PERGESERAN DAN PEMERTAHANAN LEKSIKON KEPADIAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN
EKOLINGUISTIK
SKRIPSI
OLEH
RIANITA SIHOMBING 170701029
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2021
PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdata karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi.
Medan, September 2021 Penulis,
Rianita Sihombing
NIM 170701029
LEKSIKON KEPADIAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA: KAJIAN EKOLINGUISTIK
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai leksikon nomina, verba dan adjectiva kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah melalui perspekstif ekolinguistik. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi leksikon yang ditemui di masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea untuk mengetahi tingkat kebergeseran dan kebertahanan dari leksikon- leksikon kepadian tersebut. Penelitian ini menggunakan metode campuran antara metode kualitatif dan juga metode kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan dengan cara wawancara dan juga penyebaran angket (kuesioner). Data yang diperoleh kemudian di analisis menggunakan metode padan dengan teknik dasar PUP (pilah unsur penentu) dan teknik lanjut berupa teknik HBB (hubung banding menyamakan) dan HBS (hubung banding membedakan) dan selanjutnya leksikon tersebut dianalisis berdasarkan nilai budayanya dengan menggunakan alalisis isi (content analisys). Dari hasil analisis, dapat diketahui bahwa leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah terdiri atas 3 kelompok leksikon yakni (1) leksikon tahap pratanam, (2) leksikon tahap tanam, dan (3) leksikon tahap pascatanam. Dari ketiga kelompok leksikon tersebut diperoleh 83 leksikon nomina, 55 leksikon verba, dan 14 leksikon adjectiva.
Dari hasil tingkat pemahaman masyarakat terhadap leksikon nomina, verba, dan adjectiva tersebut diketahui masih banyak juga leksikon yang masih bertahanan dan masih diketahui oleh masyarakat, namun ada juga yang mengalami persegeseran.
Leksikon nomina tingkat kebertahanannya 86,86% dan kebergeserannya 13,13%.
Leksikon verba tingkat kebertahanannya 88,12% dan kebergeserannya 11,86%. Dan leksikon adjectiva tingkat kebertahanannya 93,33% dan kebergeserannya 6,66%.
Kata Kunci: Kebertahanan, Kebergeseran, Kepadian, Leksikon, Ekolinguistik
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan karunianya terhadap penulis yang tak berkesudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan judul Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Kepadian dalam Masyarakat Batak Toba: Kajian Ekolinguistik. Penulisan skripsi ini merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana.
Penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik atas berkat dorongan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan setulus hati kepada:
1. Dr. Dra. T. Thyrhaya Zein, M.A., sebagai dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. Dwi Widayati, M.Hum sebagai Ketua Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum sebagai Sekretaris Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara .
4. Dr. Dwi Widayati, M.Hum sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh
kesabaran, dan tanggung jawab dalam membimbing penulis mulai dari penulisan
proposal sampai penulisan skripsi.
5. Dr. Mulyadi, M.Hum dan Dr. Rosliani Lubis, M.Hum sebagai dosen penguji penulis saat seminar proposal dan juga sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu dosen sebagai tenaga pengajar di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah membagikan ilmu dan pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
7. Bapak Joko Santoso yang telah membantu penulis dalam hal administrasi selama perkuliahan di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
8. Orang tua penulis, Arlan Nixon Sihombing dan Sariati Siagian yang telah selalu memenuhi kebutuhan penulis selama kuliah dan selalu menjadi penyemangat penulis.
9. Saudara penulis, kak Edorya Sihombing, Milliardi Taruna Sihombing, Tipan Fradous Sihombing, Goloria Sihombing, dan Immanuel Sihombing yang senantiasa memberikan dukungan dan juga doa kepada penulis.
10. Sahabat penulis, Delpi Situmorang, Lasma Uli Simatupang, Bona Helga Nainggolan, dan Dayanthy Octavia Riah Ate Sagala (DeLaBoRiDa) yang menjadi sahabat penulis dari awal masuk kuliah.
11. Teman seperjuangan, Nila Maria Ulfa, Elsa Saputri Lubis, Putri Rahmadeni
Sembiring, Sagitarius Marbun, Elviani Purba dan juga kawan-kawan mahasiswa
Sastra Indonesia, stambuk 2017 yang tidak dapat di sebutkan satu per satu.
12. Rinto Simamora, sebagai Kepala Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.
13. Masyarakat Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah yang telah bersedia menjadi informan dan juga responden dalam penelitian.
Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kiranya kasih setia-Nya selalu beserta kita sepanjang waktu.
