• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesejajaran Konsepsi Arca Perwujudan Di Kamboja Asia Tenggara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesejajaran Konsepsi Arca Perwujudan Di Kamboja Asia Tenggara."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

KESEJAJARAN KONSEPSI ARCA PERWUJUDAN

Istilah Asia Tenggara mulai dipakai sejak perang dunia ke-dua, untuk menggambarkan

sebuah wilayah yang luas di bagian Timur benua Asia yang meliputi semenanjung Indo-China,

serta daerah kepulauan yang meliputi Indonesia dan Philipina. Para penulis Amerikalah yang

mula-mula membakukan istilah ini. Kemudia diikuti oleh E. G.H. Dobby dalam bukunya South

East Asia, 1950, Victor Purcell dalam bukunya The Chinese in South East Asia, 1951 dan

Mountbatten dalam laporannya kepada staf Gabungan Komando Tertinggi Sekutu Asia

Tenggara. (Hall, 1977 : 3).

Luasnya wilayah Asia Tenggara seperti dijelaskan di atas dapat dipahami bagaimana

luasnya peradaban kebudayaan masa lalu di wilayah Asia Tenggara, sehingga diperlukan kajian

analisis dan data penelitian yang mendalam di wilayah Asia Tenggara. Daerah kepulauan

Indonesia yang merupakan bagian kawasan Asia Tenggara memiliki peradaban kebudayaan

masa lalu yang memiliki cirri kas yang sama, terlihat baik dalam Candi, arca, sampai peradaban

pertumbuhan kerajaan-kerajaan kuna di Asia tenggara dan di Indonesia., Di Asia Tenggara pusat

kebudayaan masa lalu yang dominan dapat dilihat pada masa perkembangan kerajan Khmer di

Kamboja. Kesinambungan kebudayaan, seni dan agama di Asia Tenggara dengan di Indonesia

dapat diketahui sejak jaman Prasejarah-Klasik. Seperti pata periode Pre Khmer yang berpusat di

(2)

candi. Sedangkan pada masa Klasik candi di kamboja abad VIII-X Masehi juga terdapat

nama-nama dewa Hindu di kamboja di Candi Lolei diperuntukan untuk Dewa Siwa dan Parwati,

kuil-kuil di Kamboja juga banyak terdapat Lingga, sepertikuil-kuil Prasat Damrei, dan Kuil Andong.

Begitupuloa pada kuilMebon Timur di Kamboja terdapatnya lingga untuk sang raja dengan

sebutan Rajendracwara, bentuk Ciwa,dan Uma untuk ayah bundanya, patung dan Wisnu di

keempat sudut Kuil Mebon Timur. Kuil ini didirikan oleh raja Rajendrawarman II sebagai

pengganti dari raja Harshavarman II (994-968 M).

Seni Rupa relief yang terdapat di Kamboja Asia Tenggara sekitar abad X-XIV juga

memiliki ciri khas tersendiri yaitu arca dan relief raja dengan wajah arca perwujudan raja yang

ditempatkan cukup besar menghiasi candi yang terliha pada gugusan candi Angkor Watt (Lihat

lampiran Foto, 1). Kebesaran dan kemegahan candi Angkor Watt ini, pada masa kini rupanya

kurang mendapat perawatan dan perlindungan, dan pelestarian, mengingat fungsi keagamaan

masa lalu yang bernuansakan keagamaan Hindu pada masa lalu ini tidak lagi dimanfaatkan

(death monument) dan kemegahan candi ini terancam kepunahan dengan terdapatnya ancaman

bencana yaitu candi terbelit oleh akar pohon yang besar sekali yang mengapit bagian dalam

candi Angkor Watt yang nantinya dapat merobohkan candi tersebut (Lihat lampiran Foto, 2).

Bencana ini akan dikaji secara arkeologi publik yaitu bagaimana langkah managemen untuk

melestarikan candi Angkor Watt di masa depan.

Latar belakang relief perwujudan di candi Angkor Watt tersebut di atas mengingatkan

kepada tradisi pengarcaan perwujudan yang terdapat di Indonesia. Sebelum kedatangan pengaruh

agama Hindu dan Budha di Indonesia, masyarakat Indonesia sudah mempunyai kepercayaan

tentang sesuatu yang gaib. Adapun kepercayaan mereka ialah pemujaan terhadap arwah nenek

(3)

oleh anak cucunya untuk mendapatkan perlindungan dan kebahagiaan hidupnya. Hanya

orang-orang tertentu yang dapat menurunkan arwah nenek moyang dari kayangan (terletak di Gunung

yang tinggi). Bila dikaji lebih mendasar pemujaan terhadap nenek moyang sebenarnya berlatar

belakang dari adanya penghormatan terhadap jasa nenek moyang yang dianggap dapat

melindungi mereka yang ditinggalkan. Begitupula yang terjadi di Kamboja pada gugusan candi

maupun kuil, banyak terdapatnya patung-patung dewa seperti yang dijelaskan pada kuil Mebon

Timur di atas, diketahui terdapatnya kepecayaan yang sama dengan di Indonesia perhormatan

jasa nenek moyang yang dianggap dapat melindungi mereka yang ditinggalkan.

