• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA SAMARINDA 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA SAMARINDA 2021"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Penelitian Dasar Interdisipliner

LAPORAN ANTARA

KONSTRUKSI SIKAP BERAGAMA PASCA BENCANA DI INDONESIA TIMUR: STUDI PADA MASYARAKAT KORBAN

GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI PALU DAN LOMBOK

Peneliti:

Miftahur Ridho, M. Si Hudriansyah, MA

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SAMARINDA

SAMARINDA

2021

(2)

1 BAB I

A. Latar Belakang

Kejadian bencana alam di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini muncul dalam frekwensi yang lebih sering. Posisi Indonesia yang berada di sepanjang wilayah Cincin Api Pasifik (Pacific Ring of Fire) menyebabkan Indonesia secara alamiah rentan untuk mendapatkan bencala alam berupa tsunami, gempa bumi, tanah longsor, dan jenis bencana alam lain (Novia Budi Parwanto and Tatsuo Oyama 2014:122–23).

Posisi Indonesia sebagai negara dengan potensi bencana alam yang cukup tinggi telah mendorong masyarakat untuk mengembangkan bentuk-bentuk kearifan lokal yang berguna untuk mengantisipasi dan mereduksi dampak buruk dari bencana alam bagi kehidupan masyarakat. Kearifan lokal tersebut salah satunya ditunjukkan oleh besarnya peran agama dalam konteks antisipasi dan respon terhadap bencana alam. Dalam hal ini, agama memainkan peran penting dalam membantu korban bencana untuk mengatasi tekanan psikologis yang muncul karena bencana.

Peran agama dalam membantu korban bencana alam untuk melanjutkan kehidupan secara normal sangat signifikan (Wignyo Adiyoso and Hidehiko Kanegae 2013). Korban bencana alam umumnya mengalami guncangan sosial dan psikologis yang disebabkan oleh dampak bencana berupa kehilangan orang-orang terkasih dan kehilangan harta benda. Agama, dalam hal ini, dinilai mampu

(3)

2 memainkan peran yang signifikan karena ajaran-ajaran agama banyak berbicara tentang kesabaran, kehidupan setelah mati, dan pengorbanan.

Hampir setiap agama memiliki konsepsi yang khas tentang bencana alam yang terjadi di dunia. Dalam kitab suci Al Quran, misalnya, ayat-ayat yang berkaitan dengan kejadian-kejadian alam yang dapat disebut sebagai bencana seringkali diikuti oleh penjelasan mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut. Meski demikian, pada dasarnya ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa bencana terjadi karena perbuatan manusia yang berbuat kerusakan terhadap alam (Agus Indiyanto and Arqom Kuswanjono 2012).

Tafsir terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia yang berbuat kerusakan di muka bumi, bagaimanapun juga, tidak lepas dari kontestasi. Sejumlah kalangan berpandangan bahwa perbuatan berbuat kerusakan di muka bumi yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut adalah teguran dari Allah agar manusia memperhatikan dan tidak mengeksploitasi alam (nature) secara semena-mena. Sejumlah kalangan lain menyebut bahwa berbuat kerusakan di muka bumi tersebut tidak hanya mencakup perbuatan merusak alam secara fisik namun juga mencakup segala bentuk perbuatan dosa berupa tidak menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya (Roni ’Abdul Fattah n.d.).

Tafsir-tafsir yang berkembang terkait dengan bencana alam dalam pandangan agama pada dasarnya memiliki sisi positif dan negatif dalam konteks antisipasi dan penanganan dampak bencana alam di kalangan masyarakat (Lei Sun, Yan Deng, and Wenhua Qi 2018). Meskipun begitu, Narasi yang terbangun di tengah

(4)

3 masyarakat dengan adanya penyebarluasan dari bentuk penafsiran yang disebut terakhir ini pada gilirannya selalu berakhir menjadi perdebatan politik, lebih tepatnya perdebatan dengan politisasi ajaran agama terkait bencana alam (Djadjat Sudradjat 2018).

Dalam konteks Indonesia sebagai negara yang berlokasi di zona rawan bencana alam (pacific ring of fire) dan sebagai negara dengan populasi sangat beragam dari segi agama dan aliran kepercayaan, penyebarluasan tafsir tentang bencana oleh para tokoh agama ke tengah-tengah masyarakat berpotensi menyebabkan terhambatnya upaya-upaya penanganan dampak paska bencana yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Lebih dari itu, kombinasi dari dua hal tersebut juga rentan menyeret masyarakat Indonesia menuju bentuk-bentuk konflik horizontal yang disebabkan oleh politisasi ajaran agama.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bencana alam dipersepsikan oleh tokoh agama pasca bencana gempa bumi di Palu dan Lombok?

2. Bagaimana persepsi tersebut berdampak pada pandangan masyarakat tentang sikap beragama yang ideal pasca bencana?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana bencana alam dipersepsikan oleh tokoh agama di Palu dan Lombok paska terjadinya bencana gempa bumi.

