• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan salah satu pusat industri batik yang dikenal sejak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta merupakan salah satu pusat industri batik yang dikenal sejak"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Yogyakarta merupakan salah satu pusat industri batik yang dikenal sejak zaman kerajaan Mataram ke-1. Pembatikan merupakan teknik mewarnai kain dengan menempelkan lilin/malam pada beberapa bagian pola atau motif tertentu agar tidak ikut terwarnai. Pewarna batik pada zaman dahulu menggunakan zat warna alam yang diperoleh dari ekstrak berbagai bagian tumbuhan seperti akar, kayu, daun, biji atau bunga. Kebutuhan warna yang semakin kompleks dan tersedia sewaktu-waktu menyebabkan warna dari alam digantikan dengan warna sintetis. Zat pewarna sintetis lebih mudah diperoleh di pasaran, jenis warna bermacam-macam, dan lebih praktis digunakan.

Batik telah diakui oleh badan internasional UNESCO dan telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak tanggal 2 Oktober 2009. Pengakuan internasional tersebut membuat batik menjadi salah satu souvenir khas Indonesia sehingga menjadi produk andalan yang ditawarkan kepada wisatawan baik domestik maupun asing. Hal ini membuat permintaan batik di pasaran meningkat. Permintaan batik meningkat sebesar 56 persen dalam kurun 2006-2010. Permintaan batik yang meningkat menyebabkan produksinya juga meningkat. Dari tahun 2008 hingga 2009, nilai produksi batik secara nasional mengalami peningkatan dari 3,2 triliun rupiah menjadi 3,36 triliun rupiah. Pada

(2)

2

tahun 2010, nilai produksi batik pun mengalami peningkatan menjadi 3,94 triliun rupiah (http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/ketidakstabilan-bahan-baku-sulitkan-industri-batik, diakses 5 Juni 2013).

Data yang diperoleh dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) kota Yogyakarta menunjukkan bahwa penjualan batik di Yogyakarta mengalami peningkatan sebesar 30 persen (http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi, diakses 5 Juni 2013). Industri batik juga mengalami pertumbuhan yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah produsen batik yaitu dari 53.250 unit usaha pada tahun 2008 dengan tenaga kerja 873.510 orang menjadi 55.778 unit usaha pada tahun 2010 dengan tenaga kerja 916.783 orang.

Pertumbuhan industri, peningkatan permintaan dan peningkatan produksi merupakan indikasi aktivitas dalam industri mengalami peningkatan. Semakin tinggi produk yang dihasilkan maka sisa aktivitas dalam industri juga semakin banyak. Sisa aktivitas dalam industri umumnya berupa limbah yang tidak dapat digunakan lagi sehingga harus dibuang. Pada industri batik, bahan baku yang digunakan adalah lilin/malam dan pewarna sintetis. Penggunaan bahan baku tersebut menimbulkan adanya limbah padat dan cair. Limbah padat berupa lilin/malam dapat dipadatkan dan digunakan lagi untuk proses pembatikan, sedangkan limbah cair berasal dari proses pewarnaan.

Salah satu industri batik di Yogyakarta yang memiliki nilai produksi cukup tinggi adalah industri batik “Rara Djonggrang”. Berdasarkan hasil observasi, industri ini memproduksi kain batik rata-rata 20 lembar per hari dengan ukuran 2,5 x 1 m per lembarnya. Pewarna yang digunakan pada industri batik ini adalah

(3)

3

pewarna sintetis yang disebut dengan Naphtol. Naphtol yang diperdagangkan memiliki nama dan jenis warna yang berbeda-beda sesuai dengan penamaan yang diberikan oleh industri yang memproduksinya. Warna Naphtol terdiri dari dua komponen, komponen pertama disebut Naphtol – As atau Azoic Coupling

Component dan komponen kedua adalah Diazo, yaitu berupa Base atau Garam –

Diazonium yang disebut pula Azoic Diazo Component. Bila kedua komponen tersebut bertemu dalam bentuk larutan maka bergabung menjadi senyawa berwarna yaitu warna Naphtol. Komponen Naphtol harus diolah terlebih dahulu agar dapat bersenyawa dengan komponen Diazo yaitu merubahnya menjadi bentuk Naphtolat. Naphtolat merupakan hasil dari proses pencampuran antara Naphtol As dan larutan kaustik soda panas.

