• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERGESERAN DAN PEMERTAHANAN LEKSIKON KEPADIAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN EKOLINGUISTIK SKRIPSI OLEH RIANITA SIHOMBING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERGESERAN DAN PEMERTAHANAN LEKSIKON KEPADIAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN EKOLINGUISTIK SKRIPSI OLEH RIANITA SIHOMBING"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PERGESERAN DAN PEMERTAHANAN LEKSIKON KEPADIAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN

EKOLINGUISTIK

SKRIPSI

OLEH

RIANITA SIHOMBING 170701029

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdata karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi.

Medan, September 2021 Penulis,

Rianita Sihombing

NIM 170701029

(5)

LEKSIKON KEPADIAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN EKOLINGUISTIK

ABSTRAK

Penelitian ini membahas mengenai leksikon nomina, verba dan adjectiva kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah melalui perspekstif ekolinguistik. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi leksikon yang ditemui di masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea untuk mengetahi tingkat kebergeseran dan kebertahanan dari leksikon- leksikon kepadian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode campuran antara metode kualitatif dan juga metode kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan dengan cara wawancara dan juga penyebaran angket (kuesioner). Data yang diperoleh kemudian di analisis menggunakan metode padan dengan teknik dasar PUP (pilah unsur penentu) dan teknik lanjut berupa teknik HBB (hubung banding menyamakan) dan HBS (hubung banding membedakan) dan selanjutnya leksikon tersebut dianalisis berdasarkan nilai budayanya dengan menggunakan alalisis isi (content analisys). Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas 3 kelompok leksikon yakni (1) leksikon tahap pratanam, (2) leksikon tahap tanam, dan (3) leksikon tahap pascatanam. Dari ketiga kelompok leksikon tersebut diperoleh 83 leksikon nomina, 55 leksikon verba, dan 14 leksikon adjectiva.

Dari hasil tingkat pemahaman masyarakat terhadap leksikon nomina, verba, dan adjectiva tersebut diketahui masih banyak juga leksikon yang masih bertahanan dan masih diketahui oleh masyarakat, namun ada juga yang mengalami persegeseran.

Leksikon nomina tingkat kebertahanannya 86,86% dan kebergeserannya 13,13%.

Leksikon verba tingkat kebertahanannya 88,12% dan kebergeserannya 11,86%. Dan leksikon adjectiva tingkat kebertahanannya 93,33% dan kebergeserannya 6,66%.

Kata Kunci: Kebertahanan, Kebergeseran, Kepadian, Leksikon, Ekolinguistik

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunianya terhadap penulis yang tak berkesudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan judul Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Kepadian dalam Masyarakat Batak Toba: Kajian Ekolinguistik. Penulisan skripsi ini merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana.

Penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik atas berkat dorongan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada:

1. Dr. Dra. T. Thyrhaya Zein, M.A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Dwi Widayati, M.Hum sebagai Ketua Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum sebagai Sekretaris Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara .

4. Dr. Dwi Widayati, M.Hum sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh

kesabaran, dan tanggung jawab dalam membimbing penulis mulai dari penulisan

proposal sampai penulisan skripsi.

(7)

5. Dr. Mulyadi, M.Hum dan Dr. Rosliani Lubis, M.Hum sebagai dosen penguji penulis saat seminar proposal dan juga sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen sebagai tenaga pengajar di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah membagikan ilmu dan pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

7. Bapak Joko Santoso yang telah membantu penulis dalam hal administrasi selama perkuliahan di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

8. Orang tua penulis, Arlan Nixon Sihombing dan Sariati Siagian yang telah selalu memenuhi kebutuhan penulis selama kuliah dan selalu menjadi penyemangat penulis.

9. Saudara penulis, kak Edorya Sihombing, Milliardi Taruna Sihombing, Tipan Fradous Sihombing, Goloria Sihombing, dan Immanuel Sihombing yang senantiasa memberikan dukungan dan juga doa kepada penulis.

10. Sahabat penulis, Delpi Situmorang, Lasma Uli Simatupang, Bona Helga Nainggolan, dan Dayanthy Octavia Riah Ate Sagala (DeLaBoRiDa) yang menjadi sahabat penulis dari awal masuk kuliah.

11. Teman seperjuangan, Nila Maria Ulfa, Elsa Saputri Lubis, Putri Rahmadeni

Sembiring, Sagitarius Marbun, Elviani Purba dan juga kawan-kawan mahasiswa

Sastra Indonesia, stambuk 2017 yang tidak dapat di sebutkan satu per satu.

(8)

12. Rinto Simamora, sebagai Kepala Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.

13. Masyarakat Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah yang telah bersedia menjadi informan dan juga responden dalam penelitian.

Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kiranya kasih setia-Nya selalu beserta kita sepanjang waktu.

Medan, September 2021 Penulis,

Rianita Sihombing

(9)

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Peta Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 : Total Responden Berdasarkan Usia

Tabel 4.1 : Data Pengelompokan Leksikon Kepadian dalam Bahasa Batak Toba Tabel 4.2 : Data Leksikon Kepadian Tahap Pratanam

Tabel 4.3 : Data Leksikon Kepadian Tahap Tanam Tabel 4.4 : Data Leksikon Kepadian Tahap Pascatanam

Tabel 4.8 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Nomina Kepadian

Tabel 4.9 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Nomina Kepadian

Tabel 4.10 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia > 46 Tahun terhadap Leksikon Nomina Kepadian

Tabel 4.11 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Verba Kepadian

Tabel 4.12 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Verba Kepadian

Tabel 4.13 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia > 46

Tahun terhadap Leksikon Verba Kepadian

(10)

Tabel 4.14 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Adjectiva Kepadian

Tabel 4.15 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Adjectiva Kepadian

Tabel 4.16 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia > 46

Tahun terhadap Leksikon Adjectiva Kepadian

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iv

PRAKATA ... v

DAFTAR GAMBAR, TABEL ... viii

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoretis ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 7

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 8

2.1.1 Leksikon ... 8

2.1.2 Kepadian ... 10

2.1.3 Pergeseran dan Pemertahanan ... 10

2.1.4 Bahasa dan Lingkungan... 12

2.2 Landasan Teori ... 14

2.2.1 Ekolinguistik ... 14

(12)

2.3 Tinjauan Pustaka ... 16

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian ... 21

3.2 Data dan Sumber Data ... 22

3.3 Metode Penelitian ... 22

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 31

3.3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Leksikon Kepadian dalam Masyarakat Batak Toba. ... 35

4.1.1 Leksikon Tahap Pratanam ... 35

4.1.2 Leksikon Tahap Tanam ... 47

4.1.3 Leksikon Tahap Pascatanam ... 56

4.2 Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Kepadian dalam Masyarakat Batak Toba di Desa Sipea- pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ... ………68

4.2.1 Pemahaman Masyarakat Batak Toba pada Tiga Kelompok Usia Terhadap Leksikon Nomina Kepadian ... 69

4.2.2 Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Nomina dalam Masyarakat

Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten

Tapanuli Tengah ... 78

(13)

4.2.3 Pemahaman Masyarakat Batak Toba pada Tiga Kelompok Usia

Terhadap Leksikon Verba Kepadian ... 80

4.2.4 Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Verba dalam Masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ... 88

4.2.5 Pemahaman Masyarakat Batak Toba pada Tiga Kelompok Usia Terhadap Leksikon Adjectiva Kepadian ... 90

4.2.6 Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Adjectiva dalam Masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ... 96

BAB V SIMPULAN DAN PENUTUP 5.1 Simpulan ... 98

5.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100

LAMPIRAN ... 103

(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan kata atau simbol yang digunakan sebagai alat berkomunikasi dalam bermasyarakat. Kridalaksana (2008:24) mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Hal sedana juga dikemukakan oleh Pateda bahwa bahasa adalah deretan bunyi yang bersistem sebagai alat (instrumentalis) yang menggantikan individual dalam menyatakan sesuatu kepada lawan tutur dan akhirnya melahirkan kooperatif di antara penutur dan lawan tutur. Melalui bahasa manusia dapat mengekspresikan seluruh ide dan gagasan mereka. Bahasa digunakan oleh manusia dalam segala aspek aktivitas manusia. Dengan demikian bahasa merupakan hal yang hakiki dalam kehidupan manusia (lihat dalam Sitorus dkk 2014: 95).

