• Tidak ada hasil yang ditemukan

- - BAB II KAJIAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "- - BAB II KAJIAN TEORI"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep Adiksi Cybersex 1. Definisi Adiksi Cybersex

Menurut Sarwono (2011) perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Delmonico dan Griffin (2011) mendefenisikan adiksi cybersex sebagai pencarian materi seksual di internet yaitu berupa chatting dan browsing gambar pornografi sebagai bentuk aktivitas eksplorasi seksual yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi kompulsif. Ekspresi seksual tersebut bergerak dari kontinum normal hingga penggunaan yang patologis yaitu, keingintahuan yang sederhana hingga keterlibatan secara obsesif dan berpreokupasi pada fantasi seksual, dengan indikasi adanya rasa aman dan resiko emosional dan fisik.

David Greenfield (1999) mengemukakan, bahwa cybersex adalah menggunakan komputer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan seksual (menggunakan komputer untuk segala bentuk ekspresi atau kepuasan seksual).

Lebih lanjut dijelaskan juga bahwa cybersex dapat dipandang sebagai kepuasan atau kegembiraan maya ("kepuasan virtual”), dan suatu bentuk baru dari keintiman. Patut dicatat, bahwa hubungan intim dapat juga mengandung arti

“hubungan seksual atau perzinahan. Ini berarti, cybersex merupakan bentuk baru dari perzinahan.

Cybersex juga didefinisikan sebagai penggunaan internet untuk terlibat dalam aktivitas kesenangan sexual, seperti melihat gambar-gambar seex, berpartisipasi dalam chatting tentang sex, saling tukar menukar gambar, mengirim email tentang sex, dan lain sebagainya, yang terkadang diikuti oleh masturbasi (Cooper, 2000). Maheu, dalam (Sari et al. 2012) juga mendefinisikan cybersex

(2)

dengan lebih luas lagi, yaitu terjadi ketika orang menggunakan komputer yang berisi tentang teks, suara dan gambar yang didapatkan dari software atau internet untuk stimulus seksual dan secara khusus mencakup dua atau lebih orang berinteraksi di internet yang membangkitkan gairah seksual satu dengan yang lainnya. Hal serupa diungkapkan oleh Carners, Delmonico & Grifin (2001:167) bahwa cybersex adalah mengakses konten pornografi di internet, terlibat dalam real-time (nyata) yaitu percakapan tentang seksual online dengan orang lain di ruang obrolan, dan mengakses multimedia software seperti aplikasi Bigo, MLiveU, youtube, Mi chat, Telegram dan sebagainya yang didalamnya berisikan konten seksual.

Berdasarkan definisi diatas perilaku cybersex merupakan segala kegiatan atau aktivitas seksual dimana didalamnya terdapat pertemuan seks secara virtual atau maya antara dua orang atau lebih yang terhubung melalui jaringan internet yang dapat menstimulasi dan memberikan kesenangan seksual yang menampilkan aspek pornografi yang berada di internet seperti melihat gambar-gambar erotis, menonton video porno, membaca cerita dan majalah yang berisikan tentang konten seksual, ikut berpartisipasi dalam ruang chat yang membahas tentang seksual dan diikuti dua orang atau lebih, mengakses multimedia software seperti web atau aplikasi yang meyajikan konten seksual, serta diikuti dengan masturbasi, dan dilakukan terus menerus sehingga menjadi adiksi.

2. Bentuk Adiksi Cybersex

Carnes, Delmonico, & Griffin (2001) mengkatagorikan beberapa bentuk perilaku cybersex:

1. Mengakses pornografi di internet (seperti gambar, video, cerita teks, majalah, filim, dan game). Kemudahan akses bagi para pengguna internet untuk menjeljahi (browsing) situs apapun didunia maya, juga akan memberikan peluang yang luas bagi para pengguna tersebut dalam membuka konten pornografi, apalagi perkembangan situs porno yang semangkin hari semankin meningkat di internet.

(3)

2. Mengakses pornografi multemedia softwere yang tidak harus online (seperti menonton VCD atau DVD yang berisi film porno dan memainkan game porno dilaptop atau komputer).

3. Real time dengan pasangan fantasi melalui fitur chatting yang memberikan kemudahan bagi para pengguna untuk saling melakukan komunikasi berkonten erotis, atau bahkan sampai menggunakan kamera web untuk melihat lawan bicara.

Ada juga Delmonico & Griffith (2011) memperkenalkan metode atau tempat individu melakukan cybersex, yaitu:

a. World wide web

Metode yang paling umum untuk mengakses seks di Internet adalah melalui World Wide Web. Browser Internet (mis., Firefox, Internet Explorer, Chrome, dll.) Menginterpretasikan dan menampilkan teks, grafik, dan multimedia pada monitor pengguna. Halaman web yang berorientasi seksual umumnya digunakan untuk menampilkan gambar-gambar porno, tetapi juga dapat digunakan untuk chatting seksual, streaming video (langsung), atau mengakses area seksual lain dari Internet yang dibahas nanti.

b. Grup sex

Grup sex dapat digunakan untuk tujuan seksual dengan memungkinkan individu untuk berbagi teks, foto, video, atau suara seksual di Internet dengan orang lain yang memiliki minat seksual yang serupa. Ada ribuan newsgroup yang dibagi ke dalam area topik tertentu, banyak di antaranya digunakan untuk bertukar konten yang berbau seksual.

c. Chat sex

Ada berbagai metode untuk mengakses area obrolan seksual online.

Terlepas dari metode ini, karakteristik umum dari semua area obrolan adalah kemampuan mereka untuk memungkinkan beberapa orang untuk berkumpul di

"ruang" bersama dan terlibat dalam percakapan langsung, atau untuk menyampaikan file porno melalui koneksi obrolan. Banyak area obrolan menyertakan opsi konferensi video atau audio sebagai bagian dari proses obrolan.

Tidak jarang orang di ruang obrolan melakukan percakapan seksual, melihat video

(4)

seksual, atau mengirim file porno bolak-balik satu sama lain. Contoh area obrolan umum termasuk Yahoo. Dan untuk di Indonesia sering aplikasi yang dilakukan utntuk melakukan cybersex seperti Michat, Whatsapp, Facebook, Telegram, Twitter dll.

d. Berbagi File Ke Sesama Teman

Paket perangkat lunak seperti Limewire telah membuat sendiri berbagai hobi populer. Meskipun musik adalah jenis file yang paling umum dibagikan di jaringan ini, gambar-gambar porno, video, dan perangkat lunak juga dibagikan secara bersama-sama.

e. Situs jejaring social

Situs jaringansosial memungkinkan bagi individu untuk membuat grup online “teman-teman” mereka dapat bertukar pesan, chatting, foto send / video, berbagi musik, dan sebagainya. Ada berbagai genre di situs jejaring sosial, termasuk menemukan teman sekelas lama, menemukan pasangan romantis (situs kencan), atau bertemu orang baru dengan minat yang sama. Situs jejaring sosial yang umum termasuk Bigo Live, Facebook.com, MI Chat, YouTube, dan Instagram, tetapi ada banyak lainnya. Situs jejaring sosial juga dapat digunakan untuk terlibat dalam aktivitas seksual, atau untuk mengatur tujuan seksual offline.

Situs-situs ini dipopulerkan oleh remaja dan dewasa muda, tetapi demografi situs- situs tersebut menunjukkan bahwa semua kelompok umur online sekarang secara teratur menggunakan beberapa bentuk jejaring sosial di Internet. Subset umum lain dari jejaring sosial dikenal sebagai micro-blogger; yang paling umum adalah Twitter. Micro-blogging memungkinkan individu untuk mendaftar mengikuti versi online buku harian individu lain, tetapi setiap entri dibuat dengan tidak lebih dari 140 karakter yang diketik. Perusahaan, bintang film, band rock, dan lainnya

“tweet” kepada penggemar mereka, seperti halnya dominasi seksual, perusahaan pornografi, dan lainnya yang ingin bertemu untuk tujuan seksual.

f. Game Online

Game online, baik yang diputar di komputer atau melalui perangkat game portabel (Xbox 360, PlayStation Portable, iPod, dll.) Sering kali menyertakan kemampuan untuk mengirim pesan teks atau audio saat bermain game. Teknologi

(5)

tersebut dapat mencakup diskusi seksual, komentar, atau mengatur kegiatan seksual offline. Berbagai usia di tempat-tempat ini membuat mereka sangat populer untuk orang dewasa yang berbicara secara seksual kepada anak di bawah umur.

g. Internet mobile access

Komputer hanya oneway untuk mengakses Internet. ponsel pintar, asisten data pribadi (PDA) seperti Palm Pilot, iPod, Handphone dan perangkat lain memungkinkan pengguna untuk terhubung ke Internet dari mana saja kapan saja.

Banyak metode dan tempat yang disebutkan di atas dapat diakses melalui perangkat portabel ini, dan karenanya seks online benar-benar ada di telapak tangan Anda. Fitur bawaan, seperti kamera digital, juga menjadikan perangkat ini salah satu cara untuk menangkap pengalaman seksual di dunia nyata dan membaginya secara instan dengan jutaan pengguna di seluruh dunia.

