• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan masyarakat terlihat pada lembaga yang ada pada masyarakat tersebut, baik itu lembaga di bidang ekonomi, sosial budaya, teknologi maupun hukum. Untuk meningkatkan kesehatan seluruh masyarakat, maka dilakuan pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan pembangunan itu tidak hanya dilakukan oleh pihak pemerintah saja tetapi juga melibatkan peran serta pihak lain, yakni pihak swasta sebagai salah satu pilar kekuatan.

Sejalan dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan nasional di semua bidang, maka peran serta pihak swasta semakin meningkat dalam pelaksanaan pembangunan. Keadaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung menuntut lebih aktifnya kegiatan usaha. Salah satu bidang usaha pihak swasta yang mengalami perkembangan adalah di bidang perdagangan otomotif (sepeda motor).

Berbagai upaya dilakukan dalam meningkatan perdagangan sepeda motor, yang pada dasarnya menciptakan lebih banyak variasi sistem pemasaran barang yang telah ada. Semua ini sebagai akibat dari perkembangan kehidupan perekonomian pada umumnya dan industri pada khususnya. Pihak produsen melihat perkembangan perekonomian masyarakat sebagai peluang untuk memasarkan sepeda motor, sementara konsumen membutuhkan sepeda motor untuk mendukung kecepatan dalam mobilitasnya.

(2)

Sistem penjualan yang paling marak dalam perdagangan sepeda motor adalah sistem beli sewa (hire purchase-huurkoop), jual beli dengan angsuran atau sewa (renting). Sistem ini dilaksanakan dengan cara pembeli mengangsur biaya tertentu yang telah disepakati dan uang angsuran dianggap sebagai sewa sampai akhirnya setelah pelunasan, barulah dianggap uang angsuran itu sebagai uang pembelian sepeda motor yang dibeli sewa.

Sewa beli merupakan perjanjian campuran antara jual beli dan sewa menyewa yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini mula-mula timbul dari praktek karena adanya kebutuhan masyarakat yang berkeinginan memiliki barang tetapi tidak punya cukup uang. Oleh karena itu Subekti1 dan Sri Gambir Hatta2

1 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 51.

2 Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Alumni, Bandung, 1999, hal. 3.

mengatakan bahwa niat utama dalam sewa beli adalah untuk memperoleh hak milik barang dan bukan sekedar memberikan hak memanfaatkan barang.

Meskipun tujuannya untuk memperoleh hak milik dan barangnya sudah diserahkan kepada debitur, akan tetapi hak kepemilikannya baru berpindah setelah seluruh angsuran dilunasi. Selama masih dalam masa angsuran, hak kepemilikan atas benda tersebut masih tetap pada penjual, sedangkan pembayarannya selama masa angsuran dianggap sebagai sewa. Kepemilikan benda baru berpindah setelah dilunasinya seluruh angsuran. Hal ini berbeda dengan jual beli angsuran, dimana dalam jual beli angsuran, meskipun pembayaran angusran belum dilunasi, akan tetapi objek perjanjian sudah menjadi milik pemberi sejak perjanjian itu ditutup.

(3)

Untuk melindungi kepentingan kreditur (penjual) dari keadaan yang tidak diinginkan, maka dibuat klausul-klausul yang banyak merugikan debitur (pembeli). Sri Gambir3

1. Penjual berhak menarik kembali barang dan perjanjiannya dianggap batal serta uang angsurannya dianggap sebagai sewa.

dalam penelitiannya menemukan berbagai klausul ketika pembeli tidak memenuhi pembayaran angsuran, antara lain:

2. Penjuaal berhak mengenakan denda;

3. Penjual berhak menuntut pembayaran sekaligus dan seketika atas sisa angsuran dan denda;

4. Pemberian kuasa mutlak kepada penjual untuk bebas bertindak atas barang;

5. Pembatalan perjanjian tanpa melalui hakim (pelepasan berlakunya pasal 1266 dan 1267);

6. Perjanjian bernilai eksekutorial.

Dalam banyak kasus masih ditemukan klausul-klausul lain, misalnya larangan bagi pembeli untuk memindahtangankan barang, penjual bebas memasuki rumah pembeli untuk menarik barang, penjual berhak menyita barang lain milik pembeli dalam hal barang objek perjanjian tidak dapat ditemukan, dan lain-lain.4

