TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)
Jurusan Teknik Sipil
Diajukan Oleh :
GATOT SUHARTANTO
0553010027
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
TUGAS AKHIR
Diajukan Oleh :
GATOT SUHARTANTO
0553010027
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
PERENCANAAN TUBUH EMBUNG GADDING
KECAMATAN MANDING, KABUPATEN SUMENEP
Disusun Oleh :
GATOT SUHARTANTO
0553010027
Telah diuji, dipertahankan, dan diterima oleh Tim Penguji Tugas Akhir Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada Hari Selasa, 08 Juni 2010
Pembimbing : Tim Penguji :
1. Pembimbing I, 1. Penguji I,
Novie Handajani, ST, MT Ir. Minarni Nur Trilita, MT NPT. 3 6711 95 0037 1 NIP . 030 227 927
2. Pembimbing II, 2. Penguji II,
Iwan Wahjudijanto, ST Ir. Sumadiman , MT NPT. 3 7102 99 0168 1 NIP . 110 033 285 3. Penguji III,
Donny Hary Agustiawan, ST
Mengetahui,
Dekan Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur
Dr. Ir. Edi Mulyadi, SU
Karunia-Nya sehingga tugas akhir dengan judul ”Perencanaan Tubuh Embung Gadding Kecamatan Manding Kabupaten Sumenep” ini dapat terselesaikan dengan
baik. Tugas akhir ini disusun guna memenuhi salah satu syarat akademis bagi mahasiswa
strata 1 diprogram studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan UPN
”Veteran” Jawa Timur.
Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh penyusun, maka hasil dari laporan
tugas akhir ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian penyusun
telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai hasil yang terbaik. Untuk itu
penyusun mengharapkan adanya saran dan kritik demi menyempurnakan tugas akhir ini.
Pada kesempatan ini pula penyusun menguapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. Ir. Edi Mulyadi, SU selaku Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
UPN ”Veteran” Jawa Timur.
2. Ibu Ir. Wahyu Kartini, MT selaku ketua Program Studi Teknik Sipil UPN ”Veteran”
Jawa Timur, dan Dosen Wali yang telah membimbing penyusun selama proses
perkuliahan.
3. Ibu Novie Handajani, ST, MT selaku Dosen Pembimbing Utama yang senantiasa
memberikan arahan dan dukungan serta motivasi dan waktuyang telah diberikan
kepada penyusun selama pembuatan tugas akhir ini.
5. Alm. Ibuku yang menjadi inspirator untuk penyelesaian tugas akhir ini.
6. Kedua Orang Tuaku Bapak dan mbak Ratik, kakakku, bpk Roupek dan Yuliniar
Pratiwi telah banyak memberikan dukungan lahir dan batin, material, spiritual, dan
moral selama pegerjaan Tugas Akhir ini.
7. Sobat Anggrek, Boxy (Team Gadding), Semua teman-temanku Artis-05, Trio Hidro
(Aq, mas Dedik dan mas Ngahadi) dan pak Febru yang telah memberikan dukungan
kepada penyusun, serta seluruh teman-teman dan Alumni - Alumni Program Studi
Teknik Sipil yang tidak dapat penyusun sebutkan satu-persatu yang telah memberikan
semangat dan doa sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan
baik.
8. Seluruh Dosen dan staf Pengajar, yang telah banyak memberikan pengetahuan dan
membantu selama proses perkuliahan.
9. Bapak Wahyu (Balai Besar Wilayah Sungai Brantas) yang telah memberikan data –
data untuk penyusunan tugas akhir ini.
10.KJPP WAHYUDI UTOMO dan samua staf yang telah menberikan kepercayaannya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas akhir ini
11.Seluruh rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
tugas akhir ini.
bermanfaat bagi semua pembaca.
Surabaya, Juni 2010
Penyusun
ABSTRAK ... i
DAFTAR ISI ... ii
DAFTAR TABEL... vi
DAFTAR GAMBAR ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 2
1.3 Maksud dan Tujuan ... 2
1.4 Batasan Masalah ... 3
1.5 Lokasi Studi... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Analisa Hidrologi ... 5
2.1.1 Analisa Curah Hujan Rata-Rata Daerah Aliran... 5
2.1.2 Analisa Frekuensi Curah Hujan ... 7
2.1.3 Uji Konsistensi Data ... 15
2.1.4 Pemeriksaan Kesesuaian Distribusi Frekuensi ... 16
2.1.5 Distribusi Curah Hujan Efektif Jam – Jaman ... . 19
2.1.6 Koefisien Pengaliran ... 20
2.1.7 Hujan Netto ... 22
2.1.8 Hidrograf Satuan... 23
2.4 Analisa Perencanaan Bangunan Embung ... 32
2.4.1 Tipe Embung... . 32
2.5 Penentuan Dimensi Tubuh Embung ... 34
2.5.1 Tinggi Jagaan... ... 34
2.5.2 Lebar Puncak Embung... 38
2.5.3 Penurunan Tubuh Embung... . 38
2.5.4 Penentuan Lebar Main Dam... . 39
2.5.5 Analisa Kegempaan... . 39
2.5.6 Kemiringan Lereng Tubuh Embung... 40
2.6 Perencanaan Pelindung Tubuh Embung ( Protection Zone ) .... 41
2.6.1 Kriteria Pelindung Tubuh Embung (Geotekstil) ... 42
2.7 Stabilitas Embung Terhadap Aliran Filtrasi ... 42
2.7.1 Analisa Formasi Garis Depresi Pada Embung ... 43
2.7.2 Kapasitas Aliran Filtrasi ... 46
2.7.3 Gejala Sufosi dan Sembulan... 47
2.8 Stabilitas Tubuh Embung ... 48
BAB III METODOLOGI PERENCANAAN... 52
3.1 Data Topografi ... 52
3.2 Data Hidrologi ... 52
3.3 Data Geologi dan Mekanika Tanah ... 54
3.4 Flow Chart... 56
BAB IV PERENCANAAN EMBUNG... 57
4.1 Analisa Hidrologi ... 57
4.1.1 Analisa Curah Hujan Harian Maksimum ... 57
4.2 Perhitungan Curah Hujan Rata –Rata Daerah ... 59
4.2.1 Metode Distribusi Normal... 59
4.2.2 Metode Distribusi Gumbel ... 61
4.2.3 Metode Log Pearson Type III ... 63
4.3 Uji Kesesuaian Distribusi Frekuensi ... 67
4.3.1 Metode Smirnov Kolmogorov... 67
4.3.2 Metode Chi Kuadrat ... 68
4.4 Hujan Efektif ... 71
4.5 Perhitungan Debit Banjir Nakayasu ... 74
4.6 Analisa Kapasitas Tampungan ... 88
4.7 Kapasitas Pengaliran Melalui Pelimpah ... 91
4.8 Penentuan Perhitungan Flood Routing ... 95
4.9 Perencanaan Teknis Embung ... 104
4.9.1 Pemiliha Tipe Embung Utama ... 104
4.9.2 Penentuan Elevasi – Elevasi Rencana ... 104
4.9.3 Perhitungan Dimensi Tubuh Embung ... 105
4.10 Perhitungan Stabilitas Tubuh Embung... 112
4.10.1 Stabilitas Tubuh Embung Terhadap Alian Filtrasi... 112
4.10.2 Penentuan Garis Depresi ... 112
4.10.3 Perhitungan Kapasitas Aliran Filtrasi... 117
4.10.4 Stabilitas Terhadap Gejala Sofusi (Piping) ... 120
4.11 Analisa Stabilitas Lereng Tubuh Embung... 122
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 132
5.1 Kesimpulan ... 132
5.2 Saran ... 133
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Tabel 2.1 Nilai Variable Reduksi Gauss... 9
Tabel 2.2 Hubungan Reduced Standart Deviasion Sn dan Yn Dengan Besarnya Sample n... 10
Tabel 2.3 Harga “Reduced Variate” ( It ) pada cara gumbel ... 11
Tabel 2.4 Harga G Pada Distribusi Log Pearson III (Untuk Cs Positif)... 13
Tabel 2.5 Harga G Pada Distribusi Log Pearson III (Untuk Cs Negatif ) ... 14
Tabel 2.6 Nilai Delta Kritis (dcr) Untuk Uji Smirnov-Kolmogorov... 17
Tabel 2.7 Harga Untuk Uji Kai Kuadrat... 19
Tabel 2.8 Angka Koefisien Pengaliran DAS ... 21
Tabel 2.9 Rumus-Rumus Koefisien Limpasan ... 22
Tabel 2.10 Tempat Kedudukan Koordinat Lingkaran Kritis ... 51
Tabel 3.1 Jenis dan Volume Pengerjaan ... 55
Tabel 4.1 Perhitungan Curah Hujan Rata-Rata Stasiun Manding ... 57
Tabel 4.2 Perhitungan Curah Hujan Rata-Rata Satasiun Batuputih ... 58
Tabel 4.3 Curah Hujan Harian Maksimum Embung Gadding ... 58
Tabel 4.4 Perhitungan Frekuensi Curah Hujan Rata – Rata ... 59
