• Tidak ada hasil yang ditemukan

Index of /ProdukHukum/kehutanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Index of /ProdukHukum/kehutanan"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

DARI REDAKSI

ISSN: 1858-3261

G

PLAN

LO

BULETIN

Masalah lahan merupakan masalah mendasar dalam pembangunan, karena menyangkut kepastian hukum yang akan menentukan tingkat keamanan modal yang diinvestasikan pada suatu usaha yang terkait pembangunan tersebut. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa seringkali terjadi ”trade off” antara pembangunan kehutanan dengan pembangunan sektor lain utamanya terkait dengan penggunaan lahan

”Jangan tanam kopi di kawasan hutan!!”

”Jangan rambah kawasan hutan jadi kebun karet, kebun sawit, kebun kelapa dll !!”. ”Jadi dimana kami akan berkebun ? dimana-mana kawasan hutan ?”

Mudah-mudahan dengan adanya reformasi pelurusan persepsi atau pola pendekatan selama ini terhadap keberadaan sumberdaya hutan yang sebelumnya cenderung pada”Pendekatan Pemilikan dan Penguasaan ( ” kepada”Pendekatan Fungsi Manfaat secara Kolaboratif ( ”, pertanyaan dan ungkapan di atas dapat diminimalisir.

Telah terbukti secara operasional bahwa pendekatan /pemilikan, menciptakan iklim yang kurang kondusif bagi pembangunan kehutanan secara menyeluruh, karena :

1. Aparat kehutanan terkondisi berseberangan dengan masyarakat

2. Fungsi penguasaan untuk engaturan pemanfaatan memposisikan aparat kehutanan sebagai pelaku bisnis daripada pengatur untukmenciptakan kemudahan berusaha di bidang kehutanan.

3. Pola fikir pemilik mengurangi keluwesan dalam mengantisipasi langkah-langkah peran serta masyarakat akibat pekanya maslah status kawasan

4. Kecenderungan pemilikan yang besar menghambat kelancaran proses otonomi (ego sektoral) dan desentralisasi, padahal pembangunan berbasis di pedesaan.

5. Pola fikir pemilikan akan berdampak pada hambatan pemberdayaan masyarakatsecara menyeluruh karena sudah terbukti pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbending lurus dengan pemerataan nilai tambah yang dihasilkan.

Kelima hal di atas ditambah akibat berantai yang dihasilkannya, bisa diduga sebagai hambatan pokok yang kurang disadari selama ini. Sebelum kita sampai pada pendekatan fungsi manfaat yang sebenarnya selaa tercantum dalam kebijaksanaan pembangunan dalam setiap GBHN, ada baiknya kita mencermati kata kunci Pemilikan-Penguasaan, yaitu :

Pemilikan tidak selalu dengan penguasaan (contoh : pemisahan pemilik dengan manajemen pada pola manajemen modern).

Penguasaan tanpa pemilikan (sama dengan di atas, hanya ditinjau dari aspek manajemen bukan pemilik) dalam arti hanya kuasa pengaturan pengelolaan pemanfaatan.

yang tidak menguntungkan ditinjau dari sinerjisitas pencapaian tujuan pembangunan secara menyeluruh.

land reform approach) acces reform approach)

8 8

KEBUN KAYU DAN HUTAN KARET,SAWIT, KELAPA

OPTIMALISASI PENDEKATAN FUNGSI MANFAAT

UNTUK PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT

Oleh : Syaiful Ramadhan *)

A

pa yang kita lakukan dan apa yang kita rencanakan hari ini merupakan konsekuensi dari masa lalu dan akan mewarnai masa Depan yang akan kita hadapi, untuk itu tidak ada kata lain“kehati-hatianlah”yang selayaknya mendasari setiap tindak kita tanpa kecuali.

Salah satu bentuk kehati-hatian yang sangat diperlukan khususnya dalam pola fikir perencanaan terkait dengan sumberdaya hutan adalah kebijakan pemikiran;“Bagaimana kita memenuhi kebutuhan masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi masa mendatang?”.

Sering sekali kemapanan menjebak kita untuk berfikir bahwa kita sedang dalam keadaan berbuat baik padahal sejatinya kita sedang merusak!!!. Pangkal dari bencana adalah kesalahan pemikiran dan persepsi yang mengalir menjadi kesalahan metode dan strategi yang dilengkapi dengan evaluasi yang hanya menjadi alat pembenaran diri.

Profesionalisme Planolog tidak akan bermakna tanpa dilandasi moral yang akan menjadi pengembang rasa “ malu” atas terpeliharanya kekurangtahuannya serta sebaliknya berkembangnya rasa“tidak malu”untuk bertanya dan berfikir tanpa henti.

Berangkat dari filosofi di atas, redaksi berharap pembaca tidak segan dan henti untuk memberikan koreksi bagi kesempurnaan dan keberlanjutan Buletin kita bersama. Kami percaya dan yakin, bahwa hanya dengan saling mengingatkan dan saling mengisi profesionalisme tetap akan terjaga. Bravo Planolog!!!!

(2)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

8

8

8

8

8

8

8

8

8

~

~

~

~

~

~

Penguasaan dengan pemilikan, yaitu pemilik berkuasa penuh mengelola langsung yang dimiliknya Penguasaan yang diatur melalui proporsi pemilikan (saham)

Pemilikan yang diatur melalui penguasaan (batas maksimal lahan milik, pencegahan monopoli, pengaturab minimal kandungan lokal)

Dari pencermatan lima terminasi di atas, maka kita tiba pada suatu kesimpulan, bahwa dalam praktek yang sehat harus jelas pemilihan pola di atas, salah satu atau gabungannya, namun harus selaras dengan tujuan yang ditetapkan, agar tidak tercipta kerancuan dalam otorisasi kebijaksanaan. Khusus berkaitan dengan pembangunan, maka posisi pemerintah pengelolaan sumberdaya yang tepa adalah sebagai kuasa pengar\turan pengelolaan pemanfaatan di seluruh lahan yang ada, sehingga dengan pemahaman tersebut pemerintah dapat berfungsi/berperan optimal sebagai pengatur, akselerator setiap aspek pembangunan di bidang kehutanan tanpa terlalu rumit memikirkan apakah hutan tersebut terletak di laha negara/milik rakyat yang terpenting sesai peruntukan lahan yang diatur dalam rencana tata ruang secara makro (indikatif) maupun mikro.

Pendekatan fungsi manfaat merupakan jabaran dari hakiki pemahaman pasal 33 UUD 1945 ayat 3, karena tujuan akhir ( ) dari esensi pembangunan sebagai pengamalan Pancasila adalah kesejahteraan rakyat, untuk itu pemahaman hakiki fungsi di atas sangatlah penting.Hutan dan kebun merupakan”emas hijau”dan sumber devisa banyak mendominasi penggunaan lahan, sehingga kerapkali terjadi kompetisi”nilai tambah”yang berdampak pada tumpang tindih peruntukan lahan yang tidak sesuai peraturan per-UU-an. Melalui penggabungan kelola hutan dan kebun diharapkan kompetisis tersebut dapat diarahkan lebih kepada sinergisitas manfaat keduanya, antara lain dengan cara :

Analisa makro peruntukan lahan (hutan dan kebun) khususnya yang tumpang tindih dapat dilakukan lebih objektif, karena kinerja Departemen dinailai secara totalitas. Sebagi contoh : apabila budidaya kopi di hutan lindung dapat diperbaiki dalam arti menyebabkan erosi melalui perbaikan teknik konservasi tanahnya (teras) dan atau dikombinasikan dengan tanaman kehutanan yang secara biologis maupun ekonomis tidak merusak lingkungan dan menghasilkan nilai tambah yang lebuh tinggi, mengapa kita harus membuang energi, waktu dan biaya untuk mempermasalahkannya.

Analisa perbandingan besaran nilai tambah yang dihasilkan antar komoditi (sendiri-sendiri dan atau kombinasi optimal) yang dikombinasikan dengan aspek lingkungan, penyerapan tenaga kerja, kemyrahan biaya dan tata ruang lebih mudah dikoordinasikan karena keterpaduan data/informasi.

Pemanfaatan teknologi budidaya hutan dan kebun perlindungannya dapat lebih mudah dan cepat serta luwes untuk diterapkan.

Penggabungan komoditi hutan dan kebun akan memperkuat posisi tawar menawar kita dalam menghadapi pasar global, karena kombinasi diversifikasi hasil dapat terencana lebih akurat.

Peningkatan peran serta masyarakat kita yang sebagian besar tumbuh dalam budaya agraris dapat diterapkan lebih luwes, antara lain melalui sistem bagi hasil, inti plasma, tumpang sari, yang pada gilirannya akan memperkuat kemandirian pangan/ekonomi pedesaan berbasis ketahanan nasional

Terciptanya lapangan kerja di tingkat pedesaan (lokasi kebun dan hutan umumnya di pedesaan) dapat mengurangi arus urbanisasi, apalagi bila agroindustri didekatkan pada produsen bahan baku, maka bisa kita bayangkan”muliplier effect”yang terjadi akan memacu percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat secara merata.

Dari kenyataan-kenyataan terciptanya peluang yang lebih menjajikan dari adanya penggabungan kelola hutan dan kebun, maka langkah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi untuk merealisasikannya adalah :

Penyeragaman pemahaman persepsi fungsi manfaat, bukan penekanan pada pendekatan pemilikan terhadap aparat Penyerangan tolok ukur kinerja adalah besaran nilai tambah yang secara makro dinilai dari kontribusi terhadap PDRB dan mikro adalah manfaat yang dirasakan langsung oleh rakyat/masyarakat.

Penyederhanaan peraturan yang masih berjiwa ”kepemilikan”, sekaligus memprioritaskan pembiayaan pada kegiatan produktof, sedangkan biaya-biaya pengamanan dialihkan sebagian besar pada biaya pemeliharaan dan penyuluhan serta penelitian tepa guna.

Formalisasi kelembagaan petani-petani plasma yang diperkuat dengan penempatan tenaga profesional yang menjamin keamanan kelangsungan kelola kredit dan dana bergulir.

