• Tidak ada hasil yang ditemukan

REHABILITASI PENYALAHGUNA NAPZA FOKUS PADA TEMPAT LAYANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "REHABILITASI PENYALAHGUNA NAPZA FOKUS PADA TEMPAT LAYANAN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Penulis :

Dr. Luh Nyoman Alit Aryani SpKJ(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF PSIKIATRI FK UNUD/RSUP SANGLAH

DENPASAR

2018

(2)

i

kiranya dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri maupun para pembaca lainnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. dr. Ni Ketut Putri Ariani, Sp.KJ selaku Kepala Departemen/Kumpulan Staf Medis (KSM) Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan arahan dalam penulisan tinjauan pustaka ini.

2. Seluruh staf pengajar Departemen/KSM Psikiatri FK UNUD/RSUP Sanglah yang juga sudah memberikan dukungan baik berupa ide, bahan referensi, dan dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka.

Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran yang membangun dari para senior maupun teman-teman residen lainnya.

Hormat saya, Penulis

(3)

ii

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR SINGKATAN ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 2

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Pendahuluan ... 3

2.2 Rehabilitasi NAPZA ... 10

2.3.1 Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (Babesrehab BNN) ... 19

2.3.2 Program Terapi Rumatan Metadon ... 25

2.3.3 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) ... 26

2.3.4 Rumah Sakit Ketergantungan Obat ( RSKO) Jakarta ... 27

2.3.5 Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) ... 28

BAB III RINGKASAN ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(4)

iii

(5)

iv WHO : World Health Organization MI : Motivational interviewing CBT : Cognitive Behavior Therapy FSG : Family Support Group RSJ : Rumah Sakit Jiwa THD : Take Home Dose

TC : Therapeutic Communities IPWL : Institusi Penerima Wajib Lapor RBM : Rehabilitasi Berbasis Masyarakat

(6)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketergantungan dan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) bukan merupakan masalah baru di Indonesia. Dewasa ini, diperkirakan di Indonesia terdapat peningkatan jumlah penyalahgunaan NAPZA dari tahun ke tahun (Husin & Siste, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama dengan Puslitkes UI Tahun 2011 tentang Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, diketahui bahwa angka prevalensi penyalahgunaan NAPZA di Indonesia telah mencapai 2% atau sekitar 4,2 juta orang dari total populasi penduduk (berusia 10 - 59 tahun). Tahun 2015 jumlah penyalahguna NAPZA diproyeksikan ± 2,8% atau setara dengan ± 5,1 - 5,6 juta jiwa dari populasi penduduk Indonesia (BNN, 2015).

Rehabilitasi NAPZA merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan para pengguna dari belenggu narkoba. Para penyalahguna NAPZA itu tidak lagi ditempatkan sebagai pelaku tindak pidana atau kriminal, dengan melaporkan diri pada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang diresmikan sejak tahun 2011.

Kurungan justru bisa menjerumuskan pecandu lebih dalam lagi pada peredaran NAPZA. Inilah hasil empiris bahwa hukuman penjara bagi pengguna dan pecandu tidak akan menyelesaikan masalah, karena hanya memindahkan

(7)

pengguna dari luar ke dalam tembok lapas, bahkan menjerumuskan mereka ke dalam peredaran NAPZA. Maka untuk para pecandu, solusi yang seharusnya diterapkan adalah rehabilitasi. Proses rehabilitasi penyalahguna NAPZA memerlukan tempat dan pelayanan yang memadai sesuai dengan prosedur rehabilitasi untuk tercapainya tujuan rehabilitasi. Penulis ingin mengetahui tentang tempat rehabilitasi NAPZA yang ada di Indonesia, khususnya di Bali serta jenis pelayanannya.

1.2 Batasan Masalah

Tinjauan Pustaka ini akan membahas tentang tempat pelayanan dan jenis pelayanan rehabilitasi penyalahguna NAPZA.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas tentang tempat rehabilitasi yang dapat memberikan pelayanan rehabilitasi penyalahguna NAPZA dan jenis pelayanan yang diberikan sehingga dapat menjadi acuan dalam melakukan rujukan bagi penyalahguna NAPZA yang memerlukan rehabilitasi.

(8)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pendahuluan

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya ( NAPZA) merupakan masalah yang menjadi keprihatinan merupakan dunia internasional disamping masalah HIV/AIDS. Penatalaksanaan seseorang dengan ketergantungan NAPZA merupakan proses panjang yang memakan waktu relatif cukup lama dan melibatkan berbagai pendekatan dan latar belakang profesi (Kemenkes, 2012).

Perkembangan jumlah pengguna NAPZA ini tercermin dari laporan RSKO tahun 2013, sebagian besar (65,17%) pasien rawat jalan dan rawat inap penyalahguna narkoba di RSKO adalah pasien penyalahguna narkoba dengan status pengguna lama.

sedangkan sisanya (34,83%) adalah pengguna baru (Pusdatin Kemenkes RI, 2014).

Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Bali menyatakan, sampai dengan bulan Juni 2016, sebanyak 411 orang pecandu NAPZA menjalani rehabilitasi. Mereka menjalani rehabilitasi di sejumlah tempat, menjalani rawat inap di RSJ Bangli sebanyak 91 orang, Lapas NAPZA Bangli 81, Yayasan Kasih Kita ( Yakita) 58, Balai Rehabilitasi Lido Bogor 3 dan sisanya tersebar di tempat rehabilitasi lainnya.