(5)

4 2. Untuk mengetahui bagaimana persepsi tersebut berdampak pada pandangan

masyarakat tentang sikap beragama yang ideal pasca bencana.

D. Tinjauan Kepustakaan

Salah satu cara untuk membaca dinamika dan pergeseran paradigma agama atas bencana adalah dengan melihat ideologi keagamaan yang membentuk interpretasi tokoh agama terhadap bencana. Pendekatan ini penting karena kebanyakan sarjana agama lebih fokus mengkaji tafsir di balik penyebab bencana serta respon agama terhadap bencana, sehingga mengabaikan hal lebih mendasar menyangkut faktor apa saja yang membentuk respon tersebut, baik dalam tataran ideologis maupun tataran praktik. Dalam konteks ini, peran doktrin keagamaan dalam pembentukan cara pandang para tokoh agama atas bencana menjadi penting.

Studi tentang agama dan bencana serta pengaruhnya terhadap konstruksi pengetahuan keagamaan masyarakat tentang bencana di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua fokus perhatian: interpretasi agama atas bencana dan bencana sebagai fenomena sosial-keagamaan. Studi literatur tentang interpretasi agama atas bencana memberikan perhatian khusus pada tafsir atau pandangan ulama/tokoh agama atas peyebab di balik terjadinya bencana, lembaga keagamaan sampai pada penganut agama hingga kajian teks kitab suci agama-agama atas bencana (Suranto 2012).

Studi-studi ini berusaha melacak tafsir agama atas bencana dan mendorong peran agama sebagai kekuatan baru dalam proses kebangkitan/resiliensi korban pasca bencana (Imron and Hidayat 2012; Umi Rohmah 2012). Upaya-upaya lain

(6)

5 juga mencakup tawaran untuk mengkonstruksi konsep eko-teologi Islam yang lebih kontekstual dalam upaya memberikan kontribusi penting tidak hanya dalam upaya memahami bencana dalam konteks hukum agama tetapi juga dalam upaya membangun aktivisme sosial di masyarakat (Ikhwan dan Rubaidi : 2012). Agama juga secara aktif merespon bencana melalui peran organisasi keagamaan dalam bentuk aktivisme sosial berbasis iman (Dani Muhtada 2012; Mohammad Rokib 2012), atau kegiatan-kegiatan keagamaan semacam pengajian, istighasah, shalat taubat sebagai bentuk pendekatan diri kepada Tuhan. Studi model ini lebih banyak memberi perhatian pada pentingnya mempertimbangkan faktor agama dalam memahami bencana atau memberikan pendampingan pada korban bencana.

Berbeda dari studi literatur sebelumnya yang fokus pada interpretasi dan respon agama atas bencana, studi belakangan memperluas cakupan perhatiannya pada perubahan-perubahan di masyarakat pasca bencana. Hal itu Nampak dari terciptanya ruang-ruang baru bagi kelompok-kelompok sosial-keagamaan (dengan berbagai latar belakang) untuk saling berinteraksi satu dengan yang lain. Ruang interaksi baru tersebut dapat menjadi jembatan untuk menghilangkan berbagai stereotipe yang seringkali menjadi hambatan dalam integrasi sosial (Agus Indiyanto and Arqom Kuswanjono 2012). Akan tetapi, sebaliknya ruang interaksi yang terbuka tersebut juga rentan memicu konflik terutama ketika agama tidak mampu menjaga netralitasnya dalam penanganan korban bencana.

Nur Wahid Sofyan dan Laila Kholid Alfirdaus, misalnya, menunjukkan bagaimana peristiwa bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan Gempa di Padang berpotensi menciptakan koflik baru antara komunitas Islam dan Katolik

(7)

6 serta rentan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas Cina dalam hal penanganan korban. Faktor kondisi kejiwaan masyarakat yang labil serta persaingan ekonomi pasca bencana serta berbagai stigma negatif terhadap kelompok minoritas kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik dan perlakuan diskrimiatif tersebut (Nur Wahid Sofyan 2012).

Meneruskan rintisan studi-studi terdahulu, penelitian ini akan memetakan dan mengkaji secara komprehensif konstruksi pengetahuan yang membentuk persepsi tokoh agama dan masyarakat tentang bencana dan pengaruhnya terhadap sikap keberagamaan masyarakat di Indonesia Timur (Lombok dan Palu). Lebih jauh, studi ini akan melihat apakah dengan terjadinya bencana, masyarakat semakin toleran ataukah justru bencana menjadikan orang semakin fanatik pada agama sendiri?

E. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I pendahuluan akan berisi latar belakang dilakukannya penelitian ini.

Pada bagian ini, dijelaskan juga secara artikulatif rumusan masalah penelitian yang hendak dijawab. Bagian selanjutnya adalah BAB II yang berisi Landasan Teori.

