Hal. 1 dari 12 Revisi: 00/2019
6
MANAJEMEN
PERPAJAKAN
Hal. 2 dari 12
CHAPTER 6
PPH PASAL 21,22,23/26 &4(2)
CAPAIAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang pph pasal 21,22,23/26 &4(2).
Obyek dan Non Obyek PPh Pasal 21
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak Penghasilan terutang bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.
Subjek Pemotongan PPh Pasal 21 adalah Orang Pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau kegiatan.
Bagi karyawan dalam kapasitas sebagai subjek pajak, mekanisme penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 ini adalah dengan cara dipotong dan disetorkan ke Kas Negara oleh pemberi kerja pada saat dilakukan penggajian karyawan atau penerimaan sejenisnya. Wajib Pajak Orang Pribadi yang dipotong Pajak atas Penghasilan yang diterimanya dibedakan atas Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak Luar Negeri.
Objek PPh Pasal 21 adalah Penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Sedangkan yang bukan Objek PPh Pasal 21 adalah Penghasilan yang termasuk dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak terbaru PER-16/PJ/2016, berikut ini merupakan Objek Pajak Penghasilan Pasal 21, yaitu:
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur, Contoh: Gaji, Upah Lembur, Bonus, Tunjangan-tunjangan
2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima Pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya,
3. Penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus, yang pembayarannya melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sejak pegawai berhenti bekerja, Contoh: Susilo berusia 60 tahun dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Susilo
Hal. 3 dari 12
melakukan klaim Jaminan Pensiun ke kantor BPJS dan menerima uang klaim Jaminan Pensiun sebesar Rp.100 jt, maka Jaminan Pensiun yang diterimanya tersebut akan dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21.
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan,
5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan,
6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
7. Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama,
8. Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, atau imbalan lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan pegawai,
9. Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun yang masih berstatus sebagai pegawai dari dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
Jenis penghasilan yang tidak dikenakan Pph Pasal 21 diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-16/PJ/2016, yaitu:
1. Pembayaran manfaat asuransi atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa bagi mahasiswa dalam dan luar negri Contoh: Hendra menderita sakit gagal ginjal dan diharuskan untuk dirawat di rumah sakit. Hendra memutuskan untuk menggunakan asuransi kesehatan untuk meringankan biaya rumah sakit. Atas uang asuransi kesehatan tersebut tidak akan dipotong pph pasal 21 karena bukan objek pph pasal 21.
2. Penerimaan dalam betuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus atau yang sering disebut dengan deemed profit. Contoh: Riko saat ini bekerja di Kantor
Hal. 4 dari 12
Konsultan, selain mendapat gaji dan tunjangan transport, Riko juga mendapatkan jatah makan siang dari kantor. Untuk gaji dan tunjangan transport akan dikenai pph pasal 21, namun atas jatah makan yg didapat oleh Riko tidak akan dipotong pajak, kecuali yang diberikan dalam bentuk uang.
3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.
Contoh: Pada bulan Januari 2017 PT Sempurna membayar dana pensiun ke kantor BPJS senilai Rp. 500 jt. Atas penyetoran dana pensiun tersebut tidak dipotong PPh Pasal 21 karena PPh Pasal 21 akan dipotong pada saat karyawan melakukan klaim jaminan pensiun dan pajak tersebut menjadi tanggungan karyawan penerima pensiun.
4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan, 5. Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak
pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Perhitungan PPh Pasal 21
PPh 21 adalah pajak yang dikenakan untuk setiap penghasilan yang diperoleh subyek pajak.
Subyek pajak disini adalah pihak yang memperoleh penghasilan. Maka dari itu, setiap karyawan, pegawai, atau pekerja yang memperoleh gaji wajib membayarkan pajak penghasilan (PPh 21).
Perhitungan PPh 21 sendiri menyesuaikan
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak yaitu:
Status Wajib Pajak Jumlah Per Tahun (Rp) Jumlah Per Bulan (Rp)
Pribadi 54.000.000 4.500.000
Hal. 5 dari 12
Kawin Tanpa Tanggungan 4.500.000 375.000
Setiap Anggota Keluarga Sedarah dan Dalam Garis Keturunan Lurus (Tanggungan) max. 3 orang
4.500.000 375.000
Contoh:
Dito pada tahun 2016 bekerja pada perusahaan PT Jaya Abadi dengan memperoleh gaji sebulan Rp 5.750.000,- dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 200.000,-. Dito menikah tetapi belum mempunyai anak. Pada bulan Januari penghasilan Dito dari PT Jaya Abadi hanya dari gaji.
