BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu
Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis Matrix (PAM) di dapatkan bahwa usaha tani kopi robusta di Kabupaten Rejang
Lebong memiliki daya saing yang tinggi, (keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif) hal ini diketahui dengan nilai PCR dan DRCR yang kecil dari satu yaitu sebesar 0,38 dan 0,29. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input dari hasil analisis dengan metode PAM diketahui bahwa nilai input transfer adalah negatif Rp 1.197.108,00/ha/tahun. Nilai input transfer (IT) menggambarkan kebijakan (subsidi atau pajak) yang terjadi pada input produksi tradable. Nilai IT yang bernilai negatif untuk usahatani kopi menunjukan bahwa terdapat kebijakan subsidi terhadap input produksi tradable (pupuk anorganik) dalam pengusahaan usahatani kopi. Hal tersebut menguntungkan bagi petani kopi. Untuk kebijakan pemerintah terhadap output. Untuk nilai Transfer factor positif 10.296 menunjukkan adanya kebijakan pemerintah terhadap input domestik berupa pajak.
Untuk kebijakan input–output belum berjalan secara efektif atau kebijakan pemerintah saat ini kurang mendukung atau melindungi petani kopi di Kabupaten Rejang Lebong. Kebijakan pemerintah ini terjadi pada perdagangan kopi sehingga petani kopi belum dapat menerima harga kopi seperti harga sosial, hal ini di sebabkan rantai pemasaran kopi yang harus di lalui petani.
Penelitian Syamsu Alam (2006) tentang daya saing ekspor teh Indonesia di pasar teh dunia dengan menggunakan metode analisis finansial untuk mengetahui kelayakan pengembangan kopi sebagai komoditi unggulan di provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa usaha pengembangan kopi arabika cukup mengguntungkan, rata-rata petani memperoleh pendapatan diatas Rp.7.000.000/ha. Kopi sebagai tanaman perkebunan memiliki peluang pengembangan menguntungkan hingga 25 tahun. Nilai NPV yang dicapai lebih besar nol, demikian pula nilai Gross B/C, Net B/C, PR ratio dan IRR masing- masing, mengisyaratkan memenuhi kelayakan finansial pengembangan kopi khususnya kopi arabika. Nilai Domestic Resounse Ratio, yang di capai lebih rendah dari nilai Shadow Exchange Rate (SER), serta nilai koefisien DRC kurang dari 0,5. Pengembangan kopi di Sulawesi Selatan layak di lakukan.
Menurut penelitian Suraida (2005) tentang Analisis kinerja ekspor dan daya saing kopi Indonesia dengan menggunakan analisis trend didapatkan pertumbuhan ekspor kopi yang positif. Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor kopi Indonesia adalah harga kopi di pasar domestik, harga kopi internasional, nilai tukar rupiah terhadap Dollar AS, dan konsumsi kopi dunia. Berdasarkan nilai AR menunjukkan bahwa komoditas kopi masih mempunyai keunggulan komparatif dengan kecenderungan menurun selama duapuluh tahun terakhir.
Sedangkan berdasarkan nilai ISP menunjukkan bahwa komoditas kopi berada pada tahap IV yaitu kedewasaan. Dari hasil analisis RCA menunjukkan bahwa komoditas kopi masih mempunyai daya saing di pasar dunia. Akan tetapi dengan melihat adanya kecenderungan penurunan nilai AR, ISP, dan RCA selama duapuluh tahun terakhir ini menunjukkan daya saing kopi Indonesia
yang semakin memburuk. Dengan hasil analisis kinerja ekspor dan daya saing kopi ini diharapkan dapat menggambarkan perkembangan perkopian Indonesia dari tahun ke tahun serta upaya pengembangannya ke depan.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Analisis Usahatani dan Tataniaga
Ilmu usahatani biasanya diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki dengan sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan output yang melebihi masukan input (Soekartawi, 1995).
Total penerimaan suatu usahatani kopi dapat diperoleh melalui hasil produksi kopi tersebut dikali dengan harga jual dari kopi. Pendapatan bersih merupakan selisih dari total penerimaan dan total biaya. Apabila pendapatan yang diperoleh lebih besar dari total biaya, atau diperoleh keuntungan maka usahatani kopi yang dijalankan tersebut dikatakan layak (Mubyarto, 1984).
Menurut Mubyarto (1984) tataniaga atau pemasaran diartikan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya pemindahan barang dan jasa untuk menyalurkan distribusi dari produsen ke konsumen. Fungsi dan peranan tataniaga atau pemasaran yaitu mengusahakan agar pembeli memperoleh barang yang diinginkan pada tempat, waktu, bentuk dan harga yang tepat.
