• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Kajian Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab II Kajian Pustaka"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II Kajian Pustaka

II.1 Pembuatan Keputusan

Keputusan merupakan penilaian atas pendapat terhadap persoalan yang dipertimbangkan atau tindakan atas pencapaian kesimpulan (www.answers.com).

Sedangkan pembuatan keputusan menurut Druzdzel (2003) merupakan problem pemilihan terhadap sejumlah alternatif. Lain halnya dengan Turban dkk. (2005) yang mendefinisikan pembuatan keputusan sebagai suatu proses memilih di antara berbagai tindakan dengan maksud mencapai goals tertentu. Berdasarkan kedua definisi terdapat kesamaan bahwa pembuatan keputusan akan melibatkan proses memilih.

Pembuatan keputusan yang dilakukan oleh individu baik bagi dirinya sendiri maupun bagi organisasi akan mencakup proses pengenalan problem, pencarian solusi yang tersedia dan bagaimana penerimaan terhadap pilihan solusi tersebut.

Menurut Cook (2002), pembuatan keputusan bergantung pada persepsi individu yang terlibat, sehingga mungkin saja terjadi perbedaan mengenai cara pendefinisian problem bagi setiap individu. Adapun hal utama yang membedakan pembuatan keputusan yang sifatnya personal dengan keorganisasian adalah dampak banyaknya aktor yang menentukan penerimaan keputusan tersebut.

II.1.1 Proses Pembuatan Keputusan

Proses pembuatan keputusan pada organisasi tidak bisa disamakan untuk setiap problem, namun harus disesuaikan dengan karakteristik problem keputusan yang dihadapi. Pada organisasi umumnya akan terdapat banyak orang yang memberikan pandangan/penilaian dalam menghasilkan alternatif, menilai konsekuensi, menerapkan berbagai aspek pada pilihan, dan lain sebagainya.

Menurut Nutt (1984), proses pembuatan keputusan berasal dari serangkaian aktivitas yang diawali dengan identifikasi suatu isu dan diakhiri dengan tindakan.

Pada Gambar II.1 diperlihatkan proses pembuatan keputusan dengan memanfaatkan SPPK.

(2)

Gambar II.1 Proses pembuatan keputusan dengan SPPK (Courtney, 2001)

II.1.2 Sistem Pendukung Pembuatan Keputusan (SPPK)

SPPK seringkali didefinisikan sebagai perangkat berbasis komputer sebagai pendamping bagi pembuat keputusan, yang menyediakan fasilitas dan menerima input sejumlah besar fakta dan metode, kemudian mengubahnya menjadi bentuk perbandingan yang memiliki arti, atau berupa grafik dan tren sehingga memudahkan dan meningkatkan kemampuan pembuat keputusan dalam membuat keputusan (Bhatt, 2002). SPPK memiliki kemampuan mendukung berbagai jenis pembuatan keputusan, serta mendukung pilihan, dan juga membantu dalam memodelkan dan melakukan analisis sistem, identifikasi kemungkinan kebutuhan keputusan, dan menyusun problem keputusan (Druzdzel, 2003). Dengan adanya SPPK, akan terjadi kombinasi antara kemampuan terbaik manusia dan komputer.

Jika manusia memiliki kemampuan untuk mengenali pola pada banyak faktor yang mempengaruhi keputusan, maka komputer unggul dalam kecepatan dan akurasi yang lebih baik daripada manusia (Makowski, 1994).

Pada awal perkembangannya, SPPK berkembang sebagai sistem komputer yang menangani problem semi terstruktur. Aplikasi tersebut cenderung membutuhkan data dari luar organisasi dan data tersebut dapat berbentuk tren atau perkiraan.

(3)

Kebutuhan informasi yang ill-defined pada situasi tersebut membutuhkan database yang berbeda dari lingkungan operasional. Serupa dengan hal tersebut, lingkungan keputusan yang ill-structured menunjukkan kebutuhan akan sistem pemodelan yang fleksibel dan interaktif (Courtney, 2001). Jika ill-defined berhubungan dengan data yang tidak terdefinisi dengan baik, maka ill-structured berhubungan dengan keputusan yang tidak memiliki pola tertentu sehingga membutuhkan interaksi dengan user.

Pembuatan kategori SPPK dapat membantu para peneliti dan manajer dalam memahami bagaimana sistem informasi mempengaruhi behavior keputusan dan bagaimana sebaiknya susunan sistem tersebut (Power, 2005). Jika dibedakan berdasarkan komponen arsitektur dominannya, terdapat lima kategori yang membedakan SPPK dalam menyediakan fungsionalitas untuk mendukung pembuatan keputusan, yaitu:

a) SPPK yang dikendalikan oleh model (model-driven DSS)

Sistem kompleks yang membantu menganalisis keputusan atau memilih diantara berbagai pilihan. SPPK seperti ini umumnya digunakan oleh staff atau orang yang berinteraksi dengan organisasi dengan sejumlah tujuan bergantung pada bagaimana model disusun, misalnya untuk penjadwalan dan analisis keputusan.

b) SPPK yang dikendalikan oleh komunikasi (communication-driven DSS) Umumnya ditujukan bagi tim internal, termasuk partner, dengan maksud untuk membantu melakukan pertemuan atau kolaborasi pengguna. Teknologi yang paling umum digunakan pada SPPK seperti ini adalah web atau client server. Misalnya, perangkat lunak untuk chat dan instant messaging, sistem kolaborasi online dan net-meeting.

c) SPPK yang dikendalikan oleh data (data-driven DSS)

Umumnya ditujukan bagi manajer, staf, dan juga supplier produk/layanan, digunakan untuk melakukan query ke database atau data warehouse untuk mencari jawaban spesifik untuk tujuan tertentu.