Perhitungan PPh 21 bulan Januari adalah:
Gaji Rp 5.750.000
Pengurangan: Rp 287.500 1. Biaya Jabatan
(5% x Rp 5.750.000)
2. Iuran Pensiun
Rp 200.000
Jumlah Pengurang Per Bulan Rp 487.500 Penghasilan Neto Sebulan Rp 5.262.500 Penghasilan Neto Setahun
(12 x Rp 5.262.500)
Rp 63.150.000
PTKP Setahun (K/0) Rp 58.500.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun
PPh Pasal 21 Terutang (5% x Rp 4.650.000)
Rp 4.650.000
Rp 232.500
PPh Pasal 21 bulan Januari
Rp 19.375 (Rp 232.500 : 12 bulan)
Hal. 6 dari 12
Strategi Perencanaan PPh Pasal 21
Dalam melakukan peencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21, beberapa strategi yang dapat terapkan secara umum diantaranya:
Tax Saving
Tax saving merupakan upaya mengefisiensikan beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya dengan mengubah imbalan natura bagi karyawan yang tidak boleh di biayakan menjadi tunjangan yang dapat di biayakan sebagai Obyek PPh Pasal 21. Contoh: perusahaan, yang memiliki penghasilan kena pajak lebih dari Rp 100 juta, dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang. Penghematan pajak atas perubahan ini berkisar antara 5-25% untuk penghasilan karyawan sampai dengan Rp 200 juta.
Tax Avoidance
Tax avoidance merupakan upaya mengefisiensikan beban pajak dengan cara menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan objek pajak. Misalnya, perusahaan, yang masih mengalami kerugian perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang ke pemberian natura sehingga natura tersebut bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21. Dengan demikian, terjadi penghematan pajak 5-35%.
Strategi perencanaan pajak yang lain yang bisa dilakukan oleh perusahaan dalam upaya penghematan Pajak Penghasilan Pasal 21 Karyawan adalah dengan memilih metode perhitungan PPh Pasal 21 sesuai dengan kondisi perusahaan. Pemberi kerja bisa menggunakan Metode Nett, Metode Gross atau Metode Gross Up.
Metode Nett adalah pemotongan pajak dimana perusahaan yang menanggung pajak karyawannya, Metode Gross adalah pemotongan pajak dimana karyawan yang menanggung pajaknya serta Metode Gross Up yaitu pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang dipotong dari karyawan.
Perusahaan harus pandai-pandai melakukan perencanaan pemotongan Pajak Penghasilan Pajak Pasal 21 terutama apabila menggunakan Metode Gross Up yang notabene pajak karyawan ditanggung oleh perusahaan, sehingga pajak ini merupakan beban yang ditanggung langsung seluruhnya oleh pemberi kerja.
Hal. 7 dari 12
Perusahaan harus menghitung dengan cermat karena Biaya Pajak Penghasilan ini akan dikoreksi positif seluruhnya pada perhitungan koreksi fiskal tahunan, sehingga harus dibandingkan biaya yang dikeluarkan (PPh.21) dengan pajak kurang bayar tahunan Badan (PPh.29) pada saat akhir tahun nanti.
Untuk diketahui bahwa perhitungan Metode Gross Up ini lebih rumit. Dalam perhitungan ini tunjangan pajak dihitung berdasarkan besarnya penghasilan kena pajak (PKP) dengan mengikuti formula Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP):
Lapisan 1 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 0 – Rp 47.500.000 (PKP setahun – 0) x 5/95 + 0,
Lapisan 2 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 47.500.000 – Rp 217.500.000 (PKP setahun – Rp 47.500.000) x 15/85 + Rp 2.500.000,
Lapisan 3 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 217.500.000 – Rp 405.000.000 (PKP setahun – Rp 217.500.000) x 25/75 + Rp 32.500.000, dan
Lapisan 4 dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Lebih dari Rp 405.000.000 (PKP setahun – Rp 405.000.000) x 30/70 + Rp 95.000.000..
Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 22
Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak yang dikenakan kepada badan-badan usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan perdagangan ekspor dan impor.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 90/PMK.03/2016, Objek PPh Pasal 22 berupa impor barang-barang mewah tertentu.
Tarif PPh Pasal 22 terdiri dari 2 Tarif, yaitu:
Menggunakan Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x Nilai Impor Non-API = 7,5% x Nilai Impor.
Nilai Import = Nilai Pabean + Bea Masuk Nilai Pabean terdiri atas 3 komponen, yaitu:
1. Free On Board (FOB) atau harga barang berdasarkan nilai transaksi dalam kondisi persaingan bebas. Nilai tersebut bisa dilihat pada bukti transaksi, invoice, dan lainnya.
2. Ongkos kirim yang ditetapkan untuk melakukan pengiriman paket. Jika harga barang = free shipping, maka harga barang sudah termasuk ongkos kirim.
