ASUHAN KEBIDANAN PADA AN. “B” UMUR 3 TAHUN DENGAN SINDROM NEFROTIK
Randiana Hoar1, Ardiyanti Hidayah2 12STIKes Husada Jombang
ABSTRAK
Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal terbanyak pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya proteinuria, hipoproteinemia, edema, dan hiperlipidemia. Sindrom nefrotik yang paling banyak dijumpai pada anak (usia 2-14 tahun) adalah sindrom nefrotik primer, yaitu jenis Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) (Kliegman RM, 2011; 1801-7). Menurut WHO, 2015 Insidens sindrom nefrotik adalah 2 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 kasus tiap 100.000 anak. Pada anak-anak berumur kurang dari 16 tahun paling sering ditemukan nefropati lesi minimal yaitu 75%-85% di mana 80% dari pasien berusia kurang dari 6 tahun dan saat diagnosis dibuat dengan umur rata-rata 2,5 tahun (WHO, 2016). Angka kejadian sindrom nefrotik di Indonesia tahun 2015 dilaporkan terdapat 6 per 100.000 anak per tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) terjadi pada 85-90% pasien di bawah usia 6 tahun. (Depkes RI, 2016). Angka kejadian sindrom nefrotik di Jatim tahun 2015 dilaporkan terdapat 3 per 100.000 anak per tahun. (Dinkes Jatim, 2016). Dari data yang diambil di Ruang Anak RSUD Jombang tercatat 1123 kasus pada bulan Januari sampai Maret 2017. Dengan angka kejadian : DHF 306 kasus (27,25%), bronkopnemonia 258 kasus (22,97%), typoid fever 149 kasus (13,27%), faringitis akut 118 kasus (10,51%), GEA 113 kasus (10,06%), talasemia 85 kasus (7,57%), morbili 35 kasus (3,12%), sindrom nefrotik 22 kasus (1,96%), asma bronkiale 19 (1,69%) dan lain-lain 18 kasus (1,60%). (Data Angka Kesakitan Anak RSUD Jombang Bulan Januari Sampai Maret 2017)
PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal terbanyak pada anak. Sindrom nefrotik adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya proteinuria, hipoproteinemia, edema, dan hiperlipidemia. Sindrom nefrotik yang paling banyak dijumpai pada anak (usia 2-14 tahun) adalah sindrom nefrotik primer, yaitu jenis Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) (Kliegman RM, 2011; 1801-7). Pada anak usia kurang dari 2 tahun, jenis sindrom nefrotik berkaitan dengan sindrom nefrotik kongenital, sedangkan anak usia lebih dari 14 tahun berkaitan dengan penyakit ginjal sekunder. Namun, pada umumnya klasifikasi yang sering digunakan adalah berdasarkan respon terapi terhadap steroid yaitu
Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid
(SNSS) dan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS). (Widajat,
2011; 252-9). Semua penyakit yang mengubah fungsi glomerulus sehingga mengakibatkan kebocoran protein (khususnya albumin) ke dalam ruang Bowman akan menyebabkan terjadinya sindrom ini. Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sitemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk. Pada tulisan ini hanya akan dibicarakan SN idiopatik.
