POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA
DAN PERMASALAHANNYA
Oleh :
Sukadaryati1)
ABSTRAK
Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang
diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan masyarakat, selain sebagai investasi ternyata juga dapat
memberi tambahan penghasilan yang dapat diandalkan.
Potensi hutan rakyat sebanyak 262.929.193 batang atau setara dengan 65.732.298 m3
(rata-rata per batang/pohon mempunyai volume 0,25 m3), yang terdiri dari jenis pohon jati, sengon,
mahoni, bambu, akasia, pinus, dan sonokeling. Jumlah pohon yang siap ditebang sebanyak
74.806.038 batang atau 18.701.509 m3. Potensi hutan rakyat yang cukup besar tersebut
diharapkan mampu mendukung pasokan bahan baku industri kehutanan.
Pengembangan pengelolaan hutan rakyat hingga sekarang ini perlu dukungan beberapa pihak
terutama peran aktif masyarakat. Perlu landasan hukum yang kuat untuk mengendalikan aktivitas
pemanenan kayu khususnya kegiatan penebangan kayu di lahan hutan milik rakyat, sebab tidak
mungkin kerusakan hutan rakyat dapat terelakkan. Dengan demikian pengembangan pengelolaan
hutan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus dapat
mendukung pasokan bahan baku industri kehutanan yang berkualitas dan berkelanjutan tanpa
mengabaikan kualitas lingkungan.
Kata kunci: Hutan rakyat, potensi, kesejahteraan, bahan baku, penebangan
I. PENDAHULUAN
(daerah-daerah yang kekurangan air), salah satu penyebabnya adalah rusaknya lingkungan di daerah hulu terutama yang berfungsi sebagai daerah resapan dan tangkapan air. Oleh karena itu upaya penanggulangan keadaan tersebut diperlukan untuk mengembalikan dan mempertahankan kondisi daerah hulu sebagaimana fungsinya.
GNRHL yang sedang digiatkan oleh Departemen Kehutanan untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut mengingatkan kembali program Departemen Kehutanan pada tahun 1989-an yang dikenal dengan nama gerakan sengonisasi, yaitu gerakan penanaman sengon di lahan-lahan kritis. Lahan yang ditanami sengon akan lebih tahan terhadap erosi karena daun-daun sengon yang jatuh ke tanah berperan sebagai pupuk hijau sehingga dapat menggemburkan tanah sekaligus memperbaiki tata air di permukaan maupun di dalam tanah. Sampai akhir tahun 1990, pemerintah telah berhasil melakukan penanaman sengon pada lahan kritis seluas 35.039 ha dari total yang direncanakan 300 ribu ha. Gerakan sengonisasi ini sangat berhubungan erat dengan kemudahan pengelolaannya sehingga cocok untuk penghijauan (Atmosuseno, 1998).
GNRHL yang sudah dicanangkan sejak tahun 2003 menargetkan dapat menghijaukan lahan 3 juta hektar dalam kurun waktu 5 tahun. GNRHL dilakukan tidak hanya di lahan hutan milik negara namun juga di lahan hutan milik rakyat yang kondisinya rusak. Berbeda dengan gerakan sengonisasi, jenis pohon yang ditanam bermacam-macam, seperti jati, sonokeling, kayu putih, munggur, kemiri, dan lain-lainnya.
Suatu kondisi dilematis yang harus dihadapi Departemen Kehutanan. Di satu sisi dituntut harus bisa mengembalikan kondisi hutan yang sudah di ambang kehancuran, tetapi di sisi lain dituntut bisa menyediakan bahan baku industri kehutanan yang berkelanjutan guna menopang pertumbuhan ekonomi negara. Kondisi tersebut menuntut Departemen Kehutanan bekerja lebih giat lagi guna mencapai kedua target tersebut bukan untuk mengabaikan salah satunya. Keberadaan hutan rakyat kini mulai dilirik untuk dikembangkan melalui GNRHL khususnya pada lahan-lahan yang rusak sehingga diharapkan dapat memperbaiki kualitas lingkungan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya nanti mampu menopang kebutuhan bahan baku industri.
