• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Sanuri, Muslim s Responses towards Orientalists views on Ḥadīth as the Second

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1 Sanuri, Muslim s Responses towards Orientalists views on Ḥadīth as the Second"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

Hadis Nabi memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran,1 dan sebagai bayan (penjelas) Al- Quran. Para ulama’ membagi fungsi dan kedudukan hadis dalam Islam ke beberapa fungsi yang didasarkan pada tugas Nabi sebagaimana termaktub dalam Al-Quran.

Fungsi tersebut adalah: Pertama, sebagai penjelas Al-Quran (QS. Al-Naḥl: 44).

Kedua, sebagai teladan pelaksanaan petunjuk Al-Quran (Qs. Al-Aḥzab: 21). Ketiga, sebagai penetap hukum (Qs. Al-A’rāf: 157 dan al-Hashr: 7).2 Semua ini menunjukkan kedudukan dan fungsi hadis dilihat dari sumbernya yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad SAW yang merupakan salah satu sumber hukum Islam.

Hadis Nabi memiliki beberapa sebutan, selain disebut sunnah, juga disebut dengan athar dan khabar. Perbedaan sebutan ini dilatarbelakangi oleh pandangan ilmu yang berbeda.3 Ahli hadis tidak membedakan antara hadis dan sunnah, sedangkan ahli fiqih dan ulama ushul memiliki pengertian yang berbeda mengenai hadis dan sunnah. Beberapa perbedaan sebutan hadis ini ikut mempengaruhi interpretasi dan pengamalan hadis Nabi, yang tentunya dengan berbagai sebutanya diperlukan pendalaman yang hati-hati untuk memahami dan mengartikan sebutan sunnah. Dan dalam penelitian ini penulis mengikuti ahli hadis yang menganggap sama antara hadis dan sunnah.

Begitu pentingnya kedudukan hadis dalam Islam bahkan Daud Rasyid menyatakan bahwa bagian terbesar dari konsep Islam terdapat di dalamnya,4 sehingga menarik perhatian banyak kalangan untuk mengkajinya. Bukan hanya dari kaum muslimin yang berusaha mengidentifikasi sunnah yang sahih dari yang

1Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views on Ḥadīth as the Second Source of Law in Islam with special Reference to Mustafa al-Siba’i’s Criticism Toward Ignaz Goldziher’s Viewpoints.‛ Al-Qānūn Vol. 12, No. 2, Desember 2009, 285 ; Muhammad ‘ajja>j al-kha>thib, dalam al-sunnah qabla al-tadwi>n, 25 ; Kamaruddin Amin, The Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. , o , , p. ; A. Kevin Reinhart, ‚Ju nbolliana, Gradualism, the ig ang, and H adi th Study in the Twenty-First Century‛ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) pp, 414

2Ali Mustafa Yaqub, Kritik adīth ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 2004 ) , 35;

Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ), 233; Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif ( Jakarta : Kencana, 2011 ), 187 ; M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian adīth Nabi ( Jakarta : Bulan Bintang, 2007 ), 7-9

3Endang Soetari, Ilmu Hadits : Kajian riwayah dan dirayah ( Bandung : Amal Bakti Press, 1997), 1; Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam ( Jakarta : Rajawali Pers, 2013 ), 235; Muhammad Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1958), 9-10.

4Masalah-masalah agama yang tidak dirinci Al-Quran dapat ditemukan dalam ḥadis Nabi. Seperti pelaksanaan rukun Islam, hukum muamalat , hukum pidana dan lainnya.

Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi ( Jakarta : Usamah Press, 2003 ), 25.

(2)

tertolak, bahkan kaum Orientalis yang terkadang punya maksud lain,5 juga tertarik untuk menelitinya. Dan karena perbedaan sebutan hadis pula, sehingga banyak dari para peneliti yang salah dalam memahami maknanya, termasuk Goldziher dan Schacht.6 Mereka menemukan teori berbeda dalam penelitianya, salah satu sebabnya adalah karena kurang dalamnya pemahaman mereka atas makna kata sunnah7 dan kesalahan dalam memahami makna teks-teks ilmu hadis, seperti kata al-Tadwīn dan al-Tanīf 8 dalam ungkapan Imam Malik yang menyatakan:

‛awwalu man dawwana al-‘ilm Ibn Shiha>b‛. Ungkapan tersebut mereka pahami bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibn Shiha>b al-Zuhri, padahal tujuan kata-kata itu adalah untuk menjelaskan bahwa al-Zuhri merupakan orang yang pertama mengumpulkan tulisan-tulisan hadis.9

Kajian tentang autentisitas hadis telah dilakukan umat Islam sejak zaman sahabat Nabi. Para sahabat memberlakukan aturan ketat dalam menerima hadis, hingga ilmu tentang sanad hadis terus berkembang dan menjadi acuan dalam penelitian, dan pada akhirnya menjadi kebanggaan umat Islam yang membedakanya dari agama samawi lain dalam menerima berita serta penjelasan dari Nabi mereka.10 Memang, sempat terjadi pemalsuan hadis secara massiv yaitu setelah terjadinya fitnah, namun hal itu telah disadari dan diperhatikan oleh para sahabat Nabi11 sejak akhir abad pertama hijriah atau mungkin lebih awal.12 Karena itu, sebagai responya, dalam rangka untuk memisahkan hadis mawd}u’ dari yang sahih, para ulama’

membuat metode yang sangat teliti dan ketat, bahkan larangan mencela-pun tidak

5 Kamaruddin menyebut tujuan mereka didorong oleh kepentingan sejarah. Lihat Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik H}adi>th (Jakarta : Hikmah, 2009), 1; sedang menurut Darmalaksana tujuan mereka karena adanya tendensi kedengkian bangsa barat terhadap Islam, Lihat Wahyudin Darmalaksana, dalam H}adi>th di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht (Bandung : Benang Merah Press, 2004), 135

6Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka Salman, 1984), 58.

7M. Must}afa> ‘Azami, On The Schacht’s Origin of the Muhammadan Jurisprudence (Lahore{: Suhail Academy, 2004), 36-45; mereka menyatakan bahwa kata sunnah baru popular setelah al-Shafi’i menguatkann a. Sebelum masa itu itu kata sunnah adalah bahasa yang dipakai secara umum untuk definisi adat atau kebiasaan lama yang termasuk didalamnya adat jahiliyyah.

8Daud Rasyid, Islam dalam Berbagai Dimensi , 31;

9Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011), 37-38.

10Abdullah bin al Mubarak (w. 181 H) mengatakan bahwa sistem sanad adalah bagian dari agama Islam, sebab tanpa sanad setiap orang dapat mengatakan apa yang dia kehendaki. Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim (Bairut: Dar al-fikr, 1993), 11; Abd al- fattah Abu Ghuddah, al-Isnad min al-din, cet. ke-2, (Bairut: Dar al-Qalam, 1992), 17.

11Nur al-Din Muhammad ‘It}r al-H}alby, Manhaj al- aqd fi> ‘ulum al-adīth, 55; M.

Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian hadis Nabi, 12-16.

12Kamaruddin Amin, The Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. 43, No 2, 2005, 261.

(3)

berlaku dalam hal itu,13 sebagaimana tergambar dalam ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l. Semua itu dilakukan demi terpeliharanya hadis-hadis autentik.

Argumen harus adanya hadis autentik menjadi suatu hal yang wajib, dalam hubungan adanya perintah wajib taat kepada Rasulullah dalam Al-Quran serta posisinya sebagai sumber hukum dan penjelas al-Qur’an. Selain itu, juga karena hadis adalah kitab suci umat Islam, sedangkan kebenaran agama ditentukan oleh keaslian kitab sucinya, dan kebenaran beragama ditentukan oleh kesesuaian prilaku dengan kitab suci tersebut.14 Pendapat ini tidak dapat ditolak para ahli al-ra’ i yang selalu skeptis dalam memandang hadis, yang termasuk di dalamnya kaum Mu’tazilah. ‘Amr Ibn ahr al-Jahiz (w.256 H.) menyatakan bahwa keberadaan sunnah tidak dapat dibantah lagi. Hanya saja dia menyesali kegagalan umat Islam awal dalam memapankan hadis-hadis autentik sebagaimana yang berlaku pada al- Quran.15

Penelitian tentang autentisitas hadis Nabi memang sulit untuk bisa selesai.