(4)

d) SPPK yang dikendalikan oleh dokumen (document-driven DSS)

SPPK jenis ini umumnya digunakan untuk mencari halaman web dan dokuman berdasarkan kata kunci tertentu. Teknologi yang biasa digunakan untuk membangunnya adalah sistem via web atau client/server.

e) SPPK yang dikendalikan oleh pengetahuan (knowledge-driven DSS)

Mencakup seluruh kategori dari sejumlah besar sistem termasuk pengguna dalam organisasi, juga dapat mencakup interaksi dengan organisasi, misalnya konsumen pada bisnis tertentu. SPPK jenis ini biasanya digunakan dalam menyediakan saran manajemen atau memilih produk/layanan.

Berikut adalah karakteristik SPPK yang digunakan dalam penelitian ini:

a) SPPK bukan sekedar tools, namun berupa sistem yang mendukung pengelolaan dan pemrosesan sejumlah besar informasi dan hubungan logika yang membantu pembuat keputusan untuk mencapai keputusan yang lebih baik.

b) SPPK yang dimaksud tidak ditujukan untuk menyelesaikan problem keputusan, sehingga tidak mendukung keputusan tunggal atau membatasi sejumlah kemungkinan keputusan.

c) SPPK harus mendukung user pada proses pembuatan keputusan dengan menyediakan fungsi pemeriksaan konsekuensi dari setiap keputusan dan membantu menemukan keputusan yang terbaik untuk mencapai goal.

II.2 Systems Thinking

Sejak tahun 1940, sebagian besar peneliti dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya biologi, matematika, dan filosofi, mulai menyadari bahwa segala sesuatu merupakan bagian dari kesatuan yang lebih besar. Hal tersebut menunjukkan pergeseran fokus dari parsial menjadi holistic, sesuai dengan keberadaan bagian dalam sistem yang dinaunginya.

Sistem telah berkembang menjadi semakin kompleks, dinamis, saling terhubung, dan terotomatisasi. Dengan adanya systems thinking, akan tersedia suatu filosofi holistic dengan kemampuan membuka struktur sistem yang critical seperti

(5)

batasan (boundaries), input, output, spatial orientation, struktur proses, dan interaksi yang kompleks antara sistem dengan lingkungannya. Pemahaman mengenai struktur sistem tersebut akan memudahkan system engineers dalam mendesain serta menghasilkan sistem yang menekankan pada kapabilitas yang tinggi bagi konsumennya (Parnell, 2008).

Systems thinking dapat dianggap sebagai sebuah disiplin ilmu, dengan berbagai pendekatan, metode, dan tools. Menurut Rubenstein-Montano dkk. (2001), systems thinking diartikan sebagai suatu kerangka konseptual untuk menyelesaikan problem dengan memandang problem secara utuh. Jika diformulasikan, menurut Dorner dalam Ossimitz (2001):

systems thinking = systemic, complex situation + situation-adequate thinking

Adapun outcome dari systems thinking sangat bergantung pada pendefinisian sistem yang diamati, karena systems thinking memeriksa hubungan antar berbagai bagian pada sistem yang didefinisikan tersebut.

II.2.1 Definisi Sistem

Penggunaan kata sistem sudah sangat umum digunakan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti sistem informasi, sistem pencernaan, sistem hukum, dan lain sebagainya. Namun, apakah pengertian sistem itu sendiri? Berikut ini adalah beberapa definisi sistem yang digunakan dalam penelitian dan buku pedoman:

a) Menurut Checkland (1981) dalam Waring (1996), definisi sistem biasanya terkait dengan cara pandang individual, yang dinyatakan sebagai:

“a model of a whole entity…(which may be) applied to human activity.

An observer may choose to relate this model to real-world activity.”

