KONSEP PENGEMBANGAN MODEL INTEGRASI
KURIKULUM KESETARAAN GENDER
PUSAT KURIKULUM
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
DAFTAR ISI
halaman
Abstraksi i
Daftar Isi ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
C. Ruang Lingkup 2
BAB II : LANDASAN 3
A. Landasan Teoritik 3
Konsep Dasar Gender B. Landasan Yuridis 12
BAB III : POLA PENGEMBANGAN MODEL 14
A. Prinsip-prinsip Pengembangan 14
B. Nilai-nilai Kesetaraan Gender yang dapat diintegrasikan dalam KTSP 14
C. Langkah-langkah Pengembangan 15
BAB IV : PELAKSANAAN DAN IMPLIKASI 16
PENGEMBANGAN MODEL A. Pelaksanaan 16
B. Implikasi 16
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, salah satu tugas Pusat Kurikulum adalah mengembangkan dan mengujicobakan model-model kurikulum inovatif. Pengembangan dan uji coba yang dimaksud, dilakukan dalam rangka menyusun model-model kurikulum inovatif yang disesuaikan dengan kebutuhan, potensi, karakteristik peserta didik dalam rangka memberikan layanan yang optimal kepada peserta didik.
Salah satu pengembangan kurikulum inovatif pendidikan yang akan dikembangkan oleh pusat kurikulum adalah model integrasi kurikulum kesetaraan gender. Latar belakang dari pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender adalah .
1. Amandemen Undang-undang Dasar tahun 1945, Pasal 27.
2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Tahun 1948. 3. Undang-undang Nomor : 39 tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia. 4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003.
5. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
6. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi 7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan
8. Dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan dan pengembangan KTSP
Pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender, dilandasi oleh Deklarasi pada Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak, yang tertera pada point 7 (5) yang berbunyi ”... ketidak seimbangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah harus di tiadakan”. Serta rencana aksi hasil dari Komperensi Dunia Tingkat Tinggi untuk Anak pada point 39 (c) yang berbunyi : ” .... Menghapuskan ketimpangan gender dalam pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005; dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 (UNICEF). Begitu pula adanya intruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG).
Dengan demikian Pusat Kurikulum pada tahun 2007 melakukan penelitian dan pengembangan untuk menyusun model integrasi kurikulum kesetaraan gender sebagai implementasi dari kebijakan-kebijakan nasional maupun internasional, serta kebutuhan pada masyarakat.
B. Tujuan
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan pengembangan penyusunan model pada tahun anggaran 2007 dibatasi pada jenjang pendidikan menengah pada satuan pendidikan sekolah menengah atas. Daerah uji coba masih terbatas pada tiga provinsi. Silabus dan RPP yang dikembangkan masih dibatasi pada kelas X .
BAB II LANDASAN
A.
Landasan Teoritik
Konsep Dasar Gender
Sebagaimana disinggung di muka, jender sebagai konsep sering disalahfahami. Persepsi masyarakat tentang jender muncul berbeda–beda. Pandangan umum menyatakan bahwa perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan perempuan adalah suatu yang niscaya dan tidak perlu dipermasalahkan.
Padahal sebagai konsep, jender lahir dari rahim sosial dan budaya yang timpang. Konstruk sosial-budaya inilah yang pada gilirannya membentuk konsep jender menjadi bias. Bagaimana pandangan itu muncul dan faktor apa yang melatarbelakangi konstruk itu? Pada titik ini kajian akan lebih terarah apabila diawali dengan pemahaman terhadap teori-teori dasar tentang jender.
Beberapa teori dasar yang sering digunakan dalam membedah sekaligus membenarkan adanya perbedaan sifat, posisi, dan peran antara laki-laki dan perempuan adalah sebagai berikut.
1. Teori Kodrat Alam (Nature)
Teori kodrat alam memandang bahwa pemilahan peran sosial antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai kejadian yang alamiah. Seperti dikemukakan Kamla Bhasin, ”Selama berabad-abad diyakini bahwa sifat-sifat, peran sosial, dan status yang berbeda dari laki-laki dan perempuan dalam masyarakat ditentukan oleh biologis (yaitu jenis kelamin). Hal itu bersifat alamiah sehingga tidak dapat diubah”.1 Teori ini mengacu pada kodrat manusia secara alami, kehendak takdir, atau dalam bahasa Islam disebut ”ciptaan Allah”. Teori ini memandang laki-laki terlahir sebagai laki-laki dan perempuan terlahir sebagai perempuan, dalam penampilan fisik, fungsi fisik secara biologis dan peran sosialnya. Karena manusia diciptakan sejak sono-nya berbeda, maka manusia harus menerima. Apabila penampilan fisik, fungsi serta peran masing-masing dipertukarkan maka dianggap ada yang tidak beres pada orang yang bersangkutan. Sanksi sosial akan menuduh laki-laki yang berpenampilan feminin dengan sebutan banci, dan perempuan yang berpenampilan maskulin sebagai tomboy.2
Sejak lahir secara biologis antara laki-laki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki sejak lahir telah memiliki penis (zakar), dan pada saat tumbuh dewasa ia mulai berkumis, berjenggot, dan memiliki jakun. Sedangkan perempuan memiliki rahim, buah dada, payudara, indung telur sebagai ciri-ciri biologis untuk melaksanakan fungsi 4M yaitu menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui anak. Berdasarkan pandangan teori ini apa yang dimiliki laki-laki tidak dimilki oleh perempuan, demikian pula sebaliknya, sehingga laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dan saling melengkapi.3 Kondisi fisik yang secara kodrati memang berbeda tersebut dianggap berpengaruh pada kondisi psikis masing-masing.