Dengan semakin kuatnya pengaruh Hindu di Indonesia, khususnya di Jawa banyak

peninggalan pengaruh seni arca Hindu yang kemudian berkembang di Jawa Tengah. Arca-arca

yang berkembang pada periode Jawa Tengah ini banyak menghasilkan seni arca klasik yang

memperlihatkan kelemah lembutan sesuai dengan konsepsi kedewataan India dari zaman Gupta.

Hal ini sesuai fungsinya sebagai arca dewa (Sutjipto Wirjosuparto, 1956 : 60). Berbeda halnya

dengan arca-arca dari periode Jawa Timur, dimana nampak adanya gejala bahwa langgam arca

mulai kasar, sikap kaku dan memperlihatkan penyimpangan dalam pemberian atribut dewa.

Pada masa Hindu di Jawa Timur, kebudayaan Hindu di Indonesia sudah tidak murni lagi,

dalam arti sudah bercampur dengan kebudayaan asli Indonesia. Percampuran kedua unsur ini

antara lain terlihat pada bentuk-bentuk arca perwujudan yang ditempatkan di dalam candi-candi.

Arca-arca ini tidak semata-mata menggambarkan dewa-dewa sebagaimana terdapat dalam

candi-candi di Jawa Tengah maupun di India yang merupakan Negara asal kebudayaan Hindu tersebut,

melainkan menggambarkan raja yang telah meninggal dunia yang dewujudkan dalam bentuk

(4)

Arca perwujudan ini dikenal juga di Negara-negara Asia Tenggara, tetapi justru kurang

dikenal di Negara asal Kebudayaan Hindu yaitu India. Munculnya bentuk arca demikian itu di

Indonesia karena adanya percampuran unsur-unsur kebudayaan Hindu dengan unsur kebudayaan

asli Indonesia Indonesia yaitu pemujaan arwah nenek moyang (Stutterheim, 1931 : 5). Arca-arca

perwujudan di Jawa Timur lebih banyak menunjukan cirri-cirinya sebagai perwujudan raja-raja

yang telah meninggal dunia. Arca-arca tersebut digambarkan kaku seperti mayat, kakinya rapat,

matanya tertutup dan diperlengkapi atribut-atribut kebesaran dewa. Adanya atribut-atribut itu

menunjukan bahwa arca tersebut menggambarkan kepribadian raja.

Latar belakang perwujudan relief raja banyak terdapat pada candi-candi di Kamboja,

salah satunya di Candi Angkor Watt. Pembangunan candi ini dimulai pada abad XII ketika raja

Suryavarman (1113 – 1150) memerintah di wilayah tersebut. Candi ini merupakan representasi

Gunung Meru (dewa Hindu) dan candi ini memiliki beberapa menara, dan bergaya arsitektur

Khmer, dan terdapatnya arca perwujudan pada candi-candi yang konsepsinya sama dengan yang

terdapat di Indonesia terdapatnya arca perwujudan.

Kajian penelitian kesejajaran arca perwujudan di Indonesia dengan di Kamboja dikaji

terlebuh dahulu konsepsi latar belakang pembuatan arca dan fungsi arca yang terdapat di

Indonesia dan dibandingkan dengan yang terdapat di Kamboja.

Latar belakang permasalahan di atas maka dikaji dua pokok permasalahan dalam

penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana latar belakakang pembuatan dan fungsi arca perwujudan, dan

bagaimana kesejajaran konsepsi arca perwujudan yang terdapat di Kamboja dan

(5)

2. Bagaimana kajian arkeologi publik pelestarian candi di Kamboja, khususnya di

Candi Angkor Watt?

1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini ada dua tujuan, yaitu :

a. Tujuan Khusus :

Yaitu untuk mengetahui secara lebih mendalam lagi mengenai bagaimana sejarah

kesejajaran konsepsi seni arca yang terdapat di Kamboja dan Indonesia, keberadaan

peninggalan candi-candi di Kamboja Asia Tenggara, dan kajian arkeologi publik dalam

upaya melestaraiakan peninggalan arkeologi.

Tujuan Umum :

b.Tujuan Teoritis :

Untuk memberikan sumbangan berupa hasil penelitian arkeologi, terutama mengenai

sejarah kesinambungan arca perwujudan di Kamboja dan di Indonesia.

c.Tujuan Praktis :

Untuk membantu memberikan sedikit pengetahuan kepada masyarakat tentang gambaran

kehidupan masa lampau terutama terdapatnya kesejajaran konsepsi arca perwujudan di

(6)

1.4.. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Memberikan informasi tentang sejarah keberadaan kesejajaran arca perwujudan di

Kamboja dan di Indonesia.

2. Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai sumbangan data dalam rangka penelitian

sejarah daerah dan sejarah Nasional, dan sejarah Asia Tenggara lebih lanjut.

