• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /ProdukHukum/kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /ProdukHukum/kehutanan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PEMANENAN KAYU HUTAN RAKYAT DI DAERAH CURAM

Oleh :

Wesman Endom, Sukanda dan Dulsalam 1)

ABSTRAK

Kebun kayu milik rakyat atau hutan rakyat kini memiliki peran penting dalam menunjang

kebutuhan penghara industri perkayuan. Namun potensi ini belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya

karena kesulitan cara mengeluarkannya, terutama pada daerah yang aksesnya rendah dan topografi

berat.

Saat ini telah tersedia rekayasa alat untuk pengeluaran kayu di daerah sulit yang memiliki

akses rendah dan lereng curam, yaitu dengan menggunakan sistem gaya berat atau GSS, namun

teknik ini terbatas pada pengeluaran kayu ke arah bawah lereng. Untuk ke arah atas lereng, hasil

rekayasa alat berupa Expo-2000 yang digerakan menggunakan mesin diesel 24 PK, memperlihatkan

hasil uji coba dengan produktivitas antara 5-19 m3. hm/jam atau sekitar 30-50 m3 per hari,

tergantung jarak, ukuran kayu dan model lapangan. Biaya pengeluaran kayu dengan cara tradisional

pada medan berat cukup mahal antara Rp 25-80 ribu per m3, dengan GSS sekitar Rp 4-6 ribu per

m3 dan sekitar Rp 12 -15 ribu per m3 dengan Expo-2000.

Kata kunci: Medan sulit, pengeluaran kayu,Expo-2000, GSS, produktivitas dan biaya, hutan

rakyat

I. PENDAHULUAN

Saat ini kebutuhan kayu nasional tidak bisa lagi dipasok hanya dengan

mengandalkan pada pengusaha Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK

dulu HPH). Hal ini tiada lain karena telah terjadi inefisiensi di dalam pengelolaan hutan

alam karena berbagai sebab antara lain: penebangan dan perambahan liar, kebakaran

hutan, konversi lahan, penebangan cuci mangkok dan atau penebangan di luar blok

yang dilakukan para pengusaha hutan itu sendiri. __________________

(2)

Menghadapi kenyataan itu, upaya pemenuhan kebutuhan kayu nasional yang

mencapai lebih dari 60 juta m3/tahun dengan kecenderungan terus meningkat,

mendorong keberadaan hutan tanaman dan hutan rakyat menjadi semakin penting

peranannya. Oleh karena itu, pemerintah terus mengantipasi laju percepatan

pembangunan kedua hutan tersebut. Untuk pengelolaan hutan alamnya sendiri, kini

diambil kebijakan yang lebih konservatif, yaitu dengan melakukan penurunan jumlah

volume tebangan tahunan (soft landing) dengan tujuan agar proses pemulihan (recovery)

tegakan tinggal berlangsung dengan baik untuk menghasilkan potensi dan kondisi hutan

alam seperti semula, sehingga di masa depan dapat dibenahi praktek pengelolaan hutan

alam yang lebih baik.

Khusus mengenai potensi di luar kawasan hutan, yakni berupa kebun kayu

campuran milik masyarakat, yang selanjutnya disebut ”Hutan Rakyat”, sebenarnya bila

dilihat dari kekayaannya (jenis dan volume, cukup potensial) potensial untuk memasok

kebutuhan penghara industri kayu. Namun sayang, potensi ini masih belum dapat

termanfaatkan secara optimal karena beberapa permasalahan: (1) Kondisi lapangan yang

berat, (2) tidak ada/sulit akses kendaraan, (3) lokasi terpencar dengan keragaman jenis

dan ukuran yang cukup tinggi, (4) biaya pengeluaran kayu tinggi, (5) nilai jual belum

menjanjikan dan (6) keterbatasan dalam teknologi pemanenan dan (7) sifat dasar (sifat

fisik, mekanik , kimia dan pemanfaatan/pengerjaan) belum sepenuhnya tergali.