Penekanannya berada pada ‘as-if’ problem dan hubungannya dengan world- view. Misalnya, saat mengacu pada sistem organisasi maka akan terdapat kebutuhan dan tujuan, serta melaksanakan behaviour, yang menunjukkan world-view dengan karakteristik atribut individu pada entitas sekumpulan individu – as if entitinya adalah individu. Selain definisi tersebut, Checkland juga menyatakan karakteristik sistem sebagai berikut:

(6)

1. melakukan sesuatu (terdapat proses dan output)

2. penambahan atau penghilangan komponen akan mengubah sistem 3. komponen terpengaruh oleh keterlibatannya dalam sistem

4. komponen dianggap berhubungan dengan struktur hierarkis 5. terdapat cara untuk mengontrol dan mengkomunikasikan

6. memiliki emergent properties, sebagai behavior yang baru atau berbeda dengan behavior komponen-komponen individual

7. memiliki batasan

8. di luar batasan adalah lingkungan sistem yang berpengaruh pada sistem 9. sistem dimiliki oleh seseorang

b) Menurut Ossimitz (2001), sistem memiliki karakteristik yang terdiri atas:

1. sistem mencakup sejumlah elemen

2. terdapat keterhubungan antarelemen tersebut yang bersifat fungsional 3. setiap sistem memiliki batasan terhadap lingkungan sekitarnya

4. sistem seringkali memiliki dynamic behavior

5. elemen sistem dapat dianggap sebagai subsistem yang utuh atau sebuah sistem bisa jadi merupakan elemen tunggal dari sistem yang lebih besar

c) Menurut Turban dkk. (2005), sistem adalah sekumpulan objek seperti orang, sumber daya, konsep, dan prosedur yang dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi yang telah diidentifikasi atau untuk mencapai goal.

d) Menurut Vo dkk. (2006), sistem adalah entitas lengkap dengan dua atau lebih bagian yang memiliki keterhubungan antarbagian dan juga hubungan dengan lingkungannya.

e) Menurut Parnell (2008), sistem memiliki beberapa atribut penting yang mencakup:

1. sistem memiliki elemen-elemen yang saling berhubungan dan berinteraksi untuk melaksanakan fungsi sistem dalam memenuhi kebutuhan produk dan layanan bagi konsumennya

(7)

2. sistem memiliki tujuan-tujuan yang dicapai dengan melaksanakan fungsinya

3. sistem berinteraksi dengan lingkungannya dan juga mempengaruhi stakeholder

4. sistem membutuhkan systems thinking yang memanfaatkan proses berpikir systems engineering

5. sistem menggunakan teknologi yang dikembangkan oleh engineers dari seluruh disiplin engineering

6. sistem memiliki daur hidup sistem termasuk elemen resiko yang dikelola oleh manajer engineering di sepanjang daur hidupnya

7. sistem membutuhkan keputusan sistem, analisis dari engineers sistem, serta keputusan yang dibuat oleh manajer engineering

Berdasarkan definisi dan karakteristik yang telah dijabarkan, maka terdapat keumuman bahwa sistem merupakan sekumpulan elemen dengan keterhubungan antarsesamanya dan juga dengan lingkungannya, dengan batasan yang memisahkan sistem dan lingkungannya, serta memiliki tujuan tertentu yang akan dicapai dengan menjalankan fungsi-fungsi yang dimiliki. Definisi dan karakteristik sistem tersebut merupakan dasar untuk memahami dan menggunakan pendekatan systems thinking.

II.2.2 Systems View

Cara pandang sebuah sistem atau yang dikenal sebagai system view sangatlah berbeda dengan cara pandang tradisional ataupun proses berpikir engineering pada umumnya. Proses berpikir engineering umumnya menekankan bahwa memecah suatu struktur menjadi bagian-bagian terkecilnya, memahami bagian- bagian tersebut, kemudian menyusunnya, akan menjadikan seseorang paham struktur tersebut. Namun, umumnya para engineers tersebut akan menghadapi problem yang semakin memperlihatkan keterkaitan antara satu dengan yang lainnya (Parnell, 2008). Lain halnya dengan cara pandang sebuah sistem yang menekankan untuk memandang sesuatu secara keseluruhan (holistic) dengan tidak menghilangkan proses mempelajari bagaimana bagian-bagian di dalamnya bekerja

(8)

bersama-sama (Seddon, 2008). Sehingga dapat dikatakan bahwa proses systems engineering adalah rangkaian yang terstuktur secara logis dan holistic dari aktivitas cognitive yang mendukung desain, analisis, hingga pembuatan keputusan sistem untuk memaksimalkan nilai yang dihasilkan oleh sistem tersebut bagi stakeholder.

II.2.2.1 Multiple Perspectives

Menururt Churchman dalam Ho dan Sculli (1994), pendekatan sistem diawali dengan menggunakan sudut pandang orang lain terhadap sesuatu dan berada dalam batasan tertentu. Berdasarkan hal tersebut, secara tidak langsung dinyatakan bahwa untuk mencapai pemahaman yang lebih luas mengenai sesuatu, perlu untuk mengadopsi pendekatan multiple perspective. Multiple perspectives merupakan teknik yang paling sederhana dalam memandang sebuah sistem (Edson, 2008), yaitu menggunakan perspektif dari berbagai stakeholder dalam menghadapi problem. Dengan teknik tersebut, praktisi sistem atau systems thinker harus berada dalam perspektif yang netral, serta berusaha memahami seluruh perspektif dari stakeholder. Selain itu, multiple perspective juga dapat diartikan melakukan analisis problem dengan menggunakan perspektif dari berbagai disiplin ilmu. Misalnya, seseorang dapat memilih untuk menggunakan perspektif ilmuwan, technologist, dan pebisnis. Dengan pendekatan ini, praktisi sistem seolah dipaksa untuk memperluas cara pandangnya serta menempatkan kondisi problem dari sudut pandang yang baru.