Perempuan yang memiliki kodrat fisik berkaitan dengan fungsi reproduksi (4M) dianggap sangat berkaitan dengan berkembangnya perangai psikologis yang
1
Kamla Bhasin, Memahami Gender, (Jakarta: Teplok Press, 2002), h. 23
2
Suryadi & Idris, Kesetaraan Gende, h. 44-45
3
dibutuhkan untuk mengasuh anak yang dilahirkannya, seperti perangai keibuan yang menuntut sikap halus, penyabar, lemah lembut dan kasih sayang. Sedangkan lawan jenisnya yang terlahir sebagai laki-laki secara kodrati mempunyai ciri fisik seperti mampu produksi sperma, dan dipandang merepresentasikan fisik-laki-laki yang kuat dan perkasa.4 Kondisi fisik yang kuat cenderung agresif dianggap akan berdampak pada perangai psikologis yang lebih tegar, lebih tenang, keras dan bahkan kasar. Kaum laki-laki yang memiliki sosok fisik lebih kuat dikonstruksikan untuk berperan di sektor publik, menghadapi kerasnya kehidupan, sekaligus memberi perlindungan kepada pihak yang lebih lemah, yaitu perempuan.5 Sementara perempuan dengan kelembutan sifatnya cukup berkecimpung pada urusan domestik dan menjadi pelayan laki-laki.
Teori ini bukan saja membagi manusia secara kategoris per se, tetapi juga menyebabkan pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan perempuan: sektor publik versus domestik. Perempuan dengan perangai yang lembut dan penuh kasih sayang mengharuskannya untuk mengasuh anak dan membereskan semua urusan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki dengan fisik dan perangai kuat lebih layak melakukan kegiatan di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan nafkah keluarga dan memberi perlindungan terhadap semua anggota keluarganya. Perbedaan biologis ini, kata Sanderson, merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam membentuk pembagian peran antara kedua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan.6
Teori kodrat alam sebenarnya lebih berorientasi kapada kondisi masyarakat pra-industri, dimana laki-laki berperan sebagai hunter (pemburu) dan perempuan sebagai gatherer (peramu). Seperti dilukiskan Nasarudin Umar, ”sebagai pemburu, laki-laki lebih banyak berada diluar rumah dan bertanggung jawab untuk menghasilkan makanan kepada keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dan urusan reproduksi....”.7 Pada masyarakat tradisional, pembagian peran atau kerja seperti ini telah terbukti mampu menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dengan demikian, pembagian peran laki-laki dan perempuan menurut teori ini mutlak diperlukan demi mencapai keharmonisan keluarga dan masyarakat.
Segregasi sosial yang menjadikan dominasi pekerjaan pada sektor publik oleh kaum laki-laki khususnya untuk pekerjaan berat atau kerja kasar, anehnya, dimaksudkan untuk menjaga tugas mulia kaum perempuan (4M). Kaum laki-laki diharuskan secara sosial bekerja keras untuk mencari dan mencukupi nafkah keluarganya, terdiri atas perempuan dan anak-anak. Hubungan patriarkhi yang membagi peran perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, secara turun temurun telah diyakini kebenarannya dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pewarisan budaya tersebut melalui pembiasaan budaya dan adat istiadat sejak anak dilahirkan. Kemudian secara estafet generasi muda menerimanya tanpa kritik dan keraguan.8 Pada akhirnya gender yang dikonstruk secara sosial ini menjadi budaya dominan yang diterima oleh antar-generasi sebagai suatu yang niscaya dan semestinya.