Sedangkan pecandu yang menjalani rawat jalan di antaranya di Klinik Pratama BNNP Bali sebanyak 142 orang, RSU Buleleng 4, RS Wangaya 3, Yakita 7 dan sisanya tersebar di tempat lainnya (BeritaSatu, 2016).

(9)

Sebagian dari penyalahguna NAPAZA lama ini kemungkinan besar adalah penyalahguna kambuhan. Penyalahguna kambuhan biasanya sudah berhenti mengkonsumsi narkoba tetapi kemudian kembali lagi menjadi pengguna narkoba.

Kambuh atau relapse merupakan suatu tantangan yang tak terpisahkan dari proses panjang menuju pemulihan penuh. Kendati mantan penyalahguna sudah dapat lepas dari ketergantungan narkoba untuk jangka waktu tertentu, tetapi kecenderungan untuk menggunakan zat-zat tersebut masih akan terasa. Data dan informasi ini mengindikasikan bahwa persoalan korban NAPZA masih cukup besar. Di satu sisi jumlah korban yang ada belum memperoleh ketuntasan pananganan sementara itu masih ditambah jumlah korban/ pecandu baru (Pusdatin Kemenkes RI, 2014).

Rehabilitasi berarti pemulihan kapasitas fisik dan mental kepada kondisi / keadaan sebelumnya. Bagi seorang penyalahguna atau pecandu NAPZA, rehabilitasi merupakan sebuah proses yang harus dijalani dalam rangka full recovery (pemulihan sepenuhnya), untuk hidup normatif, mandiri dan produktif di masyarakat. Pelayanan rehabilitasi NAPZA merupakan upaya terapi ( intervensi) yang berbasis bukti yang mencakup perawatan medis, psikososial atau kombinasi keduanya, baik perawatan rawat jalan dan rawat inap jangka pendek maupun panjang (Kemenkes, 2011).

Sangsi rehabilitasi bagi korban NAPZA bukan hanya sebagai alternatif untuk mengatasi persoalan keterbatasan kapasitas tampung rumah tahanan, karena sangsi pidana dipandang tidak efektif untuk perubahan perilaku. Menurut Riza Sarasvita, &

Rahardjo Budi (2014) bahwa pemenjaraan tidak merubah perilaku pengguna ke arah

(10)

yang positif. Artinya dari sisi psikologi pecandu, hukuman pidana tidak memberikan penjeraan kepada pecandu untuk berhenti mengkonsumsi NAPZA.

Menurut kamus bahasa Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila dikaitkan dengan pengertian NAPZA sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna NAPZA adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sentetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Beberapa definisi :

1. Pecandu NAPZA adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan NAPZA dan dalam keadaan ketergantungan pada NAPZA, baik secara fisik maupun psikis.

Penyalahguna NAPZA adalah orang yang menggunakan NAPZA tanpa hak atau melawan hukum.

2. Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan NAPZA yang sudah bersifat patologis, dipakai secara rutin (paling tidak sudah berlangsung selama satu bulan), dan terjadi penyimpangan perilaku dan gangguan fisik di lingkungan sosial.

3. Korban penyalahgunaan adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan NAPZA, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan NAPZA.

4. Mantan Pecandu NAPZA adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap NAPZA secara fisik maupun psikis.

(11)

Merujuk pada Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang NAPZA dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu NAPZA, maka pecandu/pengguna serta korban penyalahgunaan NAPZA wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal tersebut juga telah dipertegas dan diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu NAPZA. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu NAPZA dan Korban Penyalahgunaan NAPZA ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (“Peraturan BNN 11/2014”) mengatur bahwa Pecandu NAPZA dan Korban Penyalahgunaan NAPZA yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa dalam penyalahgunaan NAPZA yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.

Pada tahun 2010 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan dan Pecandu NAPZA ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, untuk selanjutnya disingkat sebagai SEMA 4/2010, yang menjadi panduan bagi para hakim untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi.

(12)

SEMA 4/2010 menyebutkan lima syarat untuk mendapatkan putusan rehabilitasi yaitu:

1) terdakwa ditangkap dalam kondisi tertangkap tangan,

2) pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian satu hari a) Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu)

b) Kelompok MDMA (ectasy) c) Kelompok Heroin

d) Kelompok Kokain e) Kelompok Ganja f) Daun Koka g) Meskalin

h) Kelompok Psilosybin

i) Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) j) Kelompok PCP (Phencyclidine)

k) Kelompok Fentanil l) Kelompok Metadon m) Kelompok Morfin n) Kelompok Petidine o) Kelompok Kodein p) Kelompok Bufrenorfin

3) surat uji laboratorium positif menggunakan NAPZA, 4) surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater

5) tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap NAPZA.

(13)

Adapun penentuan apakah ia direhabilitasi atau tidak harus melalui putusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang NAPZA yang menyatakan bahwa dalam hal penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan NAPZA, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Adapun faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi adalah surat keterangan medis, surat keterangan kejiwaan dari dokter jiwa/psikiater dan keberadaan ahli.

Upaya menanggulangi permasalahan pemakaian zat adiktif/narkoba ditujukan sesuai dengan tahapan kontinum pemakaian zat itu sendiri. Terdapat konsep pencegahan, mulai dari primer, sekunder dan tersier yang dapat diterapkan pada penyakit ini. Pencegahan primer adalah mencegah seseorang yang sebelumnya tidak memakai zat adiktif untuk tidak mencoba atau memakai teratur. Pencegahan sekunder adalah mencegah seseorang yang sudah menggunakan agar tidak masuk ke dalam kelompok berisiko dan tidak menjadi tergantung atau adiksi. Pencegahan tersier adalah mereduksi bahaya yang timbul dari masalah-masalah penyalah guna narkoba dan adiksi, termasuk tindakan terapi dan rehabilitasi, sampai seminimal mungkin menggunakannya atau bahkan tidak menggunakan sama sekali (Hamilton, King dan Ritter, 2004).