1.5.Ruang Lingkup Penelitian

Pada dasarnya setiap karya tulis agar dapat mendekati kebenaran perlu dilakukan

pembatasan atau ruang lingkup penelitian. Peninggalan yang dijadikan obyek penelitian adalah

arca perwujudan yang terdapat di Kamboja, terutama candi Angkor Watt yang dijadikan kajian

penelitian yaitu kajian arkeologi publik. Metode komparatif dan kontekstual dianalisis dengan

seni arca di Indonesia dikaji dengan melihat konsepsi bentuk, fungsi, dan latar belakang

pembuatan arca diketahui memiliki karakteristik yang sama atau bersifat kesinambungan arca

yang ada di Kamboja dengan yang terdapat di Indonesia.

1.6.Metode Penelitian

Dalam usaha untuk merealisasikan tujuan yang telah dirumuskan, dan dalam usaha

untuk memecahkan permasalahan di atas, maka diperlukan adanya suatu cara atau metode.

Pengertian metode dalam suatu penelitian adalah suatu cara atau jalan dengan jalan upaya ilmiah

(7)

memecahkan masalah ditempuh dengan dua tahapan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebgai

berikut :

1. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan Data dilakukan dengan dua cara :

a.Observasi yaitu suatu metode yang digunakan dengan cara pengamatan langsung yang

dilakukan dengan cermat. Observasi ini disertai dengan pencatatan, pengukuran,

pengambilan foto dan penggambaran dengan teliti di daerah penelitian . Lokasi Kamboja di

Asia Tenggara diamati melalui literature dan media internet untuk melihat langsung kondisi

candi-candi di Kamboja.

b.Wawancara (interview). Untuk melengkapi data yang diperoleh dari sumber pustaka dan

observasi, maka dilakukan pengumpulan data dengan mewancarai pihak-pihak yang

dianggap mengetahui obyek penelitian. Wawancarayang diterapkan dalam penelitian ini

adalah wawancara tanpa struktur dalam artian bahwa dalam melakukan wawancara tidak

disiapkan daftar pertanyaan (Koentjaraningrat, 1981 : 139). Disamping untuk menentukan

teori dasar, konsep berpikir yang telah dikemukakan oleh peneliti terdahulu sebagai nara

sumber digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam tahap analisis data.

c.Studi Pustaka. Studi pustaka dapat dirumuskan sebagai suatu usaha yang dengan teratur

dan sistematis menyelenggarakan pengumpulan data yang berupa keterangan dari

sumber-sumber tertulis seperti buku-buku ilmiah, laporan-laporan otentik, majalah dan

bentuk-bentuk publikasi lainnya, yang semua ini dipergunakan sebagai sumber sekunder untuk

menunjang dan melengkapi data primer yang telah diperoleh du lapangan.

(8)

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah tahap pengolahan data dan

selanjutnya dianalisis. Adapun metode analisi yang dipergunakan adalah sebagai berikut :

a.Analisis deskriptif adalah data yang telah terkumpul selanjutnya diklasifikasikan, disusun

secara sistematis, dianalisis, diinterpretasikan tentang arti data, kemudian dirumuskan

tentang ada tidaknya perbedaan dan persamaan fenomena, sehingga sampai pada kesimpulan

akhir dari suatu penelitian (Winarno Surakmad, 1980 : 139). Deskriptif ini dilakukan dengan

jalan mendeskripsikan temuan peninggalan arca perwujudan di Kamboja.

b.Analisis kwalitatif adalah pengolahan data yang berdasarkan konsep-konsep,

asumsi-asumsi serta pengertian yang abstrak, diturunkan dari kwalitas data. Kwalitas data dalam hal

ini adalah analisi kajian seni rupa arca di kamboja

c.Analisi komparatif dalam usaha mencari pemecahan masalah melalui analisi tentang

sebaba akibat, yakni pada faktor-faktor tertentu sehubungan dengan situasi atau fenomena

yang diselidiki. Dengan kta lain membandingkan satu faktor dengan faktor lainnya.

(Winarmo Surakmad, 1980 : 143). Komparatif dalam penelitian adalah membandingkan arca

perwujudan yang terdapat di Kamboja dengan yang terdapat di Indonesia.

c.Analisis Konteks. Analisis Konteks maksudnya adalah mengadakan analisis dengan

melihat hubungan keterkaitan antara data yang satu dengan data yang lainnya dalam strata

tertentu. Titik fokus pengamatan analisi ini terutama adalah hubungan antar data dengan

data yang lainnya. Dengan pengamatan ini hubungan data arkeologi khususnya terdapatnya

(9)

2.1.Tinjauan Pustaka

Soekmono, R. 1977. Dalam Disertasi dengan judul Candi Fungsi dan Pengertiannya, Jadi

arca perwujudan adalah pemberian wujud kepada sang raja yang telah wafat dan rohnya menyatu

dengan Dewa penitisnya (Soekmono, 1977 : 102). Kajian arca perwujudan ini dikaji untuk

menganalisis kesinambunngan arca perwujudan di Kamboja dan di Indonesia.

