BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Skabies
2.1.1 Pengertian Skabies
Skabies (kudis) merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit tungau Sarcoptes scabei yang mampu membuat terowongan dibawah kulit dan ditularkan melaui kontak manusia (Boediardja 2015). Di Indonesia skabies sering disebut kudis, orang jawa menyebutnya gudik, sedangkan orang sunda menyebutnya budug (Can moki, 2012). Skabies adalah penyakit zoonosis yang menyerang kulit, dapat mengenai semua golongan di seluruh dunia yang disebabkan oleh tungau (kutu atau mite) scabiei , Secara global, skabies dapat mengenai lebih dari 130 juta orang setiap saat dengan tingkat kejadian skabies bervariasi dari 46% (Thomas et al. 2015)
Skabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh seekor tungau (kutu) yang bernama scabiei, filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo Ackarina, superfamili scabei. Kecil ukurannya, hanya bisa dilihat di bawah lensa mikroskop, yang hidup didalam jaringan kulit penderita, hidup membuat terowongan yang bentuknya memanjang setiap hari (Imartha 2016). Skabies bisa menyebabkan rasa gatal makin menjadi-jadi dimalam hari, sehingga membuat orang sulit tidur. Dibandingkan penyakit kulit gatal lainnya, scabies merupakan penyakit kulit dengan rasa gatal nomor satu, faktor yang berpengaruh terhadap prevalensi skabies diantaranya adalah usia, jenis kelamin, higenitas pribadi yang buruk, pengetahuan yang rendah, kontak dengan penderita, kelembaban dan kepadatan hunian yang tinggi (Hilma & Ghazali 2014).
2.1.2 Etiologi
Skabies ialah penyakit kulit yang diakibatkan oleh infestasi dan sensitasi tungau (mite) Sarcoptes scabiei varian hominis dan sejenisnya. Sarcoptes scabiei adalah tungau dari famili Sarcoptidae, ordo Acaria, kelas Arachnida. Badannya yang berbentuk oval, pipih datar di bagian ventral, dan convex di bagian dorsal.Tungau yang jantan berukuran 150-200 mikron, sedangkan yang betina lebih besar berkisar ukuran 300-350 mikron. Alat mulut terdiri dari selisere yang bergigi dan palpi menjadi satu dengan hypostom. Stadium dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang menghadap ke depan sebagai alat perekat dan 2 pasang menghadap ke belakang (Sudarsono, 2012)
Setelah melakukan kopulasi yang jantan mati dan yang betina gravid mencari tempat buat meletakkan telurnya di stratum korneum dari kulit dengan membuat terowongan sambil meletakkan telur 4-5 butir sehari sampai dengan selesai 40-50 butir. Dalam waktu 5 hari, telur akan menetas dan keluar larva dengan 3 pasang kaki. Larva ini akan meneruskan membuat terowongan ke arah lateral, membuat terowongan baru dan menembus mencari jalan keluar, setelah itu terjadi 2 stadium nimfa, lalu menjadi dewasa. Lingkaran hidup berlangsung 8-17 hari dan tungau betina dapat hidup 2-3 minggu sampai 1 bulan ( Griana, 2013)
Skabies disebabkan oleh kutu yang transparan, berbentuk oval, pungggungnya cembung, perutnya rata dan tidak bermata. Kelainan kulit yang ditimbulkannya tidak hanya disebabkan oleh investasi tungau skabies semata, tetapi juga akibat garukan oleh
penderita sendiri. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kurang lebih satu bulan setelah infestasi. Pada saat itu, terjadilah kelainan kulit menyerupai dermatitis, dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Sarcoptes scabiei termasuk filum arthropoda, kelas arachnida, ordo acarina, super family sarcoptes. Penyakit skabies sering berjangkit pada daerah yang padat penduduknya, dengan kondisi sanitasi lingkungan dan perilaku hygiene perorangan yang tidak baik. Penularan penyakit ini dapat terjadi karena hubungan erat/ tatacara ekspresi kekerabatan dalam tatanan masyarakat atau keluarga, misalnya melalui kebiasaan berjabat tangan, hubungan antara suami dan istri, ibu dan anak, serta anggota keluarga lainnya (Rini, et al.,2015).