Pemantapan pola kerjasama Perusahaan Besar-Lembaga Desa melalui peraturan yang lebih mengikat kedua belah pihak. Otonomi secara utuh (Pekerjaan-Personil-Pembiayaan) harus segera dilakukan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat (aspiratif dan arahan kebijaksanaan)

=================OOO===============

*) Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan dan Pemimpin Redaksi Buletin Planolog

(3)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman

3

Pendahuluan

Pengembangan Hutan Rakyat

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 49/Kpts-II/1997 tanggal 20 Januari 1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektar dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan/atau jenis tanaman lainnya lebih dari 50 % dan/atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman sebanyak minimal 500 tanaman per hektar. Hutan rakyat tumbuh atau berada pada areal lahan yang dibebani hak atas tanah yang dalam hal ini dibebani hak milik, yang tumbuh di lahan milik di luar kawasan hutan. Awalnya hutan rakyat diarahkan sebagai salah satu upaya dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Hasilnya yang berupa kayu sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai tambahan penghasilan. Selain itu, hutan rakyat dapat memegang peranan yang sangat penting sebagai penghasil kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan energi bagi masyarakat khususnya di pedesaan, yaitu untuk memasak, pemasok bahan bakar untuk industri pembuatan genteng dan batu bata, pembakaran batu kapur, pembuatan arang, penyulingan kayu putih dan lain-lain.

Hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2004 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dari sekitar 217,1 juta orang penduduk Indonesia atau 54,9 juta rumah tangga, sekitar 47,71 % atau 26,2 juta rumah tangga masih menggunakan kayu bakar untuk berbagai keperluan dengan konsumsi sebesar 15,9 juta m3 per tahun. Dari rekaman data secara time series yaitu tahun 2002, 2003 dan 2004 diperoleh angka yang menunjukkan bahwa setiap tahun ada kecenderungan peningkatan konsumsi kayu bakar. Di masa yang akan datang pun, konsumsi kayu bakar diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk sebesar 1,34 % per tahun serta adanya berbagai kendala dalam penggunaan sumber energi berbentuk lain seperti minyak tanah dan gas, baik karena kendala harga maupun kesulitan untuk memperolehnya.

Pada awalnya, keterlibatan pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat dimulai dengan proyek bantuan INPRES Penghijauan di pertengahan tahun 1970-an, yaitu pada lahan milik yang kritis dan terlantar dengan tujuan utama untuk rehabilitasi. Namun demikian data 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa realisasi pembangunan hutan rakyat yang dilaksanakan dengan dana pemerintah tak terlalu menggembirakan, seperti yang dapat dilihat dari tabel 1. di bawah ini

HUTAN RAKYAT SEBAGAI PENGHASIL KAYU BAKAR

Oleh : Iman Santosa Tj.

Di sisi lain pada Rencana Startegis Departemen Kehutanan 2005 2009 (Penyempurnaan) yang telah disahkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.58/Menhut-II/2006 tanggal 30 Agustus 2006, telah ditetapkan target pembangunan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat sampai dengan tahun 2009 bertambah seluas 500.000 hektar dengan potensi sebesar 40 m3 per hektar. Selain itu ditargetkan pula masyarakat yang berusaha dalam pembangunan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat meningkat sebesar 3 % per tahun dan tingkat kesejahteraannya meningkat sebesar 4 %. Secara lebih khusus, pada Renstra tersebut juga dicantumkan bahwa pada tahun 2007 akan ditanam hutan rakyat untuk kayu bakar seluas 900 hektar di 9 provinsi, yaitu Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel, Bali, NTB dan NTT.

Untuk menunjang keberhasilan pembangunan hutan rakyat, khususnya sebagai penghasil kayu bakar, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut ::

(1). Perlu adanya pemilahan yang jelas antara hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat disertai definisi atau criteria yang jelas. karena adanya perbedaan mendasar antara keduanya, khususnya dari segi lokasi pengembangannya. Pengembangan Beberapa saran

NO T a h u n Luas Pembangunan Hutan/Kebun Rakyat

(Ha)

1 2001 22.530

2 2002 38.341

3 2003 214.296

4 2004 332.291

5 2005 32.164

Jumlah 639.622

Rata-rata per tahun 127.924,40

(4)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

hutan rakyat dilaksanakan di luar kawasan hutan, sedangkan hutan tanaman rakyat dikembangkan di dalam kawasan hutan. Perbedaan ini tentu akan berpengaruh pada aspek pengelolaan pengembangannya, mulai dari persemaian, penanaman, pemeliharaan, pemanenan sampai dengan pemanfaatan/pemasaran hasilnya. Dengan demikian pembangunan hutan rakyat termasuk sebagai penghasil kayu bakar akan lebih fokus, baik dari aspek teknis maupun pengelolaannya.

(2) Inventarisasi Hutan Rakyat khususnya yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat sangat penting untuk dilaksanakan. Dari kegiatan tersebut dapat diketahui : luas, penyebaran berdasarkan administrasi pemerintahan, jenis-jenis yang ditanam, pola pemanfaatan (untuk kayu bakar atau yang lainnya), biaya produksi, harga jual, jumlah, dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang berusaha dalam pembangunan hutan rakyat dan lain-lain.

Selain itu dalam kegiatan inventarisasi ini perlu dicari data/informasi mengenai dari mana masyarakat pedesaan memeperoleh kayu bakar, apakah dari hutan hak atau hutan negara. JIka sebagian besar bakar tersebut diperoleh dari hutan negara, tentunya sangat memprihatinkan karena dapat merusak kelestarian ekosistem hutan.

Berdasarkan hasil inventarisasi ini pemerintah akan memperoleh data/informasi yang lengkap dan akurat untuk penentuan kebijakan dalam pengembangan hutan rakyat selanjutnya serta dapat mengukur berhasil tidaknya pencapaian target yang telah ditetapkan.

(3). Penyuluhan mengenai aspek teknis maupun administrasi/legalitas khususnya yang menyangkut pemanenan dan pemasarannya. Dari kegiatan penyuluhan ini diharapkan masyarakat akan tahu, mau dan mampu mengembangkan hutan rakyat sebagai sumber kayu bakar pada lahan miliknya. Salah satu aspek teknis yang penting untuk diketahui ialah jenis-jenis apa saja yang cocok untuk dijadikan kayu bakar serta persyaratan tumbuhnya. Kriteria tanaman hutan yang cocok untuk kayu bakar ialah : cepat tumbuh, berkemampuan menghasilkan trubusan (tunas baru) bila dipangkas dan mempunyai nilai kalori yang tinggi. Kayu yang mempunyai nilai kalori yang tinggi bila dibakar akan menghasilkan panas yang lebih tinggi dibandingkan kayu yang bernilai kalori lebih rendah.

Beberapa jenis yang cocok untuk pembangunan hutan rakyat untuk kayu bakar dengan nilai kalorinya antara lain ialah : Akasia (4.907 kal.), Lamtoro Gung (4.464 kal.), Kaliandra (4.617 kal), Gamal (4.548 kal) dan kesambi (4.459 kal). Selain itu dapat juga digunakan jenis nangka dan ampupu. Berdasarkan data mengenai jenis ini akan dapat diketahui pada jenis tanah dan tipe iklim apa jenis-jenis tersebut cocok untuk dikembangkan. Hal ini penting untuk diperhatikan mengingat kedua faktor tersebut merupakan faktor pembatas utama dalam pertumbuhan tanaman.

(4) Penguatan kelembagaan sangat penting untuk diperhatikan, baik kelembagaan dinas kabupaten/kota yang mengurusi bidang kehutanan, maupun organisasi kelompok tani hutan rakyat yang sudah ada. Pada daerah-daerah yang potensial untuk dikembangkan hutan rakyat tetapi belum ada kelompok tani hutan rakyat, perlu segera dibentuk kelompok tani hutan rakyat.

(5) Dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan khususnya tentang silvikultur jenis sangat diperlukan untuk mencari berbagai alternatif tanaman baru yang cocok untuk dikembangkan sebagai penghasil kayu bakar. Dengan demikian hutan rakyat sebagai penghasil kayu bakar dapat dikelola dengan cara silvikultur intensif.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hutan rakyat dapat memainkan peranan penting dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan. Jika pembangunan hutan rakyat untuk kayu bakar tiak ditangani dengan serius, akan sangat besar kemungkinan masyarakat pedesaan akan mengambil kayu bakar dari hutan alam yang tentu saja akan mengancam kelestariannya. Pembangunan hutan rkayat perlu dipacu setidaknya karena 2 (dua) hal, yaitu (1) pentingnya hutan rakyat dalam memenuhi kebutuhan energi serta menjaga kelestarian hutan alam; (2) Waktu yang tersisa untuk mencapai target pertambahan tanaman seluas 500.000 hektar saat ini hanya 3 tahun lagi, artinya setiap tahun harus dibangun seluas 100.000 150.000 hektar. Mengingat besarnya target yang harus dicapai, keberhasilan pencapaian pembangunan hutan rakyat termasuk untuk kayu bakar merupakan tanggungjawab semua pihak yang terkait, baik pemerintah (pusat dan daerah), LSM, swasta maupun masyarakat itu sendiri.

=====0OO0=====

(5)

Halaman

5

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Sumberdaya lahan dan karakteristik lahan

Lahan sebagai komponen wilayah merupakan aset negara yang sangat berharga. Di atas lahan bertumpu tapak bangunan dan beragam fasilitas umum, terbentang areal pertanian dan tegakan hutan, mengalir sungai dengan air yang jernih dan menyejukan. Lahan tetap membentang bertahan dari terpaan berbagai bencana banjir, tsunami, gempa bumi, degradasi hutan, kegagalan proyek sejuta hektar lahan gambut maupun bencana lumpur panas.

Khazanah ilmu ekonomi memilah sumberdaya alam (SDA) menjadi 3 yaitu SDA yang tidak dapat terbarukan (logam, batubara, minyak bumi, gas alam, batu-batuan), SDA yang terbarukan (air, angin, cuaca, gelombang laut, sinar matahari) dan SDA yang mempunyai sifat gabungan (sumberdaya biologis dan sumberdaya tanah/alam).

Termasuk kedalam sumberdaya biologis adalah hutan, hasil panen; perikanan, peternakan, padang rumput; SDA jenis ini, memiliki ciri seperti SDA yang dapat diperbaharui asalkan ada perawatan untuk melindunginya dan pemakaiannya sesuai dengan persediaan dan kebutuhan. Tetapi pada suatu saat SDA jenis ini dapat digolongkan kedalam SDA yang tidak dapat terbarukan, yaitu pada saat menjadi sangat berkurang pertumbuhannya, sebagai akibat pemakaian yang boros dan kurang bertanggung jawab.