Setiap kegiatan pemasaran memerlukan biaya mulai dari pengumpulan, pengangkutan, pengolahan pembayaran retribusi, bongkar muat dan lain-lain. Jadi
bisa disimpulkan biaya pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran (pedagang) dalam menyalurkan hasil pertanian dari produsen ke konsumen (Soekartawi, 1995).
Dalam mengukur penerimaan usahatani kopi Arabika dihitung secara sistematis yaitu sebagai berikut.
R = P . Q
Keterangan :
R = Total Penerimaan (Revenue) (Rp)
P = Harga kopi di pasar lokal (Price) (Rp/Kg) Q = Jumlah kopi yang dihasilkan (Quantity) (Kg)
2.2.2 Konsep Daya Saing
Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan biaya yang cukup rendah, sehingga kegiatan produksi tersebut menguntungkan di pasar internasional (Kuncoro, 2009).
Menurut Porter (1998) bahwa keunggulan daya saing suatu negara mencakup tersedianya peranan sumberdaya dan melihat lebih jauh kepada negara-negara yang mempengaruhi daya saing ditingkat internasional. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu kondisi faktor sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan.
Daya saing usahatani yang dibedakan atas keunggulan kompetitif dan
keunggulan komparatif dianalisis menggunakan Policy Analisis Matrix (PAM).
Policy Analysis Matrix (PAM) merupakan suatu alat analisis yang digunakan
untuk mengkaji dampak kebijakan harga dan kebijakan investasi pertanian.
Metode ini membantu para pengambil kebijakan, baik di pusat maupun di daerah untuk mengkaji analisis sentral kebijakan pertanian (Monke and Pearson, 1989).
Menurut Monke and Pearson (1989), pengukuran tingkat daya saing tersebut menggunakan asumsi sebagai berikut :
1. Perhitungan berdasarkan harga privat yaitu harga yang terjadi setelah adanya kebijakan.
2. Perhitungan berdasarkan harga sosial atau harga bayangan yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan permerintah. Pada tradable input, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional.
3. Output bersifat tradable dan input yang digunakan dapat digolongkan ke dalam komponen tradable dan komponen non tradable.
Harga sosial output biji ditentukan berdasarkan harga perbatasan (border price) yaitu harga FOB, karena komoditas kopi dalam penelitian ini adalah untuk tujuan ekspor (Gittinger, 1986).
Harga sosial lahan ditentukan berdasarkan harga sewa tanah yang berlaku dimasing-masing wilayah. Nilai finansial dan ekonomi lahan diasumsikan sama karena tidak ada kebijakan pemerintah yang dianggap berpengaruh terhadap harga lahan (Gittinger, 1986).
Bila pasar tenaga kerja bersaing sempurna, maka tingkat upah yang berlaku di
pasar mencerminkan nilai produktivitas marjinalnya. Pada keadaan ini besarnya tingkat upah yang terjadi dapat dipakai sebagai harga bayangan tenaga kerja. Untuk menghitung harga sosial/bayangan tenaga kerja disesuaikan dengan harga aktualnya (Gittinger, 1986).
Harga sosial input terdiri dari pupuk dan pestisida. Pupuk yang digunakan dalam usahatani kopi ini terdiri dari pupuk Urea, TSP, KCL. Walaupun perdagangan pupuk sudah berdasarkan pasar bebas, namun harga aktualnya belum mencerminkan harga sosialnya, sehingga dalam penelitian ini untuk menghitung harga bayangannya menggunakan harga perbatasan (border price) (Simanjuntak, 1992 dalam Kurniawan, 2008).
Pupuk kandang diasumsikan sebagai komponen domestik yang bersifat non tradable dan tidak terdapat transfer payment didalamnya sehingga harga pupuk
kandang disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku. Sedangkan harga sosial pupuk buatan yang merupakan Tradable Input dapat diperoleh dengan cara :
1. Mengeluarkan transfer payment yang terkadung didalamnya seperti subsidi atau pajak
2. Jika informasi besarnya subsidi tidak diketahui maka harga bayangan pupuk diperoleh dengan menggunakan harga perbatasan atau harga CIF.
Sementara harga sosial pestisida dan herbisida didasarkan pada harga pasar yang berlaku karena tidak ada subsidi dari pemerintah. Peralatan pertanian yang digunakan pada usahatani kopi seperti cangkul, sabit, parang dan lain-lain diasumsikan sama dengan harga pasarnya. Dengan pertimbangan tidak ada kebijakan pemerintah yang mengintervensi produksi dan perdagangan alat-alat
pertanian secara langsung sehingga distorsi pasar yang terjadi sangat kecil dan pasar mendekati pasar persaingan sempurna.
Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif dibedakan atas ruang lingkup daya saingnya. Usahatani suatu komoditas dinilai menguntungkan dan dapat bersaing di pasar internasional apabila memiliki kedua keunggulan tersebut.
Alokasi faktor input kedalam komponen dan asing pada sistem produksi kopi dapat dilihat pada Tabel 5 sebagai berikut.
Tabel 5. Alokasi Komponen Input Non Tradable dan Tradable
Jenis Input Alokasi (%)
Non tradable Tradable
Bibit 100 0
Pupuk KCL 0 100
Pupuk TSP 0 100
Pupuk Urea 0 100
Pupuk Kandang 100 0
Tenaga Kerja 100 0
Modal 100 0
Lahan 100 0
Bangunan 100 0
Alat Pertanian/Pemanenan 0 100
Sumber : Tabel input-output Indonesia, 2005
Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif merupakan kemampuan untuk memasok barang dan jasa pada waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan oleh konsumen. Barang dan jasa tersebut dipasarkan di pasar domestik maupun internasional dengan harga yang sama atau lebih baik dari yang ditawarkan pesaing. Keunggulan kompetitif merupakan indikator efesiensi suatu komoditas secara privat dimana didasarkan pada harga pasar komoditi tersebut atau nilai uang yang berlaku saat itu di suatu negara (Pearson, et al, 2005).
Keunggulan kompetitif dapat dicapai dan dipertahankan dengan cara meningkatkan produktivitas sumberdaya yang digunakan. Apabila suatu komoditas tidak memiliki keunggulan kompetitif, maka hal ini berarti bahwa di negara penghasil komoditas tersebut terjadi distorsi pasar atau terdapat hambatan yang merugikan produsen (Pearson, et al, 2005).
Menurut Porter dalam Daryanto (2009), dalam era persaingan global saat ini suatu negara yang memiliki competitive advantage of nation dapat bersaing dipasar internasional bila memiliki empat faktor penentu yakni:
1. Factor conditions yakni posisi negara dalam penguasaan faktor produksi seperti gaji tenaga kerja yang cukup murah, terampil dan infrastruktur yang ada cukup memadai.
2. Demand conditions berupa besarnya permintaan pasar domestik untuk produk tertentu seperti banyaknya warung kopi serta industri kopi.
3. Relating and supporting industries berupa kehadiran pemasok atau pendukung dalam suatu negara sangat berkaitan dengan kemampuan daya saing di pasar international seperti AEKI (Asosiasi Ekspor Kopi Indonesia) dan ICO (International Coffea Organization).
4. Firm strategy, structure and rivalary yakni kondisi pemerintah didalam suatu negara bagaimana perusahaan diciptakan, diorganisasi dan dikelola.
Keunggulan Komparatif
Tidak ada satu negara pun yang dapat memenuhi sendiri kebutuhan rakyatnya, karena itulah perdagangan internasional dibutuhkan. Perdagangan ini sesuai
dengan hukum yang diperkenalkan oleh David Ricardo yaitu Law of Comparative Advantage (Hukum Keunggulan Komparatif). Hukum ini
menyatakan bahwa suatu negara yang kurang efisien dalam memproduksi suatu komoditas (kerugian absolut) dapat memperoleh keuntungan apabila mengekspor komoditas yang mempunyai kerugian absolut yang lebih kecil. Dari komoditas inilah negara tersebut memiliki keunggulan komparatif (Salvatore, 1997).
Pearson et.al (2005) mengemukakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan tidak dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh:
1. Perubahan dalam sumberdaya alam seperti komposisi lahan, ketinggian tempat, iklim, temperatur dan kelembapan.
2. Perubahan harga input seperti pupuk, pestisida, bibit, alat pertanian dan tenaga kerja.
3. Perubahan teknologi baik dalam pembudidayaan seperti pemangkasan sehingga akan meningkatkan produksi serta kemudahan dalam mengambil hasil produksi.
4. Biaya transportasi tergantung atas lokasi penanaman kopi dekat dan jauh sangat mempengaruhi biaya transportasi.
Keunggulan komparatif juga dapat diartikan sebagai perdagangan komoditas antar daerah. Suatu daerah yang memiliki hasil pertanian unggul dan dibutuhkan oleh daerah lain dapat menjual komoditasnya tersebut (Pearson et.al, 2005).