Proses pewarnaan kain batik di industri “Rara Djonggrang” dilakukan dengan menutup pola-pola pada kain terlebih dahulu sesuai dengan pola warna yang diinginkan, kemudian kain tersebut dicelupkan ke dalam Naphtolat. Proses selanjutnya adalah mencelupkan kain batik pada Garam Diazo untuk membangkitkan warna. Kain yang telah dicelupkan pada Naphtolat dan Garam Diazo tersebut kemudian dibilas dengan air biasa agar bersih. Pencelupan ke dalam satu jenis warna yang menggunakan Naphtolat dan Garam Diazo dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan warna yang maksimal. Satu lembar kain batik dapat memiliki 2-3 warna yang dikombinasikan. Proses pewarnaan untuk jenis warna yang ke-2 dapat dilakukan setelah lilin pada kain batik pada proses pertama dihilangkan dengan cara mencelupkan kain batik kedalam air panas agar lilin dapat luruh. Proses pewarnaan untuk warna ke-2 dilakukan dengan prosedur yang

(4)

4

sama yaitu menempelkan lilin terlebih dahulu pada pola kain batik yang hendak dilindungi dari warna ke-2. Proses selanjutnya yaitu mencelupkan kain batik pada Naphtolat dan Garam Diazo kemudian membilasnya. Prosedur ini dapat dilakukan untuk proses pewarnaan selanjutnya pada kain yang sama dan dengan jenis warna lain yang diinginkan.

Jenis pewarna sintetis yang semakin beragam dan intensitas penggunaan yang semakin sering berdampak pada peningkatan jumlah limbah cair pewarnaan. Saat ini, industri batik “Rara Djonggrang” hanya mengandalkan IPAL di Bantul sebagai tempat pembuangan limbah tersebut. Limbah Naphtolat dan Garam Diazo yang dibuang dalam sekali proses yaitu masing-masing sekitar 138 liter per hari, sedangkan volume dari pencucian sebanyak 477 liter per harinya. Proses pewarnaan rata-rata dilakukan tiga kali per harinya, sehingga total limbah cair pewarnaan yang dibuang sekitar 2.259 liter per hari. Untuk mengetahui kandungan limbah cair pewarnaan maka dilakukan uji pendahuluan. Sampel limbah cair pewarnaan diujikan di BTKLPP (Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit) Yogyakarta. Sampel limbah cair yang diujikan adalah warna merah dan warna hitam.

Limbah cair warna merah berasal dari Naphtolat, Garam Diazo, dan pencucian. Limbah Naphtolat yang telah diujikan mengandung COD sebesar 13.800 mg/L, BOD sebesar 3.200 mg/L, dan TSS sebesar 620 mg/L. Limbah Garam Diazo mengandung COD sebesar 3.800 mg/L, BOD sebesar 970 mg/L, dan TSS sebesar 1.125 mg/L serta limbah pencucian mengandung COD sebesar 140 mg/L, BOD sebesar 52,5 mg/L, dan TSS sebesar 36 mg/L. Limbah warna

(5)

5

hitam juga berasal dari Naphtolat, Garam Diazo, dan pencucian. Limbah Naphtolat yang diujikan mengandung COD 4.400 mg/L, BOD 1.300 mg/L, dan TSS 1.185 mg/L. Limbah Garam Diazo mengandung COD 2.400 mg/L, BOD 650 mg/L, dan TSS 1.050 mg/L; serta limbah pencucian mengandung COD 48 mg/L, BOD 13 mg/L, dan TSS 24 mg/L.