Dalam makalah ini disampaikan kajian efisiensi dan efektivitas pemanenan kayu

hutan rakyat di daerah curam, dengan kekhususan pengamatan di Jawa Barat. Kajian

khusus ini diangkat mengingat hingga kini hutan rakyat potensinya banyak tersebar di

daerah-daerah yang tergolong sulit dengan aksesibilitas rendah sehingga masih sedikit

sekali dilakukan pemanfaatannya. Saat ini telah tersedianya teknologi hasil perekayasaan

yang dibangun melalui serangkaian uji coba, sehingga diharapkan kesulitan pengeluaran

kayu asal hutan rakyat di daerah curam dan aksesiblititas rendah dapat diantisipasi

dengan baik, aman, murah dan efektif.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Di wilayah Jawa Barat gambaran keberhasilan pengusahaan hutan rakyat cukup

(3)

Pada Tabel 1 dapat dilihat pada tahun 2004 produksi kayu yang berasal dari

hutan rakyat di 16 Kabupaten di Jawa Barat, sebesar 293.355 m3 terdiri dari kayu

sengon/albizia, mahoni, jati, pinus dan jenis campuran. Kayu mahoni ternyata banyak

juga dihasilkan dari hutan rakyat yaitu sebesar 104.478 m3, kemudian kayu

sengon/albizia dan jati diurutan ke 2 dan ke 3 masing-masing sebesar 103.816 m3 dan

59.058 m3.

Tabel 1. Produksi kayu hutan rakyat di Propinsi Jawa Barat tahun 2004

No Kabupaten Albizia Mahoni Jati Pinus Campuran Jumlah

1. Sumedang 276 11.976 192 - - 12.444

2. Indramayu - - 1.682 - - 1.682

3. Bogor 651 68 5 67 349 1.140

4. Ciamis 81.578 62.235 16.640 490 365 161.308

5. Cianjur 2.370 1.814 12.433 444 1.209 18.270

6. Tasikmalaya 15.968 8.514 5.133 4.167 749 34.531

7. Cirebon - - 1.130 - - 1.130

8. Karawang - - - - 7.495 7.495

9. Majalengka 18 4.986 4.235 1.161 100 10.500

10. Purwakarta - - 169 - 17 186

11. Sukabumi 336 5.808 7.358 2.383 1.323 17.208

12. Garut 2.151 253 1.813 928 2.434 7.579

13. Bandung 20 2 7 1.718 - 1.747

14. Subang - 28 661 258 21 968

15. Kuningan 15 5.390 6.173 106 19 11.703

16. Banjar 433 3.604 1.427 - - 5.464

Jumlah 103.816 104.478 59.058 11.722 14.081 293.355

Sumber : Dinas Kehutanan propinsi Jawa Barat (2005).

Dari 16 Kabupaten produsen kayu asal hutan rakyat, Kabupaten Ciamis paling

banyak menghasilkan yaitu sebesar 161.308 m3 dengan jenis kayu sengon (Albizia sp)

sebagai jenis yang utama sebesar 81.578 m3. Kabupaten Tasikmalaya termasuk penghasil

kayu hutan rakyat yang cukup besar setelah Kabupaten Ciamis yaitu sebesar 34.531 m3,

dengan dominasi jenis kayu sengon sebesar 15.968 m3. Sementara itu kabupaten yang

paling sedikit memproduksi kayu hutan rakyat adalah Kabupaten Purwakarta. Di

Indonesia tidak kurang dari 250.000 ha luas hutan rakyat dan mengahasilkan kayu bulat

sedikitnya tiga juta m3 per tahun. Di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur secara

berurutan luas hutan rakyat adalah 45.000 ha, 180.000 ha dan 70.000 ha, dengan jenis

(4)

Di Propinsi Jawa Barat sendiri, lebih dari setengah wilayahnya tergolong pada

bentang alam bukan tanah datar, bahkan menurut Balai Rehabilitasi Lahan dan

Konservasi Tanah (BRLKT), sekitar 1.821.751 ha keadaan medan di Jawa Barat

memiliki kemiringan lapangan 15% ke atas dan 491.926 ha lainnya, tercatat dengan

kemiringan lapangan di atas 40%, sehingga cukup rawan bila lahannya tidak tertutup

dengan vegetasi (Mulyana, 2002).

Salah satu model hutan rakyat hasil swadaya lainnya yang cukup berhasil

dibangun berada di Propinsi Lampung. Jenis komoditinya antara lain damar, jati, mahoni,

maesopsis, sonokeling dan albizia. Lokasinya berada di daerah datar atau bergelombang,

sedang hasil dari daerah berbukit-bukit (curam) tidak diperoleh data. Hasil pendapatan

model hutan rakyat yang ada disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Pendapatan petani per tahun dan besarnya sumbangan hasil penjualan kayu