Bahasa memiliki hubungan erat dengan lingkungan. Kedua unit tersebut dapat dikaji dalam sebuah kajian yang disebut dengan ekolinguistik, atau bisa juga disebut dengan ekologi bahasa. Haugen 1972 (dalam Fill dan Mulhausler 2001:57) mengatakan bahwa ekologi bahasa merupakan studi tentang interaksi antara bahasa dan lingkungannya, yang bekerja melalui kognisi otak, hati (sikap positif, negatif, tingkat kesetiaan, dan politik) yang secara nyata terwujud dalam pola interaksi verbal (tuturan dan tulisan) dalam komunikasi antar penutur.

Hubungan antara bahasa dengan lingkungan dapat tercermin dalam kosa

kata atau leksikon sebagai representasi lingkungan alam. Salah satu representasi

(15)

lingkungan alam yang dapat kita lihat yakni dalam khazanah pertanian khsusnya tanaman padi. Terdapat kosa kata atau leksikon dalam dunia kepadian yang saat ini masih ada namun, ada juga yang sudah hilang ataupun bergeser dikarenakan lingkungan bahasa sudah tidak terpelihara. Bukti perubahan kosakata akibat pergeseran dan pengurangan bahasa tampak pada beberapa kosakata atau leksikon yang sudah tidak dikenal lagi dan bahkan tidak lagi digunakan oleh banyak penutur. Leksikon atau kosakata yang tidak lagi dikenal ini disebabkan oleh hilangnya rujukan yang mengacu pada penamaan leksikon. Akibatnya, beberapa kosakata akan hilang dari bahasa mereka (Widayati, dkk, 2017: 85). Suatu bahasa daerah akan bergeser atau terancam punah apabila masyarakat pengguna bahasa tidak dapat mempertahankan bahasa daerah mereka dengan baik (lihat Sitorus, 2004: 96).

Bahasa daerah yang ada di Indonesia sangat beragam, salah satu bahasa daerah dari Indonesia yakni bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba merupakan bahasa yang digunakan atau dituturkan oleh masyarakat suku Batak Toba. Penutur bahasa Batak Toba banyak dijumpai di berbagai daerah Indonesia yang secara khusus di daerah-daerah Batak, seperti Samosir, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Toba Samosir.

Dalam bahasa Batak Toba padi disebut dengan eme. Penamaan jenis eme

dalam masyarakat Batak Toba sangat unik dan beragam (diversity) berdasarkan

varietasnya misalnya untuk padi varietas lokal ada, eme si rokki, si gadu-gadu, si

pulut dan masih banyak lagi. Penamaan jenis padi dalam masyarakat Batak Toba

di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah

(16)

tersebut diklasifikasikan berdasarkan jenis padi yang ditanam dan juga dikonsumsi oleh masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Khazanah kepadian pasti tidak terlepas dengan berbagai kegiatan maupun alat-alat yang digunakan dalam dunia pertanian mulai dari tahap pratanam, tanam, sampai ke tahap pascatanam. Dalam hal ini, peneliti akan mengklasifikasikan leksikon-leksikon dalam kepadian yang mencakup 3 tahap yakni (1). leksikon tahap pratanam, (2).

leksikon tahap tanam, dan (3). leksikon tahap pascatanam. Klasifikasi leksikon tersebut dikelompokkan kedalam leksikon nomina, leksikon verba, dan juga leksikon adjektiva.

Leksikon Pratanam Leksikon

Nomina

Gloss Leksikon Verba

Gloss Leksikon Adjektiva

Gloss

boni benih mangengge merendam degar benih

yang tercampur dengan benih padi lain mangangkat mengangkat

mappatiris meniriskan mangalakkopi menutupi jetor traktor manjetor mentraktor ninggala luku maninggala meluku

pakkur cangkul mamakkur mencangkul

Leksikon-leksikon tahap pratanam di atas memiliki kaitan yang erat

dengan masyarakat setempat baik itu secara biologis, ideologis, dan juga

sosiologis masyarakat. Contohnya leksikon boni ‘benih padi’. Dilihat dari dimensi

biologinya, secara konseptual boni merupakan biji atau buah padi yang dipilih

kualitasnya agar memperoleh benih yang unggul. Dari sisi ideologisnya,

(17)

masyarakat berdoa untuk benih padi mereka agar diberi berkat dan nantinya menjadi bibit yang menjamin hasil panen. Hal tersebut dapat dilihat dalam ungkapan atau doa yang diungkapkan petani saat menabur benih yakni gabe na ni ula, horas na mangulahon!. Ungkapan gabe na ni ula tersebut berisi harapan atau doa yang diharapkan petani terhadap benih yang akan ditanam agar berhasil (gabe) dan menghasilkan padi yang banyak atau melimpah. Selanjutnya, horas na mangulahon yang memiliki harapan agar petani diberikan berkat dalam mengelola lahan pertaniannya. Kesuksesan dalam bertani bergantung pada kerja keras dari orang yang mangulaho yakni pertani itu sendiri, sedangkan dari sisi sosiologisnya, pada saat masyarakat mendoakan boni yang hendak mereka tanam, tidak dilakukan secara bersama dengan masyarakat setempat melainkan didoakan secara pribadi dengan harapan dan doa masing-masing oleh petani.

Leksikon dalam kepadian kini sudah banyak yang bergeser karena

pengaruh zaman dan teknologi yang semakin canggih. Terdapat kosa kata yang

kini sudah tidak diketahui oleh penuturnya, khusunya penutur muda. Misalnya

ninggala ‘alat membajak/ menggemburkan tanah yang terbuat dari kayu ijor lalu

ditarik oleh kerbau”. Leksikon ninggala dapat dikatakan bergeser dikarenakan

tingkat pemahaman masyarakat Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat,

Kabupaten Tapanuli Tengah pada ketiga kelompok usia terhadap leksikon

ninggala masih dibawah 50%. Untuk mengetahui tingkat kebergeser leksikon

dilakukan penyebarkan angket/kuesioner. Dari 210 responden yang mengisi

angket/kuesioner diketahui bahwa tidak ada reponden yang pernah mendengar,

melihat, dan menggunakan leksikon tersebut. Pemahaman masyarakat kelompok

(18)

usia 15- 20 tahun 100%, kelompok usia 20- 45 tahun 76,58%, dan kelompok usia

> 46 tahun 70,58% tidak pernah melihat dan juga mendengar leksikon ninggala tersebut. Hal tersebut dapat terjadi di sebabkan oleh faktor teknologi yang semakin canggih yang menyebabkan alat tersebut sudah tidak dapat dijumpai lagi.