4
Bandingkan Muthali’in, Bias Gender, h. 24
5
Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang
Peran Wanita di dalam Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1985), h. 1-14 6
Stephen K. Sanderson, Sosiologi Makro Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1995), h. 409
7
Umar, Argumen, h. 134
8
2. Teori Kebudayaan (Nurture)
Teori ini disebut teori kebudayaan karena memandang jender sebagai akibat dari konstruksi budaya. Identitas jender dari perempuan dan laki-laki tidak ditentukan oleh kodrat alam, melainkan secara psikologis dan sosial, yang berarti secara historis dan budaya. Teori ini tampaknya sebagai ”bantahan” terhadap teori kodrat alam. Teori nurture tidak setuju bahwa pemilahan dan pembedaan peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan kodrat alam. Faktor biologis tidak menyebabkan laki-laki lebih unggul ketimbang perempuan. Pemilahan sekaligus pengunggulan terhadap laki-laki ketimbang perempuan lebih disebabkan karena elaborasi kebudayaan terhadap kondisi biologis jenis kelamin.9 Dengan demikian pembentukan sifat yang berbeda yang disebut dengan sifat-sifat feminin dan maskulin merupakan hasil dari proses sosial-budaya masyarakat, bahkan lebih khusus dapat dibentuk melalui pendidikan.
Meskipun teori nurture berbeda dengan teori nature, tetapi pandangan terhadap peran sosial laki-laki dan perempuan tetap saja sama. Pemilahan manusia menjadi laki-laki dan perempuan, dan usaha untuk membedakan keduanya dalam posisi dan peranan sosial yang berbeda ini, menurut Budiman, merupakan suatu tindakan yang disengaja. Apa yang disebut sebagai kodrat perempuan adalah hasil buatan, yaitu hasil kombinasi antara tekanan dan paksaan di suatu pihak dengan rangsangan yang tidak wajar sekaligus menyesatkan di pihak lain, khususnya perempuan.10
Teori nurture memandang pembagian peran sosial berdasarkan jenis kelamin sebagai menifestasi dari budaya masyarakat setempat. Dimensi lokalitas itu menyebabkan konstruk budaya tertentu tidak bisa berlaku dan dipaksakan secara universal, melainkan tergantung pada kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Menurut teori ini, terjadinya keunggulan laki-laki terhadap perempuan karena dikonstruksi oleh budaya yang dipengaruhi oleh peluang laki-laki yang lebih besar untuk berperan aktif di dunia luar.11 Peluang ini dimungkinkan karena bergesernya orientasi kepemilikan benda yang bersifat komunal menjadi milik pribadi. Semula rumah tangga dan harta milik yang ada di dalamnya menjadi milik dan tanggung jawab bersama. Perempuan memiliki hak dan kontribusi yang sama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi kelompok/rumah tangganya. Namun, dengan berkembangnya kepemilikan pribadi, kesetaraan itu kemudian bergeser. Laki-laki memiliki peluang lebih besar untuk menguasai materi atau harta milik pribadi, karena laki-laki tidak disibukkan oleh tanggung jawab mengandung, melahirkan, menyusui bahkan mengasuh anak, sehingga laki-laki lebih leluasa bekerja keras untuk meraih dan mengumpulkan uang. Kepemilikan pribadi atas harta milik yang merupakan aset ekonomi itu memungkinkan laki-laki memiliki kontrol terhadap seluruh lingkungan kehidupan sosial budaya yang lain, termasuk kehidupan rumah tangganya. Kondisi ini pada gilirannya laki-laki bukan saja menggenggam harta, tetapi juga memperoleh kekuasaan yang lebih tinggi daripada perempuan.12 Dalam perspektif teori ini, materi atau harta kekayaan turut menentukan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Misalnya raja-raja atau kaum bangsawan pada jaman dahulu dapat menguasai dan mendominasi perempuan bahkan lebih dari satu orang perempuan (istri). Perempuan yang tidak memiliki kontrol terhadap kepemilikan harta, dengan demikian, akan menurut dan sangat tergantung pada laki-laki.
9
Sanderson, Sosiologi Makro, h. 409
10
Periksa Budiman, Pembagian Kerja, h. 4
11
Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 48
12
Secara empirik diketahui laki-laki sering mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk memperebutkan dan mendapatkan kekayaan dan perempuan, seperti berkelahi, berperang, merampok, mencuri, membajak, korupsi dan sebagainya. Dari kondisi seperti ini, lahir peran sosial berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang memiliki akses yang lebih besar terhadap sektor produktif kemudian dikonstruksikan untuk berperan sosial di sektor publik, sedangkan perempuan yang mempunyai tugas 4M dikonstruksikan untuk berperan pada sektor domestik yaitu mengurusi rumah tangga, anak dan melayani laki-laki atau suami.13
Teori kebudayaan yang memandang jender sebagai hasil dari proses budaya masyarakat yang membedakan peran sosial laki-laki dan perempuan sangat banyak pengikutnya. Semua pejuang kesetaraan jender berpandangan bahwa jender bukan kodrati tetapi jender adalah hasil dari proses budaya yang diwariskan secara turun temurun. Implikasinya gender atau pemilahan peran sosial berdasarkan jenis kelamin dapat dipertukarkan, dapat dibentuk dan dapat dilatihkan. Melalui pandangan ini, munculnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender menjadi isu krusial dan mendapat perhatian yang besar.