2.1.3 Epidemilogi
Penyakit ini menular dari hewan ke manusia (zoonosis), manusia ke hewan bahkan dari manusia ke manusia. Cara penularannya melalui kontak langsung maupun kontak tak langsung. Penyebaran tungau skabies melalui kontak langsung dengan penderita skabies secara terus menerus, bisa juga menular melalui penggunaan handuk bersamaan, sprei tempat tidur, dan segala hal yang dimiliki pasien scabies (Ira Indriaty P.B.Sopi, 2015)
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi sekabies. Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit tersebut, diantaranya ialah sosial ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan demografik serta ekologik.
Penyakit ini dapat dimasukkan PHS (penyakit akibat hubungan seksual) (Djuanda, 2010).
2.1.4 Cara Penularan
Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari semua bentuk infektif tersebut tungau dewasalah yang paling sering menyebabkan penularan. Sekitar 90% penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa betina terutama yang gravid. Tungau tidak dapat melompat atau terbang melainkan berpindah dengan merayap. Kemampuan tungau untuk menginfestasi akan menurun seiring dengan lamanya tungau berada di luar tubuh hospes ( buku Illustrasi Siklus Hidup S. scabiei , Badan Penerbit FKUI, Jakarta , 2016).
Penularan penyakit skabies bisa terjadi dengan secara langsung ataupun tidak langsung, adapun cara penularannya ialah :
a. Kontak langsung ( kulit bersentuhan langsung dengan kulit )
Penularan skabies dapat melalui kontak langsung contohnya berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual , pada anak-anak atau balita biasanya penularan di dapat pada orang tuanya (Djuanda, 2010).
b. Kontak tidak langsung ( melalui benda )
Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah selimut. merupakan sumber utama terjadinya wabah skabies pada rumah sakit,
panti jompo, pemondokkan/asrama dan rumah sakit jiwa, karena banyak mengandung tungau (Djuanda, 2010).
2.1.5 Patofisiologis
Ketika tungau masuk ke dalam lapisan kulit seseorang, maka ia mulai mengalami gejala skabies. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada umumnya berupa terowongan yang berisi tungau Sarcoptes scabiei, telur, dan hasil metabolisme/ekskresinya (Gambar2.1). Terowongan berwarna putih abu-abu, tipis dan kecil seperti benang dengan struktur linear atau berkelok-kelok kurang lebih 1-10 mm, yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder. Ketika menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret yang dapat melisiskan stratum korneum. Sekret dan produk eksresi tersebut akan menyebabkan sensitisasi sehingga menimbulkan lesi sekunder, berupa papul, vesikel, yang dapat dan bula. Selain itu, dapat pula terbentuk lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi, dan pioderma (Gambar 2.2 dan 2.3). Namun, tungau hanya dapat ditemukan pada lesi primer. ( Hilma, et.al., 2014)
Gambar 2.1 Lesi primer penyakit skabies pada kulit.
Gambar 2.2 Lesi sekunder dan tersier penyakit skabies pada kulit.
2.1.6 Gejala Klinis
Gatal merupakan gejala klinis utama pada skabies. Rasa gatal pada masa awal investasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus nokturna), cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar lesi, namun pada skabies kronik gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh tubuh. Gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang dikeluarkan pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari infestasi tungau hingga muncul gejala gatal sekitar 14 hari (Buku Illustrasi Siklus Hidup S. scabies , Badan Penerbit FKUI, Jakarta , 2016).
Diagnosa skabies dapat ditegakkan dengan melihat 2 dari 4 tanda di bawah ini (Al-Falakh, 2009) :
a. Pruritus nokturnu, artinya gatal disaat malam hari yang disebabkan karena aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu atau cuaca yang lebih lembab dan panas. b. Penyakit skabies ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga
yang terkena infeksi. Begitu juga dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang semua anggota keluarganya terkena. Meskipun mengalami infeksi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya kunikulus pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih keabu-abuan, yang berbentuk garis lurus atau berkeloak, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung luka ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi skunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskonasi, dan lain-lain). Tempat berkembang biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak
bagian depan, areola mamae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut di bagian bawah. Pada bayi atau balita dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
Menurut Primanggono (2012) ada beberapa tanda dan gejala sekabies, yaitu : a. Gatal
Gatal menjadi salah satu gejala paling umum yang akan dirasakan ketika terkena skabies. Rasa gatal ini biasanya sangat kuat dan akan semakin parah saat malam tiba. b. Edema
Edema menandakan adanya kebocoran cairan tubuh melalui dinding pembuluh darah. Cairan ini kemudian menumpuk pada jaringan di sekitarnya dan menyebabkan pembengkakan. Selain pembengkakan, edema juga memiliki ciri berupa kulit yang tampak meregang.
