekomendasi tumpangsari jagung dan kacang tanah pada lahan
suboptimal.
5.
Umpan balik dari
stakeholders
dan petani pengguna dalam rangka
percepatan penyebarluasan inovasi teknologi.
1.5
Perkiraan Dampak
I I . TI NJAUAN PUSTAKA
I stilah lahan kering seringkali digunakan untuk padanan
upland, dryland
atau
unirrigated land
. Kedua istilah terakhir mengisyaratkan penggunaan lahan untuk
pertanian tadah hujan.
Upland
merupakan lahan yang berada di suatu wilayah
berkedudukan lebih tinggi yang diusahakan tanpa penggenangan air seperti lahan padi
sawah (Notohadinegoro, 2000). Lahan kering adalah hamparan tanah yang tidak
pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun
(Adimihardja
et al.,
2000 dalam I djudin dan Marwanto, 2008). Secara umum,
berdasarkan penggunaan lahannya untuk pertanian, lahan kering dikelompokkan
menjadi pekarangan, tegal/ kebun/ ladang huma, padang rumput, lahan sementara
tidak diusahakan, lahan untuk kayu-kayuan dan perkebunan (BPS Provinsi Bengkulu,
2010).
Berdasarkan kemasaman tanahnya, secara umum lahan kering dapat
dibedakan menjadi lahan kering masam dan tidak masam. Lahan kering masam
dicirikan dengan pH < 5.0 dan kejenuhan basa < 50 % . Tanah-tanah yang umumnya
mempunyai pH masam di lahan kering adalah Ordo Entisols, I nceptisols, Ultisols dan
Oxisols yang beriklim basah dengan curah hujan tinggi (Kelembaban udik). Lahan
kering yang tidak masam umumnya terdiri dari Ordo I nceptisols, Vertisols dan Alfisols
yang berada pada daerah beriklim sedang (regim kelembaban ustik), (Hidayat dan
Mulyani, 2002).
Lahan kering masam umumnya memiliki kesuburan rendah disebabkan kadar
bahan organik rendah dan status hara makro (N. P, K, S, Ca, Mg) rendah. Akibatnya,
produktivitas tanah juga rendah (suboptimal). Jenis tanah pada lahan kering masam
didominasi oleh Ultisol dan Oxisol. Tanah Ultisol dan Oxisol merupakan tanah pertanian
utama di I ndonesia terutama di lahan kering. Tanah Ultisol menempati area sekitar
49.794 juta ha (24.3% ) sedangkan oxisol sekitar 14.1 juta ha (7.5 % ) (Puslittanak,
2000 dalam Nursyamsi, 2003).
tumpuan harapan di masa mendatang. Meskipun dijumpai beberapa kendala biofisik
lahan, namun peluang pengembangan pertanian di lahan kering masam masih besar.
I dealnya jagung dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi
tanah yang subur, pencahayaan penuh dan cukup air. Jagung juga dapat tumbuh dan
berkembang pada lahan masam. Varietas jagung ini merupakan salah satu varietas
yang toleran dan adaptif pada lahan masam. Keunggulan varietas ini diantaranya
adalah: mempunyai potensi hasil yang tinggi (8.5 ton/ ha pipilan kering), kelobot
tertutup baik 98.5 % , tahan penyakit bulai dan karat daun, serta adaptif terhadap
lahan masam.
Kacang tanah paling adaptif di lahan masam dibandingkan dengan tanaman
pangan lainnya (Makmur
et al
., 1996, Trustinah
et al
., 2008). Kacang tanah dapat
dibudidayakan di lahan kering maupun di lahan sawah setelah padi. Kacang tanah
dapat ditanam pada tanah yang bertekstur ringan maupun agak berat, yang penting
tanah tersebut dapat mengatuskan air sehingga tidak menggenang. Tanah yang
paling sesuai adalah tanah yang bertekstur ringan, drainase baik, remah dan gembur.
Kacang tanah masih dapat berproduksi baik pada tanah yang ber pH rendah sampai
tinggi. Pada pH tanah tinggi (7,5 – 8,5 ) kacang tanah sering mengalami klorosis, yakni
daun-daun menguning (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011).
Kendala peningkatan produksi kacang tanah pada akhir-akhir ini adalah dampak
perubahan iklim yaitu kekeringan dan penyakit bercak daun dan karat daun.
I I I . METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu
Kegiatan pengkajian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Desember 2014.
