• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN EMANSIPATORIS DALAM SISTEM RITUAL AGAMA HINDU. Oleh I Wayan Latra, S.Ag,M.Si. NIP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GERAKAN EMANSIPATORIS DALAM SISTEM RITUAL AGAMA HINDU. Oleh I Wayan Latra, S.Ag,M.Si. NIP"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

GERAKAN EMANSIPATORIS DALAM SISTEM RITUAL AGAMA HINDU

Oleh

I Wayan Latra, S.Ag,M.Si.

NIP 195812311981031049

UPT PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA UNIVERSITAS UDAYANA

2018

(2)

KATA PENGANTAR

Oý Swastyastu

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadapan Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Mahaesa atas rahmat yang dilimpahkan sehingga penelitian yang berjudul“Gerakan Emansipatoris Dalam Sistem Ritual Agama Hindu” dapat diselesaikan. Dalam pelaksanaan penelitian ini tidak sedikit hambatan yang dihadapi, namun berkat karunia-Nya akhirnya segala rintangan tersebut dapat diatasi.

Keberhasilan penelitian ini berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu saya sampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya, kepada semua pihak yang telah membantu hingga selesainya tulisan ini

Disadari sepenuhnya atas keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Untuk hal itu diharapkan masukan, kritik, dan saran dalam penyempurnaannya, serta untuk menambah wawasan dan cakrawala pengetahuan peneliti.

Akhirnya atas segala bantuan Bapak/Ibu/Sdr., peneliti doakan semoga mendapat pahala yang berlipat dari Tuha Yang Mahaesa.

Oý Úàntiá, Úàntiá, Úàntiá, Oý

Denpasar, Juni 2018 Peneliti,

(3)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ……….

DAFTAR ISI ………

i

ii

I PENDAHULUAN……….……… 1

1.1 Latar Belakang ………...………..

1.2 Rumusan Masalah ………...………

1.3 Tujuan Penulisan ………..………

1 3 4

II GERAKAN EMANSIPATORIS DALAM SISTEM RITUAL AGAMA HINDU 4 2.1. Masuknya Pengaruh Asing ke Bali ……….

2.2 Sistem Kepemimpinan Ritual Dalam Agama Hindu ………

2.3. Gerakan Emansipatoris Pada Komunitas Hindu Bali ……….

6 8 10

III KESIMPULAN ………...………..……… 13

IV DAFTAR PUSTAKA………. 14

(4)

GERAKAN EMANSIPATORIS DALAM SISTEM RITUAL AGAMA HINDU

I PENDAHULUAN

Realitas sosial keagamaan akhir-akhir ini menjadi suatu komoditi yang begitu banyak mendapat sorotan di wilayah Negara Indonesia. Fenomena tersebut bertalian dengan aspek system kepercayaan yang dianut oleh warga Negara dalam upaya merealisasikan keyakinannya terhadap kekuatan yang super natural. Pemerintah telah menetapkan perangkat konstitusi yang memberikan jaminan kebebasan bagi tiap-tiap warga Negara dalam menggunankan haknya yang paling hakiki dalam memilih salah satu dari enam agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Upaya tersebut diharapkan mampu membentuk suatu tatanan tertib sosial yang secara berkesinambungan mampu menciptakan hubungan yang harmonis inter, antar umat beragama serta antar umat beragama dengan pemerintah.

Sehingga dengan terpeliharanya hubungan yang harmonis melalui wahana system agama dan kepercayaan kepqda yang Adi Kodrati diharapkan mampu mewujudkan reversibilitas kehidupan sosial.

