• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Cayratia trifolia L. ditunjukkan pada gambar 2.1.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Cayratia trifolia L. ditunjukkan pada gambar 2.1."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Galing-galing (Cayratia trifolia L)

Tanaman Cayratia trifolia L. ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tanaman Galing-galing (Cayratia trifolia L).

(Kumar, dkk., 2011)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Galing-galing (Cayratia trifolia L).

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub Divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Vitales

Suku : Vitaceae

Marga : Cayratia

Spesies : Cayratia trifolia L.

(2)

2.1.2 Kandungan Kimia

Tanaman Cayratia trifolia L. telah dilaporkan mengandung metabolit sekunder seperti flavonoid termasuk sianidin, delfinidin, kaempferol, mirisetin dan kuersetin (Grubben, 2004). Menurut Dinesh dkk (2012), daun galing-galing menunjukkan adanya kandungan flavonoid, tanin, steroid. Selain mengandung metabolit sekunder, tanaman galing-galing juga memiliki kandungan metabolit primer seperti karbohidrat (Dines h, dkk., 2012). Stem, daun dan akar dilaporkan memiliki asam hidrosianat dan delphinidin. Bijinya dan buah-buahan menunjukkan adanya senyawa sianogen. Buah juga mengandung kalsium oksalat yang bertanggung jawab untuk iritasi parah dalam mulut (Grubben, 2004).

2.1.3 Deskripsi Galing-galing

Tanaman Galing-galing (Cayratia trifolia L) merupakan tanaman yang berasal dari family vitaceae umumnya dikenal sebagai fox grape. Tanaman ini biasanya ditemukan di dataran rendah baik di daerah tropis maupun sub tropics di kawasan Asia, India, dan Australia (Purushothama, dkk., 2001). Tanaman Galing-galing merupakan jenis tanaman herba lemah. Tanaman Galing-Galing-galing memiliki daun trifoliated dengan panjang 2-3 cm, tangkai daun panjang dan bulat telur sampai lonjong. Bunga-bunga kecil putih kehijauan dan coklat dalam warna (Tutul, 2010). Buah berdaging, ungu gelap atau hitam, hampir bulat dengan diameter sekitar 1 cm (Vardana, 2008).

(3)

Seluruh tanaman dapat digunakan sebagai pengobatan dalam tumor, neuralgia, diuretika, dan keputihan (Gupta dan Sharma, 2007). Daun, akar dan biji digunakan sebagai pengobatan bisul (Vardana, 2008). Fermentasi rebusan panas daun dan akar digunakan sebagai pengobatan demam tinggi (Gaur dan Sharma, 2010). Akar digunakan untuk mengurangi kondisi anemia, dan penyakit perut (Khare, 2007). Kegunaan empiris dari daun tanaman galing–galing (Cayratia

trifolia L) sering digunakan untuk memandikan atau scrubing hewan ternak

seperti sapi atau kambing (Evelyn dan Murdiati, 1991).

2.2 Sampo

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sampo adalah sabun cair untuk mencuci rambut dan kulit kepala. Sampo merupakan sediaan kosmetik pembersih kulit kepala dan rambut sehingga kulit kepala dan rambut menjadi bersih, lembut, mudah diatur dan berkilau (Tranggono dan Latifah, 2007). Tujuan penggunaan sampo adalah untuk membersihkan rambut dan kulit kepala dari berbagai macam kotoran baik berupa minyak, debu, sel-sel yang sudah mati dan kutu secara baik dan aman. Menurut Tranggono dan Fatma (2007), ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu sediaan dapat dikatakan sebagai sampo, yaitu:

a. Dapat membersihkan dengan baik. b. Dapat memiliki sifat membasahi. c. Dapat memiliki sifat mengemulsi. d. Dapat membentuk busa.

(4)

f. Mudah dicuci atau dibilas.

g. Dapat membuat rambut lebih mudah disisir dan dipola. h. Dapat membuat rambut lebih cemerlang.

i. Tidak mengiritasi mata. j. Tidak toksik.

k. Dapat menyebarkan bau harum.

l. Bila diperlukan mengandung bahan obat untuk mengatasi penyakit pada rambut dan kulit kepala (medicated shampoo).

