• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Unsur Permulaan Pelaksanaan Dalam Tindak Pidana Makar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Unsur Permulaan Pelaksanaan Dalam Tindak Pidana Makar"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Page 276 http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris

ISSN ONLINE: 2745-8369

Analisis Unsur Permulaan Pelaksanaan Dalam Tindak Pidana Makar

Febby Farizky Siregar1, Alvi Syahrin2, M. Ekaputra3

Magister Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, E-mail: [email protected]

Abstrak

Sebagai syarat tindak pidana makar, unsur permulaan pelaksanaan merupakan hal yang sangat mempengaruhi dapat tidaknya seseorang dituntut dengan tindak pidana makar.Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana makar harus dibuktikan terlebih dahulu mengenai niat pelaku yang dinyatakan dalam permulaan pelaksanaan yang merupakan salah satu unsur percobaan melakukan tindak pidana. Salah satu contoh yakni terjadi pada kasus makar dalam Putusan Nomor 1303/Pid.B/2019/PN.Jkt.Pst.Berdasarkan dari uraian latar belakang, permasalahan yang dikaji, yakni: Bagaimana pengaturan tindak pidana makar di Indonesia, bagaimana keterkaitan permulaan pelaksanaan dengan tindak pidana makar, bagaimanaanalisis hukum terhadap tindak pidana makar dalam Putusan Nomor: 1303/PID.B/2019/PN.JKT.PST.Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif, yang didukung dengan sumber data sekunder, serta dilakukan analisis secara kualitatif.Hasil penelitian yaitupengaturan tindak pidana makar di Indonesia diatur dalam beberapa pasal, diantaranya Pasal 104, Pasal 106 KUHP dan Pasal 107 KUHP.Keterkaitan unsurpermulaan pelaksanaan dengan unsur tindak pidana makarpada pokonya memiliki hubungan yang saling keterkaitan, sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 87 KUHP, sehingga tindak pidana makar dapat dikatakan telah terjadi, jika unsur permulaan yang berupa niat pelaku telah terbukti sebagai tindakan permulaan dalam melakukan perbuatan makar. Analisis hukum dihubungkan dengan putusanPengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1303/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst,perbuatan pelaku seharusnya tidak dikenakan pasal 106 KUHP Jo. Pasal 55 KUHP, akan tetapiseharusnya dikenakan Pasal 106 Jo. Pasal 87 KUHP tentang perbuatan makar dibarengkan dengan percobaan makar itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa kesalahan yang mendasar terletak dari kekeliruan jaksa dalam menuntut perbuatan para terdakwa, maka analisa hukumnya lebih menyatakan bahwa tuntutan jaksa dalam perkara ini yang membuat tidak sesuainya penerapan hukum yang dijatuhkan oleh majelis hakim.

Kata Kunci: Unsur Permulaan Pelaksanaan, Tindak Pidana Makar.

Abstract

As a condition for the crime of treason, the initial element of implementation is something that greatly influences whether or not a person can be charged with the crime of treason. A person can be said to have committed a crime of treason; it must first be proven regarding the intention of the perpetrator stated at the beginning of the implementation which is one of the elements of an attempt to commit a crime One example is the case of treason in Decision Number 1303/Pid.B/2019/PN.Jkt.Pst..Based on the background description, the problems studied are: How is the regulation of the crime of treason in Indonesia, how is the relationship between the beginning of the implementation and the crime of treason, how is the legal analysis of the crime of treason in Decision Number: 1303/PID.B/2019/PN. JKT.PST.The research method used in this research is normative legal research, which is supported by secondary data sources, and qualitative analysis is carried out.The result of the research is that the regulation of the crime of treason in Indonesia is regulated in several articles, including Article 104, Article 106 of the Criminal Code and Article 107 of the Criminal Code. The link between the initial element of implementation and the element of the criminal act of treason in essence has an interrelated relationship, as can be seen in Article 87 of the Criminal Code, so that the crime of treason can be said to have occurred, if the initial element in the form of the perpetrator's intention has been proven as the initial act in committing the crime. treason. Legal analysis is related to the decision of the Central Jakarta District Court Number 1303/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst, the perpetrator's actions should not be subject to Article 106 of the Criminal Code Jo. Article 55 of the Criminal Code, but should be subject to Article 106 Jo. Article 87 of the Criminal Code concerning the act of treason is coupled with the

(2)

Page 277 attempted treason itself, so that it can be said that the fundamental error lies in the prosecutor's error in prosecuting the actions of the defendants, so the legal analysis states that the prosecutor's demands in this case are what make the application of the law imposed incompatible with panel of judges.

Keywords: Elements of the Beginning of Implementation, the Crime of Treason. Cara Sitasi:

Siregar, Febby (2021), “Analisis Unsur Permulaan Pelaksanaan Dalam Tindak Pidana Makar”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol . 2 No.2, Jumi, Pages 276-284.