Pada bagian ini, teori-teori yang relevan akan dikemukakan untuk membantu memfokuskan jalannya penelitian di lapangan. Selanjutnya, BAB III berupa Metodologi Penelitian juga akan ditulis secara rinci untuk memudahkan pembaca melihat aspek-aspek metodologis dari pelaksanaan penelitian ini. Bagian ini akan dilanjutkan dengan BAB IV yang berisi Paparan Data. Pada bagian ini, data-data

(8)

7 temuan penelitian akan ditampilkan sesuai dengan jenis-jenis data tersebut. Bagian paparan data ini akan dilanjutkan dengan BAB V yang berisi Pembahasan. Bagian ini akan berisi hasil analisis dari tim peneliti terhadap data yang berhasil dikumpulkan. Tujuan penelitian akan dicapai dalam BAB ini. Bagian terakhir adalah BAB VI berupa Penutup. Pada bagian ini, kesimpulan hasil penelitian akan disampaikan secara ringkas diikuti oleh sejumlah saran dan rekomendasi yang relevan.

(9)

8 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pendahuluan

Persepsi komunitas beragama terhadap bencana pada dasarnya dapat dilihat melalui tiga tahapan: sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana. Secara spasial, respon mereka dapat dibagi menjadi dua, yakni: pertama, mereka yang ada dalam wilayah bencana (menjadi korban bencana); dan kedua, mereka yang berada di luar wilayah bencana. Adapun secara etikal (etis), respons keduanya dapat di masukkan dalam dua sikap: pertama, fatalisme pasivistik (passivistic fatalism); dan kedua, vitalisme aktivistik (activistic vitalism) (Moch. Nur Ichwan 2012).

Menurut Ikhwan (2012), sikap etis ini, dalam konteks masyarakat beriman, juga mereflksikan pemahaman teologis mereka, yakni teologi fatalis pasivistik dan vitalis aktivistik. Fatalisme dalam hal ini merujuk kepada pengertian sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu peristiwa, karena semuanya sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Cara pandang ini telah lama diadopsi oleh masyarakat tradisional dan pra-industri sejak abad pertengahan di Eropa dan negara-negara berkembang lainnya. Pandangan ini juga diadospsi oleh agama besar seperti Kristen, Budha, Islam sebagai reaksi atas bencana gempa dan letusan gunung merapi yang terjadi di berbagai wilayah di dunia.

Pandangan ini banyak mendapat kritik karena dianggap gagal memahami esensi dari keragaman ajaran agama-agama di dunia. hal itu nampak dari cara

(10)

9 pandangnya yang terlalu simplistik. Sedangkan vitalisme merujuk pada pengertian sebuah keyakinan bahwa fungsi dari sebuah organism yang hidup adalah karena adanya sebuah prinsip vital yang berbeda dari kekuatan-kekuatan fisika-kimia; atau keyakinan bahwa proses-proses kehidupan tidak dapat dipahami oleh hukum- hukum fisika dan kimia semata dan bahwa hidup itu, dalam beberapa bagian, dapat menentukan dirinya sendiri. Dari kedua corak etiko-teologis ini, kita akan melihat bagai mana umat beragama di wilayah bencana dan di luar wilayah bencana merespons, baik sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana (Moch. Nur Ichwan 2012)

Sebagai dasar teori, penelitian ini akan menggunakan konsep-konsep yang berkembang dalam kajian agama dan bencana. Ada tiga konsep pokok yang digunakan dalam studi ini. (1) Dalam penelitian antropologi bencana, kajian ini tergolong penelitian dengan pendekatan sosio-kultural (socio-cultural approach), dengan meneliti perspesi tokoh agama dan masyarakat atas bencana, yakni (2) wilayah pemaknaan (system of meaning) kemudian, (3) bagaimana proses pemaknaan tersebut (meaning construction) berlangsung dan saling mempengaruhi (meaning contestation) di dalam benak masyarakat hingga membentuk satu pemahaman keagamaan yang baru (Meredith B McGuire 2008).

(11)

10 B. Konsep Bencana

1. Pengertian dan Bentuk Bencana

Bencana, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti segala suatu yang mengakibatkan ataupun memunculkan kesulitan, kerugian, penderitaan, malapetaka, serta marabahaya. Musibah ialah kejadian ataupun rangkaian kejadian yang mengancam serta mengganggu kehidupan serta penghidupan warga yang diakibatkan, baik oleh aspek alam maupun non alam ataupun aspek manusia sehingga menyebabkan munculnya korban jiwa manusia, kehancuran wilayah, kehilangan harta, serta duka psikologis.