3. Dinamika Psikologis Perilaku Adiksi Cybersex

Teori yang diuraikan oleh (Santrock dalam Hurlock, 1990) bahwa cybersex remaja terjadi karena Matangnya organ-organ seksual pada remaja itu akan mengakibatkan munculnya dorongan-dorongan seksual dan rasa ingin tahu tentang dunia seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah bagaimana mengendalikan dorongan seksual tersebut seringnya tejadi konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Adanya ketidak normalan yang dialami remaja berkaitan dengan organ-organ reproduksinya antara lain: pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi. Karena rasa keingintahuan dan dorongan sex remaja memudahkan manusia terjebak ke cybersex. Cybersex terjadi ketika komputer yang berisi tentang teks, suara dan gambar yang didapatkan dari software atau internet untuk stimulus seksual digunakan orang dan secara khusus mencakup dua atau lebih orang dimana seseorangyang membangkitkan gairah seksual tayangan gambar, suara, video, dan cerita (Maheu, 2001).

4. Kriteria Adiksi Cybersex

Watson (2015) berpendapat bahwa tidak ada kriteria khusus untuk adiksi cybersex namun karena adiksi cybersex termasuk keadalam adiksi internet maka

(6)

kriteria yang digunakan sama dengan adiksi internet. Ada empat komponen yang secara luas telah di pandang penting untuk mendiagosis individu yang mengalami adiksi cybersex. Hal tersebut dikemukakan karena pada dasarnya tidak ada kriteria diagnostik resmi untuk adiksi cybersex, empat komponen tersebut diantaranya : 1. Penggunaan Internet yang berlebihan, sering dikaitkan dengan hilangnya rasa, waktu atau mengabikan dorongan dasar untuk melakukan sesuatu selain mengakses konten porno.

2. Penarikan, kondisi dimana individu merasakan perasaan marah, tegang, dan atau depresi ketika komputer tidak dapat mengakses konten-konten porno

3. Toeransi, dimana individu mempunyai keinginan untuk meningkatkan intensitas mengakses konten porno karena menganggap itu sebagai sebuah kebutuhan dalam dirinya.

4. konsekuensi yang merugikan, dimana aktivitas mengakses konten porno menimbulkan situasi yang membuat diri individu terebut sering melakukan pertengkaran, kebohongan, kinerja sekolah atau pekerjaan yang buruk, isolasi sosial, kebersihan pribadi yang berkurang, dan kelelahan.

Adapun Griffith (2005) berpendapat bahwa yang bisa dijadikan acuan untuk menilai seseorang mengalami adiksi cybersex atau tidak. Berikut tanda- tanda bahwa seseorang memiliki adiksi cybersex.

a. Arti penting (Salience)

Salience adalah kondisi di mana seseorang merasa bahwa aktivitas cybersex merupakan aktivitas yang paling penting. “Orang merasa bahwa perilaku adiksi itu sebagai hal yang mendominasi pikiran, perasaan, dan perilaku. Contohnya dalam konteks cybersex, Anda terus menerus memikirkan untuk menonton film porno, padahal saat itu Anda sedang bekerja dan kurang mempertimbangkan situasi yang ada saat itu. Dia akan terokupasi untuk melakukan itu.

b. Modifikasi suasana hati (Mood Modification)

Seseorang memiliki perasaan yang lebih baik setelah melakukan kegiatan yang berkaitan dengan cybersex. Efek tersebut alhasil membuat seseorang menjadi ketagihan untuk mengulanginya kembali. “Cybersex menjadi

(7)

strategi coping seseorang. Itulah yang bikin mereka ingin melakukannya terus menerus karena ada perubahan yang bisa bikin dia tenang dan lebih nyaman, ataupun strategi untuk menghindari masalah yang saat ini ia hadapi, seperti sedang banyak tekanan di pekerjaan, dan sebagainya.

c. Toleransi (Tolerance)

Toleransi adalah kondisi di mana keinginan untuk melakukan suatu hal semakin meningkat. Kadar yang sebelumnya membuatnya puas lama-kelamaan tidak berefek lagi terharapnya. Hal tersebut dapat terlihat pada intensitas yang terus meningkat. “Ini diukur dari intensitas atau waktu. Misalnya tadinya sejam lama-lama jadi tiga jam. Hal ini dilakukan agar dia mendapatkan sensasi seperti di awal tadi.

d. Penarikan (Withdrawal)

Withdrawal merupakan kondisi ketika seseorang merasakan ketidakn yamanan ketika aktivitas cybersex dihentikan. “Pada momen tertentu ini terlihat saat kita hentikan kegiatan itu kita akan merasakan pengalaman atau efek yang tidak menyenangkan (gelisah, terganggu)

e. Konflik (Conflict)

Conflict adalah situasi di mana aktivitas cybersex mengganggu fungsi keseharian individu sehingga muncul berbagai permasalahan dalam aspek kehidupannya. Individu mengalami konflik juga di aspek kehidupan lain, misalnya jadi tidak mau kerja, tidak mau mengerjakan tugas.

f. Kambuh (Relapse)

Relapse adalah ketika seseorang yang telah berhenti melakukan aktivitas cybersex dalam kurun waktu yang lama, namun tiba-tiba muncul kembali dalam taraf yang lebih parah. “Sering diistilahkan dengan kambuh setelah berhenti dari kegiatan itu. Dia nanti kembali ke pola sebelumnya. Misalnya sudah berhenti dua bulan, sudah merasa aman tiba-tiba kepikiran lagi malah melakukan secara lebih ekstrem lagi dari sebelumnya.

Bila individu merasakan enam tanda tersebut, bisa jadi kondisi tersebut menginfikasikan bahwa individu tersebut mengalami adiksi cybersex. Namun, perlu diingat, tidak boleh mendiagnosa atau malabel diri sendiri sebelum

(8)

menyimpulkan dan meyakini diri mengalami adiksi. Individu yang mengalami adiiksi cybersex perlu berkonsultasi pada tenaga profesional untuk memberikan diagnose serta treatment atau bantuan yang tepat.

Menurut Delmonico & Griffin dalam (2011:122) berdasarkan waktu mengakses materi seksual :

a. Low users, mengakses materi seksual satu jam setiap minggu.

b. Moderate users, mengakses materi seksual antara 1-10 jam setiap minggu.

c. High users, mengakses materi seksual 11 jam atau lebih setiap minggu, dan mereka menunjukkan perilaku kompulsif.

5. Etiologi Adiksi Cybersex

Smith (2015 : 14) menunjukan bahwa faktor yang mempengaruhi individu mengalami adiksi sangatlah rumit. Namun, ada beberapa hal yang individu mengalami kecanduan atau adiksi diantaranya faktor genetika, kadaan mental, status sosial, dan pengalaman dirinya sendiri yang menjadikan individu tersebut mengalami adiksi. Saat ini ada beberapa faktor yang diidentifikasi menjadi penyebab potensial adiksi. Diantaranya :

a) Faktor genetik

Faktor genetik di klaim menjadi salah satu faktor penyebab atas seseorang mengalami adiksi. 50% genetik dari seseorang berpengaruh terhadap adiksi. Ada spekulasi yang memaparkan bahwa adanya peran genetic dalam adiksi perilaku, meskipun penelitian yang tidak memadai seperti melacak perjudian, seks, pekerjaan, olahraga, belanja, game online, dan kecanduan lainnya. Selain dari faktor genetik ada juga faktor fungsi otak.

b) Faktor struktur dan fungsi otak

Otak menjadi bagian terpenting untuk mengendalikan dan mengarahkan hal yang dilakukan orang, termasuk bagaimana cara individu merespons asupan zat, stres, pekerjaan yang sulit, kesenangan, kehilangan, penyakit, dan sebagainya.

Maka dari itu, dalam hal adiksi ini otak memainkan peran utama yang mengarahkan seseorang dalam mengidentifikasi adiksi sebagai penyakit otak yang mencakup beberapa faktor yaitu biologis, neurologis, genetik, dan lingkungan.

Komponen-komponen otak, fungsi otak, dan konsep-konsep terkait adalah pusat

(9)

pertimbangan kecanduan sebagai penyakit otak. Ada beberapa bagian otak telah diidentifikasi berperan dalam proses adiksi (Smith, 2015: 16)

c) Faktor lingkungan

Lingkungan disini mnjadi peran penting dalam proses adiksi karena besifat sosial. Hal ini termasuk didalamnya menyangkut keluarga, teman, status sosial ekonomi, norma budaya, karier, pekerjaan, dan pemicu stres lainnya. Untuk seorang remaja, faktor sosial yang melibatkan keluarga, teman sebaya, sekolah, dan masyarakat adalah hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan. Karena apabila seseorang stres dengan keadaan sosialnya, maka kemungkinan seseorang menjadi adiksi itu sangatlah besar.

d) Faktor perkembangan individu

Faktor terakhir menurut (Smith, 2015: 18) adalah perkembangan individu.

Seseorang yang memiliki kepribadian yang adiktif sangatlah bertanggung jawab atas perkembangan perilaku adiktifnya sendiri. Alan R. Lang (1983) menyimpulkan dari penelitiannya mengenai ciri-ciri kepribadian yang berkaitan dengan adiksi bahwa tidak ada satu pun sifat yang menandakan kepribadian yang adiktif. Namun, ia mengutip beberapa sifat yang dianggap umum di antara individu yang kecanduan, termasuk impulsif, ketidaksesuaian, tujuan pencapaian yang lebih rendah, alienasi sosial, stres, penyimpangan, dan keterampilan koping yang buruk. Sebagian besar sifat yang dikaitkan dengan pecandu adalah negatif.

Menurut Delmonico & Griffin (2011:117) memaparkan komponen yang menyebabkan perilaku adiksi cybersex disebut dengan Triple-A Engine:

1. Accessibility, mengacu pada kenyataan bahwa internet menyediakan jutaan situs porno dan menyediakan ruang mengobrol yang akan memberikan kesempatan untuk melakukan cybersex.

2. Affordability, mengacu pada untuk mengakses situs porno yang disediakan internet tidak perlu mengeluarkan biaya mahal.

3. Anonymity adalah individu tidak perlu takut dikenali oleh orang lain.

(10)

Delmonico & Griffin (2011:117) menambahkan 2 komponen yang menyebabkan individu tertarik untuk melakukan aktivitas cybersex yaitu:

1. Isolation, adalah tindakan individu yang merasa berkesempatan untuk mengasingkan dirinya dengan orang lain dan memilih terlibat dalam khayalan apapun tanpa memikirkan resiko apapun seperti infeksi secara seksual atau gangguan dari dunia nyata.

2. Fantasy, adalah kesempatan individu dalam mendapatkan mengembangkan khayalan seksual tanpa takut akan ditolak oleh lingkungan.

Klasifikasi individu yang menggunakan internet untuk tujuan seksual terbagi menjadi tiga kategori menurut Cooper, et al (2000) :

1. Recreational users, yaitu individu yang mengakses materi seksual karena keingintahuan atau untuk hiburan dan merasa puas dengan ketersediaan materi seksual yang diinginkan. Seseorang yang mengakses situs seksual selama satu jam/minggu dan sedikit mengalami konsekuensi negatif atau tidak ada risiko, tergolong sebagai recreational users.

2. At risk users, yaitu ditujukan pada orang yang tanpa adanya perilaku seksual kompulsif, namun mengalami beberapa masalah seksual setelah menggunakan internet untuk mendapatkan materi seksual. Individu menggunakan internet dengan kategori waktu sedang untuk aktivitas seksual online dan jika penggunaan berkelanjutan, maka akan menjadi kompulsif.

3. Sexual compulsive users, yaitu individu yang menunjukkan kecenderungan seksual kompulsif dan adanya konsekuensi negatif (merasakan kesenangan atau sangat menikmati terhadap pornografi, menjalin hubungan percintaan dengan banyak orang, melakukan aktivitas seksual dengan banyak orang yang tidak dikenal dan yang lainnya berdasarkan Diagnostic Statistical Mental Disorder (DSM) V.

6. Penanganan Adiksi Cybersex

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengatasi adiksi.

Salah satu nya yaitu dengan konseling. Pendekatan konseling yang dapat diterapkan untuk adiksi Cybersex yaitu terapi kognitif perilaku (CBT), terapi kognitif perilaku- adiksi internet (CBT-IA), Wawancara Motivasi, Terapi Realitas,

(11)

Naikan Kognitif Psikoterapi, Terapi Kelompok, Terapi keluarga, Multimodal Psikoterapi, Terapi Farmakologis

a. Terapi kognitif perilaku (CBT)

Terapi kognitif perilaku (CBT) membantu pecandu internet mengenali kognisi maladaptif, memodifikasi dan merekonstruksi kognisi adaptif untuk membawa klien kembali pada kenyataan. Pengobatan IA menggunakan CBT melibatkan aspek-aspek berikut: belajar membuat strategi manajemen waktu, mengenali manfaat dan potensi bahaya dari Internet, meningkatkan kesadaran diri, kesadaran orang lain dan lingkungan. Cara untuk mengidentifikasi "pemicu"

adiksi Internet yaitu aplikasi Internet tertentu, keadaan emosi, kognisi maladaptif, dan peristiwa kehidupan belajar mengelola emosi dan mengendalikan impuls yang berkaitan dengan mengakses Internet, seperti otot atau pelatihan pernapasan, meningkatkan keterampilan komunikasi dan interaksi antarpribadi; meningkatkan gaya koping, dan menumbuhkan minat dalam kegiatan alternative. Hampir semua uji coba yang melibatkan psikoterapi untuk IA telah menggunakan CBT sebagai bagian dari perawatan komprehensif dan telah menghasilkan hasil yang beragam, tetapi sulit untuk mengevaluasi efek CBT secara terpisah karena kegagalan untuk membentuk kelompok intevensi CBT (Huang & Li & Tao, 2010 )

b. CBT-IA

Watson (2015: 303) menjelaskan untuk mengatasi adiksi yaitu konseling Cognitive Behavior Therapy - intenet addiction (CBT-IA). Pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang dikembangkan secara spesifik sebagai cara untuk mengobati fenomena adiksi internet. CBT-IA merupakan penggabungan dari elemen CBT dan terapi pengurangan dampak buruk (HRT). Pendekatan ini membahas mengenai tantangan unik yang terkait dengan menilai dan mengobati permasalahan adiksi internet . Pada dasarnya, pendekatan CBT -IA mengacu pada prinsip-prinsip pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT). Memahami sifat dan juga tujuan penggunaan internet seseorang merupakan identifikasi mendasar yang mencakup identifikasi pikiran yang menimbulkan emosi. Dalam hal ini, adiksi internet memicu tantangan tambahan yang sebelumnya tidak ditemukan oleh konselor ketika menangani klien dengan adiksi lainnya menggunakan

(12)

pendekatan Cognitive Behavior Therapy (CBT). Saat ini, internet telah menjadi salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, Young (2011a) memasukkan unsur-unsur HRT ke dalam pendekatan barunya yaitu CBT- IA. Hasilnya adalah model tiga fase yang dapat diterapkan untuk "mengurangi gejala, meningkatkan kontrol impuls, menantang distorsi kognitif, dan mengatasi faktor pribadi dan situasional yang secara spesifik terkait dengan penggunaan

“kompulsif internet" (Young, 2011a, p. 305). Berikut ini merupakan bagian- bagian yang memberikan tinjauan umum mengenai tiga fase model CBT-IA.

Bagian-bagian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

Fase 1: Modifikasi perilaku. Dalam fase awal ini, konselor dan klien berkolaborasi dalam melakukan sesi bertujuan untuk mengidentifikasi ruang lingkup masalah dan kemudian menetapkan serangkaian tujuan yang dirancang untuk membantu memodifikasi pola penggunaan internet klien yang berlebihan dan menghasilkan pola penggunaan yang lebih sehat.

Fase 2: Restrukturisasi kognitif. Dalam fase ini, kognisi maladaptif atau distorsi persepsi yang digunakan oleh klien untuk membuat perilaku mereka tampak lebih dapat diterima. Mereka yang beralih ke Internet mungkin melakukannya karena mereka percaya bahwa itu adalah satu-satunya tempat di mana mereka dapat menemukan kebahagiaan atau bahwa tidak ada seorang pun di dunia nyata yang bisa mencintai atau menghormati mereka. Dalam fase ini konselor memerangi persepsi yang menyimpang ini dengan menantang validitasnya.

Fase 3: HRT. Dalam fase ini HRT digunakan untuk mengidentifikasi dan mengatasi faktor-faktor yang ada bersama yang terkait dengan pengembangan kecanduan internet. Meskipun penggunaan Internet kompulsif adalah masalah yang diungkapkan, seringkali beberapa masalah mendasar terkait dengannya. Ini mungkin termasuk sejumlah stresor sosial, pekerjaan, relasional, pribadi, atau situasional.

c. Wawancara Motivasi ( motivational interviewing)

MI adalah gaya konseling direktif, berpusat pada pasien untuk memunculkan perubahan perilaku yang dicapai dengan membantu pasien

(13)

mengeksplorasi dan menyelesaikan ambivalensi. Teori ini Ini mengasumsikan bahwa tanggung jawab dan kemampuan untuk perubahan ada di dalam diri klien, sehingga tidak memberikan klien solusi atau penyelesaian masalah sampai mereka memutuskan untuk berubah. Orang yang ambivalen merasakan kelebihan dan kekurangan untuk mempertahankan status quo dan memulai perubahan. MI memandang ambivalensi sebagai bagian dari proses perubahan alami, fase yang harus dilalui orang sebelum berkomitmen penuh pada keputusan (Huang & Li &

Tao, 2010 ).

d. Terapi Realitas (Reality Therapy)

RT didasarkan pada teori pilihan dan teori kontrol, yang mengasumsikan bahwa orang bertanggung jawab atas kehidupan mereka dan untuk apa yang mereka lakukan, rasakan, dan pikirkan. Misalnya, teori ini menyatakan bahwa orang tidak menjadi sedih; mereka memilih untuk bersedih. Demikian pula, jika seseorang kecanduan kegiatan Internet, ia telah memilih untuk kecanduan daripada menjadi kecanduan. Sulit untuk secara langsung mengubah perasaan atau fisiologi kita secara terpisah dari tindakan atau pemikiran kita. Namun, kita dapat mengubah apa yang kita lakukan atau pikirkan terlepas dari apa yang kita rasakan.

Dengan demikian, kunci untuk mengubah perilaku terletak pada memilih untuk mengubah akting dan pemikiran klien (Huang & Li & Tao, 2010 ).

e. Psikoterapi Naikan Kognitif (Naikan Kognitif psychotherapy)

Naikan adalah metode psikoterapi Jepang yang menggabungkan meditasi seperti keterlibatan tubuh dengan pemulihan memori dan rekonstruksi seseorang kehidupan untuk membawa penyembuhan dan gagasan berubah dari diri. Bentuk utama dari pelatihan Naikan adalah hunian meditasi soliter pada tiga topik: 1) berapa banyak yang telah diterima dari orang-orang tertentu (khususnya ibu), 2) betapa sedikitnya pengakuan yang telah dikembalikan, dan 3) masalah dan kekhawatiran apa yang telah terjadi disebabkan. Terapi tidak berurusan dengan pasien geajala perilaku bermasalah melainkan dengan riwayat hidup atau hubungan pribadi masa lalu, yang memungkinkan modifikasi kognitif mengenai pasien di masa lalu (Huang & Li & Tao, 2010 ).

(14)

f. Terapi Kelompok (Group Therapy)

Terapi kelompok diadopsi dan menghasilkan hasil yang beragam dalam 6 dari 10 studi yang tercantum dalam pengaturan kelompok memungkinkan anggota untuk secara perlahan mengurangi rasa malu, rasa bersalah, dan keterasingan mereka terkait dengan perilaku mereka. Mereka dapat mendiskusikan gejala dan penderitaan mereka secara terbuka dan mendapatkan wawasan dari anggota lain yang mengalami emosi serupa dalam lingkungan yang mendukung, memelihara, tidak menghakimi, dan kadang-kadang pada dasarnya konfrontasional. Proses kelompok dapat menjadi kuat dalam membantu anggota melaksanakan rencana mereka dengan komitmen mereka (Huang & Li & Tao, 2010 ).

g. Terapi keluarga (Family Therapy)

Terapi ini mungkin termasuk kedalam konseling untuk anggota keluarga, study yang berkaitan dengan IA, strategi tentang cara mengatasi kemarahan dan kehilangan kepercayaan dari orang yang dicintai yang kecanduan, memahami proses pemulihan, pemicu kambuh, dan pentingnya mempertahankan batas-batas yang sehat. Banyak saran praktis tentang apa yang dapat dilakukan orang tua ditawarkan dalam buku Video Game & Anak-Anak” Bagaimana Orang Tua Tetap Mengontrol”. Elemen terapi keluarga telah diintegrasikan ke dalam studi perawatan multimodal dan juga telah menghasilkan hasil yang beragam.

Pandangan sistemik, yang merupakan dasar dari terapi keluarga yang berbeda, digunakan sebagai latar belakang teoritis intervensi berbasis keluarga yang digunakan dalam penelitian ini. Pendidikan orang tua dan pelatihan digunakan dalam pendidikan di atas meliputi aspek-aspek berikut: meningkatkan kesadaran IA, negara mengakui perasaan anak , berkomunikasi dengan anggota keluarga secara efektif, cara pemecahan masalah belajar, mengatur emosi dan perilaku sendiri, dan memahami proses perkembangan psikologis seorang anak (Huang &

Li & Tao, 2010 ).

h. Psikoterapi Multimodal (Multimodal psychotherapy )

multimodal mencakup berbagai pendekatan psikoterapi, sebagaimana disebutkan di atas: berbagai format terapi, seperti terapi kelompok, individu, dan keluarga, serta intervensi berdasarkan sekolah. Faktanya, salah satu dari

(15)

pendekatan yang disebutkan di atas tidak diterapkan dalam isolasi tetapi dikombinasikan dengan kelompok psikoterapi yang berbeda untuk mengobati gangguan mental. Seperti yang sudah jelas, satu pendekatan dapat melengkapi yang lain, terutama jika satu pendekatan lebih lemah di bidang tertentu. Oleh karena itu, teknik perawatan yang berbeda terjalin sepanjang sesi (Huang & Li &

Tao, 2010 ).

B. Konsep Konseling Kognitif Perilaku 1. Sejarah Konseling Kognitif Perilaku

Aaron Temkin Beck lahir tahun 1921 di Providence, Rhode Island. Masa kecilnya senang meskipun ia menderita penyakit yang mengancam jiwanya ketika ia berusia 8 tahun, sehingga ia mengalami ketakutan kelainan darah, takut mati lemas dan mengalami cemas tentang kesehatan. Beck menggunakan masalah pribadinya sebagai dasar untuk memahami orang lain dan untuk mengembangkan teori kognitifnya. Penelitian awal tetang depresi menyebabkan publikasi Depression: Clinical, Experimental, and Theoretical Aspects (1967), yang membahas pentingnya kognisi dalam mengobati depresi. Sejak itu ia telah menulis atau turut menulis lebih dari 500 artikel dan 25 buku yang terkait dengan terapi kognitif dan pengobatan berbagai gangguan emosional. Beck ini menjadi perintis penelitian kemanjuran terapi kognitif untuk depresi. Dia telah berhasil menerapkan terapi kognitif untuk depresi, kecemasan umum dan gangguan kepanikan, bunuh diri, pecandu alkohol dan pecandu obat, gangguan makanan, masalah perkawinan dan hubungan gangguan psikotik, dan gangguan kepribadian.

Dia telah mengembangkan skala penilaian untuk defresi, resiko bunuh diri, kecemasan, konsef diri, dan kepribadian. Putrinya, Judith S. Beck, psikolog, saat ini Beck direktur Institute for Cognitive Therapy and Research dekat Philadelphia, Pennsylvania dan Aaron Beck adalah presidennya (corey, 2013).

Aaron T. Beck, MD menjadi salah satu revolusi di bidang kesehatan mental dimulai pada awal 1960-an, yang saat itu menjadi asisten profesor psikiatri di University of Pennsylvania. Sebagai seorang ilmuwan, ia percaya bahwa agar psikoanalisis dapat diterima oleh komunitas medis, teorinya perlu memperlihatkan ke validan secara empiris. Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia memulai

(16)

serangkaian percobaan yang ia harapkan akan menghasilkan validasi seperti itu.

Sebaliknya, yang terjadi justru sebaliknya. Hasil percobaan Dr. Beck membawanya untuk mencari penjelasan lain untuk depresi. Dia mengidentifikasi adanya kognisi negatif yang menyimpang (terutama pikiran dan keyakinan) sebagai fitur utama individu mengalami depresi dan mengembangkan pengobatan jangka pendek, salah satu target utamanya adalah pengujian realitas pemikiran pasien yang tertekan (Beck, 2011).

Aaron Beck mengembangkan bentuk psikoterapi pada awal 1960-an yang awalnya ia sebut "terapi kognitif." Terapi kognitif sekarang digunakan secara sinonim dengan “terapi kognitif” oleh banyak bidang keilmuan dan istilah terakhir inilah yang akan digunakan sepanjang volume ini. Beck menyusun psikoterapi terstruktur, jangka pendek, berorientasi masa kini untuk depresi, dan diarahkan untuk memecahkan masalah saat ini dan memodifikasi pemikiran dan perilaku yang disfungsional. Sejak saat itu, ia dan yang lainnya telah berhasil mengadaptasi terapi ini untuk sekelompok populasi yang sangat beragam dengan berbagai gangguan dan masalah. Adaptasi ini telah mengubah fokus, teknik, dan lama perawatan, tetapi asumsi teoretis itu sendiri tetap konstan. Dalam semua bentuk terapi perilaku kognitif yang berasal dari model Beck, pengobatan didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan dan strategi perilaku yang menjadi ciri gangguan spesifik . Pengobatan juga didasarkan pada konseptualisasi, atau pemahaman, dari masing-masing pasien (keyakinan dan pola perilaku spesifik mereka). Terapis mencari berbagai cara untuk menghasilkan modifikasi perubahan kognitif dalam sistem berpikir dan keyakinan pasien untuk menghasilkan perubahan emosional dan perilaku yang bertahan lama. Beck menggunakan sejumlah sumber berbeda ketika ia mengembangkan bentuk psikoterapi ini, termasuk para filsuf awal, seperti Epicetus. dan ahli teori, seperti Karen Horney, Alfred Adler, George Kelly, Albert Ellis, Richard Lazarus, dan Albert Bandura (Beck, 2011).

2. Konsep Dasar Konseling Kognitif Perilaku

Teori kognitif memandang masalah psikologis berasal dari proses berpikir yang salah, membuat kesimpulan yang salah atas informasi yang tidak benar, dan

(17)

gagal membedakan antara fantasi dan realitas. Seperti halnya REBT, terapi kognitif juga berfokus pada psikoedukasi untuk merubah pikiran realistis yang negatif dan keyakinan yang maladaptif. Terapi kognitif sangat kolaboratif dan terlibat merancang pengalaman belajar secara spesifik untuk membantu klien memantau pikiran otomatis mereka; menguji validitas pikiran otomatis mereka;

memahami hubungan antara kognisi, perasaan, dan perilaku; mengembangkan lebih akurat dan kognisi realistis; dan mengubah mendasari keyakinan dan asumsi (Corey, 2013: 303).

Masalah klien dikonseptualisasikan di bawah model ABC yang awalnya dikembangkan oleh Albert Ellis (1962). (Dalam model ABC, A = peristiwa pengaktifan; B = keyakinan; dan C = konsekuensi, seperti emosi, perilaku, dan reaksi psikofisiologis.) Hubungan terapeutik ditandai oleh kehangatan dan empati sejati terhadap masalah klien, mirip dengan pendekatan Carl Rogers, tetapi sesi lebih terstruktur, mengikuti tujuan tertentu, dan sebagian besar berpusat pada masalah saat ini dan terapis bertindak secara proaktif untuk melibatkan klien dalam mengidentifikasi dan mengubah pola berpikir disfungsional ( Beck, 2011).

Proses terapeutik mencakup sejumlah besar teknik, beberapa di antaranya berasal dari pendekatan terapi lainnya, termasuk aktivasi perilaku, pertanyaan Sokrates, eksperimen perilaku, dan paparan

Dalam model praktik CT saat ini, kognisi diatur pada tiga tingkatan.