A. Pendahuluan

Kejahatan terhadap keamanan negara atau makar sendiri memiliki keterkaitan dengan salah satu unsur dari percobaan tindak pidana. Percobaan melakukan tindak pidana (poging) merupakan hal yang menarik karena ketentuan pasal percobaan ini memiliki hubungan dengan beberapa tindak pidana lain. Salah satu bentuk tindak pidana yang menjadikan percobaan (poging) sebagai syarat terpenuhinya suatu perbuatan sebagai tindak pidana adalah tindak pidana makar. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 87 KUHP yang berbunyi :

“Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53.”

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat utama tindak pidana makar adalah adanya niat dari si pelaku tindak pidana makar melalui permulaan pelaksanaan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 53 tentang percobaan melakukan tindak pidana.

Percobaan tindak pidana (pogging) terdapat dalam ketentuan Pasal 53 dan Pasal 54 KUHP yang berbunyi :

Pasal 53:

(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. (3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan

pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai. Pasal 54:

“Mencoba melakukan pelanggaran tidak dipidana”.

Kedua pasal tersebut diatas tidak memberikan defenisi yang jelas mengenai apa itu percobaan melakukan kejahatan. Jika mengacu kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang bermaksud membunuh orang tetapi

orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu.1

Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut “Poging”, menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai, tetapi belum sempurna.Dapat juga diartikan bahwa Percobaan (Poging) adalah suatu usaha untuk melakukan suatu tujuan tindakan tetapi belum selesai. Tindakan tersebut belum selesai bukan karena keinginan dari seseorang itu sendiri, tetapi dari faktor lain yang menghalangi. Dalam ilmu hukum pidana dikenal adanya teori-teori tentang dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana.Teori-teori tentang dasar dapat dipidananya percobaan dapat dibedakan atas pidana.Teori-teori percobaan yang obyektif dan

teori percobaan yang subyektif.2

Salah satu contoh kasus tindak pidana makar pernah dipersidangkan dan diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana dalam Putusan Nomor 1303/Pid.B/2019/PN.Jkt.Pst. Dalam putusan tersebut Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan perbuatan turut serta melakukan Makar, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 106 KUHP Jo.Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Perbuatan yang dilakukan para terdakwa dengan cara melakukan melakukan aksi demonstrasi di

1 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Bogor : Politea, (1996), p. 59.

2 Astri C. Montolalu, “Tindak Pidana Percobaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”, Lex Crimen.Vol. 5 No.

(3)

Page 278 depan Gedung Istana Negara dengan menyuarakan referendum bagi Papua dan menuntut kemerdekaan Papua. Para Terdakwa melakukan aksinya dengan cara membuka baju, mengibarkan Bendera Bintang Kejora, dan melukis wajah serta dada mereka dengan Bendera Bintang Kejora. Sebagaimana perbuatan yang dilakukan para terdakwa merupakan unsur permulaan dari adanya tindak pidana maker dengan maksud untuk memisahkan Provinsi Papua dan Papua Barat dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai syarat tindak pidana makar, unsur permulaan pelaksanaan merupakan hal yang sangat mempengaruhi dapat tidaknya seseorang dituntut dengan tindak pidana makar.Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana makar harus dibuktikan terlebih dahulu mengenai niat pelaku yang dinyatakan dalam permulaan pelaksanaan yang merupakan salah satu unsur percobaan melakukan tindak pidana.Oleh karena itu, pemahaman mengenai unsur permulaan tindak pidana dan hubungan antara tindak pidana makar dengan percobaan melakukan tindak pidana merupakan hal yang sangat penting yang berpengaruh terhadap pemberantasan tindak pidana makar itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui fokus permasalahan pada penelitian ini adalah Bagaimana pengaturan tindak pidana makar di Indonesia?Bagaimana keterkaitan permulaan pelaksanaan dengan tindak pidana makar?Bagaimana analisis hukum terhadap tindak pidana makar dalam Putusan Nomor: 1303/PID.B/2019/PN.JKT.PST?Penelitianinimerupakan penelitian normatif. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau yang membuat masyarakat dapat dimaklumi, termasuk produk hukum yang menjadi bahan kajian dan produk hukum sebagai alat bantu pembentuk hukum kritik. Bahan hukum sekunder meliputi penjelasan bahan hukum primer di dalam bentuk doktrin ahli yang ditemukan di buku, jurnal, dan situsweb.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis dengan menggunakan pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case

approch). Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian data empiris

atau data lapangan yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara dengan informan dan responden yang berhubungan dengan objek yang diteliti yang dapat juga ditambah dengan data normative berupa peraturan perundang-undangan, jurnal dan karya ilmiah. Sesuai dengan jenis dan sifat penelitiannya, sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal ilmiah, makalah dan artikel ilmiah yang dapat

memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.3 Teknik pengumpulan data dilakukan dengan

penelitian kepustakaan (library research) dengan analisis data dilakukan secara kualitatif.4 Penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan pendekatan masalahnya adalah dengan melakukan pendekatan hasil kajian empiris teoritik dengan melihat berbagai pendapat para ahli, penulis dan kajian-kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan persoalan berdasarkan asas-asas hukum dan

merumuskan definisi hukum.5

B. Pembahasan

1. Pengaturan Tindak Pidana Makar Di Indonesia

Tindak pidana makar di Indonesia dapat dilihat dalam beberapa fase-fase yang pernah dialami Indonesia.Fase-fase tersebut memuat instrumen-instrumen hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan tindak pidana makar. Fase-fase tersebut, terdiri dari 4 (empat) fase yaitu fase pertama pada tahun 1866-1946, fase kedua pada tahun 1946-1963, fase ketiga pada tahun 1963-1999, dan fase

terakhir yaitu pada tahun 1999 sampai sekarang.6

Tindak pidana makar di Indonesia, mengalami perkembangan di dalam perumusannya.Mulai dari fase pertama, sampai dengan fase terakhir.Fase-fase tersebut memuat keadaan sosial, hukum, dan politik yang mempengaruhi pengaturan tindak pidana makar.Pada fase pertama, instrumen hukum yang digunakan adalah Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagaimana diketahui,

Kitab Undang-Undang hukum Pidana.7 merupakan WvS Belanda yang diadopsi oleh pemerintah

Indonesia. Oleh karena itu, perumusan mengenai tindak pidana makar dalam kejahatan keamanan negara

3 Zainuddin dan Rahmat Ramadhani, “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online Mortgage Registration”, Jurnal

Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2, (2021): p. 244.

4 Rahmat Ramadhani, “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without Creditors' Permission”, IJRS:

International Journal Reglement & Society 1, No. 2, (2020): p. 33.

5 Rahmat Ramadhani, “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”, SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi 1,

No. 1, (2020): p. 2.

6 Sulardi, Reformasi Hukum (Rekonstruksi Kedaulatan Rakyat dalam Membangun Demokrasi), (Malang: In-Trans Publishimng,

(2009), p. 12.

7Koto, Ismail, and Taufik Hidayat Lubis. "Tindak Pidana Penyelundupan Pakaian Bekas Dalam Perspektif Teori Kepastian

(4)

Page 279 yang telah sebelumnya dirumuskan di dalam WvS, digunakan pula oleh pemerintah Indonesia. Dapat dilihat di dalam fase pertama, pengaturan tindak pidana makar di Indonesia terpengaruh oleh politik hukum pengaturan kejahatan keamanan negara yang telah sebelumnya dirumuskan di dalam WvS, sehingga secara tidak langsung pemerintah Indonesia mengikuti rumusan pengaturan tindak pidana

makar negara kolonial.8

Selanjutnya di dalam fase kedua, instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah berkaitan dengan tindak pidana makar adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, muncul seiring keadaan pasca kemerdekaan yang dipenuhi gejolak-gejolak dalam negeri. Presiden Soekarno pada fase kedua, berusaha mengamankan keadaan pasca kemerdekaan dari adanya gejolak-gejolak sosial dan politik antar pihak-pihak dalam negeri.Pengaturan tindak pidana makar pada fase kedua ini, lebih cenderung difokuskan untuk meminimalisir gejolak-gejolak di dalam negeri dengan sikap pemerintah yang reaktif.Perkembangan

pengaturan tindak pidana makar di Indonesia selanjutnya, terdapat di dalam fase ketiga.9

Pada fase ketiga, instrumen hukum yang digunakan oleh pemerintah adalah Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 yang selanjutnya dijadikan Undang-Undang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Instrumen hukum di dalam fase ini, kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Pemberantasan kegiatan Subversi (UUPKS). Sebagaimana yang diketahui, Undang-Undang Pemberantasan Kegiatan Subversiv (UUPKS) berasal dari Penetapan Presiden No 11 Tahun 1963 yang semula dikeluarkan Pemerintahan Orde Lama (fase kedua) untuk mengamankan revolusi yang belum selesai. Secara tidak langsung, pada fase ini pemerintah kembali menghidupkan dan menegaskan kembali kedudukan instrumen hukum yang dulu pernah dikeluarkan orde lama sebagai alat untuk mengamankan pemerintah pasca revolusi kemerdekaan.Namun keadaan pada masa fase kedua, jauh berbeda pada fase ketiga ini.10