Secara umum, ada dua pandangan mainstream yang berkembang di kalangan masyarakat terkait bencana. Pertama, mereka yang memandang bencana sebagai akibat dari perilaku dosa serta pelanggaran manusia terhadap ketetapan-ketatapan Tuhan secara berlebihan dan terus-menerus. Kedua, bencana dianggap sebagai bagian dari fenomena alam yang terjadi secara natural dan tidak memiliki kaitan dengan perilaku dosa ataupun maksiat. Secara alamiah, bencana merupakan fenomena yang umum terjadi. Namun intensitas bencana akan semakin sering terjadi seiring dengan kerusakan-kerusakan alam secara terus menerus, baik yang disebabkan oleh tangan-tangan jahil manusia itu sendiri maupun oleh peristiwa- peristiwa alamiah.

Dalam pandangan kelompok agamawan, bencana dimaknai berbeda-beda.

Kadangkala dimaknai sebagai cobaan, bala, ataupun adzab. Misalnya, bencana yang menimpa orang-orang beriman dipahami sebagai ujian atau cobaan.

Sementara itu, bencana yang bermakna "bala" dipahami sebagai bentuk peringatan

(12)

11 kepada manusia agar tidak melanggar sunnatullah. Ada juga yang memaknai bencana sebaga adzab, yaitu hukuman atas perbuatan jahat manusia di muka bumi.

Dari berbagai peristiwa bencana yang terjadi, nampak bahwa masyarakat kita secara umum belum memiliki konsep risiko yang jelas. Mereka lebih terbiasa dengan kata 'bahaya', 'kerusakan', 'kerugian', 'kehilangan', sebagai kosakata yang akrab dalam kehidupan sosio-kultural mereka. Menurut Indiyanto dan Kuswanjono (2012), pandangan seperti itu bisa jadi lahir dari pemahaman masyarakat yang masih memandang bencana sebagai fenomena alam semata, yang tidak memiliki hubungan sebab-akibat dari aktivitas manusia sehari-hari. Di samping itu, bencana juga tak jarang dipahami sebagai sebuah proses alamiah yang memang harus terjadi. Oleh karena itu, dalam rangka meminimalisir risiko, manusia dituntut untuk selalu mempersiapkan diri, baik secara individu maupun institusional, terutama ketika bencana alam datang secara tak terduga.

Dalam studi bencana, para ilmuan juga melihat bencana sebagai sebuah realitas dari perubahan sosial. Pandangan ini memposisikan manusia sebagai bagian integratif dari bencana itu sendiri. Olehnya itu, analisis tentang bencana tidak bisa dipisahkan dari analisis atas persoalan ketimpangan dan kerentanan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Maka, dalam upaya memitigiasi dampak dari suatu bencana diperlukan skill, pengetahuan dan akses terbuka terhadap sumber- sumber bantuan, jaringan dan sistem proteksi yang baik dan berkelanjutan. Hal tersebut juga bisa memberi kesempatan kepada manusia untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan. Dengan demikian, manusia memiliki peran penting

(13)

12 untuk ikut menentukan apakah sebuah peristiwa alam berubah menjadi bencana atau sekedar kejadian alam biasa (Indiyanto dan Kuswanjono, 2012).

Kata kunci penting dalam memitigasi dampak tragis suatu bencana adalah soal "kesiapan". Menurut para ahli, bencana sejatinya merupakan akumulasi dari tiga hal penting yaitu risiko, kerusakan fisik, dan kerentanan. Umumnya, dampak tragis dari sebuah fenomena alam destruktif terjadi karena ketidaksiapan masyarakatnya, baik secara individu, komunitas, maupun institusi dalam memitigasi risiko bencana. Jadi, minimnya kemampuan masyarakat dalam mengelola risiko bencana akan menimbulkan bencana yang lebih besar.

Berbeda dari pandangan-pandangan sebelumnya, pandangan konvensional tentang bencana nampak lebih fatalistik. Bagai mereka, bencana dipandang sebagai sebuah takdir atau kutukan atas perilaku manusia, sehingga manusia hanya perlu menerimanya. Sebagai takdir, bencana menjadi peristiwa yang memang harus terjadi dan dilalui secara alamiah. Pandangan serupa menegaskan bahwa bencana merupakan sebuah peristiwa yang tidak mungkin dihindari dan sulit diprediksi waktu dan tempat kejadiaannya. Upaya terbaik yang bisa diusahakan adalah meminimalisir jumlah korban jiwa, harta maupun lingkungan.

Pandangan yang cenderung fatalistik tersebut sudah banyak mendapatkan kritikan karena dianggap mengabaikan peran penting manusia sebagai tokoh sentral dalam menentukan masa depan alam semesta. Faktanya, berbagai berbagai peristiwa bencana yang terjadi selama ini yang menelan korban jiwa dan kerugian material lebih sering dipicu oleh minimnya pemahaman dan kesadaran otoritas pemerintah maupun masyarakat terhadap potensi bencana tersebut. Dalam upaya

(14)

13 mengantisipasi dambak buruk bencana, diperlukan suatu pandangan konstruktif yang mampu memposisikan bencana sebagai sesuatu yang dapat diperidiksi, dikelola dan dikurangi risikonya (Indiyanto dan Kuswanjono, 2012: 67)

Dari berbagai pengertian tentang bencana tersebut di atas, bencana dimaknai sebagai suatu peristiwa fenomena alam yang pasti terjadi, baik secara alamiah maupun sebagai akibat dari kerusakan yang dilakukan manusia yang dapat menimbulkan kehilangan materi, kerusakan, dan penderitaan hingga timbulnya korban jiwa.

Dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam, bencana diklasifikasikan ke dalam: bencana alam, bencana non-alam dan bencana sosial yang masing–masing didefinisikan sebagai berikut;

a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana alam bukanlah fenomena alam semata, karena di dalamnya terkandung fenomena sosial yang perlu diperhatikan, terkait dengan kerentanan komunitas terhadap bencana yang mengakibatkan banyaknya korban, kerusakan, dan kerugian.

b. Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam, diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik

(15)

14 antarkelompok antau antar komunikasi masyarakat dan terror.

d. Bencana akibat kegagalan teknologi, akibat salah kebijakan: sumur resapan di daerah longsor, izin perumahan di daerah resapan di daerah menyebabkan banjir, akibat kelalaian, akibat salah perencanaan, akibat salah pelaksanaan, akibat pelanggaran (hukum).

2. Dampak Bencana

Setiap peristiwa bencana selalu memberikan dampak yang merugikan kehidupan manusia, baik jangka pendek maupun jangka Panjang. Olehnya itu, perlu upaya-upaya penanggulangan serius agar masyarakat tidak berlarut-larut dalam penderitaan yang berkepanjangan. Pembangunan fisik dengan perencanaan kehidupan yang mendatang sangatlah diperlukan guna untuk mewaspadai sebuah ancaman dan bencana yang terjadi. Bencana dapat menyebabkan berbagai dampak luas bagi masyarakat, antara lain: dampak terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik dan keamanan serta dampak bencana terhadap kehidupan keagamaan.

Studi belakangan menunjukkan bahwa bencana telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan di masyarakat pasca bencana. Hal itu nampak dari terciptanya ruang-ruang baru bagi kelompok-kelompok sosial-keagamaan (dengan berbagai latar belakang) untuk saling berinteraksi satu dengan yang lain. Ruang interaksi baru tersebut dapat menjadi jembatan untuk menghilangkan berbagai stereotipe yang seringkali menjadi hambatan dalam integrasi sosial (Agus Indiyanto and Arqom Kuswanjono 2012). Akan tetapi, sebaliknya ruang interaksi yang terbuka tersebut juga rentan memicu konflik terutama ketika agama tidak mampu menjaga netralitasnya dalam penanganan korban bencana.

(16)

15 Nur Wahid Sofyan dan Laila Kholid Alfirdaus, misalnya, menunjukkan bagaimana peristiwa bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta dan Gempa di Padang berpotensi menciptakan koflik baru antara komunitas Islam dan Katolik serta rentan menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas Cina dalam hal penanganan korban. Faktor kondisi kejiwaan masyarakat yang labil serta persaingan ekonomi pasca bencana serta berbagai stigma negatif terhadap kelompok minoritas kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik dan perlakuan diskrimiatif tersebut (Nur Wahid Sofyan 2012).

C. Konsepsi Agama Tentang Bencana

Dalam Bahasa Arab, kata "bencana" seringkali diasosiasikan dengan istilah

"musibah" yaitu ةبيصم dari asal kata بيصي – باصا yang bermakna “sesuatu yang menimpa atau yang mengenai”. Penggunaan kata باصا ini berlaku untuk setiap hal baik dan hal buruk. al-Râghib al- Asfahâniy menyebut kata mushîbah sepadan dengan makna kata al-ramiyyah (lemparan), kemudian pada penggunaannya lebih menitikberatkan pada makna bahaya atau bencana. Pemaknaan tersebut juga diaminkan oleh Ibnu Manzhur yang juga memaknai mushîbah dengan sesuatu yang menimpa berupa bencana. Secara spesifik, Isma'il Haqqiy dalam tafsir Ruh al- Bayân, mendefinisikan mushîbah dengan “apa saja yang menimpa manusia, berupa

sesuatu yang tidak menyenangkan”

Adapun kata balâ’, makna dasarnya adalah nyata/tampak. Suatu bencana disebut dengan balâ’, karena dengan bencana tersebut dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Atau dengan kata lain balâ’juga diartikan dengan ujian

(17)

16 (berasal dari kata bala- yablu) sehingga dengan adanya bencana tersebut dapat menguji mana yang beriman dan mana yang tidak.