Sumberdaya lahan lebih spesifik karena menggambarkan gabungan antar sifat ketiga SDA di atas (SDA yang dapat terbarukan, yang tidak dapat terbarukan, maupun sumberdaya biologis).

Istilah tata ruang ruang yang dimaksud dalam UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan PP Nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sebenarnya juga bermula dari pengertian terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan pada awalnya berasal dari kehidupan dengan budaya pertanian, tetapi kemudian istilah tersebut sudah dipakai dalam arti yang lebih luas.

Seberapa jauh kehutanan concern terhadap lahan? Jika tolok ukurnya adalah biaya rehabilitasi lahan, termasuk dana yang dialokasikan untuk Gerhan ( Gerakan Rehabilitasi Lahan) mungkin kehutanan dapat dibilang sebagai institusi yang paling concern terhadap lahan. Tetapi jika ditilik dari sisi legislasi, dalam soal fisik lahan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan hanya menampilan satu terminologi di pasal 17 ayat (2)“karakteristik lahan”, terminologi yang tidak terkait dengan rehabilitasi dan reklamasi hutan pada bagian keempat (pasal : 40-45).

Ditengah situasi yang sangat memprihatinkan, kondisi hutan dan lingkungan hidup terlanjur terdegradasi, krisis air mulai mengancam, upaya pelestarian fungsi ekologis masih terkendala, maka masalah lingkungan yang erat dengan daya dukung lahan menuntut pengkajian informasi lahan lebih konprehensif lagi tidak terbatas pada karakteristik lahan. Hal ini terutama mengingat pengelolaan sumberdaya lahan mengandung dua sisi yang bertolak belakang yakni; potensi yang membuka peluang pembangunan vs ketentuan terhadap pemanfaatannya.

Yang perlu dipahami para pihak, terutama bagi para pengambil kebijakan khususnya kebijakan kehutanan, bahwa informasi lahan tidak terbatas pada karakteristik lahan yang secara legislasi merupakan unsur pembentukan wilayah pengelolaan hutan yang sah dan akan dietapkan untuk tingkat provinsi, kabupaten dan tingkat unit pengelolaan hutan dengan hasil akhirnya berupa Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengeloaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM) dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).

Proses pembentukan wilayah pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan bagian dari kegiatan penataan ruang yang lingkupnya lebih luas lagi, meliputi penggunaan lahan untuk perkebunan, pertanian, pekerjaan umum dan lingkungan hidup dengan tujuan yang spesifik. Untung Iskandar (1999), mengungkapkan bahwa di forum internasional, evaluasi pelaksanaan Proposal for Action telah merumuskan bahwa sebab-sebab mendasar dari kerusakan hutan dan penggundulan hutan (disamping karena masih kurangnya sumberdaya manusia dan sumber dana) adalah masih adanya kebijakan untuk mempertahankan sistem pertanian yang tidak lestari, tidak adanya informasi yang memadai tentang“kepemilikan”hutan dan kepemilikan lahan. Oleh karena itu sekelompok negara donor mengusulkan agar Indonesia memiliki sistem tataguna lahan yang konsisten dan partisipatif. Jadi yang perlu diutamakan adalah suatu proses partisipatif untuk memantapkan kondisi kawasan hutan sesuai fungsi pokok dan fungsi lainnya dan terselenggaranya sistem pengelolaan hutan secara efisien, lestari dan mandiri.

Tuntutan masyarakat dunia terhadap fungsi dan manfaat hutan yang menggema dalam KTT Bumi tahun 1992 telah memunculkan istilah sustainable forest management ( Pengelolaan Hutan Lestari) yang dicirikan dengan sasaran utama memenuhi produk dan jasa sesuai kebutuhan masyarakat (sosial), ekonomi dan finansial (masyarakat dan negara) serta ekologi (lingkungan hidup). Bermula dari pedoman ITTO mengenai Pedoman Pengeloaan Hutan Alam Tropis Secara Lestari (1990), maka berkembanglah penjabaran kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari serta berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Perubahan Iklim (1992) dan Konvensi Keanekaragaman Hayati (1993).

KLASIFIKASI LAHAN UNTUK PERENCANAAN

TATA RUANG

(6)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Perlu Klasifikasi Lahan

Santun RP. Sitorus (Evaluasi Sumberdaya Lahan, 1985), menyebutkan karakteristik lahan sebagai ciri-ciri yang meliputi keterangan-keterangan mengenai keadaan tanah, topografi, iklim dan sifat-sifat lain yang berhubungan dengan ekologi yang diperlukan dalam proses evaluasi lahan secara tidak langsung. Ciri-ciri tersebut terkait dengan proses geomorfologi yaitu pembentukan muka bumi karena proses geologis, iklim dan pengaruh waktu serta topografi. Oleh karena itu maka kriteria karakteristik lahan dalam konsep kriteria dan standar pembentukan wilayah hutan dirinci lebih lanjut kedalam unsur : geomorfologi, tanah dan iklim.

Proses evaluasi tidak langsung umumnya berupa penaksiran peta-peta dengan sumber dari citra satelit. potret udara, peta topografi, peta geologi, peta tanah eksplorasi, peta agroklimat, dll. Beberapa peta yang dapat digunakan sebagai referensi informasi karakteristik lahan antara lain peta Fisiografi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1994), Peta RePPProt tahun

1989, yang memuat informasi tentang sistem lahan dan kesesuaian lahan, peta Sistem Lahan yang diperkenalkan dalam Working Paper No. 17/INS/78/54 (kerjasama FAO/UNDP dengan Direktorat Jenderal Kehutanan tahun 1981).

Berdasarkan karakteristik lahan, kegunaan lahan dapat dianalisis dalam tiga aspek yaitu : kesesuaian lahan (land suitability), kemampuan lahan (land capability) dan nilai lahan (didasarkan pertimbangan finansial dan sejenisnya, dinyatakan sebagai jumlah biaya per tahun, misalnya nilai sewa).

Pengenalan karakteristik lahan juga diperlukan dalam menentukan kebijakan pemanfaatan ruang yang tidak tak terbatas, guna mengurangi pemborosan pemanfaatan ruang dan penutupan kualitas ruang. Meskipun suatu ruang tidak dihuni oleh manusia seperti puncak gunung, kawah gunung berapi tetapi ruang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kehidupan dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan dan kelangsungan hidup.

Bentang lahan di Indonesia sangat kaya dengan keberagaman kenampakan permukaan bumi, klasifikasi hasil kerjasama FAO/UNDP dengan Ditjen Kehutanan (1981) dapat dilihat pada Tabel 1. d i atas, Sub sistem tersebut selanjutnya dapat dirinci lagi menjadi unit lahan (land unit).

No. Sistem lahan Sub Sitem/fisiografi

Luas (x 1000

ha)

Keseuain lahan Keterangan

1 Rawa (S)

- rawa kubah/gambut - rawa pasang surut - mangrove - areal delta

37.130 Sebagian cocok untuk pertanian

2 Dataran rendah (A)

Dataran aluvial

Dataran marine

Beting pantai

Bukit pasir

Teras marine

46.890 Cocok untuk pertanian

Faktor pembatas lahan : tanah marjinal (podsol,

renzina)

3 Perbukitan (H)

Bukit terpencil

Perbukitan

Perbukitan lipatan

Perbukitan angkatan

Perbukitan karst

Komplek perbukitan

39.750

Pertanian, perkebunan, karena keterbatasan

tanah- kehutanan

Seluruh pulau Sda NTB+NTT

tersebar Kalimantan

4 Dataran Tinggi

(P1) Dataran tinggi 100

Pertanian jenis dataran

tinggi Jawa +Sumatera 5 Dataran tinggi

berbukit (P2) 1.060 Perkebunan

Sumatera, Jawa, Sulawesi 6 Pegunungan (M1) Pegunungan (lower

mountains) 40.130 HP < 1.000 m dpl. 7 Pegunungan

Lipatan (M2)

Pegunungan lipatan

(mid mountains) 10.870

HL/produksi kayu

untuk komersil 1000 2000 m dpl 8 Kompleks

pegunungan (M3)

Kompleks pegunungan

(upper mountains) 4.130 HL dan konservasi > 2000 m dpl (Papua)

9 Volkan (V1) Dataran vulkan (lower

volkan) 4.730 Pertanian

< 1000 m dpl sebian besar di Jawa dan

Sumatera 10 Volkan (V2) Mid Volkan 2.470 HL dan Konservasi 1000 2000 Jawa dan

Nusa Tenggara 11 Puncak Vulkan

(V3) Upper Volkan 600 Konservasi

> 2000 m dpl Jawa dan Sumatera 12 Badan air, dll. 1.560 Sistem penyangga

kehidupan

(7)

Halaman

7

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Pada RePPProt bahkan mengintrodusir ada 124 sistem lahan yang dapat dikelompokan seperti klasifikasi FAO/UNDP dengan beberapa tambahan rincian seperti pantai, rawa pasang surut, dataran aluvial, jalur kelokan sungai besar (meander), rawa-rawa, lembah aluvial, kipas dan lahar, serta teras-teras. Pusat Tanah dan Agroklimat menyajikan karakteristik lahan dalam peta fisiografi (ada belasan sistem lahan). Klasifikasi sistem lahan tersebut penting untuk menjawab beberapa pertanyaan dalam perencanaan penggunaan lahan, dimana untuk perencanaan kehutanan antara lain adalah :

Pada daerah pegunungan yang berbukit curam sejauhmana masih diperkenankan digunakan untuk hutan produksi? Daerah mana yang perlu dipertahankan sebagai hutan lindung untuk perlindungan Daerah aliran sungai, atau untuk konservasi daerah ekologi?

Areal mana yang dapat dikelola guna memenuhi kebutuhan kayu lokal/kayu bakar atau untuk agroforestry/hutan rakyat, dsbnya.

UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa ruang wilayah negara Indonesia merupakan aset besar bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan untuk menopang pembangunan nasional.