Dalam menentukan diagnosis gangguan penggunaan NAPZA ada dua langkah yang bisa dilakukan yaitu skrining dan asesmen dengan menggunakan instrumen

(14)

tertentu. Tujuan skrining ini untuk mendapatkan informasi tentang faktor resiko dan atau masalah yang terkait dengan penggunaan NAPZA. Berbagai instrumen skrining dan asesmen yang dapat digunakan dalam menggali permasalahan terkait gangguan penggunaan NAPZA telah dikembangkan secara global, baik yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga penelitian di negara maju, maupun badan-badan dunia khususnya WHO. Beberapa instrumen yang mengakomodasi penggunaan berbagai jenis NAPZA antara lain (KementrianKesehatan, 2013) :

1. ASSIST (Alcohol,Smoking, Substance Use Involvement Screening & Testing), 2. DAST 10 (Drug Abuse Screening Test),

3. ASI (Addiction Severity Index).

Penyalahgunaan NAPZA secara keseluruhan memerlukan perawatan rehabilitasi sesuai dengan tingkat ketergantungan berikut (BNN, 2015):

a. Ringan

Kriteria pengguna coba-coba, pengguna rekreasional, dan pengguna situasional.

b. Sedang

Kriteria pengguna narkoba yang dilakukan secra terus menerus dengan penggunaan teratur 3 hari perminggu baik satu atau lebih jenis narkoba.

(15)

c. Berat

Pengguna paling parah dan berbahaya dengan dosis tinggi secara rutin atau setiap hari ( bisa beberapa kali dalam sehari) dan menimbulkan efek psikis dan psikologis.

2.2 Rehabilitasi NAPZA

Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang NAPZA dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu NAPZA merupakan dasar hukum dalam upaya dan langkah menyelamatkan pengguna NAPZA. Para pengguna NAPZA itu tidak lagi ditempatkan sebagai pelaku tindak pidana atau kriminal, dengan melaporkan diri pada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang diresmikan sejak tahun 2011. Saat ini, sudah tersedia 274 IPWL di seluruh Indonesia dari berbagai lembaga, termasuk Puskesmas, Rumah Sakit dan Lembaga Rehabilitasi Medis, baik milik Pemerintah atau Swasta. Seluruh IPWL yang tersedia memiliki kemampuan melakukan rehabilitasi medis, termasuk terapi simtomatik maupun konseling. Untuk IPWL berbasis rumah sakit, dapat memberikan rehabilitasi medis yang memerlukan rawat inap.

Rehabilitasi berkelanjutan seorang penyalahguna NAPZA diawali oleh tahapan rehabilitasi medis yang bertujuan memulihkan kesehatan fisik dan psikis / mental seorang pecandu narkoba melalui layanan kesehatan dan terapi medis / psikiatris.

Tahapan selanjutnya yaitu rehabilitasi psikososial yang bertujuan mengintegrasikan (menyatukan) kembali seorang pecandu narkoba ke dalam kehidupan masyarakat

(16)

dengan cara memulihkan proses berpikir, berperilaku, dan beremosi sebagai komponen kepribadiannya agar mampu berinteraksi di lingkungan sosialnya (BNN, 2018). Tahap- tahap rehabilitasi bagi pecandu narkoba :

1. Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi)

Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna mendeteksi gejala kecanduan narkoba tersebut.

2. Tahap rehabilitasi psikososial

Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia sudah di bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program Therapeutic Communities (TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan keagamaan, dan lain-lain).

3. Tahap bina lanjut (after care)

Tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah pengawasan.

(17)

Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan pengawasan dan evaluasi secara terus menerus terhadap proses pulihan seorang pecandu (BNN, 2018).

2.3 Tempat Layanan Rehabilitasi NAPZA

Rencana rehabilitasi merupakan kesepakatan antara pecandu NAPZA, orang tua, wali atau keluarga pecandu NAPZA dan pimpinan IPWL. Proses rehabilitasi meliputi asesmen, penyusunan rencana rehabilitasi, program rehabilitasi rawat jalan atau rawat inap dan program pasca rehabilitasi. Tujuan asesmen pada penyalahguna NAPZA antara lain (Kemenkes, 2012):

a) Mengidentifikasi perilaku penyalahgunaan NAPZA.

b) Menemukan batas-batas masalah kesehatan akibat efek NAPZA.

c) Untuk menilai konteks sosial penggunaan NAPZA baik terhadap pasien maupun orang lain yang bermakna.

d) Untuk menentukan intervensi yang akan diberikan.

Menurut UU RI No. 35 Tahun 2009, ada dua jenis rehabilitasi, yaitu :

a. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan NAPZA.

b. Rehabilitasi Psikososial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu NAPZA dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

(18)

Pusat atau Lembaga Rehabilitasi yang baik haruslah memenuhi persyaratan antara lain :

a. Sarana dan prasarana yang memadai termasuk gedung, akomodasi, kamar mandi/WC yang higienis, makanan dan minuman yang bergizi dan halal, ruang kelas, ruang rekreasi, ruang konsultasi individual maupun kelompok, ruang konsultasi keluarga, ruang ibadah, ruang olah raga, ruang ketrampilan dan lain sebagainya;

b. Tenaga yang profesional (psikiater, dokter umum, psikolog, pekerja sosial, perawat, agamawan/ rohaniawan dan tenaga ahli lainnya/instruktur). Tenaga profesional ini untuk menjalankan program yang terkait;

c. Manajemen yang baik;

d. Kurikulum/program rehabilitasi yang memadai sesuai dengan kebutuhan;

e. Peraturan dan tata tertib yang ketat agar tidak terjadi pelanggaran ataupun kekerasan;

f. Keamanan (security) yang ketat agar tidak memungkinkan peredaran NAPZA di dalam pusat rehabilitasi (termasuk rokok dan minuman keras) (Hawari,2009:132).