c. Infeksi
Tungau selalu bersembunyi di bawah kulit. Biasanya, tungau betina akan bertelur di terowongan yang telah dibuatnya. Setelah menetas, larva kemudian bergerak ke permukaan kulit dan menyebar ke seluruh tubuh atau ke orang lain lewat kontak fisik. Oleh sebab itu, seseorang dapat terinfeksi penyakit ini apabila tertular dari orang lain yang memilikinya. Sekolah menjadi salah satu tempat yang paling tinggi ririsko penularan kudisnya pada anak.
S.scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis untuk menggali terowongan misalnya di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis, areola
mammae, peri-umbilikalis, lipat payudara, pinggang, bokong bagian bawah intergluteal, paha serta lipatan aksila anterior dan posterior. Terowongan yang digali tungau tampak sebagai lesi berupa garis halus yang berwarna putih keabu-abuan sepanjang 2-15mm, berkelok-kelok dan sedikit meninggi dibandingkan sekitarnya. Di ujung terowongan terdapat papul atau vesikel kecil berukuran <5mm tempat tungau berada. Di daerah beriklim tropis, jarang ditemukan lesi terowongan, kalaupun ada terowongan hanya berukuran pendek sekitar 1-2mm. Lesi tersebut sulit ditemukan karena sering disertai ekskoriasi akibat garukan dan infeksi sekunder oleh bakteri. Meskipun demikian, terowongan dapat berada di tangan, sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan pergelangan kaki. Pustul tanpa lesi terowongan sering terdapat di genitalia eksterna. Pada infestasi ringan, lokasi yang harus diperiksa adalah sela jari tangan dan genitalia eksterna (Buku Illustrasi Siklus Hidup S. scabiei , Badan Penerbit FKUI, Jakarta , 2016).
Gejala utama skabies, yaitu ruam dan gatal, disebabkan karena sensitisasi terhadap deposit tungau dalam trowongan. Hal ini membutuhkan waktu beberapa waktu untuk berkembang sehingga pada awalnya skabies bersifat asimtomatik. Sel-sel inflamasi terakumulasi disekitar terowongan untuk membentuk papul atau plak dan ruam hipersensitivitas yang jauh dapat timbul (Firza, et al, 2016).
2.1.7 Hispatologi Skabies
Gambaran histopatologis menunjukkan bahwa terowongan pada skabies terletak pada stratum korneum dimana tungau betina akan tampak pada bagian ujung
terowongan di bagian sratum Malphigi. Kelainan yang tampak berupa proses inflamasi ringan serta edema lapisan Malphigi dan sedikit infiltrasi perivaskular (Sudirman, 2006).
2.1.8 Imunologi Skabies
Infestasi pertama skabies akan menimbulkan gejala klinis setelah satu bulan kemudian. Tetapi yang telah mengalami infestasi sebelumnya, gejala klinis dapat timbul dalam waktu 24 jam.Hal ini terjadi karena pada infestasi ulang telah ada sensitisasi dalam tubuh pasien terhadap tungau dan produknya yang antigen dan mendapat respon dari sistem imun tubuh (Sudirman, 2006).