Hal terpenting yang perlu dijadikan pertimbangan sebelum memformulasikan suatu sediaan sampo adalah menentukan siapa yang akan menggunakan produk sampo tersebut dan tujuan dari penggunaan sediaan sampo tersebut. Pertimbangan ini menjadi penting karena berkaitan dengan dampak negatif yang mungkin dapat ditimbulkan pada penggunaan sediaan sampo yang salah. Penggunaan sampo manusia pada anjing berpotensi dapat menimbulkan efek negatif seperti, kemerahan (erythema), pengelupasan (scaling) dan retak-retak (fisure). Ini disebabkan karena terdapat perbedaan pH yang cukup signifikan antara kulit hewan dan kulit kepala manusia (Tranggono dan Latifah, 2007).

Suatu sediaan sampo selain mengandung air dan surfaktan juga mengandung bahan-bahan tambahan lainnya seperti pewarna, pewangi, pelembab dan jika perlu mengandung bahan aktif tertentu yang bertujuan untuk memperbaiki penampilan sediaan sampo dan menyebabkan suatu sediaan sampo memiliki karakteristik yang khas (Tranggono dan Latifah, 2007).

(5)

Menurut Tranggono dan Latifah secara umum bahan-bahan penyusun suatu sediaan sampo adalah:

a. Surfaktan

Surfaktan merupakan bahan yang harus ada dalam sediaan sampo. Surfaktan adalah bahan yang memungkinkan tercampurnya lemak atau minyak dengan air menjadi suatu campuran yang homogen. Bahan ini berfungsi untuk mengangkat kotoran yang terdapat pada rambut dan kulit kepala.

b. Pengental

Pengental merupakan bahan pada sampo yang berfungsi untuk mengatur atau mengontrol viskositas sampo yang dibuat. Dengan adanya bahan pengental pada sampo, akan dihasilkan sampo yang memiliki kemampuan tuang yang baik saat dikeluarkan dari wadahnya.

c. Pembentuk dan penstabil busa

Salah satu daya tarik dari sampo adalah kandungan busanya. Perilaku konsumen menunjukkan bahwa mereka akan merasa puas jika sampo yang digunakan menghasilkan busa yang banyak. Pada formulasi sampo, penambahan bahan pembentuk dan penstabil busa berfungsi untuk membentuk busa yang stabil.

d. Pelembab

Tujuan pemakaian bahan pelembab adalah untuk melembabkan kulit dan rambut. Selain itu pelembab juga berfungsi untuk mencegah penguapan air

(6)

yang berlebihan pada kulit yang menyebabkan kulit menjadi kering dan retak-retak.

e. Pengawet

Sampo yang disimpan dalam jangka waktu yang lama, akan mengalami penurunan stabilitas. Salah satu penurunan stabilitas yang dialami sampo biasanya disebabkan karena kontaminan dari mikroorganisme. Penambahan pengawet pada pembuatan sampo tentu berfungsi un tuk menekan pertumbuhan mikroorganisme pada sampo tersebut sehingga stabilitas sediaan sampo dapat dipertahankan.

f. Pewangi dan Pewarna

Penambahan bahan pewangi atau pewarna pada sampo berfungsi untuk memperbaiki tampilan dan nilai estetika dari sediaan sampo yang dibuat. Bahan pewangi akan menyebabkan rambut dan kulit kepala menjadi harum saat digunakan sedangkan pewarna berfungsi untuk mengetahui homogenitas dan menambah nilai estetika dari sampo yang dibuat.

2.2.1 Surfaktan

Surfaktan adalah zat aktif permukaan yang mempunyai ujung berbeda yaitu hidrofilik dan hidrofobik atau disebut juga dengan molekuk amfifilik atau menyukai air dan minyak (Lachman dkk., 2007). Surfaktan berfungsi untuk mengangkat atau mengikat kotoran dari suatu permukaan dengan cara menurunkan tegangan antar muka sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada permukaan bahan. Selain itu surfaktan juga dapat mendispersikan

(7)

serta menstabilkan dua atau lebih cairan yang tidak bercampur satu sama lain. Fungsi surfaktan ini dipengaruhi oleh sifat dari surfaktan serta kondisi dan sifat dari permukaan pada saat digunakan (Showell, 2006).