Jenis usaha Pendapatan Jumlah Rata-rata

Payung Dadi Sendang

mukti

Sri menanti

Rp % Rp % Rp % Rp % Rp %

Sawah 869.750 36 1.793.700 45 960.000 35 3.623.450 116 1.207.817 39

Pekarangan 214.450 9 207.350 5 114.544 4 536.344 18 178.781 6

Kebun darat 384.250 16 1.630.000 42 1.642.656 60 3.657.806 118 1.219.270 39

Hutan rakyat 906.375 38 229.300 5 2.010.468*) - 2.717.200 43 2.984.425

*) tidak dijumlahkan dengan hasil pendapatan kayu, Sumber Widiarti dkk (1997)

Dapat dilihat dari berbagai kayu-kayuan yang ditanam mendapatkan hasil cukup

dari senilai Rp 229.300 di Sendang mukti dan Rp. 2.010.468 Desa Sri menani. Dari

kedua gambaran ini dapat dikatakan bahwa untuk Jawa Barat lebih dari setengah

wilayahnya dan mungkin di daerah lainnya dapat menjadi sumber pasokan kayu.

Gambaran bagaimana contoh foto hutan rakyat yang cukup baik dan berhasil dalam

meningkatkan manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan dapat dilihat seperti yang ada di

(5)

(6)

III. FAKTA LAPANGAN

Adalah kenyataan yang tak dapat disangkal bahwa hutan rakyat dapat menjadi

sumber pendapatan penting baik bagi masyarakat, pengusaha maupun pemerintah

daerah, bila dapat dibangun dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Namun sangat

disayangkan untuk mencapai ke arah hutan rakyat yang terkelola dengan sistem

pengelolaan yang baik, agaknya masih perlu waktu yang tidak mudah untuk dipecahkan.

Masalahnya adalah:

1). Banyak areal hutan rakyat juga berada di wilayah dengan aksesibilitas sulit

2). Banyak areal hutan rakyat berada di daerah berlereng curam dan rawan longsor

3). Banyak kayu rakyat yang juga berukuran besar (> diameter 40 cm) sehingga

pengeluaran kayu dengan cara konvensional tidak bisa dilakukan.

4). Banyak jenis kayu hutan rakyat yang hingga saat ini belum memiliki nilai atau harga

jual menjanjikan dikarenakan masih belum banyak orang menggunakannya.

5). Ada jenis kayu yang masyarakat tidak bersedia untuk dijadikan komoditi pasar yang

diperjual belikan karena ketakutan dituduh hasil dari menebang di lahan kawasan

hutan.

6). Khusus di Jawa Barat saat ini ada rencana Pemerintah Daerah untuk membuat

Peraturan Daerah (Raperda) mengenai perluasan kawasan lindung mencapai 45%

dari luas daratan Jawa Barat pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan lereng

lebih dari 40%.

Melihat potensi maupun pembatas yang ada maka pengelolaan hutan rakyat

perlu ada pedomannya (Haeruman, 1995). Namun menurut Haeruman (1995) masalah

yang dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat dapat dikelompokan kedalam tiga sub

sistem, yaitu :

1. Sub sistem produksi, yaitu belum adanya persatuan antara pemilik hutan rakyat

menyebabkan keputusan tergantung pada masing-masing pemilik sehingga

kontinuitas produksi sulit dicapai. Sistem silvikultur belum sepenuhnya diterapkan,

seperti penggunaan bibit unggul, pengaturan jarak tanam dan pemeliharaan sehingga

pertumbuhan pohon dan mutu batang yang dihasilkan kurang baik.

2. Sub sistem pengolahan hasil, pada umumnya masih belum ada usaha untuk

(7)

yang sederhana. Kurangnya pengetahuan rakyat dalam mengolah kayu menyebabkan

mutu kayu olahan yang dihasilkan masih rendah.

3. Sub sistem pemasaran hasil, pada umumnya sebagian besar petani hutan rakyat

masih sangat rendah pengetahuannya dalam hal memasarkan hasil-hasil kayunya.

Para petani menjual kayu saat pohon masih berdiri kepada para pengumpul di desa.

Kayu yang masih berdiri ditaksir oleh pembeli setelah itu transaksi jual beli kayu

baru terjadi. Harga yang disepakati ditentukan sepihak oleh pembeli. Hal ini terjadi

karena kurangnya pengetahuan pemasaran kayu sehingga merugikan pihak petani.

Dengan kondisi seperti itu, yang diperlukan ialah bagaimana teknik pengeluaran

kayu hutan rakyat dapat diantisipasi agar potensi yang sebenarnya cukup tinggi mampu

dikeluarkan dan dikelola secara efisien dan efektif. Efisien dalam arti biaya yang

diperlukan untuk mengeluarkan sortimen kayu rendah atau minimal tidak berbeda

banyak dengan upah yang berlaku umum, dan efektif dalam arti teknologi tersebut

mampu, mudah dan aman dioperasikan dengan capaian hasil tinggi dengan waktu sedikit.