3. Teori Psikoanalisis
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli psikoanalisa kenamaan, Sigmund Freud. Teori ini berpangkal dari pernyataan Freud tentang penis evny, yaitu perasaan iri terhadap alat kelamin laki-laki. Maksudnya, pada saat anak perempuan pertama kali melihat alat kelamin laki-laki, ia segera menjadi sadar bahwa dirinya memiliki kekurangan sesuatu, atau tidak selengkap yang dimiliki anak laki-laki. Anak perempuan ketika melihat alat kelamin laki-laki memandang sebagai sesuatu yang sempurna dan dapat dibanggakan. Dia menyadari bahwa yang dimilikinya tidak bisa dibanggakan sehingga memunculkan sifat kurang percaya diri, karena tidak memilki kebanggaan seperti yang dimiliki oleh laki-laki. Mulai saat itu pada diri anak perempuan berkembang perasaan rendah diri, malu-malu atau kurang percaya diri karena merasa ada yang kurang pada dirinya, terutama pada saat berhadapan dengan laki-laki. Dari sini muncul kesadaran akan sifat-sifat feminin dan maskulin.
Selanjutnya berdasarkan teori ini, ketika anak perempuan menjadi dewasa, keinginan untuk memiliki kelamin laki-laki berubah menjadi keinginan untuk memiliki bayi. Jika laki-laki berkembang menjadi senang kepada perempuan, pada perempuan berkembang menjadi senang kepada bayi. Berkembangnya rasa kasih sayang yang besar kepada bayi dan anak-anak adalah sebagai kelanjutan dari perasaan adanya kekurangan pada diri perempuan, atau sebagai pengganti dan penghibur kekurangan itu. Kebahagiaan seorang perempuan akan semakin besar jika keinginan memiliki bayi terkabulkan, apalagi bayi yang dilahirkan berjenis kelamin laki. Bayi laki-laki, bagi perempuan, merepresentasikan kelamin yang diidam-idamkannya.14
Berdasarkan teori ini, laki-laki dan perempuan secara psikologis memang berbeda. Teori Freud memandang perbedaan jenis kelamin sebagai awal dari perbedaan perkembangan psikologis antara laki-laki dan perempuan. Selanjutnya perbedaan perkembangan psikologis itulah yang menentukan perbedaan perkembangan perilaku masing-masing. Dari perkembangan perilaku kemudian berkembang kepada pemilihan peran sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Berdasarkan
13
Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 48-49
14
teori ini pemilahan peran publik untuk laki-laki dan peran domestik bagi perempuan merupakan pilihan masing-masing dalam mengekspresikan dirinya.
Perbedaan sifat dari kompleks oedipus dan kompleks kastarsi inilah yang menjadi dasar berbagai perbedaan psikologis dari kedua jenis kelamin. Perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan dalam perkembangannya menghasilkan dinamika kepribadian yang berbeda pula. Sifat feminim dan maskulin menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang secara psikologis memang berbeda.”Sejak anak usia 3-6 tahun perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan perbedaan formasi sosial berdasarkan identitas jender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan”.15
Asumsi dasar teori psikoanalisis ini banyak dikritik. Bahkan banyak kalangan yang menganggap bahwa teori Sigmund Freud ini sangat aneh dan tidak lazim. Pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan ”keirihatian” tidak nyata secara sosial dan dianggap mengada-ada. Kalau perempuan iri terhadap kelamin laki-laki, mengapa laki-laki juga tidak iri terhadap kelamin perempuan yang juga berbeda dengan mereka?
4. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori ini hanya menyoroti bagaimana terjadinya masalah jender itu muncul, dan mengarah kepada Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung pemilahan peran laki-laki dan perempuan bagaimana jender dipermasalahkan. Teori ini memandang bahwa ”masyarakat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan. Masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Apabila kesalahan terjadi fungsi dari salah satu bagian struktur, sistem itu akan melahirkan gejolak”. Dalam kaitan dengan masalah kesetaraan jender yang sedang disuarakan dapat diartikan bahwa dalam struktur masyarakat telah terjadi suatu kesalahan fungsi atau penyimpangan struktur kehidupan masyarakat, sehingga terjadi gejolak. Gejolak itu adalah suatu gejala adanya kesalahan fungsi dan atau struktur kehidupan, dan gejolak itu sendiri merupakan cara untuk mencapai keseimbangan (equilibrium) dan harmoni.16
Teori fungsionalisme struktural memandang bahwa laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari struktur nilai dalam kehidupan di masyarakat. Masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling terkait, masing-masing bagian akan terus menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Munculnya gejolak merupakan indikator adanya kesalahan fungsi dari salah satu bagian struktur nilai di masyarakat. Selama tidak ada gejolak dalam masyarakat, berarti pemilahan peran sosial menurut jenis kelamin perlu dipertahankan. Kondisi ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi harmoni dan keuntungan masyarakat secara keseluruhan. Jadi, menurut teori ini, pembagian peran laki-laki dan perempuan mutlak diperlukan untuk menjaga harmoni dari keseluruhan sistem.17
Perspektif teori ini memandang harmoni dan integrasi sebagai fungsional, bernilai tinggi, dan harus ditegakkan, sedangkan konflik mesti ditinggalkan. Artinya, status
15
Umar, Argumen Kesetaraan, h. 138
16
Baca lebih lanjut mengenai sistem sosial ini dalam Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995)
17
quo harus dipertahankan. Semampang peran laki-laki dan perempuan dalam kondisi integratif dan harmoni, keadaan itu mesti dipertahankan. Apabila terjadi gejolak atau pertentangan dalam memandang pemilahan peran sosial laik-laki dan perempuan, berarti diperlukan pemecahan untuk mencapai equilibrium. Gejolak tersebut sebagai akibat dari adanya kesalahan fungsi dalam struktur atau tatanan kehidupan di masyarakat yang harus segera diselasailkan. Adanya gejolak yang menuntut ’kesetaraan jender’ berarti struktur dan fungsi sosial lama yang berlaku di masyarakat perlu diperbaiki karena dianggap tidak sesuai atau terjadi penyimpangan.18
Berdasarkan pandangan teori ini, kehidupan masyarakat yang normal harus berfungsi dan berstruktur secara normal sehingga akan melahirkan harmoni dalam kehidupan. Apabila terjadi kesalahan fungsi atau struktur kehidupan di masyarakat yang tidak berjalan dengan normal seperti terjadi penyimpangan yang melanggar norma atau aturan maka akan terjadi gejolak. Pada dasarnya gejolak itu sendiri merupakan cara untuk membentuk fungsi dan struktur baru dalam mencapai keseimbangan.
Pemilihan peran sosial antara laki-laki dan perempuan seperti yang terjadi saat ini merupakan pengaturan yang paling baik dan berguna bagi terwujudnya keseimbangan dan harmoni. Berdasarkan teori fungsionalisme struktural, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan apabila mendapatkan harmoni dan dapat menghindarkan gejolak harus dipertahankan. Pemilahan peran sosial antara laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik telah terbukti dapat melahirkan harmoni dalam kehidupan. Sebagai bukti bahwa hubungan patriarkhi telah melahirkan harmoni dalam masyarakat adalah pemilahan peran tersebut masih dipertahankan sampai masyarakat yang bersangkutan memerlukan adanya perubahan yang ditandai dengan adanya gejolak.19
Keluarga merupakan bagian penting dalam masyarakat. Untuk melahirkan harmoni dalam masyarakat diperlukan harmoni dalan kehidupan keluarga, yang ditempuh dengan melakukan pembagian tanggung jawab dan peran antara suami dan istri dalam keluarga yang melahirkan rasa tenang pada keduanya.Harmoni dan ketenangan dalam keluarga akan melahirkan harmoni dan ketenangan dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian, harmoni dalam masyarakat sebagaimana diasumsikan oleh teori fungsional dapat terjadi sebagai akibat adanya pemilahan peran dalam kehidupan berdasarkan jenis kelamin. Dengan kata lain, pemilahan peran secara seksual memang diperlukan untuk menciptakan harmoni masyarakat.
Berdasarkan teori ini, munculnya tuntutan untuk kesetaraan jender dalam peran-peran sosial di masyaarakat sebagai akibat adanya perubahan struktur nilai sosial ekonomi masyarakat. Pada masyarakat pra-industri, laki-laki berperan sebagai pencari nafkah (pangan, sandang dan papan), dan perempuan berperan sebagai pengurus rumah tangga dan anak-anak. Kondisi ini berbeda dengan masyarakat kapitalis, di jaman industrialissasi yang lebih mementingkan materi, kondisi masyarakat sangat tergantung pada uang. Dalam era globalisasi, peran seseorang tidak lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak mempertimbangkan faktor jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh daya saing dan ketrampilan.20
Demikianlah beberapa teori yang sering dipergunakan untuk menjelaskan terjadinya pemilahan peran antara laki-laki dan perempuan. Di antara keempat teori tersebut,
18
Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 52
19
Suryadi & Idris, Kesetaraan Gender, h. 52-53
20
hanya tiga teori yang sering digunakan. Teori psikoanalisis kurang dipertimbangkan karena beberapa asumsi dasar teori ini dianggap kurang lazim dan mengandung problem ontologis dan aksiologis.
