• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIABILITAS LARVA PADA NYAMUK Aedes aegypti, Aedes albopictus DAN Culex quinquefasciatus DENGAN BERBAGAI TINGKAT INFEKSI MIKROFILARIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VIABILITAS LARVA PADA NYAMUK Aedes aegypti, Aedes albopictus DAN Culex quinquefasciatus DENGAN BERBAGAI TINGKAT INFEKSI MIKROFILARIA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

VIABILITAS LARVA PADA NYAMUK Aedes aegypti, Aedes albopictus DAN Culex quinquefasciatus DENGAN BERBAGAI TINGKAT INFEKSI

MIKROFILARIA

Larva Viability in Mosquito Aedes aegypti, Aedes albopictus And Culex quinquefasciatus with Various Infections of Microfilaria

Auliya Rahmi Ritonga1, T. Fadrial Karmil2, T. Zahrial Helmi3, Winaruddin4, M. Hanafiah5, Razali Daud6, M Daud AK7

1Program Studi Pendidikan Dokter Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala

2Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala E-mail:auliartg@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui viabilitas larva yang berperan aktif pada nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopyctus dan Culex quinquefasciatus mulai dari larva satu hingga mencapai larva tiga atau larva infektif. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anjing reservoir yang berjumlah 3 ekor dengan tingkat infeksi mikrofilaria 330 mf/ml darah, 1.430 mf/ml darah dan 10.395 mf/ml darah. Nyamuk yang diinfeksikan dengan berbagai tingkat infeksi mikrofilaremik tersebut diamati dan dilakukan pembedahan pada hari 1,3,6,9 dan 12. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa viabilitas larva pada nyamuk Ae. aegypti, Ae. albopyctus dan C. quinquefasciatus yang dilakukan penginfeksian dengan tingkat infeksi 330 mf/ml darah berkisar 80,08 %, 70,26 % dan 78,47 %; tingkat infeksi 1.430 mf/ml darah yaitu 65,72 %, 62,31 % dan 61,93 %; serta pada tingkat infeksi tinggi 10.395 mf/ml darah berkisar 53,92%, 55,79 % dan 54,27

%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis nyamuk tersebut berpotensi untuk menyebarkan penyakit dirofilariasis, hal ini sangat tergantung dari jumlah mikrofilaria yang terkandung dalam host defenitif. Semakin rendah tingkat infeksi maka semakin besar kemampuan nyamuk berpotensi menyebarkan penyakit.

Kata kunci : Aedes aegypti, Aedes albopictus, Culex quinquefasciatus, Dirofilaria immitis dan Mikrofilaria

ABSTRACT

This study aims to determine the viability of the larvae that play an active role in Aedes aegypti mosquitoes, Aedes albopyctus and Culex quinquefasciatus from larvae one to reach the larvae of three or infective larvae. The samples used in this study were 3 reservoir dogs with microfilariae infection rate of 330 mf / ml of blood, 1,430 mf / ml of blood and 10,395 mf / ml of blood. Mosquitoes infected with various levels of microfilinemic infection were observed and performed surgery on days 1,3,6,9 and 12. The results showed that the viability of larvae in Ae mosquitoes. aegypti, Ae. albopyctus and C.

quinquefasciatus infected with infection rate of 330 mf / ml of blood ranged 80.08%, 70.26% and 78.47%; infection rate 1.430 mf / ml of blood that is 65,72%, 62,31% and 61,93%; as well as at high infection rate 10,395 mf / ml of blood ranged 53.92%, 55.79% and 54.27%. So it can be concluded that the three types of mosquitoes have the potential to spread disease diropfilariasis, it is highly dependent of the number of microfilaria contained in the host defenitif. The lower the infection rate the greater the ability of mosquitoes to spread disease.

Keyword : Aedes aegypti, Aedes albopictus, Culex quinquefasciatus, Dirofilaria immitis dan Microfilaria

PENDAHULUAN Latar Belakang

Anjing merupakan jenis hewan yang didomestikasi sebagai hewan kesayangan dan dapat berfungsi sebagai penjaga, pelacak, atau penggembala ternak (Dharmojono, 2003). Anjing lokal merupakan jenis anjing yang banyak dipelihara di Aceh. Keberadaan anjing saat ini ada yang dipelihara dengan baik di lingkungan rumah dan ada juga yang dipelihara namun dilepasliarkan. Kebanyakan pemilik anjing melepasliarkan anjingnya, sehingga anjing berkeliaran di jalanan.