Berdasarkan latar belakang di atas terlihat bahwa leksikon kepadian pada saat ini sudah mengalami pergeseran dikarenakan keberadaan leksikon tersebut yang semakin susah ditemukan lagi saat ini, dan ada juga leksikon yang masih bertahan hingga saat ini. Dengan adanya persoalan seperti di atas, maka peneliti berkeinginan untuk meneliti pergeseran dan pemertahanan leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, dengan menggunakan pendekatan perspektif ekolinguistik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, dirumuskan masalah sebagi berikut:

a. Bagaimanakah klasifikasi leksikon-leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba berdasarkan ketiga dimensi praksis sosial dalam ekolinguistik di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ? b. Bagaimanakah tingkat pergeseran dan pemertahanan leksikon-leksikon

kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan

Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ?

(19)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan penelitian yakni sebagai berikut :

a. Untuk mendeskripsikan klasifikasi leksikon-leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba berdasarkan ketiga dimensi praksis sosial dalam ekolinguistik di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.

b. Untuk mendeskripsikan tingkat pergeseran dan pemertahanan leksikon- leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.

1.4 Manfaat penelitian

Hasil dari penelitian pergeseran dan pemertahanan leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut, yakni:

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis dari penelitian ini yakni:

a. Untuk memberikan pengetahuan ilmu kebahasaan, khususnya di bidang ekolinguistik dalam dimensi praksis sosial terhadap leksikon-leksikon kepadian dalam Batak Toba.

b. Untuk memberikan sumbangan kosa kata yang berhubungan dengan

kepadian dalam bahasa Batak Toba.

(20)

c. Untuk memberikan rujukan terhadap penelitian lanjutan yang berkaitan dengan dimensi praksis sosial dalam ekolinguistik, khususnya di bidang leksikon kepadian.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini yakni:

a. Untuk memperkenalkan kembali berbagai leksikon kepadian dalam bahasa Batak Toba, yang semakin hilang.

b. Untuk melestarikan bahasa daerah, khususnya bahasa Batak Toba.

c. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, tentang betapa

pentingnya pelestarian lingkungan, khususnya leksikon kepadian.

(21)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya (Kridalaksana,2008:132). Dalam sebuah penelitian, konsep dibutuhkan agar ruang lingkup kajian penelitian menjadi terarah (linear) atau tidak menyimpang dari apa yang hendak akan dibahas. Adapun konsep penelitian ini yakni :

2.1.1 Leksikon

Menurut Kridalaksana (2008: 142) Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa.

Leksikon juga diartikan sebagai kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa. Demikian juga, leksikon merupakan daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis.

Dalam penelitian ini, penulis akan menguraikan berbagai data leksikon yang nantinya ditemui di lapangan, baik itu mencakup leksikon nomina, leksikon verba, maupun leksikon adjektiva dalam khazanah kepadian.

2.1.1.1 Nomina

Moeliono, dkk (2017: 259) mengungkapkan bahwa leksikon nomina

merupakan kata yang mengacu pada sebuah benda, orang, konsep, ataupun

pengertian yang berfungsi sebagai obyek dan subyek. Suatu kata dapat

digolongkan kedalam leksikon nomina apabila memenuhi syarat yakni (1) dapat

(22)

diikuti oleh frasa yang + sangat , (2) dapat didahului oleh numeralia dengan atau tanpa penggolong seperti seorang, seekor, setangkai, dll, (3). dapat diikuti dengan kata itu. Leksikon-leksikon nomina dalam penelitian ini mencakup leksikon alat pertanian, bagian padi, jenis padi, jenis tanah, jenis hama, jenis gulma, hingga alur padi menjadi beras yang ditemui mulai dari tahap pratanam, tanam, dan pascatanam.

2.4.4.2 Verba

Moeliono, dkk (2017: 95) mengungkapkan bahwa leksikon verba merupakan kelas kata yang menyatakan keadaan, proses, atau aktivitas. Kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat. Suatu leksikon dapat dikelompokkan kedalam leksikon verba apabila memenuhi syarat yakni (1) dapat diberi aspek waktu seperti akan, sedang, dan telah, (2) berawalan me- dan ber-. Leksikon- leksikon verba dalam penelitian ini mencakup leksikon kegiatan, proses, ritual yang dilakukan saat dalam bertani.

2.1.1.2 Adjektiva

Moeliono, dkk (2017: 193) mengungkapkan bahwa leksikon adjectiva

merupakan kata yang digunakan untuk mengungkapkan sifat, atau keadaan

sesuatu, misalnya keadaan orang, binatang, benda. Leksikon adjectiva berfungsi

sebagai predikat. Suatu kata dapat dikelompokkan kedalam leksikon adjectiva

apabila memenuhi syarat yakni (1) dapat diawali dengan kata sangat, paling, dan

diakhiri dengan kata sekali, (2) dapat diingkari dengan kata tidak. Leksikon-

leksikon adjectiva dalam penelitian ini yakni leksikon kata sifat yang

menerangkan keadaan dari leksikon nomina yang ditemui pada kepadian mulai

(23)

2.1.2 Kepadian

Kepadian dibentuk dari bentuk dasar padi yang diberi afiks ke-an. Secara morfologis, afiks ke-an menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang tersebut pada bentuk dasar (Ramlan, 1983: 146). Misalnya kepadian, yakni hal-hal yang berhubungan dengan masalah padi. Arneka, dkk (2019:2) mengungkapkan bahwa kosa kata kepadian merupakan kumpulan kata atau leksikon yang terdapat pada tumbuhan padi dan seluruh rangkaian kegiatan kepadian mulai dari bagian padi, dan seluruh rangkaian kegiatan kepadian mulai dari bagian tumbuhan padi, alat dan bahan, proses, ritual, jenis padi, jenis tanah, jenis hama, jenis gulma, hingga alur padi menjadi beras. Tahapan dalam kepadian terbagi menjadi tiga tahap, yakni tahap pratanam, tanam, dan juga pascatanam (Tarigan, 2018:39). Dalam penelitian ini akan diuraikan leksikon-leksikon nomina, verba, dan juga adjectiva dalam kepadian dalam Bahasa Batak Toba mulai dari tahap pratanam, tanam, pascatanam.

2.1.3 Pergeseran dan Pemertahanan a. Pergeseran

Pergeseran memiliki arti sempit yakni peralihan, perpindahan, dan

pergantian. Secara luas, pergeseran merupakan suatu keadaan dimana bahasa

daerah sempat mengalami perubahan atau peralihan baik dari tataran leksikal

maupun gramatikalnya. Dalam hal ini, penggunaan kata pergeseran berhubungan

dengan keadaan atau keberadaan leksikon kepadian dalam masyarakat batak Toba

di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah yang

sudah berganti atau beralih. Suatu leksikon akan mengalami pergeseran apabila

(24)

lingkungannya sudah rusak. Penyusustan atau kepunahan unsur alam dan unsur budaya akan berdampak terhadap hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas itu.

Punahnya sebuah leksikon bahasa daerah berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa tersebut, termasuk berbagai kearifan dalam lingkungan.

