• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. A.1. Latar Belakang Masalah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Permasalahan

A.1. Latar Belakang Masalah

Pekabaran Injil adalah tugas dan tanggung jawab gereja di tengah dunia.

Gereja dipanggil untuk menjadi pekabar Injil (kabar sukacita, kabar gembira)1 tentang kasih karunia yang telah dinyatakan oleh Tuhan Yesus Kristus. Gereja diutus untuk mengabarkan “Kabar sukacita” itu ke semua bangsa di seluruh dunia. Pekabaran Injil yang merupakan salah satu unsur kesaksian (marturia) dalam Tri Dharma gereja berjalan beriringan dengan pelayanan (diakonia) dan koinonia (persekutuan). Tri Dharma gereja itu dilaksanakan sebagai bentuk misi2 gereja di tengah dunia. Ketiga unsur misi tersebut tidak dapat dipisahkan.3

Tetapi perjalanan sejarah gereja memperlihatkan bahwa ketiga unsur misi ini cenderung berjalan secara terpisah. Pekabaran Injil hanya dianggap sebagai kesaksian dan cenderung berdiri sendiri tanpa pelayanan dan persekutuan. Hal ini dapat dilihat melalui strategi pekabaran Injil yang pernah dijalankan gereja, yaitu:4

1. Pekabaran Injil yang bersifat memaksa, yaitu pekabaran Injil yang berusaha membuat orang lain menjadi kristen dengan menggunakan cara apapun termasuk paksaan dan kekerasan. Pekabaran Injil ini lebih memfokuskan diri pada unsur kesaksian.

1 Berasal dari bahasa Yunani yaitu evangelion yang berarti kabar baik. J.D. Douglas (Peny), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini. YKBK: Jakarta, 2000. hlm. 435

2 Misi berasal dari bahasa latin Missio yang berarti mengutus dan mengirim. Edmund Woga, Dasar- dasar Missiologi. Kanisius: Jojakarta, hlm.13

3 Uwe Hummel, Strategi misi di Indonesia meyongsong abad ke-21. Dalam BALITBANG PGI, Agama dalam Dialog. BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2003. hlm. 216

4 Sda, hlm.217

(2)

2. Pekabaran Injil “ke dalam”, yaitu pekabaran Injil yang mementingkan pelayanannya pada kemapanan gereja. Pelayanan difokuskan untuk memuaskan anggota gereja.

3. Pekabaran Injil “ke luar”, yaitu pekabaran Injil yang tidak hanya memfokuskan pelayanannya hanya ke dalam gereja akan tetapi juga melayani orang-orang yang berada di luar gereja yang memerlukan pertolongan gereja. Gereja melayani orang-orang yang menderita karena kemiskinan, kekerasan, ketidakadilan dan korban ketamakan.

Gereja yang hadir di tengah masyarakat Indonesia seharusnya memperhatikan konteks yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Gereja tidak dapat “berdiam diri” bagaikan sebuah kastil yang dipisahkan dengan dunia luar oleh parit besar. Gereja sebenarnya “Tahu” akan konteks masyarakat yang ada di sekitarnya, akan tetapi gereja sering sekali tidak berbuat apa-apa. Pekabaran Injil adalah “Kabar Gembira” yang harus disampaikan oleh gereja lewat tindakan nyata dengan melihat konteks masyarakat Indonesia sebagai bagian dari pergumulan dan pelayanan gereja. Sebagaimana pendapat Singgih bahwa konteks masyarakat Indonesia yang dihadapi oleh gereja-gereja adalah kemiskinan yang parah dan masalah-masalah pluralitas religius.5 Berdasarkan pendapat ini, Singgih menekankan bahwa konteks kemiskinan dan pluralitas agama sebagai konteks masalah yang terjadi di Indonesia. Pendapat ini tentunya belum mewakili semua permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi permasalahan ini merupakan salah satu dari berbagai konteks permasalahan yang penting untuk diperhatikan oleh gereja.

Mendekati persoalan konteks kemiskinan dan pluralitas agama sebagai konteks pergumulan masyarakat Indonesia, berbagai teori dan ide bermunculan sebagai bentuk upaya mencari solusi. Salah satu idea yang mengemuka dan

5 E. G. Singgih, Berteolgi dalam Konteks. BPK Gunung Mulia Jakarta –Kanisius: Jogjakarta, 2000.

hlm. 236-237

(3)

menjadi perdebatan akhir-akhir ini adalah idea Civil Society. Civil Society sebagai suatu istilah yang baru, menjadi bagian dari diskusi-diskusi ilmiah, ceramah- ceramah dan debat politik para tokoh masyarakat, maupun tokoh-tokoh agama.