Dari hasil uji tersebut diketahui bahwa setiap zat pewarna memiliki kadar limbah yang berbeda-beda yang ditunjukkan dari nilai COD, BOD, dan TSS. Persamaannya adalah limbah proses pewarnaan mengandung COD, BOD, dan TSS yang sangat tinggi dan melebihi ambang batas yang diatur dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No: 281/KPTS/1998 tentang Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Batik sehingga sangat berbahaya jika langsung dibuang ke lingkungan. Nilai COD, BOD, dan TSS merupakan parameter yang digunakan untuk melihat tingkat pencemaran air.

Pengolahan limbah cair pada umumnya menggunakan metode konvensional yaitu fisika, kimia, dan biologi. Pengolahan limbah cair secara fisika merupakan cara yang dianggap paling aman dan tidak merusak lingkungan, namun proses ini hanya mengubah fase/bentuk limbah tanpa menurunkan kandungan berbahaya dalam limbah. Adapun pengolahan secara kimia dianggap efektif karena dapat mengolah limbah dalam skala besar dengan menggunakan zat pengolah yang sedikit, namun menimbulkan secondary pollution/waste (limbah dari proses pengolahan limbah). Pengolahan secara biologi merupakan pengolahan limbah menggunakan katalis mikroba yang dapat dikembangbiakkan, namun kelemahannya adalah katalis mikroba harus dijaga agar tetap hidup dan

(6)

6

aktif yaitu dengan pengaturan kondisi tempat mikroba seperti suhu dan pH air limbah.

Pengolahan limbah cair secara konvensional yang memiliki keterbatasan-keterbatasan tersebut menjadi alasan untuk mengembangkan metode alternatif untuk mengolah limbah cair. Salah satu metode yang saat ini banyak dikembangkan adalah metode elektrokoagulasi. Menurut Kaspar (2006), proses elektrokoagulasi merupakan proses elektrokimia yang secara simultan memisahkan logam berat, padatan yang larut, zat organik yang teremulsi dan kontaminan lainnya dari air dengan menggunakan listrik (Susetyo dkk., 2008). Metode elektrokoagulasi memiliki kelebihan yaitu peralatannya sederhana dan mudah untuk dioperasikan, tanpa menggunakan bahan kimia, lebih cepat mereduksi kandungan koloid/partikel yang paling kecil dalam limbah, dan gelembung-gelembung gas yang dihasilkan pada proses elektrokoagulasi ini dapat membawa polutan ke permukaan air membentuk flok sehingga mudah dipisahkan dari air (Avsar et al., 2007). Dari uraian tersebut, metode elektrokoagulasi dapat menjadi alternatif untuk mengolah limbah cair pewarnaan di industri batik “Rara Djonggrang”.

Proses elektrokoagulasi mempunyai beberapa faktor yang

mempengaruhinya yaitu kerapatan arus listrik, waktu, tegangan listrik, kadar keasaman (pH), dan jarak antar elektroda. Penelitian yang dilakukan Susetyo dkk. (2008) menunjukkan bahwa tegangan berpengaruh terhadap pengurangan konsentrasi Sr-90 yang terdapat dalam limbah cair. Terdapat hubungan antara tegangan, arus listrik, dan hambatan yang dinyatakan dalam hukum Ohm.

(7)

7

Hambatan juga dipengaruhi oleh jarak antar elektroda, semakin besar jaraknya maka semakin besar hambatannya sehingga semakin kecil arus yang mengalir. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yulianto dkk. (2009) menunjukkan bahwa jarak antar elektroda berpengaruh terhadap penurunan COD limbah batik dengan menggunakan elektrokoagulasi. Hari dan Harsanti (2010) juga melakukan

penelitian yang membuktikan bahwa proses elektrokoagulasi dengan

menggunakan plat aluminium mampu menurunkan kadar COD, BOD, dan TSS dalam limbah cair tekstil. Fadli dkk. (2011) melakukan penelitian yang membuktikan bahwa plat aluminium lebih baik digunakan daripada plat besi dan seng dalam proses elektrokoagulasi limbah batik. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam mengenai pengaruh tegangan dan jarak elektroda dalam proses elektrokoagulasi terhadap penurunan COD, BOD, dan TSS limbah cair pewarnaan industri batik “Rara Djonggrang” (Naphtolat, Garam Diazo, dan campuran kedua limbah tersebut) dengan menggunakan plat aluminium.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Berapa jarak elektroda yang baik (optimum) dalam proses elektrokoagulasi limbah Naphtol, Garam Diazo, dan campuran kedua limbah cair tersebut? 2. Berapa tegangan listrik yang paling baik (optimum) dalam proses

elektrokoagulasi limbah Naphtol, Garam Diazo, dan campuran kedua limbah cair tersebut?