Menurut WHO, 2015 Insidens sindrom nefrotik adalah 2 kasus per tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan angka prevalensi kumulatif 16 kasus tiap 100.000 anak. Pada anak-anak berumur kurang dari 16 tahun paling sering ditemukan nefropati lesi minimal yaitu 75%-85% di mana 80% dari pasien berusia kurang dari 6 tahun dan saat diagnosis dibuat dengan umur rata-rata 2,5 tahun (WHO, 2016). Angka kejadian sindrom nefrotik di Indonesia tahun 2015 dilaporkan terdapat 6 per 100.000 anak per tahun. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) terjadi pada 85-90% pasien di bawah usia 6 tahun. (Depkes RI,
2016). Angka kejadian sindrom nefrotik di Jatim tahun 2015 dilaporkan terdapat 3 per 100.000 anak per tahun. (Dinkes Jatim, 2016). Dari data yang diambil di Ruang Anak RSUD Jombang tercatat 1123 kasus pada bulan Januari sampai Maret 2017. Dengan angka kejadian : DHF 306 kasus (27,25%), bronkopnemonia 258 kasus (22,97%), typoid fever 149 kasus (13,27%), faringitis akut 118 kasus (10,51%), GEA 113 kasus (10,06%), talasemia 85 kasus (7,57%), morbili 35 kasus (3,12%), sindrom nefrotik 22 kasus (1,96%), asma bronkiale 19 (1,69%) dan lain-lain 18 kasus (1,60%). (Data Angka Kesakitan Anak RSUD Jombang Bulan Januari Sampai Maret 2017)
Sindrom nefrotik bisa digolongkan kepada 2 yaitu sindrom nefrotik primer atau idiopatik dan sindrom nefrotik sekunder. Pada sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui atau idiopatik dan sesuai dengan namanya, sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Sindrom nefrotik primer dibagi lagi menurut
gambaran histopatologik berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi International Study of
Kidney Diseases in Children, ISKDC
pada tahun 2011. Sindrom nefrotik sekunder pula ditimbulkan oleh berbagai penyakit misalnya penyakit metabolik seperti diabetes mellitus atau amiloidosis, infeksi seperti sifilis, malaria, atau hepatitis, penyakit sistemik bermediasi imunologik contohnya lupus eritematosus sistemik atau sarkoidosis, neoplasma, ataupun disebabkan bahan kimia atau efek samping dari obat-obatan. Manifestasi klinis dari sindrom nefrotik yang utama adalah protenuria. Pronteinuria akan menyebabkan manifestasi klinik lainnya, seperti edema,
hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia. Kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan manifestasi klinik selanjutnya yaitu edema yang akan berkaitan pula dengan kondisi berat badan anak dengan sindrom nefrotik tersebut (Noer, 2010). Komplikasi yang terjadi sindrom nefrotik antara lain : Penurunan volume intravakular (syok hipovolemik), Kemampuan koagulasi yang berlebihan
(thrombosis vena), Perburukan pernafasan (berhubungan dengan retensi cairan), Kerusakan kulit, Infeksi sekunder, trauma infeksi kulit, Peritonitis (berhubungan dengan asites), Efek samping steroid yang tidak diinginkan. (Noer, S, M, dkk, 2013; 16)
Saat ini pengobatan yang telah ada untuk anak dengan SN dinilai belum maksimal dan masih terus dicari penatalaksanaan terbaik. Penatalaksanaan SN dengan menggunakan kortikosteroid dan diet standar sebenarnya telah dapat memperbaiki kondisi klinis penderita SN, termasuk kondisi proteinuria dan hipoalbuminemia. Namun, peningkatan kadar albumin yang dicapai memerlukan waktu selama 4 minggu, yang dalam rentang waktu pengobatan tersebut, penderita SN
masih dalam keadaan
hipoalbuminemia. Hal ini akan mengakibatkan fungsi-fungsi vital yang diperankan oleh albumin dalam tubuh akan terganggu. Oleh karena itu selain terapi dengan steroid dan diet standar, diperlukan pula pemberian asupan protein tambahan untuk mempercepat peningkatan kadar albumin serum. (Wirya; 2009; 412). Kortikosteroid merupakan obat
pilihan utama pengobatan awal sindrom nefrotik walaupun terdapat obat-obat alternatif lain. Sindrom nefrotik dengan relaps berikutan waktu dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari sesudah pengobatan steroid dihentikan diklasifikasikan sebagai sindrom nefrotik sensitif steroid sementara sindrom nefrotik bila dengan dosis penuh sampai 4 minggu tidak remisi, maka penderita didiagnosis dengan sindrom nefrotik
resisten steroid (non responsif
steroid) dan harus diberi
imunosupresif non-steroid lain. Kebanyakan pasien mengalami relaps berulang atau multipel, sehingga berisiko mengalami efek samping akibat toksisitas steroid, infeksi sistemik, dan komplikasi lain. Sebagian kecil pasien dengan
sindrom nefrotik resisten steroid juga
berisiko mengalami efek samping yang sama seperti pada pasien
sindrom nefrotik sensitif steroid dan
dapat disertai komplikasi insufisiensi renal (Naoyuki et al. 2008).
Berdasarkan dari latar belakang dan data di atas maka penulis tertarik untuk menyusun Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Asuhan Kebidanan Pada An. “B” Umur 3 Tahun Dengan Sindrom
Nefrotik Di Ruang Anak RSUD Jombang”.
Berdasarkan permasalahan pada latar belakang yang ada, maka penulis dapat merumuskan masalah yaitu “Bagaimana melaksanakan Asuhan Kebidanan Pada An. “B” Umur 3 Tahun Dengan Sindrom Nefrotik Di Ruang Anak RSUD Jombang?”