1.1 Latar Belakang

Manusia bukan hanya elemen dari system sosial, akan tetapi menyatu dengan lingkungan alam, yakni panggung, lokalitas atau ruang tempat mereka beraktivitas. Aktivitas mereka tidak bersifat acak, melainkan berpola karena mereka memiliki kebudayaan yang di dalamnya mencakup

(5)

pengetahuan, gagasan, nilai, norma, ideology, kepercayaan dan agama (Geertz, 1973, Spradley, 1972 dalam Atmaja, 2004:1). Terintegrasinya setiap elemen dalam kebudayaan tersebut menimbulkan suatu interaksi yang saling komplementer. Eksistensi ini dalam suatu komunitas yang dinamis setidaknya dapat mewujudkan system kesetimbangan antar komponenen dalamsusistem kebudayaan tersebut.

Salah satu aspek yang menonjol yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan upaya meredam munculnya maslah-maslah sosial adalah pengamalan ajaran agama. Dengan pengamalan ajaran agama yang dianut secara mantap dalam perilaku kehidupan sehari-hari baik sebagai individu, dalam keanggotaan keluarga maupun di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan Negara. Dan jika melihat akar budaya bangsa Indonesia pada prinsipnya pola kerukunan kehidupan beragama baik intern maupun antara umat beragama tertanam sangat kokoh yang merupakan jati diri kepribadian bangsa di mata bangsa-bangsa lain di muka planet bumi ini.

Pada tingkatan yang paling pribadi pengamalan ajaran agama memberikan suatu fungsi membantu manusia memanusiakan dirinya. Dalam arti pada tingkat ini ajaran agama dpat digunakan sebagai pedoman hidupnya sertamemformulasikan tujuan-tujuan hidupnya baik sifatnya dalam aspek jasmaniah maupun dalam aspek rohaniah. Dengan memiliki suatu bentuk keyakinan yang mantap mereka mampu bertahan hidup sekalipun dalam kondisi yang kritis.

Dalam hubungannya dengan individu laindi tengah-tengah masyarakat,gama membantu manusia menetapkan peran dan

(6)

tanggungjawabnya sebagai suatu anggota keluarga manusia. Salah satu yang utama ditawarkan oleh agama-agamakepada manusia adalah kedamaian. Kedamian dengan diri sendiri, kedamaian dengan orang lain, kedamaian dalam masyarakat, kedamaian di dunia ini, bahkan kedamaian di akhirat (Gunadha, 2001:2). Konsep kedamaian ini yang dalam orientasi kepentingan nasional jika betul-betul diterapkan dalam perilaku kehidupan beragama diharapkan mampu memciptakan kerukunan hidup.

Namun ketika persoalan, antara lain manakala orang sulit membedakan antara agama yang diberi peran sebagai “jalan” menuju

“tujuan”, dan agama sebagai tujuan. Dalam pengertian ini, perbedaan bukanlah sesuatu yang aneh. Karena itu tidak seharusnya perbedaan menyebabkan orang ermusuhan. Ketika agama menjadi satu-satunya dan segala-galanya, di sinilah yang menjadi masalah, karena tidak ada ruang bagi orang lain. Apa pun yang ada di sekitarnya dipandang sebagai ancaman, saingan (Sarapung, 2001:xix). Fenomena tersebut memiliki tendensi memunculkan gerakan sosial keagamaan yang erupaya mengadakan suatu perubahan yang dilandasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana gerakan Emansipatoris sosial-keagamaan dalam ritual keagamaan?

b. Bagaiman pengaruh asing terhadap ekstensi masyarakat Hindu di Bali dewasa ini?

c. Bagaimana sistem kepemimpinan dalam mengantar ritual agama Hindu?

(7)

d. Konflik apa yang terjadi akibat gerakan emansipatoris pada komunitas Hindu Bali?

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui gerakan Emansipatoris sosial-keagamaan dalam ritual keagamaan.

b. Untuk mengetahui pengaruh asing terhadap ekstensi masyarakat Hindu di Bali dewasa ini.

c. Untuk memahami sistem kepemimpinan dalam mengantar ritual agama Hindu di Bali.

d. Untuk mengetahui apa yang terjadi akibat gerakan emansipatoris pada komunitas Hindu Bali.