3. Asuransi sebesar 0,5% x (harga barang + ongkos kirim)
Bea Masuk adalah sejumlah pungutan yang diwajibkan Pemerintah terhadap berbagai macam barang impor yang masuk ke dalam negeri.
Pemberitahuan Impor Barang (PIB) adalah merupakan dokumen pemberitahuan yang diajukan
Hal. 8 dari 12
oleh PKP yang melakukan kegiatan impor barang
Dokumen PIB ini memang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Ditjen Bea dan Cukai). Namun, mengingat adanya Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang harus dipungut, maka PIB juga harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Poin-poin yang harus diketahui dan diimplementasikan dalam Tax Planning PPh Pasal 22 adalah:
1. PPh Pasal 22 merupakan Kredit Pajak untuk PPh Badan atau PPh Orang Pribadi di akhir Tahun.
2. Melakukan Impor Barang yang berdasarkan ketentuan UU tidak terutang PPh.
3. Import Barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau PPN Import (Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001)
4. Mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) yaitu surat yang menyatakan Wajib Pajak dibebaskan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dalam rangka impor (dalam hal ini KPBC atau Bank Persepsi) yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar.
Pajak Penghasilan Pasal 22 juga mengatur tentang pemungutan pajak oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.03/2010 sttdd No.
224/PMK.011/2012 menyebutkan bahwa sifat pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang, pembelian barang oleh pemungut pajak bendahara pemerintah pusat atau daerah atau kuasa pengguna anggaran, penjualan hasil produksi industri semen, industri kertas, industri baja dan industri otomotif dan pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri farmasi, BUMN dan ATPM bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
Karena sifat PPh Pasal 22 Bendaharawan adalah Tidak Final maka perlu dilakukan perencanaan pajak yang baik dan cermat oleh Perusahaan antara lain perhitungan yang benar, invoicing dengan kelengkapan dokumen harus lengkap dan sesuai dengan yang dipersyaratkan serta perolehan bukti potong PPh Pasal 22 tepat waktu agar dapat dilakukan pengkreditan pada saat perhitungan SPT Tahunan Badan tepat waktu.
Hal. 9 dari 12
Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Umumnya penghasilan jenis ini terjadi saat adanya transaksi antara pihak yang menerima penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan pemberi penghasilan.
Pihak pemberi penghasilan (pembeli atau penerima jasa) akan memotong dan melaporkan PPh pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.
Umumnya PPh Pasal 23 dikenakan saat adanya transaksi di antara dua pihak. Pihak yang berlaku sebagai penjual atau penerima penghasilan atau pihak yang memberi jasa akan dikenakan PPh Pasal 23. Sementara pihak pemberi penghasilan atau pembeli atau pihak penerima jasa akan memotong dan melaporkannya kepada kantor pajak.
Seperti halnya pada perencanaan pajak Penghasilan Pasal 22, apabila Perusahaan sebagai pihak yang menyerahkan jasa atau pihak yang dipotong maka tujuan perencanaan ini diutamakan pada penerimaan Bukti Potong PPh Pasal 23 tepat waktu sehingga pada perhitungan pada SPT Tahunan tidak merugikan perusahaan karena ketiadaan fisik Bukti Potong sebagai prasyarat diakuinya pengkreditan/pengurang Pajak Terutang Tahunan Perusahaan.
Oleh karena itu Perusahaan harus menyiapkan dengan baik kelengkapan dokumen yang diperlukan dalam rangka memperoleh dengan tepat waktu Bukti Potong tersebut termasuk didalamnya kebenaran penyajian perhitungan dalam dokumen2 yang diserahkan.
Selaku pemotong pajak, dengan adanya e-Bupot saat ini maka perusahaan harus mempersiapkan sumber daya manusia yang handal agar tidak terjadi kesalahan pada proses pemotongan pajak melalui elektronik system ini. Karena DJP akan melakukan ekualisasi baik antara PPh.23 yang dipotong dengan omset lawan transaksi, maupun antara pemotongan PPh.23 (gross income) dengan biaya yang berhubungan dengan pemotongan PPh.23 pada Laba/Rugi Fiskal Perusahaan.
Sebagai tanda bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong, pihak pemotong harus memberikan bukti potong (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dikenakan pajak tersebut dan bukti potong (rangkap ke-2) pada saat melakukan e-Filing pajak PPh 23 di Online Pajak.
Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atau jumlah bruto dari penghasilan, yaitu:
A. Tarif 15% atas Bunga, Dividen, Sewa & Royalti
B. Tarif 2% atas Jasa atau Sewa lain kecuali Sewa Tanah dan atau Bangunan.
Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah PPh yang dikenakan/dipotong atas penghasilan yang
Hal. 10 dari 12
bersumber dari Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, adalah Negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner).
Karena ini menyangkut Warga Negara Asing yang mau tidak mau akan membawa nama baik Negara, maka perusahaan selaku pemberi penghasilan harus melakukan perencanaan yang baik sesuai dengan peraturan yang berlaku, antara lain :
Tentukan dahulu apakah benar lawan transaksi Anda adalah Subjek Pajak Luar Negeri.
Jika merupakan Subjek Pajak Luar Negeri, tentukan dahulu apakah SPLN tersebut berhak dipotong PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif tax treaty.
Tax Treaty bisa digunakan dalam hal SPLN mempunyai DGT atau SKD sesuai PER-25/PJ/2018
Input informasi yang ada di DGT pada djponline.pajak.go.id menu e-SKD untuk mendapatkan tanda terima SKP WPLN.
Berikan tanda terima SKD WPLN kepada SPLN
Melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan menggunakan tarif tax treaty jika memenuhi PER-25/PJ/2018 dan membuat bukti potong PPh Pasal 26 melalui aplikasi e spt PPh pasal 21/26 atau 23/26
Jika tidak memenuhi syarat untuk mengguanakan ketentuan pada tax treaty, maka tarif PPh 26 nya adalah 20%.
Melakukan penyetoran PPh dengan terlebih dahulu membuat kode billing. Penyetoran dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
Melakukan pelaporan PPh Pasal 4 ayat (2) dengan menggunakan aplikasi e spt pph melalui djponline.pajak.go.id atau ASP paling lama tanggal 20 bulan berikutnya dengan melampirkan tanda terima SKD WPLN walaupun jika terhadap penghasilan yang dibayarkan kepada WPLN tersebut tidak terdapat pemotongan PPh berdasarkan ketentuan tax treaty.
Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 ini adalah pemotongan Pajak atas Penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak yang termasuk dalam Badan yang bersifat Final. Contoh dalam Modul
Hal. 11 dari 12
ini adalah perusahaan Jasa Konstruksi. Selaku perencana, pelaksana dan pengawas kegiatan jasa konstruksi perusahaan akan dipotong bersifat final atas penghasilan yang diterimanya.
Selaku penerima kerja perencanaan perpajakan yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah menerapkan dengan benar aturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi dengan tarif sebagai berikut :
2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha kecil.
4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain penyedia jasa sebagaimana dimaksud dalam poin a dan b.
4% untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kualifikasi usaha.
6% untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.
Dari penjelasan di atas, bisa dilihat bahwa tarif yang dikenakan bervariasi tergantung pada kondisi penyedia jasa konstruksi. Misalnya, jika penyedia jasa konstruksi memiliki kualifikasi usaha kecil, maka tarif yang dikenakan sebesar 2%.
Perencanaan yang perlu disiapkan oleh Perusahaan selaku penyedia jasa konstruksi adalah melakukan pelaksanaan kewajiban perpajakan dengan benar terutama atas penentuan kondisi/kualifikasi perusahaan, penyiapan dokumen-dokumen yang menyangkut tentang Bukti Potong oleh Pemberi Kerja. Apabila perusahaan melakukan pemotongan diri sendiri atas penghasilan yang diterimanya juga harus disiapkan persyaratan yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Begitu pula apabila perusahaan dalam posisi pemotong supaya dilakukan perencanaan pemotongan yang benar dan sesuai agar pada saat melakukan perhitungan SPT PPh Badan di akhir tahun (saat dilakukan ekualisasi) semua clear tidak terdapat perbedaan/selisih.
Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 atas Pelaku UMKM
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat 2 dalam hal ini adalah perlakuan perpajakan atas penggunaan/pemilihan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 sebagai dasar perhitungan pajaknya.
Hal. 12 dari 12
Pelaku UMKM yang mempunyai omset/peredaran usaha kurang dari Rp. 4,8 Milyar setahun bisa menggunakan Pembukuan atau Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 sebagai dasar perhitungan pajaknya. Apabila Wajib Pajak menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 sebagai dasar perhitungan pajaknya maka Wajib Pajak hanya menyiapkan pencatatan atas penjualan/omset per bulannya untuk selanjutnya dihitung Pajak Terutang per bulannya dengan cara omset per bulan dikalikan dengan tarif yang berlaku sebesar 0,5%.
Kegiatan perhitungan dan penyetoran dengan dasar Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 dilakukan setiap bulan dan setelah melakukan penyetoran Wajib Pajak tidak perlu melakukan pelaporan.
Perhitungan dan penyetoran setiap bulan tersebut akan dikroscek lagi pada saat Wajib Pajak melakukan perhitungan SPT Tahunan Pajaknya.
BAHAN REVIEW
Mahasiswa diharapkan melakukan review terkait modul chapter diatas!