Medan, September 2021 Penulis,
Rianita Sihombing
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Peta Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Total Responden Berdasarkan Usia
Tabel 4.1 : Data Pengelompokan Leksikon Kepadian dalam Bahasa Batak Toba Tabel 4.2 : Data Leksikon Kepadian Tahap Pratanam
Tabel 4.3 : Data Leksikon Kepadian Tahap Tanam Tabel 4.4 : Data Leksikon Kepadian Tahap Pascatanam
Tabel 4.8 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Nomina Kepadian
Tabel 4.9 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Nomina Kepadian
Tabel 4.10 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia > 46 Tahun terhadap Leksikon Nomina Kepadian
Tabel 4.11 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Verba Kepadian
Tabel 4.12 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Verba Kepadian
Tabel 4.13 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia > 46
Tahun terhadap Leksikon Verba Kepadian
Tabel 4.14 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 15-20 Tahun terhadap Leksikon Adjectiva Kepadian
Tabel 4.15 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia 21-45 Tahun terhadap Leksikon Adjectiva Kepadian
Tabel 4.16 : Deskripsi Pemahaman Masyarakat Desa Sipea-pea pada Kelompok Usia > 46
Tahun terhadap Leksikon Adjectiva Kepadian
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... iv
PRAKATA ... v
DAFTAR GAMBAR, TABEL ... viii
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan penelitian ... 6
1.4 Manfaat Penelitian ... 6
1.4.1 Manfaat Teoretis ... 6
1.4.2 Manfaat Praktis ... 7
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 8
2.1.1 Leksikon ... 8
2.1.2 Kepadian ... 10
2.1.3 Pergeseran dan Pemertahanan ... 10
2.1.4 Bahasa dan Lingkungan... 12
2.2 Landasan Teori ... 14
2.2.1 Ekolinguistik ... 14
2.3 Tinjauan Pustaka ... 16
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian ... 21
3.2 Data dan Sumber Data ... 22
3.3 Metode Penelitian ... 22
3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 23
3.3.2 Metode dan Teknik Analisis Data ... 31
3.3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Leksikon Kepadian dalam Masyarakat Batak Toba. ... 35
4.1.1 Leksikon Tahap Pratanam ... 35
4.1.2 Leksikon Tahap Tanam ... 47
4.1.3 Leksikon Tahap Pascatanam ... 56
4.2 Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Kepadian dalam Masyarakat Batak Toba di Desa Sipea- pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ... ………68
4.2.1 Pemahaman Masyarakat Batak Toba pada Tiga Kelompok Usia Terhadap Leksikon Nomina Kepadian ... 69
4.2.2 Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Nomina dalam Masyarakat
Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten
Tapanuli Tengah ... 78
4.2.3 Pemahaman Masyarakat Batak Toba pada Tiga Kelompok Usia
Terhadap Leksikon Verba Kepadian ... 80
4.2.4 Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Verba dalam Masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ... 88
4.2.5 Pemahaman Masyarakat Batak Toba pada Tiga Kelompok Usia Terhadap Leksikon Adjectiva Kepadian ... 90
4.2.6 Pergeseran dan Pemertahanan Leksikon Adjectiva dalam Masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ... 96
BAB V SIMPULAN DAN PENUTUP 5.1 Simpulan ... 98
5.2 Saran ... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 100
LAMPIRAN ... 103
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan kata atau simbol yang digunakan sebagai alat berkomunikasi dalam bermasyarakat. Kridalaksana (2008:24) mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Hal sedana juga dikemukakan oleh Pateda bahwa bahasa adalah deretan bunyi yang bersistem sebagai alat (instrumentalis) yang menggantikan individual dalam menyatakan sesuatu kepada lawan tutur dan akhirnya melahirkan kooperatif di antara penutur dan lawan tutur. Melalui bahasa manusia dapat mengekspresikan seluruh ide dan gagasan mereka. Bahasa digunakan oleh manusia dalam segala aspek aktivitas manusia. Dengan demikian bahasa merupakan hal yang hakiki dalam kehidupan manusia (lihat dalam Sitorus dkk 2014: 95).
Bahasa memiliki hubungan erat dengan lingkungan. Kedua unit tersebut dapat dikaji dalam sebuah kajian yang disebut dengan ekolinguistik, atau bisa juga disebut dengan ekologi bahasa. Haugen 1972 (dalam Fill dan Mulhausler 2001:57) mengatakan bahwa ekologi bahasa merupakan studi tentang interaksi antara bahasa dan lingkungannya, yang bekerja melalui kognisi otak, hati (sikap positif, negatif, tingkat kesetiaan, dan politik) yang secara nyata terwujud dalam pola interaksi verbal (tuturan dan tulisan) dalam komunikasi antar penutur.
Hubungan antara bahasa dengan lingkungan dapat tercermin dalam kosa
kata atau leksikon sebagai representasi lingkungan alam. Salah satu representasi
lingkungan alam yang dapat kita lihat yakni dalam khazanah pertanian khsusnya tanaman padi. Terdapat kosa kata atau leksikon dalam dunia kepadian yang saat ini masih ada namun, ada juga yang sudah hilang ataupun bergeser dikarenakan lingkungan bahasa sudah tidak terpelihara. Bukti perubahan kosakata akibat pergeseran dan pengurangan bahasa tampak pada beberapa kosakata atau leksikon yang sudah tidak dikenal lagi dan bahkan tidak lagi digunakan oleh banyak penutur. Leksikon atau kosakata yang tidak lagi dikenal ini disebabkan oleh hilangnya rujukan yang mengacu pada penamaan leksikon. Akibatnya, beberapa kosakata akan hilang dari bahasa mereka (Widayati, dkk, 2017: 85). Suatu bahasa daerah akan bergeser atau terancam punah apabila masyarakat pengguna bahasa tidak dapat mempertahankan bahasa daerah mereka dengan baik (lihat Sitorus, 2004: 96).
Bahasa daerah yang ada di Indonesia sangat beragam, salah satu bahasa daerah dari Indonesia yakni bahasa Batak Toba. Bahasa Batak Toba merupakan bahasa yang digunakan atau dituturkan oleh masyarakat suku Batak Toba. Penutur bahasa Batak Toba banyak dijumpai di berbagai daerah Indonesia yang secara khusus di daerah-daerah Batak, seperti Samosir, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Toba Samosir.
Dalam bahasa Batak Toba padi disebut dengan eme. Penamaan jenis eme
dalam masyarakat Batak Toba sangat unik dan beragam (diversity) berdasarkan
varietasnya misalnya untuk padi varietas lokal ada, eme si rokki, si gadu-gadu, si
pulut dan masih banyak lagi. Penamaan jenis padi dalam masyarakat Batak Toba
di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah
tersebut diklasifikasikan berdasarkan jenis padi yang ditanam dan juga dikonsumsi oleh masyarakat yang tinggal di desa tersebut. Khazanah kepadian pasti tidak terlepas dengan berbagai kegiatan maupun alat-alat yang digunakan dalam dunia pertanian mulai dari tahap pratanam, tanam, sampai ke tahap pascatanam. Dalam hal ini, peneliti akan mengklasifikasikan leksikon-leksikon dalam kepadian yang mencakup 3 tahap yakni (1). leksikon tahap pratanam, (2).
leksikon tahap tanam, dan (3). leksikon tahap pascatanam. Klasifikasi leksikon tersebut dikelompokkan kedalam leksikon nomina, leksikon verba, dan juga leksikon adjektiva.