(8)

8 1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui jarak elektroda yang baik (optimum) dalam proses elektrokoagulasi limbah Naphtolat, Garam Diazo, dan campuran kedua limbah cair tersebut.

2. Untuk mengetahui tegangan listrik yang baik (optimum) dalam proses elektrokoagulasi limbah Naphtolat, Garam Diazo, dan campuran kedua limbah cair tersebut

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan alternatif pengolahan limbah cair pewarnaan terutama pada industri batik

2. Memberikan kontribusi ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan pengolahan limbah cair industri batik.

3. Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya mengenai pengolahan limbah cair industri batik.

4. Sebagai masukan bagi industri batik untuk pengolahan limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke IPAL ataupun lingkungan sekitar

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian dengan metode elektrokoagulasi telah banyak dilakukan terhadap berbagai limbah cair termasuk dalam pengolahan limbah cair batik, akan

(9)

9

tetapi ada perbedaan dengan penelitian ini. Beberapa diantaranya dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Penelitian pengolahan limbah dengan elektrokoagulasi

No Judul Penelitian Tujuan Hasil Perbedaan

1 Treatment of textile

wastewaters by

electrocoagulation

using iron and

aluminum electrodes

(Kobya et al., 2007)

Membandingkan elektroda besi dan aluminium dalam proses elektrokoagulasi untuk mengolah limbah tekstil Proses elektrokoagulasi tergantung pH. Pada kondisi pH < 6, COD dan efisiensi penurunan kekeruhan dengan plat aluminium lebih tinggi dibandingkan besi, sedangkan pada pH netral dan basa besi dapat menurunkan kekeruhan lebih baik. Jenis limbah, jenis plat elektroda, dan tujuan penelitian 2 Chemical or Electrochemical Techniques, Followed by Ion Exchange, for Recycle of Textile Dye Wastewater (Raghu and Basha, 2007) Membandingkan dua metode pengolahan limbah yaitu penambahan koagulan dan elektrokoagulasi Metode penambahan koagulan kimia mampu menurunkan COD sebesar 81,3% sedangkan metode elektrokoagulasi dengan menggunakan anoda besi mampu menurunkan COD sebesar 92,21% dengan kebutuhan energi 19,29 kWh/kg COD dan anoda aluminium mampu

menurunkan COD sebesar 80,00 % dengan kebutuhan energi 130,10 kWh/kg COD.

Jenis limbah dan tujuan penelitian

3 Reuse of Dye

Wastewater Through Colour Removal With Electrocoagulation Process (Charoenlarp

and Choyphan, 2009)

Menurunkan kadar warna dalam air limbah tekstil dengan menggunakan elektrokoagulasi

Elektroda aluminium dengan tegangan listrik 20 V dan waktu proses 180 menit menghasilkan efisiensi penurunan pewarna reaktif sebesar 96,05 % dan 38,15% padatan terlarut, sedangkan elektroda besi dengan 25 V dan waktu proses 180 menit menghasilkan efisiensi penurunan pewarna dasar sebesar hampir 85,61%; TSS 30,67%; padatan tersuspensi 66,67%; turbidity 20,61% dan COD 79,51%. Jenis limbah, tujuan penelitian, jenis plat dan parameter yang diamati

(10)