Laju pertumbuhan penduduk sejak dekade 1960-an telah menyebutkan hutan jati di Jawa mengalami proses kemerosotan kualitas tegakan (Simon, 1999). Demikian juga di luar Jawa, sejak diterbitkannya UU Nomor 1 tahun 1967 tetang Penanaman Modal Asing, pengelolaan hutan dengan sistem Hak Pengusahaan Hutan (HPH) juga berujung pada proses degradasi hutan yang semakin tidak teratasi. Pada tahun 1988 Sukanto Reksohadiprodjo telah mengungkapkan kerusakan hutan per tahun telah mencapai 1,155 juta hektar, terdiri dari hutan produksi sekitar 625.000 hektar, hutan lindung sebesar 430.000 ha dan hutan konservasi (suaka alam dan wisata) sekitar 100.000 ha

Namun peringatan dini tersebut rupanya kurang menyentuh elit pengambil keputusan kebijakan sehingga laju degradasi hutan mencapai angka yang fantastis 2,8 juta ha per tahun.

Pemerintah memang telah mengambil langkah mengubah paradigma pengelolaan hutan yang berorientasi pada hasil kayu (timber management) menjadi pengelolaan sumberdaya hutan (forest resources management). Tetapi karena budaya adaptif yang berkembang dari interaksi manusia dengan kayu telah terlanjur membelulang, maka paradigma tersebut sulit mendongkrak kinerja fungsi ekologi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan yang terlanjur termajinalkan. Demikian juga karena miskinnya kepekaan sosial di kalangan elite pengambil kebijakan, kinerja fungsi sosial belakangan sulit terangkat.

Peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan latar belakang budaya agraris masih sangat tergantung pada kebijakan alokasi lahan untuk kegiatan penghasil bahan baku, untuk penghasil pangan dan bahan olahan, namun ironisnya lahan yang terlantar tak digunakan (unused) masih sangat luas. Hasil pemetaan kegiatan proyek Social Forestry Development (SFDP) dari GTZ di Sanggau (Kalimantan Barat), dari Tata Guna Lahan Desa Kesepakatan telah terjaring fakta adanya no man's land yaitu lahan desa yang ternyata tidak dimiliki siapapun. Sebuah ironi, hutan terus dirambah padahal lahan di luar kawasan masih banyak yang terlantar (unused).

Berdasarkan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua selain membawa implikasi politis terhadap kewenangan pemerintah daerah juga akan memberi dampak yang cukup signifikan terhadap kebijakan pemanfaatan sumberdaya lahan dan hutan di Papua. Agar proses pembangunan tetap selaras dengan daya dukung lahan, maka sangat diperlukan kemampuan pemerintah untuk menguasai deskripsi lapangan. Perlu sebuah peta proyeksi potensi pengembangan wilayah yang cocok bagi para penentu kebijakan baik di pusat maupun di daerah. Sebuah peta yang menggambarkan karakteristik wilayah yang mudah terbaca. Karena itu peta tersebut perlu disusun berdasarkan referensi yang telah tersedia dan itu tak lain adalah peta klasifikasi sistem lahan.

¡

¡

¡

=================================

(8)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

TUMPANG SARI SEPANJANG DAUR

DALAM UPAYA MENJAGA KETAHANAN PANGAN

Oleh : Wesman Endom1)& Endang Mahfud2)

I. PENDAHULUAN

II. PERAN KEHUTANAN

Dalam Kompas Minggu tanggal 19 Juni 2005 di halaman 2 diberitakan bahwa di Nusa Tenggara Timur, anak yang kurang gizi mencapai jumlah 67.067 orang, mengalami gizi buruk 11.440 orang, busung lapar 302 orang dan korban meninggal dunia 5 orang. Di bagian lain disebutkan bahwa selama ini kebijakan di sektor pertanian diakui belum mampu mensejahterakan petani. Ada tiga pilar utama yang seharusnya satu sama lain saling menunjang dalam upaya mensejahterakan petani yaitu universitas, pemerintahan dan industri. Namun hingga saat ini ketiga pilar tersebut belum mampu bekerja sama dengan baik, sehingga nasib petani terombang ambing bahkan makin termarjinalkan.

Kondisi busung lapar sebagaimaan dipaparkan secara singkat di atas, pada dasarnya identik dan terkait erat dengan lapar lahan. Oleh karena ketiadaan lahan usaha petanian sementara keterampilan lainpun terbatas, maka kemudian munculah kemiskinan, yang dalam jangka waktu cukup lama juga akan dapat mengakibatkan busung lapar. Untuk masalah lapar lahan, umumnya banyak terjadi di Jawa, karena di luar Jawa ada pandangan di kalangan masyarakat bahwa bila kurang lahan, tebang saja hutan. Oleh karena batas kawasan hutan yang dikuasai negara juga tidak jelas maka masyarakat cukup leluasa bila ingin mengasai atau memiliki lahan.

Di Jawa pada desa-desa yang berdekatan dengan hutan, lapar lahan umum terjadi. Misalnya sebagaimana digambarkan Rahman dkk (1995) bahwa masyarakat desa hutan yang umumnya sebagai petani, rata-rata pemilikan tanahnya hanya 0,1 ha/KK. Dengan luas pemilikan lahan seperti itu, jelas ini tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidup layak. Karena itu tidak mengherankan bila kemudian banyak hutan yang rusak karena ditebang digantikan menjadi lahan pertanian.

Dilihat dari areal pengelolaannya, sektor kehutanan yang sebenarnya memiliki lahan atau kawasan demikian luas, sudah sepatutnya mampu memberikan kesejahteraan tinggi bagi karyawan maupun masyarakat di sekitarnya. Masalahnya karena secara umum tolok ukur yang berlaku di masyarakat menilai bahwa dengan semakin luas penguasaan areal, maka semakin tinggi peluang untuk mendapatkan tingkat kesejahteraannya yang lebih baik. Namun sayang, fakta yang ada di lapangan seringkali sangat berbeda. Dengan jelas dan mudah dapat diketahui bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan umumnya berada di bawah standar hidup yang layak.

Contoh konkrit adalah mereka yang kemudian lebih dikenal sebagai para blandong. Para petani ini hidupnya sangat tergantung pada kegiatan kehutanan utamanya penebangan. Dengan kekuatan tenaga dan fisiknya, hampir sepanjang waktu para blandong terkena sengatan teriknya sinar matahari. Dari pohon yang ditebang, sepotong demi sepotong dolken dipikul ke tempat pengumpulan, untuk selanjutnya diangkut ke industri pengolahan atau tujuan lainnya. Dari upah kerja berat itulah mereka dapatkan biaya hidup, yang kalau dinilai dengan upah/pendapatan para mandor atau mantri kehutanan dan apalagi aparat lebih tinggi di atasnya, berbeda sangat mencolok.

Di sisi lain, hingga saat ini masih dipegang kuat bahwa dalam membangun hutan (di Jawa) diterapkan cara tumpang sari. Sistem ini dipandang sebagai solusi sosial yang cukup ekonomis dan efektif. Petani diberi keleluasaan untuk dapat bercocok tanam padi dan atau palawija selama 2 s/d 3 tahun, sejak penebangan habis hutan dilakukan. Setelah periode itu, tanaman pokok yang ditanam dengan jarak tanam 3 x 1 m atau 3 x 2 m atau 3 x 3 m (misal pinus, jati, rasamala,) telah mulai bersambung dahan, sehingga kegiatan tumpangsari harus dihentikan karena dianggap dapat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok. Padahal, perlu ditekankan bahwa para penggarap itu umumnya adalah merupakan petani yang hanya memiliki lahan sempit atau bahkan tidak memilikinya, kecuali gubuk tempat tinggalnya. Mereka itu hidup hanya dari berburuh tani, sehingga adanya kegiatan tumpangsari walau hanya 2-3 tahun saja merupakan peluang yang sangat berharga.

Berkenaan dengan busung lapar dan apa peran kehutanan yang dapat dilakukan dalam upaya ketahanan pangan, disajikan pemikiran tumpang sari sepanjang daur. Sistem ini serupa dengan yang telah ada, hanya saja ada sedikit modifikasi yang secara teknis, sosial, ekonomi dan ekologi diharapkan dapat diterapkan dengan hasil saling mengutungkan.

Tidaklah berlebihan bahwa masalah kesejahteraan kini mendapat perhatian sungguh-sungguh, karena belakangan ini diketahui banyak kejadian busung lapar. Dari sekian faktor penyebab, salah satunya di samping kurangnya gizi, busung lapar juga terjadi karena ketidak mampuan memberikan cukup makan, akibat kemiskinan. Atau disebabkan oleh ketiadaan lapangan kerja dan lahan untuk melakukan bercocok tanam.

Berangkat dari alasan di atas, kehutanan yang memiliki lahan begitu luas sudah saatnya diberdayakan sehingga fungsinya tidak semata untuk fungsi-fungsi yang telah ada sebagaimana jelas terlihat dalam Undang-Undng 41 tahun 1999; tetapi harus mampu memberikan maslahat lebih jauh. Manfaat dimaksud ialah sebagai lahan usaha pertanian sepanjang daur. Namun yang perlu difikirkan lebih lanjut ialah bagaimana agar kiat tersebut dapat dilakukan sedemikia rupa sehingga semua fungsi secara teknis, ekologis, ekonomis dan sosial dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.

Pada dasarnya menurut pemikiran penulis cara tumpang sari sudah merupakan antisipasi yang cukup baik, hanya saja perlu diperluas yakni dapat dilakukan pada sepanjang daur, bukan hanya 2-3 tahun saja. Ini tentu akan berhasil baik dengan catatan bahwa masyarakat yang akan terlibat menerima dan dapat mengikuti kaedah yang dipersyaratkan secara sadar.

A. Potret Manfaat Tumpangsari

(9)

Halaman

9

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

yang panjang menjadi tidak berimbang. Sekedar gambaran dapat dikemukakan bahwa waktu usaha yang melibatkan orang banyak untuk pengelolaan pohon jati yang memiliki daur 40-60 tahun, yaitu saat lahan diadakan kegiatan penanaman dengan cara tumpang sari yang lamanya berkisar 2-3 tahun. Selebihnya, hingga mencapai daur, lahan tidak banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat. Ini berarti bahwa kontribusi manfaat lahan yang dapat dinikmati masyarakat adalah hanya (3/60*100%) = hanya 5% saja. Dengan demikian, bila daur tadi adalah 60 tahun, maka kontribusi tahunannya hanya sebesar 0,125% saja. Suatu angka yang sangat kecil. Oleh karena itu, berkaitan dengan lapar lahan dan ketahanan pangan serta mencegah busung lapar, maka konsep dan prinsip tumpang sari yang sudah ada sudah sepantasnya diadakan peninjauan ulang.