Pengembangan pengelolaan hutan rakyat yang sudah ada sejak lama dan terus dikembangkan oleh masyarakat, kini dikerjakan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Hal ini terkait dengan adanya prospek yang cerah akan keberadaan hutan rakyat untuk mendukung pasokan bahan baku industri tanpa mengabaikan kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan pemilik lahan khususnya. Di Gunungkidul (Provinsi DIY), misalnya, selama tahun 2005 mampu mengirimkan kayu yang berasal dari hutan rakyat ke daerah Klaten, Jepara, Pekalongan dan industri mebel lain di Jawa Tengah sebanyak 96.636,373 m3 kayu glondongan. Dari jumlah kayu yang dikirim
tersebut, 83.215,875 m3 berupa kayu jati, 6.933,120 m3 kayu mahoni, 3.834,502 m3 kayu
sonokeling, sisanya berupa kayu akasia dan kayu campuran (Anonim, 2006). Lahan di Gunungkidul yang dulu dikenal gundul dan gersang ternyata sekarang mampu memasok kayu untuk kebutuhan industri mebel yang diambil dari hutan rakyat/lahan milik rakyat.
Tulisan ini bertujuan untuk memberi gambaran potensi hutan rakyat di Indonesia dan permasalahan yang dihadapi sehubungan dengan pengambangan pengelolaannya. Pada akhirnya nanti diharapkan permasalahan yang ada dapat diatasi sehingga potensi hutan rakyat dapat dimanfaatkan secara bijaksana.
II. POTENSI HUTAN RAKYAT
Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan masyarakat, selain sebagai investasi ternyata juga dapat memberi tambahan penghasilan yang dapat diandalkan. Masyarakat biasa memanfaatkan kayu yang ditanam di lahan milik sendiri untuk berbagai keperluan terutama untuk mencukupi kebutuhan kayu sebagai bahan baku bangunan atau mebel. Sewaktu-waktu mereka menjual kayunya ketika ada kebutuhan ekonomi yang mendesak, akan tetapi tidak sedikit diantara mereka yang mewariskan pohon yang masih berdiri untuk anak cucu mereka.
Pengelolaan hutan rakyat bertujuan selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga untuk menyediaan bahan baku bagi industri tanpa meninggalkan azas kelestarian lingkungan. Potensi hutan rakyat di Indonesia mencakup populasi jumlah pohon ini diharapkan mampu menyokong bahan baku untuk industri. Berikut disajikan potensi hutan rakyat yang terdiri dari populasi 7 (tujuh) jenis tanaman yang dikembangkan di hutan rakyat dan tersebar di pulau Jawa dan di luar pulau Jawa (Tabel 1).
Tabel 1. Populasi 7 (tujuh) jenis pohon yang ditanam di hutan rakyat (batang)
Potensi di daerah No. Jenis pohon
Jawa Luar Jawa Jumlah Siap tebang 1. Akasia 22.611.068 9.409.011 32.020.079 12.069.695 2. Bambu 29.139.388 8.786.890 37.926.278 6.721.780 3. Jati 50.119.621 29.592.858 79.712.479 18.446.024 4. Mahoni 39.990.730 5.268.811 45.259.541 9.497.192 5. Pinus 3.521.107 2.302.757 5.823.864 2.715.576 6. Sengon 50.075.525 9.758.776 59.834.301 24.613.228 7. Sonokeling 2.008.272 344.379 2.352.651 742.543 Jumlah 197.465.711 65.463.482 262.929.193 74.806.038
Sumber : Data diolah berdasarkan sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003
karena harga jual kayunya yang tinggi sehingga banyak diminati masyarakat untuk ditanam di lahannya. Dari 79,7 juta batang pohon jati yang siap tebang sebanyak 18,4 juta batang. Apabila per pohon/batang diasumsikan mempunyai volume 0,25 m3, maka
potensi produksinya sebanyak 4,6 juta m3.