Terdapat empat jenis surfaktan yaitu anionik, kationik, amfoterik dan nonionik. Golongan anionik misalnya natrium lauril sulfat, trietanolamin lauril sulfat dan potassium stearat. Keunggulan jenis surfaktan anionik adalah harganya murah dan memiliki daya bersih yang kuat bahkan dalam air sadah sekalipun. Jenis surfaktan kationik, misalnya dietilaminoetil-oleil amid asetat yang memiliki daya pembasah kuat tetapi daya pembersihnya kurang baik. Jen is surfaktan amfoterik misalnya trietanolamin-lauril-beta-aminopropionat dan natrium-lauril-beta-aminopropionat. Jenis surfaktan ninionik seperti sorbiton monolaurat tidak pernah dipakai secara tunggal dalam sediaan sampo karena hanya mampu menghasilkan sedikit busa dan harganya mahal (Tranggono dan Latifah, 2007). Perlu diperhatikan bahwa pencampuran jenis surfaktan anionik dengan kationik surfaktan tidak dapat dilakukan karena kedua bahan ini bersifat tidak tercampurkan (Permono, 2002). Pertimbangan pemakaian surfaktan pada formulasi sediaan sampo adalah kemampuan dalam mengangkat kotoran dan jumlah busa yang dapat dihasilkan. Selain itu pemakaian surfaktan pada sediaan sampo juga perlu memperhatikan efek penggunaannya terhadap kulit sehingga tidak menimbulkan iritasi (Showell, 2006).

2.2.2 Mekanisme Pengikat Kotoran

Mekanisme kerja surfaktan untuk mengikat atau mengangkat kotoran dari suatu permukaan melalui beberapa langkah, mula-mula surfaktan bercampur

(8)

dengan kotoran yang ada pada permukaan dengan gerakan yang cepat (10-5 cm2/detik) membentuk suatu kumpulan lapisan-lapisan. Gerakan adsorpsi ini dapat diukur dengan dynamic interfacial tensiometry. Selanjutnya surfaktan yang telah teradsorpsi pada lapisan permukaan akan menurunkan energi tegangan antarmuka yang terdapat pada masing-masing permukaan bahan (Showell, 2006). Secara termodinamik, mekanisme pengikat kotoran adalah kerja energi bebas antar muka yaitu dimasukkan ke dalam kompleks surfaktan-kotoran tersebut. Suatu energi bebas antarmuka yang tinggi cenderung untuk mengurangi daerah antarmuka sehingga menyebabkan tetesan-tetesan bentuk bulat yang bergabung membentuk lapisan misel. Misel adalah hasil dari pembuatan struktur sendiri dari bahan-bahan aktif permukaan agar mencapai suatu keadaan energi minimum (Lachman dkk., 2007).

Tahap berikutnya akan terbentuk kompleks surfaktan -kotoran, dimana surfaktan mengelilingi tetesan-tetesan dari fase dalam. Pada kondisi ini molekul amfifilik akan mengatur dirinya pada suatu antarmuka air-minyak dalam sebagian besar posisi yang paling disukai secara energetik, yakni membentuk struktur dengan ujung nonpolar dari beberapa molekul yang saling berhubungan satu sama lain (ikatan hidrofobik) dan dengan ujung polar dipaparkan ke air sekitarnya. Kemudian kompleks surfaktan-kotoran akan ditransportasikan keluar dari permukaan. Pada kasus dimana kotoran berupa lapisan berminyak yang memiliki berat jenis yang lebih rendah daripada lapisan air, kotoran akan mengapung dengan sendirinya ke permukaan. Sedangkan jika kotoran bukan berupa lap isan

(9)

berminyak diperlukan energi mekanik untuk mengangkat kotoran ke lapisan permukaan (Showell, 2006).

2.2.3 Mekanisme Terbentuknya Busa

Menurut Hargreaves (2003) busa adalah dispersi gas dalam air, dimana setiap bagian gas dilapisi oleh air. Mekanisme terbentuknya busa diawali dengan terbentuknya gelembung-gelembung udara akibat adanya energi mekanik didalam sistem, selanjutnya kandungan surfaktan yang telah teradsorpsi pada permukaan cairan akan melapisi gelembung-gelembung udara pada sistem tersebut menyerupai dinding sel yang tipis (lapisan film) akibat telah terjadinya penurunan tegangan permukaan dalam sistem. Adanya kandungan surfaktan yang teradsorpsi pada bagian permukaan mencegah busa menjadi pecah (Joseph, 1997).