Dapat diyakini dengan pasti bahwa perhatian terhadap perhitungan kontribusi seperti itu mungkin belum pernah ada yang menggali. Selama ini masalah tersebut luput dari perhatian, karena sistem tumpangsari sebagaimana yang sudah berjalan hingga saat ini seolah tidak ada dan tidak perlu dipermasalahkan. Ini berarti penggarapan penanaman hutan dengan sistem tumpangsari sudah sangat membantu masyarakat pedesaan, sekalipun itu hanya berlangsung untuk 2-3 tahun saja. Seberapa besar kontribusi tersebut bila diperbandingkan dengan alternatif usaha lain yang lebih dapat meningkatkan kesejahteraan, tidak pernah ada yang mendalaminya. Perhitungan sederhana tersebut dapat memberikan gambaran cukup gamblang bahwa sebenarnya kontribusi itu belum banyak memberikan arti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dibanding dengan kesempatan dalam slogan forest for people yang seharusnya dapat diperolehnya.

Upaya perbaikan menuju ketahanan pangan dari lahan hutan pada dasarnya ialah bahagian dari upaya pemanfaatan tanah, air dan potensi yang ada di atas atau di dalamnya, sesuai UUD pasal 33 ayat 3 bahwa ketiganya adalah dikelola untuk kepentingan orang banyak. Berkenaan dengan itu kontribusi tumpangsari ada baiknya dapat ditinjau ulang.

Upaya perbaikan untuk mengelola sumberdaya hutan dengan cara tumpangsari yang sekaligus untuk menjaga ketahanan pangan, dapat dilakukan dalam dua garis besar yaitu:

(1) Mengubah cara pengusahaan yang selama ini nampaknya terlalu terbelenggu (sistem satu daur dan berumur panjang) dengan cara usaha yang lebih dinamis (daur berlapis), yang secara prinsip mampu memberdayakan keterlibatan masyarakat sebesar-besarnya. Dengan demikian diharapkan akan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka tanpa merusak kaedah-kaedah korservasi, legalitas/hukum serta asas kebersamaaan dan saling tolong menolong. Kerangka pemikiran sederhana yang dicoba dimajukan dalam upaya antisipasi itu ialah didasarkan pada modifikasi ideang penerapannya menggunakan rujukan pendekatan berikut:

B. Upaya Perbaikan Sistem

Gambar 1. Antisipasi pengembangan usaha kehutanan model daur berlapis

Dalam penerapannya, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan metode daur berlapis ini dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :

a) Sumber daya yang dikelola harus dapat memberikan usaha seluas-luasnya baik usaha yang bersifat jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.

b) Sumber daya yang dikelola mampu memberikan manfaat nilai lingkungan. c) Pengeluaran biaya yang diperlukan untuk pengelolaan sumber usaha relatif kecil. d) Sumber daya yang dikelola mudah dan cepat diperbaharui.

e) Sumber daya yang dikelola laku dijual dan tidak membahayakan.

Atas dasar pertimbangan kelima aspek itu kemudian dibuat kerangka pemikiran dengan langkah-langkah dimana sistem yang akan diterapkan mampu memenuhi kriteria tersebut, dengan strategi seperti pada model Gambar 2.

Namun di sisi lain pada setiap hamparan lahan jenis usaha (A s/d E) diadakan kegiatan tumpangsari sepanjang daur dengan cara mengatur jarak tanam yang cukup jarang. Dengan model ini tegakan yang berdaur pendek dapat berperan menjadi media buffer yang lebih efektif dalam mengantipasi terjadinya perambahan/penebangan liar, karena waktu yang melibatkan kegiatan mereka dari areal itu sudah cukup besar. Dengan cara pendekatan ini maka diharapkan berbagai lapisan masyarakat termasuk yang berada jauh di luar areal hutan, secara bersamaan dapat menikmati fungsi keberadaan hutan/tegakan yang berbeda daurnya, mulai dari masyarakat yang memiliki keterampilan memanfaatkan hasil hutan kayu yang berdaur pendek hingga berdaur panjang, termasuk kondisi lingkungannya. Dengan demikian akan terjadi keragaman usaha yang cukup besar dan itu menjadi dorongan bagi penghidupan masyarakat yang lebih dinamis. Lebih jauh, dorongan itu memungkinkan adanya Dari Gambar 2 terlihat kawasan hutan produksi dikelola dengan memberdayakan kombinasi berbagai jenis komoditas tanaman antara komoditi berdaur panjang (> 60 tahun) hingga berdaur relatif pendek (< 10 tahun). Cara pemanfaatan lahan diletakan tidak pada suatu bidang tanam yang sama, dengan maksud untuk kemudahan dalam teknis pemanenannya. Dengan demikian, jenis komoditi A tidak dicampur dengan jenis komoditi B, C, D dan seterusnya.

PENGEMBANGAN

Pertanian Hutan buatan (asal lokasi hanya untuk satu jenis dari berdaur panjang)

KONSERVASI

Eco development (sistem daur berlapis dengan tanaman pertanian) Hutan Buatan umur panjang

(10)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

multiflier efek yang dapat berkembang terus lebih lanjut. Misal, dengan tersedianya lahan/kawasan yang dialokasikan untuk berbagai komoditi kayu berdaur pendek, berarti perputaran penanaman (tanaman pertanian dan tanaman pokok) dapat menjadi lebih sering. Dengan demikian, diharapkan akan dapat memperkecil terjadinya kerawanan pengadaan bahan pangan, karena kesempatan pemanfaatan lahan tanam lebih cepat dan luas dibanding pada lahan hutan yang hingga kini ditetapkan untuk suatu kelas perusahaan yang daur pemanenannya lebih panjang. Di bagian lain dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan lingkungan yang lebih baik dari pada mempertahankan suatu kelas perusahaan yang nota bene hanya menggunakan satu lapis daur saja.

Menurut Malcolm dan Markham (1996) bahwa ekosistem yang berdaya tahan balik (ecosystem resilience) merupakan titik awal kondisi yang sangat bermanfaat sebagai tanggapan atas terjadinya kerusakan lingkungan. Ekosistem yang paling produktif di alam ialah didapat dalam bentuk komunitas tumbuhan (usaha penanaman) yang lebih beragam dan itu hanya ada di hutan campuran. Salah satunya juga adalah terdapat pada model hutan dengan daur berlapis.

(2) Pengaturan Jarak Tanam dan Pemangkasan Tajuk

Pendekatan yang dimaksudkan ini secara teknis ialah mengatur agar ada jarak cukup lebar sehingga penanaman komoditi pertanian seperti padi, palawija dapat dilakukan bersamaan dengan tanaman pokok pada larikan khusus. Misal dengan pengaturan jarak tanam 5 x 2 m, 6 x 2 m, atau 5 x 1,5 m dan 6 x 1,5 m untuk tanaman pokok. Selanjutnya pada saat tanaman pokok masing-masing mulai tumbuh besar, tajuknya yang mengarah ke lebar jalur lalu dipangkas sehingga lebar tajuk maksimum hanya 2,5 meter. Itu berarti ruang lebar jalur masih ada celah cukup lebar untuk masuknya sinar matahari dan lahan di antaranya dapat digarap untuk usaha pertanian. Secara gambang pemikiran ini disajikan seperti gambar berikut.

Keterangan: = tanaman pokok mengikuti atau searah garis kontur dengan jarak samping 2 m atau 1,5 m dan jarak ke depan atau belakang 5 m atau 6 m. Pada saat tanaman mulai tumbuh besar tajuknya secara terus menerus dipangkas sejauh hingga 2 atau 2,5 m tergantung jarak tanam, sehingga masih tersedia lahan dengan ruang atas terbuka untuk penanaman komoditi pertanian selebar minimal 2-3 m

Gambar 3. Teknis penanaman tcara tumpang sari sepanjang daur

= jenis komoditi pertanian seperti padi dan palawija

= sengkuap tajuk maksimum tanaman pokok setelah besar

B C

D

E

A

Gambar 2. Pola pengusahaan dengan model daur komoditi berlapis

Keterangan : A = hutan/tegakan yang berdaur panjang (>60 tahun)

B = Hutan/tegakan yang berdaur cukup panjang (40-60 tahun) C = Hutan/tegakan yang berdaur sedang (20-40 tahun) D = Hutan/tegakan yang berdaur agak pendek (10-20 tahun) E = Hutan/tegakan yang berdaur pendek (< 10 tahun )

= bidang pengelolaan hutan

(11)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman

11

III. PEMBAHASAN

IV. KESIMPULAN

Slogan forest for people kini harus betul-betul lebih dikembangkan bagi terbentuknya usaha-usaha baru yang semakin menunjang dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan cara pemanfaatan lahan hutan lebih intensif. Cara ini secara tidak langsung akan dapat menjaga ketahanan pangan dan sekaligus mengantipasi lapar lahan, dengan catatan masyarakat harus menerima kaedah persyaratannya secara konsekuen dan dengan penuh kesadaran.

Melalui pemberian peluang yang lebih besar atas kemungkinan dapat terlibatnya masyarakat baik dalam pemanfaatan lahan dan kegiatan pemanfaatan pengembangan hasil panen (kayu) atau bentuk-bentuk manfaat lainnya, seperti jasa lingkungan, maka pada pengelolaan tanaman daur berlapis diyakini dapat memberkan diperolehnya manfaat itu. Pada usaha tanaman pokok sejenis yang berumur panjang, peningkatan nilai tambah langsung bagi masyarakat melalui pemanfaatan lahan perlu waktu panjang. Sebaliknya, pada tanaman pokok yang daurnya lebih pendek maka peluang untuk usaha yang menggunakan lahan dan bahan juga akan semakin besar.