Tabel 4.5 Perhitungan Frekuensi Curah Hujan... 63
Tabel 4.6 Nilai K Sebaran Person III Untuk Cs < 0 ... 65
Tabel 4.7 Perhitungan Hujan Rencana Dengan Metode Log Person Type III 66
Tabel 4.8 Perhitungan Uji Kesesuaian Distribusi Secara Horizontal Dengan Metode Smirnov Kolmogorov ... 67
Tabel 4.11 Distribusi Hujan Efektif Setiap Jam ... 73
Tabel 4.12 Perdamaan Lengkung Hidrograf Nakayasu ... 76
Tabel 4.13 Ordinat HSS Nakayasu Embung Kepuh Rejo ... 77
Tabel 4.14 Debit Banjir Rencana Metode Nakayasu Untuk Kala Ulang 2 Tahun ... 80
Tabel 4.15 Debit Banjir Rencana Metode Nakayasu Untuk Kala Ulang 5 Tahun ... 81
Tabel 4.16 Debit Banjir Rencana Metode Nakayasu Untuk Kala Ulang 10 Tahun ... 82
Tabel 4.17 Debit Banjir Rencana Metode Nakayasu Untuk Kala Ulang 25 Tahun ... 83
Tabel 4.18 Debit Banjir Rencana Metode Nakayasu Untuk Kala Ulang 50 Tahun ... 84
Tabel 4.19 Debit Banjir Rencana Metode Nakayasu Untuk Kala Ulang 100 Tahun ... 85
Tabel 4.20 Rekapitulasi Debit Banjir Rancangan DAS Gadding ... 86
Tabel 4.21 Hubungan Antara Elevasi, Luas da Volume Genangan ... 88
Tabel 4.22 Perhitungan Debit Yang Melimpah di Atas Spillway ... 93
Tabel 4.23 Hubungan Antara Storage, Outflow dan ( S + O/2 . t )... 97
Tabel 4.24 Perhitungan Flood Routing Untuk Q100 Tahun... 100
Tabel 4.25 Titik – Titik Koordinat Garis Depresi... 114
Tabel 4.28 Stabilitas Lereng Hilir Saat Selesai Dibangun... 130
Gambar 1.1 Peta Lokasi Rencana Embung Gadding... 4
Gambar 2.1 Kurva Massa Ganda ... 16
Gambar 2.2 Bentuk Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ... 25
Gambar 2.3 Grafik Lengkung Kapasitas ... 26
Gambar 2.4 Klasifikasi Umum Embung Urugan... 33
Gambar 2.5 Grafik Ketinggian Ombak Yang Naik ke Atas Permukaan Lereng Udik. ... 36
Gambar 2.6 Garis Depresi Pada Embung Homogen ... 42
Gambar 2.7 Garis Depresi Pada Embung Homogen (Sesuai dengan garis parabola)... 43
Gambar 2.8 Beberapa Cara Untuk Memperoleh Harga ”α” Sesuai Dengan Sudut Bidang Singgungnya (α)... 45
Gambar 2.9 Garis Hubungan Antara Sudut Bidang Singgung Dengan C 45
Gambar 2.10 Cara Menentukan Besarnya Harga N dan T ... 50
Gambar 2.11 Skema Perhitungan Dengan Metode Irisan Bidang Luncur... 50
Gambar 4.1 Grafik Uji Kesesuaian Distribusi ... 70
Gambar 4.2 Kurva Unit Hidrograf Banjir Embung Gadding ... 79
Gambar 4.3 Kurva Unit Hidrograf Banjir Embung Gadding ... 87
Gambar 4.4 Grafik Lengkung Kapasitas Embung Gadding ... 90
Gambar 4.5 Grafik Hubungan Antara storage, Outflow dan ( S+O/2.Δt) .... 99
Gambar 4.6 Grafik Penelusuran Banjir Q100th... 103
Gambar 4.7 Potongan Melintang Tubuh Embung ... 110
xiii
Gambar 4.10 Stabilitas Bagian Hulu Embung Pada Kondisi Kosong Setelah
Selesai Di Bangun... 125
Gambar 4.11 Stabilitas Bagian Hulu Embung Pada Kondisi Muka Air Penuh 128
Gambar 4.12 Stabilitas Bagian HilirEmbung Pada Kondisi Kosong Setelah
iv
PERENCANAAN TUBUH EMBUNG GADDING,
KECAMATAN MANDING, KABUPATEN SUMENEP
Oleh :
GATOT SUHARTANTO 0553010027
Embung adalah bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meningkatkan taraf muka air atau untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga air dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkannya.
Dengan dibangunnya Embung Gadding diharapkan dapat memberikan tampungan yang dapat mengatasi masalah – masalah yang terjadi pada saat musim penghujan maupun kemarau terutama untuk kebutuhan air irigasi bagi pertanian daerah Gadding.
Untuk proses perencanaan suatu bangunan embung perlu dilakukan beberapa analisa antara lain : analisa hidrologi dan analisa hidrolika. Sehingga dari analisa tersebut dapat diketahui besarnya debit yang terdapat pada lokasi, serta dapat diperhitungkan beberapa dampak yang dapat mengganggu stabilitas pada embung.
Dari hasil analisa diatas Embung Gadding ini didesain dengan tubuh embung tipe urugan tanah homogen dengan elevasi dasar sungai + 63,05 dan menggunakan Q100 =
10,840 m3/dt. Dari perencanaan didapatkan hasil sebagai berikut : elevasi MOL + 65,85
elevasi NWL + 69,00 elevasi HWL + 69,88. Dimensi tubuh embung dengan panjang 54,23 m, lebar Main Dam 5 m, dan tinggi embung 8,95 m.
Setelah dilakukan analisa stabilitas tubuh embung, ternyata dimensi embung yang direncanakan aman terhadap gaya – gaya yang timbul oleh adanya aliran filtrasi dan bahaya longsor.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Embung adalah bangunan air dengan kelengkapan yang dibangun
melintang sungai yang sengaja dibuat untuk meningkatkan taraf muka air atau
untuk mendapatkan tinggi terjun, sehingga sehingga air dapat disadap dan
dialirkan secara gravitasi ke tempat yang membutuhkannya.
Embung Gadding terletak di Kecamatan Manding Kabupaten Sumenep
yang merupakan desa-desa terisolir di sekitar daerah aliran sungai (DAS) yang
belum terjangkau dan belum menikmati akan adanya air baku layak minum,
sehingga masih terjadi kantong-kantong desa tertinggal. Sedangkan kondisi air
permukaan dan topografi dari daerah tersebut pada umumnya tidak
memungkinkan untuk dibangun konstruksi bangunan-bangunan pengairan yang
besar.
Mengingat kondisi tersebut, maka perlu direncanakan sebuah embung
tetap yang dilengkapi dengan bangunan pelengkap lainnya sehingga memenuhi
syarat teknis. Sehingga dengan dibangunnya embung tetap ini dapat mengatasi
masalah – masalah yang terjadi.
Tujuan pembangunan Embung Gadding ini adalah untuk memenuhi suplay
air baku sebesar 0,06 m3/dt dan untuk area irigasi seluas 13.000 ha sebesar 8,515
m3/det. Jadi jumlah kebutuhan air untuk wilayah gadding sebesar 8,575 m3/det.
Lokasi rencana Embung terletak di desa Gadding wilayah Kecamatan
Manding Kabupaten Sumenep. Embung Gadding mempunyai luas DAS 1,67 km2
dengan panjang sungai 1,849 km.
Untuk tipe embung ditentukan dengan menggunakan embung tipe urugan
homogen. Karena didasarkan pada bahan material disekitar lokasi perencanaan
embung adalah tanah urugan. Beberapa faktor yang mempengaruhi analisa
hidrologi dalam perencanaan embung ini adalah dengan menganalisis data curah
hujan. Jumlah stasiun penakar hujan yang digunakan dalam analisis hidrologi
pada perencanaan embung Gadding di Kabupaten Sumenep ini adalah 2 (dua),
yaitu stasiun Mandding dan stasiun Batuputih.
1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang dapat diambil berdasarkan latar belakang yang
dijelaskan diatas, adalah :
1. Bagaimana merencanakan dimensi suatu tubuh embung berdasarkan
hasil analisa peningkatan debit air dengan tujuan tidak merusak
konstruksi embung akibat peningkatan debit air.
2. Bagaimana merencanakan stabilitas embung terhadap gaya – gaya yang
bekerja pada embung.
1.3. Maksud dan Tujuan
1. Embung yang direncanakan dapat menampung air dengan tetap memiliki
konstruksi embung yang kuat meskipun debit melebihi kapasitas sungai.
2. Perencanaan embung diharapkan mampu menampung serta
mengendalikan debit banjir yang ditimbulkan pada saat musim hujan dan
pada saat musim kemarau. Dengan tampungan air yang ada bangunan
bendung mampu mengendalikan debit air yang berfungsi untuk
penyediaan air baku dan jaringan irigasi didaerah sekitar.