II. GERAKAN EMANSIPATORIS DALAM SISTEM RITUAL AGAMA HINDU

Gerakan sosial-keagamaan merupakan suatu upaya untuk menciptakan eksistensi yang baru atau yang “direvitalisasi” yang sangat disukai bagi keadaan yang sekarang. Gerakan ini dalam tesis Harris secara khusus terjadi dalam kondisi-kondisi ketegangan atau krisis sosial yang ekstrim seperti salah satunya terjadi penindasan dan eksploitasi mencapai batas-batas yang tidak dapat ditolerir. Gerakan sosial-keagamaan telah terjadi di banyak tempat dalah sejarah dan di seluruh dunia. Sesungguhnya gerakan ini mengandung unsure-unsur keagamaan maupun unsure politik dalam ideology dan strategi untuk melakukan perubahan (Sanderson, 2003:

532-533).

(8)

Gerakan sosial dalam bidang keagamaan juga terjadi ketika telah terbentuknya sentiment kelompok dalam setiap komunitas agama. Sentimen kelompok dapat muncul dalam situasi: (1) suatu kelompok diposisikan sebagai sub-ordinat, (2) memperoleh perlakuan yang dirasakan kurang adil, (3) bilamana satu atau dua kelompok dalam masyarakat bermaksud menyisihkan kelompok lainnya, (4) terjadi distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata, (5) kebutuhan komunitas umat secara sadar dan berencana untuk melakukan perubahan-perubahan, akibat perkembangan dalam lingkungan sosial keagamaan (Triguna, 2000:3).

Gerakan emansipatoris terjadi ketika terjadinya perlawanan kelompok yang termajinalisasi terhadap kelompok yang menghegemoni. Gerakan ini pada prinsipnya berupaya untuk menuntut distribusi kekuasaan dan wewenang dalam system sosial.

Analog dengan fenomena di atas, di bidang sosial-keagamaan khususnya yang muncul pada komunitas Hindu di Bali gerakan emansipatoris muncul dimotori oleh terjadinya ketidakadilan yang bertalian dengan distribusi kekuasaan dan wewenang dalam perilaku kehidupan sosial-keagamaan. Ada suatu indicator yang sangat transparan yang menunjukkan realitas ini yakni dalam distribusi kekuasaan dan wewenangdalam memimpin ritual. Pada kasus ini ada golongan yang merasakan dirinya termajinalisasi oleh kelompok super ordinat dalam hal memperoleh hak-hak yang bertalian dengan memimpin upacara ritual di pura-pura umum. Gerakan emansipatoris mencapai titikkulminasinya pada tahun 1999 yakni ketika terjadi tuntutan kelompok sub-ordinat yang terdiri dari warga Pasek, warga Pande dan warga

(9)

Bhujangga Waisnawa terhadap warga Brahmana dalam memposisikan Pendeta sebagai pemimpin ritual pada upacara panca wali karma di pura Besakih. Golongan sub-ordibnat mengadakan perlawanan terhadap tradisi yang telah mapan yang dianggap sebagai titik sentral munculnya ketidakadilan tersebut. Bagaimana gerakan tersebut bisa terjadi, sementara yang selama ini telah dikenal bahwasanya system kehidupan beragama Hindu di Bali menjadi penopang stabilitas budya yang pada beberapa kalangan member predikat yang adi luhung.

2.1 Masuknya Pengaruh Asing ke Bali

Ekstensi masyarakat Hindu di Bali dewasa ini dibentuk melalui diakronis yang panjang oleh Mpu Kuturan dengan konsep Tri Murti dan desa pekraman dengan menggunakan simbolis Kahyangan Tiga. Pada tataran sosio-religius diperkenalkan berupa konsep tri hita karana. Konsep ini yang hingga kini eksis sebagai suatu wahana dalam melandasi keajegan budaya Bali dengan menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan kekuatan adikodrati, hubungan antara manusia dengan sesamanya seta hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.