Ayatrohaedi, 1981 dalam Kamus Istilah Arkeologi I, menjelaskan Arca Perwujudan

adalah arca yang mewujudkan seorang Dewa. Dalam bahasa Sanskerta istilah arca berarti

“Perwujudan jasmani” yaitu perwujudan dari seorang dewa yang disembah para penganutnya

untuk tujuan pemujaan, jadi bukan merupakan arca dewa (Ayatrohaedi, 1981 : 10). Di Indonesia

seorang raja yang telah wafat, misalnya akan diarcakan dalam wujud seorang dewa sesuai

dengan agama yang dianut semasa hidupnya. Kecuali tanda-tanda kedewaan yang dibawanya,

arca perwujudan pada umumnya digambarkan dengan dua tangannya ditekuk setinggi pinggang,

dengan telapak tangan menghadap ke atas berisi salah satu atau keduanya kuncup teratai/roset

(Ayatrohaedi, 1981 : 10).

Undang-Undang Cagar Budaya menjelaskan pasal Perlindungan dan Pemeliharaan

khususnya yang menguraikan larangan bagi semua pihak merusaknya dijelaskan dalam pasal ini,

yaitu bahawa setiap orang di Larang Merusak Benda Cagar Budaya dan situs serta lingkungan.

(Undang-Undang RI, no. 5 Tahun 1992 : 11-12, BAB IV, Pasal 13, butir 1-2). Pasal ini dikaji

guna mengantisipasi kerusakan candi di kambokja terutama candi Angkor Watt yang bagian

candinya terdapartnya akar yang membelit sangat besar tanpa da pihak yang membersihnya.

(10)

antara lain : Archaeological research, Scientific research, Creative art, Education, Recreation and

tourism, Symbolic repesentation , Legitimation of action, Social solidarity and integration,

Monetary and econonomic gain, Stability, Mystery and enigma, Existence value, Cultural

identity, Resistance to change. (Timolthy Darvill, 1995 : 43-48).

Penjelasan beberapa pokok value system (system nilai) dalam arkeologi diketahui

peninggalan arkeologi tersebut dapat dimanfaatkan scara umum untuk kepentingan penelitian,

simbolik, daya tarik pariwisata dan ekonomi. Oleh karena peninggalan arkeologi bernilai secara

Universal sangat penting seperti penjabaran di atas, maka diperlukannya pemberdayaan

masyarakat untuki melestarikan peninggalan arkeologi.

Carole Brooke, 1995, menulis kajian penelitiannya dengan judul “ The Bad and Good

and the Ugly” Dalam buku Managing Archaeology, Educational Focus On, The Past, Creativity

analysis, Knowledge, Passive understanding, Absolute detachment, Manipulation of symbol,

Written communication and neutralityConcept, Entrepreneurial Focus On, The Future, Creativity,

Insight, Active Understanding, Emotional involvenment, Manipulation of events, Personal

communication and influence, Problem or opportunity. Carole Brooke, 1995 : 129).

Kajian buku Managing Archaeology di atas di kaji untuk mengetahui bagaimana

manajemen dalam pelestarian peninggalan arkeologi di Kamboja Asia Tenggara.

Team penelitian dan pencataan kebudayaan daerah Bali, 1978 : 51 dalam hasil

penelitiannya menjelaskan perkataan raja sebagai inkarnasi dari dewa, juga disebutkan dalam

prasasti no. 554 Bwahan yang dikeluarkan oleh raja Jayasakti yang bunyinya : “Swabhawani

(11)

agama yang dianut raja Jayasakti, bahkan lebih cenderung dilandasi oleh suatu pandangan

tentang adanya keserupaan fungsi antara dewa Wisnu dan tokoh-tokoh raja di dunia, dalam arti

dewa Wisnu sebagai penguasa sthiti yang berfungsi sebagai pemelihara serta pelindung dunia

yang sangat sesuia dengan kewajiban dari seorang raja yaitu sebagai pengayon Negara dan

raknyatnya (Team penelitian dan pencataan kebudayaan daerah Bali, 1978 : 51). Dari pernyataan

diatas jelas terjadi suatu pernyataan pandangan terhadap dewa. Pandangan tersebut dikatakan

raja adalah titisan dewa dan bila meninggal akan kembali kepada dewa penitisnya. Untuk itu bila

seorang raja mengadakan upacara Cradha, akan dibuatkanlah arca-arca perwujudan dari raja

yang telah meninggal dengan harapan agar tetap memberikan perlindungan dan kesejahteraan

bagi rakyat dan Negara.

Kajian konsepsi raja sebagai inkarnasi dari dewa, sehingga setelah wafat dibuatkan arca

perwujudan untuk menghormati nenek moyang yang diharapkan dapat memberika perlindungan

bagi yang ditinggalkan dikaji untuk mengetahui latar belakang pembuatan arca dan relief arca di

Kamboja, yang diketahui memiliki konsepsi yang sejajar dengan yang terdapat di Indonesia.