Leksikon Pratanam Leksikon
Nomina
Gloss Leksikon Verba
Gloss Leksikon Adjektiva
Gloss
boni benih mangengge merendam degar benih
yang tercampur dengan benih padi lain mangangkat mengangkat
mappatiris meniriskan mangalakkopi menutupi jetor traktor manjetor mentraktor ninggala luku maninggala meluku
pakkur cangkul mamakkur mencangkul
Leksikon-leksikon tahap pratanam di atas memiliki kaitan yang erat
dengan masyarakat setempat baik itu secara biologis, ideologis, dan juga
sosiologis masyarakat. Contohnya leksikon boni ‘benih padi’. Dilihat dari dimensi
biologinya, secara konseptual boni merupakan biji atau buah padi yang dipilih
kualitasnya agar memperoleh benih yang unggul. Dari sisi ideologisnya,
masyarakat berdoa untuk benih padi mereka agar diberi berkat dan nantinya menjadi bibit yang menjamin hasil panen. Hal tersebut dapat dilihat dalam ungkapan atau doa yang diungkapkan petani saat menabur benih yakni gabe na ni ula, horas na mangulahon!. Ungkapan gabe na ni ula tersebut berisi harapan atau doa yang diharapkan petani terhadap benih yang akan ditanam agar berhasil (gabe) dan menghasilkan padi yang banyak atau melimpah. Selanjutnya, horas na mangulahon yang memiliki harapan agar petani diberikan berkat dalam mengelola lahan pertaniannya. Kesuksesan dalam bertani bergantung pada kerja keras dari orang yang mangulaho yakni pertani itu sendiri, sedangkan dari sisi sosiologisnya, pada saat masyarakat mendoakan boni yang hendak mereka tanam, tidak dilakukan secara bersama dengan masyarakat setempat melainkan didoakan secara pribadi dengan harapan dan doa masing-masing oleh petani.
Leksikon dalam kepadian kini sudah banyak yang bergeser karena
pengaruh zaman dan teknologi yang semakin canggih. Terdapat kosa kata yang
kini sudah tidak diketahui oleh penuturnya, khusunya penutur muda. Misalnya
ninggala ‘alat membajak/ menggemburkan tanah yang terbuat dari kayu ijor lalu
ditarik oleh kerbau”. Leksikon ninggala dapat dikatakan bergeser dikarenakan
tingkat pemahaman masyarakat Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat,
Kabupaten Tapanuli Tengah pada ketiga kelompok usia terhadap leksikon
ninggala masih dibawah 50%. Untuk mengetahui tingkat kebergeser leksikon
dilakukan penyebarkan angket/kuesioner. Dari 210 responden yang mengisi
angket/kuesioner diketahui bahwa tidak ada reponden yang pernah mendengar,
melihat, dan menggunakan leksikon tersebut. Pemahaman masyarakat kelompok
usia 15- 20 tahun 100%, kelompok usia 20- 45 tahun 76,58%, dan kelompok usia
> 46 tahun 70,58% tidak pernah melihat dan juga mendengar leksikon ninggala tersebut. Hal tersebut dapat terjadi di sebabkan oleh faktor teknologi yang semakin canggih yang menyebabkan alat tersebut sudah tidak dapat dijumpai lagi.
Berdasarkan latar belakang di atas terlihat bahwa leksikon kepadian pada saat ini sudah mengalami pergeseran dikarenakan keberadaan leksikon tersebut yang semakin susah ditemukan lagi saat ini, dan ada juga leksikon yang masih bertahan hingga saat ini. Dengan adanya persoalan seperti di atas, maka peneliti berkeinginan untuk meneliti pergeseran dan pemertahanan leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, dengan menggunakan pendekatan perspektif ekolinguistik.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, dirumuskan masalah sebagi berikut:
a. Bagaimanakah klasifikasi leksikon-leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba berdasarkan ketiga dimensi praksis sosial dalam ekolinguistik di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ? b. Bagaimanakah tingkat pergeseran dan pemertahanan leksikon-leksikon
kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan
Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah ?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan penelitian yakni sebagai berikut :
a. Untuk mendeskripsikan klasifikasi leksikon-leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba berdasarkan ketiga dimensi praksis sosial dalam ekolinguistik di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.
b. Untuk mendeskripsikan tingkat pergeseran dan pemertahanan leksikon- leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.
1.4 Manfaat penelitian
Hasil dari penelitian pergeseran dan pemertahanan leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut, yakni:
1.4.1 Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis dari penelitian ini yakni:
a. Untuk memberikan pengetahuan ilmu kebahasaan, khususnya di bidang ekolinguistik dalam dimensi praksis sosial terhadap leksikon-leksikon kepadian dalam Batak Toba.
b. Untuk memberikan sumbangan kosa kata yang berhubungan dengan
kepadian dalam bahasa Batak Toba.
c. Untuk memberikan rujukan terhadap penelitian lanjutan yang berkaitan dengan dimensi praksis sosial dalam ekolinguistik, khususnya di bidang leksikon kepadian.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini yakni:
a. Untuk memperkenalkan kembali berbagai leksikon kepadian dalam bahasa Batak Toba, yang semakin hilang.
b. Untuk melestarikan bahasa daerah, khususnya bahasa Batak Toba.
c. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, tentang betapa
pentingnya pelestarian lingkungan, khususnya leksikon kepadian.
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang memerlukan penggunaan akal budi untuk memahaminya (Kridalaksana,2008:132). Dalam sebuah penelitian, konsep dibutuhkan agar ruang lingkup kajian penelitian menjadi terarah (linear) atau tidak menyimpang dari apa yang hendak akan dibahas. Adapun konsep penelitian ini yakni :
2.1.1 Leksikon
Menurut Kridalaksana (2008: 142) Leksikon merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa.
Leksikon juga diartikan sebagai kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis, atau suatu bahasa. Demikian juga, leksikon merupakan daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis.
Dalam penelitian ini, penulis akan menguraikan berbagai data leksikon yang nantinya ditemui di lapangan, baik itu mencakup leksikon nomina, leksikon verba, maupun leksikon adjektiva dalam khazanah kepadian.
2.1.1.1 Nomina
Moeliono, dkk (2017: 259) mengungkapkan bahwa leksikon nomina
merupakan kata yang mengacu pada sebuah benda, orang, konsep, ataupun
pengertian yang berfungsi sebagai obyek dan subyek. Suatu kata dapat
digolongkan kedalam leksikon nomina apabila memenuhi syarat yakni (1) dapat
diikuti oleh frasa yang + sangat , (2) dapat didahului oleh numeralia dengan atau tanpa penggolong seperti seorang, seekor, setangkai, dll, (3). dapat diikuti dengan kata itu. Leksikon-leksikon nomina dalam penelitian ini mencakup leksikon alat pertanian, bagian padi, jenis padi, jenis tanah, jenis hama, jenis gulma, hingga alur padi menjadi beras yang ditemui mulai dari tahap pratanam, tanam, dan pascatanam.