Di sisi lain dengan pengaturan jarak tanam juga akan memberikan dampak positip dengan lebih terbukanya kesempatan untuk memenuhi lapar lahan yang umumnya hampir terjadi pada desa berdekatan yang penduduknya padat. Oleh karena itu di era reformasi ini pemerintah c/q kehutanan perlu segera melakukan kajian ulang terutama pada lokasi-lokasi yang penduduk atau pemukimannya berdekatan dengan hutan cukup padat. Selain itu perlu digalakan pula kemauan usaha untuk bidang industri rumah tangga melalui arah dan target perubahan kebijakan yang intinya ada keberpihakan lebih kepada peningkatan kesempatan berusaha dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Pahpahan dalam Koran Agribisnis Vol 1 No 52 tanggal 7 Juni 2005 halaman 19 mengatakan bahwa pertanian kita saat ini terlahir dalam kondisi cacat, mengingat kita hanya melanjutkan nilai atau spirit yang ditanamkan sejak jaman penjajahan dan landasan spirit ini masih hidup hingga sekarang. Di bagian lain gagasan-gagasan pembangunan pertanian yang kita anut banyak bersumber dari hasil pemikir barat. Salah satunya Revolusi Hijau.

Menurut Pakpahan (2005), secara empiris ini persis seperti disampaikan oleh Gollin et.al. (2001) bahwa negara-negara yang berhasil melakukan transformasi ekonomi dicirikan oleh pertumbuhan produktivitas pertaniannya yang lebih tinggi daripada pertumbuhan produktivutas non pertanian di negara yang bersangkutan. Indonesia tidak mengalami apa yang dikemukakan oleh Gollin, bahkan pertumbuhan total factor productivity dan pertumbuhan pangan per kapita (1993-2000) sudah mencapai tahap yang menghawatirkan masa depan kita yang sudah bertanda negatif (Fugile, 2004) Pakpahan (2005). Karena itu dimajukan konsep revitalisasi, yang dimaknai berbeda dengan restrukturisasi. Dalam konsep ini revitalisasi (to give a new life) terkandung makna ruh atau jiwa dari suatu sistem sosial atau organisasi, sedang restrukturisasi hanya mengandung makna bagaimana mengubah struktur dan bagaimana mengorganisasikan sesuatu atau proses. Karena itu revitalisasi diperlukan, karena tidak mungkin pertanian akan berkembang jika para petaninya makin gurem, miskin dan tertinggal. Tidak mungkin pertanian akan maju dan berkembang bila nilai-nilai yang melandasi kebijaksanaan adalah nilai-nilai yang belum mampu mengangkat harkat dan martabat petani. Tidak mungkin pertanian berkembang jika kebijakan yang sama dalam bidang perbankan atau perdagangan diberlakukan sama antar sektor pertanian dengan sektor lainnya yang memiliki hakikat berbeda. Tidak mungkin pertanian akan maju dan berkembang apabila struktur ekonomi dualistic tidak mampu kita hilangkan.

Lebih jauh pemikiran itu dapat dianalogkan dengan kehutanan bahwa tidak mungkin kehutanan akan maju dan berkembang kalau nilai-nilai di atas tidak berubah. Revitalisasi yang diperlukan itu antara lain ialah pada tumpangsari sepanjang daur dan atau melakukan pengelolaan hutan dengan model hutan berlapis yang di antara tanaman pokoknya diperkenankan melakukan usaha pertanian. Yang perlu disiapkan lebih lanjut ialah bagaimana aturan main, sosialisai, penerapan, dan sangsi secara konsekuen dapat ditegakkan.

1. Revitalisasi dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan perlu dimulai antara lain dengan pembaharuan cara pembangunan hutan yakni cara tumpangsari sepanjang daur bukan 2-3 tahun saja, atau penerapan daur berlapis bukan monokultur yang daurnya panjang. Peluang tumpangsari sepanjang daur merupakan salah satu antisipasi lapar lahan yang kalau dibiarkan berlarut dapat menjadi penyebab busung lapar.

2. Tumpangsari sari sepanjang daur dapat dilakukan dengan memperlebar jarak antar tanam bisa 5 x 2 m , 6 x 2 m atau 5 x 1,5 m dan 6 x 1,5 m.

1) Peneliti Madya pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 2) Perencana Pertama pada Pusat Rencana dan Statistik Kehutanan

dalam

DAFTAR PUTAKA

Malcolm, R and Adam Markham. 1996. Ecosystem Resilience, Biodiversity and Climate Change : Setting Limits. Parks, Vol 6 No 2. IUCN. Switterland

Menko Kesra. 2005. Masih Perlu Rapat Teknis untuk Atasi Busung Lapar. Kompas tanggal 19 Juni halaman 2. PT Kompas Nusantara. Jakarta.

Pakpahan. A. 2005. Langkah satu: revitalisasi Pertanian. Pertanian Organik memakmurkan rakyat. Agro industri . Vol 1.No 52 hal 19 tanggal 7 Juni 2005. PT. Pesona Ganini Artmar. Jakarta.

Van Noordwijk, M at al . 1995. Segregate or Integrate Nature and Agriculture for Biodivesity Conservation. ICRAFT-SE ASIA, Duke University, ORSTOM.

===000===

(12)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Pendahuluan

Kenapa Harus Social Forestry ?

Kebijakan Social Forestry di Indonesia

Pengelolaan hutan setelah periode pemerintahan orde baru ditandai dengan pergeseran paradigma yang digunakan sebagai landasan berpikir dalam membuat kebijakan kehutanan. Pada masa sebelumnya pengelolaan hutan lebih berdasarkan ” ”dimana negara sangat dominan dalam menentukan kebijakan kehutanan, pusat sangat menentukan, dan birokrasi sangat kuat dalam pengaturan. Pengelollaan hutan sebelumnya juga sangat berorientasi pada” ”dimana hutan ditargetkan menjadi sumber devisa, pengelolaan diberikan pada korporasi, dan masyarakat sekitar hutan menjadi terpinggirkan. Pasca pemerintahan orde baru ditandai tampilnya pemerintahan orde reformasi, lalu muncul paradigma baru dalam pengelolaan hutan dimana pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat ( ) menjadi lebih populer. Paradigma CBFM ini kemudian mewujudkan dirinya dalam kebijakan social forestry yang menekankan peranan masyarakat yang lebih besar dalam pengelolaan hutan.

Masyarakat lokal atau masyarakat di sekitar hutan, yang kehidupannya memiliki ketergantungan dengan sumberdaya hutan, dalam pembangunan kehutanan paradigma baru telah menjadi lebih berperan dan diikutkan dalam pengelolaan hutan. Namun demikian mestinya tidak hanya sampai kepada turut mengelola dan turut memperoleh manfaat dari sumberdaya hutan. Menjadi pertanyaan adalah apakah pada masyarakat tersebut telah terjadi pemberdayaan yang sebenarnya ?. Pemberdayaan seperti apakah yang seharusnya bisa dicapai dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat ?. Bagaimana pemberdayaan masyarakat dilakukan agar tercapai tingkat keberdayaan dan tingkat kesejahteraan yang lebih baik ?. Beberapa pertanyaan tersebut akan dicoba dikupas melalui uraian dari tulisan ini, dengan pendekatan teoritis disertai ilustrasi kondisi praktis pengelolaan hutan di Indonesia.

Uraian dalam tulisan ini akan dimulai dari alasan kenapa harus Social Forestry, seperti apa kebijakan kehutanan berbasis masyarakat saat ini, seperti apa konsep pemberdayaan masyarakat, elemen kunci keberhasilan social forestry, dan pengembangan kelompok menuju keberdayaan masyarakat sekitar hutan dan diakhiri penutup sebagai simpulan dari tulisan ini.

Social forestry muncul dan menjadi relevan dikembangkan di Indonesia sebagai respon terhadap berbagai permasalahan yang urgen dan semakin tumbuh yaitu (Awang 2004:5, Thompson 1999:3):

(1) Laju pertambahan penduduk di pedesaan yang terus naik dan pada saat yang sama luas lahan tidak pernah mengalami penambahan. Diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produktivitas kawasan hutan.

(2) Kemiskinan dan peluang kerja, desa-desa di sekitar kawasan hutan dihuni oleh penduduk yang miskin lahan karena sebagian besar sumber daya alamnya menjadi milik negara. Kegiatan kehutanan sosial akan membuka peluang kerja di pedesaan melalui ragam rekayasa penggunaan lahan.

(3) Tuntutan demokrasi yang semakin membuka peluang kepada masyarakat untuk mengambil bagian aktif dalam pengelolaan hutan.

(4) Kerusakan lingkungan yang salah satunya diakibatkan model kehutanan berbasis industri yang selama ini dikembangkan dan tidak menjadikan hutan semakin baik.

(5) Munculnya berbagai konflik tentang kawasan hutan negara antara masyarakat dan pemerintah, masyarakat dan pengusaha, antar masyarakat, akibat kebijakan pemerintah yang kurang tepat.

(6) Kegagalan kebijakan pemerintah dalam panggunaan lahan.

Argumen lainnya dikemukakan oleh David Korten (1986) yang mengemukakan tiga alasan kenapa pengelolaan sumberdaya alam harus berbasis masyarakat yaitu : (1) Adanya keragaman lokal, bahwa kehidupan masyarakat dicirikan keragaman yang substansial dalam hal kondisi alam, kondidi sosial dan pilihan individu; (2) Adanya sumberdaya lokal, bila masyarakat lokal telah berkomitmen terhadap sesuatu, maka mereka bisa memobilisasi berbagai sumberdaya untuk mewujudkannya; (3) Akuntabilitas lokal, salah satu prinsip masyarakat demokratis yaitu bahwa kontrol masyarakat (lokal) terhadap sesuatu (sumberdaya), maka konsekuensi akan ditanggung oleh masyarakat tersebut. Dengan argumen tersebut Korten mendukung perlunya format organisasi baru dan pendekatan program yang baru yang mendorong inisiatif lokal, akuntabilitas, dan pengaturan sendiri sehingga memperkuat proses belajar sosial dan meningkatkan kemandirian masyarakat lokal.