Ada beberapa konsep yang mendasari, antara lain:
a. Gender
Pengertian gender termuat dalam Lampiran Inpres No. 9/2000 dinyatakan:
Gender adalah perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang
dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Melihat pengertian di atas, dapat dilihat bahwa pengertian gender dibedakan dengan pengertian seks. Seks sesuatu yang tidak dapat pertukarkan karena itu disebut sebagai kodrat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kodrat dipa-hami sebagai sesuatu yang tidak dihindari, sesuatu yang telah ditentukan, tergariskan sejak awal. Sementara gender menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan atau dibentuk melalui proses belajar (yaitu sosialisasi dan internalisasi). Untuk lebih jelasnya perbedaan antara Seks dan Gender dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Perbedaan antara Seks dan Gender
SEKS GENDER
Nature Nurture
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
Penis Ciptaan Tuhan (Given) Bukan Ciptaan Tuhan
merupakan bentukan/konstruksi manusia Tidak dapat dipertukarkan
(kodrat)
Dapat dipertukarkan dan (bukan kodrat)
Permanen & universal Dapat berubah & tidak universal
Proses alamiah Proses belajar
Sumber: Modul APPHGI , 2006
Bagan I.
Pengertian Kesetaraan Gender termuat dalam Lampiran Inpres No.9/ 2000, yaitu:
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perem-puan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Bagan 2
• Dibuat manusia * Ciri-ciri tersebut terda- • Bisa diubah pat pada laki-laki &
c. Keadilan Gender :
Pengertian Keadilan Gender termuat dalam Lampiran Inpres No.9/2000, dinyatakan:
Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan.
Keadilan Gender ini dimaksudkan untuk mengatasi ketidakadilan gender yang terjadi. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender itu meliputi marginilisasi, subordinasi, pelabelan/stereotip, kekerasan, beban kerja, yaitu21:
1) Marginalisasi
Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang dise-babkan karena jenis kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pe-kerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfo-kuskan pada petani laki-laki.
2) Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menem-patkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan maupun dalam aturan birokrasi yang meletakkan kaum perempuan pada tataran subordinat. Kenyataan memperlihatkan pula bahwa masih ada ma-syarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan diber-bagai kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas belajar atau hendak berpergian keluar negeri harus mendapatkan izin dari suami, tetapi apabila suami pergi ia bisa mengambil keputusan sendiri tanpa harus mendapat izin dari istri.
3) Pelabelan/stereotip
Pelabelan atau penandaan (stereotip) yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan diskrimi-nasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya pandangan ter-hadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya hanya melak-sanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik dan sebagai akibatnya ketika ia berada di ruang pu-blik, maka jenis pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanya merupakan ‘perpan-jangan’ peran domestiknya.
4) Kekerasan
Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata ‘kekerasan’ yang merupakan terjemahan dari ‘violence’ artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja tetapi perko-saan, pemukulan dan
penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat dan negara, misalnya suami membatasi uang belanja dan memonitor pengeluarannya secara ketat. Istri tidak boleh bekerja oleh suami setelah menikah.
5) Beban kerja (double burden)
Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan oleh pe-rempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan do-mestik. Dengan adanya konsep-konsep tersebut di atas, sebenarnya memperlihatkan bahwa jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara “seksual” berada dalam posisi yang tidak sama dan setara.
Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan, itu bukan tidak ada proses menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat dilihat dalam Bagan 3.
Bagan 3
1. Amandemen Undang-undang Dasar tahun 1945, Pasal 27 yang memberikan jaminan adanya persamaan hak dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki didalam hukum maupun pemerintahan. Hal ini dapat di lihat dari ayat (1) yang berbunyi ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Serta ayat (2) yang berbunyi ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB. Tahun 1948 pada Pasal 1 yang berbunyi : ”Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan. Serta pasal 2 yang berbunyi ”Setiap warga berhak atas semua hak dan kebebasan yang tecantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali seperti jenis kelamin”
3. Undang-undang Nomor : 39 tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia (Ratifikasi DUHAM)
4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat (4) yang berbunyi ”Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusahamengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Demikian juga kewajiban hukum dari pemerintahan terhadap hak atas pendidikan mengacu kepada skema 4 – A berikut, yaitu :
a. Availability (Ketersediaan); b. Acceptability (Keberterimaan), c. Adaptability (Kebersesuaian), d. Accessibility (Keterjangkauan)
Accessibility (Keterjangkauan), berarti pemerintah harus menghapuskan praktik-praktik diskriminasi gender dan rasial serta menjamin pelaksanaan hak asasi manusia secara merata.
BAB. III
POLA PENGEMBANGAN MODEL
Pengembangan model integrasi kurikulum kesetaraan gender yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional adalah bagian dari pengembangan kurikulum inovatif.