(12)

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Latar Belakang Konsepsi Pembuatan dan Fungsi Arca Perwujudan

Arca Perwujudan adalah arca yang mewujudkan seorang Dewa. Dalam bahasa Sanskerta

istilah arca berarti “Perwujudan jasmani” yaitu perwujudan dari seorang dewa yang disembah

para penganutnya untuk tujuan pemujaan, jadi bukan merupakan arca dewa (Ayatrohaedi, 1981 :

10). Arca ini menggambarkan seorang raja dalam wujud kedewaannya. Jadi arca perwujudan

demikian tidaklah lain dari para pemberian wujud kepada sang raja yang telah wafat dan rohnya

menyatu dengan Dewa penitisnya (Soekmono, 1977 : 102).

Di Indonesia seorang raja yang telah wafat, misalnya akan diarcakan dalam wujud

seorang dewa sesuai dengan agama yang dianut semasa hidupnya. Kecuali tanda-tanda kedewaan

yang dibawanya, arca perwujudan pada umumnya digambarkan dengan dua tangannya ditekuk

setinggi pinggang, dengan telapak tangan menghadap ke atas berisi salah satu atau keduanya

kuncup teratai/roset (Ayatrohaedi, 1981 : 10).

Adanya kepercayaan bahwa seorang raja merupakan inkarnasi dari dewa, juga dikenal di

Bali. Sebagai contoh dalam prasasti yang dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu, disebutkan bahwa

raja Anak Wungsu sebagai inkarnasi dari dewa Hari (saksat niran harimurti). Pernyataan Anak

Wungsu sebagai inkarnasi dari dewa Hari (dewa Wisnu), kemungkinan dihubungkan dengan

sifat-sifat dewa Wisnu sebagai pelindung dunia (Sartono Kartodirdjo, dkk., 1975 : 191).

Pernyataan bahwa raja adalah inkarnasi dari dewa juga disebutkan dalam prasasti no. 554

Bwahan C yang dikeluarkan oleh raja Jayasakti, disebutkan “….swabhawani kadi sira prabhu

(13)

Ungkapan seperti itu mungkin tidak semata-mata menyatakan agama yang dianut oleh raja

Jayasakti bahkan mungkin lebih cenderung dilandasi oleh suatu pandangan tentang adanya

keserupaan fungsi antara dewa Wisnu sebagai penguasa sthiti yang berfungsi sebagai pemelihara

serta pelindung dunia. Sangat sesuai dengan kewajiban seorang raja yaitu sebagai pelindung

Negara dan rakyatnya (Team Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Bali, 1978 : 51).

Dalam perkembangan berikutnya diawali dengan adanya pengaruh Hindu di Indonesia

mulai sekitar abad ke-4 M. Kemudian di Jawa Barat masuknya pengaruh Hindu dibuktikan dari

penemuan prasasti Ciaruton menguraikan kerajaan Tarumanegara, di bawah kekuasaan raja

Purnawarman. Malah dalam prasasati ini ada bait kalimat yang menyebutkan raja Purnawarman

menyatakan dirinya titisan dewa Wisnu dengan gambar telapak kaki yang disamakan dengan

telapak kaki dewa Wisnu (Poerbatjaraka, 1951 : 13).

Dari pernyataan di atas jelas di sini terjadi penyatuan pandangan terhadap roh leluhur

dengan pandangan terhadap dewa, dan bila meninggal akan kembali kepada dewa penitisnya.

Oleh karena itu bila seorang mengadakan upacara atau pemujaan terhadap roh leluhur

sebenarnya juga memuja dewa. Sebagai sarana pemujaan maka dibuatkanlah arca-arca

perwujudan dari seorang raja yang telah meninggal, agar tetap memberikan perlindungan bagi

masyarakat dan Negara. Pemujaan terhadap roh leluhur nampaknya masih berkelanjutan

mentradisi sampai saat ini sejalan dengan kebudayaan Hindu. Arca-arca perwujudan pun banyak

juga ditemukan di beberapa daerah dan pura di Bali. Di Bali jumlah dan jenis arcanya cukup

banyak yang diperkirakan bukan saja perwujudan raja, tetapi juga tokoh ini diwujudkan

mengingat peranannya yang juga tak kalah pentingnya dengan raja dalam kehidupan social

budaya maupun dalam kehidupan keagamaan. Misalnya, peranan pendeta yang cukup penting

(14)

sehingga sebagai tanda penghormatan dibuat arca perwujudan, yang akhirnya menjadi sarana

pemujaan bagi masyarakat pendukungnya.

Seperti halnya dengan pembuatan arca perwujudan di Jawa Timur yang berkembangan

pada zaman Singosari dan Majapahit adalah rangkaian upacara Cradha, maka demikian pula

halnya dengan pendirian atau pembuatan arca-arca perwujudan yang kini tersebar luas di Bali.

Sehubungan dengan pembuatan arca perwujudan ini, diuraikan dalam kitab Negarakertagama.

Dalam kitab ini disebutkan bahwa upacara Cradha yang menyangkut tentang pembuatan pratista

(arca perwujudan) diadakan pada tahun 1362 M, yang merupakan upacara Cradha terbesar pada

masa jayanya kerajaan Majapahit. Pelaksanaan upacara cradha ini dimaksudkan untuk

menghormati nenek raja Hayam Wuruk yaitu Cri Rajapatni. Dalam hubungan upacara Cradha

ini, didirikanlah pedharman atau dharma beserta arca perwujudan sebagai media pemujaan

terhadap roh leluhur (Slamet Mulyana, 1979 : 139).

Oleh karena itu penghormatan maupun pemujaan terhadap leluhur, merupakan latar

belakang yang melandasi pembuatan arca-arca perwujudan maupun bangunan suci sebagai

sthananya. Agar dapat dihayalkan menurut fantasi manusia, maka untuk tujuan pemujaan

diimajinasikan dalam bentuk arca perwujudan. Arca perwujudan yang diletakan pada bangunan

suci itu berfungsi sebagai sarana atau media pemujaan bagi masyarakat pendukungnya.

2.2. Kesejajaran Konsepsi Arca Perwujudan Di Kamboja

Kesejajaran arca perwujudan di Kamboja dengan yang terdapat di Indonesia

dilatarbelakangi oleh kesejajaran kebudayaan di Asia Tengara, denga rasa Austronesia dimana

bangsa Indonesia dengan Kamboja sejak dahulu kala sudah menjalin hubungan yang sangat erat

(15)

Asia Tenggara dan merupakan satu turunan ras Austronesia. Oleh karena itu maka kebudayaan

yang tercermin salah satunya dalam bentuk candi dapat kita ketahui adanya kesinambungan,

seperti contoh adanya arca perwujudan dan model bentuk candi konsepsi Gunung Meru (semakin

tinggi semakin suc dan nilai keagamaan Hindu. Hubungan erat bangsa Indonesia dan kamboja

terjalin sejak para raja kamboja dating ke Indonesia seperti yang diuraikan pada latar belakang di

atas yaitu pada penjelasan prasasti Sdok Kak Thom.

Hubungan Jawa (Indonesia) dan Kamboja (Asia Tenggara) dapat diketahui dari kajian

sumber prasasti Sdok Kak Thom. Prasasti Sdok Kak Thom bagian yang berbahasa Khmer pada

bait 61-62, antara lain menyebutkan : “Man Vrah pada paramesvara mok amvi java pi kurun ni

nau nagara Indrapura” = Artinya : “Yang mulia Parameswara telah datang dari Jawa kemudian

menjadi raja di kerajaan Indrapura”. Di samping bait 61-62, bait 71-72 dari prasasti Sdok Kak

Thom menyebut sekali lagi dalam kalimat berikut : “Man vrahmana jmah hiranyadama prajna

siddhi vidya mok amvi janapada pi vrah pada paramesvara anjen thve leha len kampi

kambujadesa neh ayatta ta java ley. Len ac ti kamraten phdai karom mvay guh ta ja cakravartti”

= artinya : “Yang mulia Brahmana Hiranyadama yang akhli dalam Ilmu gaib telah datang dari

Janapada karena Paduka Yang Mulia Paramesvara telah mengundangnya untuk mengadakan

upacara agama, agar daerah Kamboja tidak lagi tergantung kepada Jawa, Oleh karena yang mulia

telah menjadi cakrawarti. (Soewadji Sjafei, 1986 : 378).

Seperti yang dijelaskan pada pembahasan prasasati di atas, diketahui terdapatnya ikatan

kebudayaan dan seni yang sejajar dikarenakan raja Kamboja dengan raja di Idonesia

mengadakan jalinan dalam bidang seni dan budaya. Selain faktor kekerabatan yang dekat, seni

arca yang terdapat di kamboja juga memiliki kesejajaran dengan yang terdapat Indonesia.

(16)

tinggi samakin suci, memiliki Tri Mandala yaitu halaman suci (jeroan), halaman tengah (jaba

tengah), dan halaman luar (jabaan). (Lihat Foto, 3).

Seni rupa arca di Kamboja juga terdapat arca perwujudan di masing-masing Candi di

kamboja, juga memiliki konsep yang sama yaitu mewujudkan raja sebagai arca perwujudan

dalam peninggalan candi. Konsepsi kepercayaan bahwa raja yang telah wafat akan menyatu

rohnya dengan Dewa penitisnya terlihat dengan dipajangnya wajah sang raja sangat besar dalam

Candi di Kamboja.

Begitupula konsep dewa raja dan raja diperdewa juga terlihat pada prasasti yang terdapat

di Kamboja terutama prasasti Preah-Vihear disebutkan dalam tahun 1119 M Raja Suryavarman

II dari kerajaan Khmer mendirikan piramida untuk Dewa raja Wisnu bernama Angkor Watt.