Ciri-ciri dari suatu leksikon dikatakan masih bergeser apabila yakni:

a. Leksikon tersebut sudah tidak ada ditemui di lingkungan tersebut b. Leksikon tersebut tidak pernah didengar lagi

c. Leksikon tersebut tidak pernah digunakan lagi

Standar penilaian interval tingkat kebertahanan suatu leksikon dalam kepadian masyarakat batak Toba, yakni apabila hasil jawaban dari responden yang dilakukan dengan penyebaran angket/kuesioner persentase tingkat pengetahuannya 0% - 50%, maka dapat dianggap bahwa kepadian tersebut bergeser (Apriliana, 2008: 12).

b. Pemertahanan

Pemertahanan berawal dari kata dasar ‘tahan’ yang berarti tetap

keadaannya (kedudukannya) meskipun mengalami berbagai hal, sedangkan

bentukan kata ‘bertahan’ memiliki arti tetap pada kedudukannya atau dapat

mempertahankan diri. Jadi, kata pemertahanan memiliki arti ‘upaya untuk

mempertahankan diri atau kedudukan’. Dalam hal ini, penggunaan kata

pemertahanan berhubungan dengan upaya untuk mempertahankan keberadaan

(25)

leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.

Ciri-ciri dari suatu leksikon dikatakan masih bertahan apabila yakni:

a. Leksikon tersebut masih ada ditemui di lingkungan tersebut b. Leksikon tersebut masih pernah didengar

c. Leksikon tersebut masih digunakan dalam lingkungan

Standar penilaian interval tingkat kebertahanan suatu leksikon dalam kepadian masyarakat batak Toba, yakni apabila hasil jawaban dari responden yang dilakukan dengan penyebaran angket/kuesioner persentase tingkat pengetahuannya 51% - 100%, maka dapat dianggap bahwa kepadian tersebut masih bertahan (Apriliana, 2018: 12).

2.1.4 Bahasa dan Lingkungan

Bahasa dan lingkungan memiliki hubungan yang sangat berkaitan dan

saling mempengaruhi. Fill dan Muhlhausler (2001:3) menyebutkan bahwa

terdapat empat hal yang memungkinkan adanya hubungan antara bahasa dan juga

lingkungan, yakni : (1) bahasa berdiri dan terbentuk oleh alam; (2) bahasa

dikonstruksi oleh alam; (3) alam dikonstruksi bahasa; dan (4) bahasa saling

berhubungan dengan alam. Keduanya saling mengonstruksi, tetapi jarang yang

berdiri sendiri (ekolinguistik). Selanjutnya, Sapir (1912 dalam Fill dan

Muhlhausler, 2001: 14) mengungkapkan bahwa lingkungan dibedakan menjadi

tiga bentuk yakni: (1) Lingkungan fisik, yang mencakup karakter geografis,

seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi, maupun

(26)

pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hujan). (2) Lingkungan ekonomis

‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut. (3) Lingkungan sosial, melingkupi berbagai kekuatan dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pemikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik , dan seni.

Haugen (1972 dalam Fill dan Muhlhausler, 2001: 57) mengatakan bahwa

“language ecology may be defined as the study of interaction between any given language and its environment”. Ekologi bahasa tersebut didefinisikan sebagai studi tentang interaksi atau hubungan timbal balik antara bahasa tertentu dengan lingkungannya. Haugen menegaskan bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan berfungsi apabila digunakan oleh penutur untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan, yaitu lingkungan alam dan lingkungan sosial. Lingkungan bahasa yang sebenarnya adalah masyarakat yang menggunakan bahasanya sebagai salah satu kodenya. Bahasa hanya ada di pikiran penggunanya, dan hanya berfungsi dalam menghubungkan pengguna bahasa satu sama lain (lihat Widayati, 2018: 44).

Dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:1 dijelaskan bahwa kajian ekolinguistik

memiliki tiga parameter yang mencakup yakni (1) interrelationships (interelasi

bahasa dan lingkungan), (2) environtment (lingkungan ragawi dan sosial budaya),

dan (3) diversity (keberagaman bahasa dan lingkungan). Ketiga parameter ini

akhirnya diaplikasikan kedalam penelitian ekolinguistik dan ketiganya saling

(27)

berkaitan dan saling melengkapi dan senantiasa diaplikasikan secara bersamaan dalam penelitian ekolinguistik.

2.2 Landasan Teori

Adapun yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini yakni teori ekolingusitik.

2.2.1 Teori Ekolinguistik

Ekolinguistik merupakan suatu cabang ilmu lingustik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan lingkungan. Ekolinguistik pertama kali diperkenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya yang berjudul Ecology of Language pada tahun 1972. Pada awalnya Haugen menggunakan istilah ekologi bahasa (ecology of language) dan mendefinisikannya sebagai studi tentang interaksi yang menghubungkan antara bahasa dan lingkungannya. Haugen menegaskan bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi dalam hubungan antar penuturnya satu sama lain. (Haugen, 1972 dalam Fill dan Mulhausler 2001: 57)

Menurut Haugen (dalam Wu, 2018: 646) mendefinisikan lingkungan bahasa sebagai berikut:

“The true environment of a language is the society that uses it as one of its codes. Language exist only fuctions in relating in users to one another to nature,i e. their social natural environment..The ecology of a languageis determined primely by those who learn it, use it, and transmit it to others.

Pernyataan Haugen di atas menyiratkan bahwa linguistik suatu bahasa adalah

penutur bahasa yang berberbentuk latar sosial dan latar kultural, bukan latar fisik

semata karena tidak mungkin memahami suatu bahasa tanpa penuturnya.

(28)

Pergeseran dan pemertahanan bahasa (khususnya dalam tataran leksikon) dipengaruhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut. Demikian halnya dengan bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, tidak luput dari perubahan, di antaranya karena modernisasi dan juga globalisasi. Perubahan yang melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga berpengaruh terhadap penggunaan bahasa, khususnya dalam tataran leksikon.

Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) yang mengatakan bahwa ‘perubahan bahasa merepresentasikan perubahan ekologi termasuk perubahan elemen-elemen budaya’. Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari.

Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon.

Kelengkapan leksikon suatu bahasa mencerminkan sebagian besar karakter dari lingkungan ragawi dan juga lingkungan karakter sosial serta budaya masyarakat penuturnya.

Haugen (dalam Mbete, 2009: 11-12) menyatakan bahwa kajian

ekolingustik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yakni: (1) lingusitik

historis komparatif, (2) linguistik demografi, (3) sosiolinguistik, (4) dialinguistik,

(5) dialektologi, (6) filologi, (7) linguistik perspektif, (8) glikopolitik, (9)

etnolinguistik, (10) tipologi. Berdasarkan uraian tersebut, kajian ini memiliki

hubungan dengan kajian sosiolinguistik yang mengkaji tingkah laku verbal yang

berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya mereka

(29)

Bundsgaard dan Steffensen (dalam Subiyanto, 2013) mengungkapkan teori dialektikal praksis sosial dalam ekolinguistik yang mencakup tiga dimensi, yakni dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis. (1). Dimensi ideologis, merupakan sistem psikis, kognitif dan sikap mental individu dan kolektif. (2). Dimensi sosiologis berkenaan dengan bagaimana kita mengatur hubungan dengan sesama, misalnya dalam keluarga, antar teman, tetangga, atau dalam lingkungan sosial yang lebih besar, seperti sistem politik dalam sebuah negara. (3). Dimensi biologis berkaitan dengan keberadaan kita secara biologis bersanding dengan spesies lain seperti tanaman, hewan, bumi, laut, dan lain sebagainya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Ada beberapa tinjauan pustaka yang menginspirasi dan berkontribusi dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut:

Gita Esikel Tarigan (2018), dalam skripsi yang berjudul “Leksikon Perpadian dalam bahasa Karo Kajian Ekolinguistik”. Dalam Skripsi ini peneliti membahas leksikon nomina dan verba dalam bahasa Karo dalam lingkungan perpadian di Desa Rumah pil-pil melalui perspektif ekolinguistik. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dan juga metode kuantitatif. Data diperoleh melalui teknik wawancara, teknik observasi, dan penyebaran kuesioner.