Model Kurikulum Integrasi Kesetaraan Gender yang dikembangkan dalam kurikulum pendidikan sangatlah perlu karena peserta didik diharapkan dapat memahami secara mendalam tentang pentingnya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan. Upaya yang dilakukan itu untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender (Gender Equity dan Equality).
INTEGRASI KURIKULUM KESETARAAN GENDER
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kesetaraan gender ini sangat penting untuk dipahami oleh peserta didik dari tingkat pendidikan anak usia dini, dan salah satunya di tingkat menengah. Pemahaman kesetaraan gender ini telah tercantum dalam berbagai peraturan nasional, yang juga berakar dari instru-men internasional, sebagaimana termuat dalam:
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang kemudian Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
2. Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
3. Konvensi Anak yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
4. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutaman Gender dalam Pembangunan Nasional.
A. Prinsip-prinsip Pengembangan
Kesetaraan gender yang terdapat di dalam peraturan tersebut, perlu dipahami oleh peserta didik melalui kurikulum, bisa tertuang dalam mata pelajaran secara mandiri ataupun terintegrasi ke dalam mata pelajaran yan sudah ada. Masing-masing tentu saja memberikan dampak yang berbeda-beda. Kalau dilihat dari padatnya mata pelajaran yang telah diberikan kepada siswa SLTP dan SLTA sudah begitu banyak, maka konsep kesetaraan gender ini sebaiknya terintegrasi, dengan berbagai alasan, antara lain:
1. Model yang dikembangkan terintegrasi melalui mata pelajaran 2. Tidak merubah struktur kurikulum yang berlaku
3. Tidak menambah alokasi waktu yang tersedia 4. Materi yang dikembangkan kontekstual dan faktual
5. Nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender dapat diintegrasikan atau dirumuskan kedalam indikator atau kegiatan pembelajaran
B. Nilai-nilai Kesetaraan Gender yang dapat diintegrasikan dalam KTSP, antara lain :
C. Langkah-langkah Pengembangan
1. Merumuskan : Visi, Misi, Tujuan Sekolah, dan Pengembangan Diri yang menceramin-kan KTSP berbasis kesetaraan gender.
2. Mengkaji SK-KD pada standar isi yang dapat diintegrasikan oleh nilai-nilai kesetaraan gender dari masing-masing mata pelajaran
BAB. IV
PELAKSANAAN DAN IMPLIKASI PENGEMBANGAN MODEL
A. Pelaksanaan
Pelaksanaan pengembangan model dimulai dengan menyusun perencanaan dengan mengakomodir konsep-konsep kesetaraan gender yang akan di rumuskan kedalam penyusunan silabus dan RPP.
Nilai-nilai kesetaraan gender dapat dijabarkan kedalam materi, metode, media, sumber belajar, bahan ajar, dan evaluasi dengan pendekatan individu/kelompok/klasikal
B. Implikasi
Contoh Model Integrasi Kurikulum Kesetaraan Gender Jenjang
Pendidikan Menengah
Contoh: Kesetaraan Gender dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)
A. Latar Belakang
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial. Tuntutan visi ini mendorong dikembangkannya standar kompetesi sesuai dengan jenjang persekolahan yang secara nasional ditandai dengan ciri-ciri:
1. lebih menitik beratkan pencapaian kompetensi secata utuh selain penguasaaan materi; 2. mengakomodasikan keragaman kebutuhan dan sumber daya pendidikan yang tersedia;
3. memberiklan kebebasan yang lebih luas kepada pendidik di lapangan untuk mengembangkan strategi dan program pembelajaran seauai dengan kebutuhan dan ketersedian sumber daya pendidikan.
B. Tujuan
Pendidikan Agama Islam di SMA/MA bertujuan untuk:
1. menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT;
2. mewujudkan manuasia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi aspek-aspek sebagai berikut. 1. Al-Qur’an dan Hadits
2. Aqidah 3. Akhlak 4. Fiqih
5. Tarikh dan Kebudayaan Islam
Islam menempatkan posisi perempuan yang sama posisi laki-laki, antara lain:
1. Dari hakikat kemanusiaan, Islam memberi sejumlah hak yang sama kepada perempuan dalam rangka peningkatan kualitas kemanusiaannya. Hak tersebut antara lain waris (QS.
An Nisa/ 4:11), persaksian (QS. Al.Baqarah/ 2:282), aqiqah (QS. At- Taubah/ 9:21)
2. Islam mengajarkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki mendapat pahala yang sama atas amal saleh yang dibuatnya. Sebaliknya laki-laki dan permpuan memperoleh azab yang sama atas pelanggaran yang diperbuatnya
3. Islam tidak mentolerir adanya perbedaan dan perlakuan tidak adil antara umat manusia
(QS.Al-Hujurat/49:21)
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Kelas X, Semester 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Al-Qur’an
1. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang manusia dan tugasnya sebagai khalifah di bumi.
