BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. TINJAUAN PUSTAKA
Masa anal berhubungan pula dengan soal kebersihan, keteraturan atau kerapihan yang ingin di terapkan orangtua kepada anak. Anak bukan lagi pribadi yang sepenuhnya pasif, melainkan ia mulai mau menentukan sendiri.
Dari sudut perkembangan sosialnya, anak mulai biasa melakukan sendiri beberapa aktifitasnya yang tadinya harus dilakukan orang lain (Badan Kependudukan Keluarga Berencana, 2014).
1. Toilet training
a. Definisi Toilet training
Toilet training adalah upaya pelatihan kontrol BAK dan BAB
anak yang masing-masing dilakukan oleh sistem perkemihan dan defekasi. Seorang anak dikatakan sedang menjalani toilet training bila:
datang ke toilet saat ingin BAK dan BAB, membuka pakaian
seperlunya, melakukan miksi atau defekasi, membersihkan kembali
dirinya,dan memakai kembali pakaian yang dilepaskan. Penguasaan
anak terhadap kemampuan miksi dan defekasi terkontrol ini bisa
simultan maupun berkala/bertahap. Kontrol perkemihan biasanya lebih
mudah dilakukan siang hari, sedangkan pada malam hari sering terjadi
kegagalan. Kegagalan ini akan terkompensasi setelah beberapa tahun
toilet training dilakukan dalam dua minggu sampai dua bulan (Schimtt,
2006).
Toilet training adalah suatu usaha melatih anak agar mampu
mengontrol dalam melakukan buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) (Hidayat, 2008). Toilet training merupakan proses pengajaran untuk mengontrol buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) secara benar dan teratur (Zaivera, 2008).
b. Tujuan Toilet Training
Tujuan dari pengajaran toilet training adalah mengajarkan kepada anak untuk mengontrol keinginan BAK dan BAB. Hal ini berhubungan dengan perkembangan sosial anak dimana ia dituntut secara sosial untuk menjaga kebersihan diri dan melakukan BAB atau BAK pada tempatnya,yaitu toilet (Warga, 2007)
c. Keuntungan Dilakukannya Toilet Training
Toilet training dapat menimbulkan kemampuan anak dalam
mengontrol miksi dan defekasi. Seorang anak yang telah berhasil menjalani toilet training memiliki kemampuan mengunakan toilet pada saat ingin BAB atau BAK. Selain itu keuntungan pelaksanaan toilet training pada anak adalah
1. Toilet training menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara
nyata sebab anak sudah bisa melakukan sendiri hal-hal seperti BAB
atau BAK.
2. Toilet training membuat anak dapat mengetahui bagian-bagian tubuh serta fungsinya (Warga, 2007).
d. Cara Pelaksanaan Toilet Training
Proses toilet training harus dilakukan dengan cara menawarkan bantuan, tetap sabar dan menciptakan keadaan yang menyenangkan.
Hindari timbulnya perasaan tertekan pada anak jangan berikan hukuman jika gagal. Anak harus merasakan dirinya mampu melakukan BAB atau BAK dan bisa mengendalikannya (Warga, 2007).
Pelaksanaan toilet training dilakukan teknik sebagai berikut : 1. Teknik Lisan
Usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan intruksi berupa kata-kata sebelum dan sesudah BAK dan BAB. Cara ini harus dilakukan dengan benar sehingga mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan unutuk BAB atau BAK. Kemampuan anak melakukan BAB atau BAK memerlukan kesiapan psikologis yang matang.