Berikut ini adalah unsur multiple perspectives yang dibedakan dari segi peran yang dilakukannya terhadap sistem yang diamati. Masing-masing peran yang dilakukan tersebutlah yang diacu sebagai istilah stakeholder dalam penelitian ini.

Adapun para stakeholder yang dimaksud dalam suatu sistem akan terdiri atas (Daellenbach dan McNickle, 2005):

a) problem owners adalah pihak yang berperan dalam mengontrol berbagai aspek dalam sistem serta memilih tindakan yang akan dilakukan

b) problem users adalah pihak yang melaksanakan keputusan

(9)

c) problem customers adalah pihak yang terkena dampak ataupun diuntungkan dari pelaksanaan solusi

d) problem analysts adalah pihak yang melakukan analisis terhadap problem dan mengembangkan solusi

II.2.2.2 Conceptagon Analytical Tools

Menurut Boardman (2008), sistem tersusun atas tujuh kelompok konsep yang menunjukkan karakteristik sistem, dimana masing-masing kelompok mencakup 3 subkonsep lagi. Ketujuh kelompok konsep tersebut menempati aspek-aspek synthesis, analysis, dan inquiry. Keseluruhan kelompok konsep tersebut oleh Edson dinyatakan dalam suatu kerangka kerja yang dinamakan Conceptagon Analytical Tools, diberikan pada Gambar II.2.

Gambar II.2 Conceptagon Analytical Tools (Edson, 2008)

Penjelasan mengenai masing-masing kelompok konsep pada Gambar II.2 adalah:

1. Boundary, Interior, Exterior

Batasan (boundary) mendefinisikan apa saja yang berada di dalam sistem (interior) dan apa saja yang berada di luarnya (exterior). Dengan menyatakan batasan maka pendefinisian antarmuka antara sistem dengan lingkungannya akan menjadi lebih mudah.

(10)

2. Input, Output, Transformation

Input dan output berada di luar batasan sistem. Input umumnya berupa sumber daya yang diambil/digunakan sistem, atau bisa juga merupakan kondisi saat ini. Sedangkan output umumnya menyatakan tujuan sistem atau hasil yang berupa kondisi baru. Pemahaman transformasi yang lengkap akan mengarah pada pengembangan kebutuhan sistem dan tersedianya metrics untuk mengevaluasi keberhasilan sistem.

3. Wholes, Parts, Relationships

Untuk memenuhi bagian ini, praktisi systems thinking harus melihat ke dalam sistem untuk mengetahui komponen-komponen penyusunnya serta mengetahui bagaimana keterhubungannya. Pada prinsipnya, peningkatan efisiensi pada komponen-komponen secara independen tidaklah sama dengan efektifitas sistem yang maksimal. Menurut Ackoff dalam (Edson 2008), kinerja sistem lebih bergantung pada bagaimana komponen-komponen tersebut saling berinteraksi daripada bagaimana masing-masing komponen tersebut bertindak secara independen.

4. Structure, Function, Process

Banyak struktur yang mampu memberikan fungsi sama, begitu juga sebuah struktur dapat memiliki banyak fungsi. Intinya, pada bagian ini terkait erat pertimbangan mengenai wholes dan parts serta kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencapai efektifitas sistem.

5. Command, Control, Communications

Terdapat dua buah isu yang tercakup didalamnya, yaitu mengenai ketatakelolaan dan struktur perintah sebuah sistem yang harus didesain dan dibangun dengan tepat, serta kontrol loops dalam sistem yang harus dipahami dan diperhitungkan.

6. Variety, Parsimony, Harmony

Pada bagian ini diperlukan pencarian kemungkinan solusi problem dan desain sistem, dimana diperlukan variasi yang cukup agar dapat mencakup seluruh kasus dan dapat memenuhi kemungkinan kebutuhannya. Seluruh pilihan tersebut juga harus selaras (harmony) dan bekerja sama agar tercapai resolusi problem.

(11)

7. Openness, Hierarchy, Emergence

Bagian ini mungkin termasuk yang tersulit untuk dipahami, namun sangat penting untuk dipikirkan. Openness membahas mengenai soliditas batasan sistem dan tingkat interaksi sistem dengan lingkungan eksternalnya.

Sedangkan hierarki membahas mengenai struktur dan pengaturan komponen- komponen sistem beserta keberadaan sistem terhadap dunia luar, yang bisa jadi sangat terstruktur, top-down atau bottom-up, bahkan mungkin flat.

Hierarki terkait erat dengan command, control, dan communication. Seiring dengan hierarki dan openness pada sistem, berbagai behavior mulai muncul (emerge) tanpa diduga sebelumnya. Kemunculan tersebut seiring dengan meningkatnya skala hierarki baik di dalam maupun di luar sistem.