Kajian sanad yang telah dianggap paten, bahkan disebut telah sempurna dan hanya menyisakan pengayaan kajian matan dalam penelitian hadis, 16 mendapat tantangan dengan adanya pandangan skeptis dari Orientalis Barat. Misalnya, metodologi penelitian mereka menemukan hal baru berkenaan dengan keaslian hadis, apakah benar berasal dari Rasulullah. Sebagian Orientalis meragukan autentisitas hadis- hadis Nabi yang telah tercetak dan menjadi pedoman umat Islam. Pandangan tersebut didasarkan pada beberapa hal, diantaranya disebabkan karena kodifikasi hadis baru terjadi pada abad kedua hijriah, yang berjarak cukup jauh dari kejadian dinarasikannya suatu hadis oleh Nabi, dan juga karena adanya periwayatan hadis bi al-ma’na (dengan kata-kata yang berbeda tapi maksudnya sama).17

Skeptisme Barat menemukan hasilnya ketika Ignaz Goldziher dalam penelitianya menyimpulkan bahwa sunnah Nabi masih diragukan keaslianya bersumber dari Nabi. Dia menyatakan bahwa sunnah yang terkodifikasi dalam kitab–kitab kanonik hanyalah hasil jerih payah umat Islam pada masa keemasan yang merupakan dokumen kemajuan dalam bidang sosial keagamaan dan sejarah.18 Goldziher juga mengatakan bahwa Ibn Shihāb al-Zuhrī (w.124/742) adalah seorang pemalsu hadis yang diperalat oleh dinasti Bani Umayyah,19 dengan bukti hadis

13Muslim bin al-Hajjaj Al-Qusairi al-Nisaburi, Sahih Muslim ( airut: Da>r ih a’ al- Turath al-‘Arabi, TT), 1 .

14 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama (Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2003), 40; Must}afa Qas}ir al-‘Amili, Kitab ‘Ali wa al-Tadwin al- Mubakkir li al-Sunnah al-Nabawiyyah al-Sharifah (al-Majma’ al-‘Alami li ahl al-Bait, 1415 H), 9.

15Ali Mustafa Yaqub, Kritik adīth, 47.

16M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), 90 .

17 Mustafa Al-Siba>’i>, Al-sunnah wa maka>natuha> fi> al-tashri’ al-Isla>mi (Kairo : Da>r al-waraq, 2000) , 46.

18Ignaz Goldziher, Muslim Studies (London: George Allen and Unwin, 1971) , 19.

19Ignaz Goldziher, Muslim Studies, 47.

(4)

tentang perjalanan ibadah yang dianjurkan, adalah menuju tiga masjid.20 Dia juga tidak percaya keakuratan hafalan sunnah para sahabat,21 yang mampu bertahan hingga abad kedua hijriah.

Beberapa hal yang melatarbelakangi Goldziher meragukan hadis sebagai data sejarah adalah karena materi-materi hadis yang terdapat dalam kitab koleksi hadis belakangan, tidak menjelaskan rujukannya kepada koleksi tertulis yang lebih awal, dan berisi penempatan kejadian dengan waktu yang salah serta menggunakan istilah-istilah dalam isnād yang menunjukkan periwayatan hadis secara lisan dan bukan berasal dari sumber tertulis (written sources), sehingga semua itu memungkinkan untuk terjadinya pemalsuan sanad. Kemudian adanya hadis-hadis yang kontradiktif satu sama lain, serta pertumbuhan hadis pada koleksi-koleksi belakangan, tidak teruji kebenarannya pada koleksi-koleksi yang lebih awal.

Terlebih lagi adanya fakta bahwa para sahabat kecil, ternyata lebih mengetahui Nabi SAW dibandingkan senior mereka, dengan bukti mereka meriwayatkan hadis lebih banyak daripada para sahabat besar yang telah mengetahui Nabi SAW dan bergaul dengan beliau lebih lama. Seperti Ali bin Abi Ṭalib yang hanya meriwayatkan 536 hadis, sedangkan riwayat Abu Hurairah mencapai 5374 hadis.22

Joseph Schacht yang mengikuti pandangan Goldziher,23 dan melakukan penelitian terhadap hadis-hadis hukum, memperoleh kesimpulan dalam tesisnya bahwa tidak ada satupun hadis yang berasal dari Nabi. Akan tetapi, sunnah atau hadis ini, muncul dari perkataan para ulama’ ang berkembang sesuai dengan perkembangan hukum fiqih dari masa ke masa. Schacht berkesimpulan bahwa baik kelompok ahli fiqih klasik maupun kelompok ahli hadis sama-sama memalsukan hadis. Oleh karenanya tidak ada hadis yang benar-benar berasal dari Nabi, tetapi semuanya merupakan produk yang lahir dari persaingan antara para ulama.24 Hal lain yang juga dikritisi Joseph Schacht adalah tentang sanad keluarga yang menurutnya adalah palsu dan hanya sebagai alat untuk menjamin kemunculannya saja.25 Tesis Schacht dan argumennya ini sangat spektakuler, hingga kemudian setelah dipublikasikan menjadi kitab suci yang wajib dibaca kaum Orientalis, serta banyak mempengaruhi pemikiran sarjana muslim modern dalam meragukan autentisitas hadis.

20Muh}ammad Ibn Isma>’i>l al-Bukha>ry, S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Vol. I (Bairut: Da>r al- Ma’rifah, nd.), .

21Muhammad ‘Ajja>j al-Khatib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin (Makkah: al-maktabah al-Tijāriyyah, 1980), 376.

22Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authenticity of Muslim Literature from the Formative Period ( Surrey : Curzon Press, 2000), 9 ; A. Kevin Reinhart, ‚Ju nbolliana, Gradualism, the ig ang, and H adi th Study in the Twenty First Centur ‛ Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, PP.

413-444.

23A. Kevin Reinhart, The ig ang, and H adi th Study in the Twenty First Century , Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, PP. 413-444.

24Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence (Oxford: University Press, 1975), 314.

25Joseph Schacht, The Origins of Muhammad Jurisprudence , 170-177.

(5)

Menurut Wael B. Hallaq, sejak Schacht mempublikasikan karyanya pada tahun 1950, perdebatan akademik dalam bidang hadis terus berkembang pesat, dan secara garis besar terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama berusaha menegaskan kembali kesimpulan Schacht, kelompok kedua berusaha untuk menolak kesimpulannya dan kelompok ketiga berusaha untuk mencari jalan tengah atau berusaha menyatukan dua kubu menjadi suatu metodologi baru. John Wansbrough dan Michael Cook adalah bagian dari kelompok pertama, selanjutnya Nabia Abbott, Fuad Sezgin, M. Azami, Gregor Schoeler dan Johann Fuck adalah kelompok kedua, sedangkan Harald Motzki, D. Santillana, G.H.A. Juynboll, Fazlur Rahman, dan James Robson adalah kelompok ketiga.26 Dan sejak saat itu pula maka hadis riwayat al-Zuhrī yang dianggap ṣahih di kalangan sarjana Islam berlatar belakang Barat, menjadi sangat sedikit.27 Dan lebih parahnya lagi, kalau Schacht setelah menganalisa teks dalam al-Muwaṭṭa’, al-Mudawwana, al-Umm, al- Mukhtasar, al-Mabsu>ṭ dan al-Kharrāj, menyimpulkan bahwa adanya hukum fiqih dimulai sejak abad kedua hijriah, Calder menyimpulkan bahwa tidak ada hukum fiqih sampai pertengahan abad ketiga Hijriah dengan argumen bahwa pada masa inilah semua isnad baru ditemukan.28

Orientalis berikutnya yang meneliti hadis dengan mendalam adalah GHA.

Juynboll. Jika Wael B. Hallaq menempatkanya pada kelompok ketiga sebagaimana disebutkan di atas, penulis berpendapat bahwa Juynboll lebih tepat ditempatkan dalam kelompok pertama yang selalu mendukung pendapat Schacht. Sebab dia terus berusaha menyempurnakan teori common link yang telah dipopulerkan Schacht.29 Dalam teorinya, Juynboll mengatakan bahwa autentisitas sunnah Nabi dapat dilihat dari common link yang memiliki sumber kesejarahan lebih.30 Teori common link ini telah digunakan GHA Juynboll untuk menyelidiki asal usul hadis selama 20 tahun terakhir. Teori ini berpijak pada asumsi bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang perawi, baik yang menuju kepadanya maupun yang meninggalkanya, maka semakin besar pula seorang perawi tersebut memiliki klaim kesejarahan. Jadi menurut teori common link Juynboll, suatu Hadis

26Wael . Hallaq, ‚The Authenticit of Prophetic Ḥadi>th’: A Pseudo-Problem.‛

Studia Islamica 89 (1999) : 75-90 .

27Harald Motzki and others, Analising Muslim Traditions: Studies in legal, Exegetical and Maghazi adīth (Leiden Boston : BRILL, 2010), 46.

28Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence (Oxford: Oxford University Press, 1993), 240; Rudolph Peters Review, International Journal of Middle East Studies, Vol. 26, No. 4 (Nov., 1994), pp. 699-701.