2. Teknik Modelling
Usaha untuk melatih anak dalam melakukan BAB dan BAK dengan
cara memberikan contoh dan meminta anak menirukannya. Selain itu
juga dapat dilakukan dengan membiasakan anak BAB atau BAK
dengan cara mengajaknya ketoilet. Dalam memberikan contoh dan
meminta orangtua harus melakukannya dengan benar. Selain itu
perlu diperhatikan ketepatan waktu saat memberikan contoh toilet
training, serta mengkondusifkan suasana dengan memberikan pujian
saat anak berhasil dan tidak marah saat gagal melakukan BAB atau BAK dengan benar (Warga, 2007).
e. Faktor Pendukung Toilet Training
Seorang anak mungkin akan kesulitan untuk memahami cara menggunakan perkakas toilet pada awal toilet training. Oleh karena itu, apabila dilakukan pengalihan dari penggunaan popok kepenggunaan toilet, terlebih dahulu dilakukan dengan alat bantu berupa toilet mini (Gilbert, 2006)
Beberapa faktor pendukung Toilet training Adalah:
1. Peragakan cara penggunaan toilet.Kemudian anak dibiasakan untuk duduk di toilet dengan mengunakan popok saat akan BAB atau BAK.Sehingga setelah tiba waktunya untuk mengunakan toilet,anak sudah mengenal toilet dan cukup paham mengenai cara penggunaannya.
2. Sesuaikan ukuran toilet. Ukuran toilet yang biasanya ada di rumah dan tempat-tempat lain adalah ukuran yang disesuaikan berdasarkan tinggi dan berat badan orang dewasa. Maka ada kecenderungan bahwa toilet berukuran jauh lebih besar dari yang dibutuhkan anak.
Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan meletakan
penyangga, kursi toilet, maupun menganti dudukan toilet menjadi
ukuran yang sesuai dengan anak.
3. Gunakan kursi toilet. Kursi atau bangku toilet digunakan sebagai panjatan anak menuju toilet yang tinggi dan sebagai pijakan saat duduk ditoilet. Hal ini menjaga keamanan anak jika sedang tidak diawasi dan perasaan mengendalikan diri sendiri yang dimiliki seorang anak.
4. Jaga kebersihan. Untuk menjaga keseimbangan saat BAB atu BAK, ada kemungkinan seorang anak akan menggunakan tangannya sebagai tumpuan pada toilet. Maka dalam hal ini, toilet harus dibersihkan terlebih dahulu dengan mengunakan cairan antikuman.
Selain itu anak harus dibiasakan untuk mencuci tangan dan berdiri dengan pijakan bangku.
5. Jangan paksakan pelatihan pada anak jika anak belum siap atau masih ketakutan menghadapi toilet. Hal ini akan berakibat pada tidak optimalnya pelatihan toilet tersebut. Pada keadaaan ini, gunakan toilet mini sebagai alternatif pilihan.
Dalam rangka memudahkan anak untuk belajar, maka dibutuhkan beberapa intervensi. Untuk pelaksanaan toilet training yang optimal maka diperlukan:
a. Membeli peralatan yang dibutuhkan.
b. Kursi atau papan toilet yang digunakan untuk tempat naik dan
anak menyangga kaki anak saat sedang BAB/BAK. Hal ini akan
menjaga anak tetap menjejakkan kaki kelantai sehingga
menimbulkan kepercayaan diri anak dan perasaan aman. Selain
itu, alat ini juga memungkinkan anak untuk turun sendiri tanpa bantuan.
c. Makanan atau cemilan kesukaan anak untuk dijadikan hadiah atas keberhasilannya BAB atau BAK ditoilet.
d. Diagram atau tabel pelaksanaan toilet training, serta penanda jumlah keberhasilan.
e. Membuat posisi anak pada kursi toilet senyaman mungkin seperti yang diinginkan. Untuk mengoptimalkan toilet training, maka sebaiknya kursi yang di gunakan sudah familiar bagi anak. Hal ini akan membantunya beradaptasi saat dihadapkan dengan toilet yang sebenarnya atau aktual.
f. Rangsangan anak untuk bergerak cepat menuju toilet. Lakukan rangsangan gerakan cepat berupaya berlari saat anak menujukan tanda-tanda ingin BAB atau BAK. Semangati anak dengan kata- kata ataupun kalimat yang dimengerti olehnya. Biarkan anak bergerak sesuka hatinya saat ditoilet dan jangan paksakan anak untuk tetap berada di toilet. Hindari penggunaan tenaga dan kekerasan untuk mempertahankan keberhasilan. Meskipun anak kelihatan menyenangi toiletnya, usahakan agar kegiatan selesai dalam 5 menit dan keluarkan anak dari toilet.
g. Berikan selamat ataupun hadiah jika anak mampu menyelesaikan
BAB atau BAK dengan baik. Setiap keberhasilan dan pencapaian
dalam pelatihan toilet ini sebaiknya diberikan penghargaan
ataupun hadiah. Bisa dengan ciuman dan pelukan, maupun dengan memberikan makanan atau cemilan tertentu. Pencapaian- pencapaian besar seperti mampu melaksanakan keseluruhan rangkaian rangkaian BAB atau BAK ditoilet tanpa bantuan dan atas kesadaran sendiri, bisa diberikan hadiah yang lebih bermakna (Hidayat, 2007).
h. Apabila anak gagal menuntaskan BAB atau BAK dengan baik sehingga celananya basah atau kotor, maka lakukan peringatan secara verbal dengan menggunakan kalimat yang suportif dan persuasif. Hindari penggunaan intervensi kekuatan dan fisik, kata- kata kasar,dan teriakan karena akan membuat anak merasa gagal dan bisa menjadi tidak kooperatif. Jangan berlama–lama membiarkan anak dalam keadaan kotor atau basah.
i. Apabila anak sudah mampu menggunakan toilet dengan baik dan cukup kooperatif dalam pelaksanaannya, penggunaan popok bisa diganti dengan celana dalam. Hal ini akan membantu mempercepat kesuksesan pelatihan, Popok hanya digunakan dimalam hari atau saat tidur.
1. Pelatihan dianggap sukses dan memadai jika anak telah
mampu pergi ke toilet atas inisiatif sendiri dan mampu
menyelesaikan dengan baik. Pelatihan ini dilakukan selama 2
minggu sampai 2 bulan. Semakin lama pelatihan berlangsung,
upaya 3 dan 4 dapat dikurangi (Schmitt, 2006)
2. Toilet training merupakan suatu peralihan atau perubahan dari penggunaan popok menjadi penggunaan toilet pada seorang anak. Diantara kedua fase ini, ada sebuah cara alternatif yang bisa di gunakan untuk memudahkan proses toilet training, yaitu penggunaan toilet mini. Toilet mini adalah peralatan yang disiapkan untuk tempat membuang BAB atau BAK anak yang bersifat portable (bisa dipindahkan). Prinsip penggunaan toilet taining adalah untuk memperpendek jarak yang harus
ditempuh seorang anak untuk melakukan BAB atau BAK (Gilbert, 2006)
f. Faktor Pendorong Toilet Training
Faktor yang menjadi pendorong dalam toilet training adalah 1. Ayah/kakak laki-laki.
Ayah/kakak laki-laki memberi contoh buang air besar atau kecil pada anak/adik laki-laki.
2. Ibu/kakak perempuan.
Ibu/kakak perempuan memberi contoh buang air besar dan buang air kecil pada anak/adik perempuan.
3. Peranan Keluarga
Keluarga merupakan tempat yang pertama dan utama yang
memegang peranan besar dalam keberhasilan untuk mengenalkan
dan mengajarkan kepada anak supaya memiliki kemampuan dalam
toilet training. Kita menyadari bahwasannya akan sangat sulit dan
membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat mengajarkan dan melatih anak supaya dapat memahami dan mampu untuk melaksanakan toilet training dengan baik, apalagi kita mengajarkan dan menerapkan pada anak-anak.