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu metode penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000). Proses ekstraksi bahan nabati atau bahan obat alami dapat dilakukan berdasarkan teori penyarian. Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi larutan aktif dalam cairan penyari tersebut (Depkes RI, 1986). Pemilihan metode ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan

(10)

kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang akan diisolasi (Depkes RI, 1986).

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pad a temperatur ruangan (kamar). Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi mes erasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Depkes RI, 2000).

2.4 Metode Pengujian Sediaan Sampo Veteriner 2.4.1 Pengujian Daya Bersih

Pengujian daya bersih dilakukan dengan menggunakan sampel rambut yang telah ditambahkan kotoran berupa sebum buatan (10%) yang terdiri dari asam oleat, parafin cair, minyak kelapa olive oil dan asam stearat yang dilarutkan dengan N-heksana. Sebum adalah sejenis lemak yang membuat kulit menjadi lentur. Kemudian sampel rambut yang telah mengandung sebum dicuci dengan sampo kemudian dibilas. Selanjutnya dilakukan proses penimbangan jumlah kotoran yang tercucikan dan dihitung persentase jumlah kotoran yang tercucikan, dengan menggunakan persamaan dibawah ini (Aghel, dkk., 2007). Deterjen yang baik memiliki kemampuan membersihkan mendekati 100%. Persentase daya bersih dapat dihitung dengan persamaan 2.2

DP= (1- T/C) x 100% ……….(Persamaan 2.2) Keterangan:

(11)

DP :Detergency power (daya bersih) T : Berat sebum sampel setelah pencucian C : Berat sebum sampel awal

2.4.2 Pengujian Ketinggian Busa

Pengecekan busa dilakukan dengan mengambil sediaan deterjen dalam volume tertentu yang dimasukkan ke dalam wadah bening, kemudian ditambahkan air dengan volume tertentu. Aduk kemudian ukur tinggi busa yang dihasilkan. Proses pengadukan dilakukan dengan menggunakan pengaduk mekanik untuk memperoleh kecepatan pengadukan yang seragam (Klein, 2004).

2.4.3 Pengujian Stabilitas Busa

Untuk mengevaluasi stabilitas busa dilakukan dengan mengambil sediaan deterjen dalam volume tertentu yang dimasukkan ke dalam wadah bening kemudian ditambahkan air sampai 100 ml. Lakukan proses pengadukan dengan pengaduk mekanik untuk memperoleh kecepatan pengadukan yang seragam. Ketinggian busa diukur setelah 1 menit, kemudian ketinggian busa diukur kembali setelah 5 menit (Redmon, 2001). Sediaan deterjen dikatakan memiliki busa yang stabil jika ketinggian busa pada menit pertama (H°) sama dengan ketinggian busa setelah menit ≥ kelima (H') atau memiliki persentase stabilitas busa sebesar 100% setelah didiamkan selama ≥ lima menit (Klein, 2004).

Stabilitas busa = H/Ho x 100% ………(Persamaan 2.3) Keterangan:

(12)

H : Tinggi busa setelah 5 menit Ho : Tinggi busa setelah 1 menit

2.4.4 Uji Viskositas

Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi viskositas maka semakin besar tahanannya (Martin dkk., 1993). Dalam penelitian dan teknologi farmasetik, peng ukuran viskositas digunakan untuk mengkarakterisasi kemudahan penuangan dari botol, pemeliharaan bentuk sesudah pengeluaran, penggosokkan bentuk produk di atas atau kedalam kulit dan penyimpanan kedalam alat pengisian (Lachman, dkk., 1989).

Viskometer Brookfield DV-E merupakan viskometer yang dapat digunakan untuk mengukur viskositas bahan non-newton karena memiliki kontrol shearing stress yang bervariasi (Lachman, dkk., 1989). Prinsip kerja alat ini adalah pengukuran viskositas dengan melakukan kontrol terhadap shearing stress dengan menggunakan variasi kecepatan pengadukan. Waktu yang dibutuhkan rotor untuk berputar 100 kali dicatat oleh operator. Alat ini tidak boleh digunakan untuk sistem yang mempunyai viskositas di bawah 20 cps (Martin, dkk., 1993).