Secara historis masyarakat Hindu Bali juga banyak mendapatkan pengaruh secara eksternal seperti pengaruh Islam, Kristen, dan secara spesifik pengaruh yang datangnya dari dunia barat. Pengaruh dunia barat yang diterima Bali khusunya dalam bidang pendidikan, kesehatan, serta perubahan menuju peningkatan ekonomi. Dengan masuknya system pendidikan barat, di era tahun 1920-an menimbulkan ide-ide pembaharuan

(10)

yang dianggap merugikan jaba. Paham pembaharuan tersebut sampai juga pada masalah konsepsi kasta. Mobilitas kasta secara vertical dengan mengikuti konsep dharma memang mulai tampak semenak timbulnya golongan terpelajar, baik pada elit Tri Wangsa maupun pada elit jaba.

Konsepsi kasta yang menekankan pada pemisahan yang tegas dalam bidang pekerjaan tidak lagi diterapkan sepenuhnya, sehingga status kasta dipandang dari segi fungsinya sudah mulai kabur. Banyak dari golongan Brahamana tidak saja bertugas dalam bidang keagamaan, tetapi mengambil pekerjaan dalam bidang pemerintahan, bahkan ada yang bekerja di sawah. Demikian pula pada golongan kasta-kasta lainnya. Kekaburan ini sebenarnya sudah ada sejak permulaan diterapkannya konsepsi kasta di Bali (Putra Agung, 1974:107-108).

Keberlanjutan dari isu tersebut di atas memunculkan konflik antara golongan tri wangsa dengan jaba wangsa pada tahun 1920-an terjadi di belahan Bali utara. Adapun media yang digunakan sebagai wahana konflik tersebut adalah Bali Adnyana yang mewadahi golongan tri wangsa dan Surya Kanta untuk mewadahi golongan jaba wangsa. Pada dasarnya konflik yang

terjadi dimotori oleh golongan elit jaba wangsa karena ada keinginan akan perubahan dengan mengubah adat yang berlawanan dengan kemajuan zaman. Pada sisi lain golongan tri wangsa juga memberikan perlawanan lewat media bali adnyana yang pada prinsipnya ingin mempertahan status quo.

Hingga kini masih ada indikasi akan adanya beragam priksi untuk memperjuangkan golongan jaba, terutama yang terhimpun dalam berbagai

(11)

perkumpulan, seperti Mahagotra Sanak Sapta Rsi, Persatuan Bhujangga Waisnawa, dan Maha Semaya Warga Pande. Perkumpulan ini sesungguhnya

lahir untuk kepentingan ikatan warga, tetapi karena setiap warga terlibat kepentingan dan persaingan untuk memperoleh kedudukan dalam pemerintahan dan institusi pengambil kebijakan, seperti Parisada,Majelis Pembina Lembaga Adat, dan Listibya, kepentingan ikatan warga ini kemudian menjadi wadah memperjuangkan kepentingan politik yang bertujuan mendorong mobilitas kelas politik (Triguna, 1999:26).

Memasuki era 1990-an konflik tersebut mengalami translasi menuju ke arahsosio-religius. Fenomena ini ditandai dengan terjadinya perebutan kekuasaan dalam bidang keagamaan. Ada inddikator yang jelas mencandrakan hal ini yakni munculnya isu tentang otoritas pendeta yang berhak memimpin ritual agama Hindu di tempat-tempat suci yang umum.Puncaknya mencuat ke permukaan ketika upacara panca wali karma di Pura Besakih pada tahun 1999.Isu tersebut muncul atas tuntutan dari warga Bhujangga Waisnawa, Pasek, dan Pande terhadap golongan Brahmana wangsa dalam menggunakan Pendeta saat upacara keagamaan di pura terbesar di Bali tersebut. Adanya dinamika konflik menuju kea rah sosial keagamaan merupakan suatu bentuk perlawanan kelompok sub-ordinat terhadap kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh kelompok super- ordinat dalam menggunakan otoritasnya dalam system ritual keagamaan.