29Kamaruddin Amin, Muslim Western Scholarship Of H{adi>th And Western Scholar Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to H}adi>th Scholarship Al-Ja>mi‘ah, Vol. 46, No. 2, 2008, 255; Jonathan Brown, Critical rigor vs juridical pragmatism, how legal theoritists and ḥadīth scholar approached the backgrowth of isnad in the genre of ‘ilal al- Ḥadīth, Islamic Law and Society 14, 1 (Leiden, Koninkijke Brill NV, 2007 ), 5.

30G.H.A. Juynboll, Muslim Traditions: Studies in Chronology provenance and Authorship of Early adīth , 104.

(6)

dapat diterima tidak hanya dari kualitas perawinya saja tapi yang paling penting adalah kuantitas perawinya.31

Dengan mengaplikasikan teori common link tersebut dalam beberapa artikelnya, Juynboll telah membuat kesimpulan tetang palsunya ribuan hadis yang terdapat dalam kutub sittah yang diriwayatkan oleh a>fi’ Mawla Ibn Umar, saorang perawi dalam kelompok As}ah} al-Asa>ni>d, dan salah satu jalur sanad dhahabiyyah.32 Karena menurut Juynboll, a>fi’ tidak pernah benar-benar berstatus common link,33 dan juga karena pribadi Nāfi’ mawlā Ibn ‘Umar ang sedikit sekali ditemukan dalam kitab biografi.34 Selain itu, dengan mengikuti pendapat Schacht,35 Juynboll mengatakan bahwa a>fi’ hanyalah nama yang sering disisipkan dalam sanad agar memiliki otoritas lebih kuat, sedangkan sesungguhnya pribadi a>fi’

adalah seorang yang fiktif.

Atas dasar temuannya tersebut, kemudian ia menetapkan bahwa semua hadis dan biografi tentang afi’ adalah buatan Malik bin Anas, karena Malik bin Anas yang mengaku sebagai murid Na>fi’ jika dilihat dari tahun wafat di antara mereka berdua menggambarkan adanya kemustahilan bahwa mereka pernah bertemu satu sama lain. Kesimpulan terakhir Juynboll mengenai masalah common link ini, adalah menetapkan bahwa common link merupakan seorang fabricator atau originator (pembuat hadis palsu) yang menyebarkannya secara luas.

Muncul sebuah pertanyaan, mengapa Juynboll ingin menjatuhkan kredibilitas a>fi’ mawla Ibn Umar, apa pentingn a? Dalam analisis penulis hal itu ia lakukan karena a>fi’ merupakan pen ampai berita dari Ibn Umar terbanyak dibandingkan dengan mawla Ibn Umar lainnya, dan Ibnu Umar adalah salahsatu sahabat nomor dua terbanyak dalam periwayatan hadis Nabi setelah Abu Hurairah.

Jumlah riwayatnya mencapai 2630 hadis,36 dan sejumlah 1979 terdapat dalam kutub sittah dengan 1088 hadis menggunakan jalur periwa atan a>fi’. Ini sungguh merupakan jumlah yang sangat fantastis.

Selain itu, Juynboll juga mempersoalkan awal penggunaan sanad.

Menurutnya, sanad belum memiliki standar baku, kapan mulai digunakan. Sebagian mengatakan bahwa penelitian terhadap penyampai berita tentang Nabi telah dilakukan sejak masa sahabat. Beberapa sahabat digambarkan tidak langsung menerima hadis sebelum menelitinya, seperti yang dilakukan oleh Umar dan Ali juga oleh Abu Bakar. Tetapi, yang dipercayai juga dalam kesarjanaan muslim

31Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan adīth Nabi ( Yogyakarta: LKIS, 2007), xii.

32Ibn al-S{alah, Ma’rifatu anwa’ ‘ulu>m al-adīth (Bairut:Da>r al-kutub al-‘ilmi ah, 2010), 24.

33 G.H.A. Juynboll, "Na>fi', the mawla of Ibn 'Umar, and His Position in Muslim H}adi>th Literature." Der Islam, 1996: 207-244; Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadīth (Jakarta : Hikmah, 2009), 230.

34G.H.A. Juynboll, ‚ afi‛ Encyclopedia of Canonical adīth 2 (2007) : 876-877.

35 Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, 160.

36 Mahmud T{ahha>n, Taysi>r mus}t}alah al-hadi>th (Bairut : Maktabah al-ma’a>rif, 2004), 244; Abu Shuhbah, Muhammad bin Muhammd bin Suwailim, al-Wasi>t} fi> ‘Ulu>m wa Mus>t}alah} al-H}adi>th (Bairut: Da>r al-Fikr, tt), 506.

(7)

adalah bahwa sanad mulai digunakan setelah terjadinya fitnah, berupa terbunuhnya Khalifah Uthma>n pada tahun 35/656. Pendapat ini didasarkan pada ucapan Ibn Si>ri>n (w.110/728) ‚lam yakūnū yas alūna ‘an al-Isnād falammā waqa’at al-Fitnah, qālū sammū lanā rijālakum‛ (sebelumn a mereka tidak pernah menan akan tentang sanad, dan setelah terjadi fitnah, kemudian mulai mereka berkata: sebutkan kepada kami perawi-perawi kalian).37 Dan ada pula pendapat Malik yang menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menggunakan sanad adalah al-Zuhri, sebagaimana ucapannya: ‚Awwalu man Asnada al-Hadi>th Ibn Shiha>b‛38 (orang yang pertama menggunakan sanad adalah Ibn Shiha>b). Menurut Juynboll semua ini mengindikasikan bahwa penggunaan sanad secara konsisten dimulai pada masa al- Zuhri, sekitar tahun 50-124 Hijriah.39

Berbeda dengan sarjana Muslim yang meyakini bahwa fitnah yang dimaksud Ibn Si>ri>n adalah fitnah terbunuhnya Khalifah Uthma>n,40 Juynboll berpandangan bahwa fitnah yang disebut melatarbelakangi munculnya pemeriksaan sanad adalah fitnah peperangan yang menyebabkan terbunuhnya khalifah Bani Umayyah al-Wali>d bin Yazi>d pada tahun 126 Hijriah, yang mana pada masa itu, seseorang tidak dapat dianggap terpercaya kecuali setelah diteliti lebih dahulu. Dan bukanlah fitnah terbunuhn a khalifah ‘Uthman.41 Sebab dalam ungkapan Ibn si>ri>n tersebut tidak menyertakan penjelasan fitnah mana yang ia maksud, sehingga Juynboll, setelah melihat pada masa hidup Ibn Si>rin, memastikan bahwa fitnah tersebut adalah fitnah yang disaksikan oleh Ibn Sirin ketika telah dewasa.

Sedangkan berdasarkan data, Ibn Si>ri>n lahir pada masa akhir pemerintahan Uthman, yaitu 2 tahun sebelum Uthman bin Affan wafat,42 sehingga dapat dipastikan bahwa Ibn Si>ri>n tidak tahu secara langsung hiruk pikuk fitnah terbunuhnya Uthman, karena pada saat itu Ibn Si>ri>n masih kecil.43

37Muslim bin al-Hajjāj Abu al-Husayn al-Qushairi, Ṣaḥīḥ Muslim (Bairut: Dār Ihya’

al-Turath al-‘Arabī, t.t), 15;

38 Al-Zahra>ni>, Abu> Ya>sir Muhammad bin Mat}ar, ‘Ilm al-Rija>l ash’atuhu wa Tat}awwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila> Niha>yati al-Qarn al-Ta>si’ (Riyad: Da>r al-Hijrah, 1996), 25.

39 G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition, 18-19

40 Dipercaya demikian karena setelah kejadian itu, terjadi peperangan antar sahabat, seperti peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awi ah, sehingga ban ak terjadi penyebaran hadis palsu untuk menguatkan kelompok masing-masing. Lihat Abd Rahman bin Abd Rahman al-Khat}i>b, al-Rad ‘ala> Maza>’im al-Mustashriqi>n Goldziher wa Joseph Schacht wa Man Ayyadahuma min al-Mustaghribi>n (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, tt), 6; al-Dari>s, Kha>lid bin Mans}u>r bin Abdillah, al-‘U u>b al-Manhajiyyah fi> Kita>bat al-Mustashriqi>n (Madinah: Majma’ al-Malik Fahd, tt), 55.

41 Juynboll, G. H. A. "The date of the great fitna." Arabica (BRILL) 20 (Juni 1973):

142-159.