Tingkat pertama mencerminkan pemikiran otomatis yang dialami individu ketika dihadapkan dengan peristiwa internal atau eksternal yang berbeda. Pikiran otomatis dihasilkan oleh interaksi antara peristiwa dan tingkat ketiga terdalam dari sistem pemrosesan informasi, yaitu, skema. Skema adalah struktur pembuatan makna kognitif dari pikiran dan sebagian besar tidak disadari. Di antara pemikiran otomatis dan skema adalah tingkat kedua, terdiri dari keyakinan menengah:

aturan, asumsi, dan sikap dalam kaitannya dengan diri atau orang lain yang memandu individu dalam berurusan dengan skema yang mereka pegang ( Beck, 2011).

(18)

Matu (2018) Ada 4 asumi dasar dalam teori CBT diantaranya:

1) Pikiran Otomatis

Pikiran otomatis muncul sebagai aliran pikiran yang cepat yang dihasilkan secara tidak sengaja dalam konteks tertentu. Bahkan, orang sering tidak menyadarinya, tetapi selama menjalani terapi mereka didorong untuk menyadarkan keberadaan pikiran tersebut. Meskipun pemikiran ini memiliki dampak langsung pada respons emosional dan perilaku, penting untuk diingat bahwa itu bukan konsekuensi langsung dari pengaktifan peristiwa. Sebaliknya, pikiran otomatis adalah produk dari proses kognitif yang lebih dalam dari peristiwa yang mengaktifkannya yaitu, skema atau keyakinan inti.

2) Skema

Skema mewakili struktur mental yang memilih informasi dan memprosesnya mengikuti pola spesifik yang telah berulang kali dibentuk selama pengembangan individu dan mencerminkan cara tertentu individu memahami dunia. Skema berkembang berdasarkan kecenderungan genetik dan pengalaman kehidupan awal yang selanjutnya dibentuk oleh pengalaman selama tahap kehidupan selanjutnya. Skema disfungsional secara teratur mengandung kepercayaan negatif tentang diri dan dunia di sekitar diri yang bersifat kaku, absolut, dan digeneralisasi. Setiap gangguan mental dapat dikonseptualisasikan sebagai interaksi antara penekan kehidupan dan skema disfungsional, yang pada gilirannya menghasilkan pola pemikiran tertentu dalam situasi tertentu dan yang kemungkinan besar akan terjadi disfungsional. Kemudian, pola berpikir akan menghasilkan konsekuensi emosional, perilaku, dan psikofisiologis yang maladaptive.

3) keyakinan menengah

Meskipun skema dan keyakinan inti dapat dianggap sebagai sumber pemrosesan kognitif yang salah, dampaknya terhadap pemikiran otomatis dimediasi oleh tingkat kognisi menengah yang disebut keyakinan perantara. Ketika individu mengembangkan skema disfungsional negatif tentang diri mereka sendiri atau dunia di sekitar mereka, mereka akan berjuang melawan prediksi dari

(19)

keyakinan inti. Upaya tersebut akan tercermin dalam serangkaian asumsi, aturan, dan sikap yang dapat membantu mereka mengatasi skema

4) eror kognitif

Di semua tingkat pemprosesan, termasuk pemprosesan permukaan (pemikiran otomatis), keyakinan menengah (sikap, aturan, dan asumsi), dan pemrosesan lebih dalam (skema dan keyakinan inti), teori CT memberi sinyal adanya beberapa kesalahan kognitif yang umum terjadi di seluruh gangguan mental. Kesalahan ini mencerminkan jenis kesalahan tertentu dalam logika yang dibuat orang ketika menafsirkan peristiwa kehidupan Menurut Weishaar (Corey, 2011: 303) terapi kognitif didasarkan pada alasan teoritis cara orang merasa dan berperilaku dipengaruhi oleh bagaimana mereka memandang dan struktur pengalaman mereka. Asumsi teoritis terapi kognitif adalah: 1) komunikasi internal individu dapat diakses sebagai introspeksi diri. 2) keyakinan klien memiliki makna yang sangat pribadi. 3) kebermaknaan hidup dapat ditemukan oleh klien daripada yang diajarkan atau ditafsirkan oleh terapis. Beck berpendapat ada beberapa hal kesalahan sistematis dalam penalaran yang menyebabkan asumsi yang salah dan kesalah pahaman , ini disebut distorsi kognitif (J. Beck, 2011; Beck & Weishaar, 2011; dalam Corey, 2013: 303-304).

1. Arbitrary inferences (sewenang-wenang dalam menyimpulkan). Berpikir katastropik, yaitu membuat kesimpulan sewenang-wenang tanpa didukung oleh bukti yang relevan.

2. Selective abtraction (abstraksi selektif), yaitu cara pandang individu yang hanya memandang dari peristiwa-peristiwa kegagalan dan kekurangan.

3. Overgeneralization (generalisasi yang berlebihan) adalah proses memegang keyakinan ekstrim tentang suatu kejadian dan diterapkan untuk peristiwa yang berbeda.

4. Magnification and minimization (Magnifikasi dan minimalisasi).

Kecenderungan memperbesar dan memperkecil masalah sehingga klien tidak mampu menilai masalah secara objective.

(20)

5. Personalization (Personalisasi), kecenderungan bagi individu untuk menghubungkan peristiwa eksternal dengan diri sendiri bahkan menyalahkan diri sendiri

6. Labeling and mislabeling (Pelabelan dan mislabeling), melibatkan menggambarkan identitas seseorang atas dasar ketidaksempurnaan dan kesalahan yang dilakukan di masa lalu dan memungkinkan mereka untuk mendefinisikan identitas diri seseorang.

7. Dichotomous thinking (Berpikir Dikotomi), melibatkan atau mengkategorikan pengalaman baik atau buruk. Dengan proses pemikiran seperti, peristiwa yang diberi label dalam istilah hitam atau putih.

3. Prinsip Konseling Kognitif Perilaku

prinsip dasar dalam teori konseling kognitif perilaku menurut Beck (2011) sebagai berikut:

a) Terapi kognitif perilaku didasarkan pada perumusan masalah pasien yang terus berkembang dan konseptualisasi individu dari setiap pasien dalam hal kognitif b) Terapi kognitif perilaku membutuhkan ikatan terapeutik yang kuat. Untuk

membangun ikatan dengan klien konselor senantiasa menunjukan perasaan hangat, empati, kepedulian, penghargaan tulu, dan kompetensi, serta konselor harus menjadi pendengar yang baik, dan merangkum secara akurat pikiran dan perasaan klien.

c) Terapi kognitif perilaku menekankan kolaborasi dan partisipasi aktif. Konselor memberikan arahan bahwa terapi yang klien lakukan adalah bentuk dari kerja sama tim untuk menyelesaikan masalah yang dialami klien.

d) Terapi kognitif perilaku berorientasi pada tujuan dan berfokus pada masalah.

Konselor membantu klien untuk menentukan tujuan tertentu terhadap masalah yang di alami klien. Sehingga, konselor dan klien memiliki pemahaman bersama tentang apa yang sedang dia upayakan terkait penyelesaian masalah yang klien alami.

e) Terapi kognitif perilaku pada awalnya menekankan masa kini. Konselor membantu klien untuk fokus terkait masalah yang dia alami saat ini dan situasi tertentu yang membuat klien merasa tertekan dalam hidupnya.

(21)

f) Terapi kognitif perilaku adalah edukatif, bertujuan untuk mengajar pasien menjadi terapisnya sendiri, dan menekan pencegahan kambunhnya masa lah yang di hadapi klien. Konselor mengajarkan klien tentang proses terapi perilaku kognitif, dan tentang model kognitif (yaitu, bagaimana pikirannya memengaruhi emosi dan perilakunya).

g) Terapi kognitif perilaku bertujuan untuk membatasi waktu. Terapis disini berutujuan untuk meredakan gejala, memfasilitasi remisi gangguan, membantu pasien menyelesaikan masalah yang paling mendesak, dan mengajarkan keterampilan untuk menghindari kekambuhan

h) Sesi terapi kognitif perilaku terstruktur. Struktur ini mencakup bagian pengantar (melakukan pemeriksaan suasana hati, meninjau secara singkat minggu ini, secara bersama-sama menetapkan agenda untuk sesi), bagian tengah (meninjau pekerjaan rumah, membahas masalah dalam agenda, membuat pekerjaan rumah baru, merangkum), dan bagian terakhir (memperoleh umpan balik). Mengikuti format ini membuat proses terapi lebih dimengerti oleh pasien dan meningkatkan kemungkinan bahwa mereka akan dapat melakukan terapi sendiri setelah penghentian.

i) Terapi kognitif perilaku mengajarkan pasien untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan menanggapi pikiran dan keyakinan mereka yang tidak berfungsi.

4. Tujuan Konseling Kognitif Perilaku

Tujuan dari pendekatan konseling CBT menurut Beck (2011) yaitu untuk mengidentifikasi dan menguji keyakinan / kognisi disfungsional sehingga klien dapat mengatasi masalah psikologisnya. Ada juga pendapat menurut Oemarjoedi (2004) adalah mengajak individu menentang pikirang dan emosi yang salah dengan cara menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinannya.