2.4.4.2 Verba
Moeliono, dkk (2017: 95) mengungkapkan bahwa leksikon verba merupakan kelas kata yang menyatakan keadaan, proses, atau aktivitas. Kata kerja biasanya berfungsi sebagai predikat. Suatu leksikon dapat dikelompokkan kedalam leksikon verba apabila memenuhi syarat yakni (1) dapat diberi aspek waktu seperti akan, sedang, dan telah, (2) berawalan me- dan ber-. Leksikon- leksikon verba dalam penelitian ini mencakup leksikon kegiatan, proses, ritual yang dilakukan saat dalam bertani.
2.1.1.2 Adjektiva
Moeliono, dkk (2017: 193) mengungkapkan bahwa leksikon adjectiva
merupakan kata yang digunakan untuk mengungkapkan sifat, atau keadaan
sesuatu, misalnya keadaan orang, binatang, benda. Leksikon adjectiva berfungsi
sebagai predikat. Suatu kata dapat dikelompokkan kedalam leksikon adjectiva
apabila memenuhi syarat yakni (1) dapat diawali dengan kata sangat, paling, dan
diakhiri dengan kata sekali, (2) dapat diingkari dengan kata tidak. Leksikon-
leksikon adjectiva dalam penelitian ini yakni leksikon kata sifat yang
menerangkan keadaan dari leksikon nomina yang ditemui pada kepadian mulai
2.1.2 Kepadian
Kepadian dibentuk dari bentuk dasar padi yang diberi afiks ke-an. Secara morfologis, afiks ke-an menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang tersebut pada bentuk dasar (Ramlan, 1983: 146). Misalnya kepadian, yakni hal-hal yang berhubungan dengan masalah padi. Arneka, dkk (2019:2) mengungkapkan bahwa kosa kata kepadian merupakan kumpulan kata atau leksikon yang terdapat pada tumbuhan padi dan seluruh rangkaian kegiatan kepadian mulai dari bagian padi, dan seluruh rangkaian kegiatan kepadian mulai dari bagian tumbuhan padi, alat dan bahan, proses, ritual, jenis padi, jenis tanah, jenis hama, jenis gulma, hingga alur padi menjadi beras. Tahapan dalam kepadian terbagi menjadi tiga tahap, yakni tahap pratanam, tanam, dan juga pascatanam (Tarigan, 2018:39). Dalam penelitian ini akan diuraikan leksikon-leksikon nomina, verba, dan juga adjectiva dalam kepadian dalam Bahasa Batak Toba mulai dari tahap pratanam, tanam, pascatanam.
2.1.3 Pergeseran dan Pemertahanan a. Pergeseran
Pergeseran memiliki arti sempit yakni peralihan, perpindahan, dan
pergantian. Secara luas, pergeseran merupakan suatu keadaan dimana bahasa
daerah sempat mengalami perubahan atau peralihan baik dari tataran leksikal
maupun gramatikalnya. Dalam hal ini, penggunaan kata pergeseran berhubungan
dengan keadaan atau keberadaan leksikon kepadian dalam masyarakat batak Toba
di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah yang
sudah berganti atau beralih. Suatu leksikon akan mengalami pergeseran apabila
lingkungannya sudah rusak. Penyusustan atau kepunahan unsur alam dan unsur budaya akan berdampak terhadap hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas itu.
Punahnya sebuah leksikon bahasa daerah berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa tersebut, termasuk berbagai kearifan dalam lingkungan.
Ciri-ciri dari suatu leksikon dikatakan masih bergeser apabila yakni:
a. Leksikon tersebut sudah tidak ada ditemui di lingkungan tersebut b. Leksikon tersebut tidak pernah didengar lagi
c. Leksikon tersebut tidak pernah digunakan lagi
Standar penilaian interval tingkat kebertahanan suatu leksikon dalam kepadian masyarakat batak Toba, yakni apabila hasil jawaban dari responden yang dilakukan dengan penyebaran angket/kuesioner persentase tingkat pengetahuannya 0% - 50%, maka dapat dianggap bahwa kepadian tersebut bergeser (Apriliana, 2008: 12).
b. Pemertahanan
Pemertahanan berawal dari kata dasar ‘tahan’ yang berarti tetap
keadaannya (kedudukannya) meskipun mengalami berbagai hal, sedangkan
bentukan kata ‘bertahan’ memiliki arti tetap pada kedudukannya atau dapat
mempertahankan diri. Jadi, kata pemertahanan memiliki arti ‘upaya untuk
mempertahankan diri atau kedudukan’. Dalam hal ini, penggunaan kata
pemertahanan berhubungan dengan upaya untuk mempertahankan keberadaan
leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Ciri-ciri dari suatu leksikon dikatakan masih bertahan apabila yakni:
a. Leksikon tersebut masih ada ditemui di lingkungan tersebut b. Leksikon tersebut masih pernah didengar
c. Leksikon tersebut masih digunakan dalam lingkungan
Standar penilaian interval tingkat kebertahanan suatu leksikon dalam kepadian masyarakat batak Toba, yakni apabila hasil jawaban dari responden yang dilakukan dengan penyebaran angket/kuesioner persentase tingkat pengetahuannya 51% - 100%, maka dapat dianggap bahwa kepadian tersebut masih bertahan (Apriliana, 2018: 12).