Lahan yang digunakan adalah kering masam di Desa Pasar Pedati, Sungai Suci,
Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah.
Kabupaten Bengkulu
Tengah memiliki luas wilayah 112.394 ha yang atas dari 10 kecamatan. Berdasarkan
pola pengembangannya pertanian lahan kering di Kabupaten Bengkulu Tengah dapat
dibedakan menjadi 2 pola, yaitu pertanian lahan kering berbasis tanaman pangan dan
pertanian lahan kering berbasis tanaman perkebunan (wanatani dan monokultur).
Sistem pertanian lahan kering, tanaman pangan dan perkebunan seluas 31.598 ha.
Pengembangan kawasan budidaya di Kabupaten Bengkulu Tengah sebaiknya
mempertimbangkan kondisi biofisik dan kimia tanah serta iklim. Mengingat sebagian
besar (63,78% ) lahan kering di Kabupaten Bengkulu Tengah mempunyai bentuk
wilayah bergelombang, berbukit dan bergunung dengan lereng 15-40% , maka teknik
konservasi tanah perlu diupayakan. Konservasi tanah pada lahan pertanian tidak hanya
terbatas pada usaha untuk mengendalikan erosi atau aliran permukaan, tetapi
termasuk usaha untuk mempertahankan kesuburan tanah.
3.2. Bahan dan Alat
dan tahan A. Flavus (hingga 3 bulan setelah panen) serta agak tahan lahan masam
(pH 4,5– 5,6) dengan kejenuhan Al 30–35% .
3.3. Ruang Lingkup
Pengkajian pengelolaan lahan kering masam untuk mendukung swasembada
jagung dan kacang tanah di Provinsi Bengkulu dilaksanakan pada bulan Januari
-Desember 2014. Pengkajian lapangan dilakukan dalam bentuk percobaan lapangan
dan survey. Pengkajian dilakukan di lahan petani dan melibatkan petani sebagai
pelaksana, dengan luasan 4 ha. Percobaan lapangan yang dilakukan meliputi varietas,
penggunaan amelioran, tumpangsari, struktur tanah, fanalisis usaha tani. Survey
efektifitas media informasi dalam percepatan pemahaman dan adopsi teknologi
(ameliorasi dan tumpangsari) dilakukan pada kelompok petani kooperator dan di luar
kelompok petani kooperator.
3.4. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
dengan 5 ulangan. Perlakuan terdiri atas 4 perlakuan yaitu varietas kacang tanah
(Varietas Talam, Tuban, Kancil dan Lokal) yang ditumpangsarikan dengan jagung.
Masing masing perlakuan diulang 5 kali. Petani kooperator sebanyak 5 orang berperan
sebagai ulangan. Luas plot pengkajian berukuran 1.000-1.250 m
2.
Amelioran yang diberikan adalah: pupuk kandang 2.5 ton/ ha dan kapur
pertanian (dolomit) 0.5 ton/ ha. Untuk pupuk disesuaikan dengan kebutuhan tanaman.
Cara pemberian dolomit pada larikan barisan tanaman pada setiap kali tanam dapat
mengurangi dosis pemberiannya menjadi antara 500-1000 kg/ ha. Pemakaian dolomit
CaMg atau (CO3)2 juga dapat menjawab permasalahan pH dan defisiensi unsur hara.
Keuntungannya adalah selain adanya unsur Ca juga terdapat unsur Mg yang sangat
dibutuhkan tanaman untuk pembentukan klorofil.
3.5. Pelaksanaan
Pelaksanaan Kegiatan adalah sebagai berikut: (1). Pupuk kandang dan kapur
diaplikasikan bersamaan dengan waktu olah tanah atau pada saat tanam (2). Kacang
tanah ditanam 7-10 hari lebih dulu dari jagung.
Strip-I ntrecropping
diaplikasikan dalam
percobaan lapang. Dua jalur jagung diikuti dengan 8 jalur kacang tanah. Jarak tanam
untuk kacang tanah adalah 40 x 15 cm, sedangkan jagung 40 x 40 cm.
(3).
Pupuk diberikan sesuai dosis. Semua pupuk pada tanaman kacang tanah diberikan
pada saat tanaman berumur 10-15 hari, dalam alur 5 – 7 cm dari baris tanaman
kemudian ditutup tanah. Untuk jagung, semua dosis P dan K, serta 1/ 3 dosis N
diberikan pada saat tanaman berumur 10-15 hari, 2/ 3 dosis N pada umur 35-40 hari.