2.4.5 Uji Persen Padatan

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui persentase partikel yang terdapat di dalam sediaan sampo. Hal ini sekaligus sebagai standar evaluasi dari kemudahan suatu sediaan sampo untuk dibilas, karena semakin tinggi persentase padatan yang terdapat dalam suatu produk sampo maka sediaan tersebut akan semakin sulit untuk dibilas. Metode pengujian yang digunakan adalah dengan dengan metode penguapan, yaitu dengan menimbang sejumlah sediaan sampo kemudian sediaan

(13)

sampo diuapkan hingga tersisa bagian padatan. Partikel padatan yang tersisa kemudian dihitung. Standar persentase partikel padatan yang diperbolehkan adalah kurang dari 30% (Redmon, 2001). Persen padatan dapat dihitung dengan persamaan 2.4

% Padatan =berat sampo setelah diuapkan (gram)berat sampo awal (gram) 𝑥 100% ..…..…(Persamaan 2.4)

2.4.6 Uji pH

pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan. pH sediaan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam permeabilitas kulit dan penetrasi obat melewati kulit. Semakin jauh beda pH antara sediaan dengan pH fisiologi kulit baik jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah, maka akan sema kin besar resiko reaksi negatif yang ditimbulkan. Hal ini menyebabkan kulit menjadi diperlunak dan daya penetrasi suatu senyawa akan dipermudah. Pengujian pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Dengan menggunakan pH meter, maka perubahan pH sediaan perselang waktu tertentu dapat ditentukan (Tranggono dan Fatma, 2007). pH yang diinginkan berada pada rentang antara 7,37 sampai 8,07 (Young et all., 2002)

2.4.7 Uji Iritasi

Dalam mengevaluasi iritasi kulit, uji dengan punggung kelinci (uji Draize), uji dengan babi dan uji pada tikus telah digunakan sebagai model hewan. Pengujian iritasi dengan punggung kulit kelinci lebih sering digunakan. Pengujian dilakukan pada kulit punggung enam kelinci albino. Setengah gram atau 0,5 ml zat uji ditempatkan pada sebuah perban yang tidak reaktif kemudian ditutup

(14)

hingga 24 jam. Setelah 24 jam, perban dibuka dan area uji dibersihkan dengan air untuk menghilangkan sisa bahan uji. Pada waktu 24 dan 72 jam setelah pemberian sediaan, kedua area uji diperiksa, dan diukur iritasi yang ditimbulkan dengan menggunakan skala meter dan diamati perubahannya sebagai reaksi kulit terhadap zat uji dan dinilai dengan cara memberi skor 0 sampai 4 tergantung tingkat keparahan reaksi kulit yang dilihat (Draize, 1959).

Tabel 2.1 Skor Derajat Iritasi pada Eritema

REAKSI KULIT SKOR

T anpa eritema 0

Sangat sedikit eritema (hampir tidak terlihat) 1 Eritema jelas terlihat (Diameter 25,1-30 mm) 2

Eritema sedang (Diameter 30,1-35 mm) 3

Eritema berat (gelap merah dengan membentuk eskar, Diameter > 35 mm) 4

Tabel 2.2 Skor Derajat Iritasi pada Edema

REAKSI KULIT SKOR

T anpa edema 0

Sangat sedikit edema (hampir tidak terlihat) 1 Edema jelas terlihat (ketebalan < 1 mm) 2

Edema sedang (tepi naik ± 1 mm) 3

Edema berat (tepi naik lebih dari 1 mm dan meluas keluar daerah pejanan) 4

(Atif et al, 2013; Sukandar 2013)

(15)

2.5.1 Deltametrin

Deltametrin berupa serbuk berwarna putih, dengan tekstur padat seperti kristal. Senyawa ini memiliki berat jenis 1,5 g/cm3 dan titik leleh 98-101˚C. Bahan ini memiliki koefisien partisi log P (oktanol/air) 4,6 (Mofat, dkk., 2005). Bahan yang memiliki nama lain decametrin ini, sangat mudah larut dalam kerosen, isoalkana dan isopropanol, mudah larut dalam etanol, larut dalam xylem, agak sukar larut dalam metilen klorida, sukar larut dalam toluene, aseton, benzene, dimetil sulfoksida, sikloheksan dan dioksan, praktis tidak larut dalam air (Moffat, dkk., 2005).

