• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Istimewa Yogyakarta. Data profil kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Istimewa Yogyakarta. Data profil kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta pada"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu daerah tingkat II di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Data profil kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta pada semester pertama tahun 2015, terdapat 279.155 penduduk usia produktif di Kulon Progo yang terdiri dari 45.448 berjenis kelamin laki-laki dan 42.765 berjenis kelamin perempuan (www.kependudukan.jogjaprov.go.id).

Penduduk usia produktif terdaftar sebagai pekerja di Kabupaten Kulon Progo pada bulan Agustus 2015 sebesar 8.521 pekerja. Pekerja tersebut terbagi dalam sembilan sektor pekerjaan yaitu: pertanian, pertambangan, industri, listrik, gas, dan air, bangunan, perdagangan, angkutan dan komunikasi, keuangan dan asuransi, serta jasa (Dinsosnakertrans Kulon Progo, 2015). Pekerja di sektor industri merupakan pekerja yang jumlahnya paling banyak, yaitu sebesar 4.613 orang yang terdiri dari 3.630 orang pekerja perempuan dan 983 pekerja laki-laki.

Lebih lanjut, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Kulon Progo

menyebutkan bahwa jumlah pengangguran di wilayah Kulon Progo mencapai angka

8.331. Angka tersebut mencapai 3,081% dari jumlah angkatan kerja yang ada

(kulonprogonews.com). Pertumbuhan angkatan kerja yang tidak sebanding dengan

kesempatan kerja yang ada merupakan masalah pokok yang dihadapi Kulon Progo dalam

bidang ketenagakerjaan. Minimnya lapangan pekerjaan di wilayah Kulon Progo membuat

tenaga kerja memilih bekerja di luar daerah maupun di luar negeri. Pemerintah Kulon

Progo masih membuka peluang warganya untuk bekerja di luar negeri baik di sektor

(2)

formal maupun informal. Hal ini dilakukan untuk menyalurkan angkatan kerja yang melimpah jumlahnya (Harian Jogja.com).

Usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kulon Progo untuk menyalurkan angkatan kerjanya yaitu dengan mengajak investor-investor untuk membangun industri di wilayah Kulon Progo. Pembangunan industri diharapkan mampu menampung angkatan kerja di wilayah Kabupaten Kulon Progo sehingga dapat meningkatkan perekonomian Kulon Progo secara umum. Saat ini sudah ada 60 industri skala sedang dan besar di Kabupaten Kulon Progo. Industri tersebut sudah menampung 4.613 pekerja, namun jumlah tersebut belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan lapangan kerja yang diperlukan. Rencana pembangunan kawasan industri yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Kulon Progo terletak di Kecamatan Sentolo dengan luas 800 ha.

Kawasan tersebut berpotensi menyerap tenaga kerja sebesar 720.000 tenaga kerja (tribunnews.com).

Keberhasilan suatu perusahaan atau industri sangat ditentukan oleh kinerja sumber daya manusianya (Susilowati, 2013). Kinerja pekerja erat kaitannya dengan motivasi kerjanya (Aini, 2014). Lebih lanjut, kesuksesan organisasi dalam mencapai target yang telah ditetapkan berhubungan erat dengan motivasi kerja karyawan atau pekerjanya.

Motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas karyawan

dalam bekerja Motivasi menunjukkan kondisi yang menggerakkan karyawan dalam

melaksanakan pekerjaan dan menimbulkan semangat atau gairah kerja (Widhayanti,

2004)

.

Pekerja yang memiliki motivasi kerja tinggi akan memiliki efek positif bagi

organisasi, sebaliknya motivasi kerja yang rendah dapat berpengaruh negatif bagi

perusahaan (Steers & Porter, 1983). Rendahnya motivasi kerja berpengaruh terhadap

rendahnya produktivitas kerja. Seseorang dengan kemampuan tinggi, namun motivasinya

rendah maka produktivitasnya dapat menurun (Damayanti, 2005).

(3)

Motivasi kerja berdasarkan sumbernya dibedakan menjadi dua yaitu motivasi kerja berdasarkan motif ekstrinsik dan motivasi kerja berdasarkan motif intrinsik (Luthans, 2006). Motivasi kerja berdasarkan motif ekstrinsik yaitu dorongan perilaku kerja yang dikontrol oleh penghargaan dari luar diri individu, sedangkan motivasi kerja berdasarkan motif intrinsik yaitu perilaku kerja yang dikontrol oleh penghargaan dari dalam diri individu. Demikian pula diungkapkan oleh Vallerand dan Ratelle (2002) yang menyatakan bahwa motivasi kerja intrinsik merupakan dorongan untuk bekerja yang muncul dari kesenangan dan kebutuhan karyawan terhadap pekerjaan tersebut. Sementara itu, motivasi kerja ekstrinsik merupakan dorongan untuk bekerja yang muncul dari luar pekerja dan tidak melekat dalam diri. Lebih lanjut, dalam penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2009) disebutkan bahwa motivasi kerja intrinsik dan motivasi kerja ekstrinsik berpengaruh secara nyata terhadap kinerja karyawan atau pekerja.

Pekerja pada suatu perusahaan dibagi menjadi dua macam yaitu white collar workers dan blue collar workers. White collar workers adalah pekerja yang bekerja di

dalam kantor atau di lingkungan professional, pada umumnya mereka menggunakan pakaian berkerah putih, sedangkan Blue collar workers adalah pekerja pada kelas buruh yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan manual, seperti pekerjaan produksi, penambangan, mekanik, dan pekerjaan fisik lainnya. Pada awal berkembangnya masa industri di Amerika, mereka umumnya mengenakan pakaian berkerah biru (Kirkegaard & Larsen, 2011).

Kirkegaard dan Larsen (2011) menemukan bahwa pekerja tingkat produksi atau blue collar workers lebih menyukai motif-motif yang bersifat ekstrinsik seperti gaji dan

kebijakan perusahaan, sementara itu pekerja pada tingkat profesional atau white collar

workers lebih menyukai motif-motif yang bersifat intrinsik seperti pencapaian, pekerjaan

itu sendiri dan pengakuan untuk meningkatkan motivasi kerjanya, namun berbeda dengan

(4)

hal tersebut, pada penelitian yang dilakukan oleh Schmitz (2014) pada pekerja produksi di Cina menemukan bahwa pekerja tingkat produksi saat ini juga memiliki orientasi pengembangan diri, sehingga mereka juga termotivasi secara intrinsik. Pekerja tersebut menunjukkan pentingnya kebutuhan akan kompetensi dan adanya otonomi terhadap pekerjaannya. Lebih lanjut, penelitian Chang, Chan, Gudmundsson, dan Sawang (2011) yang menyatakan bahwa tingkat turnover pada blue collar workers dipengaruhi oleh pelaksanaan aturan dan sistem perusahaan, kepatuhan, penghargaan eksternal dan motivasi internal atau motivasi intrinsik pada pekerja.

Herzberg (dalam Aamodt, 2013) mempercayai bahwa faktor hiegieni atau faktor ekstrinsik merupakan faktor yang penting namun tidak cukup untuk menimbulkan kepuasan dan motivasi yang sesungguhnya. Apabila faktor hiegieni tidak diberikan secara memadai maka pekerja akan tidak puas dan tidak termotivasi, namun ketika faktor higieni telah terpenuhi maka kepuasan dan motivasi pekerja menjadi netral. Kepuasan kerja dan motivasi yang sesungguhnya hanya akan muncul apabila kedua faktor higieni dan motivator terpenuhi. Amabile (1993) mengemukakan bahwa beberapa jenis motivasi ekstrinsik dapat digabungkan secara sinergis dengan motivasi intrinsik, terutama ketika tingkat awal motivasi intrinsik tinggi. Kombinasi sinergis tersebut dapat meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja pekerja. Hal ini menunjukkan pentingnya motivasi kerja intrinsik dan motivasi kerja ekstrinsik pada pekerja untuk meningkatkan produktivitas kerja, kepuasan kerja, dan kinerja pekerja.

Blue collar workers merupakan salah satu posisi yang banyak dijalani oleh tenaga

kerja di Kabupaten Kulon Progo. Perindustrian di Kulon Progo telah menyerap banyak

tenaga kerja pada sektor industri, khususnya tenaga kerja perempuan. Hal ini dapat dilihat

dari data pekerja yang disampaikan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Kabupaten Kulon progo, yang mana terdapat 3.630 pekerja perempuan dan 983 pekerja

(5)

laki-laki di sektor industri. Demikian pula di enam sektor pekerjaan lainnya jumlah pekerja perempuan juga melebihi jumlah pekerja laki-laki yaitu sebesar 4.762 perempuan, sedangkan pekerja laki-laki hanya sebesar 3.759 orang (dinsosnakertrans Kulon Progo, 2015).