Pohon sengon juga banyak ditanam di pulau jawa, yaitu sebanyak 50 juta batang, sedang di luar pulau jawa jumlahnya sekitar 9,8 juta batang (Tabel 1). Secara keseluruhan jenis pohon sengon menempati urutan ke-2 setelah jati. Di pulau Jawa, pohon sengon banyak terkonsentrasi di provinsi Jawa Tengah. Jumlah pohon sengon keseluruhan yang ditanam di hutan rakyat adalah sebesar 59,8 juta batang (Tabel 1) dan dari jumlah tersebut pohon sengon yang siap ditebang sebanyak 24,6 juta batang atau potensi produksinya sebesar 6,2 juta m3 (asumsi per pohon/batang mempunyai volume 0,25
m3).
Jumlah pohon akasia yang tumbuh di pulau jawa ada sekitar 22,6 juta batang, sedang yang di luar jawa sebanyak 9,4 juta batang. Di Jawa, pohon akasia banyak ditemukan di Jawa Timur (21,6%), sedang di luar Jawa, pohon akasia banyak ditanaman di Sumatera Selatan (7,2%) dan Lampung (5,0%). Namun demikian, rata-rata pengusahaan tanaman per rumah tangga di pulau Jawa lebih rendah dibandingkan luar pulau Jawa, yaitu masing-masing sebesar 25,36 pohon dan 33,14 pohon.
Jumlah pohon mahoni yang ditanam di lahan rakyat sebesar 45,3 juta batang dan sebanyak 9,5 juta batang atau 2,4 juta m3 siap dipanen. Penyebaran pohon mahoni banyak ditanam di pulau jawa dibanding luar jawa, yaitu masing-masing sebesar 40 juta batang dan 5,3 juta batang (Tabel 1). Di pulau jawa sendiri, pohon mahoni banyak ditemukan di provinsi Jawa Tengah (39,0%). Sementara itu untuk jenis pohon pinus dan sonokeling masing-masing berjumlah 5,8 juta batang dan 2,4 juta batang. Dari jumlah tersebut, pohon yang sudah siap ditebang masing-masing berjumlah 2,7 juta dan 742 ribu batang. Seperti halnya jenis-jenis pohon yang lainnya, jenis pohon pinus dan sonokeling ini banyak ditanam di hutan rakyat pulau jawa. Pohon pinus dan sonokeling masing-masing banyak ditemukan di provinsi Jawa Timur (21,1%) dan Jawa Tengah (34,3%).
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas yang menangani kehutanan tingkat kabupaten di seluruh Indonesia luas hutan rakyat adalah 1.568.415,64 ha (Anonim, 2005). Masyarakat pemilik lahan kini semakin sadar akan manfaat hutan rakyat. Mereka tetap melakukan peremajaan setelah mereka menebang pohon sehingga jumlah dan luas hutan tetap dipertahankan bahkan kalau perlu ditambah. Oleh karena itu pengelolaan hutan rakyat perlu dikembangkan selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan, juga mampu mendukung kebutuhan industri kehutanan.
III. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Sejalan dengan kegiatan GNRHL yang dilakukan di hutan rakyat, peran aktif masyarakat sekitar lokasi tetap diperlukan dalam kegiatan penanaman, pemeliharaan hingga menjaga keamanan. Kegiatan GNRHL di lahan hutan rakyat dari tahun 2003– 2005 di Gunungkidul (provinsi DIY) telah dilaksanakan seluas 4.995 ha dengan jenis tanaman jati sebanyak 1.133.820 batang, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 70–80% (Anonim, 2006). Tingkat pertumbuhan yang tinggi ini menunjukkan bahwa masyarakat benar-benar memelihara tanaman dengan baik dan menjaganya dari gangguan keamanan.
Namun demikian ada beberapa permasalahan yang dijumpai dalam pengembangan hutan rakyat ini, yaitu :
1. Pengelolaan hutan rakyat masih sangat tergantung pada pemilik lahan begitu juga penentuan jenis pohon yang akan ditanam sangat ditentukan oleh pemilik lahan, karena mereka menginginkan jenis pohon tertentu untuk ditanam di lahan miliknya. Hal ini dapat menghambat pemerataan jenis tanaman di lahan hutan rakyat.