2.1.4 Bahasa dan Lingkungan
Bahasa dan lingkungan memiliki hubungan yang sangat berkaitan dan
saling mempengaruhi. Fill dan Muhlhausler (2001:3) menyebutkan bahwa
terdapat empat hal yang memungkinkan adanya hubungan antara bahasa dan juga
lingkungan, yakni : (1) bahasa berdiri dan terbentuk oleh alam; (2) bahasa
dikonstruksi oleh alam; (3) alam dikonstruksi bahasa; dan (4) bahasa saling
berhubungan dengan alam. Keduanya saling mengonstruksi, tetapi jarang yang
berdiri sendiri (ekolinguistik). Selanjutnya, Sapir (1912 dalam Fill dan
Muhlhausler, 2001: 14) mengungkapkan bahwa lingkungan dibedakan menjadi
tiga bentuk yakni: (1) Lingkungan fisik, yang mencakup karakter geografis,
seperti topografi sebuah negara (baik pantai, lembah, dataran tinggi, maupun
pegunungan, keadaan cuaca, dan jumlah curah hujan). (2) Lingkungan ekonomis
‘kebutuhan dasar manusia’ yang terdiri atas flora dan fauna dan sumber mineral yang ada dalam daerah tersebut. (3) Lingkungan sosial, melingkupi berbagai kekuatan dalam masyarakat yang membentuk kehidupan dan pemikiran masyarakat satu sama lain. Namun, yang paling penting dari kekuatan sosial tersebut adalah agama, standar etika, bentuk organisasi politik , dan seni.
Haugen (1972 dalam Fill dan Muhlhausler, 2001: 57) mengatakan bahwa
“language ecology may be defined as the study of interaction between any given language and its environment”. Ekologi bahasa tersebut didefinisikan sebagai studi tentang interaksi atau hubungan timbal balik antara bahasa tertentu dengan lingkungannya. Haugen menegaskan bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan berfungsi apabila digunakan oleh penutur untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungan, yaitu lingkungan alam dan lingkungan sosial. Lingkungan bahasa yang sebenarnya adalah masyarakat yang menggunakan bahasanya sebagai salah satu kodenya. Bahasa hanya ada di pikiran penggunanya, dan hanya berfungsi dalam menghubungkan pengguna bahasa satu sama lain (lihat Widayati, 2018: 44).
Dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:1 dijelaskan bahwa kajian ekolinguistik
memiliki tiga parameter yang mencakup yakni (1) interrelationships (interelasi
bahasa dan lingkungan), (2) environtment (lingkungan ragawi dan sosial budaya),
dan (3) diversity (keberagaman bahasa dan lingkungan). Ketiga parameter ini
akhirnya diaplikasikan kedalam penelitian ekolinguistik dan ketiganya saling
berkaitan dan saling melengkapi dan senantiasa diaplikasikan secara bersamaan dalam penelitian ekolinguistik.
2.2 Landasan Teori
Adapun yang menjadi landasan teori dalam penelitian ini yakni teori ekolingusitik.
2.2.1 Teori Ekolinguistik
Ekolinguistik merupakan suatu cabang ilmu lingustik yang mengkaji hubungan antara bahasa dan lingkungan. Ekolinguistik pertama kali diperkenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya yang berjudul Ecology of Language pada tahun 1972. Pada awalnya Haugen menggunakan istilah ekologi bahasa (ecology of language) dan mendefinisikannya sebagai studi tentang interaksi yang menghubungkan antara bahasa dan lingkungannya. Haugen menegaskan bahwa bahasa berada dalam pikiran penggunanya dan bahasa berfungsi dalam hubungan antar penuturnya satu sama lain. (Haugen, 1972 dalam Fill dan Mulhausler 2001: 57)
Menurut Haugen (dalam Wu, 2018: 646) mendefinisikan lingkungan bahasa sebagai berikut:
“The true environment of a language is the society that uses it as one of its codes. Language exist only fuctions in relating in users to one another to nature,i e. their social natural environment..The ecology of a languageis determined primely by those who learn it, use it, and transmit it to others.
Pernyataan Haugen di atas menyiratkan bahwa linguistik suatu bahasa adalah
penutur bahasa yang berberbentuk latar sosial dan latar kultural, bukan latar fisik
semata karena tidak mungkin memahami suatu bahasa tanpa penuturnya.
Pergeseran dan pemertahanan bahasa (khususnya dalam tataran leksikon) dipengaruhi oleh perubahan lingkungan alam, sosial, dan budaya yang melanda lingkungan bahasa tersebut. Demikian halnya dengan bahasa yang hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, tidak luput dari perubahan, di antaranya karena modernisasi dan juga globalisasi. Perubahan yang melanda aspek-aspek sosial dan budaya pendukungnya juga berpengaruh terhadap penggunaan bahasa, khususnya dalam tataran leksikon.
Liebert (2001) dalam Mbete (2009:7) yang mengatakan bahwa ‘perubahan bahasa merepresentasikan perubahan ekologi termasuk perubahan elemen-elemen budaya’. Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari.
Perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon.
Kelengkapan leksikon suatu bahasa mencerminkan sebagian besar karakter dari lingkungan ragawi dan juga lingkungan karakter sosial serta budaya masyarakat penuturnya.
Haugen (dalam Mbete, 2009: 11-12) menyatakan bahwa kajian
ekolingustik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yakni: (1) lingusitik
historis komparatif, (2) linguistik demografi, (3) sosiolinguistik, (4) dialinguistik,
(5) dialektologi, (6) filologi, (7) linguistik perspektif, (8) glikopolitik, (9)
etnolinguistik, (10) tipologi. Berdasarkan uraian tersebut, kajian ini memiliki
hubungan dengan kajian sosiolinguistik yang mengkaji tingkah laku verbal yang
berhubungan dengan karakteristik sosial penutur, latar belakang budaya mereka
Bundsgaard dan Steffensen (dalam Subiyanto, 2013) mengungkapkan teori dialektikal praksis sosial dalam ekolinguistik yang mencakup tiga dimensi, yakni dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis. (1). Dimensi ideologis, merupakan sistem psikis, kognitif dan sikap mental individu dan kolektif. (2). Dimensi sosiologis berkenaan dengan bagaimana kita mengatur hubungan dengan sesama, misalnya dalam keluarga, antar teman, tetangga, atau dalam lingkungan sosial yang lebih besar, seperti sistem politik dalam sebuah negara. (3). Dimensi biologis berkaitan dengan keberadaan kita secara biologis bersanding dengan spesies lain seperti tanaman, hewan, bumi, laut, dan lain sebagainya.
2.3 Tinjauan Pustaka
Ada beberapa tinjauan pustaka yang menginspirasi dan berkontribusi dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut:
Gita Esikel Tarigan (2018), dalam skripsi yang berjudul “Leksikon Perpadian dalam bahasa Karo Kajian Ekolinguistik”. Dalam Skripsi ini peneliti membahas leksikon nomina dan verba dalam bahasa Karo dalam lingkungan perpadian di Desa Rumah pil-pil melalui perspektif ekolinguistik. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif dan juga metode kuantitatif. Data diperoleh melalui teknik wawancara, teknik observasi, dan penyebaran kuesioner.