2.1 Sistem Kepemimpinan Ritual Dalam Agama Hindu

Untuk mengantarkan upacarasecra langsung dalam agama Hindu

(12)

dikenal dalam agama Hindu yakni rohaniawan yang ekajati dan rohaniawan yang dwijati. Rohaniawan yang dwijati dikenal dengan sebutan Pandita atau sulinggih yang dalan istilah nasional disebut dengan pendeta, sedangkan yang ekajadi dikenal dengan sebutan pinandita, pemangku, wasi dan sejenisnya (Ngurah dkk, 1999: 161-162). Rohaniawan yang telah melakukan dwijati dalam konsep agama Hindu yang diberi gelar Pandita atau Sulinggih sering juga diberi sebutanSadhaka.

Yang berperan sebagai yajamana dari yajna yang dilakukan umat adalah seorang sadhaka yang menjadi pemikir dan mempunyai tanggungjawab spiritual pelaksanaan yajna tersebut (Agastia, 2001: 8).

Sedangkan dalam lontar Bhuanakosa disebutkan bahwa sadhaka mencerminkan ia adalah orang yang berkewajiban melaksanakan sadhana dalam menempuh hidupnya (Suata, 2001:21).

Untuk menuju jalannya dharma, ada satu jalan sebagaimana diuraikan oleh Wijadhaka (2001:42), yakni mampu memposisikan diri sebagai Sadhaka, mengingat sadhaka mempunyai fungsi yang sangat strategis di dalam menuntun umat. Sadhaka adalah orang yang selalau mengejar kesunyataan, dengana melakukan upaya pendakian rohani secara terus menerus, melalui pemahaman sastra agama, serta mengkajinya lebih lanjut untuk diamalkan demi kepentingan umat yang lebih luas.

Para sadhaka tidak hanya harus mengajarkan bagaimana umat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, tetapi mengajarkan bagaimana sebaiknya mengatur hubungan sosial yang damai dan selaras antar manusia dan lingkungannya. Sejarah telah mencatat bahwa filosofi Tri Hita Karana

(13)

merupakan filosofi yang telah berhasil diwujudkan sebagai tugas suci umat Hindu mengkongkretkan jaringan kehidupan vertical dan horizontal yang diperlukan dalam menjawab tuntutan zaman, namun keberhasilan bukannya hadiah yang didapatkan begitu mudah, melainkan melalui perjuangan panjang yang tidak mengenal menyerah (Yasogama, 2000:47 dalam Gama, 2002: 143).

Dari beberapa pendapat mengenai pendeta Hindu dalam struktur sosial masyarakat Hindu di Bali dirangkum oleh Suweta (1999: 24) bahwa yang dimaksud dengan pendeta adalah sama dengan sulinggih yaitu seorang walaka yakni calon pendeta yang telah dikukuhkan menjadi seorang pendeta

melalui proses diksa atau podgala. Dalam struktur masyarakat Bali pendeta sering disebut dengan Siwa atau Surya yang berada pada posisi struktur puncak, sedangkan umat Hindu pada umumnya disebut dengan sisia yang berkedudukan sebagai dasar dari strukturPasiwan.

2.3 Gerakan Emansipatoris Pada Komunitas Hindu Bali

Konflik yang terjadi antara kelompok kepentingan yang terdiri dari warga Pasek, warga Pande dan warga Bhujangga melawan brahmana wangsa dalam mempsisikan golongannya dalam system kepemimpinan ritual

agama Hindu merupakan gerakan emansipatoris. Pada gerakan ini memperjuangkan persamaan dalam kekuasaan dan wewenang dalam memimpin ritual keagamaan. Dalam kasus ini menguatkan tesis Weber (dalam Sanderson, 2003:552) bahwa kelompok-kelompok yang memiliki hak istimewa memfungsikan agama sebagai suatu pengebsahan sosial,

(14)

istimewa agama sebagai suatu alat untuk mengkompensasikan ketidaksepadanan situasi mereka.