Civil society merupakan suatu idea bentuk masyarakat yang ideal. Civil society menggambarkan suatu keadaan masyarakat yang sopan dan toleran, memiliki kemadirian dan dapat menyelesaikan masalah tanpa kekerasan.6 Nilai- nilai yang terkandung dalam civil society itu dianggap cocok sebagai solusi bagi konteks masyarakat Indonesia yang tengah bergumul dalam masalah kemiskinan yang parah dan pluralitas religius.

Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (selanjutnya disingkat GPIB) merupakan salah satu gereja yang hadir di tengah masyarakat Indonesia. Konteks kemiskinan dan pluralitas religius tentunya juga menjadi bagian dari pergumulan gereja GPIB sebagai bagian dari gereja-gereja yang hadir di Indonesia, dan bagian dari masyarakat Indonesia. Bentuk kehadiran dari GPIB di tengah masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat adalah misi Pekabaran Injil. Jika mengacu bentuk pelaksanaan Pekabaran Injil, maka seharusnya GPIB benar-benar menyatakan “Kabar Gembira” ke tengah masyarakat Indonesia dengan menjawab konteks pergumulan kemiskinan dan pluralitas religius. Akan tetapi pekabaran Injil akan menjadi “Kabar buruk” jika GPIB maupun gereja-gereja lain tidak menjawab konteks kemiskinan dan pluralitas religius dengan melihat Pekabaran Injil sebagai upaya untuk memaksa atau berupaya mengkristenkan orang lain.

Pemahaman Pekabaran Injil yang seperti ini akan menyebabkan timbulnya rasa saling mencurigai, keresahan, bahkan dapat menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Pekabaran Injil seperti ini menjadi “Kabar meresahkan” bagi masyarakat.7

6 Bernard Adeney-Risakotta, Membangun Gereja ke arah Civil Society. PENUNTUN: Jurnal Teologi dan Gereja, vol 5 No 17, GKI Jabar, 2000. hlm. 99

7 Weinata Sairin, Menghidupi Angin Perubahan. BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2006. hlm.13

(4)

A.2. Rumusan masalah

GPIB memahami bahwa pekabaran Injil merupakan hakekat dari gereja.8 GPIB menganggap bahwa pekabaran Injil adalah tugas dan tanggung jawab yang sangat penting bagi gereja di tengah dunia. Pekabaran Injil dipandang sebagai ciri khas dari gereja, sebab tanpa melaksanakan pekabaran Injil, gereja tidak dapat menyebut dirinya sebagai gereja. Pelaksanaan Pekabaran Injil oleh GPIB tentunya juga berhadapan dengan konteks kemiskinan dan pluralitas religius masyarakat Indonesia. Merespon konteks kemiskinan dan pluralitas religius, tampaknya GPIB perlu melibatkan diri untuk melihat idea Civil Society sebagai salah satu solusi membentuk masyarakat yang ideal dan menyesuaikan konsep Pekabaran Injil yang seharusnya dikerjakannya.

Civil society secara umum dianggap sebagai suatu bentuk masyarakat yang ideal bagi masyarakat Indonesia, karena Civil society merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan kesopanan, masyarakat yang mandiri dalam kelompok/lembaga sebagai “Pengingat” negara jika melanggar batas-batas keadilan, masyarakat yang dapat menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Jika melihat berbagai peristiwa yang telah terjadi di masyarakat Indonesia seperti konflik-konflik, kekerasan, pelanggaran HAM, ketidakadilan, penderitaan, sangat jelas memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia belum mencapai bentuk masyarakat yang ideal. Maka nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan untuk membentuk suatu masyarakat Indonesia yang ideal adalah membangun nilai-nilai civil society. Pada titik ini istilah civil society merupakan suatu bentuk cita-cita bersama dan upaya-upaya yang konkret untuk membangun masyarakat Indonesia yang ideal.

Unsur-unsur pembentuk civil society adalah lembaga-lembaga masyarakat, kelompok sosial masyarakat, perkumpulan-perkumpulan masyarakat, termasuk di

8 S. W. Lontoh dkk (peny), Bahtera Guna Dharma GPIB. BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1982. hlm.

(5)

dalamnya adalah gereja. Kebersamaan unsur-unsur ini dalam membangun nilai- nilai civil society di dalam masyarakat sangat diperlukan dan menentukan tercapainya tidaknya civil society sebagai bentuk cita-cita masyarakat bersama.