Mampu menerapkan
gambaran yang nyata melalui pola pikir ilmiah dalam melaksanakan asuhan kebidanan sesuai teori dan praktek pada anak dengan sindrom nefrotik dengan menggunakan
manajemen SOAP serta
mendapatkan pengalaman secara nyata.
Manfaat temuan dari hasil karya tulis ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan (akademik) adalah dapat dimanfaatkan oleh ilmuwan lain dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seni serta diaplikasikan dalam asuhan keprofesian. (Nursalam, 2013: 209)
Metode penulisan yang digunakan penulis dalam penulisan karya tulis ilmiah adalah secara deskriptif yaitu metode penulisan dengan mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya mengenai faktor-faktor yang merupakan pendukung terhadap kualitas data, menganalisa dan kemudian di tulis dalam bentuk narasi (Hidayat, Aziz Alimul. 2009 : 2) yang dibuat berdasarkan keadaan situasi yang nyata dengan tujuan pemecahan masalah.
Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut : wawancara, pemeriksaan fisik, observasi, studi kepustakaan, studi dokumentasi
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, dalam pengambilan kasus dilakukan di Ruang Anak RSUD Jombang, tanggal 11 April 2017 pada jam 10.00 WIB
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini dibuat sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN, BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, BAB III TINJAUAN KASUS, BAB IV
PEMBAHASAN, BAB V
PENUTUP, DAFTAR PUSTAKA, LAMPIRAN
TINJAUAN PUSTAKA
Sindrom Nefrotik (SN) ialah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan
hiperkolesterolemia. (Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, 2012; 832) Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/ kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia. (Widajat, 2011; 252-9) Sindroma nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membrane glomerolus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinarius yang massif (Wong, Donna. L. 2013) Sindroma nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh adanya injury glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik proteinuria, hypoproteinuria, hypoalbuminemia, hyperlipidemia dan edema (Suriadi & Rita Yulianni, 2011). Sebab yang pasti belum diketahui. Akhir-akhir ini di anggap suatu penyakit auto immune. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-anti bodi. SN pada umumnya dapat muncul sejak pertama kehidupan, tetapi biasanya mulai dari umur 2 tahun, dan angka kejadian SN terbanyak pada anak
berumur antara 3 – 4 tahun dengan rasio lelaki dan perempuan 2 : 1. (Susalit, E, dkk; 2013; 67) Hal tersebut juga sesuai dengan kasus ini, penderita adalah seorang anak laki-laki berumur 3 tahun, anak tersebut juga pernah sakit seperti ini dan dirawat di RS saat berumur 2 tahun, kemudian sembuh dan sekarang kambuh lagi. Meningkatkan permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan hypoalbuminemia. Dengan menurunya albumin, tekanan osmotic plasma menurun sehingga cairan intravascular berpindah ke dalam interstisial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan intravascular berkurang sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hypovolemi. Menurunya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi dengan merangsang produksi rennin angiotensin dan peningkatan sekresi antidiuretik hormone (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi natrium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema. Terjadi
peningkatan cholesterol dan triglyceride serum akibat dari peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin atau penurunan ontotik plasma. Adanya hyperlipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi lipoprotein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein dan lemak akan banyak dalam urine (lipiduria). Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan di sebabkan oleh karena hypoalbunemia, hyperlipidemia atau difesiensi seng. Ada 2 hipotesis yang menjelaskan terjadinya retensi Natrium dan Edema pada sindrom nefrotik Hipotesis “UNDERFILL” Menurut hipotesis ini proteinuria masih menyebabkan terjadinya hipoalbuminemia dan tekanan onkotik plasma menurun. Cairan berpindah dari intravaskuler ke jaringan interstisial sehingga terjadi edema dan hipovolemia. Hipovolemia merangsang sistem saraf simpatis, sistem rennin-angiotensin-aldosteron (RAAS). Aldosteron akan mereabsorpsi garam dan air di tubulus ginjal, dengan tujuan menambah volume cairan intravaskular, tetapi karena tekanan