10

Tabel 1.1. (Lanjutan) Penelitian pengolahan limbah dengan elektrokoagulasi

No Judul Penelitian Tujuan Hasil Perbedaan

4 Pengolahan Limbah

Cair Tekstil

Menggunakan Proses Elektrokoagulasi dengan Sel Al-Al (Hari dan Harsanti, 2010) Untuk mengolah limbah tekstil dengan metode elektrokoagulasi menggunakan plat aluminium Kadar TSS mengalami penurunan yaitu rata-rata sebesar 76,27%, penurunan kekeruhan pada proses 30 menit dapat mencapai 96,36%, kadar COD mengalami

penurunan sebesar rata-rata 77,03%, dan kadar BOD mengalami penurunan rata-rata sebesar 77,23%. Jenis limbah dan tujuan penelitian 5 Comparison of Classical Chemical and Electrochemical Processes for Treating Rose Processing Wastewater (Avsar et al., 2007) Untuk membandingkan pengolahan limbah dengan metode kimia dan elektrokoagulasi pada ekstraksi minyak atsiri mawar

Metode elektrokoagulasi lebih baik daripada metode kimia. Penurunan nilai COD dan kekeruhan dengan metode kimia sebesar 29,2% dan 43,5%, sedangkan dengan elektrokoagulasi kadar COD turun sebesar 79,8% dan kekeruhan sebesar 81,4% dalam waktu 20 menit.

Jenis limbah dan tujuan penelitian

6 Penyisihan Kadar

COD, BOD, dan Warna pada Limbha Cair Industri Batik dengan Metode Elektrokoagulasi (Fadli dkk., 2011) Untuk mengetahui tingkat efisiensi penurunan kadar Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD)

dan kadar warna yang terkandung dalam limbah cair industri batik setelah melalui proses

elektrokoagulasi.

Penurunan konsentrasi COD, BOD dan warna dengan

efisiensi penurunan maksimum yaitu sebesar 99,63%, 99,22%, dan 98,40%. Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) plat elektroda yaitu Aluminium (Al), Besi (Fe) dan Seng (Zn), yang paling efektif digunakan untuk menurunkan konsentrasi COD, BOD dan warna dalam limbah industri cair batik adalah plat elektroda Aluminium (Al). Tujuan penelitian, variabel yang digunakan, parameter yang diamati, dan jenis plat

Dari beberapa beberapa penelusuran literatur di atas, penelitian mengenai penurunan COD, BOD, dan TSS Limbah Cair Pewarnaan Industri Batik “Rara Djonggrang” sepengetahuan penulis belum pernah dilakukan.

Gambar

Tabel 1.1. Penelitian pengolahan limbah dengan elektrokoagulasi
Tabel 1.1. (Lanjutan) Penelitian pengolahan limbah dengan elektrokoagulasi

Referensi

Dokumen terkait

Kami telah melakukan review atas neraca PT Asahimas Flat Glass Tbk (“Perusahaan”) tanggal 30 Juni 2007 dan 2006, serta laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, dan laporan

Peserta didik mampu untuk menentukan sikap terhadap suatu situasi atau pernyataan yang membutuhkan tanggapan, lengkap dengan.. Darmansyah, Teknik Penilaian Sikap Spritual dan

Usaha laundry sendiri terdiri dari 6 bagian, yaitu bagian yang pertama adalah penerimaan.Pada bagian ini pekerja melakukan kegiatan menimbang dan mencatat serta

Hipotesis dari penelitian ini adalah dengan penerapan metode pembelajaran probing prompting yang dipadukan dengan complete sentence dapat berpengaruh terhadap kualitas belajar

Analisis Gambaran Umum Kondisi Daerah Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Evaluasi Kondisi Perekonomian &amp; Keuangan Daerah Persiapan Penyusunan RKPD Pengolahan Data

Dia itu kerjaannya lebih make sure kepada packaging development ini… kan banyak nih pihak yang terkait untuk pembuatan packaging ini, ngga cuma desainernya aja tapi lebih ke day

Perumusan Masalah Pengembangan Penelitian Perencanaan Produksi yang lebih baik Hubungan Tingkat Error dengan Total Cost...

Kemudian untuk mendapatkan kualitas kampas rem yang baik maka bahan kampas tersebut harus mempunyai sifat-sifat : koefisien gesek yang tinggi, sifat bahan yang