3.6. Plot Tumpangsari Jagung Dan Kacang Tanah
X X X X
√ √
X X X X X X X X
√
√
X X X X
X X X X X X X X X X X X
X X X X
X X X X
√ √
X X X X X X X X
√ √
X X X X
X X X X X X X X
X X X X
X X X X
X X X X
√ √
X X X X X X X X
√ √
X X X X
X X X X X X X X X X X X
X X X X
X X X X
√ √
X X X X X X X X
√ √
X X X X
X X X X X X X X X X X X
X X X X
X X X X
√ √
X X X X X X X X
√ √
X X X X
X X
X X X X X X X X X X
X X X X
X X X X
√ √
X X X X X X X X
√ √
X X X X
Keterangan:
X = kacang tanah (40 x 15 cm)
√
= jagung ( 40 x 40 cm)
3.7. Parameter yang Diukur
1. Dominansi jenis gulma pada saat sebelum pembersihan lahan.
jumlah polong/ tan, jumlah biji/ polong, jumlah polong/ tanaman, polong rusak,
berat 1000 biji, hasil t/ ha).
3. Sifat fisik dan kimia tanah pada saat sebelum tanam dan setelah panen meliputi
analisa unsur makro dan mikro tanah (N, P, K, Ca, Mg, Na, C-Organik, pH, P
dan K Potensial, Tekstur, Al-dd dan H-dd)
4. Nilai Kesetaraan Lahan (NKL) dihitung dengan penentuan hasil relatif dari tiap
tanaman yang ditumpangsarikan dengan hasil tanaman tersebut secara
monokultur (Whigham dan Bharati, 1983)
I a I b
NKL= --- +
---Sa Sb
(I = intercrop yield; S= sole-crop yield; a dan b= component crop)
5. Analisis usaha tani dihitung berdasarkan produksi (hasil), harga input produksi,
harga output, jumlah produk sampingan, harga produk sampingan, dll.
3.8. Analisis Data
I V. HASI L DAN PEMBAHASAN
4.1. Koordinasi I nternal dan Antar I nstansi
Koordinasi internal dilaksanakan secara rutin dalam bentuk pertemuan tim dalam
perencanaan kegiatan Pemanfaatan lahan kering masam dengan tumpangsari jagung
dan kacang tanah di Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten
Bengkulu Tengah. Dalam pertemuan rutin yang dilaksanakan tiap bulannya dibahas
mengenai kemajuan kegiatan, hambatan dan kendala pada pelaksanaan kegiatan,
tingkat serapan dana, pencapaian dan rencana tindak lanjut pada kegiatan.
Koordinasi antar instansi terkait di tingkat Kabupaten dilaksanakan dalam bentuk
kunjungan dan pemaparan maksud kegiatan kepada
stakeholders
(Dinas Pertanian dan
Badan Pelaksana Penyuluhan wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah). Koordinasi
dengan dinas terkait ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi, memperoleh
informasi mengenai kondisi agroekosistem wilayah pengkajian, dan juga ketersediaan
sarana produksi yang diperlukan untuk mendukung kegiatan pengkajian.
4.2. Dominansi Jenis Gulma
Tabel 1. Identifikasi dominansi gulma awal
No
Jenis Gulma
Dominansi (% )
1
Polygonum
13.33
2
Axonus compresus
6.67
3
Cynodum doctylow
13.33
4
Poa annua
20.10
5
Fallopia convolvulus
13.33
6
Mimosa Pudicalinn
13.33
7
Chrysopogon acicilatus
13.33
8
Cyrtococcum accresiens
6.67
Gulma yang dominan adalah
poa annua
yang merupakan salah satu keluarga
rumputan yang berumur pendek, ditemukan pada berbagai macam tipe lahan,
berbunga sepanjang tahun (tabel 1). Tanaman ini dikenal sebagai gulma tahunan yang
sering ditemukan pada lahan terbengkalai maupun lahan pertanian. Gulma ini cukup
sulit dikontrol karena tanaman ini akan menghasilkan beberapa ratus benih dalam satu
musim dan benihnya dapat menjadi dorman selama beberapa tahun sebelum
berkecambah. Karakteristik untuk mengenali tanaman ini adalah batangnya yang
menjulur tinggi daripada keluarga rumputan lainnya. Salah satu metode pengendalian
yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan herbisida pra tumbuh untuk
mencegah benih berkecambah. Cara lain adalah dengan penggunaan herbisida yang
selektif terhadap
poa annua
maupun penggunaan herbisida berspektrum luas.