Dengan demikian, untuk menerapkan systems thinking dapat dilakukan pendefinisian sistem yang diamati, dengan memanfaatkan conceptagon analytical tools. Ketujuh kelompok konsep tersebut dapat digunakan untuk menunjukkan/mendeskripsikan sistem secara utuh.

II.2.3 Soft Systems Methodology (SSM)

SSM merupakan salah satu bentuk dari metodologi sistem. Dimana metodologi sistem mencakup metode, tools, model dan teknik untuk menerapkan systems thinking (Jackson, 2002). Metodologi sistem menurut Waring (1996), terdiri dari:

a) hard systems, menyatakan bagaimana menyelesaikan problem dunia nyata yang telah terdefinisi dengan baik

b) soft systems, belajar bagaimana untuk mengatasi problem dunia nyata yang ill- defined dan tidak terukur dengan berfokus pada hubungan manusia, secara lebih baik

Seorang systems engineer harus dapat memanfaatkan teknik analisis sistem baik hard maupun soft, sebagai cara untuk menghadapi peningkatan kompleksitas sistem (Parnell, 2008). Yang dimaksud dengan “soft” secara umum adalah teknik yang sifatnya subjektif dan kualitatif, misalnya dengan mempertimbangkan perspektif stakeholder, menentukan fungsi sistem secara utuh, serta

(12)

mendeksripsikan bagaimana fungsi tersebut memberikan nilai bagi stakeholder.

Sedangkan konsep “hard” lebih mengarah pada teknik yang sifatnya objektif dan kuantitatif.

Pada domain engineering, metodologi hard systems bukanlah hal yang baru atau asing digunakan. Beberapa disiplin ilmu yang sering menggunakannya adalah fisika dan matematika. Bagi disiplin tersebut, akan terdapat suatu definisi yang jelas dan dapat dinyatakan dengan baik mengenai problem yang dihadapi, contohnya dalam persamaan-persamaan matematika. Dikarenakan sifatnya, maka metodologi hard systems diterapkan sesuai dengan disiplin yang digeluti.

SSM merupakan respon terhadap kesulitan dalam menerapkan pendekatan hard systems thinking (seperti, fisika dan kerekayasaan) pada problem bisnis (sistem aktivitas manusia). Hard systems cenderung menekankan pada hal-hal yang dapat diukur dan kriteria yang objektif, dapat mengisolasi dan mengontrol variabel, serta dekomposisi top down dari sistem menjadi subsistem-subsistem. Analisis hard dapat menyatakan sistem dengan behavior yang tidak terduga dan feedback yang kompleks antar komponen namun metode tersebut bermasalah saat diterapkan pada sistem manusia (Jackson, 2002).

SSM dirancang untuk menangani situasi problem kompleks yang messy, ill- structured, ill-defined, dan tidak terbebas dari manusia, atau melibatkan berbagai stakeholder dengan pandangan yang beragam serta kemungkinan persepsi yang berbeda mengenai situasi problem dan isu utama. SSM sesuai untuk diterapkan pada situasi dengan stakeholder yang memiliki ketertarikan serupa dan memandang berbeda terutama pada penekanan dan detil, bukan substansinya.

Mengadopsi pendekatan SSM melibatkan kesadaran bahwa proses analisis (interaksi manusia) sama pentingnya dengan presisi data dan keluaran.

(13)

Gambar II.3 Soft Systems Methodology

(terjemahan dari Daellenbach dan McNickle, 2005)

Tahapan pada pendekatan SSM yang diperlihatkan pada Gambar II.3 mencakup (Daellenbach dan McNickle, 2005):

1) Situasi problem yang tidak terstruktur, yaitu menyatakan suatu problem yang membutuhkan analisis problem dan situasi, dengan membiarkan anggapan- anggapan yang beredar tanpa membatasi dan langsung menyimpulkan.

2) Pernyataan situasi problem, dilakukan menggunakan analisis unsur-unsurnya (dengan metode rich picture). Hal ini dilakukan untuk menangkap struktur problem, proses yang terlibat dan keterhubungan antara struktur dan proses.

3) Definisi sistem yang relevan, dilakukan dengan menyatakan root definition, yaitu melakukan identifikasi elemen situasi dan pihak yang terlibat dengan menggunakan CATWOE. Elemen analisis dalam CATWOE mencakup:

a. Customers, menyatakan pihak yang terkena dampak/diuntungkan dari aktivitas yang dilakukan.

b. Actors, menyatakan pihak yang terlibat dalam aktivitas.

c. Transformation process, menyatakan aktivitas yang bertujuan mengubah input menjadi output.

d. Weltanschauung, merupakan cara pandang yang menyeluruh sehingga root definition memiliki arti dalam konteksnya.

e. Owners, menyatakan pihak yang dapat menghentikan aktivitas.

f. Environmental constraints, merupakan batasan yang dapat mempengaruhi situasi.

(14)

Root definition merupakan pernyataan singkat yang tidak ambigu, dengan menspesifikasikan owners (O), transformation process (T) dari sistem yang ingin dicapai oleh actors (A), pemilik world view/weltanschauung (W) yang menjadikan transformasi sebagai proses yang berarti, customer (C), dan environmental constraints (E) pada transformasi sistem, sesuai dengan batasan yang dipilih.