2.1.9 Klasifikasi Skabies
Skabies didapati dalam berbagai varian, dan salah satunya adalah skabies berkrusta (skabies Norwegia). Bentuk ini ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, kuku yang distrofik, skuama yang menyeluruh (generalisata). Bentuk ini sangat menular tetapi tidak terlalu gatal. Tungau dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak dan skabies krusta terutama terjadi pada pasien dengan usia lanjut imunokompromais, dan pada pasien dengan retardasi mental dan psikosis. Selain agen tungau spesifik Sarcoptes scabiei varian hominis, manusia juga dapat terinfeksi dari spesies yang berasal dari hewan.Telah dilaporkan scabies yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian selain hominis, diantaranya berasal dari anjing, babi, kuda, unta, beruang hitam, monyet, dan rubah. Hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa transfer parasit dari hewan ke manusia dapat terjadi, tetapi penelitian eksperimental menunjukkan adanya limited-cross ineffectivity antara agen spesies dengan host yang berbeda.Selain itu, studi
genotip juga telah mengungkapkan bahwa terdapat pemisah di antara host dan agen spesifik yang membatasi transmisi tungau. Pada kasus yang langka, transmisi tungau dari hewan ke manusia menimbulkan manifestasi klinisyang berbeda, seperti misalnya masa inkubasi menjadi lebih pendek, gejala bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri, dan tidak terdapat pembentukan terowongan serta predileksinya menjadi atipikal (Firza, et al, 2016).Menurut Buku (Illustrasi Siklus Hidup S. scabiei , Badan Penerbit FKUI, Jakarta, 2016), skabies di bagi beberapa macam , yaitu :
a) Skabies pada orang bersih
Skabies pada orang bersih atau scabies of cultivated biasanya ditemukan pada orang dengan tingkat kebersihan yang baik. Penderita skabies mengeluh gatal di daerah predileksi skabies seperti sela-sela jari tangan dan pergelangan tangan. Rasa gatal biasanya tidak terlalu berat. Manifestasi skabies pada orang bersih adalah lesi berupa papul dan terowongan dengan jumlah sedikit sehingga sulit diidentifikasi dan sering terjadi kesalahan diagnosis karena gejala yang tidak khas. Dari terowongan dari 1000 penderita scabies of cultivated, hanya ditemukan 7% terowongan.
Tipe ini sering ditemukan bersamaan dengan penyakit menularlain. Ditandai dengan gejala minimal dan sukar ditemukan terowongan. Kutu biasanya menghilang akibat mandi secara teratur.
b) Skabies in cognito
Skabies incognito sering menunjukkan gejala klinis yang tidak biasa, distribusi atipik, lesi luas dan mirip penyakit lain.51 Bentuk incognito terdapat pada skabies yang diobati dengan kortikosteroid sehingga gejala dan tanda klinis membaik, tetapi tungau tetap ada dan masih dapat menularkan skabies. Di sisi lain, pengobatan steroid topikal jangka panjang mengakibatkan lesi bertambah parah karena penurunan respons imun seluler.
Gambar 2.5 skabies in cognito
Skabies akibat pengobatan dengan menggunakan kostikosteroid topical atau sistemik.Pemberian obat ini hanya dapat memperbaiki gejala klinik (rasa gatal) tapi penyakitnya tetap ada dan tetap menular
Skabies nodularis pertama kali dilaporkan pada tahun 1923 oleh Ayres dan Anderson. Disebut skabies nodularis karena lesinya berupa nodus coklat kemerahan yang gatal di daerah tertutup pakaian. Terbentuknya nodus disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas kulit terhadap S.scabiei dan produknya. Lesi nodularis terjadi pada 7-10% penderita skabies. Nodus memiliki diameter 5-20mm dan terowongan biasanya ditemukan pada awal nodus terbentuk. Tungau jarang ditemukan di dalam nodus.
Gambar 2.6 Skabies noduler
Lesi berupa nodul coklat kemerahan yang gatal pada daerah tertutup. Nodus biasanya terdapat didaerah tertutup, terutama pada genitalia laki-laki, inguinal dan aksila.Nodus ini timbul sebagai reaksi hipersensetivitas terhadap tungau scabies.Pada nodus yang berumur lebih dari satu bulan tungau jarang ditemukan. Nodus mungkin dapat menetap selama beberapa bulan sampai satu tahun meskipun telah diberi pengobatan anti scabies dan kortikosteroid.
d) Skabies bulosa
Skabies yang menginfestasi bayi dan individu immunocompromised memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami skabies bulosa. Bula yang terbentuk mirip dengan bula pada pemfigoid bulosa yaitu penyakit kulit yang ditandai dengan lepuh berukuran besar. Walaupun secara klinis dan histopatologis skabies bulosa mirip dengan pemfigoid bulosa, keduanya tidak
mirip apabila diperiksa dengan immunofluorensi baik secara langsung maupun tidak langsung. Perbedaan lain antara skabies bulosa dengan pemfigoid bulosa adalah lokasi lesi, gejala, dan usia penderita. Skabies bulosa biasanya tersebar di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan dan genital sedangkan pemfigoid bulosa tersebar di daerah badan dan ekstremitas.