42 Ibn Khalka>n, Wafiya>t al-A’ a>n wa Anba> Abna>’ al-Zama>n J.4 (Bairut: Da>r S}a>dir, 1971), 182;

43 Cf. J. Robson, ‚The Isnad in Muslim Tradition, in Transactions (of the) Glasgoe Universit ‛ Oriental Society, xv, pp. 15-26; G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 18

(8)

Jikalau apa yang dinyatakan oleh Goldziher, Schacht, Calder, Juynboll dan para sarjana yang sealiran dengan mereka itu benar, maka akan sangat sedikit atau bahkan tidak ada hadis Nabi yang bisa digunakan sebagai hujjah. Ini tentu merugikan umat Islam karena interpretasi yang digunakan selama ini yang didasarkan pada hadis Nabi adalah salah semua karena tidak memiliki pondasi yang kuat, mengingat sumber hukumnya bukan dari orang yang mimiliki otoritas untuk penentuan hukum. ahkan ‘Azamī mengatakan bahwa jika pandangan Schacht ini dianggap benar maka sama saja dengan membenarkan bahwa ada kekosongan hukum di kalangan umat muslim selama 100 tahun dan itu mustahil terjadi.44 Daud Rasyid juga mengomentari bahwa tuduhan Orientalis secara historis dan realitas tidak beralasan, dia mengatakan bahwa Rasulullah wafat ketika bangunan Islam telah sempurna dengan memberikan gambaran kesiapan ‘Umar bin al-Khattāb (Khalifah kedua) menangani dua imperium terbesar dunia waktu itu yaitu Persia dan Romawi yang telah berhasil dikuasai umat Islam.45

Oleh karena itu muncullah perlawanan dari para sarjana muslim untuk menggugat temuan mereka. Diantaranya oleh Fuat Sezgin yang melakukan kritik keras terhadap temuan para Orientalis, dan Muhammad Musṭafa ‘Azamī dalam bukunya ‚Studies ini Earl Hadith Literature‛ (1977), kemudian oleh Muhammad

‘Ajjāj al-Khatib menulis dalam bukunya ‚al-Sunnah qabla al-Tadwin‛ (198 ), serta oleh Musṭafa al-Sibā’i dengan menulis kitab ‚Al-sunnah wa makānatuha fī al- Tashrī’ al-Islāmī‛ (1982).

Muhammad Musṭafa ‘Azami menyatakan bahwa sunnah Nabi sudah mulai ditulis sejak zaman Nabi. Azami juga menolak tuduhan atas adanya rekayasa sanad (teori projecting back) Schacht, dimana sesuai kenyataan sejarah yang membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa Nabi, seperti perintah beliau kepada para sahabat yang menghadiri majelis Nabi untuk menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir. Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah, karena penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan, dengan segala kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi.46 Selain itu, menurut R. Talmon, skeptisisme Juynboll adalah termasuk skeptisisme yang tidak produktif .47

Akan tetapi temuan para Orientalis itu nyata pengaruhnya terhadap sarjana Muslim,48 Pandangan mereka ada yang memiliki kesamaan dengan kaum Orientalis.

44Azami, On The Schacht’s Origin of the Muhammadan Jurisprudence., 19.

45Daud Rasyid, ‚Goldziher dan Sunnah‛ Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, vol. I (Jakarta 1415 H.) , 7; Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’ views, 297; Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 35.

46Mahmud T{ahha>n, Taysi>r mus}t}alah al-hadi>th, 321.

47R. Talmon, ‚’Review of G.H.A. Juynboll, Muslim ...‛ Jerussalem Studies in Arabic and Islam 11 (1998) : 248- 252.

48Harald Motzki and others, Analising Muslim Traditions: Studies in legal, Exegetical and Maghazi adīth, 3; Sanuri, ‚Muslim’s Responses towards Orientalists’

views on Ḥadīth, Al-Qānūn Vol. 12, 293.

(9)

Diantara orang Islam yang terpengaruh oleh pendapat Orientalis adalah Ahmad Amin, Ahmad Abdul Mun’im al-Bāhi, Taufiq Shidqi,49 Ali Hasan Abdul Qadir, Muhammad al-Ghozali, Ismāil Adham dan Abu> Rayyah.50 Pengaruh orientalis tersebut tampak dalam pemikiran yang dituangkan dalam karya mereka. Dalam bukunya yang berjudul ‚Awa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadi ah‛, Abu Rayyah mengatakan bahwa tulisan hadis para sahabat tidak ada yang sampai kepada para tabi’in, dan bahwa hadis adalah hasil ijtihad ulama’ belakangan.51 Ahmad Amin dalam bukunya ‚Fajru al-Islam‛,52 Ali Hasan Abdul Qadir dalam bukunya ‚ arah Āmmah fī Tārīh al-Fiqh al-Islāmī, Muhammad al-Ghozali dalam bukunya ‚al- Sunnah al-Nabawiyyah baina ahli al-Fiqh wa ahli al-hadis‛. Dia mengkritisi kredibilitas afi’ mawla Ibn Umar, juga menganggap bahwa ahli hadis adalah orang-orang yang hanya memuja nama-nama. Ismāil Adham dalam bukunya tentang sejarah hadis, menyimpulkan bahwa hadis-hadis dalam kitab s}ahih al- Bukhari dan S}ahih Muslim tidak dapat dipertanggung jawabkan autentisitasnya dan mayoritas palsu. Dia mengaku didukung oleh Ahmad Amin, dan bantahan atas pendapatnya tersebut dia anggap sebagai pemasungan kreatifitas dan kebebasan berfikir serta akan mengganjal penelitian ilmiah.53

Sesungguhnya yang terjadi pada mereka bukanlah hal baru dalam umat Islam. Umpamanya pada awal abad kedua hijriah golongan semacam ini pernah ada, dan mereka disebut dengan kelompok ingkar-sunnah. Pada awal kemunculan kelompok ini, argumen yang mereka bangun adalah tidak mau menggunakan hadis sebagai sumber hukum, mereka berpendapat cukuplah hanya al-Qur’an sebagai hujjah karena al-Qur’an sudah sempurna.54 Sebenarnya pendirian mereka yang seakan meng-agungkan al-Quran dengan menganggapnya telah sempurna, tidak lain hanyalah pelecehan dan pelanggaran terhadap perintah Al-Quran itu sendiri, sebab telah jelas perintah di dalam Al-Quran adanya suatu kewajiban untuk mengikuti hadis yang tidak dapat diingkari. Menurut Ali Mustafa Ya’qub, Kaum inkar sunnah yang pernah ada pada zaman klasik, di abad modern ini muncul kembali bersamaan dengan kolonialisme, Orientalisme, dan missionarisme.55

49 Taufiq shidqi menolak sunnah karena tidak ditulis dan dibukukan sejak masa Nabi, dan juga sedikitnya hadis yang dianggap mutawatir. Lihat dalam Taufiq Shidqi, ‚al- Nashk fi al-Shara>i’ al-Ila>hi ah‛, Majalah Al-Mannar, Juz 9 Jilid 10, 913-914

50Ali Mustafa Yaqub, Kritik adīth , 107. Dan lihat Nur al-Din Muhammad ‘It}r al- H}alby, Manhaj al- aqd fi> ‘ulum al-adīth (Damaskus, Da>r al-Fikr, 1997), 468.

51 Lihat dalam Mahmud Abu Rayyah, Ad}wa’ ‘ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah . c. 6 (Kairo: Da>r al-Ma’arif, 19 7), .

52Dia ikut mengkritik kitab Imam al-Bukhari dan mengatkan bahwa al-Bukhari hanya melakukan kritik sanad saja, akan tetapi argumen Amin sangat lemah karena apa yang dia sampaikan sebagai sebuah kritikan adalah akibat kesalahan dia dalam memahami matan hadis dalam kitab ‚al-Jami’ al-S}ahih, lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik adīth , 107.

53Ali Mustafa Yaqub, Kritik adīth , 50.

54Kassim Ahmad, Ḥadīth A Re-Evaluation 1997, 40

55Ali Mustafa Yaqub, Kritik adīth , 37; Anver M. Emon, ‚Review Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought. By Daniel W. Brown. Cambridge and New York:

Cambridg Universit Press 199 . Pp. 18 ‛. Journal of Law and Religion, Vol. 16, No. 2 (2001), pp. 647-652.

(10)

Tapi orang-orang di atas telah dibantah pendapatnya oleh M. Mustafa Azamī dalam bukunya ‚Dirāsāt fī al-hadith al-Nabawy wa tārīḥ tadwīnīh‛.

Pendapat-pendapat Muhammad al-Ghāzali juga dibantah oleh Syeikh Salman al- Audah, dalam bukunya ‚Hiwār hādi’ ma’a Muhammad al-Ghazali‛, dan juga Dr.

Syeikh Rābi’ bin Hādi al-Madkhali dalam bukunya ‚Kasyfu mawqifi al-Ghazāli>

min al-Sunnah wa ahlihā wa naqdi ba’d{i ārā’ihī‛ dan syaikh S}ālih al-Shaykh dalam kitabnya ‚al-Mi’yār fī ‘ilmi al-Ghazāli> fi kitābihi al-Sunnah al-Nabawiyyah‛.