4) Model konseptual sistem sesuai dengan definisi, yang dibangun dengan mendeskripsikan aktivitas-aktivitas yang harus ada untuk menjalankan tasks yang dinyatakan dalam root definition.

5) Perbandingan model dengan dunia nyata, yaitu membandingkan konsep konseptual dengan kenyataan. Dimana model konseptual dianggap sebagai bentuk ideal yang memberikan inspirasi, bukan sebagai kritik atau ancaman.

6) Perubahan secara sistematis, yaitu mendefinisikan dan menyeleksi pilihan- pilihan untuk mencapai kondisi ideal. Jika diperlukan untuk mengubah sistem yang berjalan, maka perlu diidentifikasi perubahan yang dapat dilakukan.

7) Tindakan untuk memperbaiki situasi problem, yaitu mendesain program tindakan, dimana outcome dari tahap ini berupa persetujuan mengenai tindakan yang akan dilakukan. Tahap ini mencakup implementasi dari perubahan yang diharapkan dan juga perubahan yang memang selayaknya dilakukan.

II.2.4 Penerapan Systems Thinking

Eksplorasi systems thinking khususnya Soft Systems Thinking (SSM) pada bidang Sistem Informasi mengarah pada dua hal (Petkov, 2007). Pertama, penerapan SSM untuk mendukung pengembangan TI, misalnya untuk memperjelas domain problem yang akan didukung oleh SI. Kedua, menghubungkan atau mengombinasikan antara SSM dengan metode desain yang sudah ada. Misalnya, kombinasi antara SSM dan MCDM dalam menyelesaikan problem kompleks pada sektor teknologi informasi dan komunikasi (Petkov dkk., 2007). Sebagai pengembangan dari keduanya, pada penelitian ini akan dicoba penerapan multiple perspective dengan kemampuan merepresentasikan problem manajerial dari sudut pandang berbagai stakeholder, yang dieksplorasi dalam SSM untuk

(15)

mendefinisikan struktur problem pembuatan keputusan, kemudian melakukan analisis kebutuhan SPPK secara utuh dengan memanfaatkan conceptagon analytical tools.

Selain itu, systems thinking telah terbukti penggunaannya pada berbagai area (Aronson, 1996), diantaranya:

a) problem kompleks, dengan maksud membantu banyak aktor melihat “big picture” dan bukan hanya bagiannya

b) problem yang berulang atau problem yang menjadi lebih buruk dari sebelumnya dengan maksud memperbaikinya

c) isu dimana tindakan mempengaruhi lingkungan atau sebaliknya, baik lingungan alam ataupun lingkungan persaingan

d) problem dengan solusi yang tidak jelas

Systems thinking memang powerful dan useful, namun seperti juga yang lain, systems thinking juga memiliki batasan. Pendekatan kesisteman tidak menjamin terjadinya kesepakatan di setiap kasus yang ditemui, yang dapat disediakan hanya rational tools untuk melakukan analisis pemahaman situasi problem dan menyajikan evaluasi eksplisit yang mengarahkan pada logically defensible decisions. Jadi, systems thinking merupakan cara memandang dunia nyata dengan tujuan untuk memahami dan/atau meningkatkan pemahaman akan problem.

II.3 Kompleksitas

Menurut Schlindwein (2004), kompleksitas berasal dari kata complexus yang berarti “to weave together”. Kompleksitas dapat diidentifikasi berdasarkan apa yang dilakukan oleh sistem tersebut serta bagaimana sistem tersebut dapat dianalisis. Berdasarkan penelitian tersebut juga dinyatakan bahwa kompleksitas dapat ditentukan berdasarkan dua hal yang berbeda yaitu:

a) descriptive complexity, merupakan penilaian kompleksitas berdasarkan properti intrinsik yang dimiliki oleh sistem tersebut. Penilaian seperti ini seringkali bersifat kuantifikasi, erat kaitannya dengan karakteristik, dan

(16)

tidak ditentukan berdasarkan sudut pandang orang yang melakukan observasi.

b) perceived complexity, merupakan penilaian kompleksitas sebagai hasil dari perbedaan (distinction). Penilaian ini berkaitan dengan konsep subjektif, bergantung pada sudut pandang orang yang melakukan observasi.

Sedangkan jika dikaitkan dengan organisasi, menurut Marashi (2005), kompleksitas berasal dari jumlah interaksi dan konflik requirements yang terus meningkat di antara para stakeholder.

Dalam melakukan pendekatan kesisteman, digunakan cara pandang dalam memandang problem sebagai suatu sistem. Didefinisikan bahwa setiap problem terdiri atas initial state, wanted state, dan juga tools yang digunakan untuk proses penyelesaian problem. Penyelesaian problem kompleks membutuhkan interaksi yang efisien antara pembuat keputusan dengan kondisi yang terjadi. Namun, kompleksitas lingkungan pembuatan keputusan kian hari semakin kompleks, sehingga menuntut pembuat keputusan untuk memiliki pemahaman yang lebih baik dalam menangani problem yang dinamis dan kompleks tersebut (Qudrat- Ullah dkk, 2008).