Gambar 2.7 skabies bulosa
e) Skabies kruktosa
Tipe ini jarang terjadi, namun bila ditemui kasus ini, dan terjadi keterlambatan diagnosis maka kondisi ini akan sangat menular.
Gambar 2.8 skabies krustosa
Skabies dapat menginfeksi binatang seperti anjing, kuda, kambing, kelinci, monyet dan lain-lain. Sumber utama skabies pada binatang di Amerika adalah anjing. Penyebab skabies pada binatang mirip dengan yang menginfestasi manusia tetapi berbeda strain. Manusia dapat menularkan skabies ke binatang peliharaan, namun yang lebih sering adalah infestasi silang dari binatang peliharaan seperti anjing ke manusia.
Gambar 2.9 skabies yang ditularkan oleh hewan
Gejala ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak, dapat sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi yang bersih. g) Skabies pada Orang Terbaring di Tempat Tidur
Skabies pada orang yang terbaring di tempat tidur (bedridden) banyak dijumpai pada orang yang menderita penyakit kronik atau orang berusia lanjut yang berbaring di tempat tidur dalam jangka waktu lama. Lesi pada skabies bedridden hanya terbatas.
Gambar 2.10 skabies terbaring di tempat tidur
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa harus terbaring di tempat tidur dapat menderita skabies yang lesinya terbatas.
h) Skabies pada Bayi
Lesi skabies pada bayi dapat timbul di telapak tangan, telapak kaki, wajah, dan kulit kepala. pada skabies biasanya khas dan memberikan rasa gatal hebat terutama malam hari akan tetapi pada bayi.
Gambar 2.10 Skabies pada bayi
Gambaran klinis tidak khas, terowongan sulit ditemukan namun vesikel lebih banyak, dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk kepala,leher,telapak tangan, telapak kaki.
i) Skabies pada Santri Pondok
Penyakit skabies sangat mudah menular bahkan hanya dengan sentuhan sudah bisa terjadi penularan. Hal ini lah yang menyebabkan penyakit scabies dengan prevalensi yang tinggi seringkali ditemukan di pondok pesantren mengingat kondisi pondok pesantren yang dihuni oleh banyak individu sehingga kesempatan untuk terjadinya penularan sangat besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ma’rufi (2005).
2.1.10 Dampak Skabies
Supri (2013) mengemukakan beberapa diagnosa keperawatan penyakit skabies, yaitu :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi.
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri dan gatal yang dirasakan.
c. Gangguan rasa aman = cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit yang dialami.
d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan skunder.
2.1.11 Penatalaksaan
Untuk mengobati atau menghilangkan tungau skabies penderita harus meningkatkan kebersihan pribadi, dengan mengganti pakaian setiap hari, seprei dan sarung bantal dicuci setiap hari, sampai semua skabies musnah menurut (Djuanda, 2010). Ada dua cara yaitu dengan penatalaksaan non farmakologi dan farmakologi Cara pengobatan secara farmakolgi ialah seluruh anggota keluarga harus diobati (termasuk penderita yang hiposensitisasi) Jenis obat topical :
a. Belerang endap (belerang endap) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim. Preparat ini karena tidak efektif stadium telur, maka penggunaannya tidak boleh kurang dari tiga hari. Kekurangannya yang lain ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2
b. Emulsi benzyl-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama setiap hari. Obat ini sulit diperoleh, sering menyebabkan iritasi dan kadang-kadang makin gatal setelah pemakaian.
c. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan=gammexane) kadarnya 1% dalam krim atau losion, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan dan jarang memberikan iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 6 tahun dan wanita hamil, karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi seminggu kemudian.
d. Krotamiton 10% dalam krim atau losio, merupakan skabisid yang efektif. Dapat menimbulkan iritasi apabila digunakan dalam jangka waktu lama atau pada kulit yang menunjukkan iritasi akut.
Untuk pengobatan Non Farmakologi ialah :
Menjaga kebersihan tubuh sangat penting untuk menjaga infestasi parasit. Sebaiknya mandi dua kali sehari, serta menghindari kontak langsung dengan penderita, mengingat parasit mudah menular pada kulit.Walaupun penyakit ini hanya merupakan penyakit kulit biasa, dan tidak membahayakan jiwa, namun penyakit ini sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. Bila pengobatan sudah dilakukan secara tuntas, tidak menjamin terbebas dari infeksi ulang, menurut peneltian Sivalingam tahun 2017 langkah yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Cuci sisir, sikat rambut dan perhiasan rambut dengan cara merendam di cairan antiseptik.