Meskipun telah mendapat perlawanan dan bantahan dari beberapa sarjana Muslim, tapi apa yang dilakukan Orientalis Barat terhadap hadis Nabi masih kurang mendapat jawaban yang kuat. Bahkan Kamaruddin Amin menyatakan bahwa kajian ini dari sisi akademik masih kurang disentuh oleh pelajar hadis di tanah air. Kamaruddin juga menyatakan bahwa seakan-akan sarjana Islam alergi untuk menjawab tuduhan-tuduhan Orientalis tentang metodologi kritik hadis yang masih kurang akurat.56 Selain itu Kamaruddin juga menyatakan bahwa argumen Azami dan Sezgin yang menyimpulkan bahwa hadis telah ditulis sejak masa awal Islam, tidak dapat memberi penjelasan nyata, karena berdasarkan kepercayaan ulama’ hadis, secara umum dinyatakan bahwa pada awal Islam, hadis diriwayatkan dengan hafalan dan tidak dengan tulisan.57 Begitu pula persoalan konsistensi penyusun kitab hadis dalam persyaratan penerimaan hadis, juga masih dipertanyakan, karena setelah dilakukan penelitian ulang ditemukan bahwa suatu hadis yang dinyatakan telah diriwayatkan oleh orang yang ḍābiṭ tapi ternyata berbeda-beda dalam lafalnya, Dan jika pengertian ḍābiṭ adalah kuatnya hafalan seorang perawi, maka secara tidak langsung perbedaan lafal atau variant matan hadis tersebut dapat mengurangi autentisitas hadis itu sendiri atau secara tidak langsung dapat disimpulkan bahwa para penyusun kitab kanonik tidak konsisten dalam meyeleksi perawi hadis.58 Selain itu dalam masalah tawatur hadis, ternyata ditemukan bahwa teori mutawatir menurut ukuran dan definisi yang ditegaskan oleh Ibn Hajar,59 sebenarnya tidak pernah terjadi dan tidak dapat diterapkan.60

Dari latarbelakang di atas, maka penelitian terhadap hadis-hadis riwayat afi’ mawla Ibn Umar sangat penting dilakukan, karena dalam studi terdahulu yang telah dipaparkan, masih sangat jarang yang membahas dan menguatkan posisinya, karena itu menemukan argument atas autentisitas hadis riwayatnya menjadi tujuan dari penelitian ini, mengingat hadis Nabi yang menggunakan jalur transmisi ini sangat banyak jumlahnya. Meskipun ada jalur transmisi hadis yang

56Kamaruddin Amin, ‚Problematika Ulumul hadis’: ’Sebuah Upa a Pencarian Metodologi Alternatif’ (Makassar : UIN Alauddin, 2010)

57Ibn Hajar al-‘asqalani, Hady al-Sa>ri> muqaddimah Fath al-Bari (Bairut : Da>r al- ma’rifah, 1 79 H.) , ; Kamaruddin Amin, Muslim Western Scholarship Of H{adi>th And Western Scholar Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to H}adi>th Scholarship Al- Ja>mi‘ah, Vol. 46, No. 2, 2008, 257.

58Kamaruddin Amin, The Reliability Of The Traditional Science of Ḥadīth: A Critical Reconsideration, Al-Ja> mi'ah, Vol. 43, 268

59Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath} al-Ba>ri> (Bairut : Da>r al-ma’rifah, 1 79 H.) , 7 .

60Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan adīth Nabi , 115 - 121

(11)

juga mendapat kritikan oleh para orientalis seperti jalur transmisi Abu Hurairah, namun pendapat-pendapat tersebut telah mendapatkan perlawanan oleh sarjana muslim terdahulu. Kitab al-aḥīḥayn sengaja dipilih sebabagi sumber primer, karena dua kitab tersebut telah disepakati oleh umat Islam sebagai kitab paling autentik dalam bidang hadis, sehingga dengan demikian akan dapat diketahui apakah benar penyusun kitab al-aḥīḥayn konsisten dalam menerapkan syarat- syarat dalam seleksi hadis. Posisi penulis saat ini ada pada keyakinan akan autentisitas hadis Nabi dan skeptis terhadap temuan Orientalis. Hal ini sesuai petunjuk Al-Quran yang memerintahkan agar melakukan tabayyun ketika menerima berita dari seorang fasiq,61 sedangkan Orientalis, mereka bukan hanya fasiq tapi mereka bukan Muslim yang terkadang memiliki tujuan lain dalam pengkajian hadis.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah yang berkaitan dengan autentisitas hadis Nabi sebagai berikut:

Pertama, mengenai kredibilitas ulama hadis terkemuka terutama Nāfi’ yang diragukan keberadaanya, karena minimnya catatan sejarah tentangnya dan al-Zuhrī yang dianggap sebagai pemalsu hadis. Kedua, mengenai tuduhan berkembangnya isnād hadis ke belakang (back Projection) ang dianggap han a buatan ulama’

untuk menyandarkan perkataan mereka kepada orang-orang yang memiliki otoritas hukum, karena berdasarkan temuan sarjana Barat, sanad baru muncul pada awal abad kedua hijriah, dan menurut mereka pengguna pertamanya adalah Ibn Shihab al-Zuhri. Ketiga, adanya pernyataan bahwa sunnah baru muncul sejak zaman al- Shāfi’ī dan tidak ada sunnah Nabi pada masa sebelumnya dengan argumen e- silentio Schacth, sehingga kemudian disimpulkan bahwa sebelum masa itu, tidak ada hukum Islam. Keempat, mengenai teori hadis mutawatir yang masih menjadi pertentangan, karena istilah-istilah yang ditetapkan sering kali kontradiktif.

Kelima, tentang tadlis dalam periwayatan hadis, dimana hampir tidak ada ahli hadis yang selamat dalam masalah ini. Keenam, mengenai konsistensi penyusun kitab hadis dalam persyaratan penerimaan hadis yang mereka kumpulkan, karena masih ditemukan hadis yang diriwayatkan oleh seorang dengan predikat ḍābiṭ tapi berbeda dalam lafal yang diriwayatkan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penelitian ini dirumuskan untuk menjawab pertanyaan pokok yang sangat mendasar yaitu ‚Bagaimana autentisitas hadis riwayat a>fi’ mawla> Ibn ‘Umar dalam kitab al-S}ah}i>h}ayn?‛

3. Pembatasan Masalah

Untuk mempertegas rumusan masalah di atas, maka secara konseptual penelitian ini akan difokuskan pada dua hal, yaitu a>fi’ dan teori common link. a>fi’ yang dimaksud dalam penelitian ini adalah a>fi’ mawla Ibn Umar.

Sedangkan teori common link yang akan dibahas adalah teori yang telah digunakan

61Surat Al-hujurat ayat : 6

(12)

oleh G.H.A. Juynboll yang menetapkan bahwa suatu hadis dapat ditentukan nilai kesejarahannya dengan melihat siapa perawi dalam sebuah bundel sanad yang memenuhi kriteria sebagai common link. Hadis riwayat a>fi’ yang akan diteliti dibatasi hanya hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-S}ahi>h}ayn karya al-Bukhari dan Muslim. Riwa at a>fi’ ini juga dibatasi han a hadis-hadis yang ia terima dari Ibn Umar. Alasannya adalah karena jalur transmisi ini merupakan sanad emas dalam pandangan sarjana muslim, dan juga termasuk jalur kaluarga dalam periwayatan hadis yang diragukan oleh Joseph Schacht dan didukung oleh Juynboll.

Namun dalam penyusunan bundel sanad, penulis menyusunnya dengan seluruh periwayatan hadis yang sama yang terdapat dalam kitab-kitab hadis pre-kanonik yaitu kitab-kitab hadis yang disusun sebelum masa al-Bukhari dan Muslim.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian secara umum bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran terhadap suatu persoalan.62 Sedangkan penelitian hadis, memiliki tujuan untuk mengetahui kualitasnya agar dapat dinyatakan autentik atau tidak. Hal ini sangat penting berkenaan dengan kehujjahanya sebagai salah satu sumber dalam istinbath hukum ajaran Islam.63 Charles J. Adams mengatakan bahwa pada saat ini diperlukan peneliti muda yang mampu menilai capaian-capaian masa lampau dan memberikan arah baru dalam studi hadis.64 Untuk itu, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan capaian sarjana muslim masa lampau dalam usaha mereka mengumpulkan hadis-hadis autentik.

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan bukti autentisitas hadis riwayat Nāfi’ mawlā Ibn

‘Umar yang terdapat dalam kitab al-aiayn.