1.4. Batasan Masalah
Dalam penyusunan tugas akhir yang berjudul “ Perencanaan Tubuh
Embung Gadding, Kecamatan Manding, Kabupaten Sumenep, Propinsi Jawa
Timur “ dan mengingat luasnya masalah yang berkaitan dengan bendung, Maka
batasan masalah pembahasan ini meliputi :
1. Perencanaan dimensi embung.
2. Data curah hujan yang digunakan dari mulai tahun 1996 sampai tahun
2005 (10 tahun).
3. Peninjauan stabilitas embung terhadap gaya – gaya yang bekerja.
1.5. Lokasi Studi
Lokasi rencana Embung Gadding terletak di desa Gadding, Kecamatan
52
2.1. Analisa Hidrologi
Tujuan utama dari analisa hidrologi antara lain adalah untuk mendapatkan
nilai curah hujan daerah dan frekuensinya yang selanjutnya dipergunakan sebagai
dasar dalam perhitungan debit banjir rencana sehingga dengan adanya nilai debit
rencana yang ada embung dapat direncanakan dimensinya sesuai besarnya debit
banjir yang ada.
2.1.1 Analisis Curah Hujan Rata – Rata Daerah Aliran
Dalam perencanaan debit banjir data yang diperlukan adalah hasil dari
rata – rata curah hujan diseluruh daerah aliran sungai. Beberapa metode yang
dapat digunakan untuk mencari curah hujan rata – rata daerah aliran sungai antara
lain :
1) Metode Arimatik Mean
Tinggi rata – rata curah hujan didapatkan dari nilai rata – rata curah hujan
dari setiap stasiun pengamat hujan yang ada. Metode ini dipakai apabila daerah
aliran sungai merupakan daerah yang datar dan jumlah satasiun pengamat hujan
cukup banyak dan tersebar disekitar daerah aliran. Rumus yang digunakan
menurut hidrologi untuk pengairan, Oleh Ir. Suyono Sosro darsono, hal 27 adalah
) Rn ... R3
R2 R1 ( n 1
Dimana : pengamat stasiun Jumlah n ) mm ( hujan pencatat stasiun hujan tiap curah Tinggi Rn ... R3, R2, R1, (mm) rata -rata daerah hujan Curah R
2) Metode Polygon Thiessen
Dengan melakukan penakaran ataupun pencatatan pada alat penakar hujan,
hanyalah didapatkan curah hujan di suatu titik tertentu. Bila dalam suatu areal
terdapat beberapa alat penakar atau pencatat curah hujan, maka untuk
mendapatkan harga curah hujan areal pada studi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan Metode Rerata Artimatik ataupun Metode Polygon Thiessen, cara
ini didasarkan atas cara rata-rata timbang (weighted average). Masing-masing
penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan
garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar
hujan.
. Metode ini digunakan bila jumlah stasiun pencatat hujan yang ada
hanya sedikit dan letaknya tidak merata didaerah aliran sungai. Oleh Ir. Suyono
Sosrodarsono, hal 27 adalah :
A A . ...R A . R A . R
R 1 1 2 2 n n
... (2.2)
3) Metode Isohiet
Metode isohiet adalah metode dimana pengambilan garis – garis tegak
lurus sebagai penghubung antara tempat – tempat pos penakar hujan.
Pengambilan garis isohiet akan lebih mudah jika dari beberapa pos penakar hujan
mempunyai pengamatan tinggi curah hujan yang hampir sama, akan tetapi jika
banyaknya pos penakar hujan mempunyai banyak perbedaan ataupun bervariasi
maka akan menjadi lebih sulit untuk pada pengambilan garis isohiet.
Rumus yang digunakan menurut Hidrologi untuk pengairan, Oleh Ir.
Suyono Sosrodarsono, hal. 29 adalah :
n 2 1 n n 2 2 1 1 A ... ... A A A . R ... A . R A . R R
... (2.3)
Dimana :
) Km ( Isohiet garis -garis antara bagian Luas ....An A2,... A1, ) mm ( ...A , A , A bagian pada rata -rata hujan Curah Rn ... R2, R1, (mm) rata -rata daerah hujan Curah R 2 n 2 1
2.1.2 Analisa Frekuensi Curah Hujan
Untuk mencari distribusi yang cocok dengan data yang tersedia dari
pos-pos penakar hujan yang ada di sekitar lokasi pekerjaan perlu dilakukan Analisis
Frekuensi. Analisis frekuensi dapat dilakukan dengan seri data hujan maupun
data debit.
Dalam Perencanaan ini metode analisa frekuensi yang digunakan adalah :
1. Metode Distribusi Normal
3. Metode Log Pearson type III.
Dari hasil ketiga metode tersebut dipilih harga yang paling mungkin
terjadi yaitu melihat kriteria dari metode non parameter.
1. Metode Distribusi Normal
Metode Distribusi Normal berfungsi menentukan tinggi curah hujan
dengan periode ulang tertentu menurut Analisa Hidrologi, Oleh Sri Harto Br, hal
244 sebagai berikut :
k . Sx x
XT ... (2.4)
Dimana :
XT = Perkiraan tinggi curah hujan yang diharapkan terjadi dengan
periode ulang tertentu.
x = Nilai rata – rata variat
Sx = Deviasi standart nilai variat
K = Faktor frekuensi merupakan fungsi dari pada periode ulang dan
tipe model matematik dari distribusi peluang yang digunakan
untuk analisis peluang ( tabel 2.1 )
Urutan perhitungan adalah sebagai berikut :
a. Mencari harga
n X
X
i ... (2.5)b. Mencari harga deviasi standart
1 -n X -X Sx 2 i
... (2.6)
c. Mencari harga K dapat dilihat dari tabel 2.1
d. Mencari harga curah hujan dengan kala T tahun ( XT )
k . Sx X
Tabel 2.1. Nilai variable reduksi gauss
Periode ulang
T ( tahun ) Peluang k
... 1,670 2,000 2,500 3,330 4,000 5,000 10,000 25,000 50,000 100,000 200,000 ... ... 0,600 0,500 0,400 0,300 0,250 0,200 0,100 0,500 0,200 0,010 0,005 ... ... -0,25 0,00 0,25 0,52 0,67 0,84 1,28 1,64 2,05 2,33 2,58 ...
Sumber : Hidrolika jilid I, oleh Soewarno hal.119
2. Metode Distribusi Gumbel
Chow dalam Soemarto (1986) menyarankan agar variate X yang
menggambarkan deret hidrologi acak dapat dinyatakan dengan rumus berikut ini :
X T = X + K . SX ... (2.8)
dimana :
XT = Besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun
(mm)
X = Curah hujan rata - rata (mm)
Sx = Standar deviasi
K = Faktor frekuensi yang merupakan fungsi dari periode ulang ( return
Faktor frekuensi K untuk harga-harga ekstrim Gumbel ditulis dengan rumus
berikut :
Sn Yn Yt
K ………... ( 2.9)
dengan :
YT = Reduced Variete sebagai fungsi periode ulang T (Tabel 2.3)
Yn = Reduced Mean sebagai fungsi dari banyaknya data n (Tabel 2.2)
Sn = Reduced Standart Deviation sebagai fungsi dari banyaknya data n
Dengan mensubstitusi kedua persamaan di atas diperoleh :
Sx . Sn
Yn Yt X
XT ………... (2.10)
Tabel 2.2. Hubungan ”Reduced Standart Deviasion” Sn dan Yn Dengan
Besarnya Sample n
N Yn Sn N Yn Sn
8 0.4843 0.9043 20 0.5236 1.0628
9 0.4902 0.9288 21 0.5252 1.0696
10 0.4952 0.9496 22 0.5268 1.0754
11 0.4996 0.9676 23 0.5283 1.0811
12 0.5035 0.9833 24 0.5296 1.0864
13 0.5070 0.9971 25 0.5309 1.0915
14 0.5100 1.0095 26 0.5320 1.0961
15 0.5128 1.0206 27 0.5332 1.1004
16 0.5157 1.0316 28 0.5343 1.1047
17 0.5181 1.0411 29 0.5353 1.1086
18 0.5202 1.0493 30 0.5362 1.1124
19 0.5220 1.0565 31 0.5371 1.1159
Tabel 2.3. Harga ”Reduce variate” ( It ) pada cara gumbel
T ( tahun ) ( Yt )
1.001 1.01 1.5 2 5 10 15 25 50 100 200 300 500 1000 -0.2 -0.1572 -0.016 0.4125 1.4999 2.2502 2.6102 3.2758 3.9012 4.6001 5.2958 5.8602 6.2018 6.9073
Sumber : Hidrologi Terapan, Oleh Sri Harto BR. Dipl. H.Ir.hal. 177
3. Metode Log Pearson Type III
Untuk perhitungan frekuensi curah hujan rencana dengan Metode Log
Pearson III untuk perencanaan bangunan air, (Ir. CD. Soemarto) dapat dijelaskan
sebagai berikut :
SLogx . K x Log X
Log T ... (2.11)
Dimana :
XT = Curah hujan dengan kala ulang T tahun (mm)
x
Log = Harga rata – rata
SLogx = Standart deviasi
K = Koefisien, yang harganya tergantung pada nilai asimetri ( Cs )
Urutan perhitungan adalah sebagai berikut :
a. Mencari harga Logx
n x Log x
Log
1 n i... (2.12)
b. Mencari harga : ( Log x - Logx), (Log x - Logx)2,( Log x - Logx)3
c. Mencari harga standart deviasi ( Slogx )
1 -n x Log x Log SLog n 1 -i 2 x
... (2.13)
d. Mencari harga asimetri ( Cs )
3 x n 1 i 3 Slog 2 -n 1 -n x Log x Log nTabel 2.4 Harga G pada Distribusi Log Pearson III (Untuk Cs Positif)
Kala Ulang
1.010 1.052 1.111 1.25 2 5 10 25 50 100 200 1000 Kemungkinan Terjadinya Banjir (%)
Cs
Tabel 2.5. Harga G pada Distribusi Log Pearson III (Untuk Cs Negatif )
Kala Ulang
1.010 1.052 1.111 1.25 2 5 10 25 50 100 200 1000 Kemungkinan Terjadinya Banjir (%)
Cs
2.1.3 Uji Konsistensi Data
Uji konsistensi data adalah cara untuk mekonsistensikan data terhadap
berbedaan data hujan. Pada metode ini, hubungan antara seri waktu dengan data
curah hujan dianggap linier. Data curah hujan tahunan jangka waktu yang panjang
dari suatu stasiun penakar hujan, dibandingkan dengan data curah hujan rata-rata
sekelompok stasiun penakar hujan dalam periode yang sama. Untuk itu harus
dipilih stasiun penakar hujan disekitarnya yang mempunyai kondisi topografi
yang hampir sama.