2. Cuci seua handuk, pakaian, sprei dalam air sabun hangat dan gunakan seterika panas untuk membunuh semua telurnya, atau dicuci kering.
3. Keringkan peci yang bersih, kerudung dan jaket. 4. Hindari pemakaian bersama sisir, mukena atau jilbab.
2.1.12 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Skabies
Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies di negara berkembang terkait dengan kemiskinan salah satunya adalah kepadatan hunian. Penyebaran tungau skabies akan lebih mudah terjadi pada penduduk yang hidup berkelompok atau padat penghuni pada suatu lingkungan seperti asrama, kelompok anak sekolah, antar anggota keluarga pada rumah yang padat penghuni bahkan antar warga di suatu perkampungan. Kepadatan hunian termasuk ke dalam salah satu syarat untuk kesehatan perumahan, dimana kepadatan hunian yang tinggi terutama pada kamar tidur akan memudahkan penularan penyakit scabies secara kontak langsung dari satu orang ke orang lain.Selain itu, kepadatan hunian juga dapat mempengaruhi kelembaban di dalam ruangan, dimana penghuni yang melebihi kapasitas ruangan akan meningkatkan suhu ruangan menjadi panas.
Kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan dan respon imunologis terhadap penyakit infeksi seperti skabies. Kaitan penyakit infeksi dengan keadaan gizi kurang merupakan hubungan timbal balik yaitu hubungan sebab akibat. Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaaan gizi dan keadaan gizi yang jelek dapat mempermudah terkena infeksi. Responden yang status gizinya kurang makan akan mudah terserang penularan skabies. Adanya ketahanan pangan, pengetahuan tentang asupan gizi dan pola pengasuhan anak yang baik maka akan mengurangi risiko menurunya imunitas dan antibody tubuh, sehingga tidak mudah terserang infestasi tungau.
2.2 Konsep Status Gizi 2.2.1 Pengertian gizi
Pengertian gizi dalam kesehatan reproduksi adalah bagaimana seoarang individu, mampu untuk mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh tubuhnya, agar individu tersebut tetap berada dalam keadaan sehat dan baik secara fisik atau mental. Serta mampu menjalankan sistem metabolisme dan reproduksi, baik fungsi atau prosesnya secara alamiah dengan keasan tubuh yang sehat (Marmi, 2013).
2.2.2 Pengertian status gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement) oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lainnya). Status gizi dapat pula diartikan sebagai gambaran kondisi fisik seseorang sebagai refleksi dari keseimbangan energy yang masuk dan yang dikeluarkan oleh tubuh (Marmi, 2013). 2.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
a. Faktor external
Faktor external yang mempengaruhi status gizi antara lain (Marmi, 2013): 1)Pendapatan
Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya dalah taraf ekonomi keluarga, yang hubungannya dengan daya beli keluarga tersebut.
2) Pendidikan
Pendidikan gizi merupakan suatu proses merubah pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua atau masyarakat tentang status gizi yang baik.
3) Pekerjaan
Pekerjaan adalah sesuatu yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupan keluarganya. Bekerja bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga 4) Budaya
Budaya adalah suatu ciri khas, akan mempengaruhi tingkah laku dan kebiasaan. b. Faktor internal
Faktor internal yang mempengaruhi status gizi anatara lain (Marmi, 2013): 1) Usia
Usia akan mempengaruhi kemampuan atau pengalaman yang dimiliki orang tua dalam pemberian nutrisi pada anak dan remaja.
2) Kondisi fisik
Seseoarang yang sakit, yang sedang dalam penyembuhan dan yang lanjut usia, semuanya memerlukan pangan khusus karena status kesehatan mereka yang buruk. Anak dan remaja pada periode hidup ini kebutuhan zat gizi digunakan untuk pertumbuhan cepat.
3) Infeksi
Infeksi dan demam dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan atau menimbulkan kesulitan menelan dan mencerna makanan.