Begitupula reliefnya terdapatnya relieaf cerita mitologi Hindu seperti relief pemutaran Mandara

Giri, relief Pandawa Korawa, reief Wisnu di atas Garuda mengingatkan banyak terdsapat pada

relief yang rterdapat di Indonesia seperti di candi Kidal banyak terdapatkan relief Garuda sebagai

simbolis kesucian umumnya arca garuda membawa tirta amerta, sebagai wahana dewa Wisnu

pembawa guci yang berisikan tirta amerta. Sehingga relief garuda selalu menghiasi tempat suci

di Bali seperti di Padmasana.

Kesejajaran candi dan kuil di Kamboja seperti yang dijelaskan di atas diketahui

terdapatnya kesamaan konsep dari candi dan arca pewujudan di Kamboja. Arca perwujudan

ditempatkan dalam candi dengan tujuan raja setelah meninggal menyatu dengan dewa penitisnya

dan dipercaya sebagai inkarnasi dewa. Selain itu juga untuk penghormatan kepada sang raja,

(17)

2.3.Kajian Arkeologi Publik Candi Angkor Watt

Kemegahan candi Angkor Watt dan konsepsi penempatan candi sebagai Gunung

Mahameru dengan konsep Tri Mandala dan arca perwujudannya dalam Gugusan Candi yang

cukup besar menghiasi bagian depan candi, ternyata diketahui salah satu Candi Angkor

terdapatkan akar pohon yang cukup besar yang membelt candi (Lihat lampiran foto 2).

Fenomena ini nampaknya sangat mengkhawatirkan kalangan pemerhati sejarah dikarenakan

candi yang terbeit akar pohon ini suatu saat akan roboh. Kebesaran Candi Angkor Watt terdahulu

dan kini berkarakteristik (death Monument) nampaknya kurang mendapatkan perawatan.

Kajian buku Managing Archaeology yang ditulis oleh Timolthy Darvill, 1995 m enulis

kajian penelit iannya dengan judul “ Value Syst em Archaeology” dalam buku Managing Archaeology menjelaskan beberapa pokok value system antara lain : Archaeological research,

Scientific research, Creative art, Education, Recreation and tourism, Symbolic repesentation ,

Legitimation of action, Social solidarity and integration, Monetary and econonomic gain,

Stability, Mystery and enigma, Existence value, Cultural identity, Resistance to change.

(Timolthy Darwill, 1995 : 43-48).

Carole Brooke, 1995, menulis kajian penelitiannya dengan judul “ The Bad and Good

and the Ugly” Dalam buku Managing Archaeology, Educational Focus On, The Past, Creativity

analysis, Knowledge, Passive understanding, Absolute detachment, Manipulation of symbol,

Written communication and neutralityConcept, Entrepreneurial Focus On, The Future, Creativity,

Insight, Active Understanding, Emotional involvenment, Manipulation of events, Personal

(18)

Penjelasan dalam buku Managing Archaelogy dipahami bahwa Candi Angkor Watt salah

satu keajaiban dunia sebagai bahan penelitian dan daya tarik wisata, dan nilai penting lainnya

seyogyanya tidaklah dibiarkan rusak dengan terbelitnya akar pohon besar tanpa ada tindakan dari

dinas terkait untuk membersihkannya. Paradigma kajian arkeologi publik dinilai sikap

masyarakat di wilayah Kamboja sepatutnya turut menghormati nilai historis yang sangat tinggi

yang diwariskan pada peninggalan masa lalu candi Angkor Watt. Dikarenakan dibiarkannya akar

yang membelit sampai penelitian ini dikaji mencerminkan sikap publik yang passive

understanding (pemahaman yang pasif) mengenai nilai yang inggi dalam sejarah kebesaran candi Angkor Watt. Sedangkan seandainya pemahamannya aktif understanding maka

masyarakat akan merasa memiliki dan merawat maupun menjaganya dengan baik. Seperti

peninggalan arkeologi yang terdapat di Indonesia pada umumnya da di Bali khususnya

peninggala purbakala sangat dijaga dengan baik. Karaktristik peninggalan purbakala di Bali yang

bersifat living monument dan berkarakteristik masyarakatnya publiknya aktif understanding akan

nilai penting warisan masa lalu dan nilai sakral (suci) peninggalan purbakala yang umumnya

diletakan di areal suci (jeroan) memberikan pemahaman akan terlestarinya peninggalan

(19)

3.KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Berdasarkn pada uraian pada penjelasan pada pembahasan di atas, maka dapat

ditarik beberapa pokok pikiran, yaitu :

1. Kosejajaran konsepsi arca perwujudan yang terdapat di Kamboja terutama yang terlihat

pada latar belakang pembuatan Candi Angkor Watt, diketahui memiliki konsepsi yang

sejajar dengan yang terdapat di Indonesia. Konsep kosmologis Candi sebagai lambing

Gunung Mahameru terlihat pada Candi di Kamboja. Arca perwujudan raja yang

menghiasi relief Candi juga memiliki konsepsi untuk memulyakan raja yang dianggap

sebagai inkarnasi dewa, dan setelah wafat menyatu denga dewa penitisnya. Oleh sebab

itu maka raja dibuatkanh arca perwujudannya dengan pengharapan untuk menghormati

jasa nenek moyang yang dianggap dapat memberikan perlindungan bagi yang

ditinggalkan.