Hasil analisis yang didari leksikon perpadian dalam bahasa Karo, dapat diketahui
lima kelompok leksikon, yaitu leksikon pratanam, leksikon tanam, leksikon
pascatanam, leksikon hewan dan tumbuhan disekitar padi, leksikon hasil olahan
padi, dan juga leksikon nama jenis padi. Dari kelima kelompok leksikon tersebut
diperoleh 118 leksikon nominadan 50 leksikon verba. Jadi total leksikon yang diperoleh yakni 168 leksikon. Pemahaman masyarakat terhadap leksikon perpadian di Desa Rumah pil-pil diperoleh hasil bahawa terjadi penyusutan pemahaman pada setiap kelompok usia responden terhadap leksikon nomina pada usia di atas 45 tahun adalah 97,7%, usia 21-45 tahun 84,6%, dan usia 15-20 tahun 60,5%. Pemahaman responden terhadap leksikon verba pada usia di atas 45 tahun 98,6%, usia 21-45 tahun 82,6%, dan usia 15-21 tahun 39,8%. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi penulis, yakni dalam hal metode maupun teknik yang digunakan dalam penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga akan menggunakan metode gabungan antara metode kualitatif dan juga metode kuantitatif. Penelitian ini juga akan menggunakan kelompok klasifikasi leksikon perpadian yang sama, yakni kelompok leksikon tahap tanam, leksikon pratanam, leksikon pascatanam, leksikon hewan dan tumbuhan disekitar tanaman padi, leksikon hasil olahan padi, dan leksikon jenis nama padi yang akan penulis akan tambahkan dalam penelitian ini. Penelitian sebelumnya hanya mendeskripsikan leksikon perpadian dalam bahasa karo, dan juga mendeskripsikan tingkat pemahaman dari masyarakat terhadap leksikon perpadian. Berbeda halnya dengan penelitian ini, penulis akan mendeskripsikan leksikon yang mengalami pergeseran dan pemertahanan dalam khzanah kepadian dalam masyarakat Batak Toba.
Selpiana (2018), dalam artikel penelitian yang berjudul “Khazanah
leksikon kepadian dalam masyarakat dayak kanayatn banana’-ahe Kabupaten
Landak”. Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan tentang padi yang
berkaitan dengan alat untuk menanam dan panen padi, serta jenis padi yang ada di
desa Sabaka, kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak. Metode yang digunakan yakni metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik wawancara. Hasil analisis data dalam penelitian ini didapatkan 106 leksikon yang terdiri atas leksikon jenis padi, alat yang digunakan untuk menanam, dan memanen padi, serta tanaman atau hewan yang mengganggu tanaman padi.
Penelitian ini memberikan kontribusi bagi penulis, yakni dalam hal klasifikasi leksikon yang terdapat dalam kepadian. Penelitian sebelumnya hanya menggunakan metode deskriptif kualitatif namun dalam penelitian ini peneliti juga akan menggunakan metode kuantitatif untuk melihat tingkat pemahaman dari masyarakat penutur, dan juga untuk melihat tingkat kebergeseran dan kebertahanan dari leksikon kepadian dalam bahasa Batak Toba.
Elvira septevany dkk (2019) dalam seminar riset linguistik pengajaran bahasa dengan judul “Khazanah leksikon kepadian sawah komunitas tutur Sunda:
Kajian Ekolinguistik”. Dalam penelitian ini penulis menganalisis bentuk khazanah
leksikon kepadian sawah komunitas tutur Sunda di Kabupaten Sumedang dengan
berbagai dinamika budaya kepadian dengan lingkungannya serta untuk
mengetahui upaya pelestariannya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini yakni pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1)
khazanah leksikon kepadian sawah komunitas tutur Sunda ditemukan dalam
beberapa bagian leksikon, yaitu: nama padi, penanaman benih padi ‘penyemaian’,
pengolahan sawah, penanaman padi, pembersihan padi, perkembangan padi,
pembersihan, hama padi, panen padi dan peralatan kepadian yang digunakan
selama proses hingga panen. Pada artikel ini yang dibahas hanya nama padi,
penanaman benih padi ‘penyemaian’ dan pengolahan sawah serta (2) dinamika budaya masyarakat Sunda terbagi dalam beberapa bagian, yaitu dinamika budaya kepadian, perubahan budaya kepadian. Penelitian ini memiliki persamaaan, yakni sama-sama memilih leksikon kepadian sebagai kajiaanya. Namun, antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya memiliki perbedaan yakni dalam kajian bahasa yang digunakan, kajian sebelumnya menggunakan tutur masyarakat Sunda, sedangkan dalam penelitian ini menggunakan tutur masyarakat Batak Toba. Penelitian sebelumnya tidak memperlihatkan tingkat kebergeseran dan kebertahanan, namun dalam penelitian ini akan di uraikan hal tersebut lebih mendalam.
Priska Filomena Iku (2020) dalam jurnal penelitian bahasa, sastra, dan
budaya dengan judul “Faktor-faktor pemertahanan khazanah lingual kepadian
pada masyarakat tutur bahasa manggarai”. Dalam penelitian ini peneliti
mendeskripsikan faktor-faktor pemertahanan khazanah lingual kepadian
masyarakat Manggarai. Penelitian ini didasarkan pada dua pendekatan yakni
pendekatan teori dan pendekatan metodologis. Dalam memperoleh data, peneliti
menggunakan metode simak dengan teknik lanjut simak libat cakap, dan simak
bebas libat cakap. Adapun tahapan analisis data dalam penelitian ini yakni reduksi
data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perubahan yang terjadi pada fisik ekologi kepadian tentu saja berimbas
juga pada perubahan bahasa ekologinya. Oleh karena itu, perlu adanya
pemertahana bahasa ekologi. Berikut beberapa faktor pemertahanan bahasa
ekologi kepadian. Faktor linguistik berupa kesetian bahasa penutur bahasa
Manggarai dan kebanggaan bahasa penutur bahasa Manggarai. Faktor nonlinguistik berupa keadaan ekologi, ekonomi, pendidikan, penelitian, pariwisata, dan kesenian. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi penulis, dalam hal faktor-faktor yang menyebabkan kebertahanan leksikon kepadian yang juga penulis cantumkan dalam rumusan masalah. Namun tidak hanya pemertahanan tapi juga faktor kebergeseran leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba akan lebih dijelaskan lagi dalam penelitian ini. Perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini. Sama seperti penelitian sebelumnya, penelitian ini juga akan menggunakan teori sosiolinguistiknya untuk melihat faktor kebergeseran dan kebertahanan leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba dan juga teori ekolinguistiknya untuk melihat hubungan antara lingkungan dengan kebahasaan. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat dalam bidang kajian bahasanya, dan juga metode yang digunakan.