2.2.3 Status gizi remaja
Kebutuhan gizi remaja relatif besar, karena remaja masih mengalami masa pertumbuhan. Remaja umumnya melakukan aktivitas fisik lebih tinggi dibandingkan dengan usia lainnya, sehingga diperlukan zat yang lebih banyak. Secara biologis kebutuhan gizi remaja selaras dengan aktivitas. Remaja membutuhkan lebih banyak protein, vitamin, dan mineral.
Secara sosial dan psikologis, remaja sendiri menyakini bahwa mereka tidak terlalu memerhatikan faktor kesehatan dalam menjatuhkan pilihan makanannya, melainkan lebih memerhatikan faktor lain seperti orang dewasa, lingkungan sosial, dan faktor lain yang sangat mempengaruhinya (Marmi, 2013).
a. Energi
Energi merupakan kebutuhan yang terutama apabila tidak tercapai, diet protein, vitamin, dan mineral tidak dapat dipergunakan secara efektif dalam berbagai fungsi metabolik. Energi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, aktifitas otot, fungsi metaboliknya (menjaga suhu tubuh, menyimpan lemak tubuh). Sumber energi berasal dari karbohidrat, protein, lemak menghasilkan kalori masing-masing, sebagai berikut: karbohidrat 4 kkal/g, protein 4 kkal/g dan lemak 9 kkal/g. Kebutuhan energi bervariasi tergantung aktifitas fisik, remaja yang kurang aktif dapat menjadi kelebihan berat badan (BB) atau mungkin obesitas. Asupan energy yang rendah menyebabkan retardasi pertumbuhan, berat badan (BB) rendah, dan starvasi (Soetjiningsih, 2004).
b. Protein
Protein diperlukan untuk sebagian besar proses metabolik, terutama pertumbuhan, dan maintenen atau merawat jaringan tubuh. Protein mensuplai sekitar 12%-14% asupan energi selama masa anak dan remaja. Kebutuhan sehari-hari yang direkomendasikan pada remaja berkisar antara 44-59 gram, tergantung jenis kelamin dan umur.
c. Lemak
Lemak berperan penting sebagai komponen struktural dan fungsional membran sel, yang meliputi berbagai segi dari metabolisme. Lemak juga sebagai sumber asam lemak esensial
yang diperlukan oleh pertumbuhan, karena merupakan sebagai sumber suplai energi yang berkadar tinggi dan pengangkut vitamin yang larut dalam lemak. Lemak esensial juga dibutuhkan oleh tubuh sekitar 3% dari total energi. Kebutuhan lemak dihitung sekitar 37% dari asupan energi total remaja, baik laki-laki maupun perempuan.
d. Karbohidrat
Sumber terbesar energi tubuh adalah karbohidrat yang menjadi bagian dari bermacam-macam struktur sel dan substan dan komponen primer diet serat. Karbohidrat disimpan sebagai glikogen atau diubah menjadi lemak tubuh. Sumber karbohidrat yang baik adalah karbohidrat simple atau (buah-buahan, sayur-sayuran, susu, gula, pemanis berkalori lainnya), dan karbohidrat kompleks (produk padi-padian dan syur-sayuran). Asupan yang tidak adekuat menyebabkan ketosis. Ketosis adalah suatu keadaan tubuh, yang terjadi sebagai akibat dari kurangnya kadar karbohidrat dalam tubuh.
f. Mineral
Kebutuhan mineral seluruhnya meningkat pada masa kerja tumbuh remaja. Mineral berperan penting pada kesehatan, kalsium, zat besi, dan seng, khususnya penting pada masa pertumbuhan dan perkembangan (Soetjiningsih, 2004).
g. Vitamin
Vitamin A merupakan nutrien yang larut dalam lemak, esensial untuk mata, tulang, pertumbuhan, pertumbuhan gigi, diferensial sel, reproduksi dan integritas sistem imun. Sumber vitamin A yang baik adalah, karoten (sayur daun hijau tua, buah dan sayur kuning dan orange), makanan yang diperkaya dengan vitamin A dan susu. Vitamin C berfungsi dalam pembentukan kolagen tulang dan gigi, dan melindungi vitamin lain dan mineral dari oksidasi (antioksidan).
Asupan perhari vitamin C yaitu, 50 mg/hari untuk remaja usia 11-14 tahun pada laki-laki, dan 60 mg/hari untuk usia 15-18 tahun pada perempuan.