- Analisis Kurva Massa
Jika terdapat data curah hujan tahunan dengan jangka waktu pengamatan
yang panjang, maka kurva massa ganda dapat digunakan untuk memeriksa dan
memperbaiki kesalahan pengamatan yang tidak homogen yang disebabkan oleh
perubahan posisi atau cara pemasangan alat ukur hujan yang tidak baik.
Adapun cara perbaikannya adalah dengan mengoreksinya sebagai berikut :
Tg = y / x = Yz / Xo Tg = Yo / Xo ...
(2.15)
Hz = ( Tg / Tg ) Ho ...
(2.16)
dimana :
Hz = Data curah hujan yang telah dikoreksi.
Ho = Data curah hujan tahunan hasil pengamatan.
Tg = Kemiringan awal.
Yz ao
ao
Kumulatif Rerata Stasiun
K um ul at if S ta si u
n ( m
m
)
Gambar 2.1 Kurva Massa Ganda
2.1.4 Pemeriksaan Kesesuaian Distribusi Frekuensi
Uji kesesuaian distribusi frekuensi adalah pemeriksaan dari hasil
pengamatan dengan model distribusi frekkuensi yang diharapkan atau yang
diperoleh secara teoritis.
Dalam perencanaan ini menggunakan beberapa metode yaitu : Metode
Smirnov-Kolmogorof dan Metode Kai-Kuadrat ( Chi-Square )
1. Metode Smirnov-Kolmogorof
Pengujian distribusi metode Smirnov Kolmogorov didasarkan pada
perhitungan probabilitas dan plotting data untuk mengetahui data yang
mempunyai simpangan terbesar.
a. Probabilitas dihitung dengan rumus Weibull (Subarkah,1980) sebagai
berikut : 100% x 1 m n P
…………..……… (2.17)
dengan :
m = nomor urut data seri yang telah disusun
n = besarnya data
b. Menghitung nilai G untuk mengetahui probabilitas dari data yang
mempunyai simpangan terjauh berdasarkan persamaan berikut :
Log X = Log X + G x S... (2.18)
Dari tabel Log Pearson III didapatkan harga Pr
c. Pengujian kesesuaian Metode Smirnov Kolmogorov dilakukan dengan
persamaan sebagai berikut :
Px = 1 - (Pr)
Δmax = Sn – Px
dengan :
Δmax = selisih maksimum antara peluang empiris antara peluang dan
peluang teoritis
Sn = peluang teoritis
Px = peluang empiris
Nilai Δkritis untuk uji Smirnov Kolmogorov dapat dilihat pada Tabel 2.6
Tabel 2.6. Nilai Delta Kritis (dcr) Untuk Uji Smirnov-Kolmogorov
0.2 0.1 0.05 0.01
5 0.45 0.51 0.56 0.67
10 0.32 0.37 0.41 0.67 15 0.27 0.3 0.34 0.4 20 0.23 0.26 0.29 0.36 25 0.21 0.24 0.27 0.32 30 0.19 0.22 0.24 0.29
35 0.18 0.2 0.23 0.27
40 0.17 0.19 0.21 0.25
45 0.16 0.18 0.2 0.24
n>50 n 07 . 1 n 22 . 1 n 36 . 1 n 63 . 1
Syarat distribusi dapat diterima jika Δmax < Δkritis.
2. Metode Kai-Kuadrat ( Chi – Square )
Uji kesesuaian Metode Kai-Kuadrat dilakukan dengan terlebih dahulu
mencari harga dari parameter-parameter sebagai berikut :
a. Mencari nilai X dengan probabilitas 80%, 60%, 40% dan 20%, dengan
mencari nilai G pada tiap probabilitas dari tabel Log Pearson III hubungan
antara nilai Skewness dengan probabilitas yang dimaksud.
b. Menghitung nilai X untuk menentukan batas kelas dengan rumus sebagai
berikut :
Log X = Log x+ G. Sd ... (2.19)
c. Menentukan jumlah kelas pengamatan dengan rumus sebagai berikut :
Jumlah kelas = 1 + 3,3 Log . n
d. Menentukan frekuensi pengamatan dari data curah hujan harian maksimum
dengan batasan sebagaimana hasil perhitungan di atas
e. Uji kesesuaian Metode Chi Square menggunakan rumus sebagai berikut:
Ej Ej OJ X 2 2... (2.20)
dengan :
X2 = harga Kai kuadrat.
Ej = frekuensi (banyaknya pengamatan) yang diharapkan, sesuai
Oj = frekuensi terbaca pada kelas yang sama.
[image:35.595.150.479.200.606.2]Nilai Syarat distribusi dapat diterima jika X2hitung < X2kritis
Tabel 2.7. Harga untuk Uji Kai Kuadrat Degrees
Of Freedom
Probability of Deviation Greater Than X2
0.2 0.1 0.05 0.01 0.001
1 1.642 2.706 3.841 6.635 10.827 2 3.219 4.605 5.991 9.21 13.815
3 4.642 6.251 7.815 11.345 16.268
4 5.989 7.779 9.488 13.277 18.465
5 7.289 9.236 11.07 15.086 20.517
6 6.558 10.645 12.592 16.812 22.457
7 9.803 12.017 14.067 18.475 24.322
8 11.03 13.362 15.507 20.09 26.125
9 12.242 14.684 16.919 21.666 27.877
10 13.442 15.987 18.307 23.209 29.588 11 14.631 17.275 19.675 24.725 31.264 12 15.812 18.549 21.026 26.217 32.909 13 16.985 19.812 22.362 27.688 34.528 14 18.151 21.064 23.685 29.141 36.123 15 19.311 22.307 24.996 30.578 37.697 16 20.465 23.524 26.296 32 39.252 17 21.615 24.769 27.587 33.409 40.79
18 22.76 25.989 28.869 34.805 42.312
19 23.9 27.204 30.144 36.191 43.82
20 25.038 28.412 31.41 37.566 45.315
Sumber : Hidrologi Teknik CD, Soemarto
2.1.5 Distribusi Curah Hujan Efektif Jam - Jaman
Hasil pengamatan di Indonesia hujan terpusat tidak lebih dari 7 jam, maka
dalam perhitungan ini diasumsikan hujan terpusat maksimum adalah 6 jam sehari.
3 2 24 t
t 24 24 R
R
……….. (2.21)
Dengan :
Rt = Intensitas hujan rerata dalam t jam (mm/jam)
R24 = Curah hujan efektif dalam 1 hari (mm)
t = Waktu mulai hujan (jam)
2.1.6 Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran adalah suatu variabel yang didasarkan pada kondisi
daerah aliran sungai dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Kondisi
dan karakteristik dimaksud adalah :
- Keadaan hujan
- Luas dan bentuk daerah aliran
- Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai
- Daya infiltrasi dan perkolasi tanah
- Kebasahan tanah
- Suhu udara dan angin serta evaporasi
- Tata guna tanah
Koefisien pengaliran seperti yang disajikan pada Tabel 2.8 didasarkan
pada suatu pertimbangan bahwa koefisien tersebut sangat tergantung pada
pengaliran yang dipakai untuk perhitungan pada lokasi studi adalah sebagaimana
[image:37.595.124.501.229.442.2]disajikan pada Tabel 2.8 Koefisien Pengaliran (C )
Tabel 2.8 Angka Koefisien Pengaliran DAS
Kondisi DAS Angka Pengaliran (C)
Daerah pegunungan dengan kemiringan tinggi 0,75 – 0,90
Daerah pegunungan tersier 0,70 – 0,80
Daerah hutan dan bergelombang 0,50 – 0,75
Dataran dataran dengan ditanami 0,45 – 0,60
Daerah persawahan 0,70 – 0,80
Sungai di daerah pegunungan 0,75 – 0,85
Sungai kecil didaerah dataran 0,45 – 0,75
Sungai dengan daerah aliran sungani yang besar 0,50 – 0,75
Sumber : Hidrologi Pengairan, Suyono Sosrodarsono
Dari hasil pengamatan kondisi di lapangan pada DAS Embung Gadding,
maka dapat disimpulkan bahwa DAS Embung Gadding berada pada daerah hutan
dan bergelombang sehingga mempunyai nilai koefisien limpasan (C) adalah
sebesar C = 0,75.