Itu sebabnya mengapa kebersamaan menjadi suatu bentuk kesadaran yang seharusnya dimiliki oleh setiap unsur-unsur masyarakat tersebut.

Keterlibatan gereja dalam membentuk civil society sebagai suatu bentuk kesadaran sangat penting sebagaimana rumusan kalimat paragraf di atas. Gereja perlu melibatkan diri dalam membentuk civil society. Herbert bahkan berpendapat bahwa gereja merupakan unsur vital dalam pembentukan civil society.9 Karena Kabar Gembira yang diusung oleh gereja juga menghendaki nilai-nilai toleransi, kesopanan dan kemandirian sebagaimana nilai-nilai yang diperjuangkan dalam membentuk civil society.

Mengacu pembahasan di atas, GPIB juga memiliki kesadaran untuk membangun nilai-nilai masyarakat yang berpadanan dengan civil society. GPIB telah merumuskan suatu konsep Pekabaran Injil yang disebut Pelayanan dan Kesaksian (selanjutnya disingkat PELKES) yang berupaya merespon konteks masyarakat Indonesia. GPIB menyadari bahwa masyarakat Indonesia berupaya menuju masyarakat yang toleran dan sopan, dan GPIB mau memberi perhatian dalam keragaman hidup beragama, melayani orang-orang miskin dan korban ketidakadilan.10 GPIB menghendaki pembentukan suatu kemandirian yang menuntut sikap kritis terhadap pemerintah jika melanggar batas-batas ketidakdilan dan penyelesaian masalah tanpa kekerasan.

Berdasarkan keterangan di atas dapat dilihat bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh GPIB memperlihatkan suatu kesadaran kebersamaan yang juga menghendaki terwujudnya masyarakat civil society bagi Indonesia. GPIB sebagai gereja yang missioner berusaha memberikan kontribusi konkret bagi kemajuan

9 David Herbert, Religion and Civil Society. Ashgate Publishing Limited: Hampshire England. 2004.

hlm.72

10 Sebagaimana pembahasan pada Bab II

(6)

masyarakat, gereja, dan bangsa Indonesia.11 Bentuk kesadaran ini memungkinkan GPIB untuk aktif memperlihatkan kontribusi dan partisipasinya dalam membentuk masyarakat Indonesia menuju civil society dan menyatakan Kabar Gembira gereja bagi masyarakat Indonesia.

Berdasarkan gambaran permasalahan di atas maka penulis merumuskan pokok-pokok permasalahan yang perlu dikaji lebih dalam berdasarkan konsep PELKES yang dikerjakan GPIB, yaitu:

1. Penulis ingin mengkaji sejauh mana GPIB menyusun konsep PELKES dalam konteks masyarakat Indonesia. Apakah konsep yang telah disusun oleh GPIB memperhatikan konteks masyarakat Indonesia? Oleh sebab itu sebelum mencapai pembahasan ini, penulis terlebih dahulu membahas konteks masyarakat Indonesia.

2. Civil society merupakan suatu masyarakat yang memiliki nilai-nilai sopan dan toleran, kemandirian dan tanpa kekerasan. Gambaran civil society ini patut untuk diperjuangkan dalam konteks masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, penulis juga akan mengkaji sejauh mana konsep PELKES GPIB itu memperjuangkan nilai-nilai civil society sebagai tantangan bersama masyarakat Indonesia. Apakah konsep PELKES GPIB telah mengandung nilai-nilai civil society tersebut?.

3. Konsep hanya berbicara pada tataran dan ide sebagai gambaran awal.

Konsep itu dilaksanakan dalam suatu program atau rencana-rencana.

GPIB memiliki program kerja bidang PELKES GPIB. Program kerja itu seharusnya mencerminkan konsep yang telah disusun sebelumnya. Oleh sebab itu, Penulis juga akan mengkaji kesesuaian antara konsep PELKES GPIB dan program kerja bidang PELKES GPIB dalam mencapai civil society. Program kerja yang akan dikaji oleh penulis yaitu program kerja

11 PKUPPG GPIB Jangka Panjang II (2006-2011) hlm.iv

(7)

bidang PELKES GPIB tahun 2006-2011. Program kerja ini dianggap masih hangat untuk dikaji kesesuaiannya dengan nilai-nilai civil society.