onkotik plasma tetap rendah maka cairan di kapiler akan berpindah lagi ke interstisial sehingga edema makin bertambah. Dalam proses ini akibat adanya hipovolemia juga terjadi perangsangan terhadap hormon antidiuretik (ADH) dan peptida natriuretik atrial (ANP = Atrial Natriuretic peptide). ADH meningkat hingga menambah retensi air, ANP menurun dengan akibat terjadi retensi Natrium di tubulus. Hipotesis “OVERFILL” Pada hipotesis ini mekanisme utama adalah defek tubulus primer di ginjal (intra renal). Di tubulus distal terjadi restensi natrium (primer) dengan akibat terjadi hipervolemia dan edema. Jadi edema terjadi akibat overfilling cairan ke jaringan interstisial. Pada hipotesis overfill karena terjadi hipervolemia, sistem RAAS (aldosteron) akan menurun. Demikian pula ADH tetapi kadar ANP meningkat karena tubulus resisten terhadap ANP. Akibatnya retensi Na tetap berlangsung dengan akibat terjadi edema. Kelompok pertama (underfill) disebut juga tipe nefrotik dan yang paling sering terjadi SN kelainan minimal. Pada keadaan ini retensi Na dan air bersifat sekunder, terhadap
hipovolemia dan kadar renin dan aldosteron menurun, ANP rendah atau normal. Kelompok kedua (overfill) disebut tipe Nefritik biasanya dijumpai pada SN bukan
kelainan (BKM) atau
glomerulonefritis kronik. SN BKM pada dasarnya memang suatu glomerulonefritis kronik. Selain adanya hipervolemia juga sering dijumpai hipertensi, kadar renin dan aldosteron rendah atau normal dan ANP tinggi. (Susalit, E, dkk; 2013; 68). Pengobatan : Istirahat cukup sampai edema tinggal sedikit. Dietetik, Diuretik, Kortikosteroid, Antibiotika. Penatalaksanaan medis untuk sindom nefrotik mencakup komponen perawatan berikut ini : Pemberian kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2 mg/kg/per hari sesuai program. Penggantian protein (dari makanan atau 25% albumin). Pengurangan edema melalaui terapi diuretic dan restriksi narium (diuretic hendaknya dilakukan secara cermat untuk mencegah terjadinya penurunan volume intravaskuler, pembentukan thrombus dan ketidakseimbangan elektrolit). Rumatan keseimbangan elektrolit. Inhibitor enzim pengkonverensi– angiotensin (menurunkan banyaknya
protein–uria pada glomerulonefritis membrosa). Agens pengalkilasi (sitotoksik) – klorambusil dan siklofostamid (untuk sindroma nefrotik tergantung steroid dan pasien yang sering mangalami kekambuhan). Obat nyeri (untuk mangatasi ketidaknyamanan berhubungan dengan edema dan terapi invasive). Antibiotic untuk mencegah infeksi. Terapi albumin jika oral dan output urin kurang. Pembatasan sodium jika anak hypertensi (Susalit, E, dkk; 2013, 79)
Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan. Sedangkan pengertian mengenai apa yang diamaksud dengan pertumbuhan dan perkembangan definisi adalah sebagai berikut: Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan (development) adalah
bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ/ individu. Walaupun demikian, kedua peristiwa itu terjadi secara sinkron pada setiap individu. Sedangkan untuk tercapainya tumbuh kembang yang optimal tergantung pada potensi biologisnya. Tingkat tercapainya potensi biologis sesorang, merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor genetik, lingkungan bio-fisiko-psiko-sosial dan perilaku. Proses yang unik dan hasil akhir yang berbeda-beda yang memberikan ciri tersendiri pada
setiap anak. Tujuan Ilmu Tumbuh Kembang adalah mempelajari berbagai hal yang berhubungan dengan segala upaya untuk menjaga dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak baik fisik, mental, dan sosial. Juga menegakkan diagnosis dini setiap kelainan tumbuh kembang dan kemungkinan penanganan yang efektif, serta mencari penyebab dan mencegah keadaan tersebut. Mencari penyebab dan mencegah keadaan tersebut. Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini. Bahkan ada sarjana yang mengatakan bahwa “the child is the
father of the man”. Sehingga setiap
kelainan atau penyimpangan sekecil apapun apabila tidak terdeteksi apalagi tidak ditangani dengan baik, akan mengurangi kualitas sumber
daya manusia kelak kemudian hari. Dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, dimana diperlukan rangsangan/ stimulasi yang berguna agar potensi berkembang, sehingga perlu mendapat perhatian. Perkembangan psiko-sosial sangat dipengaruhi lingkungan dan interaksi antara anak dengan orang tuanya/ orang dewasa lainnya. Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembanganya, bahkan sejak bayi masih di dalam kandungan. Sedangkan lingkungan yang tidak mendukung akan menghambat perkembangan anak. (Nursalam, 2010; 41)
TINJAUAN KASUS
Pada data subyektif didapatkan An. ”B” umur 3 tahun badannya bengkak. Pada riwayat kesehatan sekarang didapatkan ibu pasien mengatakan sejak seminggu yang lalu anaknya menderita sakit panas dan pada tanggal 09 April 2017 seluruh badan bengkak sehingga pada hari itu keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke RSUD Jombang untuk mendapat perawatan.