Pada sisi lain, jika dikaitkan dengan apa yang ditesiskan oleh Harris,gerakan emansipatoris merupakan suatu bentuk gerakan revitalisasi yang secara umum berespon terhadap berbagai tipe ketegangan dan krisis sosial, misalnya yang berasal dari eksploitasi dan penindasan yang ekstrim.

Namun munculkan gerakan emansipatoris dalam domain sisial keagamaan di Bali sebagaimana disebutkan di atas, krisis sosial ditandai pada permulaan sebagai pertentangan dalam pelapisan sosial hingga terminalnya berada pada gerakan dalam ranah memposisikan warganya dalam system ritual keagamaan.

Dalam konflik ada dua istilah yang bertalian dengan otoritas memimpin upacara keagamaan yakni tri sadhaka dan sarwa sdhaka. Yang disebut pertama yakni system pemimpin ritual yang terdiri dari tiga pendeta yakni Pendeta Siwa, Pendeta Budha dan Rsi Bhujangga. Sedngakan yang disebutkan belakangan adalah system pemimpin ritus keagamaan yang terdiri dari elemen-elemen dari semua golongan. Inilah yang menjadi focus dalam perjuangan kelompok kepentingan yang menjadi sub-ordinat melawan kelompok berkuasa khususnya alam system ritual keagamaan yang ada di Bali.

Ada kalangan yang menghubungkan dengan sumber sastra agama, tiga Pendeta yang disebut dengan Sang Katrini Katon inilahkemudian disebut dengan Tri Sadhaka. Dan sebagaimana disebutkan dalam lontar Eka Pratama Tri Sadhaka berfungsi amretistha tri bhuana. Ini yang bermakna

(15)

untuk menanamkan pemahaman agar umat manusia menjaga kelestarian tri Bhuana yaitu Bhur Loka, Bhuah Loka dan Swah Loka. Pandita Siwa amretistha akasa, sedangkan Pandita Bhoda amretistha Pawana dan Pandita Bujangga amretistha sarwa prani. Inilah artinya tiga Pandita itu berfungsi untuk amretistha Tri Bhuana. Tiga Pandita yang bersaudara yang lahir dari Veda itu memiliki tuga tugas yang berbeda-beda namun satu sama lain saling melengkapi.Kenyataan yang selama ini ditetapkan tiga Pandita yang diambil dari tiga wangsa atau keturunan. Pandita Siwa diambil dari keturunan Mpu Dang Hyang Dwijendra, Pandita Bodha diambil dari keturunan Mpu Dang Hynag Astapaka, dan Pandita Bujangga diambil dari keturunan Bujangga Waisnawa. Terjadinya pergeseran dari konsep pendakian spiritual berubah menjadi konsep kewangsaan jelas merupakan rekayasa politik masa lampau.

Umt di masa lampau tidak paham dengan ajaran agama yang dianutnya. Hal itu terjadi karena ada adagiumayuwa wera. Sehingga system kewangsaan ini harus dikembalikan pada jati dirinya menjadi system pendakian spiritual (Wiana, 2002:18).

Sebutan Tri Sadhaka muncul jaman belakangan (mungkin zaman Klungkung) dimaksudkan untuk membedakan tiga orang pandita Hindu yang menganut paham (sekte))yang berbeda yakni: Siwa, Budha, dan Waisnawa bahkan terbatas pada keturunan atau keluarga tertentu seperti Ida Pedanda Siwa, Buddha dan Ida Rsi Bhujangga (Titib, 2001).