Penyakit yang dapat menyerang anjing salah satunya disebabkan oleh penyakit infeksi seperti parasit. Parasit yang berinfestasi di dalam tubuh hewan atau endoparasit merupakan salah satu penyebab terjadinya suatu penyakit pada anjing. Salah satu jenis endoparasit yang dapat menginfeksi anjing yaitu helminth. Banyak jenis helminth yang bisa menginfeksi anjing dan menimbulkan keadaan berbahaya pada anjing serta bisa menyebabkan zoonosis. Beberapa diantaranya yaitu dapat bersirkulasi

(2)

di saluran pencernaan ataupun bersirkulasi di peredaran darah, seperti Dirofilaria immitis (Manalu, 2008).

Kasus CHD pada anjing, kucing, rubah dan karnivora lain telah ditemukan di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan subtropis khususnya di daerah populasi nyamuknya tinggi (Jones et al., 1993). Di Amerika Selatan kasus CHD mencapai 50% (Siegmund et al., 1979), dan yang berperan sebagai vektor potensial adalah nyamuk Aedes aegypti (Ae. aegypti) dan Aedes albopictus (Ae.

albopictus) (Apperson et al., 1989). CHD adalah enzootik di Atlantik dan lembah sungai Misissippi (Jones et al., 1993). Kasus CHD sangat banyak ditemukan di Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Korea dan Australia. Di Indonesia, kasus CHD pada anjing pernah dilaporkan oleh Handaryani dan Wulansari (1995), Huminto et al., (1995), Widodo dan Karmil (1995). Menurut Lok (1988), prevalensi D. immitis pada anjing sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan dan klimatologi, populasi vektor, metode diagnosis dan situasi infeksi.

Indonesia khususnya Aceh merupakan daerah yang beriklim tropis dan memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, termasuk jenis karnivora yang berperan sebagai inang definitif dan nyamuk yang berperan sebagai vektor biologis D. immitis, sehingga besar kemungkinan pada wilayah Indonesia khususnya Aceh banyak tersebar penyakit D. immitis yang menyerang inang definitif. Inang definitif primer bagi D. immitis adalah jenis anjing domestik dan liar, sedangkan inang definitif sekunder adalah jenis kucing. Selain kedua jenis tersebut, masih banyak jenis karnivora lain yang dapat berperan sebagai inang alternatif bagi D. immitis, antara lain serigala, anjing hutan, rubah, kucing hutan, singa laut, anjing hutan berbulu tebal dan musang (Parott et al., 1984).

Studi tentang dirofilariasis yang pernah dilakukan di Indonesia masih sedikit. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Karmil (2002) tentang studi biologis dan potensi vektor alami D.

immitis sebagai landasan penyiapan bahan hayati. Karmil (2002) meneliti jenis nyamuk yang berpotensi sebagai vektor alami (isolat lapang) di daerah Aceh, Bogor dan Bali. Walaupun beberapa peneliti telah melaporkan kejadian dirofilariasis di Indonesia, akan tetapi penelitian tentang faktor- faktor risiko kejadian dirofilariasis belum ada.

Semakin tinggi tingkat mikrofilaremik semakin tinggi angka kematian nyamuk. Hal ini mencerminkan faktor mikrofilaria (mf) di dalam darah yang dihisap nyamuk berkaitan dengan viabilitas vektor. Apperson et al., (1989) menyatakan bahwa turunnya viabilitas vektor disebabkan oleh pergerakan dan aktivitas biologis larva dalam tubulus malpighian. Menurut Konishi (1989), adanya larva intraseluler menimbulkan kerusakan umum dan gangguan fungsi tubulus malpighian yang mengancam kehidupan vektor. Semakin panjang masa inkubasi intrinsik larva menjadi L3 semakin tinggi ancaman kematian vektor (Karmil, 2002).

Banyak teori yang menjelaskan tentang fenomena periodisitas mikrofilaremik, antara lain (1) aktivitas anjing (Partono et al., 1977), (2) terang gelapnya lingkungan (Georgi, 1989), (3) tekanan kapiler dan konsentrasi O2 dan CO2 di dalam paru-paru, vena dan arteri (Smyth, 1981).