Deltametrin merupakan insektisida yang termasuk dalam kelompok pestisida

pyrethroids. Senyawa ini direkomendasikan untuk mengendalikan insektisida.

Menurut Siswandono dan Bambang (2002), senyawa ini bersifat selektif karena ada perbedaan kandungan mielin dalam serat saraf vertebrata dan antropoda. Pada serat saraf vertebrata kandungan mielin jauh lebih banyak dibanding antropoda sehingga deltemetrin yang memiliki kelarutan dalam lemak tinggi akan tertahan dalam mielin dan mencegah interaksinya dengan serat saraf. Pada antropoda, kandungan mielin dalam serat saraf sangat rendah, sehingga delt emetrin akan langsung berinteraksi dengan serat saraf, terjadi pemblokan dan menyebabkan paralisis serangga.

Berdasarkan penelitian penggunaan deltemetrin 6% efektif untuk mengatasi infeksi kutu anjing (Sudira, 2009). Deltemetrin dipasaran tersedia dalam beberapa merk dagang, salah satunya adalah Butox® berupa sediaan cair. Formulasi sediaan sampo harus mempertimbangkan karakteristik fisika dan kimia dari deltametrin.

(16)

Pertimbangan formulasi sediaan sampo juga harus mempertimbangkan aroma deltametrin yang apek sehingga memberikan aroma yang kurang menyenangkan saat digunakan.

2.5.2 Natrium Lauril Sulfat

Natrium Lauril Sulfat merupakan golongan surfaktan anionik yaitu surfaktan yang mengandung muatan ion negatif. Jenis surfaktan ini merupakan surfaktan yang paling banyak dipakai dalam industri (Permono, 2002). Pemanfaatan natrium lauril sulfat dalam formulasi sediaan farmasi sudah sangat luas digunakan pada sediaan nonparenteral dan preparat kosmetik (Behn, 2005).

Natrium Lauril Sulfat memiliki efek toksisitas sedangn berupa efek akut seperti iritasi kulit, iritasi mata, iritasi membrane mukosa, dan iritasi pada lambung jika tidak sengaja tertelan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dari kebanyakan surfaktan untuk dapat merusak membrane mukosa (Behn, 2005). Natrium lauril sulfat memiliki berat jenis 1,07 g/ml, pH 7,0-9,5, dengan nilai HLB 40 dan titik leleh berkisar antara 204-207oC.

Tabel 2.3 Pemakaian Natrium Lauril Sulfat pada Formulasi Farmasi (Behn, 2005).

Pemakaian Konsentrasi (%)

Anionik emulsifier, emulgator dengan basis fatty alcohols 0,5-2,5

Surfaktan pada sampo yang mengandung obat ≥10

Bahan pembersih kulit pada sediaan topical 1

(17)

concentration

Tablet lubrikan 1-2

Wetting agen 1-2

2.5.3 Gom Xanthan

Gom xanthan merupakan serbuk berwarna putih kecoklatan dan berbau khas. Bahan ini memiliki berat jenis 0,65-0,85g/cm3 dan titik leleh 270˚C. Bahan ini stabil pada rentang pH 3 sampai 12. Gom xanthan praktis tidak larut dalam etanol dan eter tetapi larut dalam air hangat dan dingin. Sebagai bahan pengental, gom xanthan dipakai dalam konsentrasi 1% (Singh, 2005).

Gom xanthan termasuk salah satu tipe serat terlarut (soluble fiber) sehingga mempunyai sifat dapat membentuk gel jika bercampur dengan cairan (Lachke, 2004). Gom xanthan merupakan senyawa anionik. Bahan ini inkompatibel dengan senyawa kationik surfaktan dan polimers. Selain itu, senyawa ini juga inkompatibel dengan bahan pengoksidasi, seperti tablet salut film, CMC Na, Aluminium Hidroksida gel, dan zat aktif lainnya seperti amitriptilin, tamoksifien dan verapamil.