2. Pelestarian Candi Angkor Watt seperti yang terlihat pada lampiran foto salah satu

gugusan Candi terbelit oleh akar yang sangat besar dan tidak adanya tindakan untuk

membersihkan sehingga dalam kajian arkeologi public diketahui tidak adanya

manajemen yang baik dalam upaya perlindungan dan pelestarian candi. Diperlukanya

kepedulan untuk melakukan perawatan candi Angkor Watt secara arkeologi publik

dikarenakan nilai historis Candi yang sangat tinggi, dengan terdapatnya relief pemutaran

manadara giri (pencarian tirta amerta), relief pandawa dan korawa, dan sebagai pusat

(20)

3.2. Saran

Saran dalam penelitian kesejajaran konsepsi arca perwujudan di Kamboja dengan

di Indonesia yaitu diperlukannya kesadaran semua pihak (publik) untuk menjaga dan

merawat peninggalan arkeologi yang bernilai historis yang sangat tinggi. Seperti kasus

yang terdapat di gugusan candi Angkor Watt, akar yang membelit dibiarkan tanpa ada

pihak yang melakukan pembersihan sampai saat ini. Permasalahan pokok nantinya yaitu

candi dapat roboh dan hancur sehingga warisan peninggalan masa lalu tidak dapat kita

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi, 1981 Kamus Istilah Arkeologi I, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Carole Brooke, 1995. The Bad and Good and the Ugly. Dalam buku Managing Archaeology,

M alcolm A. Cooper, dkk. Ed. London and New York.

Dharmosoetopo, Riboet, 1983. Pandangan Orang Jawa Terhadap Leluhur, Tinjauan Berdasar Data Tertulis, prasaran dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto.

Hall, D.G.E. 1977. A History of south Easth Asia. Mac Milan Press Ltd, London.

Sartono Kartodirdjo, dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I dan II, Departemen Penddikan dan Kebudayaan R.I. Jakarta.

Slamet Mulyana, 1979 Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya, Bhratara Karya aksara, Jakarta.

Soekmono, R. 1977. Candi Fungsi dan Pengertiannya, Disertasi, diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan dan Pengabdian pada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan

1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid I dan II, Yayasan Kanisius, Jakarta.

Soewadji Sjafei, 1986 Jawa Dalam Prasasti Sdok Kak Thom Di Kamboja, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, Cipanas, 3-9 Maret, IIa. Aspek Sosial-Budaya. Proyek Penelitian Purbakala Jakarta Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Sukendar, Haris 1983. Peranan Menhir Dalam Masyarakat Prasejarah di Indonesia, prasaran dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi III, Ciloto.

Tim olt hy Darvill 1995. Value Syst em in archaeological. Dalam buku Buku : M anaging Archaeology, M alcolm A. Cooper, dkk. Ed. London and New York.

Team Penelitian Pencatatan Kebudayaan Daerah Bali, 1978. Sejarah Seni Budaya Bali, Departemen P dan K, Bali.

Poerbatjaraka, 1951. Riwayat Indonesia, Yayasan Pembangunan Jakarta.

Sumber Internet

(22)

Lampiran Foto

Lam piran Fot o 1 Arca Perw ujudan Raja di Candi Angkor Wat t Sum ber Fot o : Int ernet

(23)
(24)
(25)

Referensi

Dokumen terkait

hirta menunjukkan rendahnya intensitas serangan CMV, rendahnya konsentrasi virus, terjadi peningkatan aktivitas enzim peroksidase 1,08 – 6,7 kali, dan peningkatan

Pada hemimetabolisme, perkembangan larva berlangsung pada fase pertumbuhan berulang dan ekdisis (pergantian kulit), fase ini disebut instar. Hemimetabolisme juga

Segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi sebagai syarat untuk

Ikal dewasa : “Hari itu aku telah mengecewakan ayahku, ayah juara satu seluruh dunia yang selalu tersenyum menghadapi cobaan macam apa pun, padahal ada sebuah peristiwa pahit

“Pengaruh Suplementasi Mineral Organik (Zn dan Se) terhadap Pertambahan Bobot Badan, Konsumsi, dan Konversi Ransum pada Domba Lokal”.. Suparyanto,

Nampaknya pendekatan untuk mengidentifikasi dan melaksanakan tugas-tugas personas mereka dalam mengevaluasi UIs kedua perangkat lunak sistem yang paling pasti adalah proses

Efektivitas jalur suku bunga yang sudah terbukti pada penelitian ini telah sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, diantaranya yang dilakukan oleh Natsir