Penelitian sebelumnya hanya menggunakan metode kualitatif, namun dalam
penelitian ini akan dikolaborasikan antara metode kualitatif dengan metode
kuantitatif agar penelitian ini lebih akurat dalam analisis datanya.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Desa Sipea-pea merupakan salah satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Sorkam Barat.
Peneliti memilih desa tersebut sebagai lokasi penelitian, dikarenakan mayoritas penduduk yang ada di Desa Sipea-pea berprofesi sebagai petani dan masih menggunakan bahasa Batak Toba dalam kehidupan sehari-harinya.
Gambar 2 : Peta Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat Sumber: BPS Kecamatan Sorkam Barat dalam Angka 2020
Berdasarkan data BPS Kecamatan Sorkam Barat dalam Angka 2020, Desa Sipea-pea memiliki luas 3,14 Km
2dengan jumlah penduduk sebanyak 1.771 Jiwa.
Dilihat dari sisi bidang pertanian, Desa Sipea-pea memiliki luas lahan sawah 125
Ha, dengan produksi padi sebanyak 287 ton setiap kali panen.
Waktu pengumpulan data leksikon kepadian dan data leksikon kepadian yang mengalami pergeseran dan pemertahanan dalam masyarakat Batak Toba akan dilakukan selama kurang lebih satu bulan. Hal tersebut menimbang keterbatasan dalam waktu, tenaga, dan juga biaya yang akan digunakan peneliti.
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer yaitu data lisan (tutur) yang diperoleh dari informan dengan melakukan wawancara. Data primernya berupa leksikon nomina, leksikon verba, dan juga leksikon adjektiva yang ditemukan pada khazanah kepadian yang diperoleh dari informan guyub tutur batak Toba di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah. Informan merupakan sumber informasi penuh dalam penelitian ini, oleh karena itu seorang informan harus memenuhi kriteria ataupun syarat agar penelitian ini menghasilkan informasi yang akurat.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode
gabungan antara metode kualitatif dan juga metode kuantitatif. Metode kualitatif
adalah metode penelitian yang yang bertujuan untuk memahami fenomena yang
dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lainnya secara holistik dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk kata-
kata atau bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan
beberapa metode ilmiah, dan metode kuantitatif adalah metode yang dalam
penggunaanya melibatkan perhitungan atau angka (Moleong 2007:6). Metode
penelitian kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab rumusan
masalah yang pertama yakni mendeskripsikan leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba, dan metode penelitian kuantitatif digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua yakni menghitung tingkat pergeseran dan pemertahanan leksikon kepadian dari masyarakat Batak Toba yang tinggal di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah.
3.3.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan penelitian lapangan yang dilakukan dengan terjun kelapangan secara langsung untuk memperoleh data yang akan digunakan dalam penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode simak dan juga metode cakap.
Mahsun (2005: 92) mengungkapkan bahwa metode simak digunakan dengan menyimak penggunaan bahasa. Dalam hal ini, menyimak tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan, melainkan juga bahasa secara tertulis.
Metode simak tersebut mencakup teknik dasar, yakni teknik sadap dan teknik lanjutnya yang mencakup teknik simak libat cakap, catat, dan rekam. Teknik simak libat cakap dilakukan untuk mengamati penggunaa bahasa oleh para informan, peneliti dalam hal ini tidak terlibat aktif dalam kegiatan wawancara.
Selanjutnya teknik catat, dan rekam digunakan untuk mencatat dan merekam pembicaraan terhadap informan.
Dalam memperoleh data dilapangan, dilakukan wawancara. Wawancara
merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara
langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan terhadap responden
dilakukan antara si peneliti terhadap responden yang tinggal di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah yang berprofesi sebagai petani.
Pada saat pengumpulan data dengan metode wawancara, peneliti akan melakukan wawancara terstruktur dan wawancara semiterstruktur. Wawancara terstruktur dilakukan dengan melakukan tanya jawab terhadap 2 orang informan secara langsung dengan mengajukan beberapa pertanyaaan yang telah disusun sebelumnya yang berhubungan dengan leksikon kepadian. Pemilihan seseorang untuk dijadikan sebagai informan sebaiknya harus memenuhi persyaratan- persyaratan sebagai berikut:
a. Berjenis kelamin pria atau wanita;
b. Berusia 25-65 tahun (tidak pikun);
c. Berprofesi sebagai petani;
d. Orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa tersebut serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desa;
e. Memahami sekitar lingkungan kepadian dengan baik;
f. Dapat menggunakan bahasa Batak Toba dengan baik;
g. Mengerti bahasa Indonesia;
h. Sehat jasmani dan rohani.
Dalam berinteraksi dengan informan, peneliti menggunakan bahasa
Indonesia untuk mewawancarai ketiga informan dan akan dipandu dengan
sejumlah pertanyaan seperti:
1. Apa saja leksikon alat pertanian, bagian tumbuhan padi, jenis padi, jenis tanah, jenis hama/ gulma, hingga alur padi menjadi beras yang ditemukan pada saat mulai dari tahap pratanam, tanam, dan pascatanam?
2. Apa saja leksikon kegiatan, proses, atau ritual bertani yang digunakan pada saat mulai dari tahap pratanam, tanam, dan pascatanam?