(19)

Program Rehabilitasi penyalahguna NAPZA bisa dilakukan secara rawat jalan maupun rawat inap (Kemenkes, 2011).

a. Pelayanan rawat jalan

Rawat jalan dapat berupa rumatan maupun non rumatan (simtomatik dan konseling).

Fasilitas dan peralatan pada pelayanan rawat jalan non rumatan meliputi :

- Ruang periksa : meja, kursi dokter-pasien, meja periksa/tempat tidur pasien, wastafel dan alat-alat pemeriksaan fisik: stetoskokp, tensimeter, thermometer, senter, timbangan berat badan, formulir-formulir dan kertas resep.

- Ruang konseling.

- Ruang tunggu.

- Kamar mandi/WC.

Fasilitas dan peralatan pada pelayanan rawat jalan rumatan meliputi (Kemenkes, 2011):

- Sarana

a. Lokasi : sebaiknya ditempakan di area yang tidak banyak bersinggungan dengan pasien umum, untuk alasan privasi

b. Ruangan : memiliki beberapa ruangan yang terdiri ruangan tunggu, ruang pemeriksaan kesehatan, ruang konseling individual, ruang konseling kelompok, tempat memberikan obat, penyimpanan sementara dan penyimpanan obat. Ruang penyimpanan obat harus aman dan terjaga, dekat dengan pos petugas keamanan. Ruang atau loket untuk

(20)

pemberian dosis hanya menungkinkan satu orang yang dilayani pada satu saat. Loket tersebut harus ada pengamanan khusus yaitu adanya pemisah antar pemberi obat dengan penerima metadon.

- Prasarana

1. Cahaya seluruh ruangan dalam sarana pelayanan PTRM adalah ruangan yang memiliki kecukupan cahaya baik dengan listrik maupun cahaya matahari serta memiliki ventilasi yang memadai.

2. Limbah sarana pelayanan PTRM harus memiliki tatacara pembuangan limbah sesuai pedoman sanitasi rumah sakit, baik untuk limbah padat dan cair ( tempat untuk cuci gelas).

3. Tempat cuci tangan sarana pelayanan PTRM harus memiliki sarana cuci tangan sebagai salah satu upaya kewaspadaan baku dan kewaspadaan transmisi.

- Peralatan

1. Peralatan medis

- Pompa pengukur dosis metadon - Sediaan metadon

- Stetoskop - Tensimeter - Timbangan

- Peralatan pertolongan pertama 2. Peralatan nonmedis

- Gelas + air minum

(21)

- Botol untuk Take Home Dose (THD) - Meja, kursi

- Komputer

Program rehabilitasi NAPZA rawat jalan didahului dengan proses asasesmen awal untuk menentukan jenis terapi yang diperlukan. Pelayanan rawat jalan meliputi : terapi simtomatik, konseling adiksi individual, Motivational interviewing (MI), Cognitive Behavior Therapy (CBT), konseling keluarga, konseling pasangan/marital, Family Support Group (FSG), pemeriksaan urin berkala atau sewaktu.

b. Pelayanan rawat inap

Rawat inap terdiri dari rawat inap jangka pendek maupun jangka panjang termasuk layanan detoksifikasi (KementrianKesehatan, 2010)

a. Jangka Pendek ( Short Term ) ( 1-3 bulan )

Beberapa Rumah Sakit Jiwa telah melaksanakan program ini dengan fokus perubahan perilaku. Dilakukan skrining masalah medis dan psikologis.

b. Jangka Panjang ( Long Term ) ( 6 bulan – lebih). Merupakan kelanjutan rawat inap bagi penyalahguna NAPZA bila rehabilitasi sudah berjalan secara bermakna.

Program rawat inap awal dilaksanakan minimal 3 (tiga) bulan untuk kepentingan asesmen lanjutan serta penatalaksanaan medis untuk gangguan fisik dan mental.

Program lanjutan meliputi rawat inap jangka panjang atau program rawat jalan yang dilaksanakan sesuai standar prosedur operasional.

(22)

Rawat inap sesuai dengan rencana rehabilitasi yang telah disusun dengan mempertimbangkan hasil asesmen yang meliputi intervensi medis dan intervensi psikososial. Intervensi medis antara lain melalui program detoksifikasi, terapi simtomatik, dan/ atau terapi rumatan medis, serta terapi penyakit komplikasi.

Intervensi psikososial dilakukan melalui konseling adiksi NAPZA, wawancara motivasional, terapi perilaku dan kognitif, dan pencegahan kekambuhan.

c. Program pascarehabilitasi (After care)

Program pascarehabilitasi (After care) dilaksanakan untuk mencegah klien kembali pakai, penguatan mental, pengembangan diri dan peningkatan keterampilan supaya saat kembali ke keluarganya dapat berfungsi sosial kembali. Dalam pelaksanaan kegiatannya, untuk kategori rehabilitasi rawat jalan maka dilanjutkan dengan layanan pascarehabilitasi (BNNP, 2017).