Kemudian yang terakhir kata fitnah atau cobaan akan digunakan untuk memahami makna bencana dalam al-Qur'an, dalam surat Al-Anfal (8): 28: “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan (fitnah) dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”

Dalam konteks uraian tentang fitnah, al-Qur'an menggarisbawahi bahwa fitnah tidak hanya ditimpakan kepada orang-orang kafir atau zalim saja, melainkan juga kepada mereka yang taat kepada-Nya, berikut merupakan surat Al-Anfal (8):

25, “Dan peliharalah dirimu dari siksaan (fitnah) yang tidak hanya menimpa orang- orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.”

Ayat di atas menggunakan tiga kata yang kesemuanya dapat berarti sesuatu yang tidak menyenangkan. Yaitu kata fitnah, tushibanna yang seakar dengan kata mushîbah, serta ‘iqâb yang terambil dari kata ‘aqiba yang berarti

belakang/kesudahan. Kata ‘iqab digunakan dalam arti kesudahan yang tidak menyenangkan/ sanksi pelanggaran. Berbeda dengan ‘aqibah/ akibat yang berarti dampak baik atau buruk dari satu perbuatan. Dan dari ayat di atas dapat difahami bahwa fitnah dapat menimpa orang yang tidak bersalah.

(18)

17 D. Persepsi Agama terhadap Bencana

Persepsi komunitas beragama terhadap bencana pada dasarnya dapat dilihat melalui tiga tahapan: sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana. Secara spasial, respon mereka dapat dibagi menjadi dua, yakni: pertama, mereka yang ada dalam wilayah bencana (menjadi korban bencana); dan kedua, mereka yang berada di luar wilayah bencana. Adapun secara etikal (etis), respons keduanya dapat di masukkan dalam dua sikap: pertama, fatalisme pasivistik (passivistic fatalism); dan kedua, vitalisme aktivistik (activistic vitalism) (Moch. Nur Ichwan 2012).

Menurut Ikhwan (2012), sikap etis ini, dalam konteks masyarakat beriman, juga mereflksikan pemahaman teologis mereka, yakni teologi fatalis pasivistik dan vitalis aktivistik. Fatalisme dalam hal ini merujuk kepada pengertian sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu peristiwa, karena semuanya sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Cara pandang ini telah lama diadopsi oleh masyarakat tradisional dan pra-industri sejak abad pertengahan di Eropa dan negara-negara berkembang lainnya. Pandangan ini juga diadospsi oleh agama besar seperti Kristen, Budha, Islam sebagai reaksi atas bencana gempa dan letusan gunung merapi yang terjadi di berbagai wilayah di dunia.

Pandangan ini banyak mendapat kritik karena dianggap gagal memahami esensi dari keragaman ajaran agama-agama di dunia. Hal itu nampak dari cara pandangnya yang terlalu simplistik. Sementara itu, sikap vitalisme merujuk pada pengertian sebuah keyakinan bahwa fungsi dari sebuah organisme yang hidup adalah karena adanya sebuah prinsip vital yang berbeda dari kekuatan-kekuatan

(19)

18 fisika-kimia; atau keyakinan bahwa proses-proses kehidupan tidak dapat dipahami oleh hukum- hukum fisika dan kimia semata dan bahwa hidup itu, dalam beberapa bagian, dapat menentukan dirinya sendiri. Dari kedua corak etik-teologis ini, kita akan melihat bagaimana umat beragama di wilayah bencana dan di luar wilayah bencana merespons, baik sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana (Moch. Nur Ichwan 2012).

Sebagai dasar teori, penelitian ini akan menggunakan konsep-konsep yang berkembang dalam kajian agama dan bencana. Ada tiga konsep pokok yang digunakan dalam studi ini. Dalam penelitian antropologi bencana, kajian ini tergolong penelitian dengan pendekatan sosio-kultural (socio-cultural approach), dengan meneliti; (1) persepsi tokoh agama dan masyarakat atas bencana, yakni (2) wilayah pemaknaan (system of meaning), dan (3) bagaimana proses pemaknaan tersebut (meaning construction) berlangsung dan saling mempengaruhi (meaning contestation) di dalam benak masyarakat hingga membentuk satu pemahaman keagamaan yang baru (Meredith B McGuire, 2008).

(20)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kualitatif untuk menggambarkan bagaimana masyarakat Sasak di Pulau Lombok mempersepsikan bencana alam serta bagaimana implikasi dari pandangan tersebut terhadap pandangan masyarakat tentang praktek beragama yang ideal di tengah masyarakat. Untuk menjawab fokus penelitian tersebut peneliti akan menggunakan pendekatan fenomenologi.

Pendekatan ini dipilih oleh karena tujuan penelitian yang menyaratkan agar perspektif peneliti diposisikan secara lebih sejajar dengan perspektif dari informan yang dilibatkan dalam penelitian ini.

Penelitian ini, di sini lain, juga dapat dilihat sebagai penelitian komparatif di mana peneliti akan memperbandingkan bagaimana respon dari dua kelompok masyarakat terkait dengan bencana alam dan sikap beragama yang ideal, terutama paska terjadinya bencana gempa bumi pada tahun 2018 silam.

B. Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini akan dibagi menjadi dua jenis, yaitu informan yang berasal dari tokoh-tokoh agama dan informan yang berasal dari masyarakat umum korban bencana alam di Palu dan Lombok. Informan yang berasal dari kalangan tokoh agama dilibatkan untuk memperoleh gambaran mengenai bagaimana bencana alam dipersepsikan di kalangan tokoh agama. Sementara itu, informan dari kalangan korban bencana dilibatkan untuk mendapatkan gambaran

(21)

20 tentang bagaimana persepsi tersebut berdampak pada pandangan masyarakat tentang sikap beragama yang ideal pada masa paska bencana.

Pemilihan informan tokoh agama dan informan korban bencana dilakukan berdasarkan kriteria berupa adanya interaksi yang intensif antara tokoh agama tersebut dengan masyarakat umum yang menjadi korban bencana. Hal ini dilakukan berdasarkan asumsi awal tim peneliti yang menduga bahwa tokoh agama memainkan peran penting dalam mempengaruhi bagaimana kalangan masyarakat umum (jamaahnya) mengkinstruksi pengetahuan yang berkaitan dengan isu-isu dalam kehidupan beragama.

Informan tokoh agama dan korban bencana, dengan demikian, akan diupayakan berasal dari satu wilayah dan sering terlibat interaksi yang sifatnya intensif. Dalam hal ini, informan potensial dalam penelitian ini dapat mencakup Kyai-Kyai di kampung, Pimpinan-Pimpinan Pondok Pesantren, dan Ustadz-Ustadz yang mengampu majelis-majelis pengajian di daerah yang lebih urban.

C. Pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan teknik wawancara mendalam, diskusi kelompok kecil, dokumentasi, dan survey. Masing- masing teknik pengumpulan data tersebut akan diterapkan sesuai dengan jenis data yang hendak dikumpulkan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini.

Wawancara mendalam utamanya akan dilakukan untuk memperoleh data kualitatif dari kalangan tokoh agama. Diskusi kelompok kecil digunakan untuk memperolah data kualitatif dari kalangan masyarakat korban bencana. Sementara

(22)

21 itu, teknik survey akan dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif dari kalangan masyarakat korban bencana. Selebihnya, teknik dokumentasi juga akan diterapkan untuk memperkaya temuan penelitian dan analisis data.

D. Analisis data

Secara umum, teknik analisis yang kami akan gunakan untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan dilapangan adalah qualitatively driven mixed method (Hesse-Biber and Johnson 2015). Dengan demikian, teknik analisis campuran (mix method) akan diterapkan untuk data yang berhasil dikumpulkan selama proses pengumpulan data di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menerapkan dua teknik analisis data, yaitu teknik analisis data kualitatif dan teknik statistik. Data yang dapat dikuantifikasi seperti data hasil survey akan dianalisis secara statistic dengan bantuan software komputasi statistic seperti SPSS. Sementara itu, data yang diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam akan dianalisis dengan menggunakan teknik coding dengan mempertimbangkan potensi keterhubungan antara tema-tema yang muncul pada transkrip wawancara dengan tema-tema pada hasil survey.

Proses menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian ini dapat digambarkan melalui skema di bawah ini:

Quantitative analysis

QUALITATIVE ANALYSIS

Data collected through quantitative instruments; survey

Summary of analyzed data;

tabels, charts, diagrams, etc.

More specific targeting procedures; potential informants, prevalence of informants perspective, etc Interpreting data in ways that

challenge or support narratives built upon cuurent data set.

Qualitative data

(23)

22 Analisis kualitatif akan dilakukan untuk menerjemahkan data empirik yang dikumpulkan melalui teknik survey yang mendahului teknik wawancara mendalam.

Dalam peneleitian ini, bagaimanapun juga, kedua teknik analisis ini tidak dipisahkan secara ‘terlalu’ ketat. Alih-alih, kedua teknik analisis ini akan dirancang agar dapat saling melengkapi.

(24)

23 LOG BOOK (Format Catatan Harian)

Penelitian Dasar Interdisipliner (PT)

Peneliti : 1. Miftahur Ridho 2. Hudriansyah

Judul : KONSTRUKSI SIKAP BERAGAMA PASCA BENCANA DI INDONESIA TIMUR: STUDI PADA MASYARAKAT KORBAN GEMPA BUMI DAN TSUNAMI DI PALU DAN LOMBOK

No. Tanggal Kegiatan Kendala

Selasa, 15 Juni 2021

- Melaksanakan konsultasi dengan pakar di Samarinda

Rabu, 16 Juni 2021

- Melaksanakan konsultasi dengan pakar di Kota Mataram

Kamis, 17 Juni 2021

- Merevisi proposal penelitian

Jum’at, 18 Juni 2021

- Menyusun pedoman wawancara

Senin, 21 Juni 2021

- Melakukan wawancara awal dengan tokoh agama di Lombok

-

(25)