Sering terjadi dalam kenyataan, bahwa debitur yang tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian sewa beli yang telah dibuat dengan pihak kreditur, salah satunya adalah tidak mampunya debitur untuk melakukan

3 Ibid, hal. 170-189.

4 Ibid

(4)

pembayaran angsuran atas barang yang telah dikuasai oleh debitur, dimana ketidakmampuan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga pihak kreditur mengambil tindakan penyitaan atas barang yang telah diletakkan perjanjian sewa beli tersebut.

Tindakan penyitaan yang oleh kreditur merupakan hal yang lumrah terjadi dalam praktek pelaksanaan perjanjian sewa beli, namun terkadang ketika eksekusi atau penyitaan atas benda sewa beli itu dilakukan, terkadang kreditur mendapati bahwa benda yang akan disita sudah tidak sesuai dengan keadaan ketika benda tersebut diserahkan, sehingga kreditur menganggap bahwa debitur telah melakukan penggelapan atas benda sewa beli tersebut.

Skripsi ini menguraikan tentang aspek pidana penggelapan benda yang diikat dalam perjanjian sewa beli serta pertanggungjawaban pidana debitur yang melakukan penggelapan atas benda sewa beli kendaraan bermotor.

B. Permasalahan

Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal

terjadinya penyitaan oleh kreditur?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

(5)

a. Untuk mengetahui aspek pidana penggelapan atas benda-benda yang menjadi objek sewa beli

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan oleh kreditur

2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet.

2. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, lembaga kenotariatan, pemerintah, aparat penegak hukum tentang eksistensi Undang-undang serta pasal-pasal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet yang terdapat dalam berbagai Undang-undang.

b. Secara Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan

(6)

pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Debitur dalam Sewa Beli Sepeda Motor Secara Kredit yang Menggelapkan Alat-alat Sepeda Motor dalam Hal Terjadinya Penyitaan Karena Kredit Macet (Studi Kasus Putusan PN Medan Nomor 2516/Pid.B/2009/PN.Mdn)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Kredit dan Kredit Macet a. Pengertian Kredit

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara

(7)

kreditur dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.5

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur selaku pemberi kredit dengan nasabah sebagai debitur/penerima kredit. Dalam perjanjian ini pihak pemberi kredit percaya terhaap nasabahnya dalam jangka waktu yang telah disepakatinya akan dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali prestasi ini menurut Mgs. Edy Putra Aman, merupakan suatu

Dalam undang-undang Nomor 7 tahun 1992 pasal 1 butir 12 dan menurut undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan bahwa pengertian kredit disebut sebagai berikut:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Sedangkan dalam peraturan baru yang tertuang dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, pengertian kredit tidak mengalami perbedaan definisi yang mendasar, yang diatur dalam pasal 1 angka 11 sebagai berikut:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

5 Pasal 1 angka (11) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

(8)

hal yang abstrak, yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat pula berjalan beberapa tahun.6

b. Pengertian Kredit Macet

Kredit macet adalah suatu keadaan dimaan nasabah sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank seperti telah diperjanjikan.

2. Pengertian Sewa Beli

Mengenai perjanjian sewa beli ini ada beberapa definisi dari para pakar di Indonesia diantaranya yaitu, Sewa beli sebenarnya semacam jual beli, setidak- tidaknya sewa beli lebih mendekati jual beli dari pada sewa menyewa, meskipun ia merupakan campuran dari keduanya dan diberikan jual sewa menyewa.7

Sewa beli adalah jual beli barang di mana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan Menurut Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masychoen Sofyan, SH : 25 memberikan definisi perjanjian sewa beli sebagai berikut :

“Hire Puchase (Huur Koop): ialah lembaga jaminan yang banyak terjadi dalam praktek di Indonesia namun sampai kini belum dapat pengaturannya dalam Undang-Undang. Perjanjian sewa beli adalah perjanjian dimana hak tersebut akan berakih pada pembeli sewa jika harga barang tersebut sudah dibayar lunas”.