Kejahatan yang masuk kategori makar yang mengancam kepentingan hukum atas keamanan dan keselamatan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimuat dalam Bab I Buku II KUHP terdiri dari 3 bentuk, yaitu Pasal 104 KUHP mengatur mengenai makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan Kepala Negara atau wakilnya, Pasal 106 KUHP mengatur mengenai makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah Negara, dan Pasal 107 KUHP mengatur

mengenai makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya pemerintahan Negara.11

Dalam ketentuan Pasal 104 KUHP jelas dinyatakan bahwa sanksi pidana bagi pelaku makar dengan maksud untuk menghilangkan atau merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakilnya diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara maksimal dua puluh tahun.Ketentuan sanksi pidana pada Pasal 106 KUHP adalah pelaku makar diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.Ketentuan sanksi pidana pada Pasal 107 KUHP dinyatakan bahwa pelaku kejahatan makar sesuai dengan ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, dan ketentuan ayat (2) menyatakan bahwa ancaman pidana bagi pimpinan dan pengatur makar itu lebih berat, yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana sementara maksimum dua puluh tahun.

2. Keterkaitan Permulaan Pelaksanaan Dengan Tindak Pidana Makar

Berdasarkan rumusan Pasal 87 KUHP tersebut, adalah tidak dapat terjadi percobaan pada makar, karena makar itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari percobaan (syarat-syarat untuk dipidananya percobaan), walaupun pengertiannnya lebih sempit dari pengertian syarat dapat dipidananya melakukan percobaan kejahatan yang dirumuskan pada Pasal 53 ayat (1) KUHP. Berbeda dengan percobaan melakukan kejahatan yang menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP yang mensyaratkan tidak selesainya karena bukan dari sebab kehendaknya sendiri, tapi pada makar telah terwujud secara sempurna walaupun pelaksanaan tidak selesai karena atas kehendaknya sendiri secara sukarela. Dengan penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa makar itu adalah suatu wujud tingkah laku tertentu yang telah memenuhi unsur pertama dan kedua dari Pasal 53 ayat (1) KUHP, yang artinya untuk mempidana sesuatu pelaku/pembuat (dader) yang telah melakukan suatu perbuatan yang masuk kualifikasi kejahatan makar, sudahlah cukup terpenuhi syarat adanya niat yang ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan beserta maksud tertentu yang terlarang oleh Undang-undang, tanpa harus dipenuhinya syarat tidak selesainya

pelaksanaan perbuatan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.12

8Ibid.,p. 13. 9Ibid.,p. 14. 10Ibid.

11 Adami Chazawi, Kejahatan Penghinaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, (2011),p. 11. 12 Adami Chazawi, Op. Cit.,p. 10.

(5)

Page 280

Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan: “Dikatakan ada makar

untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam pasal 53”. Ternyata ketentuan pasal tersebut sesungguhnya tidak

memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan makar.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), salah satu pengertian makar adalah perbuatan atau usaha menjatuhkan pemerintahan yang sah. Tindak pidana makar diatur dalam Buku Kedua KUHP (Kejahatan) pada Bab I tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam pasal 104 sampai pasal 129.Apabila ditelusuri, dalam pengertian sempit, makar meliputi kejahatan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, kejahatan terhadap pemerintah atau badan-badan pemerintah dan pemberontakan.

Salah satu masalah yang perlu dikaji yakni soal penafsiran istilah makar yang dikatakan berasal dari kata aanslag yang berarti “serangan”.Namun demikian, jika kita cermati pasal per-pasal, maka dapat dipahami bahwa makna kata aanslag sebenarnya tidak dapat hanya diartikan sebagai serangan dalam arti fisik saja.Kata “serangan” memiliki macam-macam penafsiran pula, yakni dapat diartikan serangan secara fisik, maupun serangan secara nonfisik.Kata “serangan” tersebut, ada yang mengartikannya

sebagai “kekerasan” dan juga tidak harus berupa “kekerasan”.13

Sebagai salah satu contoh, dalam perspektif Pasal 104 KUHP mengenai makar dengan maksud menghilangkan nyawa atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden menjalankan pemerintahan. Makar dalam pasal ini tidak harus selalu diartikan berupa serangan secara fisik, namun juga bisa bermakna serangan non fisik, misalnya dengan cara memberi racun ke dalam makanan dan minuman, atau dengan cara-cara lain yang dapat membuat presiden atau wakil presiden tidak dapat menjalankan pemerintahan. Dalam hal ini serangan tidak dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan saja. Demikian pula misalnya dalam perspektif Pasal 106 KUHP mengenai makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian dari wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau

memisahkan sebagian wilayah negara dari yang lain. Makar dalam pasal ini tentu tidak perlu atau selalu berupa serangan dalam bentuk tindak kekerasan, misalnya dengan membuka jalan untuk musuh agar menguasai wilayah negara juga merupakan makar.Termasuk juga dalam pengertian ini yang diatur dalam