Alternatif pengendalian gulma secara umum dapat dilakukan melalui cara kimia,
mekanik dan juga kultur teknik. Cara kimia lebih diarahkan pada kepemilikan lahan
luas. Cara yang paling banyak dilakukan petani adalah cara mekanik dan kultur teknis,
karena kepemilikan lahan relatif sempit.
4. 3. Sistem Tumpang Sari Jagung dan Kacang Tanah
4.3.1 Nilai Kesetaraan Lahan ( NKL)
I a I b
LER= --- +
---Sa Sb
(I = intercrop yield; S= sole-crop yield; a dan b= component crop)
Tumpang sari merupakan salah satu bentuk dari program intensifikasi pertanian
alternatif yang tepat untuk memperoleh hasil pertanian yang optimal. Keuntungan pola
tanam tumpangsari selain diperoleh frekuensi panen lebih dari satu kali dalam satu
tahun, juga berfungsi untuk menjaga kesuburan tanah. Pola tanam tumpangsari dalam
implementasinya harus dipilih dua atau lebih tanaman yang cocok sehingga mampu
memanfaatkan ruang dan waktu yang seefisien mungkin serta dapat menurunkan
pengaruh kompetitif sekecil-kecilnya (Prajitno, 1988). Francis (1986) menyatakan
bahwa tingkat produktivitas tanaman tumpangsari lebih tinggi dengan keuntungan
panen 20 – 60 % dibandingkan pola tanam monokultur. Untuk mengevaluasi
keuntungan atau kerugian yang ditimbulkan dari pola tanam tumpangsari dengan
monokultur dapat dihitung dari Nilai Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai NKL ini
menggambarkan suatu areal yang dibutuhkan untuk total produksi monokultur yang
setara dengan satu ha produksi tumpang sari.
Tabel 2. Nilai rata-rata hasil perhitungan keseluruhan NKL tanaman kacang tanah dan
jagung
No
Kombinasi Perlakuan
NKL
1.
Tumpang sari jagung dan talam
1.99
2.
Tumpang sari jagung dan tuban
2.54
3.
Tumpang sari jagung dan kancil
1.94
4.
Tumpang sari jagung dan lokal
1.77
4.3.2. Pertumbuhan Vegetatif Kacang Tanah
Di samping pemilihan varietas, sistem tumpangsari juga diperlukan dalam
upaya meningkatkan produktivitas dan efisiensi penggunaan lahan. Tumpangsari
(
intercropping
) adalah penanaman dua atau lebih komoditas tanaman secara simultan
pada lahan yang sama (Whigham dan Bharati, 1983). Kacang tanah merupakan
tanaman yang memiliki daya adaptasi luas, dapat tumbh di lahan kering, lahan sawah
maupun lahan bukaan baru/ marjinal (Adisarwanto
et al
., 1996). Luas panen dan
produksi kacang tanah terus meningkat setiap tahunnya. Minat petani yang terus
meningkat dalam budidaya kacang tanah harus disertai dengan penyediaan teknologi,
diantaranya varietas unggul yang sesuai dengan lingkungan dan permintaan pasar.
Pada penanaman tumpangsari jagung dan kacang tanah kali ini digunakan varietas
yang tahan cekaman pada lahan kering masam yakni varietas Talam, Tuban dan Kancil
yang diperoleh dari Balai Penelitian Kacang dan Tanaman Umbi-umbian dengan
pembandingnya varietas lokal. Sistem tumpangsari jagung dan kacang tanah
diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan. Hasil penelitian Hoof dalam
Ardisarwanto
et al.
(1993) menginformasikan bahwa sistem tumpangsari jagung dan
kacang tanah di Jawa Timur dengan populasi kacang tanah 95 % dan jagung 53 %
dari populasi tunggalnya menghasilkan rata-rata polong kacang tanah sebesar 80%
dan jagung 43 % dari pertanaman tunggalnya.