Berdasarkan uraian diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang menjadi pendorong dalam praktik toilet training adalah orangtua dan keluarga disebabkan anak 18-24 bulan lebih cepat untuk meniru seseorang (Zaviera, 2008).
g. Faktor Penghambat Toilet Training
Menurut Government of South Australia (2006) faktor yang menghambat pelatihan toilet adalah sebagai berikut :
1. Upaya toilet training dilakukan terlalu dini.
2. Orangtua telah menetapkan standar waktu pelaksanaan tanpa memperhatikan perkembangan anak.
3. Tekanan dari lingkungan atau orang lain untuk memaksakan pelatihan.
4. Orangtua atau pengasuh berpendapat bahwa anak harus mengalami toilet training sesegera mungkin untuk membuktikan keberhasilan
pendidikan dan menunjukan keunggulan si anak.
5. Perselisihan antara anak dan orangtua dalam menjalani toilet training.
6. Memberikan hukuman pada anak yang gagal dalam menyelesaikan
proses BAB atau BAK di toilet dengan baik.
7. Adanya faktor stress pada kehidupan anak.
8. Adanya gangguan fisik atau organik pada anak, misalnya kerusakan sistem pencernaan sehinga menyebabkan gangguan fisiologis berkemih dan defekasi. Hal ini tampak apabila anak terlalu sering BAB atau BAK, BAB atau BAK mengandung darah, ataupun nyeri saat berkemih atau atau defekasi.
Sedangkan menurut DeBord (2007), penghambat dalam toilet training adalah sebagai berikut:
a. Memaksakan anak untuk duduk di toilet.
b. Bereaksi terlalu keras terhadap kesalahan anak.
c. Menggunakan obat-obatan untuk mempercepat BAB atau BAK.
h. Aspek Psikologis Toilet Training
Menurut Freud (1923 ) dalam Papalia (2006), toilet training dilakukan pada masa anal perkembangan psikologis anak. Banyak psikolog terkemuka yang berpendapat bahwa fase anal merupakan salah satu fase penting perkembangan psikologis seseorang. Dalam fase ini anak pertama kali dihadapkan pada kondisi dimana keadaan fisiologis dan biologis tubuhnya harus disesuaikan dengan faktor
lingkungan dan sosial. Fase ini merupakan fase yang tepat untuk
mengajarkan anak untuk menahan kebutuhan biologis misalnya BAB
atau BAK. Hal ini penting untuk menyesuaikan perkembangan dengan
faktor lingkungan, yaitu menjaga kebersihan dan faktor sosial, yaitu
pengajaran orangtua dan pengasuh.
Usia 18 bulan sampai 24 bulan merupakan saat dimana anak mengalami normal autonomy versus shame and doubt, yaitu mulai mengetahui tentang kapabilitas dirinya dan membentuk zona pribadi miliknya. Mereka ingin memilih apa yang dilakukan dan didapatkan sendiri. Konflik akan terselesaikan jika orangtua mampu memberikan arahan yang baik dan pilihan-pilihan bijak. Freud (1923) dalam papalia (2006) mengidentifikasikan toilet training sebagai salah satu momen yang menentukan kesehatan psikologis seseorang pada fase perkembangan ini. Perilaku orangtua saat pelatihan mempengaruhi aspek ini. Seorang anak berusia dua tahun, seharusnya sudah mampu menjalani toilet training, makan dengan mengunakan sendok dan merapikan mainannya setelah bermain. Peran orangtua dalam pelatihan hanya mengontrol dan memberikan dukungan saja. Hal ini akan mengembangkan kemampuan toleransi diri dan pengertian. Menurut Erikson (1992) dalam Berk (2008), orangtua yang terlalu ikut campur dalam perkembangan kemampuan anaknya akan membuat anak kehilangan beberapa momen yang menentukan aspek-aspek hidupnya.
Anak bisa berkembang menjadi pribadi yang penakut, pemalu, tidak
mampu menentukan pilihan, merasa tertekan dan tidak mampu
mengendalikan diri.
i. Beberapa Hal yang Perlu Diperhatikan selama Toilet Training 1. Hindari pemakaian popok sekali pakai dimana anak akan merasa
aman.