Pada data obyektif didapatkan keadaan umum : lemah, kesadaran : composmentis, TTV : Nadi : 120x/menit, Suhu : 37,5C, RR : 23x/menit, BB : 18 kg, TB : 100 cm, Status gizi : baik. Pemeriksaan fisik khusus didapatkan Muka : Pucat oedem, Mata : konjungtiva pucat, oedema, Mulut : Mukosa bibir kering, stomatitis, tidak caries, Genetalia : Bersih, jenis kelamin perempuan, Ekstremitas atas : tangan kanan terpasang infus D5 1/4 NS. 500 cc / 24 jam. Pemeriksaan laboratorium didapatkan : Proteinuria : +++ (positif 3), Sediment : leukosit 2 – 4/ LPB, eritrosit 0 – 1/ LPB, dan epitel penuh/ LPK. Protein total serum : 3,8 mg/100 mL Albumin : 2,0 mg/100 mL. Cholesterol total : 361 mg/100 mL. Ureum : 35,2 mg/100 mL, Creatinin : 0,16 mg/100 mL. Hb : 11,8 gr/dL, Trombosit : 591.000/mm3, Ht : 35%, Leukosit : 13.100/mm3, LED : 80 mm/jam.
Pada analisa ditemukan diagnosa An “B” umur 3 tahun dengan sindrom nefrotik.
Pada penatalaksanaan sudah dilakukan sesuai dengan rencana meliputi: Melakukan pendekatan terapeutik kepada orang tua pasien
dengan komunikasi “5S” yaitu senyum, salam, sapa, sentuh, sopan. Menjelaskan pada ibu hasil pemeriksaan. Memberi HE tentang nutrisi. Memberitahukan pada ibu tentang kebersihan diri dan menganjurkan pada ibu agar selalu menjaga kebersihan minuman dan makanan, serta mencuci tangan sebelum dan sesudah makan. Menganjurkan kepada keluarga pasien untuk kompres air biasa pada seluruh tubuh anak (jika suhu anak > 37,5C) dan memberi contoh pada ibu memakai baju anaknya yang tipis agar suhunya menurun. Menganjurkan kepada ibu pasien bedrest total yang teratur sampai oedemanya berkurang. Memberitau ibu pasien tentang menghindari makanan yang asin karena mengandung yodium. Menganjurkan ibu pasien untuk memberikan minum yang banyak pada anaknya. Kolaborasi dengan pasien dan tenaga kesehatan dalam pemberian terapi
PEMBAHASAN
Jadi tidak terdapat kesenjangan antara tinjauan pustaka dengan tinjauan kasus dikarenakan An. ”B” badannya bengkak. Jadi tidak ada kesenjangan antara tinjauan
pustaka dengan tinjauan kasus karena didapatkan oedem pada muka. Dengan demikian pada langkah ini tidak ditemukan adanya kesenjangan antara tinjauan pustaka dengan tinjauan kasus. Jadi pada langkah ini tidak ditemukan adanya kesenjangan antara tinjauan pustaka dengan tinjauan kasus karena penatalaksanaan dilakukan sesuai rencana.