Dengan kata lain satuan hasil yang keluar untuk jarak hm tertentu, volume kayu yang

terangkut besar, cepat dan murah.

Hasil pengamatan lapangan memperlihatkan bahwa biaya pengeluaran kayu

sangat tergantung kepada jenis kayu, ukuran (diameter dan panjang), jarak pikul, tingkat

kesulitan lapangan, aksesibilitas dan musim. Semakin jauh jarak, semakin tinggi

tingkat kesulitan dan semakin mahal nilai jual kayu maka semakin mahal biaya

pengeluaran kayu tersebut. Dan sebaliknya.

Menurut Wasono (1965), prestasi kerja pengumpulan dan muat bongkar kayu

adalah seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Prestasi kerja pengumpulan dan muat bongkar cara manual Memikul gelondongan

(4 jam efektif /hari) No Jenis produksi

kayu Jenis jati (m3) Jenis rimba (m3) Mendorong lori (Jarak-10 km) Muat bongkar (m3)

Kayu kasar tidak bernomor

4,8 – 4,2 11,3 – 9,0 0,7 – 0,3 m3 (Kp)

3,1 – 2,9 m3

Kayu kasar bernomor

1,1 – 0,8 12,8 – 5,1 1,2 – 0,6 sm (Kb)

1,7 - 0,7 m3

Kayu kasar 2,5 – 1,8 11,7 – 11,2 sm 10,4 – 5 sm

Sumber : Wasono (1965)

(8)

Sementara itu dari hasil analisis pemanenan di hutan rakyat diketahui bahwa

kegiatan pemanenan adalah menjadi tanggung jawab penebas/pengepul karena petani

sebagian besar menjual dalam bentuk pohon. Hasil yang diperoleh memberikan

gambaran sebagai berikut

Tabel 4. Biaya dan produktivitas kegiatan pemanenan di hutan rakyat

Jenis kegiatan Produktivitas Biaya

(Rp/m3)

Keterangan

m3/jam m3/hari

A. Penebangan 1. Manual

a. Kapak 1,500 6,75 5333,30 3 HOK

b. Kapak & gergaji tangan

1,790 8,.54 4469,75 3 HOK

2. Chainsaw 2,450 14,144 7353,0 2 HOK

B. Penyaradan 0,158 0,897 13,375,25 1 HO, jarak 1,29 km

0,450 2,512 4,777,90 1 HOK jarak 0,12 km

C. Pengangkutan 4,392 22708 836700 4 HOK jarak 5,2 km

Sumber : Mulyadi (2002)

Hasil pengamatan lain pengumpulan kayu dengan cara dipikul dilakukan untuk

12 kali ulangan pada medan curam memperlihatkan gambarannya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Prestasi kerja pengumpulan kayu dengan cara manual dipikul No Ø

(cm) Panjang (cm) Volume (m3) Persiapan (detik) Pengump. (detik) Kembali. (menit) Jumlah (menit) Jarak (m) Jumlah (btg) Keterangan

1 34 340 0,25 2:55 12:17 7.02 22,23 150 1 4 Org

2 23 220 0,09 2:13 8:13 6.56 17,37 150 1 2 Org

3 23 230 0,10 2:25 7:50 6.56 17,18 150 1 2 Org

4 24 220 0,10 3:00 7:12 6.36 16,80 150 1 2 Org

5 21 200 0,07 2:55 6:59 6.35 16,48 150 1 1 Org

6 19 180 0,05 2:59 7:00 6.34 16,55 150 1 1 Org

7 30 230 0,16 1:04 11:57 6.32 19,55 150 1 4 Org

8 17 380 0,09 1:25 12:17 7.18 21,00 150 1 4 Org

9 20 350 0,11 :49 10:58 8.10 19,95 150 1 4 Org

10 10 150 0,01 2:56 15:15 7.56 26,12 150 1 4 Org

11 31 240 0,18 2:10 12:50 7.36 22,60 150 1 2 Org

12 17 410 0,09 3:40 12:59 7.26 24,08 150 1 2 Org

Rata-rata 0,11 20,0

Produktivitas kerja

(9)