Tabel 3. Data pertumbuhan vegetatif kacang tanah, MK 2014
Varietas Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Cabang/ rumpun
28 HST 42 HST 56 HST 84 HST 28 HST 42 HST 56 HST 84 HST
Talam 15.76a 22.83a 36.24a 48.37ab 6.20a 7.26bc 7.53a 7.81a
Tuban 15.75a 22.02a 37.19a 48.96a 6.22a 6.70c 7.70a 7.57a
Kancil 16.49a 23.33a 35.68a 42.25bc 6.34a 7.67ab 7.36a 7.19a
Lokal 12.72a 18.09b 29.73b 39.96c 6.19a 8.04a 9.17a 8.30a
tanaman berkisar antara 35.68-37.19 cm. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pada
akhir pertumbuhan, varietas Tuban (48.96 cm) dan Talam (48.37 cm) mempunyai
tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Kancil (42.25 cm) dan
Lokal (39.96 cm). Tinggi tanaman merupakan faktor penting yang juga dipengaruhi
oleh lingkungan (tanah dan iklim) dan juga dipengaruhi oleh penyiangan gulma.
Penyiangan gulma yang sering dilakukan memberikan tanggapan postif terhadap tinggi
tanaman.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pada awal fase pertumbuhan (28-42
HST) semua varietas mempunyai jumlah cabang/ rumpun yang hampir sama. Pada
umur 28 HST jumlah cabang/ rumpun berkisar antara 6.19-6.34. Pada umur tanaman
42 HST jumlah cabang/ rumpun berkisar antara 6.70-8.04 cm. Memasuki fase generatif
pada umur tanaman 56 HST jumlah cabang/ rumpun antar varietas menunjukkan
perbedaan yang nyata, varietas lokal mempunyai jumlah cabang/ rumpun yang paling
banyak (9.17) dibandingkan dengan varietas Talam, Kancil dan Tuban yang memiliki
jumlah cabang/ rumpun antara (7.36-7.70). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pada
akhir pertumbuhan, varietas Lokal (8.30) dan Talam (7.81) mempunyai jumlah
cabang/ tanaman yang lebih banyak dibandingkan dengan varietas Kancil (7.19) dan
Tuban (7.57). Jumlah cabang/ tanaman merupakan faktor penting yang juga
dipengaruhi oleh lingkungan (tanah dan iklim).
4.3.3. Pertumbuhan Generatif Kacang Tanah
Komponen hasil kacang tanah pada semua varietas menunjukkan bahwa berat segar
berangkasan yang relatif sama berkisar antara 28.99-36.22 gram/ rumpun, sedangkan
berat kering berangkasan setelah dijemur kurang lebih 3 hari menunjukkan perbedaan
yang signifikat, berat kering berangkasan pada varietas Talam 18.74 gr/ rumpun,
sedangkan pada ketiga varietas lainnya berkisar antara 16.20-16.39 gram/ rumpun.
Tabel 4. Data komponen hasil kacang tanah sistem tumpangsari , MK 2014
Perlakuan B. segar
Talam 36.22a 18.74a 29.98a 18.76a 18.44b 26.30a
Tuban 35.30a 16.20b 28.37a 18.76a 20.13b 15.13b
Kancil 32.46a 16.39b 31.52a 23.64a 24.62a 14.79b
Pada semua varietas kacang tanah, berat segar polong berkisar antara 26.51-31.52
gram/ rumpun, sadangkan berat kering polong didominansi oleh varietas Kancil dengan
berat 23.64 gram/ rumpun. Banyaknya jumlah polong/ rumpun juga didominasi oleh
varietas Kancil dengan jumlah polong sebanyak 24.62 buah / rumpub diikuti oleh
varietas Tuban, Lokal dan Talam. Pada persentase polong yang rusak didominansi oleh
varietas Talam dengan 26.30 persen dan persentase paling kecil kerusakan pada
polong terdapat pada varietas Kancil dengan persentase kerusakan polong sebesar
14.79 persen. Varietas Kancil memiliki persentase kerusakan polong karena memiliki
ketahanan terhadap penyakit layu, toleran penyakit karat, bercak daun dan tahan A.
Flavus serta toleran terhadap klorosis.