Kemudian Dr Kawakami menyusun sebuah rumus yang mengemukakan
bahwa untuk sungai-sungai tertentu, koefisien itu tidak tetap tetapi berbeda-beda
tergantung dari curah hujan.
F = 1 – R’/Rt = 1 – F’... (2.22)
dengan :
F’ = laju kehilangan = / Rst
Rt = jumlah curah hujan (mm)
R’ = kehilangan curah hujan
, s = tetapan
Berdasarkan rumus tersebut di atas, maka jabaran tetapan nilai koefisien
pengaliran adalah sebagaimana disajikan pada Tabel 2.9 (Hidrologi Pengairan,
Suyono Sosrodarsono).
Tabel 2.9 Rumus-Rumus Koefisien Limpasan
Rumus
No Daerah Kondisi sungai Curah hujan
Koefisien
1 Hulu F = 1 – 15.7 / Rt¾
2 Tengah Sungai biasa F = 1 - 5.65 / Rt¾
3 Tengah Sungai di zone lava Rt > 200 mm F = 1 - 7.20 / Rt3/4
4 Tengah Rt < 200 mm F = 1 - 3.14 / Rt¾
5 Hilir F = 1 – 6.60 / Rt3/4
Sumber : Hidrologi Pengairan, Suyono Sosrodarsono
2.1.7 Hujan Netto
Hujan netto adalah bagian hujan total yang menghasilkan limpasan
langsung (direct run-off). Limpasan langsung ini terdiri atas limpasan permukaan
(surface run-off) dan interflow (air yang masuk ke dalam lapisan tipis dibawah
permukaan tanah dengan permeabitas rendah, yang keluar lagi ditempat yang
lebih rendah dan berubah menjadi limpasan permukaan). Dengan menganggap
bahwa proses transformasi hujan menjadi limpasan langsung mengikuti proses
linier dan tidak berubah oleh waktu, maka hujan netto (Rn) dapat dinyatakan
sebagai
Dengan :
Rn = Hujan netto
C = koefisien limpasan
R = Intesitas curah hujan
2.1.8 Hidrograf Satuan
- Banjir Rencana Metode Nakayasu
Nakayasu menurunkan rumus hidrograf satuan sintetik berdasarkan hasil
pengamatan dan penelitian pada beberapa sungai di Jepang. Besarnya nilai debit
puncak hidrograf satuan dihitung dengan rumus :
) T Tp (0,3 x 3,60
C.A.R Qp
0,3 0
……….. (2.24)
dengan :
Qp = Debit (m3/det)
C = Koefisien pengaliran
A = Luas daerah aliran sungai (km2)
R0 = Hujan satuan (mm)
TP = Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak
hidrograf satuan (jam)
T 0.3 = Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit
puncak sampai debit menjadi 30% dari debit puncak hidrograf
satuan (jam)
dengan :
T
0,3
α
.tg
Nilai ditentukan berdasarkan :
: untuk daerah pengaliran biasa
: bagian naik hidrograf lambat dan bagian menurun cepat.
: bagian naik hidrograf cepat dan bagian menurun lambat.
Pada bagian lengkung naik, besarnya nilai hidrograf satuan dihitung
dengan persamaan :
2,4 Tp t Qp. Qa
………... (2.25)
dan dinyatakan dalam m3 /detik.
Pada bagian lengkung turun yang, hitungan limpasan permukaannya adalah:
1. untuk Qd > 0,30.Qp,
0,3 T Tp t Qp.0,30 Qd
………... (2.26)
2. untuk 0,30.Qp > Qd > 0,302 Qp,
0,3 0,3 1,5.T ) 0,5.T Tp (t Qp.0,3 Qd
……….…….. (2.27)
3. untuk 0,302 Qp > Qd,
0,3 0,3 2.T ) 1,5T Tp (t Qp.0,3 Qd
……….……….…….. (2.28)
dengan:
Qd : Debit (m3/det)
t : Satuan waktu (jam)
Menurut Nakayasu, waktu naik hidrograf bergantung dari waktu
konsentrasi, dan dihitung dengan persamaan :
0,8.tr tg
Tp ………... (2.29)
dengan :
tg : Waktu konsentrasi (jam)
Waktu konsentrasi dipengaruhi oleh panjang sungai utama (L) :
Jika L < 15 km : tg0,21.L0,70
Jika L > 15 km : tg0,40,058.L
tr
i
t
Qp
0,3 Qp
0,32 Qp
Tp T 0,3 1,5 T 0,3
0,8 tr ts
Naik Turun
Q
Gambar 2.2 Bentuk Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu
2.2 Analisis Kapasitas Tampungan
Analisa kapasitas tampungan dilakukan untuk mendapatkan gambaran
kapasitas tampungan atau genangan dan juga luas daerah genangan yang
diusulkan. Kapasitas tampungan/genangan dapat dicari dengan memakai bantuan
data kontur topografi yang didapat dari hasil survey topografi. Perhitungan yang
digunakan dalam menghitung kapasitas genangan/tampungan adalah
menggunakan rumus :
Fn Fn hn hn
V 0,5 1 . 1 ... (2.30)
dimana :
V = Volume antara 2 kontur yang berurutan
Fn = Luas genangan pada elevasi ke n
Fn+1 = Luas genangan pada elevasi ke n+1
hn = Elevasi ke n
Gambar 2.3 Grafik Lengkung Kapasitas
2.3 Kapasitas Pengaliran Melalui Pelimpah
Debit yang melalui ambang pelimpah dihitung dengan rumus (Suyono
Sosrodarsono, Bendungan Type Urugan hal 181 ) :
Q = C . L .Hd3/2……...………...… ( 2.31)
Dimana :
Q = Debit ( debit banjir rencana )
C = Koefisien Limpahan
L = Lebar efektif mercu bendung
H = Total tinggi tekanan air diatas mercu bendung ( termasuk tinggi
tekanan kecepatan aliran yang bersangkutan )
Referensi : Koefisien limpasan ( C )
Koefisien limpahan pada embung biasanya berkisar antara angka 2,0
sampai dengan 2,1, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut :
- Kedalaman air didalam saluran pengarah aliran
- Kemiringan lereng udik bendung
- Tinggi air diatas mercu bendung
- Perbedaan antara tinggi air rencana pada saluran pengaturan aliran yang
bersangkutan
Koefisien limpahan ( C ) dari type standart suatu bedungan dapat
-9900 , 0 0416 , 0 200 ,
2
H W
C d
d ... (2.32)
-
d
d d H h a H h a C 1 2 1 . 60 ,1 ... (2.33)
dimana :
- C = Koefiseien limpahan
- Cd = Koefisien limpahan pada saat h = Hd
- H = Tinggi air di atas mercu bendung
- Hd = Tinggi tekanan rencana di atas mercu bendung
- W = Tinggi bendung
- A = Konstanta ( diperoleh pada saat h = Hd yang berarti C = Cd dengan
rumus diatas, maka harga a dengan mudah dapat diperoleh )
Panjang efektif bendung ( L )
Pada saat terjadinya pelimpahan air melintasi mercu suatu bendung terjadi
konstraksi aliran baik pada kedua dinding samping bendung maupun di sekitar
pilar – pilar yang dibangun di atas mercu bendung tersebut. Sehingga secara
hydrolis lebar efektif suatu bendung akan lebih kecil dari seluruh panjang
bendung yang sebenarnya. Dan debit yang melintasi mercu bendung yang
bersangkutan selalu didasarkan pada lebar efektifnya, yaitu dari hasil pengurangan
lebar sesungguhnya dengan jumlah seluruh konstraksi yang timbul pada aliran air
yang melintasi mercu bendung tersebut.
Rumus - rumus yang digunakan untuk menghitung panjang efektif
L = L´ - 2( N.Kp + Ka ).H………...……...……… (2.34)
Dimana :
L = Panjang efektif bendung
L´ = Panjang bendung yang sesungguhnya
N = Jumlah pilar diatas mercu bendung
Kp = Koefisien konstraksi pada pilar, dari bentuk pilar type 3, harga Kp
diambil pada saat H / Hd = 1 yaitu Kp = 0
Ka = Koefisien konstraksi pada dinding samping untuk tumpuan pilar
berbentuk bulat, dengan mengambil harga Ka pada saat H / Hd = 1
yaitu Ka = 0,12
H = Tinggi tekanan total di atas mercu bendung
Perhitungan Tinggi Tekan Rencana
Tinggi Tekan Rencana di atas ambang di hitung berdasarkan persamaan :
(Varshney, RS, Theory And Design Of Irrigation Structure, hal 513 )
Hd = H + Ha – Hf
dimana :
- H = tinggi air di atas pelimpah, di hitung dengan persamaan
3 2
.
L C
Q
H ... (2.35)
dimana :
Q = Debit yang melimpah ( Q200)
L = Lebar pelimpah
- Ha = Tinggi Kecepatan
2.g V Ha
2
... (2.36)
dimana :
V = kecepatan aliran di depan ambang =
P H
L.Q
P = tinggi ambang pelimpah ( 10 m )
- Hf = Kehilangan tinggi akibat geseran sepanjang saluran pengarah
dihitung dengan rumus Manning.
3 4
2 2
f
R .L .V n
H ... (2.37)
dimana :
n = 0,018 ( Koefisien Manning untuk bahan beton )
R = P
A ( jari – jari hidrolis )
L = panjang saluran pengarah ( 31 m )
Penelusuran Banjir
Setelah debit yang melimpah di atas spillway diketahui maka dapat
dilakukan penelusuran banjir ( flood routing ) yang lewat reservoir. Flood routing
O t
S t O S t I I . 2 . 2 . 2 2 2 1 1 2 1 ... (2.38) Dimana :
I1 = inflow pada saat t1
I2 = inflow pada saat t2
Δt = interfal waktu antara t1 dan t2
O1 = outflow pada saat t1
O2 = outflow pada saat t2
S1 = storage pada saat t1
S2 = storage pada saat t2
Langkah – langkah perhitungan flood routing tersebut diatas dilakukan sebagai
berikut :
1. Dari perhitungan outflow pelimpah dibuat grafik hubungan antara outflow dan
elevasinya dengan interval tertentu.
2. Dari grafik lengkung kapasitas didapatkan storage ( tampungan ) pada elevasi
dengan interval tertentu, kemudian dihitung harga ( S + O/2 . ∆t ) masing –
masing elevasinya dan digambarkan grafiknya.
3. Dari persamaan di atas flood routing dapat dihitung dengan terlebih dahulu
harga ( S + O/2 .∆t )1 yaitu dari ( S + O/2 . ∆t )awal yang dikurangi (O . ∆t )awal.
4. Kemudian ( S + O/2 . ∆t )1 dihitung dengan menjumlahkan t
I I . 2 2 1
5. Dari harga ( S + O/2 . ∆t )1 diplotkan ke grafik hubungan ( S + O/2 . ∆t )
dengan elevasi sehingga didapatkan elevasi untuk masing – masing harga
( S + O/2 . ∆t ).
6. Dari elevasi yang baru ditentukan diplotkan grafik hubungan elevasi dan
outflow sehingga dapat ditentukan outflow O1.
7. Hitung ( S + O/2 . ∆t )2 dari ( S + O/2 . ∆t )1 dikurangi (O . ∆t ).
8. Perhitungan berulang hingga pada seluruh inflow dari hidrograf banjir rencana
9. Lalu dibuat grafik hubungan antara inflow dan outflow.
Dari perhitungan flood routing dapat ditentukan tinggi muka air diatas mercu
sebagai berikut :
h = Elv. Maksimum Flood Routing – Elv. Crest Spillway
Sedangkan elevasi puncak bendung dapat ditentukan sebagai berikut :
= Elevasi Maksimum + Tinggi jagaan rencana
2.4 Analisa Perencanaan Bangunan Embung
2.4.1 Tipe Embung
Penentuan suatu tipe embung yang paling cocok untuk suatu tempat
kedudukan, didasarkan pada berbagai faktor, dimana faktor – faktor tersebut
adalah :
- Kualitas serta kwantitas dari bahan – bahan tubuh embung yang terdapat
didaerah sekitar tempat kedudukan calon embung.
- Kondisi penggarapan/pengerjaan bahan tersebut ( penggalian, pengolahan,
- Kondisi lapisan tanah pondasi pada tempat kedudukan calon embung.
- Kondisi alur sungai serta lereng kedua tebingnya dan hubungan dengan
calon embung beserta semua bangunan – bangunan pelengkapnya.
Yang terpenting dari keempat faktor tersebut adalah mengenai hal – hal yang
bersangkutan dengan usaha – usaha mendapatkan kualitas dan kuantitas yang
memadai untuk bahan tubuh embung tersebut.
Sehubungan dengan fungsinya sebagai pengempang air atau pengangkat
permukaan air di dalam suatu embung, maka secara garis besarnya tubuh embung
merupakan penahan rembesan kearah hilir serta penyangga tandonan air tersebut.
Tipe bendung urugan dibagi mejadi 3 yaitu :
1. Bendungan Urugan Homogen
2. Bendungan Urugan Zonal
3. Bendungan Urugan Bersekat
Zone kedap air
Zone lulus air
Zone kedap air
Zone kedap air
Zone kedap air Drainage
Zone lulus air
Zone sekat Zone lulus air Zone lulus air
Zone kedap air
Zona Transisi Zone kedap air
Zona Transisi Zona Transisi Type Be ndung an H om oge n Be ndun ga n Z ona l Be ndun ga n Int i V ert ik al Be ndu nga n Int i M iri ng Be ndu nga n T ira i Be ndunga n S eka t
Skema Umum Keterangan
Apabila 80% dari seluruh bahan pembentuk tubuh bendungan terdiri dari bahan yang bergradasi hampir
sama.
Apabila bahan pembentuk tubuh bendungan terdiri dari bahan yang lulus air,tetapi dilengkapi dengan tirai
kedap air diudiknya.
Apabila bahan pembentuk tubuh bendungan terdiri dari bahan yang lulus air,tetapi dilengkapi dengan inti
kedap air yang berkedudukan miring kehilir.
Apabila bahan pembentuk tubuh bendungan terdiri dari bahan yang lulus air,tetapi dilengkapi dengan inti
kedap air yang berkedudukan vertikal.
Apabila bahan pembentuk tubuh bendungan terdiri dari bahan yang lulus air,tetapi dilengkapi dengan dinding
yang tidak lulus air dilereng udiknya, yang biasanya terbuat dari lembaran baja tahan karat, lembaran beton
Gambar 2.4 Klasifikasi Umum Embung Urugan.
2.5 Penentuan Dimensi Tubuh Embung
2.5.1 Tinggi Jagaan
Tinggi jagaan adalah penambahan tinggi dari muka air banjir untuk
menentukan tinggi embung supaya air banjir tidak akan melampui puncak
embung (overtopping). Untuk menentukan tinggi embung, disamping tinggi
jagaan tersebut di atas harus juga diperhitung terhadap cadangan penurunan tubuh
embung sebesar 0,25 m.
Berdasarkan ”Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil Untuk Daerah Semi
Kering di Indonesia” besarnya tinggi jagaan untuk embung tipe urugan homogen
adalah sebesar 0,50 m. Suyono Sosrodarsono, Bendungan Tipe Urugan hal 171.
Tinggi jagaan (Hf) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
i a e w
f h h
h atau h h
H )
2
( ... (2.39)
i a e w
f h h
h h
H
2 ... (2.40)
dimana :
∆h = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk yang terjadi
akibat timbulnya banjir abnormal.
hw = tinggi ombak akibat tiupan angin
ha = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk, apabila terjadi
kemacetan – kemacetan pada pintu bangunan pelimpah.
Hi = tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi dari waduk
a. Tinggi permukaan air waduk disebabkan oleh banjir abnormal (∆h)
Debit banjir abnormal yang kadang – kadang melebihi debit banjir rencana
dialirkan keluar melalui bangunan pelimpah, akan tetapi elevasi permukaan air
waduk akan naik melebihi elevasi makimum rencana. Dapat dihitung dengan
rumus ( Suyono Sosrodarsono, Bendungan Type Urugan hal 172 ) sebagai
berikut :
QT Ah h Q
Q h
1 . . 3
2 0 ... (2.41)
dimana :
Q0 = debit banjir rencana
Q = kapasitas rencana bangunan pelimpah untuk banjir abnormal
α = 0,2 untuk bangunan pelimpah terbuka
α = 1,0 untuk bangunan pelimpah tertutup
h = kedalaman pelimpah rencana
A = luas permukaan air waduk pada elevasi banjir rencana
T = durasi terjadinya banjir abnormal ( biasanya antara 1 s/d 3 jam )
Tinggi jangkauan hempasan ombak yang naik keatas permukaan lereng
udik bendungan (hw) dapat diperoleh dengan metode S.M.B, yang didasarkan
pada panjang lintasan ombak (F) dan kecepatan angin di atas permukaan air
waduk. Tahap pengerjaannya adalah sebagai berikut :
panjang lintasan ombak diukur pada lintasan yang lurus, sedangkan
kenyataannya lintasan ombak yang bergerak di atas permukaan air yang
luas biasanya mengambil lintasan berbentuk garis lengkung.
Permukaan lereng yang dilindungi oleh pasangan batu kosong (stone
pitching) atau pasangan beton blok (concrete blok facing) dianggap
merupakan lereng licin sedang permukaan lereng yang dilindungi oleh
Gambar 2.5 Grafik ketinggian ombak yang naik ke atas permukaan lereng udik.
c. Tinggi ombak akibat gempa (he)
Untuk menghitung tinggi ombak yang disebabkan oleh gempa (he)
dapat digunakan rumus empiris yang dikembangkan oleh Seiichi Sato (
Suyono Sosrodarsono, Bendungan Type Urugan hal 173 ) sebagai berikut :
0
. .
H g e he
... (2.42)
dimana :
e = Intensitas seismis horisontal
= Siklus seismis (biasnya sekitar satu detik)
H0 = Kedalaman air dalam waduk
d. Kenaikan permukaan air waduk disebabkan oleh ketidak-normalan operasi
pintu – pintu bangunan pelimpah
Ketidaknormallan operasi pintu – pintu dapat terjadi oleh berbagai
sebab, antara lain : keterlambatan pembukaan, kemacetan atau bahkan
kerusakan – kerusakan mekanisme pintu – pintu tersebut, yang
mengakibatkan terjadinya kenaikan permukaan air waduk (ha) melampaui
batas maximum rencana. Didasarkan pada hal – hal tersebut, karena
e. Angkan tambahan tinggi jagaan didasarkan pada type bendungan
Mengingat limpasan melalui mercu bendungan urugan akan sangat
berbahaya, maka untuk embung tipe ini angka tambahan tinggi jagaan (hi)
diambil sebesar 1.0m (hi = 1,0m).
2.5.2 Lebar Puncak Embung
Angka standart untuk tinggi jagaan pada embung adalah didasarkan pada
tinggi embung yang direncanakan. Maka angka standar untuk tinggi jagaan pada
embung tipe urugan adalah sebagai berikut (Suyono S, hal 173 : 1987).
- Lebih rendah dari 50 m ( 50 m ) Hf 2.0 m
- Dengan tinggi 50 s/d 100 m ( 50 m ) Hf 3.0 m
- Lebih tinggi dari 100 m Hf 3.0 m
2.5.3 Penurunan Tubuh Embung
Penimbunan ekstra pada embung tipe urugan dilaksanakan untuk
mengimbangi penurunan mercu embung yang disebabkan oleh adanya proses
konsolidasi baik pada tubuh maupun pada pondasi embung. Dengan adanya
timbunan ekstra maka setelah proses konsolidasi berakhir diharapkan mercu
embung dapat mencapai elevasi yang telah direncanakan. Sedangkan untuk
memperkirakan penurunan total yang terjadi pada tubuh embung, digunakan
rumus sebagai berikut : ( Alfred R. Bolze, Hand Book Of Dam Engineering hal
326 )
dimana :
S = penurunan akhir dari tubuh bendungan ( m )
H = tinggi bendungan
2.5.4 Penentuan Lebar Main Dam
Lebar mercu embung yang memadai diperlukan agar puncak embung dapat
bertahan terhadap hempasan ombak di atas permukaan lereng yang berdekatan
dengan mercu tersebut, dan dapat bertahan terhadap filtrasi yang melalui bagian
puncak tubuh embung yang bersangkutan.
Guna memperoleh lebar minimum mercu embung (B), biasanya dihitung
dengan rumus (Suyono Sosrodarsono, Bendungan Type Urugan hal 174) sebagai
berikut :
3,0 3,6H
B 13 ... (2.44)
dimana :
b = lebar mercu
H = tinggi bendungan
2.5.5 Analisis Kegempaan
Angka koeffisien gempa dilokasi embung jika dihitung berdasarkan Peta
Zona Gempa Indonesia yang diterbitkan oleh Bagian Proyek Perencanaan Teknik
Pengairan – Direktorat Jendral Pengairan – Departemen Pekerjaan Umum tahun
1999/2000 dalam periode ulang 100 tahun, rumus yang digunakan adalah sebagai
Percepatan gempa desain :
ad = b1 x ( ac x z )b2 ... (2.45)
dimana :
ac = Percepatan gempa desain ( gal )
ad = Percepatan gempa dasar ( gal )
b1,b2 = Faktor koreksi jenis pondasi
z = Koefisien zona gempa
Koefisian gempa :
g a
k d ... (2.46)
dimana :
k = Koefisien gempa
ad = Percepatan gempa dasar ( gal )
g = Gravitasi
5.5.6 Kemiringan Lereng Tubuh Embung (slope Gradient)
Kemiringan rata – rata lereng embung ( lereng udik dan lereng hilir )
adalah perbandingan antara panjang garis vertikal yang melalui puncak dan
panjang garis horisontal yang melalui tumit masing – masing lereng tersebut.
Untuk kontrol keamanan lereng dalam keadaan gempa dipergunakan rumus
sebagai berikut :
1 , 1 tan .
1
m k K m up
Fs ... (2.47)
1 , 1 tan .
1
n k K n down
dimana :
Fs up = Faktor keamanan untuk lereng bagian hulu
Fs down = Faktor keamanan untuk lereng bagian hilir
m = Kemiringan lereng bagian hulu
n = Kemiringan lereng bagian hilir
K = koefisien gempa horisontal
= sudut geser dalam material batuan
∂` = sub
sat
2.6 Perencanaan Pelindung Tubuh Embung ( Protection Zone )
Bahan – bahan untuk embung tipe urugan merupakan bahan – bahan batu
atau tanah yang digali dari daerah di sekitar tempat kedudukan calon embung.
Dan type dari embung tersebut biasanya tergantung dari jenis, kualitas serta
kuantitas bahan – bahan yang tersedia di daerah tersebut. Secara umum embung
urugan biasanya membutuhkan bahan – bahan yang akan dipergunakan untuk
zona – zona peralihan dan zona – zona lulus air.
Proteksi bahan timbunan tubuh embung Kepuh Rejo diperlukan dengan
pertimbangan sebagai berikut :
1. Meterial timbunan tubuh embung disekitar lokasi memiliki kualitas yang
kurang memadai ditinjau dari angka permeabilitasnya, sehingga diperlukan
2. Apabila mengganti bahan material timbunan yang sesuai syarat harus
didatangkan dari luar daerah dengan jarak yang cukup jauh, sehingga dari
faktor ekonomi jauh lebih mahal
3. Bahan proteksi tersebut harus efektif dan efisien dalam arti dari segi ekonomi
dan teknis dapat memenuhi syarat.