CBT merupakan pendekatan konseling yang menitikberatkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang irrasional akibat dari interpretasi kejadian yang salah dan mengubah kebiasaan respon yang salah dalam mereaksi situasi yang dialmainya. Ada juga Okun (1990) berpendapat Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mengubah cara berfikir individu agar menjadi lebih rasional dengan

(22)

menggunakan prinsip dan hukum perilaku pada umumnya. Di samping itu agar individu yang adiksi juga mempunyai kemampuan untuk mengenali dan kemudian mengevaluasi atau mengubah cara berfikir, keyakinan dan perasaanya (mengenai diri sendiri dan lingkungan) yang salah sehingga mereka dapat mengubah perilaku yang maladaptive dengan cara mempelajari ketrampilan pengendalian diri dan strategi pemecahan masalah diri sendiri yang efektif.

5. Proses dan Tahapan Konseling Cognitive Behavior Therapy\

Matu (2018) ada beberapa tahapan dalam melakukan sesi konseling kognitif perilaku di antaranya:

a) Struktur terapi

sesi pertama pengobatan didedikasikan untuk (a) membahas diagnostik dan hasil penilaian yang terkait, (b) mensosialisasikan klien ke model kognitif CT dan menyediakan psikoedukasi tentang pengobatan (yang juga membantu membangun harapan yang realistis dan sangat penting bagi klien yang baru mengenal CT atau yang melihat terapis untuk pertama kalinya), dan (c) menetapkan tujuan terapi dan daftar masalah yang harus dikerjakan. Psikoedukasi juga digunakan untuk memberi tahu klien tentang jenis pekerjaan yang akan dibutuhkan (misalnya, memantau suasana hati, menyelesaikan tugas pekerjaan rumah, frekuensi sesi) (J. S. Beck, 2011). Dalam semua fase intervensi sesi CT reguler memiliki struktur berikut: (a) menetapkan agenda untuk sesi, (b) mengevaluasi status klien (misalnya, suasana hati, masalah penting yang telah muncul selama seminggu terakhir), (c), meninjau pekerjaan rumah, (d) melalui poin-poin dalam agenda, (e) membangun pekerjaan rumah baru, (f) meringkas, dan (g) menghasilkan umpan balik. (J. S. Beck, 2011)

b) Hubungan Therapeutic

Komponen kunci dari proses intervensi CBT adalah hubungan terapeutik, yang dapat dicirikan sebagai kolaborasi antara terapis dan klien untuk membantu klien mengatasi masalah mereka dan mencapai tujuan mereka. Beck (2011) menggambarkan hubungan terapeutik sebagai pendekatan tim di mana klien dan konselor berbagi keahlian mereka. Terapis adalah ahli dalam model kognitif serta keterampilan interpersonal, dan klien adalah ahli dalam masalah hidupnya sendiri.

(23)

Intervensi ini tidak menghalangi gagasan bahwa terapis berada dalam semacam posisi kekuasaan mengingat dia adalah orang yang menetapkan format terapi, seperti jadwal sesi, durasi, biaya, dan sebagainya. Asumsinya adalah bahwa meskipun sebagian besar klien melihat terapis sebagai figur otoritas tidak berarti bahwa mereka tidak boleh secara aktif terlibat dalam proses pengobatan dengan membantu mengatur agenda, memberikan umpan balik kepada terapis, dan mengidentifikasi dan menantang distorsi mereka sendiri. Selain itu, mengembangkan aliansi terapeutik yang baik dalam CBT tergantung pada beberapa karakteristik kunci dan strategi yang harus ditunjukkan oleh terapis dan digunakan secara tepat untuk membina dan mempertahankan aliansi yang kuat.

Seorang terapis CBT yang baik terapis menunjukkan tingkat kehangatan, empati, dan keaslian yang memadai, dengan mempertimbangkan perspektif klien dan menunjukkan penerimaan sementara yang asli. Namun, terapis CT harus menggunakan karakteristik ini secara bijaksana tergantung pada masalah dan kepercayaan klien.

c) Penilaian Masalah

Penilaian adalah aspek penting lain dari proses terapi dan berbagi banyak fitur dengan penilaian klinis yang dilakukan dalam bentuk CBT lain atau bahkan pendekatan terapi lainnya. Ada klaim yang luas dari instrumen penilaian dan strategi wawancara untuk membantu terapis dan klien mengevaluasi gejala yang bermasalah dan fitur psikologis lain yang relevan dan memutuskan jalannya perawatan dan cara untuk menilai kemajuan. Alat penilaian ini bervariasi dalam hal tujuan mereka, tingkat standarisasi mereka, dan sumber informasi. Ada banyak deskripsi yang baik dari tipologi dan instrumen yang dapat digunakan dalam penilaian klinis secara umum dan CT khususnya, termasuk deskripsi skala yang dirancang untuk menilai gejala dan mekanisme yang relevan dengan gejala spesifik (J. S. Beck, 2011)

d) Konseptualisasi Kasus

kasus adalah fase kritis dalam proses terapi CBT karena memberikan kerangka umum untuk memahami masalah kesehatan mental klien saat ini, bagaimana mereka berkembang, dan mengapa mereka dipertahankan. Ini juga

(24)

membantu mengarahkan fase intervensi. Terapis CBT mulai bekerja pada konseptualisasi kognitif dimulai dengan sesi pertama. Informasi yang dikumpulkan dalam penilaian akan membentuk dasar untuk perumusan kasus awal. Menggunakan model generik CBT dan model yang lebih spesifik dari gangguan atau gangguan yang telah didiagnosis, terapis dapat merumuskan hipotesis tentang faktor-faktor kognitif yang mungkin relevan dengan masalah klien. Namun, hipotesis ini harus diuji lebih lanjut dan ditinjau selama sesi berikutnya untuk memverifikasi bahwa itu sesuai kebutuhan untuk menggambarkan gejala dan masalah dengan lebih akurat (J. S. Beck, 2011)

e) Tugas Rumah

Pekerjaan rumah diberikan saat berakhirnya setiap sesi yang dilakukan, dimulai dengan sesi pertama dan terakhir, dan juga harus berhubungan dengan apa yang dibahas dalam sesi. Mengembangkan tugas pekerjaan rumah adalah proses kolaboratif. Masalah harus didefinisikan dengan jelas sebelum pekerjaan rumah diberikan, tugas pekerjaan rumah harus dapat dicapai mengingat kemampuan klien, dan klien harus dengan jelas memahami alasan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut (Freeman et al., 2004).

f) Penghentian dan Pencegahan Kambuh

Ada beberapa kriteria untuk digunakan dalam memutuskan apakah pengobatan harus dihentikan. Secara khusus, konselor dan klien perlu memutuskan apakah gejalanya telah berkurang, tujuan dari terapeutik telah tercapai, dan keyakinan yang mendasari masalah telah ditangani secara efektif (J.

S. Beck, 2011).

6. Metode dan Teknik Konseling Kognitif Perilaku

metode dan teknik yang digunakan dalam konseling kognitif perilaku (CBT) ini dibagi menjadi dua bagian yaitu dengan pendekatan kognitif dan juga pendekatan perilaku (Matu, 2018). Sebagai berikut :

a) Guided Discovery

Pendekatan ini disebut juga pertanyaan Socrates, teknik ini mungkin merupakan ciri khas CT dan sekaligus salah satu yang paling sulit dikuasai (DeRubeis et al.,2010). Pendekatan ini melibatkan pengajuan pertanyaan terbuka

(25)

yang membantu klien menyadari bahwa pikiran dan keyakinan disfungsional mereka tidak realistis serta mengidentifikasi pemikiran alternatif yang lebih realistis. Pendekatan ini juga membantu klien mengidentifikasi interpretasi terburuk, terbaik, dan paling realistis dari peristiwa hidup mereka, keterampilan dan sumber daya mereka, dan keuntungan dari mengubah keyakinan mereka (J. S.

Beck, 2011)

b) Rekaman Pikiran

Pendekatan ini adalah salah satu teknik yang paling umum digunakan untuk mengidentifikasi dan mengubah pikiran otomatis negatif dan diperkenalkan pada tahap awal terapi sebagai tugas pekerjaan rumah di antara sesi. Catatan pemikiran harus diperkenalkan setelah klien disosialisasikan ke model CT, mengakui bahwa reaksi emosional dan perilaku mereka terhadap peristiwa yang berbeda disebabkan oleh pikiran mereka, dan memiliki pengetahuan dasar tentang bagaimana mengatasi pikiran otomatis negative (J. S.Beck, 2011)

c) Cognitive Continum

Teknik ini dapat digunakan untuk menantang salah satu bias kognitif yang sering dikaitkan dengan masalah psikologis, yaitu, pemikiran dikotomis / hitam- putih. Ketika terapis mengamati bahwa klien menilai diri mereka sendiri atau orang lain dalam hal baik atau buruk, sukses atau gagal, dan sebagainya, mereka menunjukkan hal ini dan membantu klien mengembangkan perspektif yang lebih seimbang. Ini dilakukan dengan menggunakan kontinum, dengan satu ujung positif dan ujung lainnya negatif, seperti sukses total atau gagal total. Terapis meminta klien untuk menunjuk ke suatu tempat pada kontinum yang mewakili pemikiran mereka. Sangat mungkin bahwa klien dengan pemikiran dikotomis akan menempatkan diri mereka pada sisi negatif. Kemudian, dengan menggunakan pertanyaan berurutan, terapis membantu klien mencari contoh (nyata atau masuk akal) dari orang lain yang berkinerja lebih buruk pada dimensi ini (J. S. Beck, 2011).

d) Reattribution

Banyak klien cenderung memikul semua tanggung jawab untuk hasil negatif, sedangkan yang lain cenderung menyalahkan semuanya pada orang lain.