Pada komponen hasil jumlah biji/ rumpun terlihat bahwa varietas Lokal memiliki jumlah
biji paling banyak denga jumlah 33.69 biji/ rumpun dibandingkan varietas lainnya
namun untuk berat 1000 butir didominasi oleh varieta Talam dengan berat 510.60
gram/ rumpun. Meskipun varietas Lokal memiliki jumlah biji/ rumpun lebih banyak
dibandingkan varietas Talam, namun varietas talam memiliki ukuran butir yang lebih
besar dibandingkan varietas Lokal sehingga berat 1000 butir lebih didominasi oleh
varietas Talam. Untuk komponen hasil berat kering polong terbesar didominasi oleh
varietas Tuban dengan jumlah hasil polong kering 2.53 t/ ha diikuti oleh varietas Talam
(2.24 t/ ha), Kancil (2.07 t/ ha) dan Varietas Lokal 1.92 t/ ha. Untuk indeks panen
terbesar terdapat pada varietas kancil sebesar 49.88 persen diikuti oleh varietas
Tuban, Talam dan Lokal.
Tabel 5. Data komponen hasil kacang tanah sistem tumpangsari , MK 2014
Perlakuan Jumlah
persentase polong rusak, berat kering berangksan dan berat kering polong serta
jumlah polong pertanaman berkaitan erat dengan kapasitas hasil.
4.3.3 Pertumbuhan Vegetatif Jagung
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pada awal fase pertumbuhan (28-42
HST) semua tanaman jagung yang ditumpangsarikan dengan keempat varietas kacang
tanah mempunyai persen pertumbuhan dan tinggi tanaman yang hampir sama. Pada
umur 28 HST persentase pertumbuhan berkisar antara 90.50-96.40 pada semua dan
tinggi tanaman berkisar antara 34.22 cm-36.74 cm. Pada umur tanaman 42 HST tinggi
tanaman menunjukkan perbedaan yang cukup nyata dengan tinggi tanaman jagung
tertinggi terdapat pada tanaman jagung yang ditumpangsarikan dengan varietas Lokal
yakni 108.83 cm. Memasuki fase generatif pada umur tanaman 56 HST ketinggian
tanaman antar perlakuan tumpangsari varietas tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata, dan tanaman jagung tidak menunjukkan pertumbuhan tinggi tanaman yang
baik setelah 56 HST. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan, yakni kondisi
kekeringan pada lahan kering masam pada umur tanaman 42 HST dan fase awal
generatif 56 HST. Tinggi tanaman merupakan faktor penting yang juga dipengaruhi
oleh lingkungan (tanah dan iklim) dan juga dipengaruhi oleh penyiangan gulma.
Penyiangan gulma yang sering dilakukan memberikan tanggapan postif terhadap tinggi
tanaman.
Tabel 6. Data pertumbuhan vegetatif jagung
Perlakuan Tumpangsari
%
Tumbuh
Tinggi tanaman
14HST
28HST
56HST
Jagung denganTalam
96.40a
36.74a
95.33a
104.80a
Jagung denganTuban
90.50a
35.72a
102.46a
115.86a
Jagung dengan Kancil
94.10a
34.22a
89.60a
105.80a
Jagung dengan Lokal
94.80a
36.08a
108.83a
122.60a
memberikan respon yang kurang baik, selain itu juga disebabkan kurangnya curah
hujan di daerah tersebut pada saat penanaman memasuki 56 HST.
4.3.4. Pertumbuhan Generatif Jagung
Pada pertumbuhan generatif jagung menunjukkan bahwa panjang tongkol pada
tanaman jagun yang ditumpangsarikan dengan kacang tanah varietas Talam sebesar
12.54 cm. Panjang tongkol ini relatif kecil dibandingkan panjang tongkol tanaman
jagung pada umumnya dikarenakan hasil yang diperoleh tidak maksimal karena kondisi
lingkungan lahan kering masam yang kekeringan pada saat memasuki fase generatif.
Untuk diameter tongkol jagung terbesar terdapat pada tanamana jagung yang
ditumpangsarikan dengan varietas Tuban sebesar 3.45 cm.
Tabel 7. Data pertumbuhan generatif jagung
Perlakuan
Jagung denganTalam
12.20ab
3.34a
208.40a
1.84b
Jagung denganTuban
12.54a
3.45a
197.99a
2.35a
Jagung dengan Kancil
12.25ab
3.36a
204.16a
1.83b
Jagung dengan Lokal
11.79b
3.34a
193.63a
1.78b
Untuk berat 1000 butir pada tanaman jagung didominasi oleh tanaman jagung yang
ditumpangsarikan dengan varietas Talam sebesar 208.40 gram dan komponen berat
kering jagung pada tanaman jagung yang ditumpangsarikan dengan varietas Tuban
menunjukkan hasil 2.35 t/ ha diikuti oleh tanaman jagung yang ditumpangsarikan
dengan varietas Talam (1.84 t/ ha), Kancil (1.83 t/ ha) dan Lokal (1.78 t/ ha).