Amaral dan Ottino (2004), mencoba menjelaskan posisi sistem kompleks dengan membandingkannya terhadap sistem yang sederhana. Dimana sistem yang sederhana (simple) terlihat dari jumlah komponen yang sedikit serta perilaku yang mudah dimengerti. Sedangkan sistem dikategorikan kompleks jika memiliki banyak komponen dengan perilaku yang dapat berubah setiap saat dan mungkin tidak dimengerti. Contoh sistem kompleks adalah sistem transportasi, yang memiliki subsistem tata guna lahan, jaringan, dan pergerakan. Masing-masing subsistem tersebut saling berhubungan dan juga dipengaruhi oleh lingkungannya.

Misalnya, pertambahan jumlah penduduk yang mempengaruhi peruntukan lahan, dimana jumlah penduduk yang besar akan menambah kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, yang kemudian akan mempengaruhi subsistem pergerakan dan jaringan (lihat Lampiran A).

(17)

Penelitian Amaral dan Ottino (2004) lebih lanjut menyatakan bahwa sistem yang kompleks tidak sama dengan sistem yang rumit/sukar (complicated). Suatu sistem dianggap rumit jika memiliki jumlah komponen yang banyak dengan peran yang telah terdefinisikan secara baik serta perilakunya mudah dimengerti, dan juga memiliki respon terbatas terhadap perubahan lingkungan. Contoh sistem yang rumit adalah mobil, terdiri atas komponen-komponen seperti ban, mesin, dan lain sebagainya. Setiap komponen memiliki peran, namun dalam menjalankan fungsinya akan berhubungan dengan komponen lain dan perilakunya tidak dipengaruhi oleh hal-hal selain yang telah didefinisikan. Misalnya, untuk menjalankan mobil dibutuhkan mesin yang terhubung dengan stir, ban, dan komponen lainnya. Perilaku tersebut akan selalu konstan meskipun berada pada lingkungan yang berbeda. Oleh sebab itu, jumlah bagian yang terlibat bukanlah isu yang critical untuk membedakan kompleksitas dengan kategori lainnya.

Karakteristik kuncinya adalah respon sistem yang mampu beradaptasi terhadap kondisi eksternal.

Penelitian yang dilakukan Qudrat-Ullah dkk. (2008) menambahkan bahwa problem kompleks akan memiliki aspek-aspek sebagai berikut:

a) Dinamis, yaitu situasi problem yang berubah seiring dengan perubahan keadaan sekitarnya, termasuk stuktur problem dan persepsi orang-orang yang terlibat pada situasi problem.

b) Expertise, diibaratkan sebagai sesuatu yang diyakini menantang dan sulit bagi seseorang, dengan sedikit latihan dan pengalaman akan dianggap menjadi mudah dan sederhana bagi orang dengan keahlian yang tinggi c) Kolaborasi, yaitu problem kompleks yang ill-structured pada umumnya

diselesaikan secara berkelompok bukan individual; pengetahuan yang kolektif dan pengalaman anggota tim berhubungan dengan kinerja kelompok.

d) Criticality, dimana faktor waktu seringkali menjadi resolusi keberhasilan yang critical pada problem kompleks.

(18)

Sedangkan penelitian dari Frensch dalam Jimenez dkk. (2002) menyatakan bahwa proses penyelesaian problem kompleks akan terjadi saat mengatasi barriers yang terdapat antara initial state dengan goal yang diharapkan, termasuk di dalamnya kompleksitas behaviour, pemahaman atau aktivitas lainnya yang harus dilakukan untuk menyelesaikan problem.

Gambar II.4 Kondisi penyelesaian problem kompleks (Jimenez, 2002)

Tujuan penyelesaian problem kompleks seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.4 adalah menyederhanakan proses pembuatan keputusan, serta meningkatkan efisiensi bagi pembuat keputusan, dengan meningkatkan kualitas keputusan yang dipilih. Menurut Jimenez dkk. (2002), umumnya problem kompleks pembuatan keputusan memiliki banyak tujuan/sasaran dan kemungkinan adanya konflik antara satu sasaran dengan sasaran lainnya, sehingga pembuat keputusan harus mempertimbangkan tingkat kepentingan antara satu dengan lainnya. Selain itu, problem kompleks seringkali bersifat tidak pasti (uncertainty) dan tidak dapat diprediksi dengan pasti konsekuensi dari masing-masing strategi yang dipertimbangkan, sehingga diperlukan analisis formal.