(26)

Untuk membantu klien mengembangkan pemahaman yang lebih realistis tentang penyebab dan tanggung jawab untuk peristiwa negatif, terapis mungkin meminta klien untuk menemukan kemungkinan penyebab lain dari hasil yang tidak diinginkan. Setelah daftar penyebab yang masuk akal telah dikembangkan, konselor dapat meminta klien untuk memperkirakan kontribusi dari masing- masing penyebab tersebut untuk peristiwa yang di alami klien (Dobson &

Dobson, 2009)

e) Downward Arrow Technique

Pendekatan ini digunakan untuk mengidentifikasi kepercayaan yang mendasari yang menghasilkan pemikiran otomatis permukaan yang terkait dengan perilaku tertekan dan maladaptif. Untuk menerapkan ini, terapis mengajukan serangkaian pertanyaan yang menggali ke dalam pikiran klien, mencoba mengungkap bagaimana ia memahami peristiwa kehidupan yang di alami klien.

(J. S. Beck, 2011) f) Acting As If

Teknik ini dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan atau skema fungsional baru yang belum sepenuhnya didukung oleh klien. Menerapkan teknik ini membutuhkan definisi yang jelas sebagaimana klien akan bertindak dengan keyakinan baru dan mulai mengadopsi perilaku baru. Bertindak dengan perspektif keyakinan baru mungkin memerlukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan klien, dan dengan demikian definisi perilaku harus rinci, bukan generic (J. S.

Beck, 2011).

g) Social Skills Building

konselor perlu untuk mengajari klien keterampilan sosial seperti komunikasi atau ketegasan karena untuk memulai percakapan, bagaimana menjadi pendengar yang baik, bagaimana menafsirkan petunjuk nonverbal, dan bagaimana berkomunikasi secara asertif sebagai lawan agresif adalah semua keterampilan yang berguna bagi terapis untuk mengajar klien. terapis menjadikan dirinya model dalam menyajikan keterampilan ini (Freeman et al., 2004) dan memasukkan permainan peran sehingga klien dapat mempraktikkan keterampilan tersebut.

Mengajar keterampilan sosial dan teknik pemecahan masalah mungkin sangat

(27)

diperlukan dalam pekerjaan dengan remaja, karena remaja mungkin tidak memiliki model peran yang sesuai atau keterampilan kognitif yang diperlukan untuk menggunakan keterampilan sosial dan / atau pemecahan masalah yang efektif (Albano, 2006).

h) Role-Play Techniques

Teknik bertukar peran dapat digunakan dalam banyak cara kreatif untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengubah pemikiran dan keyakinan otomatis. Misalnya, jika skema disfungsional telah diidentifikasi dan alternatif yang lebih adaptif telah dirumuskan, konselor dan klien dapat terlibat dalam permainan peran di mana masing-masing dari mereka terkait dengan suatu peristiwa melalui perspektif salah satu skema. Peran dapat dibalik sehingga klien dapat mengalami kedua perspektif, yang membantu klien mengidentifikasi cara menanggapi pola berpikir lama dan mengembangkan yang baru.

i) Behavioral Experiments

Pendekatan ini bertujuan untuk menguji langsung kognisi disfungsional dengan menghadapkan klien dengan kenyataan yang mungkin merupakan salah satu metode terkuat untuk mengubah kognisi (Freeman et al., 2004). Eksperimen perilaku yang lebih kompleks dapat ditetapkan sebagai pekerjaan rumah. Penting untuk secara jelas mendefinisikan kognisi yang sedang diuji dan untuk menentukan apa yang akan mewakili bukti bahwa keyakinan itu benar atau tidak didukung (J. S. Beck, 2011)

j) Reinforcement

Penguat adalah peristiwa atau konsekuensi yang mengikuti suatu perilaku dan meningkatkan kemungkinan perilaku itu terjadi di masa depan. Dengan tujuan untuk memperkuat perilaku tertentu, konselor akan bekerja dengan klien untuk memeriksa sejarah penguat yang telah berhasil meningkatkan frekuensi perilaku yang diinginkan. Analisis fungsional perilaku juga dapat membantu praktisi memahami bantuan apa yang mempertahankan perilaku sehingga mereka dapat bekerja dengan klien untuk secara aktif mengubah bantuan ini (Martin & Pear, 2015).

(28)

k) Punishment

Hukuman disini dimaksudkan untuk mengurangi terjadinya perilaku yang tidak diinginkan dan terjadi setelah perilaku tersebut dilakukan, sedangkan itu diharapkan bahwa penguatan meningkatkan terjadinya perilaku yang diinginkan (Murdock, 2004). Hukuman adalah suatu pendekatan yang dapat diandalkan orang tua atau guru hampir secara naluriah dan bukan sesuatu yang secara aktif di berikan oleh terapis.

l) Extinction

Extinction/kepunahan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemotongan atau penghentian penguatan perilaku yang sebelumnya diperkuat. Harapannya adalah bahwa ketika penguatan ini ditahan akan ada penurunan perilaku (Martin & Pear, 2015).

m) Token Economy

Token ekonomi adalah strategi penguatan perilaku yang umum digunakan yang memberikan penghargaan kepada klien untuk menunjukkan perilaku positif dengan token atau simbol yang dapat ditukar dengan imbalan yang diinginkan / nyata. Tujuannya ada dua: (a) untuk meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku positif akan dilakukan di masa depan; dan (b) akhirnya mengganti token dengan hadiah yang kurang nyata dan penguat yang lebih alami, seperti pujian verbal, yang lebih konsisten dengan jenis penguatan yang akan dialami klien di dunia nyata (Martin & Pear, 2015).

n) Modeling

Pendekatan ini melibatkan sejumlah strategi perilaku yang awalnya diperkenalkan oleh Albert Bandura (1969). Pemodelan terkait erat dengan pembelajaran imitasi dan observasional dan sangat sering dianggap identik dengan mereka. Prosedur dalam pemodelan melibatkan klien yang terlibat dalam pengamatan orang lain (misalnya, konselor) melakukan perilaku yang diinginkan dan klien mempertahankan dan mereproduksi perilaku ini dalam konteks yang diinginkan (Fall et al., 2010).

(29)

o) Shaping

Pendekatan ini bertujuan untuk Pembentukan tugas tugas dan dinilai digunakan ketika perilaku yang diinginkan bersifat kompleks dan mungkin perlu dipecah menjadi langkah-langkah sederhana (Fall et al., 2010).. Ketika konselor bekerja secara sistematis dengan klien untuk memecah perilaku yang lebih kompleks menjadi tugas-tugas yang lebih kecil dan dapat dikelola, tujuan utamanya adalah agar klien menyelesaikan langkah-langkah yang lebih kecil dan berturut-turut ini, yang diharapkan akan menghasilkan perilaku yang lebih kompleks (Martin & Pear, 2015).

p) Assertiveness Skills Training

Tujuan pelatihan ketegasan adalah untuk mengajarkan sikap asertif yang sesuai sebagai lawan dari perilaku verbal dan nonverbal yang agresif, konselor akan menentukan apakah kurangnya ketegasan klien mengakibatkan defisit keterampilan atau defisit kinerja (Alberti & Emmons, 2001).

q) Relaxation Training

Pendekatan ini ada baiknya memulai dengan penjelasan tentang tujuan pendekatan ini dan juga menunjukkannya. Sangat membantu untuk meminta klien mengidentifikasi bagian tubuh mana yang ingin mereka mulai, lebih disukai area yang nyaman untuk tujuan demonstrasi (misalnya, lengan atau kaki). Untuk tujuan demonstrasi, konselor dapat meminta klien untuk meletakkan tangan kirinya di lengan kiri kursi dan tangan kanan di lengan kanan dan kemudian hanya memegang lengan kiri kursi dengan tangan kiri untuk membuat ketegangan.

Konselor kemudian akan bertanya kepada klien apakah ada perbedaan dalam rangsangan fisiologis dan resistensi atau ketegangan di lengannya. Konselor akan menjelaskan bahwa ketegangan sengaja diciptakan dan meminta klien untuk mencatat perubahan fisiologis dan perubahan relaksasi otot ketika dia membiarkannya (Jacobson, 1938).

r) Systematic Desensitization

Tujuan desensitisasi sistematis adalah untuk memecah kebiasaan respons kecemasan klien secara terstruktur. Lebih khusus, intervensi melibatkan menginduksi keadaan gairah fisiologis yang menghambat kecemasan melalui

(30)

relaksasi otot. Model asli yang dikemukakan oleh Wolpe (1961) melibatkan tiga rangkaian operasi:

1. Melatih klien dalam relaksasi otot yang dalam.

2. Membangun hierarki kecemasan rangsangan yang klien mengalami respons cemas.

3. Melibatkan klien dalam relaksasi dan mengeksposnya. atau dia terhadap rangsangan yang membangkitkan kecemasan dari dalam dirinya

s) Exposure and Response Prevention (ERP)

Suatu pendekatan perilaku yang umum digunakan dengan klien yang mengalami kecemasan adalah ERP. Dalam menggunakan ERP, konselor menghadapkan klien pada peristiwa buruk sambil mencegah terjadinya perilaku penghindar yang secara historis yang telah diperkuat mempertahankan kecemasan.

Penting bagi konselor untuk menjelaskan secara menyeluruh alasan di balik pendekatan ini, menyoroti peran penghindaran dalam memperkuat kecemasan.

Artinya, ketika klien menghadapi situasi yang mungkin tidak nyaman dan menghindari situasi itu, mereka telah mengalami penguatan kecemasan negatif karena tidak ada hasil langsung negatif dan mereka mengalami relaksasi fisiologis.

t) BA (Behavioral Activasi)

BA adalah teknik yang sering digunakan dalam pengobatan depresi.