ini ditanam pada tanah PMK yang miskin akan hara dan tinggi akan AL dan Fe yang
dapat menghambat pertumbuahn dan produksi tanaman. Untuk sistem tumpangsari
jagung dan kacang tanah yang dilakukan di Desa Pasar Pedati, Kecamatan Pondok
Kelepa ini menunjukkan hasil yang kurang maksimal dengan hasil produksi jagung
yang ditumpangsarikan dengan kacang tanah varietas tuban sekita 3.92 ton/ ha. Hal ini
disebabkan oleh kondisi lahan yang terlalu kering dan kurangnya sumber air pada
lokasi pengkajian.
4.4 Efektifitas Pemberian Amelioran
Setiap jenis tanaman mempunyai potensi hasil yang optimal yang dapat dicapai
apabila lingkungan tumbuh sesuai dengan kebutuhan tanaman tersebut. Tanah dan
iklim merupakan faktor alam yang sangat menentukan keberhasilan usaha
tumpangsari. Sifat tanah yang sangat penting untuk diketahui adalah kesuburan fisik
dan kimia. Sedangkan faktor iklim yang paling penting adalah curah hujan dan hari
hujan. Curah hujan dan hari hujan sangat bervariasi. Pemuliaan tanaman adaptif dan
pada lahan masam diperlukan jika masalah kemasaman tanah dan kejenuhan Al terjadi
pada lapisan dalam (subsoil). Bila masalah tersebut terjadi pada lapisan atas, relative
lebih murah diatasi dengan ameliorasi (Hairiah et al., 2000, Witcombe et al., 2013,
Dalovic et al., 2010)
Tabel 8. Hasil analisa tanah awal dan akhir
C-Organik (% ) 4.04 Tinggi 1.90 Rendah
N-Total (% ) 0.30 Sedang 0.23 Sedang
P-Bray I (ppm) 13.13
Tinggi
3.54 Sangat rendah
K-dd (me/ 100 gr) 0.21 Rendah 0.72 Tinggi
Na (me/ 100gr) 0.30 Rendah 0.19 Rendah
Ca (me/ 100gr) 0.88 Sangat rendah 0.68 Sangat rendah
Mg (me/ 100gr) 1.42 Sedang 0.89 Rendah
KTK (me/ 100gr) 21.67 Sedang 17.50 Sedang
Al-dd 1.64 Sangat rendah 1.10 Rendah
Kejenuhan basa 12.96 - 14.17
klorofil. Umumnya kadar kalium tanah jauh lebih banyak dari fospor, namun untuk
lahan kering masam spesifik Bengkulu ini, kandungan fosfor lebih tinggi daripada
kandungan kalium, dikarenakan lahan kering masam berada di daerah dekat pantai,
banyak terdapat endapan batuan dari sekitar pantai yang menyebabkan kandungan
fosfor lebih tinggi. Untuk kandungan Na 0.30 (rendah), Ca 0.88 (sangat rendah), Mg
1.42 (sedang), KTK 21.67 (sedang) dan kandungan Al 1.64 (sangat rendah). Kadar
magnesium kadang-kadang ditemukan lebih tinggi dari kalsium tetapi jumlah yang
tersedia selalu sedikit, oleh karena itu kekurangan magnesium dapat diatasi dengan
pengapuran. Pada fase akhir setelah panen, tanah lahan kering masam kembali
diambil untuk mengetahu kandungan unsure hara tanah akhir. Pada tabel 7 terlihat
kondisi awal lahan kering masam memiliki nilai pH 6.01 (agak masam). Kandungan
unsur hara makro C-Organik 1.90 (rendah), N-total 0.23 (sedang), P-Bray 3.54 (sangat
rendah), dan kandungan K-dd 0.72 (tinggi). Untuk kandungan Na 0.19 (rendah), Ca
0.68 (sangat rendah), Mg 0.89 (rendah), KTK 17.50 (sedang) dan kandungan Al 1.10
(rendah).
Tabel 9.