2. Untuk mengkritisi metode penentuan autentisitas hadis Nabi yang berkembang dari masa ke masa, agar dapat memberikan arah baru dalam penelitian hadis selanjutnya.

3. Untuk menggali kualitas metode dan sikap ulama’ dalam penelitian hadis, sebagai argumen tidak adanya rekayasa sanad dalam penetapan hadis autentik.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Kevin Reinhart menyimpulkan bahwa sarjana kontemporer belum ada yang mampu menolak argumen-argumen Juynboll.65 Untuk itulah penulis menganggap bahwa penelitian ini penting, karena selain untuk memperkaya kajian hadis, juga sebagai penambah hujjah para pencinta hadis terhadap para pengingkarnya.

62Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial Agama , 6.

63Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Tangerang Selatan : Serat Alam Media, 2012) , 31.

64Charles J. Adams, "Islamic Religious Tradition," in The Study of the Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: John Wiley & Sons, 1976), 29-95.

65 A. Kevin Reinhart, The ig ang, and H adi th Study in the Twenty First Century , Journal of the American Oriental Society 130.3 (2010) Dartmouth College, P 418.

(13)

Mengingat argumen-argumen sarjana muslim dirasa masih belum kuat, sebagaimana Fuat Sezgin dan Azami yang berargumen bahwa tradisi menulis hadis sudah berlangsung sejak awal malah bertentangan dengan jumhur ulama muslim yang menyatakan bahwa pada masa awal, hadis Nabi disebarkan melalui hafalan.66 Kemudian Mustafa ‘Azamī yang dalam bukunya mengungkapkan jalur isnad ‘Amr bin Abi ‘Amr67 untuk membuktikan kesalahan kesimpulan Schacht, ternyata menurut Ali Masrur justru malah berakibat sebaliknya yaitu menguatkan pendapat Schacht tentang adanya teori common link.68 Dan pada kenyataanya konsep

‚ ackgrowth‛ (berkembangnya isnad hadis ke belakang) telah diakui dan diterima kebenaranya oleh sarjana modern,69 yang secara tidak langsung menjadi penguat asumsi kepalsuan hadis-hadis Nabi dalam kitab-kitab kanonik yang disusun pada pertengahan abad kedua hijriah.

Dari itu semua, maka hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Dalam kegunaan teoritis diharapkan dapat memperkaya kajian kritik hadis dan memperkuat posisi hadis yang telah diteliti untuk dijadikan dasar penetapan hukum. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Menemukan hasil autentisitas riwayat Nāfi’ mawlā ibn ‘Umar yang terdapat dalam kitab al-aiayn setelah diuji menggunakan teori Common Link.

2. Diperoleh klasifikasi metode menentukan hadis autentik sebagai petunjuk arah baru dalam penelitian hadis.

3. Mendapatkan bukti konkrit terhadap kualitas metode dan sikap ulama’

dalam penelitian hadis, sebagai argumen tidak adanya rekayasa sanad oleh para penyusun kitab kanonik.

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam mempersiapkan disertasi ini, penulis telah menelusuri beberapa hasil penelitian terdahulu, baik dalam bentuk buku maupun artikel yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan dengan tujuan untuk mengetahui isu yang berkembang seputar penelitian ini dan mengetahui persamaan serta perbedaanya dengan penelitian terdahulu.70 Diatara kajian terdahulu yang memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

66Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik H}adi>th (Jakarta:

Hikmah, 2009), 120.

67M.Mustafa Azami, Studies in Early adīth Literature (Bairut: al-maktab al- Islam, 1968), 233-234.

68Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: melacak akar kesejarahan adīth Nabi, 61.

69Jonathan Brown, Critical rigor vs juridical pragmatism, how legal theoritists and ḥadīth scholar approached the backgrowth of isnad in the genre of ‘ilal al-Ḥadīth, Islamic Law and Society 14, 1 (Leiden, Koninkijke Brill NV, 2007 ), 1.

70Craig Ian Collinson, Academic Writing Guide: Dissertations: 2 Edge Hill University , 1-6.

(14)

Diawali dengan penelitian Nabia Abbott dalam bukunya ‚Studies in Arabic Literary Papyri, II Qur`anic Commentary and Tradition‛.71 Dia mengoreksi dan mengkritisi pandangan Ignaz Goldziher tentang beberapa sebab terjadinya gerakan pemalsuan hadis dalam skala besar yang membuat Goldziher meragukan autentisitasnya. Abbot adalah salah satu dari orang yang mendukung metode dan kesimpulan Fuat Sezgin.72 Dia menyatakan bahwa praktek penulisan hadis sudah berlangsung sejak awal dan berkesinambungan. Abbot mengawali bukunya dengan pentingnya manuskrip, kemudian dilanjutkan dengan perkembangan penulisan hadis sejak masa awal Islam yang terus berkembang dan dapat menjadi bukti kelangsungan serta autentitas hadis, dan diakhiri dengan mengemukakan dokumen- dokumen naskah tertulis dalam empat periode penting yaitu sejak masa hidup Nabi Muhammad SAW, kemudian setelah wafatnya Nabi, dan periode Bani Umayyah serta berbagai koleksi hadis yang terkodifikasi.

Kemudian Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dalam bukunya al-Sunnah qabla al- Tadwīn,73 juga menyanggah pendapat Goldziher dan orang yang sependapat denganya bahwa banyak terjadi pemalsuan hadis karena tidak tertulis sejak masa awal, dan menyanggah pendapat Goldziher mengenai Ibn Shihāb al-Zuhrī dan posisinya dalam periwayatan hadis.

MM Azami dalam ‚Dirāsāt fi al-Hadith al-Nabawi wa tārihi Tadwīnihi‛.74 Menjelaskan arti kata sunnah dalam Islam sebagai sanggahan atas pendapat Goldziher yang mengatakan bahwa sunnah adalah istilah jahiliyyah dan baru dikhususkan sebagai sunnah nabi sebagaimana pendapat Schacht dan Ali Hasan Abdul Qodir setelah masa al-Shafi’i.75 Selain itu dijelaskan pula argumen-argumen lain dalam rangka menyanggah temuan Goldziher yang lain. Selanjutnya Azami juga menulis ‚On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence‛.76 Buku ini adalah sanggahan atas Schacht dalam bukunya ‚The Origins of Muhammadan Jurisprudence‛. Azami menyanggah pandangan Schacht yang menganggap adanya perbaikan sanad oleh para penyusun kitab hadis, dan menyanggah tentang sanad keluarga yang dianggap palsu. Dalam kesimpulannya Azami mengatakan bahwa sebenarnya Schacht telah gagal dalam memeriksa sebagian literatur yang paling relevan dan salah dalam memahami teks-teks yang dikutipnya, contoh-contoh yang digunakanya sering bertentangan dengan poin yang sedang diupayakan. Dalam bukunya itu, Azami mengemukakan contoh-contoh yang diberikan oleh Schacht dan memberikan penjelasan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Schacht atas contoh-contoh tersebut.

71Diterbitkan oleh : The University of Chicago Press, Tahun 1967.

72Kamaruddin Amin, ‚Muslim Western Scholarship Of H{adi>th And Western Scholar Reaction: A Study on Fuat Sezgin’s Approach to H}adi>th Scholarship‛, 264.

73Diterbitkan oleh al-Maktabah al-Tijāriyyah, Makkah Tahun 1980

74Diterbitkan oleh al-Maktab al-Islāmī Bairut Tahun 1980.

75M.M Azami, dalam Dira>sa>t fi al-adīth al-Nabawi wa ta>rihi Tadwi>nihi (Riyad:

al-Maktab al-Isla>mi, 1980 ), 5-11.

76Diterbitkan oleh Suhail Academy, Lahore Pakistan Tahun 2004.

(15)

Selanjutnya Muhammad Muṣṭafā al-Sibā’ī, dalam ‚al-Sunnah wa makanatuha fi al-Tashri’ al-Islamī‛.77 Dalam buku ini al-Sibā’i> menyanggah semua pendapat Goldziher tentang pemalsuan hadis dengan mengungkapkan upaya para ulama’ masa awal untuk memerangi pemalsuan hadis, dan juga tentang al-Zuhrī secara panjang lebar. Dia juga menjelaskan semua hadis yang dianggap Goldziher telah dipalsukan oleh al-Zuhrī dan memberikan argumen yang mantap atasnya. Al- Siba>’i> mengungkapkan metodologi ahli hadis seperti kebiasaan rihlah dalam mencari hadis, pengusutan sanad, mencari pembanding atau saksi sebuah riwayat, dan ilmu kritik rawi (ilmu al-Jarh} wa al-Ta’di>l). selain itu al-Sibā’i> juga menyanggah pendapat Abu Rāyah tentang Abu Hurairah yang dianggap tidak jelas olehnya karena namanya dan nasabnya yang berbeda-beda, sebab abu Hurairah menemani Nabi, dan terbelakangnya dia masuk Islam tapi meriwayatkan hadis paling banyak. Tesis ini juga sebagai sanggahan argumen esilentio Schacht dengan mengungkapkan kedudukan hadis dalam umat Islam sejak awal.