Kegiatan Pasca Rehabilitasi melalui program Rumah Damping oleh BNN terdiri dari pelatihan-pelatihan vokasional atau keterampilan bagi mantan pecandu narkoba, dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi sosial dan produktivitas mantan pecandu narkoba dalam rangka proses pemulihannya (LensaIndonesia, 2013). Tujuan para mantan pecandu narkoba mengikuti program pasca rehabilitasi adalah total abstinance, kepribadian menjadi lebih kuat, dan terjadi perubahan gaya hidup, menjadi lebih sehat dan produktif

Dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, majelis hakim harus menunjuk

(23)

secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya.

Tempat-tempat yang dimaksud adalah (SEMA, 2010):

a) Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/dibina dan diawasi oleh Badan Narkotika Nasional.

b) Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta c) Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia.

d) Panti Rehabilitasi Departemen Sosial RI dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).

e) Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau Departemen Sosial.

Persoalannya adalah jumlah lembaga yang memberikan pelayanan rehabilitasi korban NAPZA masih sangat terbatas dan belum mampu mengimbangi laju pertambahan jumlah korban NAPZA. Kondisi ini mengisyaratkan pentingnya partisipasi masyarakat luas dalam penyelenggaraan rehabilitasi. Peran masyarakat dalam bidang rehabilitasi tercermin dari UU 35/2009 tentang NAPZA Pasal 57, selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu NAPZA dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional. Terkait dengan peraturan perundangan ini, Menteri Sosial memberi peluang besar kepada masyarakat untuk turut serta dalam rehabilitasi sosial. Dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2012 Tentang Standar

(24)

Rehabilitasiilitsi Bagi Korban Penyalahgunaan NAPZA. Pasal 29 ayat (1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan dalam penyelenggaraan rehabilitasi sosial korban Penyalahgunaan NAPZA.

2.3.1 Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (Babesrehab BNN)

Keberadaan Balai Besar Rehabilitasi BNN merupakan pusat rujukan nasional pelaksanaan rehabilitasi bagi penyalahguna dan/atau pecandu NAPZA secara profesional yang berfungsi melaksanakan pelayanan rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan/atau pecandu NAPZA. Pelaksanaan pelayanan di Balai Besar Rehabilitasi BNN menggunakan sistem one stop center (pelayanan satu atap) terdiri dari pelayanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam satu atap (BNN, 2018).

Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional disingkat Babesrehab BNN terletak di Desa Wates Jaya, kecamatan Cigombong, Lido, Kabupaten Bogor.

Pada pelayanan rehabilitasi sosial menggunakan metode Therapeutic Community (TC) dengan kapasitas daya tampung berjumlah 500 orang yang berlangsung selama 6 bulan.

Di Babesrehab, ada beberapa tempat rehabilitasi yang dikelompokkan sebagai berikut, yakni:

1. Detoks, adalah rumah bagi pecandu yang baru memulai penanganan. Rumah Detoks terbagi menjadi dua, yakni untuk pria dan wanita. Di sini pecandu akan ditangani selama rata-rata 2 minggu.

(25)

2. Entry Unit, adalah rumah yang disinggahi pecandu yang sudah "dibersihkan"

sebelumnya di rumah Detoks. Pada Entry Unit, setiap pecandu akan diberi pemahaman mengenai program yang sedang dan akan dijalaninya selama 6 bulan ke depan.

3. Green House, adalah rumah tempat pelatihan dan pendidikan para pecandu laki-laki yang berusia kurang dari 35 tahun. Di sini para pecandu akan dilatih sikap, tingkah laku, dan kepribadiannya agar dapat diterima masyarakat.

Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.

4. House of Hope, adalah rumah tempat pelatihan dan pendidikan para pecandu laki-laki yang berusia di atas 30 tahun, atau pecandu yang sudah pernah keluar dari panti rehabilitasi sebelumnya. Berbeda dengan rumah Green, di rumah Hope pecandu akan diubah pola pikirnya agar tidak terikat pada narkoba dan diterima masyarakat. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.

5. HoC (House of Change), rumah ini memiliki program yang sama dengan rumah Hope, namun dikhususkan untuk para pegawai negeri sipil atau pejabat negara, dan militer atau polisi. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.

6. Re-Entry, rumah ini adalah rumah terakhir dari keseluruhan program rehabilitasi di Babesrehab BNN. Di sini pecandu akan dipantau, dan diberi pelatihan/peningkatan keahlian serta juga perbaikan pola pikir agar dapat siap kembali ke masyarakat. Program di rumah ini berlangsung selama 1 bulan.

(26)

7. Rumah khusus untuk perempuan. Terbagi menjadi 4 bagian, yakni: Detoks, Entry Unit, Green, dan Re-Entry.

Rehabilitasi bagi pecandu di Babesrehab BNN ini dilakukan melalui alur rehabilitasi yang mana sebagai berikut: melalui Rumah Detoks (2 minggu), dilanjutkan Entry Unit (2 minggu), lalu memasuki program utama di Green House/House of Hope (untuk rakyat sipil) atau HoC untuk PNS dan Militer selama 4 bulan. Selanjutnya pecandu akan melanjutkan di rumah Re-Entry selama 1 bulan, jadi total program normal adalah 6 bulan.

Pelayanan yang diberikan :

1. Rehabilitasi medis: detoksifikasi, pelayanan intoksikasi, rawat jalan, pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan penunjang, penanganan penyakit dampak buruk narkoba, psikoterapi, penanganan dual diagnosis, Voluntary Counseling and Testing (VCT), seminar, terapi aktivitas kelompok, dan lain-lain.

2. Rehabilitasi sosial berbasis Therapeutic Community. Kegiatan yang ada didalamnya antara lain: konseling individu, seminar, terapi kelompok.