Menurut isi dari SK Menteri Perdagangan dan Kopersi No. 34 / KP/ II / 1980 adalah sebagai berikut:

6 Mgs. Edy Putra Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hal.10.

7 R. Subekti, Op.cit, hal. 52.

(9)

oleh pembeli dengan pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan telah diikat dalam suatu perjanjian serta hak milik atas barang tersebut baru beralih dari penjual pada pembeli setelah jumlah harganya dibayar lunas oleh pembeli.8

3. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Tindak pidana penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak suatu benda yang sama sekali atau sebahagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan benda itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak Rp. 900,-“.9

Dimana sering terjadi penggelapan di kalangan kawan-kawan maupun kenalan dalam kehidupan sosial. Terjadinya kejahatan penggelapan itu karena ada hubungan kerja, hubungan dagang, baik penitipan benda Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, untuk dapat melihat apakah perbuatan itu melanggar undang-undang atau harus diciptakan dulu peraturan sebelum peristiwa agar mencegah tindakan sewenang-wenang dan memberi kepastian hukum, dari segi sosiologis kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan penderita juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.

Perbuatan yang merusak kepercayaan ini serupa dengan mengingkari janji dengan iktikad yang tidak baik dan karena itu dalam KUHP digolongkan dengan kejahatan penggelapan, selanjutnya R. Tresna, mengatakan:

8 Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, Pasal 1 Huruf a.

9 R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Politea, Bogor, 1994, hal. 258.

(10)

maupun pemberian kuasa atau seorang pegawai yang berhubungan dengan keadaan sosial masyarakat.10

Dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 372 KUHP menerangkan bahwa memiliki adalah perbuatan menguasai suatu benda seolah-olah ia memiliki benda itu. Kiranya pengertian ini dapat diterangkan demikian, bahwa petindak dengan melakukan perbuatan memiliki atas suatu benda yang berada dalam kekuasaannya, adalah ia melakukan suatu perbuatan sebagaimana pemilik melakukan perbuatan terhadap benda itu. Menurut hukum, hanyalah pemilik saja yang dapat melakukan sesuatu perbuatan terhadap benda miliknya.11

Pengertian benda yang berada dalam kekuasaannya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dahulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.12

Tiap kejahatan yang diatur dalam KUHP maupun diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi sesuai dengan yang dilakukan. Untuk dapat mengemukakan unsur-unsur kejahatan penggelapan, maka sebaiknya diturunkan dari bunyi ketentuan pasal 372 KUHP, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa untuk dapat dinyatakan

10 R. Tresna, Asas-asas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan yang Penting, PT. Tiara, Jakarta, 1979, hal. 241.

11 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayumedia, Malang, 2003, hal.

72.

12 Ibid, hal. 77.

(11)

seseorang melakukan kejahatan penggelapan harus terpenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. yang bersalah harus bermaksud memiliki benda itu,

b. benda itu harus kepunyaan orang lain, baik seluruhnya atau sebahagian, c. benda itu harus sudah ada di tangan yang melakukan perbuatan itu, bukan

dengan jalan suatu kejahatan, d. memiliki benda itu harus tanpa hak.

4. Pengertian Pertanggungjawaban pidana

Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasinya.

Baik negara-negara Civil Law maupun Common Law, umumnya pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana Civil Law System lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan tem lainnya, undnag-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.13

13 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983, hal. 260.

(12)

Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of liability)

Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana.

Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membukt ikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana.14

14 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 62.

(13)

Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan.

Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggung- jawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana.15

Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana

15 Ibid, hal. 62-63.

(14)

pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah.

Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat- syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana

berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas adanya hal itu.16

Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya.

Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan

16 Ibid, hal. 64.

(15)

adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan.17

Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana,

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP).

Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur tindak pidana.

18

17 Ibid, hal.65.

18 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.

merupakan konsekuensi

(16)

logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.19

19 Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, hal. 180.

Sebaliknya, sekali perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan- perbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat sebagai celaan dari segi moral.

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.

(17)

Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau setiap orang yang melakukannya akan dicela pula.

Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya. Mempertanggungjawab- kan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.20

Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya.

Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer.21

Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan

20 Roelan Saleh, Op.cit, hal. 71.

21 Chairul Huda, Op.cit, hal. 69.

(18)

(kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.

F. Metode Penelitian

Didalam pengumpulan data dan informasi untuk penulisan skripsi ini penulis telah mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk dapat mendukung penulisan skripsi ini dan hasil yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka penulis menerapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan

patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. Penelitian hukum normatif ini sepenuhnya menggunakan data sekunder.22

22 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, hal. 118.

(19)

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.23

a. Bahan Hukum Primer

Data sekunder diperoleh dari :

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 34/KP/II/80 tentang Perizinan Kegiatan Sewa Beli, Jual Beli dengan Angsuran dan Sewa, dan peraturan perundang- undangan lain yang terkait.

b. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti dokumen-dokumen yang merupakan informasi dan artikel-artikel yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana debitur dalam sewa beli sepeda motor secara kredit yang menggelapkan alat-alat sepeda motor dalam hal terjadinya penyitaan karena kredit macet, hasil penelitian, pendapat pakar hukum serta beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier

23 Ibid, hal. 30.

(20)

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dll.

3. Metode pengumpulan data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel yang berkaitan dengan objek penelitian, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang- undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:

a. melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan perundang-undangan.

c. mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian.

4. Analisa data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan

(21)

dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum perjanjian sewa beli, yang isinya antara lain memuat pengaturan sewa beli di Indonesia, perbedaan perjanjian sewa beli dengan perjanjian lainnya, para pihak dalam perjanjian sewa beli, bentuk dan isi perjanjian sewa beli, resiko dalam sewa beli, dan berakhirnya perjanjian sewa beli.

BAB III : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum terhadap tindak pidana penggelapan, yang memuat tentang jenis-jenis tindak pidana penggelapan dan unsur-unsur tindak pidana penggelapan.

BAB IV : Bab ini akan dibahas tentang pertanggungjawaban pidana debitur dalam perjanjian sewa beli yang menggelapkan alat-alat sepeda

(22)

motor dalam hal terjadinya penyitaan, yang isinya memuat antara lain tentang deskripsi kasus, aspek pidana penggelapan dalam pelaksanaan perjanjian sewa beli dalam hal terjadinya penyitaan benda sewa beli oleh kreditur, dan analisa kasus.

BAB IV : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, hasil perhitungan uji normalitas data dengan model Jarque Bera berdistribusi normal, hasil uji linieritas dengan model Ramsey

Dari 100 responden ada 48% responden yang menilai sanagat baik, 39%responden menilai baik dan 13% responden memberikan penilaian cukup baik terhadap jaminan

Perkembangan gejala GPPH dengan berbagai jenis komorbiditas antara lain: gangguan menentang oposisional (oppositional defiant disorder) , gangguan konduksi, gangguan

Jelas diketahui bahwa perabotan dan perlengkapan merupakan barang- barang yang berfungsi sebagai wadah penunjang dan perlengkapan pada sebuah perpustakaan, baik untuk pengguna

Menurut Hurlock (1980:213) bahwa seorang laki-laki maupun perempuan dapat dikatakan mencapai kematangan emosi apabila : 1) Pada masa akhir remaja tidak meledakkan

Aplikasi e-learning ini juga di harapkan dapat membantu murid Sekolah Dasar Hati Kudus agar dapat memahami pelajaran yang di berikan kepada para murid tidak hanya melalui