Besarnya jumlah pekerja perempuan menunjukkan bahwa terjadi pergeseran peran perempuan secara umum. Perempuan selain berperan sebagai ibu rumah tangga juga berperan sebagai pekerja atau pencari nafkah keluarga. Siagian (2000) mengemukakan beberapa faktor yang turut berpengaruh terhadap pergeseran peran perempuan sebagai pekerja. Faktor tersebut diantaranya yaitu, adanya tuntutan ekonomi yang semakin meningkat serta luasnya kesempatan bagi wanita untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, semakin terbukanya lapangan kerja bagi perempuan juga turut menarik minat perempuan menjadi pekerja. Industri-industri besar di Kulon Progo yaitu industri rambut palsu, industri rokok, dan industri bulu mata palsu, lebih memilih perempuan sebagai pekerjanya sehingga jumlah pekerja perempuan mencapai ribuan orang.

Syahfitriani dan Lubis (2007) mengungkapkan bahwa ada dua alasan yang merupakan motivasi wanita untuk bekerja yaitu kebutuhan ekonomi dan aktualisasi diri.

Kebutuhan yang pertama yaitu kebutuhan ekonomi. Penghasilan tunggal dalam keluarga

dianggap tidak mencukupi kebutuhan keluarga saat ini. Kebutuhan yang kedua yaitu

aktualisasi diri seperti keinginan untuk pengembangan karir, dan keinginan bekerja itu

sendiri. Alasan perempuan memasuki dunia kerja juga berkaitan dengan kepuasan hidup,

terutama pada perempuan yang belum menikah atau berstatus belum kawin. Pekerjaan

memberikan kepuasan hidup yang dapat membantu kemandirian perempuan dalam hal

kemandirian finansial, mempunyai banyak teman, memiliki sahabat dekat, dukungan

keluarga, banyaknya kesibukan, dan kegiatan sosial (Maulida, 2014). Kebutuhan ekonomi

(6)

atau finansial, kebutuhan akan hubungan pertemanan, atau hubungan interpersonal merupakan salah satu bentuk motif yang bersifat ekstrinsik, sedangkan keinginan untuk memiliki kesibukan, mengikuti kegiatan sosial atau aktualisasi diri, merupakan motif yang bersifat intrinsik.

Terdapat 3.630 pekerja perempuan yang bekerja di sektor industri di wilayah Kabupaten Kulon Progo. C.V. Berkah Karunia merupakan salah satu industri yang memperkerjakan 200 pekerja perempuan untuk memproduksi bulu mata. C. V. Berkah Karunia melakukan beberapa usaha untuk meningkatkan motivasi kerja pekerjanya, diantaranya yaitu memberikan bonus upah yang lebih besar pada pekerja yang mampu menyelesaikan target produksi setiap bulannya. C.V. Selain itu, C. V. Berkah Karunia akan mengurangi insentif pekerja yang tidak disiplin masuk kerja, namun bagi pekerja yang sudah berkeluarga diberi kemudahan izin untuk menyelesaikan urusan keluarga di antara waktu kerja. Hal tersebut membuat pekerja termotivasi secara ekstrinsik agar dapat senantiasa hadir di lokasi kerja dan memproduksi bulu mata yang lebih banyak.

Masing-masing pekerja di C.V. Berkah Karunia diberi kebebasan untuk memilih model bulu mata yang akan dibuat dan menentukan target tiap harinya untuk memenuhi target bulanan. Bagi pekerja yang telah mahir diberi kesempatan untuk menjadi pelatih bagi pekerja baru. Hal tersebut dapat memotivasi pekerja secara intrinsik. Pekerja mendapat kebebasan memilih model bulu mata sesuai dengan kesenangan dan kebutuhan individu. Selain itu, dengan adanya kebebasan mengatur target produksi harian akan menimbulkan perasaan tanggung jawab dalam diri tiap pekerja. Adanya kesempatan untuk menjadi pelatih bagi pekerja baru juga memberikan rasa penghargaan dalam diri pekerja.

Rendahnya motivasi kerja di C.V. Berkah Karunia dapat dilihat dari produktivitas

pekerja. Produktivitas kerja yang rendah menunjukkan adanya motivasi kerja yang rendah

(Purnama, 2008), lebih lanjut disiplin kerja yang rendah juga menunjukkan adanya

(7)

motivasi kerja yang rendah (Fitriana, 2010). Berdasarkan data hasil kerja C.V. Berkah Karunia, rata-rata produktivitas pekerja setiap bulannya kurang dari 750, sedangkan rata- rata ideal yang diharapkan yaitu antara 850 hingga 1000 pieces per bulan. Lebih lanjut, rendahnya motivasi kerja dapat dilihat melalui absensi pekerja. Absensi pekerja C.V.

Berkah Karunia setiap bulannya kurang dari 100%. Rata-rata absensi kehadiran pekerja di setiap kelompok yaitu 92% (Dokumen data hasil kerja C. V. Berkah Karunia tahun 2015).

Wahjosumidjo (1987) mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap motivasi yaitu unsur status sosial budaya individu. Status sosial budaya diantaranya adalah status perkawinan. Status perkawinan menentukan peran dan tanggungjawab individu dalam masyarakat sehingga berpengaruh terhadap motif-motif yang mendasari perilaku pekerja perempuan di tempat kerjanya. Hal ini didukung oleh Chon, Pine, Jeoased, dan Zhang (2009) bahwa orang yang berbeda memiliki tingkat motivasi yang berbeda tergantung pada karaketeristik personalnya. Karakteristik personal tersebut yaitu gender, pendapatan, tingkat pendidikan, dan status perkawinan. Masvare, Ruggunan, dan Maharaj (2014) menambahkan bahwa usia dan status perkawinan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap kepuasan kerja, motivasi intrinsik, dan work engagement.

Status Perkawinan berpengaruh pada sikap terhadap gaji dan keuangan, terutama

sikap terhadap upah dan perilaku kerja yang berkaitan dengan upah. Pria dan wanita yang

sudah menikah melihat upah lebih penting dan kurang puas dengan kondisi keuangannya

daripada mereka yang belum menikah (Gorman, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa

pekerja perempuan yang sudah menikah lebih positif terhadap dorongan dari sumber

eksternal daripada pekerja perempuan yang belum menikah, sehingga pekerja perempuan

berstatus kawin memasuki dunia kerja karena motif ekstrinsik atau lebih termotivasi

secara ekstrinsik.

(8)

Lain halnya dengan pekerja perempuan berstatus belum kawin, perempuan tunggal dan tidak mempunyai anak dilihat kurang mempunyai ikatan dan tanggung jawab terhadap rumah tangga, lebih mobile dan bersedia pindah jika kariernya lebih maju, berdedikasi terhadap karier, bersedia bekerja lebih lama dan waktu untuk kegiatan sosial kurang (Flanders dalam Munandar, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa pekerja perempuan yang berstatus belum kawin memasuki dunia kerja dipandang lebih karena alasan-alasan personal atau kondisi internal atau motif intrinsik, sehingga dapat dikatakan lebih termotivasi secara intrinsik.

Berdasarkan uraian di atas, membuat peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada perbedaan motivasi kerja intrinsik dan motivasi kerja ekstrinsik antara pekerja perempuan berstatus kawin dan pekerja perempuan berstatus belum kawin di C.V. Berkah Karunia, Kulon Progo.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris ada tidaknya perbedaan motivasi kerja intrinsik dan motivasi kerja ekstrinsik antara pekerja perempuan yang berstatus belum kawin dan kawin di C.V. Berkah Karunia, Kulon Progo.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah khasanah pengetahuan dalam pengembangan ilmu psikologi di bidang industri dan organisasi pada bahasan mengenai motivasi kerja khususnya pada perbedaan motivasi kerja intrinsik dan motivasi kerja ekstrinsik pekerja perempuan berdasarkan status perkawinan.

(9)

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan masukan industri dan/atau organisasi dalam memahami penghargaan apa yang dihargai pekerja, memahami hubungan antara penghargaan dan kinerja pekerja dan membuat kinerja yang diinginkan tercapai.

b. Sebagai bahan masukan industri dan/atau organisasi dalam menyusun rencana

kompensasi pekerja.

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Teguh Wahyono (2003 : 3) Informasi merupakan hasil dari pengolahan data menjadi bentuk yang lebih berguna bagi yang menerimanya yang menggambarkan suatu

transaksi pada media kertas. Membutuhkan media penyimpanan yang banyak, membuat perhitungan dan pembuatan laporan koperasi pertahun menjadi terlambat. Juga

Sehubungan dengan telah dilakukannya evaluasi administrasi, evaluasi teknis, evaluasi harga dan evaluasi kualifikasi serta formulir isian Dokumen Kualifikasi untuk

Sumber informasi yang peneliti pilih dalam pembuatan video feature ini adalah Gicela Miftanisa sebagai owner dari Gees Handmade, karena dia sudah memiliki

Data flow diagram (DFD) menurut Andri Kristanto (2004 : 66) , adalah suatu model logika data atau proses yang dibuat untuk menggambarkan dari mana asal data

Namun berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, di dalam penanganan sistem pengolahan data inventory bahan baku gudang masih belum mempunyai database (pangkalan

Berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Lelang Nomor : 07/TAP/DISDIK-17/POKJA/2015 tanggal 31 Juli 2015 tentang Penetapan Pemenang Lelang Paket Pekerjaan Pembangunan Pagar SDS Cot

Pemanfaatan sistem informasi memiliki tujuan sesuai dengan tujuan organisasi. Setiap organiasi memiliki tujuan sendiri-sendiri yang tergambarkan dan program visi dan misi