2. Ajarkan anak mengucapkan kata-kata yang khas yang berhubungan dengan buang air besar dan buang air kecil.
3. Mendorong anak melakukan rutinitas kekamar mandi seperti cuci muka saat bangun tidur, cuci tangan, cuci kaki, dan lain-lain.
4. Jangan memarahi bila anak gagal dalam melakukan toilet training.
j . Permasalahan Pada Kegagalan Toilet training
Kegagalan pada toilet training akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. Enkoperesis, yaitu gangguan pengeluaran feses pada tempat yang tidak sesuai (bukan toilet) dan terjadi berulang kali (Weadow, 2006).
2. Enuresis, yaitu gangguan mengompol (pengeluaran urin bukan pada tempatnnya) pada anak tanpa kelainan fisik dan usia yang sudah tepat untuk diajarkan toilet training (Gelfand, 2006).
2. Pengetahuan Ibu terhadap Pelaksanaan Toilet Training
Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Terjadinya pengetahuan adalah setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui, panca indra manusia, yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasadan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran,
yakni mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif adalah domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.
Melalui pengalaman dan penelitian diketahui bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang tidak didasari pengetahuan (Rogers, 1997 dalam Notoatmodjo, 2007)
Pengetahuan, dalam domain kognitif memiliki enam tingkatan yaitu : a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai pengingatan terhadap sebuah misteri yang sebelumnya sudah dipelajari. Termasuk dalam tingkat ini adalah kemampuan untuk recall atau mengingat kembali sesuatu hal spesifik dari pelajaran terdahulu. Pengukuran tercapainya kualitas pengetahuan ini adalah dengan menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang di ketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi, maka harus bisa menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang di pelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah di pelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi
disini diartikan sebagai pengunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya, dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen–komponen, tetapi masih ada sebuah struktur pengorganisasian dan masih ada kaitan satu sama lainnya. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e. Sintesis (Syntesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu hal baru dari hal yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
f. Evaluasi ( Evaluation )
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pekerjaan atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian–penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilaksanakan dengan wawancara
atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin di ukur dari
subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan diatas (Notoatmodjo, 2007)
Pengetahuan sebagai bagian dari perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu:
1. Faktor predisposisi (predisposing factor)
Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat, tradisi dan kepercayaan masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Untuk berperilaku kesehatan, misalnya menjaga kesehatan ibu hamil, diperlukan pengetahuan dan kesadaran tentang manfaat. Disamping itu kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong dan menghambat perilaku. Faktor–faktor ini terutama yang positif dapat mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering pula disebut dengan faktor pemudah.
2. Faktor Pemungkin (enabling faktor)
Faktor ini mencangkup ketersediaan sarana dan prasarana atau
fasilitas untuk tercapainya perilaku, misalnya perilaku kesehatan
masyarakat. Contohnya adalah ketersediaan air bersih, tempat
pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan
makanan bergizi, dan sebagainya. Termasuk pula didalam hal ini
fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga medis. Untuk berperilaku
sehat, masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana mendukung
yang memadai. Seseorang yang melakukan perilaku sehat bukan
hanya karena kesadaran dan pengetahuan, melainkan juga karena ketersediaan fasilitas. Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.
3. Faktor penguat (reinforcing faktor)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas, termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga undang-undang, peraturan, baik dari pusat maupun dari Perda. Selain kesadaran dan pengetahuan yang didukung oleh fasilitas yang memadai, seseorang dalam berperilaku juga membutuhkan perilaku contoh (acuan) dari tokoh-tokoh lain.
Selain itu peraturan dan undang-undang juga memperkuat keberadaan suatu perilaku. Oleh sebab itu, intervensi pendidikan hendaknya dimulai dengan memperhitungkan ketiga faktor tersebut, kemudian intervensinya diarahkan pula pada ketiga faktornya tersebut.