3. Sulitnya mengendalikan kegiatan penebangan pohon yang dilakukan di lahan hutan rakyat. Hal ini terkait dengan belum adanya landasan hukum (Peraturan Pemerintah/Peraturan Daerah) yang mengatur kegiatan pemanenan tersebut. Terlebih lagi bila masyarakat pemilik lahan dihadapkan pada persoalan ekonomi, masyarakat akan menjualnya tanpa memperhatikan apakah pohon tersebut masih muda atau sudah bisa dipanen, yang penting ada pedagang yang mau membelinya.
IV. SOLUSI TERHADAP PERMASALAHAN
Tidak mudah memang memberi pemecahan masalah yang dihadapi dalam pengelolaan hutan rakyat. Hal ini terkait dengan banyaknya pihak yang memegang andil dalam pengelolaan tersebut, seperti pemilik lahan, instansi terkait, pihak swasta, maupun pemerintah. Namun demikian beberapa solusi terhadap permasalahan tersebut di atas dapat diajukan sebagai berikut:
pelestarian lingkungan saja, sedang pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada pemilik lahan.
2. Pemerintah tetap memfasilitasi penyediaan bibit tanaman yang berkualitas baik agar tingkat pertumbuhan pohon tinggi sehingga kayu yang dihasilkan berkualitas baik. Bila perlu kelompok tani penggolah lahan hutan dibekali pengetahuan cara pembibitan yang baik sehingga mereka dapat menyediakan bibit yang berkualitas. Dengan demikian bila “proyek GNRHL” terhenti di tengah jalan, mereka tetap bisa mandiri melanjutkan penghijauan lahan-lahan hutan.
3. Sesegera mungkin mengesahkan Peraturan Pemerintah/Peraturan Daerah yang mengatur pola pemanenan kayu terutama di lahan hutan milik masyarakat agar penebangan pohon dapat dikendalikan meskipun di lahan hutan milik sendiri. Selain untuk mencegah terjadinya penggundulan hutan, diharapkan juga dapat mengatur pola penebangan pohon dengan tebang pilih, yaitu memilih pohon yang benar-benar sudah saatnya ditebang dan menghindari pohon yang belum saatnya ditebang. 4. Sosialisasi proses perijinan penebangan kayu yang berasal dari hutan rakyat yang
berlaku sangat diperlukan supaya tidak menyulitkan dan merugikan masyarakat pemilik lahan.
5. Perlu terus diupayakan penyuluhan bagi kelompok tani pemilik lahan agar lebih yakin bahwa mereka akan mendapatkan manfaat yang maksimal bila pohon yang mereka tanam dipelihara dengan baik dan dipanen pada masanya nanti (umur masak tebang). Dengan demikian tanpa paksaan pun mereka mau menanam kembali lahan bekas tebangan tersebut agar dapat dipanen pada periode berikutnya. Hal ini perlu dukungan semua pihak yang terkait.
V. KESIMPULAN
Dalam kegiatan pemanenan kayu di hutan rakyat, khususnya kegiatan penebangan kayu harus diatur benar-benar oleh pihak pemerintah dan dituangkan dalam landasan hukum yang kuat. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan penebangan kayu dapat dilakukan secara selektif, yaitu dengan memilih kayu-kayu yang sudah masak tebang/siap dipanen. Di samping itu juga untuk mengendalikan masyarakat dalam melakukan penebangan kayu, meskipun penebangan dilakukan di lahan miliknya sendiri. Sebab jika tidak dikendalikan, kerusakan hutan rakyat akan sulit dielakkan. Semuanya itu harus ada kerjasama yang baik antar semua pihak yang terkait, termasuk partisipasi masyarakat sekitar secara aktif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Siaran Pers Pusat Informasi Kehutanan tentang Hutan Rakyat Indonesia sangat Prospektif untuk Industri Kehutanan, No. S.375/II/PIK-1/2005, tanggal 7 Juni 2005. Website: htpp:/www.dephut.go.id. Diakses tanggal 8 Juni 2005. _______. 2006. Menjaga Hutan dari Ambang Kehancuran. Harian Kedaulatan Rakyat,
tanggal 29 Mei 2006, Hlm. 19. PT Balai Pustaka Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta. Atmosuseno, B.S. 1998. Budi daya, kegunaan, dan prospek sengon. Cetakan ke-4.
Penebar Swadaya. Jakarta.