Pasal 107 KUHP, yakni mengenai makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan.14

Pada dasarnya tindakpidana makar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 KUHP tidak dapat disimpulkan dengan pemaknaan yang terlalu luas.Sebagaimana jika tindak pidana makar ditafsirkan dengan pemaknaan yang terlalu luas, seperti ditafsirkan sebagai bentuk “penyerangan”, maka unsurniat, unsurperbuatan permulaan pelaksanaan dan unsur ditujukan untuk menghilangkan nyawa Presiden/Wakil Presiden atau menghilangkan kemerdekaan atau membuat mereka tidak cakap memerintah ini harus ada.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aanslag (makar) merupakan delik yang didalamnya hanya ada dua unsur yaitu niat dan permulaan pelaksanaan.Sedangkan percobaan sebagaiamana diatur dalam Pasal 53 KUHP memiliki tiga unsur yaitu niat, permulaan perlaksanan, permulaan pelaksanaan itu terhenti bukan karena keinginan pelaku semata.Sehingga jika mengacu pada tafsir makar sebagaimana diatur dalam Pasal 87 KUHP, meskipun tafsir ini kurang memuaskan, setidaknya bisa dijadikan sebagai dasar yuridis. Pasal 87 KUHP berada di dalam buku kesatu. Buku kesatu merupakan Aturan Umum yang meletakkan dasar-dasar atau asas dari norma, sehingga dalam Buku Kesatu tidak diatur mengenai delik yang diancam pidana, tetapi berisi penjelasan atas beberapa delik.15

3. Analisis Hukum Terhadap Tindak Pidana Makar Dalam Putusan Nomor: 1303/Pid.B/2019/Pn.Jkt.Pst

Berdasarkan putusan Hakim Nomor: 1303/PID.B/2019/PN JKT.PST dalam pertimbangannya bahwa para pelaku telah melakukan suatu tindak pidana makar sebagaimana bentuk tindak pidana makar berdasarkan Pasal 106 KUHP yaitu unsur dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara dengan yang lain. Tindakan yang dilakukan oleh Para terdakwa diatur dalam Pasal 106 KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Unsur subjektif : dengan maksud

2. Unsur objektif: 1) Makar

13 Prianter Jaya Hairi, “Judicial Review Pasal-Pasal Makar KUHP: Perspektif Penafsiran Hukum Dan HAM”, Negara Hukum:

Vol. 8, No. 2, November (2017):p. 238.

14Ibid. 15Ibid.

(6)

Page 281 2) Yang dilakukan

3) Membawa kebawah kekuasaan asing 4) Wilayah negara

5) Seluruh atau sebagian 6) Memisahkan

7) Sebagian wilayah negara

Terkait dengan putusan dan fakta hukum di persidangan, hakim menerapkan Pasal 106 KUHP terhadap para pelaku yang melakukan tindak pidana makar dengan tindakan sebagai berikut:

Majelis telah mencermati fakta persidangan bahwa aksi di depan Istana Negara pada tanggal 28 agustus 2019, yang dihadiri Terdakwa Paulus Suryanta Ginting, Terdakwa Issey Wenda, Terdakwa Charles Kossay, Terdakwa Ambrosius Mulait, dan Saksi Ariana serta saksi Anes Tabuni Als Dano Anes Tabuni, (terdakwa dalam berkas terpisah), bahwa para terdakwa telah turut orasi diatas mobil komando, para Terdakwa melihat Bendera Bintang Kejora yang dikibarkan secara bergantian oleh saksi Arina Elopere Als Wenebita Gwijangge dengan aksi massa lainnya dengan menghiasi wajahnya sendiri dengan motif Bintang Kejora, menari dan bernyayi serta meneriakkan yel-yel tentang “Papua Merdeka” dan “Papua Bukan Merah Putih” serta meneriakan “Referendum dan Papua Merdeka” secara bersamaan dengan para massa aksi, yang artinya para Terdakwa memiliki niat dan perbuatan untuk memisahkan sebagian dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Seseorang dapat dipersalahkan melakukan makar bukan saja karena pelaku telah benar-benar menghasilkan suatu kejahatan karena tindak pidana makar sendiri memang tidak perlu selesai karena berdasarkan Pasal 87 KUHP makar telah dianggap terjadi segera setelah maksud dari para pelaku untuk memisahkan sebagian wilayah negara itu menjadi nyata dalam suatu bentuk permulaan pelaksanaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP. Dalam membuktikan tindak pidana makar dengan maksud memisahkan sebagian wilayah negara hakim melihat bahwa parapelaku mempunyai suatu kesepakatan untuk melakukan tindak pidana makar, sebagaimana berdasarkan fakta-fakta di persidangan bahwa tujuan para pelaku adalah untuk meminta kepastian agar Papua di merdekakan dari Indonesia, disini terlihat usaha-usaha yang dilakukan oleh para pelaku untuk memisahkan sebagian wilayah dari NKRI.