Pendekatan ini disebut dengan model Precede, yaitu predisposing, reinforcingand enabling cause in educational diagnosis and evaluation
(Notoatmodjo, 2007).
Dengan demikian peranan ibu sangat penting dalam toilet training,
karena itu ibu dituntut mempunyai pengetahuan tentang pertumbuhan dan
perkembangan anak salah satunya adalah mengajarkan anak untuk buang
air besar dan buang air kecil. Hal ini dapat dimulai dengan memberikan
intruksi pada anak dengan kata-kata sebelum dan sesudah buang air kecil dan buang air besar cara yang lain adalah ibu dapat memberikan contoh buang air besar dan buang air kecil pada anak dengan benar. Resiko dari cara ini apabila contoh yang diberikan salah sehingga akan dapat diperlihatkan saat anak juga mempunyai kebiasaan yang salah (Hidayat, 2005).
3. Sikap Orang Tua terhadap Pelaksanaan Toilet Training
Sikap adalah reaksi tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukan konotasi ada kesesuaian reaksi stimulus tertentu. Kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap menggambarkan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri ataupun dari orang lain (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Azwar (2005), struktur pembentuk sikap terdiri atas tiga
komponen yang saling menunjang yaitu komponen kognitif (cognitive)
yang berisi kepercayaan seseorang, komponen afektif (affective) yang
menyangkut masalah emosional subjektif seseorang dan komponen konatif
(konative) yang menunjukan bagaimana perilaku atau kecenderungan
berprilaku dalam diri seseorang. Sikap membuat seseorang mendekati atau
menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap terhadap nilai-nilai kesehatan
tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata. Sikap masyarakat
terhadap kesehatan juga dipengaruhi oleh tradisi dan kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan sistem nilai
yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi. Sikap juga perlu dalam latihan buang air. Sikap dibagi 2:
a. Sikap tegas
Orangtua harus bersikap tegas saat memberi pengajaran tidak sedikit orangtua kebingungan, merasa sudah berupaya dengan berbagai cara tetapi tetap tidak ada perubahan yang berarti. Salah satu penyebab ketidak berhasilan karena orang tua bersikap inkonsisten.
b. Sikap kompromi
Selain sikap tegas orangtua dituntut untuk bersikap kompromi, jadi bukan pada semua aktivitas. Orangtua bersikap ketat artinya orangtua perlu memilih-milih yang perlu pengawasan ketat dan tidak. Selain itu wajib menumbuhkan dalam diri anak tentang pemahaman atau pengetahuan yang boleh dalam melakukan sesuatu.
Persepsi orangtua tentang toilet training yang baik akan menumbuhkan keyakinan dan akan membentuk sikap yang baik pula terhadap toilet training. (Nurfaidah, 2009).
Penerapan toilet training pada anak oleh orangtua dipengaruhi oleh
banyak faktor salah satunya adalah pendidikan dan persepsi berpengaruh
pada sikap toilet training pada anak. Kesiapan orangtua mengajari anak
dan pola asuh juga penting dalam mempengaruhi keberhasilan program
toilet training (Supartini,2004).
Menurut Friedman (1998) dalam Prasetiawati (2011), keluarga memberikan empat macam dukungan dalam mengajarkan toilet training pada anak yaitu :
a) Dukungan informatif
Orangtua akan memberikan nasihat, saran, pengetahuan, dan informasi serta petunjuk bagi anak.
b) Dukungan penilaian
Orangtua memberikan suport, penghargaan dan perhatiannya kepada anak.
c) Dukungan instrumental
Orangtua mendukung anak dalam memberikan bantuan secara langsung, bersifat fasilitas atau materi misalnya menyediakan fasilitas yang diperlukan anak, selain itu anak akan merasa bahwa masih ada perhatian atau kepedulian dari lingkungan terhadapnya.
d) Dukungan emosional
Orangtua memberikan kepercayaan, perhatian, dan mendengarkan serta didengarkan apakah anak merasa nyaman atau tidak.
Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan orangtua dalam
memberikan bimbingan toilet training pada anak antara lain pengetahuan,
pola asuh, serta motivasi atau dukungan stimulasi dari orangtua (Budi,
2003 dan Subagio, 2010). Kesiapan orangtua mengajari anak dan pola
asuh juga penting dalam mempengaruhi keberhasilan program toilet
training (Supartini, 2004)
4. Kesiapan Anak Terhadap Pelaksanaan Toilet Training
Menurut Wong (2008) kesuksesan toilet training tergantung pada kesiapan yang ada pada diri anak tersebut.
a. Kesiapan pada diri anak meliputi : 1. Kesiapan fisik
a) Usia telah mencapai 18-24bulan.
b) Mampu tidak mengompol selama 2 jam.
c) Mempunyai kemampuan motorik kasar seperti duduk dan berjalan.
d) Mempunyai kemampuan motorik halus seperti membuka celana dan pakaian.
2. Kesiapan mental
a) Dapat duduk dengan tenang kurang lebih 2-5 menit.
b) Merasa tidak nyaman menggunakan popok yang terasa basah dan kotor.
c) Keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan meniru perilaku orang lain
3. Kesiapan psikologis
a) Dapat berdiri dan jongkok di toilet selama 5–10 menit
b) Mempunyai rasa ingin tahu dan penasaran terhadap kebiasaan orang dewasa dalam BAK dan BAB.
c) Merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat
dicelana dan ingin segera di ganti.
b. Beberapa tanda anak sudah siap belajar toilet training (anonim, 2008) 1. Anak mampu meniru dan menunjukan rasa tertarik untuk belajar,
misalnya mengikuti ibu kekamar mandi.
2. Anak mampu mengembalikan benda–benda ketempatnya baik diminta ataupun tidak.
3. Anak mampu menunjukan tanda kemandirian dengan berkata tidak.
4. Anak sudah mampu berjalan dan duduk dengan baik.
5. Anak mampu menyampaikan rasa ingin buang air (kecil atau besar).
6. Anak mampu melepas dan mengenakan pakaian.
Apabila anak memahami arti BAB dan BAK sangat memudahkan proses dalam pengontrolan anak untuk mengetahui kapan saatnya harus BAK dan kapan saatnya BAB, kesiapan tersebut akan menjadikan diri anak selalu mempunyai kemandirian dalam mengontrol BAK dan BAB (Hidayat, 2005).
5. Pelaksanaan toilet training.
Pelaksanaan toilet training yang konsisten memerlukan perencanaan
yang juga disepakati seluruh pihak yang terlibat dalam pengasuhan anak,
seperti anggota keluarga besar atau petugas penitipan anak. Penting untuk
memperhatikan bagaimana perilaku dan temperamen anak, waktu dalam
sehari yang kira–kira tepat untuk mulai berkenalan dengan penggunaan
toilet, serta dukungan yang anak perlukan setiap saat.
Pelaksanaan toilet training meliputi:
a. Empat aspek dalam pra-toilet training yaitu:
1. Mengajarkan anak untuk menyebutkan istilah BAB dan BAK.
2. Memberi kesempatan melihat oranglain memakai toilet.
3. Mengajari anak mengganti celana jika selesai BAB atau BAK, Jangan memarahi atau mengomeli si anak pada saat BAB atau BAK di celana.
4. Mengajarkan anak menggunakan toilet bantu seperti toilet mini/kursi jamban.
b. Tahapan toilet training
1. Memberitahu ibu bila ingin BAB dan BAK.
2. Menurunkan dan menaikan celana pada saat BAB dan BAK.
3. Jongkok menggunakan toilet atau kursi jamban atau sejenisnya saat BAB atau BAK.
4. Membasuh atau cebok setelah BAB dan BAK.
5. Menyiram toilet setelah BAB dan BAK.
Pada waktu–waktu tertentu, sesekali anak akan masih buang air dicelana. Saat sedang sakit atau mengalami perubahan besar dalam hidup sehari–hari, kemajuan yang dicapai mungkin akan berkurang. Hal ini wajar terjadi, dan sikap terbaik adalah tetap mendukung seperti biasa.