Wiana (2002:20-23) juga menekankan bahwasanya konsep sarwa sadhaka adalah menentukan pandita pemuput uparacara tidak berdasrkan wangsa tertentu. Untuk mengawali langkah tersebut, di pura kayangan jagat

(16)

Pandita tidak diambil dari wangsa Brahamana saja, tetapi dari wangsa lain juga. Pandita pemuput dilihat dari kualitas kedwjatiannya. Secara formal dalam piagam campuhan tahun 1961 ditegaskan bahwa kepanditaan tidak didasarkan atas dasar kewangsaan samata.

Dalam domain cultural studies fenomena ini merupakan suatu bentuk perlawanan kelompok sub-ordinat terhadap kelompok super-ordinat dalam otoritasnya memimpin upara ritual khususnya di pura terbesar pulau Bali. Apa yang telah dilakukan kelompok kepentingan yang dalam kasus ini dimotori oleh warga pasek, warga pande, dan warga bhujangga waisnawa dengan mengetengahkan konsep sarwa sadhaka merupakan suatu bentuk gerakan emansipatoris terhadap budaya yang telah mapan.

III SIMPULAN

Gerakan emansipatoris merupakan gerakan yang terjadi antara kelompok yang sub-ordainat terhadap kelompok super-ordinat. Gerakan ini terjadi karena adanya suatu upaya untuk menciptakan eksistensi yang baru atau yang “direvitasilisasi” yang sangat disukai bagi keadaan yang ada sekarang. Dalam bidang keagamaan gerakan semacam ini mengandung unsure-unsur keagamaan dan politik dalam ideology dan strategi dalam melakukan perubahan. Gerakan ini juga merupakan suatu bentuk perlawanan dari kelompok termajinalisasi terhadap kelompok berkuasa dengan tujuan terjadinya distribusi kekuasaan dan wewenang secara merata.

Gerakan emansipatoris yang terjadi pada komunitas Hindu di Bali dalam pertaliannya memperoleh distribusi kekuasaan dan wewenang dalam bidang keagamaan. Secara spesifik gerakan ini merupakan suatu bentuk

(17)

gerakan yang pada prinsipnya bertujuan untuk melakukan perubahan dalam sistemm memimpin ritual keagamaan. Kelompok kepentingan yang dimotori oleh warga Pasek, Warga Pande, dan Warga Bhujangga Waisnawa melakukan gerakan dalam memposisikan warganya yang telah menjadi pendeta supaya memperoleh kesamaan hak dalam memimpin ritual keagamaan di pura Besakih. Gerakan emansipatoris yang telah dilakukan oleh kelompok yang merasakan dirinya tidak memperoleh kesamaan dalam distribusi kekuasaan dan wewenang dalam system ritual agama Hindu berupaya melakukan perlawanan terhadap budaya yang telah mapan.

IV KEPUSTAKAAN

Agastia, I.B. 2011. Sadhaka: Membaca dan Memahami Siwasasana dan Wratisasana dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu.

Denpasar: Manik Geni.

Atmaja, N.B., 2004. Kearipan Lokal Dan Agama Pasar, Denpasar: Bahan Matrikulasi S2 Kajian Budaya.

Bagus, I Gusti Ngurah, 2001. Peran Sadhaka Pada Masyarakat Hindu Masa Depan dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar:

Manik Geni.

Gama I Wayan, 2002. Reformasi Agama Hindu Menuju Kebertahanan Sradha Dalam Menjawab Tantangan Masa Kini, Studi Kasus di Bali Tahun 1959-1998. Denpasar: tesis Unud.

Kaleraan, Ida Pedanda Gde Ngurah. 2001. Sdhaka Dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Hindu (Tinjauan Historis-Sosiologis) dalam Eksistensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

Koentjaraningrat, 1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Mirsha, I Gusti Ngurah Rai dkk. 1994. Buana Kosa. Denpasar: Upadaa Sastra.

Pitana, I Gede (Editor). 1994. Dinamika Masyarakat Dan Kebudayaan Bali.