Berdasarkan tataran rumusan Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang secara tegas dan jelas telah menyatakan bahwa untuk menduga pelaku telah melakukan perbuatan tindak pidana makar cukup diperlukan syarat yang sederhana yaitu adanya niat pelaku dan niat itu telah ternyata ada perbuatan permulaan pelaksanaan, maka dengan memperhatikan secara seksama perbuatan para Terdakwa dalam aksi di depan Istana Negara pada tanggal 28 Agustus 2019 adalah tergolong perbuatan makar, yang mana bentuk makar ini tidak perlu dipandang sebagai bentuk serangan secara fisik dengan menggunakan senjata dan/atau tekanan psikis / terror, tetapi bentuk sikap perilaku yang menentang dan tidak mengakui keutuhan NKRI secara verbal dan symbol.

Objek tindak pidana makar yang diatur dalam Pasal 106 KUHP adalah integritas wilayah negara dimana wilayah negara yang dimaksud adalah wilayah negara Republik Indonesia. Hakim menerapkan Pasal 106 KUHP dengan pertimbangan berdasarkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 106 KUHP yaitu unsur dengan maksud yang berarti adanya maksud pribadi dari para pelakunya untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara kebawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara, yang berarti bahwa pelaku tersebut harus mempunyai pengetahuan bahwa makar yang dilakukannya itu memang telah ditujukannya untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara kebawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan sebagian wilayah negara.

Makar merupakan sebuah serangan dimana objek dalam penyerangan ini adalah kedaulatan atas daerah negara.Hakim melihat para pelaku tindak pidana makar berusaha memisahkan sebagian daerah dari NKRI.Makar dapat menyerang keamanan dan keutuhan wilayah negara dimana integritas suatu negara adalah terciptanya keamanan dan keutuhan wilayah negara.Karena itu keamanan dan keutuhan wilayah negara adalah wajib dipertahankan.Meletakkan wilayah negara kedalam kekuasaan musuh itu artinya menyerahkan wilayah negara pada kekuasaan asing sedangkan memisahkan wilayah negara adalah memisahkan wilayah Papua dan menjadikannya negara yang berdiri sendiri.Tindakan makar sendiri telah ada undang-undang yang mengatur sebelumnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 106 KUHP.

Berkaitan dengan teori pemidanaan yang digunakan dalam penulisan tesis ini bahwa pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap para pelaku tindak pidana agar tidak lagi melakukan tindak pidana yang sama. Pemidanaan bukan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi para

(7)

Page 282 pelaku dan sebagai upaya pencegahan agar tindak pidana tidak terjadi lagi selain itu juga agar terciptanya

keamanan dalam Masyarakat16.Hakim menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa 1. Paulus

Suryanta Ginting, 2. Charles Kossay, 3. Ambrosius Mulait alias Ambo masing-masing dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) bulan dan terhadap terdakwa Isay Wenda dengan pidana penjara selama 8 bulan.

Hakim dalam putusannya menjatuhkan pidana yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 55 KUHP dapat diketahui bahwa orang yang dapat dihukum sebagai pelaku tindak pidana dapat diklasifikasikan atas: 1. Mereka yang melakukan tindak pidana (plegen)

2. Mereka yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen plegen) 3. Mereka yang ikut vserta melakukan tindak pidana (medeplegen)

4. Mereka yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uitlokken)

Hakim dalam putusannya tidak memberikan klasifikasi yang berbeda terhadap para pelaku tindak pidana makar, hal ini dapat dilihat dengan mendasarkan pada surat dakwaan tunggal yang dibuat oleh jaksa penuntut umum. Hakim menyimpulkan bahwa penyertaan dalam tindak pidana makar yang dilakukan oleh para terdakwa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Kerjasama yang disadari diantara para pelaku sebagai perwujudan kehendak bersama ketika mereka melakukan tindak pidana

2. Para pelaku bersama-sama melakukan seluruh atau sebagian dari unsur-unsur tindak pidana tanpa mempersoalkan siapa yang melakukan perbuatan terakhir, sehingga tercipta suatu tindak pidana yang penting para pelaku telah melakukan perbuatan pelaksanaan.