Dalam pendekatan ini, klien belajar untuk memantau suasana hati dan kegiatan sehari-hari mereka dan berupaya meningkatkan jumlah kegiatan menyenangkan yang mereka alami. Pendekatan ini juga bertujuan untuk meningkatkan interaksi positif dengan lingkungan dengan klien melalui penjadwalan kegiatan, karena ketika klien mengalami depresi mereka dapat melepaskan diri dari rutinitas dan menarik diri dari kegiatan yang menyenangkan, yang semakin memperburuk suasana hati yang membuat mereka tertekan (Dimidjian, Barrera, Martell, Munoz,

& Lewinsohn, 2011).

u) Problem Solving

Pendekatan pemecahan masalah mengajarkan klien berbagai respons yang berpotensi efektif untuk memungkinkan mereka menangani situasi dengan lebih

(31)

efektif di masa depan. Tujuan dari pemecahan masalah adalah untuk mengubah perilaku dan mempengaruhi serta mempromosikan kesejahteraan klien dan kemampuan untuk membuat keputusan (D’Zurilla & Goldfried, 1971).

7. Aplikasi Konseling Kognitif Perilaku dalam Berbagai Setting a. Konseling Kognitif Perilaku untuk Gangguan Mood

Model kognitif depresi dapat digunakan untuk membuat konsep gejala depresi (AT Beck, 2008). Model kognitif menegaskan bahwa depresi dicirikan oleh tiga serangkai kognitif, yang melibatkan pandangan negatif tentang diri, dunia, dan masa depan (AT Beck et al., 1979) yang diekspresikan dalam aliran pemikiran klien sebagai pikiran otomatis negatif. Target utama CBT untuk depresi adalah skema yang mempengaruhi individu untuk depresi dan pikiran otomatis negatif yang mempertahankannya (Freeman & Oster, 1998). Dengan demikian, langkah pertama CBT adalah mengkonseptualisasikan masalah sesuai dengan model kognitif sambil mengidentifikasi tujuan yang relevan dan strategi yang tepat untuk mencapainya

b. CBT untuk Gangguan Kecemasan Umum

Klien dengan gangguan kecemasan umum memiliki keyakinan yang berlebihan tentang kemungkinan bahwa ancaman yang berbeda dapat terjadi.

Mereka juga berpikir bahwa kecemasan mereka merusak kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ancaman tersebut dengan berpikir bahwa kecemasan telah membantu mereka mempersiapkan diri untuk skenario negatif. Meskipun demikian, mereka menganggap diri mereka lemah karena tidak dapat mengendalikan kecemasan mereka (JS Beck, 2011). CBT untuk gangguan kecemasan umum bertujuan untuk mengurangi frekuensi, intensitas, dan durasi kekhawatiran, yang dianggap sebagai ciri khas gangguan ini.

c. CT untuk Gangguan Panik

Klien dengan gangguan panik cenderung membuat interpretasi bencana tentang sensasi tubuh. Interpretasi ini dibahas dalam model kognitif gangguan panik, yang mengusulkan adanya dua fase dalam konseptualisasi panik. Fase pertama, yang termasuk serangan panik itu sendiri, adalah respon ketakutan langsung sebagai reaksi terhadap sensasi tubuh dan mental, sedangkan fase kedua

(32)

mengacu pada kekhawatiran tentang panik, yang merupakan penghindaran.

Ketakutan tentang kepanikan dan penghindaran aktivitas atau rangsangan yang dapat memicu serangan panik mempertahankan dalam jangka panjang keadaan kecemasan yang meningkat sehubungan dengan mengalami gejala, yang merupakan karakteristik dari gangguan panik (DA Clark & Beck, 2010). Sesuai dengan model CT, fase pertama pengobatan berfokus pada pengurangan kepekaan terhadap sensasi fisik atau mental yang relevan dengan kepanikan, membantah salah tafsir bencana dan skema disfungsional yang mendasarinya, dan mengadopsi penjelasan alternatif yang lebih jinak dan realistis untuk gejala-gejala yang menyusahkan. Protokol juga menargetkan penurunan perilaku menghindar dan mengontrol dan peningkatan toleransi kecemasan atau ketidaknyamanan (DA Clark & Beck, 2010).

d. CT untuk Gangguan Kecemasan Sosial

Teori kognitif untuk gangguan kecemasan sosial menyoroti tiga fitur gangguan ini: (a) bahwa kecemasan yang dialami dalam situasi sosial disertai dengan perasaan malu dan malu (AT Beck, Emery, & Greenberg, 1985; Hofmann

& Barlow, 2002), (b) bahwa kecemasan intens yang terkait dengan situasi sosial sering dikaitkan dengan perilaku penghambatan otomatis dan upaya untuk menyembunyikan kecemasan yang mengganggu kinerja sosial dan dengan demikian menghasilkan evaluasi negatif (AT Beck et al., 1985), dan (c) bahwa individu mempertimbangkan bagaimana mereka dapat menghindari evaluasi negatif dari orang lain jika mereka dapat menyembunyikan kecemasan yang mereka rasakan (DA Clark & Beck, 2010).

e. CT untuk Manajemen Nyeri

Model CT telah diperluas untuk memahami dan membantu klien yang menderita nyeri kronis. Pendekatan ini berfokus pada gagasan bahwa ada hubungan yang erat antara stres dan rasa sakit dan bahwa keyakinan tertentu yang dipegang orang mungkin sebenarnya memperburuk pengalaman mereka tentang gejala nyeri. Protokol pengobatan dimulai dengan psikoedukasi tentang gagasan bahwa nyeri kronis adalah penyebab stres utama; bahwa stres yang berkaitan dengan nyeri dan faktor lain meningkatkan tingkat nyeri; dan bahwa stres dapat

(33)

dikendalikan dengan mengelola pola berpikir, seperti pikiran otomatis negatif. CT juga berfokus pada keyakinan disfungsional yang lebih dalam yang bertanggung jawab atas pengalaman kesusahan serta keyakinan inti yang secara langsung relevan dengan pengalaman nyeri, seperti mendefinisikan diri sendiri sebagai individu rentan yang dikendalikan oleh nyeri. Perubahan kognitif dicapai melalui teknik klasik seperti perselisihan kognitif dan pekerjaan rumah untuk menguji validitas keyakinan, tetapi fokus utamanya adalah pada latihan yang terkait dengan kognitif yang relevan dengan rasa sakit (Thorn, 2004).

f. CT dengan Anak-anak dan Remaja

Aplikasi CT dengan anak-anak dan remaja secara fundamental tidak berbeda dari aplikasi dengan orang dewasa. Namun, beberapa karakteristik penting dari proses terapeutik perlu dipertimbangkan ketika seseorang bekerja dengan populasi ini. Terapi harus mempertimbangkan keluarga, tidak hanya untuk persetujuan orang tua untuk melihat anak atau remaja tetapi untuk alasan lain juga. Keluarga mungkin mewakili sumber utama masalah psikologis yang diungkapkan dan dipelihara oleh klien muda. Jika ini masalahnya, bekerja dalam format terapi keluarga mungkin lebih tepat untuk mengajarkan keterampilan mengasuh anak dan mengubah pola interaksi yang mengganggu. Jika keluarga bukan sumber masalahnya, keterlibatan orang tua tetap akan bermanfaat, karena orang tua dapat memperkuat pekerjaan yang dilakukan dalam sesi, seperti membantu pekerjaan rumah, mendorong perubahan, dan lain sebagainya.

Mungkin juga tidak mungkin untuk melakukan beberapa perubahan yang diperlukan tanpa orang tua dan persetujuan eksplisit mereka. Keterlibatan keluarga menimbulkan masalah yang lebih kompleks mengenai kerahasiaan, menetapkan tujuan bersama (disepakati oleh semua orang), dan memelihara aliansi terapeutik yang baik dengan semua orang. Ini bisa menjadi keseimbangan yang peka bagi terapis dalam hal apa yang harus dibagikan dengan orang tua tentang proses terapi ketika konseling remaja yang tidak ingin orang tua mereka tahu tentang masalah mereka. Namun, orang tua memiliki hak untuk mengetahui apa yang terjadi dengan anak mereka. Penting juga untuk menyesuaikan format terapi agar sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan kognitif anak. CT

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari aplikasi ini dibuat untuk memberikan informasi beragam makanan lokal yang merupakan sebagian dari wujud budaya yang memiliki ciri kedaerahan dengan beraneka

Dari hasil analisis data dalam artikel ini, dengan penerapan strategi pengendalian yang dilakukan bagian makanan dan minuman di Hotel Nikko Jakarta, dapat

Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi

Dari penjelasan Sardiman diatas dapat diartikan bahwa minat adalah kondisi dimana seorang anak dikatakan memiliki minat terhadap sesuatu dengan melihat hal-hal yang berkaitan dengan

Menurut Rosa A.S (2015:44) menjelaskan bahwa “Database Management System atau dalam bahasa indonesia sering disebut Sistem Managemen Basis Data adalah suatu sistem aplikasi yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui harapan advertisers terhadap kinerja pelayanan bisnis radio Ardan Group, atribut apa saja yang perlu ditingkatkan dan

Batas laut wilayah tersebut dituangkan dalam Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian

Kesimpulan : Asupan zat gizi yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada wanita menopause adalah asam lemak jenuh (SFA), sedangkan asupan asam lemak tidak jenuh (MUFA,