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa prestasi kerja dengan cara pikul adalah

sebesar 0,49 m3.hm/jam. Bila waktu kerja efektif per hari 6 jam; maka volume kayu

yang dapat dikumpulkan sebanyak ± 3 m3 per hari. Pada kenyataan, cara manual malah

semakin menurun produktivitasnya seiring makin lesunya tenaga. Apalagi lapangan yang

dihadapi harus naik turun bukit dengan kelerengan mendekati 400, sehingga jangankan

membawa beban, jalan tanpa bebanpun sudah merasa kepayahan. Bahkan, berdasarkan

hasil wawancara dengan masyarakat diperoleh informasi bahwa cara pikul yang

dilakukan sendiri maupun rombongan, pada medan seperti di atas biasanya tidak lebih

dari 7 kali sehari. Berarti sebenarnya kemampuan dengan cara manual per orang tidak

lebih dari sekitar 0,1-0,17 m3/hari-orang. Biaya pemikulan yang sudah dibuat menjadi

balok biasanya tergantung jarak dan ukuran kayu, dan dengan biaya per sekali pikul

sebesar Rp 3000,- per balok ukuran 20 x 20 x 250 cm. Berarti pendapatan sehari tidak

lebih dari Rp 15.000 – Rp 25.000 per orang. Pendapatan sebesar itu tentu jauh dari

kebutuhan hidup untuk keperluan makan, minum sekeluarga, biaya sekolah, biaya

transportasi, kesehatan dan lain-lainnya. Oleh karena itu, untuk medan yang sulit serta

jarak pikul cukup jauh, sebaiknya cara pengumpulan kayu menggunakan alat bantu.

IV. TEKNOLOGI MADYA PENGELUARAN KAYU

A. Expo-2000

Alat ini dibangun pada awalnya hanya sebagai alat muat bongkar namun

kemudian dikembangkan menjadi alat ekstraksi kayu baik dengan jalan di sarad maupun

sistem kabel layang (skyline system) yang sangat sesuai untuk digunakan pada medan sulit,

dimana banyak ditemukan juga pada hutan rakyat.

Percobaan yang secara khsusus di hutan rakyat belum banyak dilakukan

secara intensif sebagaimana di lahan hutan. Percobaan yang pernah dilakukan di hutan

rakyat dilaksanakan di Kampung Ciguha, Desa Jampang Tengah, Kecamatan Bojong

Lopang, Kabupaten Sukabumi. Hasil uji coba kegiatan tersebut dan tampilan

kemampuan alat hasil rekayasa disajikan pada Gambar 2 dan 3. Sedangkan produktivitas

yang tercapai pada saat kegiatan penelitian ini dilakukan pada tahun 2003 disajikan pada

(10)

Tabel 6. Rata-rata waktu dan produktivitas kerja alat Expo-2000 Volume

penarikan (m3)

Kelompok Waktu yang diperlukan (menit)

Produktivitas kerja (m3.hm/jam)

Selisih produktivitas ( m3.hm/jam)

Selisih waktu terhadap kelompok I

(menit)

< 0,1 I 6,39 0,712398 2,526908

0,1-0,2 II 6,45 1,415326 1,823981 0,06

0,2-0,3 III 6,91 2,548109 0,691197 0,52

>0,3 IV 7,54 3,239307 1,15

Sumber : Endom (2004)

Dari Tabel 6 diketahui bahwa waktu yang diperlukan untuk menarik sortimen

kayu tampak tidak jauh berbeda, berkisar antara 6-7 menit per rit. Artinya, waktu yang

diperlukan untuk menarik kayu kelompok I dengan volume < 0,1 m3 sampai dengan

kelompok IV dengan volume > 0,3 m3 tidak jauh berbeda. Hal ini terjadi karena

pergerakan mesin relatif konstan, dan kegiatan ekstraksi dilakukan dengan tekanan gas

dan kecepatan yang sama dan tetap pada gigi 3.

Tempat pengumpulan kayu/ Panggung bawah

Tinggi 2m

Lembah

(11)

Bentangan mendatar lembah ± 150 m

Pesawahan

± 35 m

parit ± 2m Panggung atas

Bentangan kabel utama

Bentangan kabel penarik Panggung bawah

Sortimen kayu/ Jembatan bamboo

Sungai ± 12 m

Gambar 2. Skema profil keadaan lapangan pengoperasian alat Expo-2000

Dari Tabel 6 diketahui pula bahwa sekalipun ada penambahan waktu seiring

beban muatan yang semakin bertambah, namun selisih waktu yang diperlukan sangat

kecil, dengan perbedaan waktu penarikan untuk kelompok volume < 0,1 m3 dengan

volume 0,1 s/d 0,2 m3,; 0,2 s/d 0,3 m3 dan > 0,3 m3 masing-masing secara berurutan

hanya 0,06 menit; 0,52 menit dan 1,15 menit. Ini berarti sebenarnya produktivitas

dengan manarik kayu yang lebih besar jauh lebih tinggi hasilnya dibanding menarik yang

lebih kecil karena beda waktu tidak begitu besar.