Lain halnya dengan penelitian dari Rittel dan Webber pada Courtney (2001) yang mencontohkan problem perencanaan strategis, dengan melibatkan sejumlah besar faktor, ketidakpastian mengenai hubungan antar faktor-faktor, ketidakpastian

(19)

mengenai masa depan, dan sekumpulan isu lainnya sebagai karakteristik dari problem wicked. Perencanaan strategis di masa depan dipastikan akan lebih kompleks seiring dengan teknologi Internet dan telekomunikasi yang menjadikan organisasi lebih mudah menjadi global serta semakin terhubung dengan supplier, produsen dan konsumen di seluruh dunia. Penelitian tersebut menyatakan bahwa paradigma rasional klasik ilmiah dan kerekayasaan tidak dapat diterapkan pada problem dalam sistem sosial terbuka. Mereka memberikan 10 properti problem wicked sebagai berikut:

a) tidak ada formulasi yang definitif mengenai wicked problem – membuat formulasinya adalah problem

b) tidak memiliki aturan untuk berhenti – para penyusun rencana berhenti bukan karena memiliki jawaban, namun karena kehabisan waktu, uang, kesabaran atau karena jawabannya sudah cukup baik

c) solusinya bukan berupa benar atau salah, ataupun baik atau buruk – karena value adalah yang melekat pada problem dan beragam pada setiap stakeholder

d) tidak ada pengujian menengah mengenai solusi problem wicked

e) setiap solusi adalah one-shot operation, karena tidak ada kesempatan untuk belajar dengan trial and error

f) tidak memiliki jumlah solusi potensial tertentu atau sejumlah operasi yang terdefinisi dengan baik dan terencana, bahkan mungkin tidak memiliki solusi

g) setiap problem wicked pada dasarnya unique

h) setiap problem wicked dapat dianggap sebagai gejala problem lainnya, dikarenakan keterhubungannya dengan lingkungan dan problem lain i) ketidaksesuaian antara kenyataan dengan harapan dapat dijelaskan dengan

berbagai cara

j) pihak perencana tidak boleh melakukan kesalahan

Jika wicked dan messy problem akan mengalami perubahan definisi problem seiring dengan ditemukannya solusi baru yang dapat diterapkan, maka tame problem merupakan problem yang terdefinisi baik dengan solusi yang dapat

(20)

dievaluasi secara objektif kebenarannya. Meskipun demikian, tidak ada batasan tertentu antara desain pada tame problem dan wicked problem. Menurut penelitian tersebut, problem dapat dikategorikan menjadi tame dan wicked problem. Dengan demikian, ada yang menggolongkan problem menjadi tame dan wicked problem, namun ada juga yang menggolongkannya menjadi problem sederhana dan komplek. Meskipun jika mengamati karakteristiknya, problem kompleks akan menjadi bagian dari wicked problem dan problem sederhana menjadi bagian dari tame problem.

Sebagian besar proses dan sistem keputusan didesain untuk menyelesaikan problem sederhana sehingga tidak mendukung problem kompleks yang terdiri dari keputusan-keputusan yang saling terhubung, melintasi berbagai domain, paradigma, dan/atau perspektif. Untuk mencapai pilihan terbaik, mungkin diperlukan proses pembuatan keputusan yang berulang hingga mencapai solusi yang optimal, mendekati optimal, atau bahkan memuaskan. Seringkali, sejumlah keputusan yang lebih kecil harus dibuat sebelum keputusan kompleks dapat mencapai kesimpulannya yang terbaik. Kompleksitas pembuatan keputusan seperti itu telah mendorong penggunaan model. Pernyataan tersebut diutarakan dalam penelitian Liew dan Sundaram (2005).

Gambar

Gambar II.1  Proses pembuatan keputusan dengan SPPK  (Courtney, 2001)
Gambar II.2  Conceptagon Analytical Tools  (Edson, 2008)
Gambar II.3  Soft Systems Methodology
Gambar II.4  Kondisi penyelesaian problem kompleks  (Jimenez, 2002)

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat laju pertumbuhan 6,06 persen (c to c) belum mencapai target pemda sebesar 7,1 – 7,4 persen, serta memperhatikan kontribusi belanja pemerintah terhadap PDRB yang

Pada penelitian ini digunakan pemodelan fisik lereng tanah pasir dengan dan tanpa perkuatan geogrid dengan Rc 74% dengan variabel tetap yaitu kemiringan sudut 46° dan

Berdasarkan hasil penelitian yang disajikan dalam Tabel 12, diketahui bahwa 100% responden mengakui tidak ada hukum adat tertentu yang dilakukan untuk menjaga kelestarian

Hasil penelitian menyimpulkan jawaban terkait pertimbangan, dasar hokum dan tinjauan hukum islam dalam legislasi wali anak hasil kawin hamil adalah (1)

Parameter sampel per detik merupakan kecepatan eksekusi pemrosesan sampel dalam satu detik. Data menunjukkan bahwa kecepatan maksimum parallel computing lebih cepat 68.02%

Kecepatan awal paket adalah sama dengan balon dan menunjuk ke atas, yang diambil sebagai arah positif?. Percepatan gravitasi berada di arah

Menurut Ginting (2009), Waktu standar merupakan waktu yang dibutuhkan secara wajar oleh seorang pekerja normal untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dijalankan dalam

Untuk guru yang kinerjanya bagus bisa mencapai nilai 87,3 (baik) karena memiliki semangat mengajar, menggunakan metode tepat, pemilihan media dan alat bantu dapat