Hindari reaksi berlebihan atau kemunduran kemampuannya apabila
keadaan kembali normal. Anak akan segera kembali pada kemampuan
yang sudah dicapainya.
Setelah buang air besar, jangan lupa melihat apakah kotoran yang dikeluarkan anak padat dan keras. Hal ini menyebabkan rasa sakit saat buang air dan menghambat proses belajar, karena anak akan menahan buang airnya. Ketika hal ini terjadi, perbanyak serat dalam asupan makanan anak serta minum air dalam jumlah yang cukup.
Hal yang perlu diingat ketika anak dalam proses toilet training adalah:
1. Biasakan mengenali isyarat ketika anak akan buang air, seperti ekspresi wajah, perilaku, atau posisi tertentu. Tanyakan apakah anak ingin ke toilet saat isyarat itu timbul.
2. Selalu berikan contoh, baik tentang cara duduk di toilet maupun dalam kebiasaan makan banyak serat.
3. Pada awal toilet training, anak laki–laki perlu belajar BAK dalam posisi duduk dulu. BAK langsung dalam posisi berdiri mungkin dapat menyulitkan proses belajar duduk di toilet untuk BAB. Anak laki–laki juga umumnya butuh waktu lebih lama dalam proses belajar ini.
4. Latihan buang air dapat dimulai satu kali sehari pada waktu yang sama, seperti setelah makan atau saat mandi, ketika anak tidak berpakaian.
5. Ketika anak sudah mulai belajar mengendalikan proses buang airnya,
anda dapat mengurangi pemakaian popok secara bertahap. Mulai
kenakan celana kain biasa pada siang hari ketika anak bangun dan
bermain. Kendali buang air saat tidur mungkin baru akan timbul
setahun setelah anak mampu menahan buang air di siang hari.
6. Ajari anak untuk buang air dimalam hari sebelum tidur. Apabila anak
masih sering buang air kecil dimalam hari, kemungkinan perlu
mengajaknya buang air ditengah malam satu kali lagi
B. Kerangka Teori
Skema 2.1 Kerangka teori (Hidayat, 2008) Keterangan :
Tidak diteliti Diteliti Tidak diteliti Diteliti
Faktor yang mempengaruhi toilet training:
1.Pengetahuan ibu 2. Sikap orangtua
3.Kesiapan anak
Faktor pendorong toilet training : 1.Ayah / kakak laki- laki
2. Ibu / kakak perempuan
Faktor pendukung toilet training : 1.Sarana WC atau toilet 2.Komunikasi
pelaksanaan toilet training pada anak usia 18-24 bulan Praktik toilet training
oleh ibu : 1. Praktek lisan 2. Praktek memberi
contoh
3. Praktek pengaturan jadwal
4. Praktek menggunakan alat bantu
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan abtraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal konsep hanya dapat diamati atau diukur melalui konstruksi atau yang lebih dikenal dengan nama variabel. Jadi variable adalah simbol atau lambang yang menujukan nilai atau bilangan dari konsep (Notoatmodjo, 2010).
Variabel independen Variabel dependent
Skema 2.2 Kerangka Konsep
D. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan belum menggunakan fakta. Oleh karena itu,setiap penelitian yang dilakukan memiliki suatu hipotesis atau jawaban sementara terhadap penelitian yang dilakukan, penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah hipotesis tersebut benar (Hidayat, 2008).
Pengetahuan Ibu
Sikap Orangtua
Kesiapan Anak
Pelaksanaan Toilet Training Pada Anak 18-24 bulan.