Lesikon-leksikon yang ditemui dilapangan dikelompokkan kedalam tiga kelompok leksikon yakni leksikon nomina, leksikon verba, dan juga leksikon adjectiva. Dalam mengelompokkan sebuah leksikon-leksikon tersebut, dilakukan pengujian terlebih dahulu.
a. Leksikon Nomina
Sebuah leksikon dapat diklasifikasikan kedalam kelompok leksikon nomina apabila memenuhi persyaratan berikut:
1. Dalam bahasa Indonesia leksikon nomina dapat diikuti oleh frasa yang + sangat, dalam bahasa Batak Toba dapat diikuti oleh frasa na + adj + hian.
Contohnya:
Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia boni boni na denggan hian benih yang sangat baik jetor jetor na borat hian traktor yang sangat berat gadu-gadu gadu-gadu na timbo hian pematang sawah yang sangat tinggi
pakkur pakkur na tajom hian cangkul yang sangat tajam
2. Dapat didahului oleh numeralia dengan atau tanpa penggolong se- untuk
menyatakan satu, seperti seekor, seorang, setangkai, dll. Dalam bahasa Batak
Toba leksikon nomina dapat diikuti oleh sa- untuk menyatakan satu yang dikelompokkan berdasarkan leksikon nominanya.
Contohnya:
Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia boni sakaleng boni satu kaleng benih padi
jetor sada jetor satu buah jetor
gadu-gadu sagadu-gadu satu pematang sawah
pakkur dua pakkur dua buah cangkul
3. Dalam bahasa Indonesia leksikon nomina dapat diakhiri oleh kata itu, dalam bahasa Batak Toba dapat diikuti oleh kata i
Contohnya:
Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
boni boni i benih padi itu
jetor jetor i traktor itu
gadu-gadu gadu-gadu i pematang sawah itu
pakkur pakkur i cangkul itu
b. Leksikon Verba
Sebuah leksikon dapat diklasifikasikan kedalam kelompok leksikon verba apabila memenuhi persayaratan berikut:
1. Dalam bahasa Indonesia, leksikon verba dapat diberi aspek waktu, seperti akan, sedang, dan telah, dalam bahasa Batak Toba dapat diikuti oleh aspek waktu naeng, dan nungga.
Contohnya:
Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia mangengge naeng mangengge boni akan merendam benih padi
manjetor naeng manjetor saba akan menjetor sawah
mamakkur nungga mamakkur tano telah mancangkul tanah mangguris naeng mangguris duhut akan mengikis rumput
2. Dalam bahasa Indonesia, leksikon verba dapat diawali dengan afiks me-, dan ber-, dalam bahasa Batak Toba leksikon verba dapat berawalan ma-, mar-.
Contohnya:
Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
mangengge mangengge merendam
manjetor manjetor menjetor
mamakkur mamakkur mencangkul
mangguris mangguris mengikis
c. Leksikon Adjectiva
Sebuah leksikon dapat diklasifikasikan kedalam kelompok leksikon adjectiva apabila memenuhi persayaratan berikut:
1. Dalam bahasa Indonesia, leksikon adjectiva dapat diawali dengan kata sangat, paling, dan diakhiri dengan kata sekali, dalam bahasa Batak Toba leksikon adjectiva dapat diawali dengan kata mansai, dan diakhiri dengan kata hian.
Contohnya:
Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia degar mansai degar/ degar hian sangat degar/ degar sekali
sosot mansai sosot/ sosot hian sangat rapat/ rapat sekali rakkak mansai rakkak/ rakkak hian sangat jarang/ jarang sekali
2. Dalam bahasa Indonesia, leksikon adjectiva dapat diingkari dengan kata tidak, atau dalam bahasa Batak Tobanya yakni dang.
Contohnya:
Leksikon Bahasa Batak Toba Bahasa Indonesia
degar dang degar tidak degar
sosot dang sosot tidak rapat
rakkak dang rakkak tidak jarang
Setelah leksikon tersebut dikumpulkan berdasarkan kelompoknya masing- masing, selanjutnya leksikon tersebut dianalisis berdasarkan dimensi praksis sosial yang mencakup dimensi ideologis, dimensi sosiologis, dan dimensi biologis dari leksikon-leksikon kepadian Batak Toba melalui wawancara semiterstruktur, jenis wawancara ini sudah termasuk kedalam kategori in-depth interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas dan terbuka. Dalam wawancara ini, pihak yang diajak wawancara akan diminta pendapat dan idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.
Dalam penelitian ini, peneliti juga melakukan penyebaran kuesioner.
Sistem angket (kuesioner) merupakan kegiatan untuk memeperoleh data dengan
cara memberikan daftar pertanyaan yang telah tersusun secara kronologis dari
yang umum mengarah kepada yang khusus untuk diberikan kepada responden
atau informan (Subagyo, 1999:55). Sistem angket atau kuesioner terbagi atas tiga
bagian yakni, kuesioner tertutup, kuesioner terbuka, dan campuran. Dalam
penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode kuesioner tertutup, dimana
responden tidak mempuyai kesempatan lain dalam memberikan jawaban selain
jawaban yang telah disediakan didalam daftar pertanyaan tersebut. Metode
kuesioner ini digunakan dalam penelitian ini untuk melihat tingkat pemahaman
masyarakat Batak Toba yang tinggal di Desa Sipea-pea, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah terhadap leksikon kepadian. Melalui tingkat pemahaman tersebut, dapat terlihat leksikon-leksikon yang mengalami pergeseran dan bahkan leksikon yang masih bertahan.
Dalam pengumpulan data ataupun menghitung tingkat pemahaman terhadap leksikon kepadian dalam masyarakat Batak Toba, peneliti mengelompokkan popolasi menjadi tiga kelompok usia. Menurut Mubin dan Cahyadi (2006: 115), responden dibagi menjadi 3 kelompok usia yakni:
1. Kelompok usia remaja (usia 15-20 tahun) 2. Kelompok usia dewasa (usia 21-45 tahun)
3. Kelompok usia pertengahan masa dewasa dan masa dewasa lanjut atau masa tua (di atas 46 tahun)
Penelitian ini tidak terlepas dari sampel dan juga populasi sebagai sumber data. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2008:117). Sampel dari penelitian ini adalah petani, pedagang, dan pelajar yang berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan; dan berusia 15-65 tahun. Untuk menentukan sampel dalam penelitian ini, dapat digunakan rumus Slovin yaitu:
𝒏 =
𝑵𝟏+(𝑵.𝒆𝟐)