Berdasarkan fakta itu, maka dapat dikatakan bahwa alat Expo-2000 akan

menjadi lebih efisien bila volume kayu yang ditarik berukuran besar (> 0,3 m3 per trip),

karena waktu yang dibutuhkan hanya menambah waktu sekitar 1,15 menit saja. Apabila

itu yang terjadi maka bila sehari dilakukan kegiatan ekstraksi selama 8 jam kerja; berarti

produktivitas kerja per hari dapat mencapai 8 x 3,24 m3 = 25,92 m3/hari. Sedang

dengan jam kerja efektif 6 jam/hari maka produktivitas kerjanya hanya mencapai 19,44

m3/hari. Sedangkan biaya pengumpulan kayu dengan waktu kerja efektif 6 jam/hari

(12)

B. Sistem kabel gaya berat (Gravity Skyline System, GSS)

Sistem ini serupa dengan sistem kabel layang dengan tenaga penggeraknya

menggunakan gaya gravitasi sehingga tidak bisa dilakukan untuk mengeluarkan kayu ke

arah atas bukit. Uji coba yang belum lama ini dilakukan bertempat di Warung Banten,

Kecamatan Bayah, Kabupaten Rangkasbitung.

Hasil uji coba pengamatan memperlihatkan bahwa pada medan yang curam

dengan hanya ada jalan setapak yang licin sangat sulit bila dilakukan dengan cara manual,

karena tenaga untuk pemikulan sudah habis saat sampai di lokasi tebangan yang berjarak

hampir 700 m. Kalaupun bisa dilakukan produktivitasnya sangat rendah.

Dari pengalaman pada pengeluaran kayu di medan berat diketahui bahwa

sekalipun teknologi pengeluaran kayu dengan sistem kabel cukup efektif, namun harus

dipersiapkan dengan matang karena beberapa hal berikut :

1) Agar tidak terjadi setting kabel dua kali yang dapat memboroskan waktu, tenaga dan

biaya maka panjang kabel harus cukup memadai panjangnya. Misal untuk panjang

bentang 1,0 km atau 1,5 km; atau kurang, karena situasi medan dapat

mempengaruhi dan memperingan pekerjaan.

2) Akan lebih baik juga dapat dilengkapi dengan mesin penarik kabel, khususnya kabel

utama karena pekerjaan ini yang paling berat dan sulit.

3) Tenaga pembantu yang cukup terlatih sehingga pekerjaan lapangan tidak banyak

yang harus saling menunggu.

4) Sarana dan prasarana sistem GSS termasuk handy talky untuk membantu kemudahan

dalam komunikasi agar kegiatan dapat berlangsung dengan lancar dan aman

mengingat jarak antar operator GSS dengan tempat peluncuran kayu cukup jauh

dan seringkali terhalang

5) Adanya pengertian di masyarakat yang saling mendukung dalam arti karena jalur

kabel tidak dalam satu pemilikan, maka harus ada pembebasan pepohonan bila jalur

terpaksa melewatinya, yang berarti biaya.

Berdasarkan pengalaman di Bayah, setting kabel memerlukan waktu hampir

seminggu dan itupun terpaksa harus melakukan setting kabel 2 kali karena kabel tidak

mencukupi panjangnya. Produktivitasnya setelah setting dapat dilakukan dengan baik

sebanyak ± 50 m3 untuk selama 5 hari kerja dan dua kali setting. Dipukul rata prestasi

(13)

sekitar 5 m3.hm/jam, dengan catatan kayu yang dikeluakan sudah terkumpul di tempat

peluncuran.

Bila kegiatan pengumpulan kayu dilakukan 6 jam kerja sehari; berati

produktivitas kerjanya adalah 2,5 m3.hm/jam. Suatu jumlah yang pada dasarnya dapat

ditingkatkan bila tenaga kerjanya bertambah. Misal untuk tenaga pengumpul jadi 6-10

orang., dan tenaga pembantu yang merapikan hasil pengeluaran kayu juga 6 -10 orang.