Wahyudin Darmalaksana, dalam buku Hadis di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht78 buku ini mulanya adalah sebuah skripsi membahas tentang permasalahan dalam studi hadis, otentisitas hadis dan masalah Orientalisme, pandangan Ignaz Goldziher dan joseph Schacht tentang otentisitas hadis dan hukum Islam serta kritik terhadap tesis keduanya dengan mengutip pandangan Nabia Abbot, Fazlur Rahman dan Mustafa Azami. Dalam kesimpulanya. Wahyudin menyatakan bahwa tesis golziher dan Schacht mengandung tendensi kedengkian dan lebih merupakan arogansi self-nya Barat yang selalu ingin mendistorsikan realitas Islam sebagai others sebagaimana wacana orientalisme79 menurut pandangan Edward Said. Jadi penelitian ini pijakannya adalah tujuan orientalis dalam mengkaji Islam dan tidak terfokus pada sanggahan atas pendapat mereka.

Ali Masrur, dalam Teory common Link Juynboll: Melacak akar kesejarahan Hadis Nabi.80 Dalam buku ini dijelaskan tentang kronologi, sumber dan kepengarangan hadis, kajian atas peran para kadi (hakim) Islam awal yang menurut Juynboll sangat mudah memalsukan hadis, kajian hadis mutawatir, konsep mutawatir, dimana kemutawatiran hadis tidak menjamin kesejarahanya, dan kajian terhadap berbagai aspek ilmu rijal menurut pandangan Juynboll. Dalam penutupnya Masrur melakukan verifikasi kebenaran teori Juynboll dengan menerapkannya pada hadis-hadis shahadat dan rukun Islam dan dia menawarkan penafsiran baru tentang fenomena common link.

Berikutnya Kamaruddin Amin dalam buku Analisis isnad cum matan.81Ini adalah disertasinya di Bonn Jerman. Dalam penelitiannya ini, hadis shawm pertama diuji dengan kritik atau penanggalan hadis sarjana muslim, kemudian diuji dengan metode kritik atau penanggalan Juynboll dan terakhir diuji dengan metode isnad

77Diterbitkan oleh al-Maktab al-Islāmī, Bairut Tahun 2000.

78Diterbitkan oleh : Benang Merah Press Bandung, cetakan pertama tahun 2004

79Wahyudin Darmalaksana, H}adi>th di mata Orientalis:Telaah atas pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht, 135

80Diterbitkan oleh : LKIS Yogyakarta cetakan pertama tahun 2007

81Diterbitkan oleh : Pustaka Mapan Jakarta tahun 2008

(16)

cum matan. Kemudian dalam buku Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis,82 Kamaruddin Amin menyajikan secara runtut bagaimana mengkaji hadis dari sisi metodologi, pemikiran dan polemik antara penelitian yang dilakukan sarjana Muslim dan sarjana Barat. Kamaruddin juga mempertanyakan keseragaman penggunaan istilah periwayatan dan konsistensi penerapanya oleh ulama hadis dalam kitab mereka, dan penelitian hadis yang dikritik al-Bani dalam Ṣahih Muslim dengan metode kritik isnad cum matan. Kesimpulan besar buku ini adalah bahwa pertama Kritik isnad mendapat perhatian lebih ketimbang kritik matan di kalangan ulama’. Kedua Informasi yang disajikan para ulama abad ketiga dan keempat tentang ulama hadis awal memiliki nilai untuk konstruksi sejarah. Ketiga Dalam meneliti ilmu hadis pada masa awal Islam, analisis matan sama pentingnya dengan analisis isnad, analisis isnad saja tidak cukup karena dapat membawa pada penyandaran yang salah sebuah riwayat kepada perawi tertentu seperti kasus hadis Said bin Mina dan Said al-Maqbury yang secara salah telah disandarkan kepada Saīd Ibn al-Musayyab oleh M.M. Azami.

uku ‚Otentisitas Hadis menurut Ahli Hadis dan Kaum Sufi‛.83 Kesimpulan dari buku ini adalah bahwa akurasi metodologi yang diterapkan oleh ahli hadis membuat tidak sembarang orang bisa meriwayatkan hadis. Berbeda dengan kaum sufi yang bisa menṣahihkan suatu hadis dengan jalan mimpi bertemu Nabi dan ṭariq al-Kashf, dan menganggap hadis mereka lebih sahih dari metode kritik ahli hadis. Penelitian ini berusaha mencari titik temu dan pembeda antara metode penentuan kesahihan hadis Nabi menurut ahli hadis dan kaum sufi yang bukan ahli hadis. Titik temu itu adalah teori ‘adalah dan kesalihan dalam diri seorang perawi hadis yang sama dalam substansinya.

Harald Motzki, dalam Analisyng Muslim Tradions: Studies in Legal, Exegetical and Maghazi Hadith.84 Buku ini adalah ulasan dan bantahan atas beberapa kesimpulan Joseph Schacht dan GHA Juynboll dalam studi hadis. Harald Motzki sebagai penulis dan editor mengomentari pandangan Juynboll atas al-Zuhrī dan a>fi’ mawla Ibn ‘Umar secara lugas dan menunjukkan beberapa kesalahan Schacht dan Juynboll dalam penelitiannya, mulai dari pengambilan referensi dan proses generalisasi yang dilakukan. Dia mengambil sampel murid-murid al-Zuhrī selain Malik bin Anas aitu Ma’mar Ibn Rāshid (w.153/770) dan ‘Abd al-Malik ibn Juraij (w.150/767) yang terdapat dalam Mus}annaf Abd al-Razzāq al-San’ānī (w.

211 H) serta membandingkanya dalam rangka rekonstruksi kritik terhadap doktrin dan hadis riwayat al-Zuhrī. Kemudian berkenaan dengan a>fi’ Motzki meneliti hadis tentang zakat fitrah yang diriwayatkan oleh beberapa perawi. Buku ini menjadi salah satu sumber rujukan peneliti dalam melihat beberapa permasalahan mengenai a>fi’. Dengan melihat berbagai aspek yang diungkap Juynboll dan dibantah oleh Motzki, penelitian ini memposisikan diri diantara mereka.

Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, dalam Kritik terhadap Metode Kajian Sanad G.H.A. Juynboll: Tumpuan terhadap Teori common link dan Single

82Diterbitkan oleh: PT Mizan Republika Jakarta cetakan pertama tahun 2009

83 Diterbitkan oleh : Pustaka Firdaus, cetakan kedua tahun 2008

84 Diterbitkan oleh : BRILL volume 78 Tahun 2010

(17)

Strand.85 Dalam artikel tersebut, mereka menyatakan bahwa kesimpulan Juynboll banyak menuai kritikan sarjana Barat lain. Dan bila ditinjau dari perspektif ilmu hadis, teori-teori yang dikembangkan Juynboll berdasar pada ketidak percayaannya terhadap autentisitas hadis a>ha>d, sebenarnya pendapat seperti ini adalah sama dengan pendapat sebagian tokoh Mu’tazilah masa lalu yang bertentangan dengan pendapat jumhur umat Islam. Kajian mereka ini lebih fokus pada penguatan status hadis Ghari>b untuk diterima sebagai hujjah.

Idri, dalam Otentisitas H{adîth Mutawâtir Dalam Teori Common Link G.H.A. Juynboll, 86 dalam artikel ini Idri menolak pendapat Juynboll bahwa konsep mutawatir telah dikembangkan oleh sarjana muslim secara random dan bahwa istilah tersebut sering digunakan secara longgar dan salah. Idri menganggap bahwa teori common link Juynboll tidak dapat dijadikan paradigma untuk meneliti hadis- hadis Nabi oleh Umat Islam, karena hasil akhir dari penggunaan teori ini adalah kesimpulan bahwa hadis Nabi yang diteliti adalah palsu.