3. Kegiatan kerohanian berupa bimbingan mental dan spiritual.

4. Peningkatan kemampuan. Ketrampilan di bidang komputer, bahasa asing, multimedia (audio, video, radio), percetakan dan sablon, bengkel otomotif, salon kecantikan, kesenian, musik, tata boga, kerajinan tangan.

5. Terapi Keluarga (Family Support Group, Family Counseling).

(27)

6. Terapi Psikologi (hypnotheraphy, individual counseling, psychotheraphy, evaluasi psikologi, psycho education).

7. Rekreasi.

BNN juga mempunyai beberapa tempat rehabilitasi yang lainnya yaitu : Balai Rehabilitasi Tanah Merah Kalimantan Timur, Loka Rehabilitasi Kalianda Lampung, Balai Rehabilitasi Badoka Sulawesi Selatan, Loka Rehabilitasi BNN Deli Serdang Sumatera Utara, dan Loka Rehabilitasi Batam Kepulauan Riau.

Tabel 1. Alur layanan Rehabilitasi BNN

BNN provinsi Bali yang beralamat di Jalan Kamboja No. 8 Denpasar Bali memberikan pelayanan rehabilitasi penyalahguna NAPZA. Informasi didapatkan dari

(28)

Nyoman Sukerti selaku Kepala Divisi Rehabilitasi BNN Provinsi Bali. Alur layanan rehabilitasi BNN diawali dengan penerimaan awal pecandu atau penyalahgunaan NAPZA yang bisa datang sendiri, diantar keluarga ataupun menjalani proses hukum ( penangkapan oleh BNN). Penerimaan awal dilakukan skreening dan asesmen awal sehingga bisa ditentukan intervensi/ terapi yang akan dilakukan. Terapi dapat berupa intervensi singkat, dilakukan rehabilitasi rawat jalan atau dirujuk ke RSJ Bangli jika memerlukan penanganan rawat inap.

Pelayanan rehabilitasi rawat jalan di BNN provinsi Bali terdiri dari asesmen awal, pemeriksaan penunjang ( cek urine NAPZA 2 kali), konseling personal 8 kali ( 1 kali dalam seminggu ), terapi kelompok/ family therapy ( 2 x) dan intervensi psikososial lainnya yang dijalani selama 4 bulan. Selanjutnya dilakukan terapi kelompok yang dilakukan dalam 2 bulan. Program rehabilitasi selanjutnya adalah pelayanan pasca rehabilitasi. Syarat untuk mengikuti pelayanan pasca rehabilitasi adalah hasil tes urine NAPZA harus negatif dan mempunyai surat keterangan telah mengikuti program rehabilitasi yang dikeluarkan oleh BNN. Pelayanan pasca rehabilitasi terdiri dari : pelayanan pasca rehabilitasi regular dan layanan pasca rehabilitasi intensif yang masing- masing dijalani dalam 50 hari. Layanan pasca rehabilitasi regular dilakukan dengan rawat jalan dengan pertemuan 8 kali pertemuan.

Layanan pasca rehabilitasi intensif pada rumah damping merupakan salah satu tahapan dari program rehabilitasi berkesinambungan bagi penyalah guna narkoba yang dijalankan oleh BNN, yaitu layanan rehabilitasi kemudian dilanjutkan dengan layanan

(29)

pascarehabilitasi. Rumah Damping merupakan suatu tempat yang menyediakan layanan bimbingan lanjut rawat inap selama 3 bulan bagi penyalahguna NAPZA yang telah selesai menjalankan rehabilitasi, yang mana kegiatannya untuk mencegah kembali pakai, penguatan mental, pengembangan diri dan keterampilan. BNNP Bali mempunyai program rumah damping tahap pertama pascarehabilitasi di tahun 2017 yang beralamat di Jalan Trengguli 1 Tembau Denpasar Timur (BNNP, 2017).

2.3.2 Program Terapi Rumatan Metadon ( PTRM)

Program Terapi Rumatan Metadon yang selanjutnya disingkat PTRM adalah rangkaian kegiatan terapi yang menggunakan Metadon disertai dengan intervensi psikososial bagi pasien ketergantungan opioida sesuai kriteria diagnostik Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa ke -III ( PPDGJ-III). Pasal 14 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 57 tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Terapi Rumatan Metadone mengatur tentang fasilitas kesehatan yang memberikan PTRM ditetapkan oleh Menteri, meliputi : rumah sakit, puskesmas, klinik lembaga permasyarakatan atau rumah tahanan.

Pelayanan PTRM hanya diberikan pada pasien ketergantungan opioida yang memenuhi kriteria sebagai berikut :

a) Memenuhi kriteria PPDGJ III untuk ketergantungan opioid b) Berusia sekurang-kurangnya 18 tahun

c) Dapat datang ke unit layanan setiap hari hingga mencapai dosis stabil

(30)

d) Dapat datang secara teratur ke unit pelayanan sebagaimana jadwal yang ditetapkan tim PTRM berdasarkan kondisi klinis pasien setelah dosis stabil tercapai

e) Tidak mengalami gangguan fisik dan mental berat yang mengganggu kehadiran ke unit layanan dan/atau mengganggu kepatuhan terapi.

Pelayanan PTRM meliputi asesmen, pemberian metadon, pemeriksaan penunjang, konseling, dan intervensi psikososial lainnya. Pelayanan PTRM merupakan bagian dari layanan komprehensif berkesinambungan HIV dan AIDS.