Dengan kelipatan tersebut diharapkan produktivitas naik hingga 3 kali lipat lebih.

Mengenai biayanya untuk proses pengeluaran kayu adalah sebesar Rp 50.000/m3.

Biaya ini lebih murah dibanding cara konvensional yang mencapai Rp 60-85 ribu/m3

dan produktivitasnyapun rendah.

Dalam percobaan yag lain di daerah hutan yaitu di KPH Sukabumi, KPH lawu

dan KPH Pekalongan Barat, hasilnya menunjukkan bahwa dengan menggunakan tenaga

keja 6-7 orang pada kemiringan lapangan 100, 150 , 200 dan 250 prestasi kerjanya pada

jarak 250 m adalah rata-rata 1,53 m3, 1,92 m3 , 2,27 m3 dan 1,98 m3 per jam. Sedangkan

biayanya secara berurutan masing-masing sebesar Rp 723,89/m3, Rp 455,30/m3, Rp

574,40/m3, dan Rp 552,67 /m3. Untuk jarak sarad 500 m, masing-masing sebesar Rp

671,56/m3, Rp 534,25/m3, Rp 472,96/m3, dan Rp 517,82 /m3 (Anonim, 1982).

Dari gambaran di atas terlihat bahwa bila nilai itu dihitung dengan perbandingan

US$ 1 saat itu sama dengan Rp 1.000; berarti untuk saat ini telah terjadi kenaikan

sebesar 9 kali lipat. Dengan demikian biaya pengeluaran kayu dengan sistem GSS pada

jarak 250 m setara dengan 6.5150,01/m3, Rp 4.097,0/m3, Rp 5.169,60/m3, dan Rp

4.9740,03 /m3. Sedangkan untuk jarak sarad 500 m masing-masing sebesar Rp

6.044,04/m3, Rp 4.808,25/m3, Rp 4.2566,64/m3, dan Rp 4.660,38 /m3 . Biaya tersebut

jauh lebih murah dibanding dengan cara manual yang membutuhkan biaya hingga Rp

50-80 ribu per m3. Juga masih lebih murah dibanding dengan menggunakan alat

Expo-2000 karena pada GSS peralatannya lebih sederhana, sehingga tidak perlu bahan bakar

dan biaya pemeliharaan lainnya, seperti oli dan minyak pelumas dengan biaya

penghapusan yang rendah. Namun kelemahannya adalah GSS hanya dapat digunakan

untuk pengeluaran ke arah bawah lereng.

Hasil uji coba yang lain yang dilakukan memperlihatkan bahwa pengeluaran kayu

sistem kabel layang dengan tenaga motor 24 tenaga kuda secara efektif dapat

digunakan sebagai alat pengeluaran kayu di hutan rakyat dengan produktivitas berkisar

(14)

produktivitasnya dibanding alat kabel layang P3HH20 dan Sistem Koller 300 . Secara

ekonomis alat ini layak digunakan untuk pengeluaran kayu berdiameter kecil dengan

biaya rata-rata sebesar Rp 12.282/m3 (Dulsalam, 2006).

Dari beberapa pengalaman selama uji coba dilakukan dapat diketahui bahwa

kondisi alam sangat mempengaruhi cara atau teknik pengeluaran kayu; oleh karena cara

pengeluaran kayu yang menaiki lereng akan berbeda dengan yang menurun atau datar,

yang secara otomatis akan mengakibatkan perbedaan terhadap jenis peralatan yang

dipakainya. Apalagi alat yang dipakai hasil rekayasapun tidak seluruhnya otomatis.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian dan hasil kajian selama melakukan kegiatan pengeluaran kayu

di daerah sulit dan curam di hutan rakyat dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Secara luasan dan keragaman jenis kayu, kebun kayu milik rakyat atau hutan rakyat

memiliki potensi cukup besar untuk mendukung pasokan industri pengolahan kayu

yang sudah semakin tidak bisa diandalkan hanya dari hutan alam.

2. Hambatan untuk pengeluaran kayu di hutan rakyat pada daerah yang curam adalah

ketiadaan dukungan teknologi yang tepat guna, berada di wilayah dengan

aksesibilitas sulit, berada di daerah berlereng curam dan rawan longsor, berukuran

besar (> diameter 40 cm) sehingga pengeluaran kayu dengan cara konvensional

tidak bisa dilakukan, banyak jenis kayu yang hingga saat ini belum memiliki nilai atau

harga jual rendah, karena belum banyak orang menggunakannya, ada juga

masyarakat tidak bersedia untuk dijadikan komoditi pasar yang diperjual belikan

karena ketakutan dituduh hasil dari menebang di lahan kawasan hutan, dan khusus

di Jawa Barat saat ini ada rencana Pemerintah Daerah untuk membuat Peraturan

Daerah (Raperda) mengenai perluasan kawasan lindung mencapai 45% dari luas

daratan Jawa Barat pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan lereng lebih dari

40%.