Halit Ozkan, dalam artikelnya ‚The Common Link and Its Relation to the Madār‛.87 Dalam tulisannya ini, Ozkan memberikan argumen bahwa istilah common link tidak bisa disamakan dengan istilah mada>r yang digunakan oleh sarjana hadis muslim masa lalu maupun masa kini. Kata mada>r juga tidak selalu digunakan sebagai istilah teknis. Ozkan menyatakan bahwa terdapat problem dalam contoh yang diberikan Juynboll tentang orang yang disebut mada>r. Selain itu tidak benar juga bahwa mada>r berarti sama dengan kata tafarrada (sendiri dalam periwayatan). Ozkan menyampaikan argumen bahwa adanya mada>r dalam level yang sama dari sanad hadis, menunjukkan bahwa istilah mada>r itu berbeda dengan istilah tafarrud sekalipun dalam literatur hadis ditemukan bahwa Ibn Hajar menggunakan dua istilah itu yang kemudian difahami sebagai sinonim. Tetapi dari hasil penelusuran dalam literatur, dua istilah itu jelas berbeda. Ozkan juga menolak temuan Juynboll bahwa istilah muta>ba’a>t dan Shawa>hid lebih tepat diartikan sebagai menyalin atu meng-copi. Menurut Ozkan, dua istilah itu lebih tepat difahami dalam konteks al-I’tiba>r (mencari pembanding), dan tidak tepat jika dua istilah itu difahami sebagai praktek menyalin hadis (to copy) dengan bukti tidak adanya kemungkinan seseorang yang hidup di dua tempat dan waktu yang berbeda untuk melakukan hal tersebut.

Dengan melihat pada literatur buku dan artikel dalam jurnal yang telah disebutkan di atas, maka secara garis besar sanggahan terhadap teori Barat tentang kepalsuan hadis Nabi dilakukan dengan mengumpulkan bukti bahwa periwayatan hadis dan tradisi menulis riwayat telah dilakukan sejak masa awal Islam, serta dengan meluruskan istilah-istilah yang difahami dengan kurang tepat. Oleh karena itu maka diketahui bahwa fokus kajian disertasi ini memiliki perbedaan dengan kajian terdahulu dalam beberapa aspek sbb:

1. Penelitian ini akan mengaplikasikan teori common link GHA Juynboll pada hadis-hadis riwa at a>fi’ mawla Ibn Umar ang terdapat dalam kitab al-aiayn.

85 Al-Bayan Journal of al-Qur’an & al-Hadith vol. 5 Mei 2007, p. 71-95.

86 Jurnal Islamica volume 7, Nomor 2, Maret 2013

87 Dipublikasikan dalam Islamic Law and Society, Vol. 11, No. 1 (2004), pp. 42-77

(18)

2. Penelitian ini ingin menguatkan posisi Nāfi’ sebagai tokoh sanad dhahabiyyah yang belum banyak dikuatkan posisinya oleh para sarjana hadis terdahulu dalam karya mereka.

3. Penilitian ini akan membuktikan kehandalan kritik hadis sarjana muslim dengan menjawab tuduhan-tuduhan yang dialamatkan atasnya dengan fokus pada kitab al-aiayn .

F. Metode Penelitian 1. Sumber dan Jenis data

Sumber data penelitian ini adalah data pustaka88 yang terdiri dari sumber primer yaitu kitab hadis al-aḥīḥayn ang memuat riwa at a>fi’ mawla Ibn ‘Umar, buku Muslim’s Traditions karya Juynboll, dan kitab-kitab biografi ulama hadis, serta jurnal-jurnal internasional yang berkaitan. Sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini, yaitu buku Anal sing Muslim’s Traditions karya Motzki dan buku Kamarudin Amin menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik hadis, serta kitab- kitab sīrah yang relevan, ditambah buku-buku orientalis dalam bidang hadis.

Adapun jenis data penelitiannya adalah hadis riwayat Nāfi’serta biografinya.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan sumber data yang mayoritas berupa tulisan yang dalam bahasa Arikunto disebut paper, maka Pengumpulan data ditempuh dengan metode dokumentasi,89 dengan tahapan sebagai berikut: pertama, memisahkan hadis-hadis ang akan diteliti aitu riwa at a>fi’ mawla Ibn ‘Umar. Kedua, mengambil sampel hadis yang akan diteliti. Ketiga, observasi untuk mengetahui acuan utama metode kritik hadis ‘ulama dalam kitab-kitab mereka dan hasil temuan Orientalis atas kelemahan metode kritik tersebut. Keempat, memisahkan hadis yang dapat diterima dan tertolak setelah menggunakan dua metode tersebut.

3. Pendekatan dan Analisis Data

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian pustaka yang bersifat kualitatif. Metode kualitatif akan diterapkan sebagai eksplorasi terhadap setiap jenis data.90 Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan historis dan filologis, dengan model analisis induktif. Data-data yang diperoleh akan dianalisis dengan pendekatan deskriptif analisis. Selain itu dilakukan analisis komparatif dari data-data tersebut sehingga kesimpulan yang diperoleh akan lebih komprehensif.

Penelitian komparatif ini menurut Van Dalen merupakan jenis Inter relationship Studies yang termasuk Causal Comparative Studies.91 Penelitian ini juga merupakan penelitian eksploratif karena bertujuan untuk menemukan berbagai implikasi yang mempengaruhi autentisitas hadis.

88 Mustika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2004), 1-13

89Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), Cet XII, Edisi Revisi V, 129.

90Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung:

Alfabeta, 2010).

91Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, 236.

(19)

4. Penentuan Populasi dan Sampel

Dalam kitab al-S}ah}i>h}ayn terdapat 6602 hadis yang tidak diulang. Dalam sahih al-Bukhari 2602 hadis, dan dalam sahih Muslim 4000 hadis. Dari jumlah tersebut terdapat riwayat Nāfi’ sebanyak 188, dan yang dianggap sebagai hadis mutawatir sebanyak 18 hadis. Untuk memenuhi kriteria sampel berupa ukuran dan keterwakilannya,92 maka hadis yang akan dijadikan sampel untuk menggeneralisasi hasil penelitian adalah 66 hadis yang diambil dengan pemilihan sampel acak sederhana.93 Jumlah ini diperoleh setelah mengaplikasikan rumus sampling Taro Yamane sebagai berikut:94

n = N N n = Jumlah sampel, N= Jumlah Populasi N.d2 + 1 d2 = Presisi yang ditetapkan

Dan telah diketahui jumlah populasi hadis a>fi’ seban ak = 188, dan presisi yang ditetapkan sebesar 10%, maka berdasar rumus tersebut diperoleh jumlah sampel sebagai berikut:

n = N = 188 = 188 = 188 = 65,27 = 66 hadis N.d2 +1 188.0,12+1 (188).(0,01)+1 2,88

5. Teknik Pengolahan Data

Data dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu : a. Hadis-hadis riwa at a>fi’

Pengolahan data hadis ini melalui tahap-tahap: Pertama, hadis-hadis yang menjadi sampel akan di-tarīj untuk mengetahui sumber-sumber hadis dalam kitab yang lain. Kedua, melakukan I’tiba>r yaitu membuat bundel sanad, kemudian dilanjutkan dengan menentukan perawi yang menduduki posisi common link. Ketiga, meneliti pribadi rawi dalam periwayatan dan meneliti kebersambungan sanadnya. Dan Keempat menentukan autentik atau tidaknya sanad. Kelima, membuat natījah (kesimpulan) hadisnya sahih (autentik) atau mawḍū’.95

b. iografi a>fi’

Untuk data yang berupa biografi, akan dianalisis secara logis, sistematis dan obyektif menggunakan pendekatan sejarah dengan langkah- langkah sebagai berikut: Pertama, pengumpulan data-data yang relevan dari berbagai sumber yang otoritatif (heuristik). Kedua, melakukan analisis kristis pada sumber. Ketiga, penetapan makna dan hubungan antara fakta-fakta yang ditemukan (interpretasi). Keempat, rekonstruksi data yang diperoleh (historiografi). Semua data yang ditemukan akan dievaluasi dan diverifikasi

92 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2012), 250.

93 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, 261.

94 Riduwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula c.6 (Bandung: Alfabeta, 2010), 65.

95M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 49-138.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian untuk faktor permintaan secara simultan ada pengaruh nyata antara tingkat pendapatan, selera, jumlah tanggungan dan harapan masa yang akan datang

Bedasarkan faktor-faktor tersebut, maka ketiadaan hubungan paparan debu terhirup dengan kapasitas vital paru pada pekerja penyapu pasar Johar kota Semarang, tidak

Komisi Nasional Akreditasi Pranata Penelitian dan Pengembangan. PLM 046-INA Bidang

Dairi merupakan salah satu daerah penghasil kopi Arabika di

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

1. Adanya perasaan senang terhadap belajar. Adanya keinginan yang tinggi terhadap penguasaan dan keterlibatan dengan kegiatan belajar. Adanya perasaan tertarik yang

Kalium diduga akan menyingkirkan kalsium untuk bergabung dengan senyawa karbonat, oksalat atau urat yang merupakan komponen pembentuk batu ginjal dengan membentuk

• Dianjurkan untuk menggunakan aksesori atau perangkat tambahan ini dengan mesin Makita Anda yang ditentukan dalam petunjuk ini. Penggunaan aksesori atau perangkat tambahan lain