MATERIAL DAN METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan 3 ekor anjing positif Dirofilaria immitis dengan ditemukan adanya mikrofilaria dalam darah. Metode diagnosa awal dilakukan dengan cara Modified Fadrial Tehnique (MFT) . Kemudian nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus dan Culex quinquefasciatus dipelihara dan diinfeksikan terhadap anjing reservoir. Nyamuk kemudian dibedah pada hari 1,3,6,9 dan 12 pascainfeksi. Hasil yang diperoleh kemudian dibahas secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel maupun gambar.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa spuid 3 ml, tabung vacutainer, coolbox, kapas, rak tabung reaksi, sentrifus makro, tabung sentrifus, pipet tetes, mikroskop, object glass, cover glass, single chanel micropipet, mikrotube, dan alat bedah.

(3)

Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa es, EDTA, darah anjing yang terkena D.

immitis, alkohol 70%, kloroform, cairan pengencer (dilusi), aquades, tissu dan kapas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil yang diperoleh yaitu nyamuk dengan tingkat infeksi mikrofilaria rendah, sedang dan berat mengalami kemampuan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik viabilitas larva pada nyamuk Ae. aegypti, Ae. albopictus dan C. quinquefasciatus dengan berbaagai tingkat infeksi mikrofilaria

Berdasarkan Gambar 1 diatas, grafik mengalami penurunan dari hari pertama hingga mencapai hari ke-12 atau mengalami penurunan yang signifikan dari tingkat infeksi rendah hingga infeksi tinggi.

Penurunan grafik tersebut dapat disebabkan karena sebagian larva terperangkap dalam hemocoel (Nappi dan Chrsitensen, 1986), terbenam dalam tumpukan sel hemosit (Christensen, Lafond dan Christensen, 1986) dan belum berhasil lolos ke dalam tubulus malpighian serta ditemukannya sebagian larva yang mati di dalam klot atau kristal oksihemoglobin yang sukar dilarutkan (Lowrie, 1991) sehingga larva tidak terlihat ketika dilakukan pengamatan dibawah mikroskop. Untuk lebih spesifiknya mengenai tiap nyamuk akan di bahas pada sub judul masing-masing.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada 3 spesies nyamuk yang berperan sebagai vektor D. immitis, pertumbuhan larva tidak berbeda nyata, bentuk larvapun tidak berbeda hanya jumlah larva yang terhisap dan kemampuan nyamuk yang berpotensi sebagai vektor yang membedakan persentase viabilitas larva tersebut. Pada 24 jam pertama, sebagian besar mikrofilaria sudah berada dalam abdomen, namun sebagian kecil masih tersisa dalam bagian kepala dan thorak, seperti Gambar 2 mikrofilaria terlihat dalam bagian proboscis nyamuk. Adanya sisa mikrofilaria di bagian kepala dan thorak pada 24 jam pertama disebabkan oleh volume darah yang dihisap oleh nyamuk melebihi kapasitas abdomen (Karmil, 1996).

Gambar 2. Larva pada bagian proboscis nyamuk yang ditemukan pada hari pertama

100 2030 4050 6070 8090

330 mf/ml darah

1.430 mf/ml darah

10.395 mf/ml darah

RATA-RATA (%)

Aedes aegypty Aedes albopyctus Culex quinquefasciatus

(4)

Perkembangan larva 1 hingga mencapai larva infektif (L3) mengalami beberapa perubahan ukuran, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. Ciri dari larva 1 adalah panjang dan diameter kecil, kemudian berubah menjadi bentuk sosis sempurna (L2) dan pada larva stadium infektif dicirikan seperti kutikula halus, mulus dan tipis. Pada saat larva infektif tersebut gerakannya sangat aktif dan larva berusaha untuk melakukan perforasi tubulus malpighian dan berusaha bermigrasi ke bagian kaput atau proboscis dan siap untuk ditransmisikan ke inang definitif (Karmil, 2002).

Gambar 3. Tahap perkembangan mikrofilaria dan larva D. immitis dalam tubuh nyamuk. (A) mikrofilaria dalam darah, (B) Larva 1 pada bagian thorak, (C) Larva 2 pada bagian abdomen dan (D) Larva 3 pada bagian abdomen. (Perbesaran 10 x 10 dengan mikroskop binokuker dan mikroskop stereo).