B. Rumusan Judul

B.1. Rumusan Judul

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka penulis melanjutkan skripsi ini dengan judul:

“Mengkaji Konsep Pekabaran Injil GPIB dalam Konteks Masyarakat Indonesia dalam mewujudkan Civil Society”

B.2. Alasan Pemilihan Judul

1. Pembahasan ini menarik bagi penulis karena pekabaran Injil di Indonesia yang merupakan tugas dan tanggungjawab gereja harus melihat dengan cermat konteks masyarakat Indonesia.

2. Pembahasan ini masih baru dan belum dibahas dalam satu tulisan skripsi.

3. Pembahasan ini bermanfaat bagi penulis untuk melihat sejauh mana konsep pekabaran Injil yang dilakukan gereja memberikan perhatiannya pada konteks masyarakat Indonesia.

4. Dengan pembahasan ini penulis memiliki harapan gereja menyadari pekabaran Injil dalam konteks di mana gereja hadir.

(8)

C. Metode Pembahasan

C.1. Metode Pembahasan

Metode pembahasan yang digunakan oleh penyusun dalam penulisan skripsi ini adalah metode penulisan deskriptif-analitif. Deskriptif dimaksudkan untuk memaparkan/menggambarkan bahan-bahan yang berkaitan dengan pembahasan secara tertulis dan konkret sebagai langkah awal sebelum masuk dalam analitif.

Pada bagian analitif, penulis mengkaji dan mengolah data-data berdasarkan bahan-bahan yang telah dipaparkan sebelumnya.

C.2. Metode Pengumpulan Bahan

Penyusun menggunakan metode studi pustaka yaitu pengumpulan bahan- bahan dengan kajian literatur (buku-buku, jurnal-jurnal) yang berkaitan dengan pembahasan dan pengamatan terhadap konsep PELKES GPIB dan program kerja bidang PELKES GPIB dilihat berdasarkan Tata Gereja dan PKUPPG ((Penetapan kebijakan Umum Panggilan dan Pengutusan Gereja).

D. Sistematika Pembahasan

BAB I Pendahuluan

Pada bagian ini berisi hal-hal yang mendasar meliputi latar belakang permasalahan, pokok permasalahan, rumusan judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II Konsep Pekabaran Injil GPIB dan Konteks Masyarakat Indonesia

(9)

Pada bagian ini penulis menjelaskan tentang pengertian pekabaran Injil (Dasar, subyek, obyek dan sifat-sifatnya.

Setelah itu akan melanjutkan pembahasan terhadap Konsep Pekabaran Injil GPIB. Setelah pembahasan tentang pekabaran Injil secara umum dan mengkhususkan pemahaman pekabaran Injil dimengerti oleh GPIB, maka penulis menguraikan konteks masyarakat Indonesia.

BAB III Konsep PELKES GPIB Menuju Masyarakat Civil Society Pada bagian ini penulis menguraikan civil society (sejarah, pemahaman dari tokoh-tokoh yang berasal dari berbagai kalangan). Penulis juga akan mengkaji Konsep PELKES GPIB dan program kerja bidang PELKES GPIB dalam partisipasinya untuk menuju civil society.

BAB IV Gereja bagi Orang Lain

Bagian ini berisi refleksi teologis dengan melihat sumbangan pemikiran Dietrich Bonhoeffer terhadap konsep PELKES GPIB dan program kerja bidang PELKES GPIB

BAB V Kesimpulan dan saran

Pada bagian akhir penulisan ini penyusun merumuskan suatu kesimpulan dari semua yang sudah penyusun paparkan pada bagian-bagian sebelumnya kemudian penyusun akan memberikan saran bagi pemahaman pekabaran Injil dalam masyarakat yang majemuk dalam GPIB sebagai pekabar Injil di tengah masyarakat Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

bahan perbandingan hasil kuat tekan dari pengujian dan permodelan pola retak yang didapat dilihat dari distribusi tegangan dan displacement pada benda yang pada

Mekanisme kerja atau manajemen Bimbingan Konseling yang terdapat di SMP N 3 Seririt ini di awali dari Struktur Organisasi Bimbingan Konseling seperti yang telah

Seluruh fasilitas kredit tersebut mempunyai jangka waktu satu tahun yang dapat diperpanjang, jatuh tempo pada tanggal 14 Juni 2008 dan dijamin dengan seluruh piutang

Kesimpulan dari pembahasan di atas yaitu : (1) pembuatan soal instrument penilaian tidak harus melalui kegiatan perencanaan penilaian yang penting mengukur materi dan

Uraian tugas kepala ruangan yang ditentukan oleh Depkes (1994) dalam melaksanakan fungsi perencanaan adalah (1) Merencanakan jumlah dan kategori tenaga keperawatan serta tenaga

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau