SULAWESI TENGAH
GUSTI KETUT ALIT SUPUTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
i DISERTASI
PENGGUNAAN BAHASA GUYUB TUTUR
MASYARAKAT BALI DI PARIGI,
SULAWESI TENGAH
GUSTI KETUT ALIT SUPUTRA NIM 0890171005
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
ii
Disertasi untuk Memperoleh Gelar
Doktor pada Program Doktor, Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana
GUSTI KETUT ALIT SUPUTRA NIM 0890171005
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
iii
LEMBAR PENGESAHAN
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 17 JUNI 2016
Promotor,
Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A. NIP 195301071981031002
Kopromotor I, Kopromotor II,
Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S. Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum.
NIP 195608061983032001 NIP 196008251986021001
Mengetahui
Ketua Program Studi Doktor Linguistik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Universitas Udayana,
Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A. Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S.(K)
iv
Panitia Penguji Disertasi, Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor : 3645/UN.14.4/HK/2015
Tanggal : 12 Oktober 2015
Ketua : Prof. Dr. Aron Meko Mbete
Anggota :
1. Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A. (Promotor)
2. Dr. Ni Made Dhanawaty, M.S. (Kopromotor I)
3. Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum. (Kopromotor II)
4. Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.
5. Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D.
6. Prof. Dr. I Ketut Darma Laksana, M.Hum.
v
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : Gusti Ketut Alit Suputra
NIM : 0890171005
Program Studi : Doktor Linguistik
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Disertasi ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, Juni 2016
Saya yang membuat pernyataan,
vi
karena berkat rahmat-Nya semua kegiatan penelitian yang berkaitan dengan
penulisan disertasi dapat terlaksana dengan baik. Disertasi ini tidak mungkin
terselesaikan dengan baik tanpa melibatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, melalui kesempatan yang baik ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penyelesaian
disertasi ini.
Pertama, penulis sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
tinggi kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,
Sp.PD.KEMD., yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam rangka
menyelesaikan studi doktor; Direktur Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.
Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S. (K), Asisten Direktur I, Prof. Dr. Made
Budiarsa, M.A., dan Asisten Direktur II, Prof. Made Sudiana Mahendra, Ph.D.,
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program
Doktor pada Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar.
Ucapan terima kasih yang tulus juga ditujukan kepada Dekan FKIP,
Universitas Tadulako, Dr. H. Gazali Lemba, M.Pd. yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk menjadi mahasiswa pada Program Pascasarjana Universitas
vii
Daerah, FKIP, Universitas Tadulako yang telah memberikan motivasi kepada
penulis untuk melanjutkan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Demikian juga Pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional yang
telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis dalam menyelesaikan studi;
Ketua Program Studi Doktor Linguistik, Prof. Dr. I Nengah Sudipa, M.A., dan
Sekretaris Program Studi Doktor Linguistik, Dr. Made Sri Satyawati,
S.S.,M.Hum. yang telah memberikan semangat dan arahan kepada penulis dalam
rangka menyelesaikan studi.
Ucapan terima kasih dan rasa hormat juga penulis sampaikan kepada Tim
Penguji, yaitu Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A., Prof. Dr. Drs. I Ketut Riana, S.U.,
Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D., Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Prof. Dr. I Ketut
Darma Laksana, H.Hum., Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A., Dr. Ni Made
Dhanawati, M.S., dan Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum. yang banyak memberikan
saran dan masukan berharga demi penyempurnaan disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. Made Budiarsa,
M.A., promotor, yang telah berusaha semaksimal mungkin memberikan
bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi; Dr. Ni Made
Dhanawaty, M.S., kopromotor I, yang telah memberikan masukan berharga
kepada penulis dalam menyelesaikan studi; Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum.,
kopromotor II, yang memberikan motivasi, saran, dan pemikiran demi
viii
Doktor Linguistik, Universitas Udayana; Seluruh staf administrasi Program Studi
Doktor (S-3) Linguistik, Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah
memberikan pelayanan administrasi dengan baik; Seluruh staf administrasi
perpustakaan yang telah memberikan pinjaman buku-buku yang penulis perlukan
selama mengikuti perkuliahan.
Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada
teman-teman angkatan 2008/2009 yang telah banyak memberikan motivasi dan saran;
Kepala Desa Mertasari, I Made Karyanto, yang telah memberikan data langsung
kepada penulis selama di lapangan; Kepala Desa Sumbersari, yang telah
memberikan informasi tentang sejarah transmigran Bali di Sulawesi Tengah;
Kepala Desa Nambaru, yang telah memberikan gambaran tentang kehidupan
warga transmigran Bali di Sulawesi Tengah; Bapak Nyoman Sukawan sekeluarga
yang telah bersedia membantu menyiapkan tempat tinggal selama penelitian di
Parigi.
Selanjutnya, ucapan terima kasih ditujukan kepada Ibunda, I Gusti Putu
Raka (Alm.), Ayahnda, I Gusti Made Oka (Alm.) atas kasih sayang dan doanya;
kedua kakak, I Gusti Putu Suasih, S.Pd. dan dr. I Gusti Made Suardika, Sp.A.
serta kedua adik, I Gusti Putu Suyasa, S.H. dan I Gusti Made Suputri, S.H., yang
ix
saran; istri, Dra. Raelin Posumah, anak-anak, I Gusti Ayu Putu Antari dan I Gusti
Made Suweca Antara, yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan studi; Bapak Ketut Darma sekeluarga yang telah banyak
memberikan bantuan dan informasi selama penelitian berlangsung; dan Para
informan yang telah bersedia meluangkan waktunya mengisi kuesioner yang
dibagikan penulis.
Terselesainya disertasi ini tidak menutup kemungkinan masih ada
kekurangan yang tidak disengaja. Oleh karena itu, kritik konstruktif dari semua
pihak sangat penulis harapkan.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah bersedia membantu
penyelesaian disertasi ini.
Denpasar, Juni 2016
Penulis,
x
Penelitian ini membahas empat masalah utama yang menjadi kajian penelitian, yaitu: (1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dilihat dari segi ranah penggunaannya, (2) macam, fungsi, dan makna alih kode penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, (3) faktor-faktor penyebab guyub tutur masyarakat Bali di Parigi beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung, dan (4) wujud campur kode dan interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi serta faktor-faktor yang menyebabkannya. Kajian tersebut dibahas berdasarkan suatu pemikiran bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi tergolong masyarakat bilingual. Selain itu, daerah transmigrasi merupakan tempat berkumpulnya adat istiadat, budaya, dan bahasa dari berbagai etnis. Hal itu mengakibatkan terjadinya berbagai fenomena kebahasaan, seperti pilihan bahasa, alih kode, campur kode, dan interferensi.
Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Kecamatan Parigi dan Kecamatan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Dari dua kecamatan tersebut diambil tiga desa sebagai sumber data primer, yaitu Desa Mertasari, Desa Sumbersari, dan Desa Nambaru. Sebagai payungnya penelitian ini menggunakan teori sosiolinguistik. Teori tersebut ditunjang dengan teori-teori yang lebih spesifik, seperti teori pilihan bahasa, teori komponen tutur, dan teori akomodasi. Dalam pengumpulan data digunakan metode simak dan cakap. Setelah terkumpul, data dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menganalisis masalah (1) dan metode kualitatif digunakan untuk menganalisis masalah (2), (3), dan (4).
Hasil analisis menunjukkan bahwa dilihat dari segi ranah penggunaannya, pilihan bahasa antaretnis didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia, sedangkan pilihan bahasa intraetnis didominasi oleh penggunaan bahasa Bali. Pilihan bahasa lainnya, yaitu adanya perbedaan yang sangat signifikan antara penggunaan bahasa kelompok dewasa dan penggunaan bahasa kelompok remaja. Pada penggunaan bahasa antaretnis kelompok dewasa frekuensi penggunaan bahasa Indonesianya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok remaja, sedangkan penggunaan bahasa intraetnis kelompok remaja frekuensi penggunaan bahasa Balinya lebih rendah dibandingkan dengan kelompok dewasa. Selain itu, hasil analisis juga menemukan fenomena kebahasaan, seperti alih kode, campur kode, dan interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah.
xi ABSTRACT
THE LANGUAGE USE OF THE BALINESE SPEECH COMMUNITY IN PARIGI CENTRAL SULAWESI
The research discusses four main issues which become the research study, namely: (1) the language choice of the Balinese speech community in Parigi in terms of the domain of its use, (2) types, functions, and meanings of code switching of Balinese speech community in Parigi, (3) factors that cause the Balinese speech community in Parigi to switch code when verbal interaction takes place, and (4) the forms of code-mixing and interference of language use of the Balinese speech community in Parigi and the causing factors. The study is based on an idea that the speech community of the people of Bali in Parigi classified as bilingual society. In addition, the transmigration area is a melting pot of customs, culture, and languages of the various ethnic groups. It resulted in a wide range of linguistic phenomena, such as language choice, code switching, code-mixing, and interference.
This research was conducted in the Balinese people transmigration area, in the Sub-district of Parigi, and the Sub-district of South Parigi, the Parigi Moutong Regency, Central Sulawesi. Of the two sub-districts, it was taken three villages as the primary data source, namely Villages of Mertasari, Sumbersari, and Nambaru. The study used sociolinguistic theory as its umbrella. The theory is supported by more specific theories, such as language choice theory, the theory of speech components, and the theory of accommodation. The data collection method is note taking. Once collected, the data were analyzed by using quantitative and qualitative methods. Quantitative methods were used to analyze problem (1) and qualitative methods were used to analyze problems (2), (3) and (4).
The analysis showed that in terms of the domain of their use, inter-ethnic language choice is dominated by the use of Indonesian, while intra-ethnic language choice is dominated by the use of the Balinese language. Other language choice, namely the existence of a very significant difference between the language use of the adult groups with those of the youth groups. On the language use of adult ethnic groups, the Indonesian language usage frequency is lower than the adolescent group, on the contrary, the Balinese language usage frequency in the intra-ethnic language use of adolescent groups is lower than the adult group. In addition, the results of the analysis also discovered the phenomenon of language, such as code switching, code-mixing, and the interference of language use of the Balinese speech community in Parigi, Central Sulawesi.
xii 1. Pendahuluan
Salah satu fungsi bahasa yang utama adalah alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa bukan saja digunakan untuk menyampaikan informasi, pesan, ataupun ungkapan-ungkapan kepada mitra wicara, melainkan bahasa dipergunakan juga untuk membangun dan membina hubungan antarwarga masyarakat, seperti halnya guyub tutur masyarakat Bali, di Parigi, Sulawesi Tengah.
Guyub tutur masyarakat Bali sudah ada di Parigi sejak 1950-an melalui transmigrasi spontan. Para transmigran tersebut hidup berdampingan dengan warga dari suku lain, seperti Jawa, Bugis, Kaili, dan Manado. Banyaknya suku di Parigi mengakibatkan warga transmigran Bali mengenal dua bahasa atau lebih sehingga mereka dapat digolongkan sebagai masyarakat bilingual atau multilingual.
Dalam masyarakat bilingual atau multilingual, beberapa fenomena kebahasaan sering muncul, seperti pilihan bahasa, alih kode, campur kode, dan interferensi. Fenomena kebahasaan yang demikian sangat menarik dikaji dengan menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Selain itu, fenomena kebahasaan tersebut memberikan manfaat yang cukup besar, baik secara teoretis maupun praktis. Secara teoretis, kajian ini bermanfaat, baik bagi perkembangan linguistik maupun perkembangan metode, konsep, ataupun teori-teori sosiolinguistik. Secara praktis, kajian ini bermanfaat bagi pelestarian bahasa Bali sebagai bahasa ibu bagi guyub tutur masyarakat Bali di luar daerah asal.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini mengkaji penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Pemilihan lokasi penelitian tersebut berdasar pada suatu kenyataan bahwa para transmigran Bali tiba di lokasi tersebut paling awal, yaitu 1950-an. Lamanya transmigran Bali hidup berdampingan dengan etnis lainnya mengakibatkan mereka mengenal dua bahasa atau lebih. Bahkan, ada seorang informan mengatakan bahwa orang Bali yang
xiii
kode, (3) faktor penyebab alih kode, dan (4) wujud dan faktor penyebab terjadinya campur kode dan interferensi.
2. Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiolinguistik. Artinya, sosiolinguistik dipakai sebagai landasan dalam meneliti penggunaan bahasa guyub tutur oleh masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Dalam hal ini, sosiolinguistik memberikan suatu pengetahuan bagaimana cara menggunakan bahasa, bagaimana bahasa itu dipakai dalam aspek-aspek sosial tertentu.
Ada beberapa teori dipergunakan dalam penelitian ini. Pertama, teori pilihan bahasa dipergunakan untuk menganalisis masalah nomor 1 tentang pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi. Kedua, teori komponen tutur dan konvergensi dipergunakan untuk menganalisis masalah nomor 2 dan 3. Ketiga, teori campur kode dan interferensi dipergunakan untuk menganalisis masalah nomor 4.
3. Metode Penelitian
Penggunaan bahasa merupakan salah satu fenomena bahasa dalam kehidupan bermasyarakat. Artinya, kapan seseorang menggunakan bahasa “y” dan kapan seseorang menggunakan bahasa “x” sangat bergantung pada tempat, topik ataupun partisipan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis.
Penelitian ini dilakukan di wilayah transmigran Bali di Kecamatan Parigi dan Parigi Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. Kabupaten Parigi Moutong merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala yang dibentuk berdasarkan undang-undang no. 10 tahun 2002. Kabupaten ini terdiri atas 20 wilayah kecamatan. Dua di antaranya adalah Kecamatan Parigi dan Parigi Selatan. Dua kecamatan tersebut merupakan tempat paling awal dihuni transmigran asal Bali, yaitu sejak 1950-an. Oleh karena itu, kedua tempat tersebut dijadikan lokasi penelitian.
Penelitian ini memiliki dua sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari semua etnis Bali yang berdomisili di tiga desa, yaitu Desa Mertasari, Desa Sumbersari, dan Desa Nambaru. Data sekunder dapat digunakan sebagai pelengkap data primer. Data sekunder sangat diperlukan peneliti, baik berupa dokumentasi yang berkaitan dengan teori-teori sosioliguistik ataupun dokumentasi yang berkaitan dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.
xiv
menentukan jumlah persentase pengguna bahasa.
4. Hasil Penelitian
4.1Pilihan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi Dilihat dari Segi Ranah Penggunaannya
Pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian, yaitu (1) penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis pada ranah pekerjaan, (2) penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis pada ranah kekariban, (3) penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis pada ranah agama, (4) penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kesenian, dan (5) penggunaan bahasa intraetnis pada ranah keluarga.
Penggunaan bahasa antaretnis pada ranah pekerjaan didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia, yaitu sebesar 89,1%, penggunaan bahasa Bali sebesar 4%, penggunaan bahasa Kaili sebesar 4,9%, penggunaan bahasa Bugis sebesar 2% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Indonesia sebesar 93,4%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 6,6% (kelompok remaja). Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah pekerjaan didominasi oleh penggunaan bahasa Bali, yaitu sebesar 78,6%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 10%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 11,4% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Bali sebesar 70%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 12%, dan penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 18% (kelompok remaja).
Penggunaan bahasa antaretnis pada ranah kekariban didominasi oleh penggunaan bahasa Indonesia, yaitu sebesar 91%, penggunaan bahasa Bali sebesar 3%, penggunaan bahasa Kaili sebesar 4%, penggunaan bahasa Bugis sebesar 2% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Indonesia sebesar 98%, dan penggunaan bahasa Bali sebesar 2% (kelompok remaja). Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kekariban didominasi oleh penggunaan bahasa Bali, yaitu sebesar 62%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 20%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 18% (kelompok dewasa), penggunaan Bahasa Bali sebesar 59%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 18%, dan penggunaan bahasa Indonesia sebesar 23% (kelompok remaja).
xv
bahasa Sanskerta sebesar 16,7%, dan penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 27,3% (kelompok remaja).
Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah kesenian didominasi oleh penggunaan bahasa Bali, yaitu sebesar 87%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 10,5%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 2,5% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Bali sebesar 68%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 12%, dan penggunaan bahasa Indonesia sebesar 20% (kelompok remaja).
Penggunaan bahasa intraetnis pada ranah keluarga didominasi oleh penggunaan bahasa Bali, yaitu sebesar 71%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 12%, penggunaan bahasa Indonesia sebesar 17% (kelompok dewasa), penggunaan bahasa Bali sebesar 53%, penggunaan bahasa Bali/bahasa Indonesia sebesar 19%, dan penggunaan bahasa Indonesia sebesar 28% (kelompok remaja).
Dominannya penggunaan bahasa Indonesia antaretnis, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, maupun agama membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi telah menguasai dua bahasa atau lebih. Dengan kata lain, guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat digolongkan sebagai masyarakat bilingual atau multilingual. Selain itu, bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional telah menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai alat penghubung antaretnis yang berbeda latar belakang sosial dan budayanya.
Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Bali di Parigi pun telah menjalankan fungsinya dengan baik, yaitu sebagai alat penghubung intradaerah/intraetnis. Hal ini dapat dibuktikan dari penggunaan bahasa intraetnis, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, kesenian, maupun keluarga yang didominasi oleh penggunaan bahasa Bali. Dari lima macam ranah yang ada, hanya penggunaan bahasa intraetnis ranah agama didominasi oleh penggunaan bahasa Bali/ bahasa Indonesia.
4.2Macam-macam Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
4.2.1 Alih Kode Berdasarkan Kekerabatan Bahasa
Berdasarkan kekerabatan bahasa, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) alih kode ke dalam (internal code switching), dan (2) alih kode ke luar (external code switching). Alih kode ke dalam adalah alih kode yang terjadi pada bahasa-bahasa yang serumpun. Alih kode tersebut dapat dilihat pada data 14, sedangkan alih kode ke luar adalah alih kode yang terjadi pada bahasa-bahasa yang tidak serumpun. Alih kode yang demikian dapat dilihat pada data 3.
4.2.2 Alih Kode Berdasarkan Variasi Lingual
xvi
dilihat pada data 11.
4.2.3 Alih Kode Berdasarkan Kelengkapan Tutur
Berdasarkan kelengkapan tutur, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (1) alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap, dan (2) alih kode dari tuturan yang tidak lengkap ke tuturan yang lengkap. Alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap dapat dilihat pada data 12, demikian juga alih kode dari tuturan yang tidak lengkap ke tuturan yang lengkap dapat dilihat pada data 12.
4.2.4 Alih Kode Berdasarkan Ruang Lingkup Peralihan
Berdasarkan ruang lingkup peralihan, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi (1) alih kode interkalimat (intersentential switching), dan (2) alih kode intrakalimat (intrasentential switching). Alih kode interkalimat dapat dilihat pada data 8, sedangkan alih kode intrakalimat dapat dilihat pada data 7.
4.2.5 Alih Kode Menurut Bloom dan Gumperz
Dalam penelitian ini ditemukan juga pembagian alih kode yang dikemukakan oleh Bloom dan Gumperz. Bloom dan Gumperz membedakan alih kode situasional (situational code-switching), dan (2) alih kode metaforis (metaphorical code-switching). Alih kode situasional dapat dibedakan menjadi: (1) alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa, dan (2) alih kode situasional dalam bentuk alih style. Alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa dapat dilihat pada data 9, sedangkan alih kode situasional dalam bentuk alih style dapat dilihat pada data 5. Alih kode metaforis dapat dibedakan menjadi: (1) alih kode metaforis dalam bentuk alih bahasa, dan (2) alih kode metaforis dalam bentuk alih style. Alih kode metaforis dalam bentuk alih bahasa dapat dilihat pada data 13, sedangkan alih kode metaforis dalam bentuk alih style dapat dilihat pada data 14.
4.3Fungsi Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
xvii
4.4Makna Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
Dalam penelitian ini digunakan teori makna yang dikemukakan oleh Halliday. Menurut Halliday, dalam menentukan komponen semantis bahasa ada tiga unsur yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga unsur itu meliputi: (1) ideasional, yaitu isi pesan yang ingin disampaikan, (2) interpersonal, yaitu makna yang hadir bagi pemeran di dalam peristiwa tutur, dan (3) tekstual, yaitu bentuk kebahasaan serta konteks tuturan yang mempresentasikan serta menunjang terwujudnya makna ujaran. Selanjutnya, teori tersebut digunakan untuk menganalisis makna alih kode pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Makna alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi meliputi: (1) sosial (data 10 dan data 5), (2) metaforis (data 8 dan data 13), (3) merendahkan diri (data 18), (4) janji (data 3), (5) kejelasan suatu topik (data 8 dan data 19), (6) akrab (data 3 dan data 16), dan (7) rahasia (data 11).
4.5Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
Berkumpulnya beberapa etnis, seperti Kaili, Bugis, Jawa, Manado, dan Bali di Parigi mengakibatkan terjadinya kontak bahasa, budaya, dan adat istiadat. Unsur bahasa merupakan salah satu aspek yang paling rentan mengalami kontak bahasa karena sifatnya yang terbuka. Akibat kontak bahasa, sering terjadi fenomena alih kode ketika komunikasi berlangsung. Sebab-sebab terjadinya alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi adalah sebagai berikut: (1) O1 ingin memberikan penekanan pada topik pembicaraan, (2) O1 bermaksud
lebih akrab dengan O2, (3) O1 bermaksud merahasiakan sesuatu, (4) O1
terpengaruh oleh ucapan O2, (5) O1 ingin merendahkan diri, (6) O2 ingin
menunjukkan bahwa dirinya terpelajar, (7) O2 ingin mengutip pembicaraan orang
lain, (8) O2 ingin memperjelas keterangan yang telah dipaparkan, (9) kehadiran
O3, (10) materi pembicaraan, (11) situasi, (12) pembicaraan sebelumnya, (13)
perjanjian, (14) kurang menguasai bahasa daerah, dan (15) partisipan menunjukkan rasa toleransi.
4.6Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
Bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa dalam suatu tindak berbahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu disebut campur kode. Ciri yang menonjol dalam campur kode adalah kesantaian atau situasi informal. Dalam situasi formal jarang terjadi campur kode. Fenomena campur kode tersebut dapat dilihat pada data 24, data 18, data 25, data 26, data 27, data 28, dan data 29.
4.6.1 Macam-macam Wujud Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
unsur-xviii
4.6.2 Sebab-sebab Terjadinya Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
Campur kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi disebabkan oleh beberapa faktor: (1) penutur kurang menguasai BBH. Hal ini dapat dilihat pada data 24 (K5), (2) kesetiaan yang tinggi penutur terhadap
bahasa ibu. Penyebab tersebut dapat dilihat pada data 18 (K3), dan (3) partisipan
ingin mempertegas ujaran atau tuturan sebelumnya. Penyebab tersebut dapat dilihat pada data 25 (K8).
4.7Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
Interferensi dapat didefinisikan sebagai masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar bahasa yang menyerap. Dengan kata lain, interferensi adalah masuknya unsur suatu bahasa ke dalam bahasa lain yang mengakibatkan pelanggaran kaidah bahasa yang dimasukinya, baik pelanggaran fonologis, leksikal, maupun gramatikal.
4.7.1 Macam-macam Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
Interferensi dapat terjadi pada semua komponen kebahasaan, baik pada tataran fonologi, leksikal, maupun gramatikal. Namun, interferensi yang terjadi pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi hanya ditemukan interferensi pada tataran leksikal dan gramatikal.
Interferensi pada tataran leksikal dapat dilihat pada data berikut. (a) Bawa kemari jo, nanti saya yang antar.
„Bawa kemari saja, nanti saya yang antar‟ (b) Sama le.
„Sama juga.‟
Interferensi pada tataran gramatikal dapat dilihat pada data berikut. (a) Data 3
K3 : Bayah ditu keto. Ane ngadaang pertemuane nake mayah.
„Bayar di situ begitu. Yang mengadakan pertemuannya seharusnya membayar.‟
(b) Begitu memang, harus antre dulu. „Memang begitu, harus antre dulu.‟
4.7.2 Sebab-Sebab Terjadinya Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi
xix
(1) kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa pertama, (2) pengaruh struktur bahasa daerah ketika menggunakan bahasa Indonesia, (3) prestise bahasa sumber, (4) kedwibahasaan penutur, dan (5) kepentingan akan sinonim.
5. Temuan Baru
Hasil analisis data menemukan beberapa hal, seperti di bawah ini.
(1) Bahasa Bali sebagai alat komunikasi intradaerah masih menjalankan fungsinya, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, maupun keluarga. Namun, penggunaan bahasa Bali pada ranah-ranah tersebut ada juga yang dicampur dengan bahasa Indonesia. Hal ini dapat dimaklumi sebab warga Bali di Parigi sudah lama hidup berbaur dengan etnis non-Bali, seperti suku Kaili, Bugis, Jawa, dan Manado.
(2) Bahasa Bali sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah belum menjalankan fungsinya secara maksimal sebab bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah adalah bahasa Kaili sebagai bahasa lokal.
(3) Dilihat dari segi usia, pilihan bahasa antaretnis pada kelompok remaja lebih dominan penggunaan bahasa Indonesia-nya dibandingkan dengan kelompok dewasa. Namun, pilihan bahasa intraetnis pada kelompok remaja lebih rendah penggunaan bahasa Bali-nya dibandingkan dengan kelompok dewasa.
(4) Dalam penelitian ini ditemukan 14 macam alih kode penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
(5) Selain macam-macam alih kode, dalam penelitian ini juga ditemukan 10 fungsi alih kode, 7 makna alih kode, dan 15 penyebab terjadinya alih kode penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. (6) Di samping fenomena kebahasaan berupa alih kode, dalam penelitian ini juga
ditemukan tiga penyebab terjadinya campur kode dan lima penyebab terjadinya interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah.
6. Simpulan dan Saran 6.1Simpulan
Berdasarkan analisis data, diperoleh simpulan sebagai berikut.
(1) Sebagian besar guyub tutur masyarakat Bali di Parigi memilih menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan etnis lain, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, maupun agama. Hal ini membuktikan bahwa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat digolongkan sebagai masyarakat bilingual. Artinya, selain menguasai bahasa Bali sebagai bahasa ibu, guyub tutur masyarakat Bali di Parigi juga menguasai bahasa Indonesia.
xx
fenomena kebahasaan, seperti alih kode, campur kode, dan interferensi. Macam-macam alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dilihat dari: (1) kekerabatan bahasa, (2) variasi lingual, (3) kelengkapan tutur, (4) ruang lingkup peralihan, (5) Bloom dan Gumperz. Berdasarkan kekerabatan bahasa, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dibedakan menjadi: (a) alih kode ke dalam, dan (b) alih kode ke luar. Berdasarkan variasi lingual, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (a) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia, (b) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris, (c) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili, dan (d) alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis. Berdasarkan kelengkapan tutur, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (a) alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap, dan (b) alih kode dari tuturan yang taklengkap ke tuturan yang lengkap. Berdasarkan ruang lingkup peralihan, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (a) alih kode interkalimat, dan (b) alih kode intrakalimat. Dalam penelitian ini juga ditemukan pembagian alih kode yang dikemukakan oleh Bloom dan Gumperz. Menurut Bloom dan Gumperz, alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (a) alih kode situasional, dan (b) alih kode metaforis.
Alih kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi memiliki beberapa fungsi, antara lain: (1) menawar sesuatu, (2) personal, (3) memperoleh pengetahuan, (4) berimajinatif, (5) menggambarkan suatu pemikiran atau wawasan, (6) menunjukkan rasa sosial, (7) merahasiakan sesuatu, (8) menunjukkan sikap akrab, (9) menunjukkan sikap toleransi, dan (10) mengutip pembicaraan orang lain. Selain fungsi, tuturan dalam alih kode pun memiliki makna, antara lain: (1) sosial, (2) metaforis, (3) merendahkan diri, (4) janji, (5) kejelasan suatu topik, (6) akrab, dan (7) rahasia.
(3) Alih kode sebagai salah satu fenomena kebahasaan dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) pembicara (O1), (2) mitra wicara (O2), (3) orang ketiga (O3), (4)
materi pembicaraan, (5) situasi, (6) pembicaraan sebelumnya, (7) perjanjian, (8) kurang menguasai bahasa, dan (9) toleransi antaretnis.
xxi
menggunakan bahasa mengakibatkan terjadinya campur kode. Berdasarkan unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, campur kode dalam penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dapat dibedakan menjadi: (1) penyisipan unsur-unsur yang berupa kata, dan (2) penyisipan unsur-unsur yang berupa frasa.
Selain campur kode, interferensi sebagai salah satu fenomena kebahasaan juga ditemukan dalam penelitian ini. Interferensi didefinisikan sebagai masuknya unsur serapan ke dalam bahasa lain yang bersifat melanggar kaidah gramatikal bahasa yang menyerap. Dalam penelitian ini ditemukan interferensi pada tataran leksikal dan gramatikal.
6.2Saran
Penelitian ini terfokus pada penggunaan bahasa di daerah transmigrasi, yaitu Parigi, Sulawesi Tengah. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan agar diperoleh gambaran yang menyeluruh tentang penggunaan bahasa di daerah transmigrasi lainnya.
xxii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
DAFTAR TANDA/LAMBANG ... xxxii
xxiii
2.3.7 Campur kode ... 36 2.3.8 Interferensi ... 37 2.4 Model Penelitian ... 38
BAB III METODE PENELITIAN ... 41 3.1 Pendekatan Penelitian ... 41 3.2 Lokasi Penelitian ... 42 3.3 Jenis dan Sumber Data ... 44 3.4 Instrumen Penelitian ... 46 3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 47 3.5.1 Metode simak ... 48 3.5.2 Metode cakap ... 49 3.5.3 Metode survei ... 50 3.6 Metode dan Teknik Analisis Data ... 51 3.6.1 Analisis data secara kualitatif ... 52 3.6.2 Analisis data secara kuantitatif ... 53
BAB IV SITUASI KEBAHASAAN GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI, SULAWESI TENGAH ... 54 4.1 Hubungan antara Variasi Bahasa dan Bilingualisme ... 55
4.2 Masyarakat Bali dalam Situasi Kedwibahasaan atau
Keanekabahasaan ... 56 4.3 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Bali ... 58 4.4 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia ... 59
BAB V PILIHAN BAHASA GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI, SULAWESI TENGAH ... 61 5.1 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia
Dewasa) ... 61 5.1.1 Penggunaan bahasa antaretnis ... 62 5.1.2 Penggunaan bahasa intraetnis ... 66 5.2 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kekariban ... 71 5.3 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Agama ... 77 5.4 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kesenian ... 84 5.5 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga ... 87 5.6 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia
Remaja) ... 93 5.6.1 Penggunaan bahasa antaretnis ... 93 5.6.2 Penggunaan bahasa intraetnis ... 96 5.7 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kekariban ... 100 5.8 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Agama ... 103 5.9 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Kesenian ... 108 5.10 Penggunaan Bahasa dalam Ranah Keluarga ... 110
xxiv
6.3 Macam-macam Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 122 6.3.1 Alih kode berdasarkan kekerabatan bahasa... 123 6.3.1.1Alih kode ke dalam (internal code-switching) ... 124 6.3.1.2Alih kode ke luar (external code-switching) ... 125 6.3.2 Alih kode berdasarkan variasi lingual ... 125 6.3.2.1Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Indonesia ... 126 6.3.2.2Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Inggris... 127 6.3.2.3Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Kaili ... 128 6.3.2.4Alih kode yang berpola dari bahasa Bali ke bahasa Bugis... 130 6.3.3 Alih kode berdasarkan kelengkapan tutur ... 131 6.3.3.1Alih kode dari tuturan yang lengkap ke tuturan yang taklengkap ... 131 6.3.3.2Alih kode dari tuturan yang taklengkap ke tuturan yang lengkap ... 133 6.3.4 Alih kode berdasarkan ruang lingkup peralihan ... 134 6.3.4.1Alih kode interkalimat (intersentential switching) ... 134 6.3.4.2Alih kode intrakalimat (intrasentential switching) ... 135 6.3.5 Alih kode menurut Bloom dan Gumperz ... 136 6.3.5.1Alih kode situasional ... 137 6.3.5.1.1 Alih kode situasional dalam bentuk alih bahasa ... 137 6.3.5.1.2 Alih kode situasional dalam bentuk alih style ... 138 6.3.5.2Alih kode metaforis ... 139 6.3.5.2.1 Alih kode metaforis dalam bentuk alih bahasa ... 140 6.3.5.2.2 Alih kode metaforis dalam bentuk alih style ... 141 6.4 Fungsi Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
Masyarakat Bali di Parigi ... 143 6.4.1 Fungsi alih kode untuk menawar sesuatu ... 144 6.4.2 Fungsi alih kode sebagai personal ... 146 6.4.3 Fungsi alih kode untuk memperoleh pengetahuan ... 148 6.4.4 Fungsi alih kode untuk berimajinatif ... 151 6.4.5 Fungsi alih kode untuk menggambarkan sesuatu pemikiran atau
wawasan ... 153 6.4.6 Fungsi alih kode untuk menunjukkan rasa sosial ... 155 6.4.7 Fungsi alih kode untuk merahasiakan sesuatu ... 157 6.4.8 Fungsi alih kode untuk menunjukkan sikap akrab ... 158 6.4.9 Fungsi alih kode untuk menunjukkan sikap toleransi ... 160 6.4.10 Fungsi alih kode untuk mengutip pembicaraan orang lain ... 163 6.5 Makna Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur
xxv
6.5.3 Alih kode yang bermakna merendahkan diri ... 172 6.5.4 Alih kode yang bermakna janji ... 173 6.5.5 Alih kode yang bermakna kejelasan suatu topik ... 175 6.5.6 Alih kode yang bermakna akrab ... 177 6.5.7 Alih kode yang bermakna rahasia ... 180 6.6 Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa
Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 181 6.6.1 Alih kode karena faktor pembicara (O1) ... 183
6.6.1.1O1 ingin memberikan penekanan pada topik pembicaraan ... 183
6.6.1.2O1 bermaksud lebih akrab dengan O2... 184
6.6.1.3O1 bermaksud merahasiakan sesuatu ... 185
6.6.1.4O1 terpengaruh oleh ucapan O2 ... 187
6.6.1.5O1 ingin merendahkan diri ... 188
6.6.2 Alih kode karena faktor mitra wicara (O2) ... 189
6.6.2.1O2 ingin menunjukkan bahwa dirinya terpelajar ... 189
6.6.2.2O2 ingin mengutip pembicaraan ... 190
6.6.2.3O2 ingin memperjelas keterangan yang telah dipaparkan ... 192
6.6.3 Alih kode karena kehadiran O3 ... 193
6.6.4 Alih kode karena materi pembicaraan ... 194 6.6.5 Alih kode karena situasi ... 198 6.6.6 Alih kode karena pembicaraan sebelumnya ... 200 6.6.7 Alih kode karena perjanjian ... 201 6.6.8 Alih kode karena kurang menguasai bahasa daerah ... 202 6.6.9 Alih kode karena keinginan partisipan menunjukkan rasa toleransi
antaretnis ... 204
BAB VII CAMPUR KODE DAN INTERFERENSI DALAM
PENGGUNAAN BAHASA GUYUB TUTUR MASYARAKAT BALI DI PARIGI ... 210 7.1 Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat
Bali di Parigi ... 210 7.1.1 Macam-macam wujud campur kode ... 223 7.1.2 Sebab-sebab terjadinya campur kode ... 232 7.1.2.1Penutur kurang menguasai BBH ... 233 7.1.2.2Kesetiaan yang tinggi terhadap bahasa ibu ... 234 7.1.2.3Partisipan ingin mempertegas tuturan sebelumnya ... 236 7.2 Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat
Bali di Parigi ... 237 7.2.1 Macam-macam interferensi ... 237 7.2.1.1Interferensi pada tataran leksikal ... 238 7.2.1.2Interferensi pada tataran gramatikal ... 241 7.2.2 Sebab-sebab terjadinya interferensi ... 245
xxvi LAMPIRAN :
1) Peta Lokasi Penelitian ... 261 2) Data Penelitian ... 264 3) Daftar Responden (Kelompok Usia Dewasa) ... 282 4) Daftar Responden (Kelompok Usia Remaja) ... 284 5) Daftar Informan... 286 6) Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi
Tengah (Kelompok Usia Dewasa) ... 287 7) Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi
xxvii
DAFTAR BAGAN
2.1 Model Penelitian ... 38
6.1 Macam-macam Alih Kode Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 142
6.2 Fungsi Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 165
6.3 Makna Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 181
6.4 Sebab-sebab Terjadinya Alih Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 209
7.1 Macam-macam Wujud Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 232
7.2 Sebab-sebab Terjadinya Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 237
7.3 Macam-macam Wujud Interferensi dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi ... 245
xxviii
3.2 Jumlah Penduduk, Desa/Kelurahan, dan Kepadatan Penduduk per-Desa/Kelurahan Menurut Kabupaten/Kota, 2011... 43
3.3 Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Rata-rata Penduduk per-Rumah Tangga ... 44
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 51
5.1 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat (Kelompok Usia Dewasa) ... 62
5.2 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Jual-Beli Hasil Pertanian ... 64
5.3 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Penyuluhan Pertanian/ Perkebunan Berlangsung ... 65
5.4 Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat ... 67
5.5 Penggunaan Bahasa Intraetnis ketika Interaksi Jual-Beli Hasil Pertanian/Perkebunan ... 68
5.6 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung ... 68
5.7 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika Aktivitas Berlangsung ... 69
5.8 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali ketika Penyuluhan Pertanian/ Perkebunan Berlangsung ... 70
5.9 Penggunaan Bahasa Antaretnis dalam Surat-menyurat ... 71
5.10 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung ... 72
5.11 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Surat-menyurat ... 74
5.12 Penggunaan Bahasa dengan Etnis Kaili dalam Kegiatan Keagamaan ... 79
5.13 Penggunaan Bahasa dengan Etnis Bugis dalam Kegiatan Keagamaan .. 80
5.14 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Keagamaan ... 81
5.15 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Keagamaan Lainnya ... 83
5.16 Penggunaan Bahasa ketika Etnis Bali Latihan Seni ... 85
xxix
5.18 Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari di Rumah ... 88
5.19 Penggunaan Bahasa kepada Bapak Berdasarkan Topik ... 89
5.20 Penggunaan Bahasa kepada Anak Berdasarkan Topik ... 91
5.21 Penggunaan Bahasa ketika Memetik Coklat dan Istirahat (Kelompok Usia Remaja) ... 93
5.22 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Jual-Beli Hasil Pertanian ... 95
5.23 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Penyuluhan Pertanian/ Perkebunan Berlangsung ... 95
5.24 Penggunaan Bahasa Intraretnis ketika Memetik Coklat dan Istirahat .... 97
5.25 Penggunaan Bahasa Intraretnis ketika Interaksi Jual-Beli Hasil Pertanian/Perkebunan ... 98
5.26 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung ... 98
5.27 Penggunaan Bahasa Intraretnis Bali ketika Aktivitas Berlangsung ... 99
5.28 Penggunaan Bahasa Intraretnis Bali ketika Penyuluhan Pertanian/ Perkebunan ... 99
5.29 Penggunaan Bahasa Antaretnis dalam Surat-menyurat ... 100
5.30 Penggunaan Bahasa Antaretnis ketika Aktivitas Berlangsung ... 101
5.31 Penggunaan Bahasa Intraretnis Bali dalam Surat-menyurat ... 102
5.32 Penggunaan Bahasa dengan Etnis Kaili dalam Kegiatan Keagamaan ... 103
5.33 Penggunaan Bahasa dengan Etnis Bugis dalam Kegiatan Keagamaan .. 104
5.34 Penggunaan Bahasa Intraetnis dalam Kegiatan Keagamaan ... 105
5.35 Penggunaan Bahasa Intraetnis Bali dalam Kegiatan Agama Lainnya .... 106
5.36 Penggunaan Bahasa ketika Etnis Bali Latihan Seni ... 108
5.37 Penggunaan Bahasa ketika Pentas Seni ... 109
5.38 Penggunaan Bahasa dalam Kehidupan Sehari-hari di Rumah ... 110
xxx
5.2 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraretnis pada Ranah Pekerjaan ... 70
5.3 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Kekariban .... 73
5.4 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kekariban ... 77
5.5 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Agama ... 81
5.6 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Agama ... 84
5.7 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kesenian ... 87
5.8 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Keluarga ... 93
5.9 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Pekerjaan (Kelompok Usia Remaja) ... 96
5.10 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Pekerjaan... 100
5.11 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Kekariban .... 102
5.12 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kekariban ... 103
5.13 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Antaretnis pada Ranah Agama ... 105
5.14 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Agama ... 107
5.15 Rekapitulasi Penggunaan Bahasa Intraetnis pada Ranah Kesenian ... 110
xxxi
DAFTAR SINGKATAN
AK : Alih Kode
BB : Bahasa Bali
BB/BI : Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia
BBC : Bahasa Bali Campur
BBg : Bahasa Bugis
BBH : Bahasa Bali Halus
BBL : Bahasa Bali Lumrah
BI : Bahasa Indonesia
BJ : Bahasa Jawa
BK : Bahasa Kaili
BM : Bahasa Manado
BS : Bahasa Sanskerta
CK : Campur Kode
K : Kalimat
Ket. : Keterangan
KK : Kepala Keluarga
O : Objek
xxxii
/…/ : Kata
“…” : Klausa
#...# : Kalimat
„…‟ : Makna
{…} : Morfem
O1 : Penutur
O2 : Mitra Wicara
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan alat yang utama dalam komunikasi. Dengan bahasa,
seseorang dapat menyampaikan informasi, pesan, ataupun ungkapan-ungkapan
kepada mitra wicara. Bahkan, bahasa tidak semata-mata untuk menyampaikan
informasi, tetapi juga dapat digunakan untuk membangun dan membina hubungan
antarwarga masyarakat.
Selain itu, bahasa digunakan sebagai alat komunikasi yang beroperasi
dalam suatu masyarakat atau budaya. Bahasa, masyarakat, dan budaya sangatlah
berkaitan. Bahasa adalah alat pengembangan kebudayaan dan inventaris ciri-ciri
kebudayaan. Dengan demikian, bahasa merupakan faktor penting dalam
membentuk identitas kultural masyarakat (Rahardi, 2010:31).
Sehubungan dengan itu, bahasa yang digunakan seseorang hendaknya
disesuaikan dengan konteks situasi. Halliday dan Hasan (1994:63) dengan tegas
mengatakan bahwa semua pemakaian bahasa mempunyai konteks. Konteks yang
dimaksud adalah konteks situasi yang terdiri atas tiga unsur:
(1) medan wacana, yaitu jenis kegiatan yang dikenal dalam kebudayaan yang
sebagian diperankan oleh bahasa;
(2) pelibat wacana, yaitu pemain, pelaku, atau tepatnya peran interaksi antara
yang terlibat dalam penciptaan teks; dan
(3) sarana wacana, yaitu fungsi khas yang diberikan kepada bahasa dan saluran
Maksud konteks situasi di atas adalah lingkungan langsung tempat teks
atau tuturan itu benar-benar berfungsi. Artinya, konteks situasi menjelaskan
mengapa hal-hal tertentu dituturkan atau ditulis dalam suatu kesempatan dan hal
lainnya mungkin tidak dapat dituturkan atau tidak dapat dituliskan.
Menurut Moeliono (1988) dan Samsuri (1987, ed), konteks terdiri atas
beberapa hal, yaitu: situasi, partisipan, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk,
amanat, kode, dan saluran, sedangkan Syafi‟ie menyatakan bahwa konteks
terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yaitu: (1)
konteks linguistik (linguistics context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan,
(2) konteks efistemis (epistemic context) adalah latar belakang pengetahuan yang
sama-sama diketahui oleh partisipan, (3) konteks fisik (physical context) meliputi
tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan
tindakan para partisipan, dan (4) konteks sosial (social context), yaitu relasi
sosio-kultural yang melingkupi hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.
Menurut Ibrahim (1994:89), alih style mengacu pada perubahan dalam
varietas bahasa yang melibatkan perubahan hanya pada pemarkah-pemarkah kode.
Lebih lanjut, dikatakan bahwa semua hal ini merupakan ciri-ciri variabel yang
dihubungkan dengan dimensi sosial dan kebudayaan, seperti usia, jenis kelamin,
kelas sosial, dan hubungan antarpenutur.
Alih ragam atau alih style sering juga dilakukan oleh masyarakat Bali yang
secara adat tradisional masih mengenal bahasa Bali halus (BBH) dan bahasa Bali
lumrah (BBL). Kedua bentuk bahasa tersebut digunakan sesuai dengan sistem
3
Ksatria, Waisya, ataupun Jaba. Seorang Jaba akan dikatakan mempunyai tata
krama berbahasa yang baik jika dia berbicara dengan seseorang yang berkasta
lebih tinggi (Brahmana, Ksatria, Waisya) dengan menggunakan BBH (ragam
tinggi).
Fenomena kebahasaan yang demikian tidak menutup kemungkinan terjadi
juga pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Status
partisipan sangat berpengaruh dalam komunikasi. Maksudnya, dalam komunikasi,
seorang penutur hendaknya menggunakan bahasa sesuai dengan status mitra
wicara. Dengan demikian, akan muncul fenomena-fenomena kebahasaan lainnya,
seperti alih kode, campur kode, dan interferensi. Hal ini sangat menarik untuk
diteliti dari segi sosiolinguistik.
Namun, dalam kenyataan di lapangan berbanding berbalik dengan
pernyataan di atas. Tidak jarang seseorang yang berkasta Brahmana merasa
canggung menggunakan BBL ketika berbicara dengan mitra wicara berkasta Jaba
yang memiliki status sosial lebih tinggi. Zaman sekarang, seseorang yang berasal
dari kasta Brahmana pun cenderung menggunakan bahasa Bali halus apabila
mitra wicaranya seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi di dalam
masyarakat. Situasi kebahasaan yang demikian sangat menarik diteliti dengan
menggunakan pendekatan sosiolinguistik.
Jika diamati secara saksama tentang fenomena kebahasaan dalam
kehidupan sehari-hari, tidak ada suatu peristiwa tutur terjadi tanpa melibatkan
konteks sosial, seperti yang telah dipaparkan. Sebuah kalimat atau wacana yang
pembaca. Bahkan, Achmad dan Alek Abdullah (2012:147) mengemukakan bahwa
konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan
suatu wacana. Dengan kata lain, dalam berbahasa atau berkomunikasi, konteks
adalah segala-galanya. Misalnya, ada tuturan, “Saya pingin turun, sudah capek”.
Makna tuturan tersebut masih ambigu. Kalau yang mengucapkan tuturan tersebut
adalah seorang pejabat, sangat mungkin yang dimaksud dengan turun adalah
„turun dari jabatan‟. Namun, pengertian itu bisa keliru bila tuturan tersebut
diucapkan oleh anak kecil yang sedang memanjat pohon. Maknanya bisa berubah,
yaitu „turun dari pohon‟.
Ragam bahasa yang digunakan seseorang juga ditentukan oleh kondisi
sekelompok orang menyatukan diri untuk mempertahankan dan membangun
kehidupan (Muhammad, 2011:63). Muhammad mencontohkan kata kamu, anda,
dan kau yang digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menunjuk mitra wicara.
Secara sosial ketiga kata ganti itu tidak dapat dipakai untuk menyapa mitra
wicara. Bentuknya bervariasi, rujukannya sama (mitra wicara) bisa berbeda sesuai
dengan usia, jenis kelamin, status, dan hubungan sosial pembicara dengan mitra
wicara. Hal yang berbeda itu disebut sebagai faktor sosial. Kedua unsur tersebut,
baik bahasa maupun sosial berperan dalam komunikasi.
Ketika berkomunikasi dengan menggunakan bahasa, terdapat delapan
unsur yang diperhatikan oleh Hymes (1972). Unsur-unsur itu diakronimkan
menjadi SPEAKING. Penjelasan masing-masing tuturannya dapat dilihat pada
5
(1) Setting and Scene. Maksudnya, percakapan dapat dilakukan di suatu tempat
dalam waktu tertentu, misalnya di kantin, sekolah, masjid, pura, gereja, dan
lain-lain pada waktu istirahat, siang, malam.
(2) Partisipants. Unsur ini merujuk kepada orang-orang yang terlibat dalam
percakapan, yaitu pembicara, mitra wicara, dan lain-lain.
(3) End. Maksudnya, pembicara mempunyai maksud ketika percakapan
berlangsung.
(4) Act Sequeness. Artinya, percakapan mempunyai bentuk dan isi.
(5) Key. Maksudnya, percakapan juga memiliki cara atau semangat.
(6) Instrumentalitiet. Artinya, percakapan memiliki jalur percakapan ketika
dilaksanakan. Jalurnya dapat secara lisan dan tulis. Dengan perkataan lain,
instrumentalites merujuk pada ungkapan lisan atau tulisan.
(7) Norms. Artinya, ketika percakapan berlangsung, pelakunya memiliki norma
perilaku. Dalam hal ini, kegiatan berbahasa itu juga mempertimbangkan
kaidah tata bahasa dan nonbahasa. Kaidah tata bahasa berkaitan dengan tata
bahasanya, sedangkan kaidah nonbahasa terkait dengan paralinguistik, seperti
gerak-gerik mata, tangan, muka, dan lain-lain.
(8) Genres. Dalam percakapan, maksud diungkapkan oleh kategori atau ragam
bahasa. Artinya, ragam bahasa terkait dengan formal dan informal. Selain itu,
ragam ini dapat terkait dengan jenis teks, misalnya naratif, deskriptif,
argumentaif, eksposisi, dan lain-lain.
Masyarakat Bali di daerah transmigrasi biasanya membawa serta adat
transmigran memelihara dan mengembangkan adat istiadat, budaya, dan
bahasanya dengan baik. Secara tidak langsung daerah transmigrasi merupakan
tempat berkumpulnya bermacam-macam adat istiadat, budaya dan bahasa dari
berbagai daerah (Budiono dkk.,1997). Oleh karena itu, tidak menutup
kemungkinan terjadinya kontak antara adat istiadat, budaya, dan bahasa dari
berbagai daerah. Apalagi mereka telah lama hidup berdampingan. Namun,
penelitian di Parigi lebih terfokus pada terjadinya kontak antara bahasa satu dan
bahasa lainnya.
Akibat terjadinya kontak bahasa, yaitu pihak yang berkontak atau salah
satu di antaranya melakukan penyesuaian diri secara verbal melalui modifikasi
tuturan sehingga menjadi sama atau lebih mirip dengan tuturan yang dipakai mitra
wicaranya. Peristiwa itu disebut konvergensi linguistik. Sebaliknya, di antara
komunitas yang melakukan kontak tersebut melakukan modifikasi tuturannya
sehingga menjadi semakin tidak sama atau tidak mirip dengan tuturan mitra
kontaknya disebut divergensi linguistik. Kedua peristiwa tersebut dikemukakan
oleh Giles (dalam Trudgill, 1986).
Topik penelitian ini mendeskripsikan penggunaan bahasa guyub tutur
masyarakat Bali di Parigi. Penggunaan bahasa yang dimaksud berkaitan dengan
pilihan penggunaan bahasa dalam ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian,
dan keluarga. Selain pilihan bahasa, topik penelitian ini juga mendeskripsikan alih
kode, campur kode, dan interferensi.
Berdasarkan pengamatan sepintas, masyarakat Bali yang bertransmigrasi
7
terjadinya kontak bahasa dengan masyarakat tutur di sekitarnya. Tidak menutup
kemungkinan mereka menguasai bahasa-bahasa di wilayah yang mereka tempati,
apakah itu bahasa Kaili, Bugis, Jawa, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu,
penelitian ini dilakukan di Parigi, Sulawesi Tengah. Selain itu, Parigi dipilih
sebagai lokasi penelitian disebabkan oleh daerah ini merupakan daerah
transmigrasi pertama masyarakat Bali, yaitu sekitar tahun 1950-an. Lamanya
masyarakat Bali hidup berdampingan dengan etnis lain mengakibatkan terjadinya
kontak bahasa. Hal itu menimbulkan perilaku berbahasa yang beragam
(Weinreich, 1979)
Seperti diketahui, kontak bahasa terjadi pada masyarakat terbuka, sama
halnya dengan masyarakat Bali di Parigi. Melalui kontak bahasa itulah masyarakat
saling memengaruhi. Kontak bahasa juga memunculkan bilingualisme dan
multilingualisme. Dengan kontak ini juga muncul berbagai macam kasus, seperti
pilihan kode, alih kode, campur kode ataupun interferensi (Wijana dan Rohmadi,
2012:6).
Di Indonesia terdapat banyak bahasa daerah. Artinya, masyarakat bersifat
multilingual. Para anggota masyarakat menggunakan bahasa daerah itu untuk
keperluan yang bersifat kedaerahan. Jika masyarakatnya bergaul luas, seperti
halnya masyarakat Bali di Parigi, anggota-anggota masyarakatnya cenderung
menggunakan dua bahasa/lebih sesuai dengan kebutuhannya. Peristiwa
kebahasaan tersebut tampak pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali
Namun, dalam kehidupan sehari-hari seorang penutur sering mengalami
kesulitan berkomunikasi dengan mitra wicara. Kesulitan yang dimaksud adalah
bahasa apa yang digunakan jika dihadapkan kepada mitra wicara yang usianya
lebih muda, tetapi status sosialnya lebih tinggi, atau sebaliknya, status sosialnya
lebih rendah, tetapi usianya lebih tua. Kerumitan tersebut perlu mendapatkan
perhatian peneliti bahasa, khususnya peneliti sosiolinguistik.
1.2 Rumusan Masalah
Kompleksnya kehidupan masyarakat Bali di Parigi telah menimbulkan
masalah, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan bahasa. Masalah tersebut
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut.
(1) Bagaimanakah pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dilihat
dari segi ranah penggunaannya?
(2) Macam alih kode apakah yang dilakukan guyub tutur masyarakat Bali di
Parigi serta fungsi dan makna alih kode apakah yang ditimbulkannya?
(3) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan guyub tutur masyarakat Bali di
Parigi beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung?
(4) Bagaimanakah wujud campur kode dan interferensi penggunaan bahasa oleh
guyub tutur masyarakat Bali di Parigi serta faktor-faktor apa yang
menyebabkannya?
Masalah yang dikemukakan tersebut saling berhubungan satu dengan yang
lainnya. Pilihan bahasa pada guyub tutur masyarakat Bali di Parigi pada
9
agama, kesenian, dan keluarga. Berdasarkan pilihan penggunaan bahasa di
berbagai ranah tersebut, diketahui apakah guyub tutur masyarakat Bali di Parigi
tergolong masyarakat multilingual atau tidak. Masyarakat multilingual adalah
masyarakat yang mengenal dua bahasa atau lebih. Situasi kebahasaan yang
demikian mengakibatkan terjadinya alih kode, campur kode, dan interferensi.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Pada umumnya penelitian yang baik harus dibatasi ruang lingkupnya agar
pembahasannya tidak melebar ataupun menyempit. Oleh karena itu, ruang lingkup
penelitian ini terbatas pada penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di
Parigi, Sulawesi Tengah yang meliputi: (1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat
Bali di Parigi, baik pada ranah pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, maupun
keluarga, (2) macam, fungsi, dan makna alih kode penggunaan bahasa guyub tutur
masyarakat Bali di Parigi, (3) faktor-faktor yang menyebabkan guyub tutur
masyarakat Bali di Parigi beralih kode ketika komunikasi berlangsung, dan (4)
wujud campur kode dan interferensi penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat
Bali di Parigi, Sulawesi Tengah, serta faktor-faktor yang menyebabkannya.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.4.1 Tujuan umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memaparkan secara
mendalam tentang penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
Melalui penggunaan bahasa tersebut diketahui pilihan bahasa apa saja yang
digunakan penutur ketika berkomunikasi di berbagai ranah, seperti ranah
pekerjaan, kekariban, agama, kesenian, dan keluarga. Sebagai akibat
digunakannya pilihan bahasa ketika berkomunikasi, dalam penelitian ini
ditemukan juga fenomena kebahasaan, seperti alih kode, campur kode, dan
interferensi.
1.4.2 Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengkritisi:
(1) pilihan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi;
(2) macam, fungsi, dan makna alih kode penggunaan bahasa;
(3) faktor-faktor yang menyebabkan guyub tutur masyarakat Bali di Parigi
beralih kode ketika interaksi verbal berlangsung; dan
(4) wujud serta faktor penyebab terjadinya campur kode dan interferensi
penggunaan bahasa guyub tutur masyarakat Bali di Parigi.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu (1) manfaat teoretis dan (2)
manfaat praktis. Kedua manfaat penelitian tersebut dapat dilihat pada uraian
11
1.5.1 Manfaat teoretis
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan
sosiolinguistik sehubungan dengan penggunaan bahasa antaretnis dan intraetnis di
berbagai ranah. Selain itu, hasil penelitian ini juga bermanfaat bagi perkembangan
kaidah-kaidah penggunaan bahasa dalam kehidupan bermasyarakat.
1.5.2 Manfaat praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi:
(1) pelestarian bahasa Bali sebagai bahasa ibu bagi guyub tutur masyarakat Bali
di Parigi;
(2) guyub tutur masyarakat Bali di Parigi dalam menggunakan bahasa sesuai
dengan situasi konteks sosial;
(3) masyarakat majemuk dengan menggunakan bahasa sebagai alat untuk
menjalin kehidupan yang harmonis, baik dengan sesama etnis maupun
dengan etnis lain;
(4) penutur masyarakat Bali di Parigi dalam menjalin rasa toleransi dengan etnis
lain melalui bahasa yang digunakan;
(5) Dinas Pendidikan di Sulawesi Tengah sehubungan dengan perlunya
pembinaan bahasa daerah Bali di daerah transmigrasi;
(6) Balai Bahasa di Sulawesi Tengah sebagai bahan dokumentasi; dan
(7) para peneliti sebagai bahan rujukan dalam melaksanakan penelitian bahasa di
12
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa hasil penelitian dapat dijadikan acuan dalam penelitian ini. Hasil
penelitian yang dimaksud dapat dilihat pada uraian berikut.
Pertama, hasil penelitian Jendra (1988) yang berjudul “Alih Kode
Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Kehidupan Masyarakat Kota Denpasar.”
Penelitian yang dilakukan oleh Jendra terfokus pada peralihan bahasa Indonesia
ke bahasa lain. Peralihan ke dialek atau variasi bahasa lain juga mendapatkan
perhatian. Dalam penelitiannya, Jendra menggunakan teori-teori kebahasaan yang
dikemukakan oleh Verhaar. Menurut Verhaar, teori-teori tentang kebahasaan
dikelompokkan menjadi empat tipe, yaitu l) teori yang mengakui tingkat ekspresi,
makna, dan tidak mengakui tingkat situasi, jika situasi diakuinya, hal itu sekadar
pengakuan lahiriah saja, 2) teori yang mengakui tingkat ekspresi dengan
mengesampingkan tingkat makna. Makna dianggap identik dengan situasi, 3) teori
yang mengakui ekspresi dan situasi, keduanya dianggap penentu terhadap makna,
dan 4) teori yang mengakui dan memperhitungkan makna, ekspresi, dan situasi.
Dari beberapa teori kebahasaan tersebut, Jendra lebih terfokus pada teori
keempat, yaitu teori yang mengakui makna, ekspresi, dan situasi. Selain teori yang
dikemukakan oleh Verhaar (1980:14), penelitian tersebut juga menggunakan teori
Hymes (1972). Menurut Hymes, ada delapan komponen tutur yang selalu terdapat
dalam peristiwa tutur. Kedelapan komponen tutur tersebut diformulasikan menjadi
13
Beberapa teori yang digunakan Jendra dalam penelitiannya berkaitan erat
satu dengan yang lainnya. Keduanya, sama-sama memperhatikan aspek situasi
dalam peristiwa tutur. Khusus teori speaking sangat relevan untuk dijadikan acuan
dalam meneliti fenomena alih kode di Kecamatan Parigi. Hal ini disebabkan oleh
tidak adanya suatu peristiwa tutur terlepas dari kedelapan komponen tutur
tersebut. Minimal tiga komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes selalu
terlibat dalam peristiwa tutur, yaitu setting, partisipant, dan act sequence.
Simpulan yang diperoleh dari penelitian Jendra adalah sebagai berikut.
Fenomena alih kode muncul pada setiap situasi bicara, hanya kadar ketinggian
frekuensinya berbeda. Ada kecenderungan korelasi positif antara kadar ketinggian
frekuensi alih kode dan kadar tingkat keformalan situasi bicara. Semakin akrab
dan santai situasi bicara semakin memberi peluang terhadap kemungkinan
terjadinya fenomena alih kode dan kebalikannya.
Situasi bicara yang formal lebih menuntut pola struktur kalimat yang
lengkap dalam fungsi sintaktisnya sehingga kalimatnya menjadi lebih panjang
dibandingkan dengan situasi bicara yang informal. Dalam situasi formal pada
umumnya digunakan ragam bahasa yang lebih baku atau dapat disebut ragam
lengkap, sedangkan dalam situasi informal lebih banyak terdapat kalimat ragam
ringkas yang pendek.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara penelitian Jendra dan penelitian
yang dilakukan di Kecamatan Parigi. Penelitian Jendra terfokus pada subjek
masyarakat Kota Denpasar, sedangkan penelitian yang dilakukan di Kecamatan