Hasil analisis yang didari leksikon perpadian dalam bahasa Karo, dapat diketahui

lima kelompok leksikon, yaitu leksikon pratanam, leksikon tanam, leksikon

pascatanam, leksikon hewan dan tumbuhan disekitar padi, leksikon hasil olahan

padi, dan juga leksikon nama jenis padi. Dari kelima kelompok leksikon tersebut

(30)

diperoleh 118 leksikon nominadan 50 leksikon verba. Jadi total leksikon yang diperoleh yakni 168 leksikon. Pemahaman masyarakat terhadap leksikon perpadian di Desa Rumah pil-pil diperoleh hasil bahawa terjadi penyusutan pemahaman pada setiap kelompok usia responden terhadap leksikon nomina pada usia di atas 45 tahun adalah 97,7%, usia 21-45 tahun 84,6%, dan usia 15-20 tahun 60,5%. Pemahaman responden terhadap leksikon verba pada usia di atas 45 tahun 98,6%, usia 21-45 tahun 82,6%, dan usia 15-21 tahun 39,8%. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi penulis, yakni dalam hal metode maupun teknik yang digunakan dalam penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga akan menggunakan metode gabungan antara metode kualitatif dan juga metode kuantitatif. Penelitian ini juga akan menggunakan kelompok klasifikasi leksikon perpadian yang sama, yakni kelompok leksikon tahap tanam, leksikon pratanam, leksikon pascatanam, leksikon hewan dan tumbuhan disekitar tanaman padi, leksikon hasil olahan padi, dan leksikon jenis nama padi yang akan penulis akan tambahkan dalam penelitian ini. Penelitian sebelumnya hanya mendeskripsikan leksikon perpadian dalam bahasa karo, dan juga mendeskripsikan tingkat pemahaman dari masyarakat terhadap leksikon perpadian. Berbeda halnya dengan penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan leksikon yang mengalami pergeseran dan pemertahanan dalam khzanah kepadian dalam masyarakat Batak Toba.

Selpiana (2018), dalam artikel penelitian yang berjudul “Khazanah

leksikon kepadian dalam masyarakat dayak kanayatn banana’-ahe Kabupaten

Landak”. Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan tentang padi yang

berkaitan dengan alat untuk menanam dan panen padi, serta jenis padi yang ada di

(31)

desa Sabaka, kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak. Metode yang digunakan yakni metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara. Hasil analisis data dalam penelitian ini didapatkan 106 leksikon yang terdiri atas leksikon jenis padi, alat yang digunakan untuk menanam, dan memanen padi, serta tanaman atau hewan yang mengganggu tanaman padi.

Penelitian ini memberikan kontribusi bagi penulis, yakni dalam hal klasifikasi leksikon yang terdapat dalam kepadian. Penelitian sebelumnya hanya menggunakan metode deskriptif kualitatif namun dalam penelitian ini peneliti juga akan menggunakan metode kuantitatif untuk melihat tingkat pemahaman dari masyarakat penutur, dan juga untuk melihat tingkat kebergeseran dan kebertahanan dari leksikon kepadian dalam bahasa Batak Toba.

Elvira septevany dkk (2019) dalam seminar riset linguistik pengajaran bahasa dengan judul “Khazanah leksikon kepadian sawah komunitas tutur Sunda:

Kajian Ekolinguistik”. Dalam penelitian ini penulis menganalisis bentuk khazanah

leksikon kepadian sawah komunitas tutur Sunda di Kabupaten Sumedang dengan

berbagai dinamika budaya kepadian dengan lingkungannya serta untuk

mengetahui upaya pelestariannya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini yakni pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1)

khazanah leksikon kepadian sawah komunitas tutur Sunda ditemukan dalam

beberapa bagian leksikon, yaitu: nama padi, penanaman benih padi ‘penyemaian’,

pengolahan sawah, penanaman padi, pembersihan padi, perkembangan padi,

pembersihan, hama padi, panen padi dan peralatan kepadian yang digunakan

selama proses hingga panen. Pada artikel ini yang dibahas hanya nama padi,

(32)

penanaman benih padi ‘penyemaian’ dan pengolahan sawah serta (2) dinamika budaya masyarakat Sunda terbagi dalam beberapa bagian, yaitu dinamika budaya kepadian, perubahan budaya kepadian. Penelitian ini memiliki persamaaan, yakni sama-sama memilih leksikon kepadian sebagai kajiaanya. Namun, antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya memiliki perbedaan yakni dalam kajian bahasa yang digunakan, kajian sebelumnya menggunakan tutur masyarakat Sunda, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan tutur masyarakat Batak Toba. Penelitian sebelumnya tidak memperlihatkan tingkat kebergeseran dan kebertahanan, namun dalam penelitian ini akan di uraikan hal tersebut lebih mendalam.

Priska Filomena Iku (2020) dalam jurnal penelitian bahasa, sastra, dan

budaya dengan judul “Faktor-faktor pemertahanan khazanah lingual kepadian

pada masyarakat tutur bahasa manggarai”. Dalam penelitian ini peneliti

mendeskripsikan faktor-faktor pemertahanan khazanah lingual kepadian

masyarakat Manggarai. Penelitian ini didasarkan pada dua pendekatan yakni

pendekatan teori dan pendekatan metodologis. Dalam memperoleh data, peneliti

menggunakan metode simak dengan teknik lanjut simak libat cakap, dan simak

bebas libat cakap. Adapun tahapan analisis data dalam penelitian ini yakni reduksi

data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa perubahan yang terjadi pada fisik ekologi kepadian tentu saja berimbas

juga pada perubahan bahasa ekologinya. Oleh karena itu, perlu adanya

pemertahana bahasa ekologi. Berikut beberapa faktor pemertahanan bahasa

ekologi kepadian. Faktor linguistik berupa kesetian bahasa penutur bahasa

(33)

Manggarai dan kebanggaan bahasa penutur bahasa Manggarai. Faktor nonlinguistik berupa keadaan ekologi, ekonomi, pendidikan, penelitian, pariwisata, dan kesenian. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi penulis, dalam hal faktor-faktor yang menyebabkan kebertahanan leksikon kepadian yang juga penulis cantumkan dalam rumusan masalah. Namun tidak hanya pemertahanan tapi juga faktor kebergeseran leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba akan lebih dijelaskan lagi dalam penelitian ini. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini. Sama seperti penelitian sebelumnya, penelitian ini juga akan menggunakan teori sosiolinguistiknya untuk melihat faktor kebergeseran dan kebertahanan leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba dan juga teori ekolinguistiknya untuk melihat hubungan antara lingkungan dengan kebahasaan. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat dalam bidang kajian bahasanya, dan juga metode yang digunakan.

Penelitian sebelumnya hanya menggunakan metode kualitatif, namun dalam

penelitian ini akan dikolaborasikan antara metode kualitatif dengan metode

kuantitatif agar penelitian ini lebih akurat dalam analisis datanya.

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Desa Sipea-pea merupakan salah satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Sorkam Barat.

Peneliti memilih desa tersebut sebagai lokasi penelitian, dikarenakan mayoritas penduduk yang ada di Desa Sipea-pea berprofesi sebagai petani dan masih menggunakan bahasa Batak Toba dalam kehidupan sehari-harinya.

Gambar 2 : Peta Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat Sumber: BPS Kecamatan Sorkam Barat dalam Angka 2020

Berdasarkan data BPS Kecamatan Sorkam Barat dalam Angka 2020, Desa Sipea-pea memiliki luas 3,14 Km

2

dengan jumlah penduduk sebanyak 1.771 Jiwa.

Dilihat dari sisi bidang pertanian, Desa Sipea-pea memiliki luas lahan sawah 125

Ha, dengan produksi padi sebanyak 287 ton setiap kali panen.

(35)

Waktu pengumpulan data leksikon kepadian dan data leksikon kepadian yang mengalami pergeseran dan pemertahanan dalam masyarakat Batak Toba akan dilakukan selama kurang lebih satu bulan. Hal tersebut menimbang keterbatasan dalam waktu, tenaga, dan juga biaya yang akan digunakan peneliti.

3.2 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer yaitu data lisan (tutur) yang diperoleh dari informan dengan melakukan wawancara. Data primernya berupa leksikon nomina, leksikon verba, dan juga leksikon adjektiva yang ditemukan pada khazanah kepadian yang diperoleh dari informan guyub tutur batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah. Informan merupakan sumber informasi penuh dalam penelitian ini, oleh karena itu seorang informan harus memenuhi kriteria ataupun syarat agar penelitian ini menghasilkan informasi yang akurat.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode

gabungan antara metode kualitatif dan juga metode kuantitatif. Metode kualitatif

adalah metode penelitian yang yang bertujuan untuk memahami fenomena yang

dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan

lain-lainnya secara holistik dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk kata-

kata atau bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan

beberapa metode ilmiah, dan metode kuantitatif adalah metode yang dalam

penggunaanya melibatkan perhitungan atau angka (Moleong 2007:6). Metode

penelitian kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab rumusan

(36)

masalah yang pertama yakni mendeskripsikan leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba, dan metode penelitian kuantitatif digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua yakni menghitung tingkat pergeseran dan pemertahanan leksikon kepadian dari masyarakat Batak Toba yang tinggal di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.

3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan penelitian lapangan yang dilakukan dengan terjun kelapangan secara langsung untuk memperoleh data yang akan digunakan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode simak dan juga metode cakap.

Mahsun (2005: 92) mengungkapkan bahwa metode simak digunakan dengan menyimak penggunaan bahasa. Dalam hal ini, menyimak tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, melainkan juga bahasa secara tertulis.

Metode simak tersebut mencakup teknik dasar, yakni teknik sadap dan teknik lanjutnya yang mencakup teknik simak libat cakap, catat, dan rekam. Teknik simak libat cakap dilakukan untuk mengamati penggunaa bahasa oleh para informan, peneliti dalam hal ini tidak terlibat aktif dalam kegiatan wawancara.

Selanjutnya teknik catat, dan rekam digunakan untuk mencatat dan merekam pembicaraan terhadap informan.

Dalam memperoleh data dilapangan, dilakukan wawancara. Wawancara

merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara

langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan terhadap responden

(37)

dilakukan antara si peneliti terhadap responden yang tinggal di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah yang berprofesi sebagai petani.

Pada saat pengumpulan data dengan metode wawancara, peneliti akan melakukan wawancara terstruktur dan wawancara semiterstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan dengan melakukan tanya jawab terhadap 2 orang informan secara langsung dengan mengajukan beberapa pertanyaaan yang telah disusun sebelumnya yang berhubungan dengan leksikon kepadian. Pemilihan seseorang untuk dijadikan sebagai informan sebaiknya harus memenuhi persyaratan- persyaratan sebagai berikut:

a. Berjenis kelamin pria atau wanita;

b. Berusia 25-65 tahun (tidak pikun);

c. Berprofesi sebagai petani;

d. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa tersebut serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desa;

e. Memahami sekitar lingkungan kepadian dengan baik;

f. Dapat menggunakan bahasa Batak Toba dengan baik;

g. Mengerti bahasa Indonesia;

h. Sehat jasmani dan rohani.

Dalam berinteraksi dengan informan, peneliti menggunakan bahasa

Indonesia untuk mewawancarai ketiga informan dan akan dipandu dengan

sejumlah pertanyaan seperti:

(38)

1. Apa saja leksikon alat pertanian, bagian tumbuhan padi, jenis padi, jenis tanah, jenis hama/ gulma, hingga alur padi menjadi beras yang ditemukan pada saat mulai dari tahap pratanam, tanam, dan pascatanam?

2. Apa saja leksikon kegiatan, proses, atau ritual bertani yang digunakan pada saat mulai dari tahap pratanam, tanam, dan pascatanam?

Lesikon-leksikon yang ditemui dilapangan dikelompokkan kedalam tiga kelompok leksikon yakni leksikon nomina, leksikon verba, dan juga leksikon adjectiva. Dalam mengelompokkan sebuah leksikon-leksikon tersebut, dilakukan pengujian terlebih dahulu.

a. Leksikon Nomina

Sebuah leksikon dapat diklasifikasikan kedalam kelompok leksikon nomina apabila memenuhi persyaratan berikut:

1. Dalam bahasa Indonesia leksikon nomina dapat diikuti oleh frasa yang + sangat, dalam bahasa Batak Toba dapat diikuti oleh frasa na + adj + hian.

Contohnya:

Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia boni boni na denggan hian benih yang sangat baik jetor jetor na borat hian traktor yang sangat berat gadu-gadu gadu-gadu na timbo hian pematang sawah yang sangat tinggi

pakkur pakkur na tajom hian cangkul yang sangat tajam

2. Dapat didahului oleh numeralia dengan atau tanpa penggolong se- untuk

menyatakan satu, seperti seekor, seorang, setangkai, dll. Dalam bahasa Batak

(39)

Toba leksikon nomina dapat diikuti oleh sa- untuk menyatakan satu yang dikelompokkan berdasarkan leksikon nominanya.

Contohnya:

Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia boni sakaleng boni satu kaleng benih padi

jetor sada jetor satu buah jetor

gadu-gadu sagadu-gadu satu pematang sawah

pakkur dua pakkur dua buah cangkul

3. Dalam bahasa Indonesia leksikon nomina dapat diakhiri oleh kata itu, dalam bahasa Batak Toba dapat diikuti oleh kata i

Contohnya:

Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia

boni boni i benih padi itu

jetor jetor i traktor itu

gadu-gadu gadu-gadu i pematang sawah itu

pakkur pakkur i cangkul itu

b. Leksikon Verba

Sebuah leksikon dapat diklasifikasikan kedalam kelompok leksikon verba apabila memenuhi persayaratan berikut:

1. Dalam bahasa Indonesia, leksikon verba dapat diberi aspek waktu, seperti akan, sedang, dan telah, dalam bahasa Batak Toba dapat diikuti oleh aspek waktu naeng, dan nungga.

Contohnya:

Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia mangengge naeng mangengge boni akan merendam benih padi

manjetor naeng manjetor saba akan menjetor sawah

(40)

mamakkur nungga mamakkur tano telah mancangkul tanah mangguris naeng mangguris duhut akan mengikis rumput

2. Dalam bahasa Indonesia, leksikon verba dapat diawali dengan afiks me-, dan ber-, dalam bahasa Batak Toba leksikon verba dapat berawalan ma-, mar-.