24 - Melakukan wawancara awal dengan

tokoh agama di Palu Kamis, 24 Juni

2021

- Melakukan meeting dengan mahasiswa di Kota Mataram

- Melakukan meeting dengan mahasiswa di Kota Palu

-

Jum’at, 25 Juni 2021

- Melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat di Lombok Utara

- Melakukan wawancara dengan tokoh masyarakat di Kota Palu

-

(26)

25 Daftar Pustaka

Agus Indiyanto and Arqom Kuswanjono, eds. 2012. Kajian Integratif Ilmu, Agama, Dan Budaya. Cet. 1. Bandung: Kerja sama Mizan Pustaka [dan]

Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Dani Muhtada. 2012. “Respon Komunitas Keagamaan Di Porong Terhadap Bencana Lumpur Sidoarjo: Melacak Akar Teologis.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Djadjat Sudradjat. 2018. “Terbunuhnya Akal Sehat.” Retrieved August 16, 2019 (https://mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1331-terbunuhnya- akal-sehat).

Hesse-Biber, Sharlene Nagy and Burke Johnson, eds. 2015. The Oxford

Handbook of Multimethod and Mixed Methods Research Inquiry. Oxford ; New York: Oxford University Press.

Imron and Hidayat. 2012. “Interpretasi Pesantren Atas Banjir: Studi Atas Pondok Pesantren Darun Najah Situbondo.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Lei Sun, Yan Deng, and Wenhua Qi. 2018. “Two Impact Pathways from

Religious Belief to Public Disaster Response: Findings from a Literature Review.” International Journal of Disaster Risk Reduction 27:588–95.

Meredith B McGuire. 2008. Religion: The Social Context. Belmont, CA:

Wadsworth Thomson Learning.

Moch. Nur Ichwan. 2012. “Eko-Teologi Bencana, Aktivisme Sosial Dan Politik Kemaslahatan: Perspektif Islam.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Mohammad Rokib. 2012. “The Significant Role of Religious Group’s Response to Natural Disaster in Indonesia: The Case of Santri Tanggap Bencana (Santana).” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung:

Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Novia Budi Parwanto and Tatsuo Oyama. 2014. “A Statistical Analysis and Comparison of Historical Earthquake and Tsunami Disasters in Japan and Indonesia.” International Journal of Disaster Risk Reduction 7:122–41.

Nur Wahid Sofyan. 2012. “Potensi Konflik Pasca Bencana: Komunitas Islam Dan Katolik Di Desa Ngargomulyo.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Roni ’Abdul Fattah. n.d. “Membedah Hakikat Bencana Alam Dalam Al-Qur’an – Pondok Pesantren Daarut Tauhiid.” Retrieved August 1, 2019

(http://www.daaruttauhiid.org/membedah-hakikat-bencana-alam-dalam-al- quran/).

(27)

26 Suranto. 2012. “Buddhisme Theravada Dan Gempa Bumi: Respon Umat Buddha

Di Gatak, Kotesan, Klaten Terhadap Gempa Bumi 27 Mei 2006.” in Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya. Bandung: Mizan Pustaka dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada.

Umi Rohmah. 2012. “Resiliensi Dan Sabar Sebagai Respon Pertahanan Psikologis Dalam Menghadapi Post-Traumatic.” Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 6(2):312–30.

Wignyo Adiyoso and Hidehiko Kanegae. 2013. “The Preliminary Study of the Role of Islamic Teaching in the Disaster Risk Reduction (A Qualitative Case Study of Banda Aceh, Indonesia).” Procedia Environmental Sciences 17:918–27.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat komitmen tujuan pekerja dari usaha kecil, menengah dan besar

Oleh itu, di dalam masjid yang dimaksudkan di sini adalah merujuk kepada kawasan yang dibolehkan untuk beriktikaf ataupun biasa disebut ruang solat utama atau ruang

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan instrumen penilaian yang terdiri dari tugas ( task) dan rubrik yang valid dan reliabel untuk digunakan pada praktikum

Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang berarti antara hasil belajar matematika siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran teknik carousel dan

 Massa akan membawa kain putih panjang dan spidol sebagai sarana untuk Tanda Tangan Petisi Dukungan terhadap Komnas HAM yang akan dipasang di sekitar masjid Sunda

Indeks track dari cylinder 1 harus dimodifikasi untuk memperlihatkan bahwa ada sebuah record pada overflow area yang secara logik seharusnya menempati pada akhir dari track 1,

He believed that saving was a luxury, so he expected the rich to save a higher proportion of their income than the poor.Although not essential for Keynes’s own analysis, the

Kalimat langsung adalah kalimat berita yang memuat peristiwa atau kejadian dari sumber lain dengan. langsung menirukan,