2.6.1 Kriteria Pelindung Tubuh Embung (Geotekstil)
Perlindungan lereng permukaan embung dilakukan mengingat bahan
maerial timbunan yang kurang baik dari segi angka permeability nya, maka
diperlukan rekayasa teknologi untuk meningkatkan nilai permeability lereng hulu
embung, sehingga tubuh embung aman terhadap bahaya rembesan. Dari hasil
analisa dan kondisi di lapangan yang ada, maka proteksi lereng hulu embung
dipilih menggunakan Bentofix,
2.7 Stabilitas Embung Terhadap Aliran Filtrasi
Kapasitas aliran filtrasi adalah kapasitas rembesan air yang mengalir
melalui tubuh dan pondasi embung. Debit rembesan yang lewat tubuh embung
dihitung berdasarkan :
1. Rembesan yang melewati tubuh embung (qc)
2. Rembesan yang melewati pondasi (qf)
Rembesan yang melewati embung dihitung dengan menganggap bahwa
garis muka air rembesan berbentuk parabola dan ditentukan dengan persamaan
Casagrande :
Garis Depresi
858
286
572
Garis Depresi H858
286
572
2
3H
1
Gambar 2.6. Garis Depresi Pada Embung Homogen
Untuk mengetahui kemampuan stabilitas embung terhadap gaya-gaya yang
ditimbulkan oleh adanya aliran filtrasi yang mengalir melalui celah-celah antara
butiran-butiran tanah pembentuk Embung dan pondasi diperlukan
penelitian-penelitian pada hal-hal berikut ini :
1. Formasi garis depresi (seepage line formation) dalam tubuh embung
2. Kapasitas air filtrasi yang mengalir melalui tubuh dan pondasi embung
3. Kemungkinan terjadinya gejala sufosi (piping) yang disebabkan oleh
gaya-gaya hidrodinamis dalam aliran air filtrasi
2.7.1 Analisa Formasi Garis Depresi pada Embung
Rembesan yang melewati tubuh Embung dihitung dengan menganggap
bahwa garis muka air rembesan adalah berbentuk parabola dan ditentukan dengan
Gambar 2.7. Garis depresi pada bendungan homogeny ( sesuai dengan garis parabola ) 0 2 0 2 2y y y
x ... (2.49)
2 0
0 y
2y
y ... (2.50)
d d h
y0 2 2 ... (2.51)
Dimana :
h : Jarak vertikal antara titik A dan B
d : Jarak horisontal antara titik B2 dan A
l1 : Jarak horisontal antara titik B dan E
l2 : Jarak horisontal antara titik B dan A
A : Ujung tumit hilir Embung
B : Titik perpotongan antara permukaan air waduk dan lereng udik
Embung
A1 : Titik perpotongan antara parabola bentuk dasar garis depresi dengan
garis vertikal melalui B
B2 : Titik yang terletak sejauh 0,3 l1, horisontal ke arah udik dari titik B
Pada titik permulaan, garis depresi berpotongan tegak lurus dengan lereng
hulu Embung. Panjang garis a tergantung dari kemiringan lereng hilir Embung,
dimana air filtrasi tersembul keluar yang dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut : Cos yo a a
Dimana :
a : jarak garis AC
a : jarak garis CoC
: sudut kemiringan lereng hilir Embung
Harga a dan a yang diperoleh dengan persamaan tersebut dan dengan
pengambilan angka. Pada gambar 2.8 dan 2.9
) (a a
a C
... (2.53)
Apabila kemiringan sudut lereng hilir Embung lebih kecil dari 300, maka harga a
dapat diperoleh dengan rumus :
2 2
sin cos
cos
h d d
[image:61.595.120.529.382.593.2]a ... (2.54)
Gambar 2.8. Beberapa cara untuk memperoleh harga ”α” sesuai dengan sudut
Gambar 2.9. Grafik hubungan antara sudut bidang singgung dengan C
2.7.2 Kapasitas Aliran Filtrasi
Kapasitas aliran filtrasi adalah kapasitas rembesan air yang mengalir ke
hilir melalui tubuh dan pondasi coverdam. Kapasitas filtrasi mempunyai
batas-batas tertentu yang mana apabila kapasitas filtrasi melampaui batas-batas tersebut, maka
kehilangan air yang terjadi cukup besar, disamping itu kapasitas filtrasi yang besar
dapat menimbulkan gejala sufosi serta sembulan yang sangat membahayakan
kestabilan. Memperkirakan besarnya kapasitas filtrasi didasarkan pada jaringan
trayektori aliran filtrasi, dapat dihitung dengan rumus :
L H K N N Q
p f
f . . ... (2.55)
Dimana :
Nf : Jumlah trayektori garis aliran
Np : Jumlah trayektori garis equipotensial
k : Nilai permeabilitas tanah
H : Perbedaan ketinggian air sepanjang flow net
L : Panjang melintang Embung
Qf : Kapasitas aliran filtrasi
Kapasitas aliran filtrasi yang mengalir melalui pondasi embung.
Rumus yang digunakan untuk untuk memperkirakan kapasitas filtrasi pada
T B
T k.H.
q ……….... (2.56)
Dimana :
q = Kapasitas filtrasi perunit panjang Embung
k = Koefisien filtrasi
H = Tinggi tekanan air pori
T = Ketebalan lapisan pondasi yang diperhitungkan
B = Lebar dari zone kedap air
2.7.3 Gejala Sufosi dan Sembulan
Agar tidak menyebabkan gejala sufosi dan sembulan yang sangat
membahayakan tubuh embung, maka kecepatan aliran filtrasi dalam tubuh dan
pondasi Embung tersebut pada tingkat-tingkat tertentu perlu dibatasi.
Besarnya kecepatan filtrasi dapat diketahui dengan menggunakan metode
jaringan trayektori aliran filtrasi atau dapat pula diperoleh dengan rumus-rumus
empiris. Dengan menggunakan jaringan aliran filtrasi :
l h k. k.i
v 2 ………...….. (2.57)
Dimana :
v : Kecepatan pada bidang keluarnya aliran filtrasi
k : Koefisien filtrasi
i : Gradient debit
h2 : Tekanan air rata-rata
l : Panjang rata-rata berkas elemen aliran filtrasi pada bidang keluarnya
Suatu kecepatan aliran keluar ke atas permukaan lereng hilir yang
komponen vertikalnya dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan butir-butiran
bahan embung pada permukaan tersebut, disebut kecepatan kritis yang secara
teoritis dikembangkan oleh Justin dan diperoleh rumus :
F.Y .g w
c 1 ………... (2.58)
Dimana :
c : Kecepatan kritis
w1 : Berat butiran bahan di dalam air
g : Gravitasi
F : Luas permukaan yang menampung aliran filtrasi
Y : Berat isi air
2.8 Stabilias Tubuh Embung
Salah satu penerapan pengetahuan mengenai kekuatan geser tanah/batuan
adalah untuk analisis kemantapan lereng. Keruntuhan geser pada tanah/batuan
terjadi akibat gerak relative antar butirnya dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kekuatan geser terdiri atas :
1. Bagian yang bersifat kohesif, tergantung pada macam tanah/batuan dan
ikatan antar butirnya.
2. Bagian yang bersifat gesekan, yang sebanding dengan tegangan efektif yang
Pada umumnya keruntuhan tubuh bendungan tipe urugan dimulai dengan
terjadinya suatu gejala kelongsoran baik pada lereng hulu maupun lereng hilir.
Perhitungan stabilitas bendungan biasanya dilakukan dengan metode irisan bidang
luncur bundar (slice method on circular slip surface). Andaikan bidang luncur
bundar dibagi dalam beberapa irisan vertikal, maka faktor keamanan dari
kemungkinan terjadinya longsor dapat diperoleh dengan menggunakan rumus
keseimbangan sebagai berikut :
e e s T T N U N L CF . ( )tan ... (2.59)
cos . sin . tan sin . cos . . e A V e A L CFs ... (2.60)
dimana :
Fs = Faktor keamanan
N = Beban komponen vertikal yang timbul dari berat setiap irisan bidang
luncur
T = Beban komponen tangensial yang timbul dari berat setiap irisan bidang
luncur
U = Tekanan pori yang bekerja pada setiap irisan bidang luncur
Ne = Komponen vertikal beban seismis yang bekerja pada setiap irisan bidang
luncur
= Sudut gesekan dalam bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang
luncur
C = Angka kohesi bahan yang membentuk dasar setiap irisan bidang luncur
Ne= e W sin α
eW = e . r . A
Te = E . W cos α U
α
T = W sin α
W = Y. A eW
W
S = C + (N-U-Ne)tanΦ
i = b/cos α
N = W cos α
A b
e = Intensitas seismis horisontal
= Berat isi dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
A = Luas dari setiap bahan pembentuk irisan bidang luncur
= Sudut kemiringan rata – rata dasar setiap irisan bidang luncur
V = Tekanan air pori
L = Panjang busur lingkaran longsor
[image:66.595.154.517.411.646.2]
Gambar 2.10. Cara menentukan besarnya harga N dan T
Hasil perhitungan keamanan yang didapat dari perhitungan harus lebih
besar dari besarnya angka keamanan yang diizinkan, sedangkan angka keamanan
yang diizinkan adalah sebagai berikut
a. Untuk keadaan gempa ( SF ) = 1,1
b. Untuk keadaan normal ( SF ) = 1,5
Tabel 2.10. Tempat Kedudukan Koordinat lingkaran Kritis
SLOPE 1 2
1 : 0,58 1 : 1 1 : 1,50
1 : 2 1 : 3 1 : 5
60 45 33,80 26,60 18,40 11,30
29 28 26 25 25 25
40 37 35 35 35 35
52
METODOLOGI
PERENCANAAN
Pelengkap dari sebuah prosedur dalam suatu perencanaan bangunan
bendung untuk menyelesaikan beberapa permasalahan beserta metode –
metodenya di perencanaan Embung Gadding diperlukan data – data sebagai
berikut :
3.1. Data Topografi
Data topografi adalah data yang terdapat dari suatu peta yang mempunyai
garis kontur lengkap dengan elevasi serta nama – nama daerah dan bangunan –
bangunan yang berdiri diarea tersebut. Maksud dan tujuan tahapan pekerjaan
pengukuran dan pemetaan topografi adalah untuk mendapatkan gambaran rencana
lokasi Embung Gadding yang berlokasi di Desa Gadding, Kecamatan Manding,
Kabupaten Sumenep.
3.2. Data Hidrologi
Data hidrologi adalah sebuah data debit banjir yang didapat dari beberapa
sumber data. Analisis hidrologi merupakan parameter yang sangat penting bagi
perencanaan dimensi konstruksi dan prediksi operasi pemenuhan kebutuhan air
irigasi maupun air baku, oleh sebab itu pemilihan metode dan data yang
Beberapa hal yang menjadi dasar dan pertimbangan dalam analisis dan
perhitungan hidrologi ini adalah :
1. Jumlah stasiun penakar hujan yang digunakan dalam analisis hidrologi pada
perencanaan Embung Gadding di Kabupaten Sumenep ini adalah 2 (dua),
yaitu ;
a. Stasiun Batuputih, yang berada pada kecamatan Batuputih.
b. Stasiun Manding, yang berada pada kecamatan Manding.
2. Data curah hujan harian yang terekam