Disamping beberapa alasan kondisi lokal yang ada, maka secara internasional isu tentang kehutanan yang harus berorientasi kepada masayrakat juga mendapatkan penekanan yang kuat. Pada Agenda 21 at the United Nations Conference on Environment and Development, telah disepakati model kehutanan yang lebih memberikan peran sosial pada masyarakat termasuk partisipasi yang lebih besar bagi penduduk miskin. Pada prinsip 22 dari Deklarasi Rio pada Lingkungan dan Pembangunan juga disebutkan bahwa masyarakat asli dan komunitas lokal memiliki peranan yang vital dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan karena pengetahuan dan pengalaman tradisional-nya. Negara harus memberikan penghargaan dan dukungan terhadap identitas, budaya dan kepentingannya serta mendorong partisipasi dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan.

Berbagai kebijakan yang mendasarkan kepada paradigma pembangunan kehutanan yang berbasis masyarakat telah diadopsi oleh pemerintah. Dalam tulisan ini akan diulas secara singkat dua kebijakan tentang social forestry dan sejauhmana arahnya terhadap pemberdayaan masyarakat, yaitu yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan dan program yang diluncurkan oleh Perhutani.

Permenhut No. P.01/MENHUT-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Dalam Dan Atau Sekitar hutan Dalam Rangka Social Forestry secara tegas menyatakan maksud pemberdayaan masyarakat di dalam dan atau sekitar hutan adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan hutan dalam rangka social forestry. Tujuan pemberdayaan masyarakat dalam hal ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari. Prinsip-prinsip yang sangat terkait dengan pemberdayaan masyarakat yaitu

state based

economic-based

community based forest management

Orientasi Pemberdayaan Masyarakat Dalam

Pengelolaan Sumberdaya Hutan

(13)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman

13

swadaya, kebersamaan dan kemitraan. Misalnya kemitraan berarti antara masyarakat dengan pihak pengelola hutan negara. Salah satu strategi pokok pengembangan social forestry melalui kelola kelembagaan, yaitu penguatan organisasi, penetapan aturan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia. Peningkatan kapasitas sumberdaya manusia seperti apakah yang bisa menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya ?. Hal ini perlu perlu dilihat dari implementasi kebijakan tersebut selanjutnya.

Kebijakan yang dilakukan oleh Perhutani dituangkan dalam Keputusan Ketua Dewan Pengawas Perum Perhutani Nomor : 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama masyarakat atau yang dikenal dengan PHBM. Program PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi perusahaan. Salah satu tujuannya yaitu meningkatkan pendapatan perusahaan, masyarakat desa hutan serta pihak yang berkepentingan secara simultan. Berdasarkan tujuan dari PHBM, maka pemberdayaan masyarakat dalam hal ini lebih kepada aspek ekonomi yaitu dari segi peningkatan pendapatannya. Sejauhmana peningkatan pemberdayaan dalam arti luas perlu dilihat dari pelaksanaan program tersebut di lapangan.

Dari dua kebijakan tersebut, secara tersirat disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat sekitar hutan menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai didalam pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Pemberdayaan masyarakat itu sendiri sebenarnya sebuah konsep yang cukup luas pengertiannya, sehingga perlu ditinjau dari beberapa perspektif untuk sampai kepada pengertian dalam konteks social forestry.

Konsep ”pemberdayaan” atau mencakup pengertian yang sangat luas. Salah satu pandangan dari perspektif pembangunan masyarakat ( ) dikemukakan oleh Jim Ife (2003:53-61) yang memberikan

definisi singkat” ”. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan

daya / kekuasaan dari kelompok yang kurang beruntung. Dalam konteks social forestry, secara lebih spesifik pemberdayaan merupakan peningkatan daya dari kelompok masyarakat sekitar hutan yang miskin, meliputi akses terhadap sumberdaya alam hutan melalui kebijakan dan perencanaan. Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan ini dicapai dengan pengembangan struktur atau institusi untuk memberikan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan kesempatan berpartisipasi didalam pengelolaannya.

Menurut studi dari Cornell Empowerment Group dalam Perkins & Zimmerman (1995), yang berorientasi psikologi sosial, maka pemberdayaan adalah suatu proses yang didesain secara terus menerus pada komunitas lokal yang melibatkan rasa saling menghargai, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, dimana orang-orang yang berada dalam kekurangan sumberdaya yang bernilai akan bisa memperolah akses yang lebih besar kepada dan kontrol yang lebih tinggi terhadap sumber-sumberdaya tersebut. Singkatnya masyarakat memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya, partisipasi yang demokratis dalam komunitasnya dan pengertian yang lebih kritis dari lingkungannya. Jadi pada level komunitas, pemberdayaan mengacu kepada tindakan kolektif untuk memperbaiki kuallitas kehidupan dalam masyarakat dan terhadap hubungan diantara organisasi-organisasi sosial. Ditekankan lebih lanjut bahwa masyarakat yang berdaya bukan hanya kumpulan dari individu yang berdaya.

Dari perspektif penyuluhan pembangunan, Margono Slamet (2003) memberikan pengertian pemberdayaan masyarakat adalah sebagai masyarakat yang mampu membangun/memperbaiki kehidupannya sendiri, atau masyarakat yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, tidak tergantung dari”belas kasih”pihak lain. Mampu dalam hal ini berarti berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memenfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mempu mencari dan menagkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi.

Berdasarkan pengertian pemberdayaan tersebut diatas, maka bisa disimpulkan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya mencakup berdaya secara psikologis (individu), secara sosial, dan akhirnya secara ekonomi. Dalam konteks masyarakat sekitar hutan, atau masyarakat yang kehidupannya tergantung kepada sumberdaya hutan maka pemberdayaan berarti masyarakat memperoleh akses dan kontrol yang lebih besar dalam pengelolaan hutan. Dengan akses yang lebih besar, maka partisipasi masyarakat dalam pengelolaan juga harus lebih tinggi. Kapasitas masyarakat harus meningkat sehingga mereka mampu meningkatkan kehidupannya secara mandiri. Pada akhirnya masyarakat tersebut akan mengalami peningkatan kesejahteraannya dan meningkat keberdayaannya. Agar aspek pemberdayaan masyarakat bisa dicapai dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat, maka beberapa faktor kunci keberhasilan social forestry perlu diperhatikan.

Keberhasilan suatu program kehutanan sangat tergantung pada keterlibatan secara aktif dari masyarakat sekitar hutan dalam perlindungan, pengembangan dan pengelolaan dari sumberdaya hutan. Program tersebut juga harus bisa memberikan kemanfaatan terhadap masyarakat sehingga bisa mendorong partisipasi dari masyarakat. World Bank berpandangan bahwa social forestry sangat terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Oleh karena itu menurut World Bank (Thompson, 1999:6) elemen-elemen kunci dari program social forestry meliputi :

(1) Pengumpulan data kondisi hutan saat ini, sistem produksi dan kebutuhan masyarakat lokal; (2) Pengembangan organisasi lokal untuk pengelolaan hutan yang partisipatif;

(3) Pengenalan inovasi teknologi yang sesuai yang menyediakan keuntungan jangka pendek, jangka menegah dan jangka panjang (misalnya sistem agroforestry) dan;

(4) Pengembangan dan legalisasi sistem kontrak jangka panjang untuk menyediakan keamanan dan insentif bagi masyarakat lokal.

Dari elemen-elemen tersebut, salah satu elemen penting yang sangat menunjang pemberdayaan masyarakat lokal yaitu pengembangan organisasi lokal. Dalam hal ini salah satunya adalah pengembangan kelompok masyarakat lokal agar mampu ikut dalam pengelolaan hutan secara partisipatif. Hal ini menjadi penting karena kelompok lokal nantinya akan melakukan kemitraan dengan pengelola hutan yaitu negara (baik Dinas yang menangani kehutanan maupun Perhutani). Kemitraan yang diwujudkan dalam pengelolaan bersama menghendaki adanya kesetaraan antar dua pihak yang melakukan kerjasama. Oleh karena itu pengembangan kelompok masyarakat lokal menjadi penting agar mereka memiliki kemampuan dan kapasitas untuk turut mengelola sumberdaya hutan. Pengembangan kelompok juga penting karena pihak pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan masyarakat lokal, yang akan lebih efektif dengan menggunakan pendekatan kelompok. Oleh karena itu agar pemberdayaan masyarakat sekitar hutan bisa dicapai, sangat perlu diperhatikan aspek pengembangan terhadap kelompok masyarakat lokal.

Pengembangan kelompok masyarakat sekitar hutan sangat penting agar kelompok tersebut dinamis. Kelompok yang dinamis ditunjukkan oleh banyaknya dan kualitas aktivitas yang dilakukan. Kelompok yang dinamis juga ditunjukkan oleh anggotanya yang bersemangat dan berperilaku sesuai yang diharapkan. Kelompok yang dinamis menjadi suatu lembaga yang kuat dan mampu melakukan kemitraan dalam rangka pengelolaan hutan. Kemampuan yang tinggi dari anggota maupun kelompok secara institusi akan meningkatkan pencapaian tujuan kelompok yang tentu salah satunya adalah peningkatan

Pemberdayaan Masyarakat

Elemen Kunci Keberhasilan Social Forestry

Pengembangan Kelompok Menuju Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan

empowerment

community development

(14)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

kesejahteraannya. Kesejahteraan merupakan salah satu indikator dari tingkat keberdayaan dari masyarakat sekitar hutan. Pengembangan kelompok bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori dinamika kelompok, yang memandang

kelompok dari beberapa faktor yang bisa dijadikan bahan dalam melakukan pembinaan. Adapun faktor-faktor dinamika kelompok tersebut yaitu :

(1) Tujuan kelompok. Tujuan kelompok yaitu apa yang ingin dicapai oleh kelompok. Tujuan harus jelas, dan diketahui anggota. Tujuan anggota juga harus kongruen dengan tujuan kelompok. Tujuan juga harus relatif dekat dalam pencapaiannya.

(2) Struktur kelompok. Struktur kelompok yaitu bagaimana kelompok itu mengatur dirinya sendiri dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

(3) Fungsi tugas. Fungsi tugas yaitu tugas-tugas apa yang seharusnya dilakukan dalam / oleh kelompok agar tujuan kelompok dapat tercapai.

(4) Pembinaan dan pengembangan kelompok. Yaitu usaha menjaga kelompok agar tetap hidup dan selalu mempunyai aktivitas. (5) Kekompakan kelompok. Kelompok harus dijaga kesatuan dan persatuannya agar bisa menggalang kekuatan bersama

melalui komitmen yang kuat dari seluruh anggota.