2.3.3 Rumah Sakit Jiwa ( RSJ)

Kementrian Kesehatan sejak tahun 80 -an menetapkan kebijakan bahwa 10 % kapasitas tempat tidur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dialokasikan untuk pasien ketergantungan NAPZA. Dalam beberapa tahun terakhir hampir semua RSJ mengembangkan pelayanan NAPZA. RSJ Provinsi Bali merupakan salah satu tempat rehabilitasi penyalahguna NAPZA di Bali. Perawatan Rehabilitasi di tempatkan di ruang perawatan Dharmawangsa dengan kapasitas 30 orang. Menurut dr. Gede Yudhi K, SpKJ, M.Biomed selaku penanggungjawab program rehabilitasi penyalahguna NAPZA di RSJ Bangli, program rawat inap rehabilitasi menggunakan teknik modifikasi TC dan konseling personal, berlangsung selama 3 – 6 bulan. Dua minggu pertama dilakukan proses detoksifikasi medis, dilanjutkan dengan program rehabilitasi sosial.

(31)

Alur pelayanan rehabilitasi penyalahguna NAPZA meliputi : asesmen awal yang dilakukan oleh asessor. Proses dilanjutkan dengan identifikasi permasalahan yang dihadapi oleh penyalahguna NAPZA oleh konselor. Konselor dapat merujuk residen ( sebutan bagi penyalahguna NAPZA ) ke psikolog, psikiater atau bidang medis lain sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing residen. Residen akan lebih banyak dikelola oleh konselor dalam proses rehabilitasi.

Setelah 3 bulan menjalani proses rehabilitasi, tim Rehabilitasi ( Konselor, Manager Program, Running Program, Psikiater ) akan melakukan asesmen ulang untuk menentukan residen yang bersangkutan bisa dilakukan perawatan aftercare atau masih memerlukan perawatan inap kembali. Perawatan aftercare residen dilakukan di Rumah Damping milik BNN provinsi Bali.

2.3.4 Rumah Sakit Ketergantungan Obat ( RSKO) Jakarta

RSKO beralamat di Jl. Lapangan Tembak No.75 Cibubur Jakarta Timur, secara resmi mulai beroperasi pada tanggal 12 April 1972 sebagai upaya memenuhi kebutuhan masyarakat luas akan adanya rumah sakit pemerintah yang secara khusus memberikan layanan kesehatan di bidang gangguan penyalahgunaan NAPZA. Pelayanan yang ada di RSKO antara lain : pelayanan rawat jalan non rumatan, program rawat jalan rumatan Metadone, pelayanan rawat inap, dan pelayanan penunjang.

Pelayanan unggulan di RSKO Jakarta :

(32)

1. Pelayanan NAPZA komprehensif : penerimaan awal (intial intake), detoksifikasi, rehabilitasi pelayanan untuk komplikasi medik, pelayanan diagnosis ganda dan terapi rumatan metadon dan bufrenorfin.

2. Sebagai pengampu layanan program rumatan metadon/suboxone.

3. Memberi pelatihan dan pendidikan dari berbagai profesi di bidang pelayanan ketergantungan NAPZA.

4. Menjadi bagian dari jejaring dunia melalui kolaborasi badan dunia (WHO, UNODS, UNAIDS) menyusun pedoman terapi dan pelatihan serta modulnya untuk kepentingan internasional, regional dan nasional.

5. Menjadi narasumber bagi pelatihan, pelayanan, dan penyusunan perencanaan terapi ketergantungan NAPZA dan HIV/AIDS.

6. Menjadi bagian jejaring pelayanan kesehatan HIV/AIDS dalam promosi, prevensi, terapi, dan penelitian (RSKO, 2018).

2.3.5.Rehabilitasi Berbasis Masyarakat ( RBM)

Menurut Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Korban Penyalahguna NAPZA Departemen Sosial RI, 2009, RBM merupakan kegiatan terpadu untuk menangani korban NAPZA dan HIV/AIDS di masing-masing wilayah dengan mendayagunakan partisipasi masyarakat setempat (Kompas, 2013). Beberapa RBM yang ada di Bali antara lain:

a. Yayasan Kasih Kita ( Yakita )

(33)

Yakita merupakan salah satu RBM di provinsi Bali yang berlokasi di jalan Mohammad Yamin IX no. 9A Denpasar Bali. Menurut Dudi, Manager Program Rehabilitasi, Yakita resmi merupakan IPWL pada tahun 2012.

Yakita memberikan pelayanan rawat inap bagi penyalahguna NAPZA yang datang untuk rehabilitasi, mempunyai kapasitas 15 orang. Pelayanan rehabilitasi meliputi asesmen, pemeriksaan penunjang, konseling personal, peer support group dan terapi vocasional dan terapi psikososial lainnya selama 3 bulan. Satu bulan pertama perawatan, penyalaguna NAPZA tidak diperkenankan untuk bertemu dengan keluarga, menggunakan alat komunikasi ataupun membawa uang.

b. Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba)

Yakeba merupakan salah satu organisasi berbasis masyarakat yang fokus pada bidang masalah kesehatan. Yakeba didirikan pada bulan April 1999 oleh seorang penduduk Australia bernama Bob Monkhouse. Ide awal pembentukan organisasi ini adalah untuk membantu orang yang menderita kecanduan di Bali, baik kecanduan NAPZA dan alkohol dengan menyediakan tempat bagi mereka untuk menjalani rehabilitasi. Sejak tahun 2000 Yakeba telah menjalankan beberapa program, antara lain (Yakeba, 2011) :

1. Program pengurangan bahaya di antara pengguna NAPZA suntik.

2. Program Rehabilitasi untuk Pengguna NAPZA.

(34)