Berdasarkan paparan diatas, untuk memastikan apakah ada perbedaan nyata antara ketiga vektor tersebut, maka dilakukan analisis menggunakan uji ANOVA one way seperti yang ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Viabilitas Larva diuji dengan ANOVA one way

Vektor N Subset for

alpha = 0.05 Tukey

HSDa Aedes albopyctus Culex

quinquefasciatus Aedes aegypti

Sig.

3 3 3

1 62,7867 64,8900 66,5733 ,911 C D

A B

(5)

Tidak terdapat perbedaan nyata dari ketiga jenis vektor dalam hal kemampuan larva bertahan hidup di tubuh nyamuk, hal ini ditandai dengan Sig. P > 0,05 yaitu 0,911. Jika dilihat dari persentase, secara berururt Ae, aegypty dengan 66,5 %, Ae. albopictus 62,78 % dan C. quinquefasciatus 64,89 %.

Hal ini berarti nyamuk Ae. aegypti, Ae albopictus dan C. quinquefasciatus memiliki kemampuan yang hampir sama untuk menyebarkan penyakit dirofilariasis. Dugaanya karena ada kemiripan family dari ketiga nyamuk, sehingga nyamuk ini dapat berperan aktif sebagai penyebaran kasus dirofilariasis khususnya daerah Aceh sehingga perlu penanganan vektor untuk menangani dan meminimalisisir kasus tersebut.

1. Viabilitas Larva pada Nyamuk Aedes aegypti

Aedes aegypti berperan dalam penyebaran penyakit dirofilariasis. Viabilitas larva mengalami penurunan dari hari pertama hingga mencapai hari ke-12. Hal ini terjadi pada semua tingkat infeksi baik rendah, sedang maupun tinggi dapat dilihat pada Gambar 4. Persentase rata-rata tertinggi terdapat pada tingkat infeksi 330 mf/ml darah yaitu 80,08 %, tingkat infeksi 1.430 mf/ml darah mampu menampung sampai 65,72 % dan tingkat infeksi 10.395 dengan persentase 53,92 %. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Karmil, 2002) bahwa nyamuk yang diberikan darah anjing reservoir dengan angka mikrofilaremik rendah lebih bertahan hidup dibandingkan dengan nyamuk yang diberikan darah anjing reservoir dengan angka mikrofilaremik tinggi.

Gambar 4. Grafik viabilitas larva pada nyamuk Aedes aegypti dengan berbagai tingkat infeksi mikrofliaria (rendah, sedang dan berat).

Palmer, Wittrock dan Chistensen (1986) mengemukakan hasil pemeriksaan ultrastruktur tubulus malpighian Ae. aegypti yang diinfestasi dengan mikrofilaria D. immitis, pada 2-10 hari diperoleh bahwa mikrofilaria merusak sel-sel tubulus malpighian secara total dan infeksi berat bertanggung jawab terhadap kerusakan sistem ekskresi dan kematian bagi vektor.

Jika dianalisis dengan ANOVA one way yang disajikan dalam Tabel 2 perbedaan nyata ditandai dengan (p<0,05) atau sg 0,010 < 0,05. Dalam tabel tersebut terlihat bahwa tingkat infeksi 10.395 mf/ml dan 1.430 mf/ml tidak terdapat perbedaan spesifik dimana 0,250 > 0,05 dan pada tingkat infeksi 1.430 mf/ml dengan 330 mf/ml juga tidak terlihat perbedaan nyata yaitu 0,145 > 0,05. Sehingga dapat diketahui bahwa tingkat infeksi 10.395 dengan tingkat infeksi 330 mf/ml mengalami perbedaan yang spesifik. antara 10.395 mf/ml dengan 330 mf/ml ini dikarenakan kemampuan nyamuk untuk menampung larva berkembang lebih berpeluang besar pada tingkat infeksi rendah daripada tingkat

0 20 40 60 80 100 120

1 3 6 9 12

RATA-RATA (%)

HARI

330 mf/ml darah 1.430 mf/ml darah 10.395 mf/ml darah

(6)

infeksi tinggi, hal ini dipengaruhi jumlah larva yang terkandung dalam anjing reservoir yang terhisap oleh nyamuk. selain itu, dapat juga dipengaruhi karena bulu yang tebal dan keaktifan anjing saat diinfeksikan dengan nyamuk berulang kali.

Tabel 2. Viabilitas Larva Nyamuk Ae, Egypti Diuji dengan ANOVA One Way

2. Viabilitas larva pada nyamuk Aedes albopictus

Nyamuk Ae. albopictus juga berperan dalam proses penyebaran penyakit dirofilariasis.

Berdasarkan pendapat Apperson, dkk (1989) bahwa turunnya viabilitas vektor pada awal pengamatan disebabkan oleh pergerakan dan aktivitas biologis larva dalam tubulus malpighian. Menurut Konishi (1989a), adanya larva intraseluler menimbulkan kerusakan umum dan gangguan fungsi tubulus malpighian yang mengancam kehidupan vektor. Perubahan kemampuan vektor dalam hal mempertahankan viabilitas larva dalam tubuhnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik viabilitas larva pada nyamuk Ae. albopictus dengan berbagai tingkat infeksi mikrofilaria (rendah, sedang dan berat).

Tingkat infeksi 330 mf/ml darah pada hari pertama viabilitas mencapai 83,1 % dan terus mengalami penurunan hingga mencapai hari ke-12 yakni 57,4 %. Begitu pula dengan tingkat infeksi

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0

1 3 6 9 12

RATA-RATA (%)

HARI

330 mf/ml darah 1.430 mf/ml darah 10.395 mf/ml darah

Tabel 2. Viabilitas larva nyamuk Ae. aegypti diuji dengan ANOVA one way

Reservoir N

Subset for alpha = 0.05

1 2

Tukey HSDa

10.395 mf/ml

5 53,9200 1.430

mf/ml

5 65,7200 65,7200

330 mf/ml 5 80,0000

Sig. ,250 ,145

(7)

1.430 mf/ml darah dan 10.395 mf/ml darah. Pada hari pertama larva masih dapat bertahan hidup hingga mencapai 70 % dan 64,48 %. Dan seiring berjalannya waktu, kemampuan nyamuk untuk mempertahankan kehidupan larva di dalam tubuhnya semakin menurun. Pada hari ke-12 dengan infeksi 1.430 mf/ml mencapai 54,98 % sedangkan infeksi 10.395 mf/ml darah hanya mampu bertahan sebanyak 45,64 % .

Penelitian yang dilakukan oleh Parker (1993) pada nyamuk Ae. taeniorhyncus, diketahui bahwa nyamuk dengan angka mkrofilaremia 43.400 mf/ml darah memiliki viabilitas lebih tinggi dibandingkan dengan nyamuk dengan angka mikrofilaremia 21.700 mf/ml darah. Hal ini disebabkan oleh kemampuan nyamuk Ae. taeniorhyncus dalam mentolerir larva cacing di dalam tubuhnya dan kemampuan ini pada spesies nyamuk berbeda.

3. Viabilitas larva pada nyamuk C. quinquefasciatus

Kemampuan larva bertahan dalam tubuh nyamuk C. quinquefasciatus dengan tingkat infeksi 10.395 mf/ml, 1.430 mf/ml dan 330 mf/ml darah yaitu 58,7 %, 49,7% dan 36,0%. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6. Fluktuasi grafik terlihat semakin menurun dari hari pertama hingga mencapai hari ke- 12. Sama seperti nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus yang memiliki persentase tertinggi terdapat pada tingkat infeksi rendah. Hal ini sessuai dengan penelitian (Karmil, 2002) bahwa nyamuk yang diinfeksikan dengan angka mikrofilaremik rendah berkisar 67,20 % dan yang diberikan darah anjing mikrofilaremik tinggi viabilitas larva berkisar 35,70 %.

Menurut laporan (Karmil,2002), nyamuk C. quinquefasciatus yang digigitkan pada anjng dengan tingkat mikrofilaremik tinggi 42.000 mf/ml darah, pada hari ke-5 larva hidup tidak lagi ditemukan dalam thorak dan usus tengah, tetapi pada hari ke- 7-9 larva yang hidup ditemukan kembali di bagian thoraks dan usus tengah. Hal ini diduga sebagai konsekuensi dari mikrofilaremik tinggi dan peristiwa peningkatan kasus “migrasi serentak” (Abraham, 1988). Hal ini menyebabkan sebagian larva gagal bermigrasi dai usus tengah menuju ke tubulus malpighian dan larva mengaami aberasi dan kembali ke bagian thoraks.

Gambar 6. Grafik viabilitas larva pada nyamuk C. quinquefasciatus dengan berbagai tingkat infeksi mikrofliaria (rendah, sedang dan berat).

Kemampuan larva bermigrasi serentak terdapat pada nyamuk C. quinquefasciatus. Namun peristiwa ini tidak berlangsung lama, karena pada akhirnya larva berusaha kembali untuk bermigrasi kembali ke dalam tubulus malpighian dan dibuktikan pada hari ke-9 jumlah larva yang ditemukan di

0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0 120,0

1 3 6 9 12

RATA-RATA (%)

HARI

330 mf/ml darah 1.430 mf/ml darah 10.395 mf/ml darah

(8)

dalam tubulus malpighian meningkat secara nyata. Peristiwa migrasi serentak tidak ditemukan pada infeksi mikrofilaremik tinggi pada nyamuk Ae. albopictus.

PENUTUP Kesimpulan

Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa viabilitas mikrofilaria pada ketiga jenis nyamuk yaitu Ae. aegypti, Ae. albopictus dan C. quinquefasciatus secara berurutan mulai dari infeksi rendah hingga infeksi tinggi adalah (Ae. aegypti ; 80,08 %, 65,72 % dan 53,92 %); (Ae. albopictus ; 70,26 %, 62,31 % dan 55,79 %) serta (C. quninquefasciatus ; 78,47 %, 61,93 % dan 54,27 %) sehingga ketiga jenis nyamuk tersebut berpotensi untuk menyebarkan penyakit dirofilariasis. Hal ini sangat tergantung dari jumlah mikrofilaria yang terkandung dalam host defenitif. Semakin rendah tingkat infeksi maka semakin besar kemampuan nyamuk berpotensi menyebarkan penyakit.

Saran

Perlu dilakukan penelitian untuk melihat kemampuan ketiga jenis nyamuk dalam memindahkan Larva infektif (L3) ke hewan negatif Dirofilaria immitis.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham,D., M.Mok., M. Mika-Grieve and R.B Grieve. 1988. In vitro Culture of Dirofilaria immitis Third and Fourth-stage Larvae Under Definied Conditions. J.Parasitol 73(2): 377-383.

Apperson, C. S., B. Engber and J. F. Levine. 1989. Relative Susceptibility of Aedes albopyctus and Aedes aegypti in North Carolina to Support Development of Dirofilaria immitis. J. Am. Mosq.

Control Assoc. 5(3): 377-382.

Christensen, B.M., Lafond and L.A Christensen. 1986. Defence reactions of Mosquitoes to Filarial worm: Effect of Host Age on The Immune Response to Dirofilaria immitis microfiariae. J.

Parasitol. 72 (2): 212-215.

Dharmojono. 2003. Anjing permasalahan dan pemecahan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Georgi, J. R. 1989. Parasitology for Veterinarians. W.B. Saunders Company. Philladelphia, USA. p.

2589.

Handharyani, R dan R. Wulansari. 1995. Infeksi Dirofilaria Immitis pada Kajian Patologik. Media Veteriner 2(1): 35-40.

Huminto H., D. Ratih., E. Herlina., S.Estuningsih., I. W. T. Wibawan., S. Bahagia., K. Uchida., R.

Yamaguchi and S.Tateyama. 1995. A comparative Epidemilogical Studi on Canine Disease between Bogor, Indonesia and Miyazaki, Japan, During a 5 years Period from 1990-1994.

Symposium of International Scientific Research Program Between Miyazuki University , Japan and Bogor Agricultural University, Indonesia. p. 1-9.

Jones, L.M., M. V,. Meisch and F. L. Farmer.1993. Survey of dirofilaria in Arkansas. Operat. And Sci. Notes. J.Am.Mosq. Control Assoc. 9(2): 235-237.

Karmil, T.F. 1996. Perkembangan Mikrofilaria Dirofilaria immitis Temuan Lokal dalam Tubuh Nyamuk Aedes aegypti Strai Liverpool yang diinfeksikan secara terkendali. Thesis. Program Pascasarjana Institut Pertaniam Bogor, 85 hal.

Karmil, T.F. 2002. Studi Biologis dan Potensi Vektor Alami Dirofilaria immitis sebagai landasan penyiapan bahan hayati. Disertasi. IPB.

Konishi, E.1989. Culex tritaeniorchinchus and Aedes albopyctus (Diptera’; Culicidae) as Natural vector of Dirofilaria immitis (Spirurida: Filariidae) in Miki City. Japan med. Entomol. 26(4) : 420-424.