2.2.4 Factor Penyebab Masalah Gizi Remaja a. Kebiasaan makan yang buruk
Kebiasaan makan yang buruk, berpangkal pada kebiasaan makan keluarga yang tidak baik sudah tertanam sejak kecil akan terus menerus terjadi pada usia remaja. Remaja makan seadanya tanpa mengetahui kebutuhan akan berbagai zat gizi dan dampak tidak dipenuhinya kebutuhan zat gizi tersebut terhadap kesehatan (Adriani, dkk 2014).
b. Pemahaman gizi yang keliru
Tubuh yang langsing sering menjadi idaman bagi setiap para remaja terutama wanita remaja hal ini sering menjadi penyebab masalah, karena untuk memelihara kelangsingan tubuh mereka menerapka pembatasan makanan secara keliru. Sehingga kebutuhan gizi mereka tidak terpenuhi. Hanya makan sekali sehari atau makan-makanan seadanya, tidak makan nasi merupakan penerapan prinsip pemeliharaan gizi yang keliru dan mendorong terjadinya gangguan gizi (Adriani, dkk 2014).
c. Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu
Kesukaan yang berlebihan terhadap makanan tertentu saja menyebabkan kebutuhan gizi tidak terpenuhi. Keadaan seperti ini biasanya terkait dengan “mode” yang tengah marak dikalangan remaja (Adriani, dkk 2014).
d. Promosi yang berlebihan melalui media massa
Usia remaja merupakan usia di mana mereka sangat mudah tertarik pada sesuatu yang baru. Kondisi ini diamnfaatkan oleh pengusaha makanan dengan memperomosikan produk
makanan mereka, dengan cara yang sangat memengaruhi pada remaja. Apalagi film yang menjadi idola mereka (Adriani, dkk 2014).
e. Masuknya produk-produk makanan baru
Produk makanan baru yang berasal dari negara lain secara besar membawa pengaruh terhadap kebiasaan makan para remaja. Seperti jenis makanan siap saji (fast food) yang berasal dari Negara barat seperti hot dog, pizza, hamburger, fried chicken, dan french fries, berbagai makanan yang berupa kripik (junk food) sering dianggap lambing kehidupan modern oleh para remaja (Adriani, dkk 2014).
2.2.5 Penilaian Status Gizi
Menurut Supariasi, dkk (2009), penilain status gizi secara dibagi menjadi 2 cara yaitu secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung terdiri dari antropometri, klinis, biokimia, dan biosfik. Sedangkan penilain status gizi tidak langsung terdiri dari survey konsumsi, makanan, statistic vital dan factor ekologi. Cara pengukuran yang paling sering digunakan di masyarakat adalah Antropometri gizi. Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antrometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain: umur, berat badan, tinggi badan. Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri. Jenis-jenis dari Indeks Antropometri adalah berat badan menutut tinggi badan (BB/TB), dan indeks massa tubuh (IMT) (Supariasa, dkk 2009).
2.2.6 Klasifikasi Status Gizi
Status gizi menurut Pratiwi (2011), dibagi menjadi 4 macam yaitu: a. Status Gizi Buruk
Keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama.
b. Status Gizi Kurang
Terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. c. Status Gizi Baik atau Status Gizi Optimal
Terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin.
d. Status Gizi Lebih
Terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan.
Menurut (Syarifatun Nur Aini , 2013) IMT direkomendasikan sebagai indikator yang baik untuk menentukan status gizi pada remaja. Cara pengukuran IMT adalah IMT = Berat badan (Kg) / Tinggi badan (M2).
2.2.7 Kategori IMT Berdasarkan WHO
Tabel 2.1 kategori IMT
2.2.8 Status Gizi Santri Pondok
Data status gizi didapatkan dari pengukuran antropometri terhadap tinggi badan dan berat badan dibandingkan dengan usia lalu dikategorikan menurut IMT/U. Data tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro dihitung dengan membandingkan asupan sehari dengan AKG. Asupan sehari santri didapat dari pelaporan porsi makan yang diambil santri, akan di lakukan observasi sisa makanan di penyelenggaraan makanan pondok pesantren berlangsung serta recall terhadap snack atau makanan dari luar pondok pesantren yang dilakukan selama 2 hari. Hasil perhitungan sisa makanan dan recall kemudian dihitung nilai gizinya menggunakan program Nutrisurvey dan dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) menurut (Faizzatur Rokhmah, 2016)