Contohnya:

Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia

mangengge mangengge merendam

manjetor manjetor menjetor

mamakkur mamakkur mencangkul

mangguris mangguris mengikis

c. Leksikon Adjectiva

Sebuah leksikon dapat diklasifikasikan kedalam kelompok leksikon adjectiva apabila memenuhi persayaratan berikut:

1. Dalam bahasa Indonesia, leksikon adjectiva dapat diawali dengan kata sangat, paling, dan diakhiri dengan kata sekali, dalam bahasa Batak Toba leksikon adjectiva dapat diawali dengan kata mansai, dan diakhiri dengan kata hian.

Contohnya:

Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia degar mansai degar/ degar hian sangat degar/ degar sekali

sosot mansai sosot/ sosot hian sangat rapat/ rapat sekali rakkak mansai rakkak/ rakkak hian sangat jarang/ jarang sekali

2. Dalam bahasa Indonesia, leksikon adjectiva dapat diingkari dengan kata tidak, atau dalam bahasa Batak Tobanya yakni dang.

Contohnya:

(41)

Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia

degar dang degar tidak degar

sosot dang sosot tidak rapat

rakkak dang rakkak tidak jarang

Setelah leksikon tersebut dikumpulkan berdasarkan kelompoknya masing- masing, selanjutnya leksikon tersebut dianalisis berdasarkan dimensi praksis sosial yang mencakup dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis dari leksikon-leksikon kepadian Batak Toba melalui wawancara semiterstruktur, jenis wawancara ini sudah termasuk kedalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas dan terbuka. Dalam wawancara ini, pihak yang diajak wawancara akan diminta pendapat dan idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.

Dalam penelitian ini, peneliti juga melakukan penyebaran kuesioner.

Sistem angket (kuesioner) merupakan kegiatan untuk memeperoleh data dengan

cara memberikan daftar pertanyaan yang telah tersusun secara kronologis dari

yang umum mengarah kepada yang khusus untuk diberikan kepada responden

atau informan (Subagyo, 1999:55). Sistem angket atau kuesioner terbagi atas tiga

bagian yakni, kuesioner tertutup, kuesioner terbuka, dan campuran. Dalam

penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode kuesioner tertutup, dimana

responden tidak mempuyai kesempatan lain dalam memberikan jawaban selain

jawaban yang telah disediakan didalam daftar pertanyaan tersebut. Metode

kuesioner ini digunakan dalam penelitian ini untuk melihat tingkat pemahaman

(42)

masyarakat Batak Toba yang tinggal di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah terhadap leksikon kepadian. Melalui tingkat pemahaman tersebut, dapat terlihat leksikon-leksikon yang mengalami pergeseran dan bahkan leksikon yang masih bertahan.

Dalam pengumpulan data ataupun menghitung tingkat pemahaman terhadap leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba, peneliti mengelompokkan popolasi menjadi tiga kelompok usia. Menurut Mubin dan Cahyadi (2006: 115), responden dibagi menjadi 3 kelompok usia yakni:

1. Kelompok usia remaja (usia 15-20 tahun) 2. Kelompok usia dewasa (usia 21-45 tahun)

3. Kelompok usia pertengahan masa dewasa dan masa dewasa lanjut atau masa tua (di atas 46 tahun)

Penelitian ini tidak terlepas dari sampel dan juga populasi sebagai sumber data. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2008:117). Sampel dari penelitian ini adalah petani, pedagang, dan pelajar yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan; dan berusia 15-65 tahun. Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini, dapat digunakan rumus Slovin yaitu:

𝒏 =

𝑵

𝟏+(𝑵.𝒆𝟐)

Keterangan:

n = ukuran sampel/ jumlah responden

N = populasi

(43)

e = presentase kelonggaran ketelitian kesalahan pengambilan sampel yang masih bisa ditolerir.

Dalam menggunakan rumus slovin, penggunaan persentasi nilai toleransi kesalahan mempengaruhi tingkat akurasi sampel, semakin kecil toleransi kesalahan, maka semakin akurat sampel menggabarkan populasi. Makin besar tingkat kesalahan maka akan semakin kecil jumlah sampel yang diperlukan, dan sebaliknya makin kecil kesalahan, maka akan semakin besar jumlah anggota sampel yang diperlukan sebagai sumber data (Sugiyono, 2008: 126). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan nilai pesentase kelonggaran ketelitian kesalahan yakni 10 % (0,1) dengan alasan untuk mengurangi tingkat kesalahan dalam pengambilan sampel serta untuk menghasilkan tingkat akurasi data 90% .

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008: 117). Populasi dalam penelitian ini yakni masyarakat yang tinggal dan berdomisili di Desa Sipea- pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah. Terdapat 1.711 jiwa yang bermukim disana, yang terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa dan lansia.

Dari jumlah populasi masyarakat yang tinggal di Desa Sipea-pea,

Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah sebanyak 1.711 jiwa,

kelompok usia remaja terhitung sebanyak 127 jiwa, Kelompok usia dewasa

terhitung sebanyak 554 jiwa, dan kelompok usia pertengahan masa dewasa dan

masa dewasa lanjut atau masa tua terhitung sebanyak 363 jiwa, dan usia 0-14

tahun tidak dimasukkan kedalam populasi sebanyak 667 jiwa. Jadi untuk jumlah

(44)

sampel yang diperoleh berdasarkan kelompok tiap generasi dapat dilihat pada rumus perhitungan berikut ini:

Kelompok Usia Remaja (15-20 tahun) = 127 Jiwa n = 127

1+(127 𝑥 𝑜,1

2

)

n = 127

2,27

n = 47,0370 n=47 responden

Kelompok Usia Dewasa (21-45 tahun) = 554 Jiwa n = 554

1+(554 𝑥 𝑜,1

2

)

n = 554 6,54

n= 84,7094 n= 85 responden

Kelompok Pertengahan Masa Dewasa dan Masa Dewasa Lanjut atau Masa Tua (di atas 46 tahun) =363 Jiwa

n = 363

1+(363 𝑥 𝑜,1

2

)

n = 363

4,63

n= 78,4017

n= 78 responden

(45)

Sampel untuk penelitian kuantitatif merupakan hasil dari perhitungan sampel menurut rumus Slovin, sehingga ditemukan responden untuk kelompok usia remaja sebanyak 47 orang; kelompok usia dewasa sebanyak 85 orang, dan untuk kelompok pertengahan masa dewasa dan masa dewasa lanjut atau masa tua sebanyak 78 orang responden. Untuk sampel penelitian kualitatif, peneliti memilih 2 orang informan, yang merupakan petani di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, yang mengerti bahasa Batak Toba, dengan usia 18-65 tahun, yang mana pada usia tersebut, informan sudah lebih banyak pengalaman.

Tabel 3.1 Total Responden Berdasarkan Usia

No Usia Frekuensi Persentase

1 15- 20 tahun 47 22,38%

2 21- 45 tahun 85 40,48%

3 > 46 tahun 78 37,14%

210 100%

3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Menurut Sudaryanto (2015:7) analisis data merupakan bentuk upaya sang peneliti menangani masalah yang akan diteliti pada data dengan cara mengamati dan membedah atau menguraikan masalah yang bersangkutan dengan suatu cara tertentu.

Dalam menganalisis rumusan masalah pertama mengenai data leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba, peneliti menggunakan metode padan.

Metode padan merupakan metode yang alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak

(46)

menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan (Sudaryanto, 2015:

15). Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan yakni teknik PUP (pilah unsur penentu) yang alat penentunya yakni daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Teknik lanjutan berupa teknik hubung banding menyamakan dan membedakan. Metode dan teknik ini digunakan untuk memilah atau mengelompokkan kategori dari leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba ke dalam kelompok tertentu seperti leksikon pratanam, leksikon tanam, dan leksikon pratanam. Selanjutnya dalam mendeskripsikan nilai budaya dalam leksikon kepadian dalam Batak Toba digunakan analisis isi (content analisys).