Kebijakan Pemerintah
Menurut Pearson, et al (2005), berdasarkan bentuk intervensi ekonominya kebijakan pertanian secara garis besar memiliki tiga kategori utama. Kategori pertama, kebijakan pertanian dalam intervensinya terhadap harga input dan output usahatani. Kategori kedua, kebijakan pertanian dalam intervensinya
terhadap kelembagaan pertanian dan pemasaran komoditas pertanian. Kategori ketiga, kebijakan pertanian dalam intervensinya terhadap inovasi teknologi dan penyebarannya kepada petani.
Kebijakan pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi produk dalam negeri ataupun untuk meningkatkan ekspor agar dapat bersaing di pasar internasional. Kebijakan yang diterapkan pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu subsidi dan kebijakan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif sedangkan kebijakan perdagangan berupa tarif dan kuota. Adapun kebijakan pemerintah yaitu sebagai berikut.
a. Kebijakan Terhadap Input
Kebijakan pemerintah terhadap input produksi suatu komoditas dibedakan menjadi kebijakan terhadap input yang diperdagangkan (tradable) dan kebijakan terhadap input yang tidak diperdagangkan (non tradable) (Monke and Pearson, 1989).
Kebijakan Terhadap Tradable input
Kebijakan terhadap tradable input memiliki relevansi langsung pada petani dan intervensi pada kelembagaan pertanian dan pemasaran komoditas pertanian.
Kebijakan berupa subsidi terhadap input akan mengurangi biaya produksi sehingga meningkatkan keuntungan petani. Sebaliknya, kebijakan berupa pajak menyebabkan peningkatan biaya produksi sehingga petani akan mengurangi penggunaan input. Hal tersebut membebani petani karena berimbas pada penurunan jumlah output sehingga mengurangi keuntungan petani (Monke and Pearson, 1989).
Kebijakan Terhadap Non Tradable Input
Non tradable input hanya diproduksi di dalam negeri, sehingga intervensi
pemerintah berupa halangan perdagangan tidak tampak. Kebijakan pemerintah
terhadap non tradable input dalam hal ini adalah subsidi dan pajak (Monke and Pearson, 1989).
b. Kebijakan terhadap Output
Kebijakan terhadap output dapat berupa subsidi ataupun pajak. Subsidi terhadap komoditas ekspor akan berdampak positif sedangkan penerapan pajak akan berdampak negatif. Pada perdagangan bebas, harga yang diterima petani dan konsumen dalam negeri sama dengan harga dunia. Akibat terdapat pajak maka harga yang diterima petani dan konsumen menjadi rendah dibandingkan harga pasar dunia (Monke and Pearson, 1989).
2.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan indikator utama daya saing, kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara memiliki peluang yang bisa menentukan apakah komoditi kopi Arabika kabupaten Tapanuli Utara memiliki potensi daya saing daerah yang bisa meningkatkan perekonomian daerah dan bisa mensejahterahkan petani. Dimana dengan mengukur dari segi biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani, sehingga pemasaran kopi Arabika dapat menghasilkan harga yang cukup bersaing di pasar.
Analisis Policy Analysis Matrix (PAM) digunakan untuk mengukur keuntungan finansial (private) yang menjadi indikasi keunggulan kompetitif dan keuntungan sosial yang menunjukkan keunggulan komparatif serta dampak kebijakan pemerintah dalam mendukung atau menciptakan hambatan-hambatan bagi keberlangsungan suatu usaha produksi. Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini yaitu dapat diperlihatkan pada Gambar 1.
Keterangan :
Menyatakan Hubungan
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Analisis Daya Saing Komoditas Kopi Arabika di Kabupaten Tapanuli Utara
Usaha Tani Kopi Arabika di Kabupaten Tapanuli Utara
Analisis Daya Saing (PAM)
Keunggulan Kompetitif
Kesimpulan dan Saran
Keunggulan Komparatif
Dampak Kebijakan Pemerintah Produksi
Kopi Arabika
Harga Input dan Output
2.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini ialah :
1. Perkembangan volume produksi kopi Arabika periode 2007-2012 di kabupaten Tapanuli Utara cenderung meningkat.
2. Perkembangan produktivitas kopi Arabika periode 2007-2012 di kabupaten Tapanuli Utara cenderung meningkat.
3. Perkembangan harga jual kopi Arabika periode 2007-2012 di kabupaten Tapanuli Utara cenderung meningkat.
4. Usahatani kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif.
5. Kebijakan pemerintah pada harga input-output terhadap usaha tani kopi Arabika berdampak postif terhadap usahatani kopi Arabika di kabupaten Tapanuli Utara.