2.5.4 Aloe phytelene colorless EG-543®

Aloe phytelene colorless EG-543® berupa cairan tidak berwarna dengan bau khas lidah buaya. Bahan ini memiliki berat jenis 1,049g/cm3. Bahan ini larut dalam air dan dalam alkohol. Lidah buaya telah digunakan secara luas bidang

(18)

kosmetik. Bahan ini dapat memberikan efek melembabkan dan mengembalikan kealamian kulit (Padmadisastra, 2003).

Kandungan air yang cukup besar dan polisakarida dalam lidah buaya sangat baik digunakan untuk pelembab kulit. Konsentrasi lidah buaya cair yang digunakan pada sediaan sampo sebagai bahan pelembab adalah dengan konsentrasi 5-20% (Moroni, 1982).

2.5.5 Gliseril Monostearat

Gliseril monostearat adalah senyawa golongan ester dengan rantai asam lemah yang panjang. Gliseril monostearat memiliki rumus kimia C21H42O4. Nilai

HLB gliseril monostearat adalah 3,8 dengan titik leleh sebesar 55˚C-60˚C, berat jenis 0,15 g/cm3 dan titik nyala pada kisaran suhu 240˚C. Gliseril monostearat larut dalam etanol panas, eter, kloroform, aseton panas dan minyak mineral. Praktis tidak larut dalam air, tapi dapat tercampur dalam air jika ke dalam campuran ditambahkan sabun atau surfaktan. (Taylor, 2005).

Gliseril monostearat berfungsi sebagai pelembut dengan ko nsentrasi 1-5%; agen pengemulsi, pelarut, stabiliser, dan bahan pembasah. Gliseril monostearat tidak tercampurkan dengan senyawa asam. Hal ini karena jika gliseril monostearat disimpan pada suhu hangat, akan terjadi peningkatan nilai asam sehingga perlu ditambahkan antioksidan seperti butyl hidroksitoluen dan propol gallat. Gliseril monostearat harus disimpan pada wadah yang tertutu p rapat, terlindung dari cahaya, pada tempat yang sejuk dan kering (Taylor, 2005).

(19)

Komposisi Lexgard P® terdiri dari 5-bromo-5-nitro-1,3-dioxan dan 1,2-propilen glikol. Bahan ini berupa cairan jernih tidak berwarna dengan berat jenis1,080-1,090 g/cm3. Pemakaian Lexgard P® sebagai pengawet telah digunakan secara luas dalam bidang kosmetik yang menggunakan surfaktan, seperti dalam sediaan sampo dan sabun cair. Penggunaan sebagai pengawet adalah dengan konsentrasi 0,2%.

a. Propilen Glikol

Propilen glikol berupa cairan kental tidak berwarna dan tidak berbau. Senyawa ini memiliki berat jenis 1,038g/cm3 dan titik didih 188˚C. Propilen glikol dapat tercampur dengan aseton, kloroform, etanol (95%), gliserin dan air, larut dalam eter serta tidak tercampurkan minyak mineral. Penggunaan bahan ini sebagai pengawet dalam sediaan farmasi adalah sebesar 15-30%. Propilen glikol tidak tercampurkan dengan kalium permangat. Propilen glikol bersifat higroskopis sehingga harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat serta hindari kontak dengan sinar matahari langsung (Owen dan Weller, 2005).

b. 5-bromo-5-nitro-1,3-dioxan (Bronidox)

Bronidox memiliki rumus kimia C4H6BrNO4 yang merupakan serbuk

kristal putih yang tidak larut dalam air dengan titik leleh 60˚C dan pH 6-7. Bahan ini umum digunakan dengan konsentrasi 0,1% sebagai pengawet. Bronidox memiliki kemampuan untuk menghambat aktivitas enzim sehingga menghambat pertumbuhan mikroba (Ghannoum, dkk., 2007).

(20)

2.5.7 Alfa Tokoferol

Alfa tokoferol asam suksinat berupa serbuk berwarna putih. Senyawa ini memiliki rumus kimia C29H50O2 dengan berat molekul 430,72, titik didih 235˚C

dan berat jenis 0,947-0,951 g/cm3. Dalam teknologi sediaan farmasi alfa tokoferol berfungsi sebagai antioksidan dalam konsentrasi 0,001-0,05% (Owen, 2005). Senyawa ini praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut pada aseton, etanol, eter dan vegetable oils. Alfa tokoferol teroksidasi secara lambat oleh oksigen di udara dan teroksidasi secara cepat oleh besi dan perak. Bentuk ester lebih stabil terhadap oksidasi tetapi memiliki efek antioksidan yang lebih rendah. Alfa tokoferol harus disimpan pada wadah yang tertutup rapat, terlindung dari cahaya, pada tempat yang sejuk dan kering (Owen, 2005).