3. Rekayasa alat Expo-2000 dan GSS yang pernah dicoba dalam kegiatan pengeluaran

kayu di hutan rakyat merupakan alternatif cukup baik untuk dipakai dalam kegiatan

pengeluaran kayu di medan dengan topografi curam.

(15)

5. Rata-rata prestasi kerja GSS bila setting kabel telah terpasang adalah antara 10 m3

per hari dengan jam kerja sekitar 6 jam dan jarak 300 meter. dan biaya sebesar Rp

50.000/m3. Biaya ini lebih murah dibanding cara konvensional yang mencapai

Rp 60-85 ribu/m3 dengan produktivitas rendah.

6. Saat ini rekayasa alat Expo-2000 terus sedang disempurnakan begitu pula alat

P3HH24.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Kebijakan Pembangunan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan Di Propinsi Jawa Barat. Prosiding Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Menunjang Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Tasikmalaya, pp 14 – 21.

Awang, S.A, W.Andriyani, B. Himah & W.T Widayanti. 2002. Hutan Rakyat, Sosial Ekonomi dan Pemasaran. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Basari, Zaka dan W. Endom. 1995. Analisis prakiraan biaya operasional pemanenan kayu dengan sistem GSS di beberapa lokasi berdasarkan pengukuran profil konfigurasi lapangan di hutan pinus Jawa Tengah. Prosiding. Ekspose Hasil Litbang hasil Hutan dan sosial Ekonomi kehutanan, tanggal 4 Desember 1995 di Bogor. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial ekonomi Kehutanan. Bogor. Endom, Wesman. 2004. Produktivitas dan biaya alat serbaguna pasca perbaikan tahap –

I. Naskah. Bahan Jurnal Penelitian Pusat litbang Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan.

Haeruman, H. 1995. Pengelolaan Hutan Rakyat Aspek Kelembagaan. Proceeding Seminar Nasional. Hutan Rakyat ; Menuju Model Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta, pp 57-71

Mulyadi, Achmad 2002. Analisis produktivitas kerja dan biaya pemanenan hasil hutan di hutan rakyat. Jurnal hutan rakyat Vol IV No 1.Pusat Kajian hutan rakyat .bagian Menejemen Hutan Fahutan UGM,Bulaksumur, Yogyakarta.

Mulyana, Y. 2002. Naskah Akademik Konsep Kawasan Lindung Jawa Barat. Konsep Anggota Forum Peduli Hutan Nusantara, Bogor. Tidak Diterbitkan.

Gambar

Tabel 1. Produksi kayu hutan rakyat di Propinsi Jawa Barat tahun 2004
Gambar 1. Tiga pemandangan tutupan lahan hutan rakyat cukup baik di daerah datar dan berbukit  dengan topografi berat
Tabel 3.  Prestasi kerja pengumpulan dan muat bongkar cara manual
Tabel 5. Prestasi kerja pengumpulan kayu dengan cara manual dipikul
+3

Referensi

Dokumen terkait

Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XIV merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang pemantapan kawasan hutan yang berada di bawah dan bertanggung jawab

Pelaksanaan pembangunan rehabilitasi hutan dan lahan di wilayah kerja Balai Pengelolaan DAS Sampean Madura selama lima. tahun terakhir di wilayah kerja BPDAS Sampean ini

hutan rakyat atau tidak. Jika mengikuti pengertian bahwa hutan rakyat adalah hutan yang diusahakan pada lahan milik, maka pengusahaan hutan damar mata kucing di Krui tersebut

Pengelolaan hutan rakyat masih sangat tergantung pada pemilik lahan begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, karena

Luas Areal Tebangan Hutan Negara di Provinsi D.I .Yogyakarta

Rekapitulasi Rencana dan Realisasi Pembuatan Areal Model dan Rahabilitasi Hutan Mangrove Di Wilayah Kerja BP DAS Benain Noelmina Setiap Tahun Selama Lima Tahun

Permohonan I PK pada areal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, diterbitkan pada areal hutan produksi atau hutan lindung dengan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk

tentang Tata Cara Pemberian I zin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman I ndustri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi, sebagaimana