(18)

Putra Agung, A.A.G. 1974. Perubahan Sosial Dan Pertentangan Kasta Di Bali Utara, 1924-1928. Yogyakarta: UGM.

Polloma Margaret M. 2003. Sosiologi Komtemporer (terjemahan) Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Ritzer G. dan Goodman D.J. 2003. Teori Sosiologi Modern terjemahan Aliman dan. Jakarta: Predana Media.

Sanderson, S.K. 2003. Makro Sosiologi, terjemahan Farid Wajidi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sarapung, Elga. 2002. Kata Pengantar Dalam Pluralisme, Konflik dan Perdamaian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suata, I Putu Gede. 2001. Sumber Hindu Tentang Sadhaka, dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

Suweta, I Made. 1999. Fungsi Pendeta Hindu Untuk Pembobotan Keimanan Dalam Masyarakat Bali Yang Berubah. Denpasar: tesis Unud.

Sivananda Sri Svami. 1993. Intisari Ajaran Agama Hindu. Surabaya:

Paramita.

Titib, I M. 2001 Eksistensi Sadhaka Kajian Sosiologi Religius Dan Filosofis, dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

Tim Pemda Propinsi Bali. 2003. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. Denpasar:

Pemprop Bali.

Wianan I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan.

Jakarta:Pustaka Manik Geni..

---, 2001. Sadhaka DAlam Kontek Yadnya Hindu. dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

---, 2002.Memelihara Tradisi Veda. Denpasar: BP

Wijadhaksa, Ida Pandita Mpu Siwa Karma. 2001. Sumber Sastra Tentang Eksistensi Sadhaka, dalam Ekstensi Sadhaka Dalam Agama Hindu. Denpasar: Manik Geni.

(19)

Yuda Triguna I.B. 200a.Teori Tentang Simbol, Denpasar: Widya Dharma.

---, 2000b. Sentimen Kelompok Dan Gerakan Sosial Keagamaan.

Denpasar: Makalah.

---, 1999. Perubahan Sosial Dan Respon Kultural Masyarakat Hindu di Bali. Denpasar Lapran Penlitian Unhi.

---, 2001. Redifinisi Simbolisme Masyarakat Hindu di Bali. Denpasar:

Laporan Penelitian Unhi.

Sumber Majalah:

Surya Kanta, No.1 Tahun I, Oktober 1926 Sampai dengan No. 8-9 Agustus- September 1927.

Bali Adnyana, No.2 Tahun IV, Januari 1927 sampai No.23 Tahun VI 5 Desember 1929.

Referensi

Dokumen terkait

Guru sebaiknya tetap membimbing peserta didik dalam proses pembelajaran, namun guru harus dituntut kreatif untuk berusaha menyusun dan menerapkan berbagai

Menurut sistem hukum adat waris di Tanah Karo, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Pipit Noviani, menyatakan bahwa skripsi dengan judul: ANALISIS PENGARUH PENGADOPSIAN IFRS TERHADAP RELEVANSI NILAI DAN

• Cacat karena pengerjaan mesin (Machine-defect) diperkenankan.. tidak lebih dari jumlah volume yang diekspor. • Produk kayu olahan sebagaimana diatur pada point 1 kadar air tidak

Metode kegiatan yang digunakan dalam pelatihan ini adalah (1) ceramah, untuk menyampaikan konsep dan teori dasar tentang mpbile home spa, 2) demonstrasi, untuk

Tugas yang dilakukannya adalah memanipulasi data surat masuk dan surat keluar, Melakukan pencatatan posisi document, mencatat data penerima surat,

Rule 9 : Jika ponsel dapat dinyalakan Dan LCD menyala Dan tampil provider Dan aplikasi ponsel berjalan dengan baik Dan keypad pada ponsel tidak berfungsi

Ini dulu Lama-lama, tidak semua upacara resmi dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan, bahkan upacara yang bersifat kenegaraan pun pernah ada (atau mungkin banyak?) yang tak