(6) Suasana kelompok. Suasana kelompok meliputi sikap mental dan perasaan yang secara umum ada daalm kelompok. (7) Ketegangan kelompok. Ketegangan kelompok yaitu ketegangan yang terasa ada dalam kelompok, yang bersumber dari

dalam maupun dari luar kelompok.

(8) Kefektifan kelompok. Keberhasilan kelompok dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan cenderung meningkatkan dinamika kelompok.

(9) Maksud tersembunyi. Yaitu program, tugas atau tujuan yang tidak disadari / tidak diketahui oleh para anggota kelompok, dan berada di bawah permukaan. Maksud tersembunyi juga sam apentingnya dengan maksud dan tujuan yang terbuka / dinyatakan.

Faktor-faktor dari dinamika kelompok tersebut perlu diperkuat dan diperjelas dalam melakukan pembinaan kelompok sehingga kelompok masyarakat lokal sekitar hutan menjadi lebih dinamis dan siap melakukan kolaborasi dengan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Terjadinya interaksi antar masyarakat sekitar hutan dalam wadah kelompok tersebut sangat penting karena kelompok bisa menjadi forum komunikasi yang demokratis antar individu pada tingkat akar rumput. Adanya kelompok yang dinamis juga sangat diperlukan sebagai wadah dalam melakukan komunikasi dan negosiasi dengan pihak pengelola hutan (Pemerintah/Perhutani). Adanya kelompok yang dinamis juga memudahkan pihak pemerintah melakukan penyuluhan dalam rangka pengelolaan hutan bersama masyarakat. Kelompok yang dinamis juga sebagai wahana belajar dan forum pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebutuhan mereka dan perbaikan nasib kehidupannya.

Melalui forum kelompok masyarakat sekitar hutan inilah maka pemberdayaan ditumbuhkan. Individu anggota kelompok menjadi lebih mampu karena pengetahuan, sikap dan keterampilannya dalam pengelolaan hutan meningkat. Secara sosial para anggota kelompok juga menjadi lebih berdaya karena terjadinya interaksi dan sinergi dengan sesama anggota yang positip. Secara ekonomi anggota kelompok juga akan lebih berdaya karena memperoleh tambahan pendapatan dan penghasilan dari pengelolaan hutan bersama. Tingkat keberdayaan masyarakat yang semakin meningkat akan meningkatkan kemandirian masyarakat sehingga menjadi tidak begitu tergantung lagi nasibnya kepada pihak lain. Masyarakat sekitar hutan yang mandiri dan sejahtera tentu akan bisa lebih menjaga kelestarian hutan dengan lebih baik. Sehingga tujuan dari pengelolaan hutan berbasis masyarakat yaitu masyarakat yang sejahtera dan hutan tetap lestari bisa benar-benar terwujud.

Pengelolaan hutan yang berbasis pada masyarakat telah menjadi suatu paradigma baru yang mewarnai kebijakan pengelolaan hutan saat ini. Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat yaitu pemberdayaan masyarakat (lokal) yang kehidupannya sangat tergantung kepada sumberdaya hutan di sekitarnya. Pemberdayaan masyarakat dalam konteks pengelolaan hutan itu sendiri pada hakekatnya adalah akses dan kontrol yang lebih besar dari masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Akses yang lebih besar juga menuntut partisipasi masyarakat yang lebih tinggi dalam pengelolaan hutan. Masyarakat juga dituntut menjadi lebih mampu dan memiliki kapasitas untuk turut mengelola sumberdaya hutan. Oleh karena itu pengembangan organisasi lokal yang secara khusus yaitu pengembangan kelompok masyarakat sekitar hutan sangat perlu dilakukan oleh pemerintah. Pengembangan kelompok masyarakat lokal ini merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan Social Forestry. Pengembangan kelompok masyarakat sekitar hutan tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan dinamika kelompok. Kelompok masyarakat yang dinamis pada akhirnya akan lebih siap dan memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan kemitraan dengan pemerintah dalam mengelola sumberdaya hutan. Kapasitas kelompok yang baik dalam mengelola hutan akan meningkatkan tingkat keberdayaan para anggotanya baik secara psikologis, sosial, dan secara ekonomi yang ditandai dengan peningkatan tingkat kesejahteraannya. Semoga.

Penutup

Daftar Pustaka

Awang, San Afri. 2004. Yogyakarta : Bigraf Publishing.

Ife, Jim. 2002. . 2 ed. New South Wales : Pearson Education Australia.

Korten, David C. 1986. . New Haven, Connecticut : Kumarian Press.

Perkins, Douglas D., dan Zimmerman, Marc A. 1995. . American Journal of Community

Psychology. Oct 1995 Vol. 23. Iss. 5; pg. 569 New York. ?

Thompson, Herb. 1999. . Journal of Contemporary Asia. Vol. 29, Iss.2, pg 187.

Manila. ?

Slamet, Margono. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam : . (Ed. Adjat Sudrajat & Ida

Yustina). Bogor : IPB Press.

===========================

*) Staf Biro Kepegawaian Dephut & Karyasiswa Program S3 Penyuluhan Pembangunan IPB Bogor)

Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Community Development

Community Management : Asian Experience and Perspectives

Empowerment Theory, Research, and Application

Social Forestry : An Analysis of Indonesian Forestry Policy

Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan nd

http://www.proquest.umi.com/pqdweb

(15)

G

P

L

A

N

L

O

BULETIN

Halaman

15

ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA (AP2I)

I. Anggaran Dasar AP2I

yang didirikan pada tanggal 6 desember 2005 dan ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi profesi Perencana Pemerintah di Indonesia merupakan wadah bagi seluruh perencana pemerintah yang tidak hanya untuk perencana pemerintah saja namun juga untuk pejabat struktural perencana dan bagi mereka yang dipandang memiliki peran menentukan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.

Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia adalah organisasi profesi bagi Pegawai Negeri Sipil yang memangku jabatan fungsional perencana yang berbentuk asosiasi.

Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia mandiri, bukan organisasi pemerintah, bukan organisasi politik dan atau tidak merupakan bagiannya, yang dalam melakukan kegiatannya menjunjung tinggi etika profesi.

Melalui Musyawarah Nasional I (MUNAS ) yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 29 dan 30 agustus 2006 telah disahkan Anggaran Dasar AP2I dan Kode Etik Perencana Pemerintah Indonesia dan telah dibentuk Pengurus Nasional AP2I.

Dalam Anggaran Dasar AP2I telah ditetapkan ini yaitu : 1. Meningkatkan kemampuan profesionalitas dan produktifitas perencana 2. Meningkatkan kapasitas dan produktivitas instansi/unit perencana 3. Menerapkan kode etik perencana

4. Mengembangkan jejaring kerjasama antar anggota AP2I

organisasi profesi ini yaitu :

Menghimpun dan mempersatukan para Perencana menjadi anggota Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia.

Menjaga dan mengawasi setiap anggota agar menjunjung tinggi martabat kehormatan profesi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta Undang-Undang-Undang-Undang lain yang relevan dan Kode Etik.

Melakukan penerbitan dan publikasi serta melakukan riset dalam bidang perencanaan pembangunan. Meningkatkan profesionalisme anggota.

Memelihara dan meningkatkan kerjasama dengan organisasi-organisasi profesi/badan-badan/lembaga-lembaga/instansi-instansi pemerintah dan swasta, baik di dalam maupun di luar negeri.

Melakukan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan lain yang perlu dan bermanfaat bagi anggota dalam menjalankan tugas profesinya.

Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia sebagai wadah dan wahana komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi Perencana, antara Perencana dan pemerintah; Perencana dan pemangku jabatan struktural; dan diantara para Perencana, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas perencanaan dalam rangka membentuk Perencana yang profesional.

Keanggotaan AP2I terdiri dari :

1. Anggota Biasa, yaitu pemangku jabatan fungsional perencana yang mendaftarkan diri dengan masa berlaku keanggotaan selama tiga (3) tahun.

2. Anggota Luar Biasa, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada dalam status dibebaskan sementara dari jabatan fungsional perencana dan mendaftarkan diri dengan masa berlaku keanggotaan selama tiga (3) tahun.

3. Anggota Kehormatan, yaitu tokoh Perencana Pemerintah, Perencana lain dan individu yang dipandang telah berjasa kepada Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia dalam lingkup nasional, propinsi ataupun kabupaten/kota yang ditetapkan oleh Pengurus Nasional Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia dengan masa berlaku keanggotaan selama tiga (3) tahun.

Setiap anggota Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia :

Mentaati dan melaksanakan sepenuhnya semua ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan Asosiasi Perencana Pemerintah Indonesia.

Menjaga dan menj

Gambar

Gambar 1. Antisipasi pengembangan usaha kehutanan model daur berlapis
Gambar 3. Teknis penanaman tcara tumpang sari sepanjang daur
Tabel 2. Satuan besaran resiko dalam perencanaan hutan
Gambar 1 : Skema Proses Evaluasi Program secara Komprehensif

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) observasi langsung yang bersifat partisipasi pasif maupun aktif dimana peneliti dapat mengamati obyek penelitian; (2)

Giriş bölümünde, “Tarih İçinde Yunanlılar” konusu işle­ necektir. Yunanca’nm gelişimi ve tarihi, çağdaş Yunanlılık’ın bir öğesini oluşturan Ortodoksluk ve

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh kesimpulan,antara lain: 1) Siswa mengalami banyak kesalahan pada operasi aljabar matematika. Sehingga siswa mengalami

Dari sisi kinerja berdasarkan hasil analisis data terihat bahwa kinerja memiliki skor rata-rata 4,32 dengan nilai TCR (tingkat capaian rata-rata) sebesar 86,36

OD untuk system plts yang digunakan untuk lighting (lampu penerangan), biasanya ditetapkan 3 hari, tetapi pada system plts untuk  telekomunikasi paling tidak 7

[r]

“Penerapan Model Pembelajaran Think Talk Write (TTW) Berbantuan Media Gambar Seri Untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan Siswa KelasIII SD”.. Model-Model

Sedimentasi atau pengendapan adalah proses pengendapan sedimen yang dihasilkan oleh proses erosi dan terbawa oleh suatu aliran akan diendapkan pada suatu tempat yang kecepatan