Data hari hujan dan curah hujan kabupaten Bengkulu Tengah (BP3K Talang
Pauh, 2014)
Bulan
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Hari
Januari
16
372
6
117
27
387
24
691.5
Februari
9
169
6
116
22
242.5
14
260.5
Maret
4
162
5
118
20
266.5
20
440.5
April
11
243
7
120
23
353.5
25
1043
Mei
14
160
10
124
25
713.5
20
547
Juni
18
408
10
130
19
470
11
120.5
Juli
15
207
12
137
25
419.5
12
179
Agustus
13
351
11
146
21
339
16
454
September
8
157
12
152
25
688.5
8
124
Oktober
17
920
10
265
19
449.5
-
-November
19
462
18
262.5
25
832
-
-Desember
24
960
25
358.5
25
524
-
Tabel 10. Data pertumbuhan vegetatif kacang tanah sistem tanam monokultur
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Cabang/ rumpun
28 HST 42 HST 56 HST 84 HST 28 HST 42 HST 56 HST 84 HST
Talam+ Amelioran
11.80a 24.96a 39.80a 44.16a 5.92a 7.72a 8.60a 8.20a
Tuban+ Amelioran
9.40ab 24.56a 40.50a 44.48a 7.36a 7.52a 9.00a 7.84a
Kancil+ Amelioran
11.50a 23.70ab 35.95 b 38.80a 7.52a 7.60a 7.85a 7.44a
Lokal + Amelioran
8.26b 20.00b 32.10b 35.49a 11.8a 8.40a 9.0oa 7.40a
Talam tanpa Amelioran
14.80a 25.74ab 39.25a 44.68a 6.20a 6.36a 6.70a 6.64b
Tuban tanpa Amelioran
14.96a 28.22a 38.85a 45.28a 6.80a 7.48a 7.45a 8.32a
Kancil tanpa Amelioran
13.94a 24.36bc 28.90a 37.36b 6.36a 7.16a 6.95a 7.00ab
Lokal tanpa Amelioran
11.44a 22.18c 31.15a 36.84a 6.24a 7.44a 6.85a 7.68ab
dan juga dipengaruhi oleh penyiangan gulma. Penyiangan gulma yang sering dilakukan
memberikan tanggapan postif terhadap tinggi tanaman.
Tabel 11. Data komponen hasil kacang tanah sistem monokultur , MK 2014
34.20ab 1 8.07ab 27.46a 19.64a 18.20a 18.69a
Tuban+ Amelioran
37.97a 20.10a 27.45a 21.02a 20.15a 22.71a
Kancil+ Amelioran
24.33b 14.12b 27.29a 18.52a 15.25a 16.96a
Lokal + Amelioran
27.54ab 13.55b 27.86a 21.71a 20.65a 21.36a
Talam tanpa Amelioran
32.81a 14.04a 23.57a 18.64a 16.40b 27.21a
Tuban tanpa Amelioran
33.21a 17.61a 25.68a 15.72a 24.09a 24.37a
Kancil tanpa Amelioran
22.57a 13.84a 23.98a 17.79a 16.88b 19.77a
Lokal tanpa Amelioran
25.74a 15.92a 25.02a 19.70a 19.96ab 23.74a
Komponen hasil kacang tanah pada pemberian amelioran , varietas Tuban
menunjukkan berat segar berangkasan terbesar sebesar 37.97 gram/ rumpun
dibandingkan varietas lainnya, sedangkan pada tanaman tanpa pemberian amelioran,
berat segar berangkasan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Berat kering
berangkasan setelah dijemur kurang lebih 3 hari pada tanaman kacang tanah dengan
pemberian amelioran menunjukkan perbedaan yang signifikat, berat kering
berangkasan terbesar pada varietas Tuban 20.10 gr/ rumpun, sedangkan pada ketiga
varietas lainnya berkisar antara 13.55-18.07 gram/ rumpun.
banyaknya jumlah polong/ rumpun pada tanaman kacang tanah tanpa pemberian
amelioran didominasi oleh varietas Tuban (24.09) Pada persentase polong yang rusak
didominansi oleh varietas Tuban dan Lokal dengan 22.71 dan 21.36 persen dan
persentase paling kecil kerusakan pada polong terdapat pada varietas Talam dan
Kancil dengan persentase kerusakan polong sebesar 18.69 dan 16.96 persen. Varietas
Kancil memiliki persentase kerusakan polong yang kecil karena memiliki ketahanan
terhadap penyakit layu, toleran penyakit karat, bercak daun dan tahan A. Flavus serta
toleran terhadap klorosis.
Tabel 12. Data komponen hasil kacang tanah sistem monokultur , MK 2014
Perlakuan Jumlah