Terkait dengan teori pertanggungjawaban pidana yang digunakan dalam penelitian ini bahwa seseorang hanya dapat dibebani tanggungjawab perbuatan yang dilakukan para terdakwa merupakan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum adalah setiap perbuatan yang tidak boleh dilakukan baik menurut undang-undang maupun norma-norma/kaidah-kaidah yang hidup di masyarakat baik dalam bentuk perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain maupun yang tidak didasari oleh suatu hak. Pidana penjara yang selama 9bulan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap para terdakwa dan 8 bulan telah sesuai, apabila dikaitkan dengan pendapat Jan Rammelink, bahwa sekalipun pelaku bukan

orang yang turut serta, kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut.17

Pelaku disamping pihak-pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama-sama dengannya sebagai pelaku (dader), sedangkan cara penyertaan yang dilakukan dan tanggungjawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu pelaku adalah orang yang memenuhi unsur delik termasuk bila dilakukan lewat orang lain atau bawahan mereka.

Kaitannya dengan teori pertanggungjawaban pidana menentukan bahwa apakah para pelaku mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya atau tidak. Dilihat dari sudut terjadinya perbuatan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungawabkan atas tindakan tersebut apabila tindakan itu terdapatnya melawan hukum serta tidak ada alasan pembenaran. Pertanggungjawaban pidana, setidaknya harus memikirkan tiga hal yakni pertama kemampuan bertanggungjawab dari pelaku yaitu keadaan psikis pelaku, kedua adanya hubungan sikap batin pelaku dengan perbuatannya, yang ketiga ada tidaknya alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pelaku.

Hakim telah melihat berdasarkan fakta-fakta di persidangan bahwa para pelaku tindak pidana makar dalam keadaan sadar dan tau bahwa perbuatan yang mereka lakukan dapat dipidana dan para pelaku juga mampu membedakan hal yang baik dan buruk dimana dalam hal ini para terdakwa mengakui secara terus terang tentang perbuatannya dan mengaku bersalah dan tidak mengajukan keberatan. Hakim dalam penerapannya telah mempertimbangkan berdasarkan fakta di pengadilan bahwa para pelaku telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana makar sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 106 KUHP dan menjatuhkan pidana penjara selama 9 bulan dan 8 bulan terhadap para pelaku.

Kaitannya dengan teori pemidanaan adalah tujuan pidana adalah untuk membalas kesalahan para pelaku dan juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban mengingat tindak pidana makar berkaitan dengan stabilitas keamanan nasional.Hakim dalam memutus perkara tindak pidana makar harus mengacu pada kepastian hukum dimana peraturan yang dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dan tidak menimbulkan keragu-raguan

16Koto, Ismail."Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Penggabungan Perkara Korupsi Dan Money Laundering (Studi Kejaksaan

Tinggi Sumatera Utara)." Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum 2.2 (2021): 156-162.

17 Tongat, Hukum Pidana Materiil Tinjauan atas Tindak Pidana terhadap Subyek Hukum dalam Kitab Undang-undang Hukum

(8)

Page 283 sehingga tidak menimbulkan konflik yang ditimbulkan dari ketidakpastian.

Selanjutnya atas penjatuhan pemidanaan terhadap pelaku, penulis berpendapat bahwa perbuatan pelaku seharusnya tidak dikenakan pasal 106 KUHP Jo. Pasal 55 KUHP, akan tetapiseharusnya dikenakan Pasal 106 Jo. Pasal 87 KUHP tentang perbuatan makar dibarengkan dengan percobaan makar itu sendiri, sebagaimana Andi Hamzah berpendapat bahwa “Ketentuan tentang aanslag (yang diterjemahkan ‘makar’) perlu ditinjau ulang dalam KUHP nasional dan dikembalikan kepada ketentuannya semula ‘percobaan (poging attend)’. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara perbuatan makar kaitannya dengan unsure percobaan dalam perbuatan makar sangatlah berkesinambungnan, sebab tidak dapat dipasahkan antara satu dengan yang lain

C. Penutup

Pengaturan tindak pidana makar di Indonesia diatur dalam beberapa pasal, diantaranya Pasal 104 KUHP mengatur mengenai makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan Kepala Negara atau wakilnya, Pasal 106 KUHP mengatur mengenai makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan wilayah Negara, dan Pasal 107 KUHP mengatur mengenai makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya pemerintahan Negara.Keterkaitan unsurpermulaan pelaksanaan dengan unsur tindak pidana makarpada pokonya memiliki hubungan yang saling keterkaitan, sebagaimana hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 87 KUHP yang menyebutkan bahwa dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti dimaksud Pasal 53 KUHP, sehingga tindak pidana makar dapat dikatakan telah terjadi, jika unsur permulaan yang berupa niat pelaku telah terbukti sebagai tindakan permulaan dalam melakukan perbuatan makar. Analisis hukum terhadap tindak pidana makar dalam Putusan Nomor: 1303/PID.B/2019/PN JKT.PST,bahwa perbuatan pelaku seharusnya tidak dikenakan pasal 106 KUHP Jo. Pasal 55 KUHP, akan tetapiseharusnya dikenakan Pasal 106 Jo. Pasal 87 KUHP tentang perbuatan makar dibarengkan dengan percobaan makar itu sendiri, sehingga dapat dikatakan bahwa kesalahan yang mendasar terletak dari kekeliruan jaksa dalam menuntut perbuatan para terdakwa, maka analisa hukumnya lebih menyatakan bahwa tuntutan jaksa dalam perkara ini yang membuat tidak sesuainya penerapan hukum yang dijatuhkan oleh majelis hakim sehingga seharusnya Jaksa dapat merumuskan perbuatan pelaku lebih kepada Pasal 106 Jo. Pasal 87 KUHP dalam perbuatan makar dikaitkan dengan unsur permulaan yang telah timbul dalam perbuatan makar tersebut.