PENUTUP
Pada data subyektif didapatkan An. ”B” umur 3 tahun badannya bengkak. Pada riwayat kesehatan sekarang didapatkan ibu pasien mengatakan sejak seminggu yang lalu anaknya menderita sakit panas dan pada tanggal 09 April 2017 seluruh badan bengkak sehingga pada hari itu keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke RSUD Jombang untuk mendapat perawatan. Pada data obyektif didapatkan keadaan umum : lemah, kesadaran : composmentis, TTV : Nadi : 120x/menit, Suhu : 37,5C, RR : 23x/menit, BB : 18 kg, TB : 100 cm, Status gizi : baik. Pemeriksaan fisik khusus didapatkan Muka : Pucat oedem, Mata : konjungtiva pucat, oedema, Mulut :
Mukosa bibir kering, stomatitis, tidak caries, Genetalia : Bersih, jenis kelamin perempuan, Ekstremitas atas : tangan kanan terpasang infus D5 1/4 NS. 500 cc / 24 jam. Pemeriksaan laboratorium didapatkan : Proteinuria : +++ (positif 3), Sediment : leukosit 2 – 4/ LPB, eritrosit 0 – 1/ LPB, dan epitel penuh/ LPK. Protein total serum : 3,8 mg/100 mL Albumin : 2,0 mg/100 mL. Cholesterol total : 361 mg/100 mL. Ureum : 35,2 mg/100 mL, Creatinin : 0,16 mg/100 mL. Hb : 11,8 gr/dL, Trombosit : 591.000/mm3, Ht : 35%, Leukosit : 13.100/mm3, LED : 80 mm/jam. Pada analisa ditemukan diagnosa An “B” umur 3 tahun dengan sindrom nefrotik. Pada penatalaksanaan sudah dilakukan sesuai dengan rencana meliputi: Melakukan pendekatan terapeutik kepada orang tua pasien dengan komunikasi “5S” yaitu senyum, salam, sapa, sentuh, sopan. Menjelaskan pada ibu hasil pemeriksaan. Memberi HE tentang nutrisi. Memberitahukan pada ibu tentang kebersihan diri dan menganjurkan pada ibu agar selalu menjaga kebersihan minuman dan makanan, serta mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.
Menganjurkan kepada keluarga pasien untuk kompres air biasa pada seluruh tubuh anak (jika suhu anak > 37,5C) dan memberi contoh pada ibu memakai baju anaknya yang tipis agar suhunya menurun. Menganjurkan kepada ibu pasien bedrest total yang teratur sampai oedemanya berkurang. Memberitau ibu pasien tentang menghindari makanan yang asin karena mengandung yodium. Menganjurkan ibu pasien untuk memberikan minum yang banyak pada anaknya. Kolaborasi dengan pasien dan tenaga kesehatan dalam pemberian terapi
Diharapkan adanya peningkatan sarana untuk memberikan perawatan yang optimal khususnya bagi klien penderita sindrom nefrotik. Hendaknya menambah buku sebagai bahan pustaka bagi mahasiswa sehingga wawasan mahasiswa menjadi lebih luas. Diharapkan dapat menerapkan manajemen kebidanan dalam upaya mendeteksi secara dini permasalahan yang ada pada klien dengan menggunakan metode pendekatan dan pemecahan masalah sesuai dengan manajemen SOAP. Diharapkan perkembangan klien setelah dilakukan asuhan kebidanan
jauh lebih baik dan diharapkan pelayanan yang telah diberikan membuat klien puas
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (2010). Buku Saku
Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial. Jakarta :
JHPIEGO
Depkes RI. (2010). Gizi dan
Kesehatan Masyarakat.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Depkes RI. (2010). Manajemen
Terpadu Balita Sakit. Jakarta
: Depkes RI
Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang. (2015). Profil
Kesehatan Kabupaten Jombang Tahun 2015.
Surabaya : Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2015). Laporan Hasil
Riskesdas Jawa Timur 2015.
Jawa Timur : Dinkes Jatim Donna L. Wong (2008). Pedoman
Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta : EGC
H.M. S. Noer. 2013. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
penerbit. FKUI. Hidayat, Aziz Alimul. (2005).
Asuhan Neonatus, Bayi & Balita. Jakarta : EGC
Hidayat. Aziz Alimul A (2008).
Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Buku 2. Jakarta :
Salemba Medika
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE (2011). Nelson Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders Nursalam, dkk. (2010). Asuhan
Keperawatan Bayi dan Anak untuk Perawat dan Bidan.
Jakarta : Salemba Medika Nursalam. (2010). Konsep &
Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis & Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika
Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Jombang, 2017 Suriadi & Yuliana. (2011). Asuhan
Keperawatan pada Anak Edisi 1. Jakarta : EGC
Susalit, E dkk. (2013). Buku Ajar
Ilmu Penyakit dalam II.
Jakarta : Balai penerbit FKUI.
Varney, Hellen. (2010). Buku Saku
Bidan. Jakarta : EGC
Varney, Hellen. (2011). Buku Ajar
Asuhan Kebidanan. Edisi Empat, Jakarta : EGC
Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O (2011). Sindrom
Nefrotik Sensitif Steroid. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro. World Health Organization (2015).
Problems : A Guide For Doctors, Nurses, And Midwifes. Jakarta : EGC