1.1 Membaca QS Al-Baqarah; 30, Al-Mukminun; 12-14, Az-Zariyat; 56 dan An Nahl : 78
1.2 Menyebutkan arti QS Al-Baqarah; 30, Al-Mukminun; 12-14, Az-Zariyat; 56 dan An Nahl : 78.
1.3 Menampilkan perilaku sebagai khalifah di bumi seperti terkandung dalam QS Al-Baqarah;30, Al-Mukminun; 12-14, Az-Zariyat; 56 dan An Nahl : 78.
2. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an tentang keikhlasan
dalam beribadah. 2.1 Membaca QS Al An’am; 162-163 dan Al-Bayyinah; 5. 2.2 Menyebutkan arti QS Al An’am;162-163 dan
Al-Bayyinah; 5.
2.3 Menampilkan perilaku ikhlas dalam beribadah seperti terkandung dalam QS Al An’am;162-163 dan Al-Bayyinah; 5.
Perempuan maupun laki-laki mendapat pahala yang sama atas amal saleh yang dibuatnya
Aqidah
3. Meningkatkan keimanan kepada Allah melalui pemahaman sifat-sifatNya dalam Asmaul Husna
3.1 Menyebutkan 10 sifat Allah dalam Asmaul Husna. 3.2 Menjelaskan arti 10 sifat Allah dalam Asmaul Husna. 3.3 Menampilkan perilaku yang mencerminkan keimanan
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Akhlak
4. Membiasakan perilaku terpuji
4.1 Menyebutkan pengertian perilaku husnuzhan. 4.2 Menyebutkan contoh-contoh perilaku husnuzhan
terhadap Allah, diri sendiri dan sesama manusia. 4.3 Membiasakan perilaku husnuzhan dalam kehidupan
sehari-hari.
Fiqih
5. Memahami sumber hukum Islam, hukum taklifi, dan hikmah ibadah.
5.1 Menyebutkan pengertian kedudukan dan fungsi Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam
5.2 Menjelaskan pengertian, kedudukan dan fungsi hukum taklifi dalam hukum Islam
5.3 Menerapkan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari.
Tarikh dan Kebudayaan Islam
6. Memahami keteladanan Rasulullah dalam membina umat periode Makkah.
6.1 Menceritakan sejarah dakwah Rasullah SAW periode Makkah.
6.2 Mendeskripsikan substansi dan strategi dakwah Rasullullah SAW periode Makkah
Kelas X, Semester 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Al Qur’an
7.2 Menyebutkan arti QS Ali Imran 159 dan QS Asy Syura; 38.
7.3 Menampilkan perilaku hidup demokrasi seperti terkandung dalam QS Ali Imran 159, dan QS Asy Syura; 38 dalam kehidupan sehari-hari.
Perempuan juga dapat ikut serta dalam demokrasi dilihat hak politik perempuan
Aqidah
8. Meningkatkan keimanan kepada Malaikat.
8.1 Menjelaskan tanda-tanda beriman kepada malaikat.
8.2 Menampilkan contoh-contoh perilaku beriman kepada malaikat.
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Akhlak
9. Membiasakan perilaku terpuji bagi laki-laki dan perempuan muslim
9.1 Menjelaskan pengertian adab dalam
berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu, dan atau menerima tamu.
9.2 Menampilkan contoh-contoh adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu atau menerima tamu.
9.3 Mempraktikkan adab dalam berpakaian, berhias, perjalanan, bertamu dan atau
menerima tamu dalam kehidupan sehari-hari.
10. Menghindari Perilaku Tercela
10.1 Menjelaskan pengertian hasad, riya, aniaya dan diskriminasi
10.2 Menyebutkan contoh perilaku hasad, riya, aniaya dan diskriminasi
10.3 Menghindari hasad, riya, aniaya dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari
Fiqih
11. Memahami hukum Islam tentang zakat, haji dan wakaf.
11.1 Menjelaskan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat, haji dan waqaf.
11.2 Menyebutkan contoh-contoh pengelolaan zakat, haji dan wakaf.
11.3 Menerapkan ketentuan perundang-undangan tentang pengelolaan zakat, haji dan wakaf.
Tarikh dan Kebudayaan Islam 12. Memahami keteladanan
Rasulullah dalam membina umat periode Madinah.
12.1 Menceritakan sejarah dakwah Rasullah SAW periode Madinah.
Daftar Pustaka
Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum Berperspektif Gender se Indonesia. Modul Hukum dan Gender, Jakarta, 2006
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Modul, Jakarta, 2001
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
Konvensi Anak
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutaman Gender dalam Pembangunan Nasional.