Hendaknya rumusan dalam tindak pidana makar haruslah diperbaharui kembali, sebab ketentuan yang ada saat ini dalam KUHP tidak mencerminkan prinsip keadilan bagi masyarakat.Hendaknya kepada penegak hukum haruslah dapat memahami makna antara perbuatan makar dengan perbuatan permulaan makar, sebab sering sekali kasus terjadi yang dimana para penegak hukum menggunakan Pasal makar terhadap masyarakat yang mengkritik pemerintahan dari pada penggunaan pasal percobaan makar.Hendaknya Majelis Hakim dalam putusanPengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 1303/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst seharusnya tidak serta merta mengikuti tuntutan Jaksa dalam pengambilan keputusan, sebagaimana hakim seharusnya dapat melakukan terobosan hukum yang lebih mendalam tentang hukuman apa yang sesuai untuk menciptakan keadilan di dalam masyarakat.

Daftar Pustaka

Amrani, Hanafi. (2015).Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan Dan Penerapan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Arief, Barda Nawawi. (2001).Sari Kuliah Hukum Pidana II, Semarang: Universitas Diponegoro. Chazawi, Adami. (2011).Kejahatan Penghinaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hairi, Prianter Jaya. (2017). “Judicial Review Pasal-Pasal Makar KUHP: Perspektif Penafsiran Hukum Dan HAM”, Negara Hukum: Vol. 8, No. 2.

Koto, Ismail, and Taufik Hidayat Lubis.2021 "Tindak Pidana Penyelundupan Pakaian Bekas Dalam Perspektif Teori Kepastian Hukum (Studi Kasus Di Kantor Bea Cukai Teluk Nibung Tanjung Balai)." Buletin Konstitusi 2.1.

Koto, Ismail.2021 "Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Penggabungan Perkara Korupsi Dan Money Laundering (Studi Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara)." Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum 2.2.

(9)

Page 284 Montolalu, Astri C. (2016). “Tindak Pidana Percobaan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP)”, Lex Crimen.Vol. 5 No. 2.

Ramadhani, Rahmat. (2020). “Legal Consequences of Transfer of Home Ownership Loans without Creditors' Permission”, IJRS: International Journal Reglement & Society 1, No. 2

Ramadhani, Rahmat. (2020). “Peran Poltik Terhadap Pembangunan Hukum Agraria Nasional”, SOSEK: Jurnal Sosial dan Ekonomi 1, No. 1.

Riduan, Syahrani. (1999).Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti. Sianturi, S.R. (1983).Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni.

Soesilo, R. (1996). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Bogor : Politea.

Zainuddin dan Rahmat Ramadhani. (2021). “The Legal Force Of Electronic Signatures In Online Mortgage Registration”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, No. 2.

Referensi

Dokumen terkait

Simons, mereka itu dengan tepat telah mengatur tindak pidana penadahan dalam bentuk pokok oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 480 ayat (1) KUHP

Ketentuan yang mengatur masalah ganti rugi dalam hukum pidana diatur pada pasal 14c KUHP menyatakan apabila hakim menjatuhkan pidana percobaan, maka di samping penetapan

8 Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.. Mengenai unsur perbuatan kesusilaan dalam merumuskan ketentuan hukum pidana yang diatur dalam Pasal 292 KUHP, tindakan

Tindak Pidana Pemilu dapat dimasukkan dalam pidana khusus yaitu pidana pemilu dan pelanggaran baik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan

Disamping dilihat dari teori yang dipakai, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)/ (WvS) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10. Diatur 2

II.2.2 Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 413-437 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang

Permufakatan menurut Pasal 88 KUHP adalah Permufakatan apabila dua orang atau lebih baru bersepakat untuk melakukan kejahatan, sedangkan maksud permufakatan makar yaitu tindakan yang

Adapun tindak pidana penipuan melalui pembayaran elektronik online dalam mewujudkan perlindungan hukum yaitu Pasal 378 KUHP yang mengatur mengenai tindak pidana penipuan, juga diatur