3. Program Kesadaran di antara Mahasiswa dan Publik.

4. Program Dukungan Peer Group untuk pengguna NAPZA.

5. Konseling dan Pengujian Sukarela (VCT).

6. Keterampilan kejuruan untuk mantan pengguna NAPZA.

BAB III RINGKASAN

(35)

Rehabilitasi narkoba merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan para pengguna dari belenggu narkoba. Para pengguna narkoba itu tidak lagi ditempatkan sebagai pelaku tindak pidana atau kriminal. Merujuk pada Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang NAPZA dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu NAPZA, maka pecandu/pengguna serta korban penyalahgunaan NAPZA wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Proses rehabilitasi penyalahguna NAPZA memerlukan tempat dan pelayanan yang memadai sesuai dengan prosedur rehabilitasi untuk tercapainya tujuan rehabilitasi.

(36)

31

DAFTAR PUSTAKA

BeritaSatu, 2016. [Online]

Available at: http://www.beritasatu.com/hukum/372133-ratusan-pecandu-narkoba-di- bali-jalani-rehabilitasi.html

[Accessed 7 April 2018].

BNN, 2015. Badan Narkotika Nasional. [Online]

Available at: http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/04/02/354/ulasan- tentang-ganja

[Accessed 13 Juni 2017].

BNN, 2015. portal Badan Narkotika Nasional. [Online]

Available at:

http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/2014/08/19/Jurnal_Data_P4GN_2013_Edi si_2014_Oke.pdf

[Accessed 13 Juni 2017].

BNN, 2018. babesrehab-bnn.info. [Online]

Available at: http://www.babesrehab-bnn.info/index.php/pelayanan/rehabilitasi-sosial [Accessed 20 4 2018].

BNN, 2018. BNN Bali. [Online]

Available at: http://bali.bnn.go.id/konsultasi-rehabilitasi/

[Accessed 8 4 2018].

BNNP, B., 2017. http://bali.bnn.go.id. [Online]

Available at: http://bali.bnn.go.id/uncategorized/ka-bnnp-bali-membuka-program- rumah-damping-tahap-pertama-pasca-rehabilitasi-di-tahun-2017/

[Accessed 9 April 2018].

Depkes, 2000. Pedoman Terapi Pasien Ketergantungan Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Husin, A. B. & Siste, K., 2013. Gangguan Penggunaan Zat. In: S. D. Elvira & G.

Hadisukanto, eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, p. 143.

Kemenkes, 2011. Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA. In: Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

421/Menkes/SK/III/2010. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan RI, pp. 38-59.

(37)

Kemenkes, 2012. Pedoman Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan NAPZA. In: Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan RI, pp. 7- 16.

KementrianKesehatan, 2013. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa KemeModul Asesmen Dan Rencana Terapi Gangguan Penggunaan Napza Edisi Revisi 2013..

Jakarta: s.n.

Kompas,2013.[Online]

Available at:

https://regional.kompas.com/read/2013/03/07/03184385/Pengguna.Narkoba.di.Kalan gan.Remaja.Meningkat

[Accessed 7 4 2018].

LensaIndonesia, 2013. lensaindonesia.com. [Online]

Available at: https://www.lensaindonesia.com/2013/07/24/rumah-dampingan-miliki- program-profesional-terstruktur.html

[Accessed 9 April 2018].

RSKO, 2018. rskojakarta.com. [Online]

Available at: http://rskojakarta.com/direktori/halaman/sejarah [Accessed 23 April 2018].

Sadock, B. J., Sadock, V. A. & Ruiz, P., 2015. Substance Use and Addictive Disorders. In: C. S. Pataki & N. Sussman, eds. Synopsis Of Psychiatry : Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry. New York: Wolters Kluwer, p. 644.

SEMA, 2010. bawas.mahkamahagung.go.id. [Online]

Available at: http://bawas.mahkamahagung.go.id/bawas_doc/doc/sema_04_2010.pdf [Accessed 20 April 2018].

Yakeba, 2011. yakeba.org. [Online]

Available at: https://yakeba.org/profile/?lang=id

[Accessed 23 April 2018].

(38)
(39)

Gambar

Tabel 1. Alur layanan Rehabilitasi BNN

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa perangkat pembelajaran fisika materi suhu dan kalor terintegrasi thermoregulasi pada manusia adalah sangat praktis digunakan Data

Persyaratan K3 untuk ruang terbatas (Confined Space) adalah sebagai berikut: Persyaratan Umum (1) Pengurus wajib melakukan identifikasi dan evaluasi terhadap tempat

Ketika Suction Valve tidak kedap segera memberitahukan pihak perusahaan agar dilakukan upaya perbaikan atau pada saat akan memulai bongkar maupun memuat dicek kembali apakah semuanya

Perancangan perangkat lunak yang dijelaskan adalah perangkat lunak mikrokontroler Wemos D1 MIni, serta pengolahan data dari sensor DHT22 dan sensor BMP180 untuk ditampilkan pada

Dalam perencanaan abutment jembatan data-data tanah yang dibutuhkan berupa data-data sudut geser, kohesi dan berat jenis tanah yang digunakan untuk menghitung tekanan tanah

5 Teknik ini digunakan untuk menggali data tentang penggunaan etnomatematika pada materi bilangan pecahan di kelas IV A SDN Kebun Bunga 5 Banjarmasin serta untuk

a) Penilaian bagi bahagian penerbitan adalah berdasarkan penilaian secara sumatif iaitu hasil penerbitan dinilai mulai calon mendapat kelayakan sarjana/Ph.D dan