2.5.8 Kalium Klorida (KCl)

Kalium klorida berupa serbuk kristal berwarna putih, bentuk memanjang, prisma atau kubus, tidak berbau, larutan bereaksi netral terhadap kertas lakmus. Senyawa ini mudah larut dalam air, lebih mudah larut dalam air panas dan tidak larut dalam etanol (Depkes RI, 1995). Senyawa ini memiliki berat jenis 1,99 g/cm3 dan titik leleh 790˚C. Dalam teknologi sediaan farmasi KCl berfungsi sebagai stabiliser dan agen pembentuk gel (Owen, 2005).

2.5.9 Pearl Concentrate

Bahan ini berupa cairan berwarna putih yang berkilau. Penambahan bahan ini dalam sediaan sampo berfungsi untuk memperbaiki penampilan sediaan sampo dan menyebabkan suatu sediaan sampo memiliki penampilan fisik yang menarik.

(21)

Dalam sediaan sampo penambahan pearl concentrate® dalam konsentrasi 1-10% (Boyyxen, 2001).

2.6 Analisis Data

Salah satu metode yang digunakan untuk melakukan analisis data adalah

Analysis of Variance (ANOVA). Varians diartikan sebagai derajat dimana 2 atau

lebih hal berbeda dibandingkan. ANOVA digunakan untuk menguji hipotesis bahwa rata-rata antara 2 atau lebih grup apakah sama dengan membandingkan varians pada tingkat kepercayaan tertentu. Asumsinya adalah bahwa sampel memiliki distribusi normal dan memiliki varians yang sama. Hipotesis awal (H0)

dari ANOVA adalah dengan menganggap bahwa rata-rata grup adalah sama (faktor tidak signifikan) dan hipotesa alternatif (H1) menganggap bahwa rata-rata

grup tidak sama (faktor signifikan) (Santoso, 2010).

ANOVA one-way menjelaskan analisis varians yang timbul pada faktor tunggal. ANOVA one-way digunakan ketika data dibagi dalam kelompok berdasarkan 1 jenis faktor untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan antar grup dan jika ada, maka dilanjutkan dengan uji Least Significant

Difference (LSD) untuk memperjelas perbedaan pada masing -masing grup

Gambar

Gambar 2.1 Tanaman Galing-galing (Cayratia trifolia L).
Tabel 2.2 Skor Derajat Iritasi pada Edema
Tabel 2.3 Pemakaian Natrium Lauril Sulfat pada Formulasi Farmasi (Behn, 2005).

Referensi

Dokumen terkait

Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan

Langkah-langkah kegiatan pembelajaran pada metode guided discovery memiliki keterkaitan dengan indikator pada keterampilan proses terintegrasi. Keterkaitan tersebut, yaitu a)

Inflasi yang terjadi di Kota Banda Aceh disebabkan oleh kenaikan indeks harga konsumen Kelompok Transpor, Komunikasi &amp; Jasa Keuangan sebesar 0,63 persen, Perumahan,

Karena individu yang telah sembuh dari campak mendapatkan kekebalan, penyebaran penyakit tersebut dapat direpresentasikan dengan model susceptible infected

Dilihat dari rata-rata durasi waktu bermaIn make-believe play dengan kemampuan menunda kepuasan, pada partisipan yang tidak mampu menunda kepuasan memiliki

Sistem Informasi Penjualan Berbasis Web dan SMS Gateway ini merupakan sistem informasi yang sangat berguna bagi CV Giton Education Toys dalam memasarkan produk mainannya ke

Tidak berubahnya rekomendasi dan sudut pandang SSI pada saham SMRA telah mendorong kami menurunkan TP dengan diskon to NAV yang lebih tinggi.. Hal ini juga kami lakukan

Penelitian Kelima yaitu “Analisis Pengendalian Intern atas Persediaan pada Perum Bulog Divre Sulut” yang dilakukan oleh Biga (2013). Hasil penelitian menunjukkan