Analisis isi (content analisys) merupakan suatu teknik yang sistemik untuk menganalisis makna, pesan, dan cara mengungkapkan pesan. Analisis mendalam dilakukan terhadap leksikon kepadian dalam upaya memaknai dan mendeskripsikannya. Analisis isi ini mengaitkan suatu leksikon dengan lingkungan tempat leksikon itu hidup, baik lingkungan alam, lingkungan sosial, maupun lingkungan budayanya, sehingga nilai-nilai kearifan budaya yang terkandung pada setiap leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba dapat terungkap yang diperoleh melalui wawancara mendalam (in-depth interview) (lihat Widayati dan Lubis, 2019 :58).

Dalam menganalisis rumusan masalah kedua, yakni tingkat pergeseran dan

pemertahanan leksikon kepadian, terlebih dahulu dilihat persentasi pemahaman

dari setiap kelompok usia responden. Rumus untuk mendapatkan persentasi dari

pemahaman responden, yakni:

(47)

𝑷 = 𝑭

𝑵 𝒙 𝟏𝟎𝟎%

jKetera Keterangan : P = persentase

F = jumlah Temuan N = total Responden

Sebelum dilakukan penghitungan dengan menggunakan rumus tersebut, terlebih dahulu data diuji dengan menggunakan teknik sebagai berikut:

No Leksikon

Kategori

1 2 3

1 2 Dst

1. Mengenal, pernah melihat, pernah mendengar, dan pernah menggunakan.

2. Tidak mengenal, tidak pernah melihat, pernah mendengar, dan tidak pernah menggunakan.

3. Tidak mengenal, tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar, dan tdak pernah menggunakan (Sukharani, 2010; Simanjuntak, 2014; Kesuma, 2014 dalam Rizkyansyah, 2015)

Melalui persentasi tingkat pemahaman, maka diperoleh tingkat kebergeseran dan kebertahanan leksikon kepadian dengan menghitung persentase leksikon yang bertahan berarti leksikon yang masih ada, pernah didengar dan pernah digunakan/

dilakukan. Sedangkan untuk persentase leksikon yang mengalami pergeseran

berarti leksikon yang tidak ada lagi ditemukan di lingkungan, tidak pernah

(48)

didengar dan tidak pernah digunakan/dilakukan lagi dalam dunia pertanian khususnya tanaman padi.

3.3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penyajian hasil analisis data pada penelitian ini yakni menggunakan metode formal dan juga metode informal.

Metode penyajian formal digunakan untuk menyajikan hasil penelitian dengan simbol dan angka-angka sedangkan metode penyajian informal digunakan untuk menyajikan hasil analisis data dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 2015:241).

Dalam penelitian ini, metode formal akan digunakan untuk menyajikan data

dalam rumusan masalah yang kedua, yakni mendeskripsikan tingkat kebergeseran

dan kebertahanan leksikon yang disajikan dengan menggunakan angka, tabel, dan

juga diagram. Sedangkan untuk metode informal digunakan untuk menyajikan

data dalam rumusan masalah yang pertama, dengan mendeskripsikan leksikon

nomina, leksikon verba, dan juga leksikon adjektiva bidang kepadian dalam

bahasa Batak Toba, dan juga mendeskripsikan leksikon tersebut berdasarkan

ketiga dimensi sosial dalam ekolinguistik.

(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2.1 Leksikon Kepadian dalam Bahasa Batak Toba

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah diperoleh 148 leksikon.

Leksikon tersebut diklasifikasikan kedalam tiga kelompok tahapan dalam kepadian yakni tahap pratanam, tanam, dan pascatanam dengan tujuan untuk mempermudah dalam penyajian dan juga analisis datanya. Setiap kelompok terbagi menjadi tiga kelompok kelas kata leksikon yakni leksikon nomina, leksikon verba, dan juga leksikon adjektiva. Leksikon pada kelas kata nomina terdiri atas 83 leksikon, pada kelas kata verba terdiri atas 55 Leksikon, dan pada kelas kata adjektiva terdiri atas 14 Leksikon. Ketiga kelompok leksikon dan tiga kelompok kelas kata leksikon tersebut diperoleh dan diuraikan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 4.1 Data Pengelompokan Leksikon Kepadian dalam Bahasa Batak Toba

No Nama Kelompok Leksikon Nomina Verba Adjektiva Total

1 Leksikon tahap pratanam 31 26 2 59

2 Leksikon tahap tanam 19 15 6 40

3 Leksikon tahap pascatanam 33 14 6 53

Jumlah 83 55 14 152

2.1.1 Leksikon Kepadian Tahap Pratanam

Tahap pratanam dalam kepadian dimulai dari tahap pembersihan lahan,

mengolah tanah, merendam bibit/ benih padi, menyemai, sampai kepada tahap

(50)

siap tanam. Jangka waktu yang dibutuhkan pada tahap pratanam ini yakni selama satu bulan. Pada tahap ini, masyarakat yang tinggal di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat melakukan tahap pembibitan padi dan juga penanaman dilakukan secara serentak hingga pada tahap panen.

Tabel 4.2 : Data Leksikon Kepadian Tahap Pratanam No Leksikon

Nomina

Gloss Leksikon Verba

Gloss Leksikon Adjektiva

Gloss

1. boni benih (padi)

mangengge merendam degar benih yang tercampu r dengan benih padi lain mangangkat mengangkat

mappatiris meniriskan mangalakko

pi

menutupi

2. jetor traktor manjetor mentraktor 3. ninggala luku maninggala meluku

4 auga kuk

5. pakkur cangkul mamakkur mencangkul 6. tajak tajak manajak menajak 7. guris tajak

kecil

mangguris mengikis dengan tajak kecil 8. gair-gair kuir manggairi mengumpul

kan sampah dengan kuir 9. gadu-gadu pemata

ng sawah

manggadui membuat pematang sawah 10. bontis batas

petakan sawah

mambontis membuat batas petakan sawah 11. same semai marsame menyemai

manguppat same

mencabut

semai

Referensi

Dokumen terkait

P5 : Apakah pikiran saudara kacau pada saat bekerja?. P23 : Apakah saudara merasakan nyeri di

Hasil pengukuran kinerja supply chain dengan model SCOR berdasarkan atribut yang ada di PT ALX Logistics adalah nilai kinerja yang dicapai pada indikator perfect order

Dari hasil wawancara dengan beberapa konselor SMK di Kota Batu, diperoleh informasi bahwa (1) belum pernah dilakukannya pelatihan tentang pengembangan karir

Pada hasil penelitian disimpulkan sebagai berikut; Dominasi penggunaan kategori headline pada iklan produk sabun mandi di majalah Femina periode Januari 2014 –

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah tanāzu’ (frase koordinatif) dan mengenal posisi amil dalam tanāzu’ yang terdapat pada surah Al-Baqarah dan Ali-'Imr ā

memiliki presentase yang berbeda karena siswa siswi tidak. semua membiasakan untuk sarapan sebelum

Penelitian yang akan datang juga dapat menganalisis pengaruh gambaran maskulinitas pada iklan produk perawatan laki-laki pada keseharian laki- laki sebenarnya dan

Perusahaan mengkomunikasikan aspek-aspek yang membangun bran d kepada karyawannya, dengan tujuan terbentuknya perilaku yang sesuai dengan misi brand tersebut di