Lok JB. 1988. Dirofilaria Sp: Taxonomy and Distribution. Di dalam: Boreham PFL dan Atwell RB, editor Dirofilariasis. CRC Press. 28 hal.

(9)

Lowrie, R.C. 1991. Poor Vector Efficiency of Culex quinquefasciatus Following Infection with Dirofilaria immitis.J. Am. Mosq. Control Assoc. 7 (1): 30-36.

Manalu R.R. 2008. Faktor Risiko Manajemen Pemeliharaan Anjing Terhadap Kejadian Infeksi Dirofilaria Immitis Di Wilayah Pulau Jawa Dan Bali. Skripsi. Program Sarjana Institut Pertanian Bogor, 52 hal.

Nappi,A.J and B.M Christensen. 1986. Hemocyte cell surface change in Aedes aegypti in response to microfilariae of Dirofilaria immitis. J. Parasitol. 72(6): 876-879.

Palmer, C.A., D.D Wittrock and B.M Christensen. 1986. Ultrstucture of Malphigian tubulus of Aedes aegypty infected with Dirofilaria immitis. J. Inverte. Pathol 48(3): 310-317.

Parker, B.M. 1993. Presumed Dirofilaria immitis Infections from Field-colected mosquitoes in North Carolina. J.Am.Mosq. Control. Assoc. 2(2): 231-233.

Parrott, Y., P. E. C. greiner and J. D. Parrott. 1984. Dirofilaria immitis Infection in Three Ferrets.

JAVMA. 184(5): 582-583.

Partono, F., S. Oemiyati, Hoedojo, A. Joesoep, H. Sajidiman, J. Putrali, M. D Carko, W. P. Carney and J. H. Cross. 1977. Malayan Filariasis in Central Celebes, Indonesia. S.E.A. J. Trop. Med. Hlth.

8(4): 452-458.

Siegmund, H. O., C.M. Fraser., J.Archilbald., D.C. Blood., J.A. Henderson., P.M. Newbwern., G.H.

Sneyenbos and S.W.L. Wiepers. 1979. The Merck Veterinary Manual. A handbook of Diagnosis and Therapy for Veterinarians. 4th.Ed Merck and Co.Inc. Rahway, N.J. USA.

Smyth, J.D. 1981. Introduction to Animal Parasitology. Lomdon, Toronto. pp. 208-311.

Widodo, S. dan T.F. Karmil. 1995. Cacing jantung Dirofilaria immitis pada Anjing. Media vet.

2(1):25-34.

Gambar

Gambar  1.  Grafik  viabilitas  larva  pada  nyamuk  Ae.  aegypti,  Ae.  albopictus  dan  C
Gambar  3.  Tahap  perkembangan  mikrofilaria  dan  larva  D.  immitis  dalam  tubuh  nyamuk
Gambar  4.  Grafik  viabilitas  larva  pada  nyamuk  Aedes  aegypti  dengan  berbagai  tingkat  infeksi  mikrofliaria (rendah, sedang dan berat)
Tabel 2. Viabilitas Larva Nyamuk Ae, Egypti Diuji dengan ANOVA One Way
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Kateterisasi jantung : Pemeriksaan kateterisasi jantung penting dilakukan untuk menilai derajat insufisiensi aorta pada penderita yang insufisiensinya dinilai sedang

Hasil identifikasi FMEA diperoleh nilai RPN tertinggi yaitu 245 pada proses Paper Machine, dengan mode kegagalan yaitu dirty, dengan penyebab utama kotoran terlarut dalam

Gambar 18 Perbandingan pola sebaran panas diameter 12 cm bahan bakar sekam padi hasil plot data dan interpolasi lagrange terhadap jarak pada dinding reservoir untuk

Hasil dari penelitian ini membantu pihak Biro 3 dalam mempersingkat atau menghemat waktu dalam pengambilan keputusan seleksi bagi penerima beasiswa Biro 3 UKDW,

17.  Dua  buah  stasiun  angkasa  luar  yang  sebelumnya  terpisah  dengan  jarak  20  km  bergerak 

Dengan menggunakan data koordinat ekuatorial tahun 2000 untuk rasi Biduk Besar (Ursa Major ), bintang Polaris, dan Pleiades yang diberikan pada Tabel 1, hitunglah